BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS Landasan teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
Landasan teori diperlukan sebagai dasar konseptual dan teoritis penelitian
untuk membantu memahami informasi dan pengetahuan yang relevan terkait
dengan masalah penelitian, dan memberikan dasar teoritis dalam memberikan
jawaban atas permasalahan penelitian. Selain itu landasan teori digunakan untuk
mengembangkan dan memberikan kerangka dasar yang baik dalam menyusun
hipotesis penelitian (Sekaran dan Bougie, 2013).
Terdapat beberapa hal yang akan dijelaskan, yaitu teori perilaku, posisi
penelitian, hubungan antar variabel dan pengembangan hipotesis, dan model
penelitian. Masing-masing sub bab dijelaskan di bawah.
A.
Teori Perilaku
Pemasaran sosial adalah penerapan prinsip-prinsip pemasaran untuk
mendorong perubahan dan perbaikan sosial, salah satunya dengan mobilisasi
perilaku donor darah (Juwaheer et al., 2012). Perilaku dapat diprediksi oleh niat
dan niat merupakan kemungkinan seseoarang untuk berperilaku tertentu (Ajzen,
2005), dan kemampuan niat dalam memprediksi perilaku merupakan faktor
terpenting dalam hubungan antara niat dan perilaku. Kemampuan niat dalam
memprediksi perilaku berdasarkan pada kesesuaian antara niat dengan perilaku
dalam hal target perilaku, perilaku yang ditampilkan, situasi ketika perilaku terjadi
dan waktu pelaksanaan perilaku.
Beberapa penelitian dalam konteks yang berbeda mendukung pendapat
Ajzen (2005) yang menyatakan bahwa niat merupakan prediktor dari perilaku,
karena niat donor darah merupakan disposisi perilaku sampai perilaku tersebut
direalisasikan (Giles et al., 2004; Masser et al., 2009). Bagozii (1981) dan Giles et
al. (2004) mengidentifikasi bahwa niat donor darah secara signifikan berpengaruh
positif pada perilaku donor darah. Stewart dan Moreno (2013) mengidentifikasi
bahwa niat merokok dan mengkonsumsi mariyuwana berpengaruh positif pada
perilaku merokok dan mengkonsumsi mariyuwana siswa sekolah.Yang et al.,
(2014) menemukan bahwa niat mengkonsumsi makanan organik berpengaruh
positif terhadap perilaku pembelian makanan organik. Berbagai faktor
demografis, fisiologis dan psikologis dapat mempengaruhi niat donor darah
(Masser et al., 2008; Gadeer et al., 2011).
Beberapa penelitian tentang donor darah menguji pengaruh sikap terhadap
niat berperilaku (Bagozii, 1989; Adam dan Soutar, 1999; Holdershaw et al., 2003;
Ferguson et al., 2007; Masser et al., 2009) dan menemukan fakta bahwa sikap
donor darah berpengaruh positif pada niat donor darah. Sikap dibentuk melalui
proses evaluasi yang berlanjut membentuk niat berperilaku (Bagozii, 1989)
kemudian niat donor darah berpengaruh positif terhadap perilaku donor darah
(Bagozii, 1989; Giles et al., 2004), sehingga niat donor darah merupakan ukuran
sejauh mana individu termotivasi untuk donor darah (Giles et al., 2004).
Sikap donor darah menggambarkan perasaan dan keyakinan terhadap donor
darah, dan berpengaruh positif pada niat donor darah (Giles et al., 2004; Ferguson
et al., 2007). Sehingga semakin tinggi sikap donor darah mengakibatkan
meningkatnya niat donor darah.
B.
Posisi Penelitian
Penulis
(Tahun)
Adam dan
Soutar
(1999)
James et al.,
(2012)
Tabel 2.1
Posisi Penelitian
Variabel
Variabel
Variabel
Independen Mediator Moderator
Value;
Attitude;
Knowledge; Perceived
Perceived
Risk
Risk
Motivations;
Barriers to
Donae
Blood
Rewards
Errea dan
Cabases
(2013)
Abderrahman Attitudes;
dan (2014)
Reasons of
Donation;
Factors
influencing
blood
donation;
barriers may
influence
blood
donation;
participants’
knowledge
about blood
donation
Kumari dan
Motivations;
Raina (2015) Barriers to
Donae
Blood
Penelitian
Persepsi
Sikap
saat ini
resiko,
(2016)
Insentif
Altruisme
Variabel
Analisis
Dependen Statistik
Intention
SEM
to Donate
Blood
Intention
to Donate
Blood
Descriptive
statistics
Intention
to Donate
Blood
Intention
to Donate
Blood
Descriptive
statistics
Intention
to Donate
Blood
Descriptive
statistics
Niat
donor
darah
SEM
Descriptive
statistics
Posisi penelitian merupakan perbandingan antara model dan variabel
penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya, sehingga dapat dipahami
perbedaannya. Penelitian sebelumnya mengenai donor darah banyak yang
menggunakan variabel independen sebagai prediktor niat donor darah, sedangkan
penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku dalam mengidentifikasi niat
donor darah.
Niat donor darah diprediksi dengan sikap donor darah, norma subyektif dan
hambatan donor darah (Abderrahman dan Saleh, 2014), kemudian motivasi dan
hambatan donor darah merupakan prediktor sikap donor darah (James et al.,
2012). Dalam penelitian ini sikap donor darah merupakan disposisi dari niat
donor darah yang dipengaruhi oleh persepsi resiko dan insentif. Adam dan Soutar
(1999), mengidentifikasi persepsi resiko secara langsung mempengaruhi niat
donor darah dan dimediasi sikap donor darah. Sedangkan dalam penelitian ini,
persepsi resiko secara tidak langsung mempengaruhi niat donor karena dimediasi
oleh sikap donor darah, karena sikap merupakan disposisi dari niat (Fishbein,
1963). Dalam penelitian Errea dan Cabases (2013), insentif merupakan prediktor
niat donor darah, sedangkan dalam penelitian ini insentif
berpengaruh tidak
langsung terhadap niat donor darah karena dimediasi oleh sikap donor darah.
Menurut penelitian Kumari dan Raina (2015), altruisme merupakan prediktor niat
donor darah, sedangkan dalam penelitian ini altruisme sebagai variable moderator,
karena altruisme bersifat pribadi sehingga perilaku altruistik tergantung pada
kepribadian individu.
C.
Hubungan Antar Variabel Penelitian dan Pengembangan Hipotesis
Pada sub bab ini dibahas mengenai hubungan antar variabel pengamatan
untuk pengembangan hipotesis dan membangun model penelitian. Hubungan
antar variabel menunjukan keterkaitan antar variabel penelitian berdasarkan teori
dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan permasalahan penelitian (Sekaran
dan Bougie, 2013).
1.
Hubungan antara persepsi resiko dan sikap donor darah
Perilaku prososial merupakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan
orang lain, bukan untuk keuntungan pribadi dan seringkali disertai dengan resiko
atau biaya yang harus ditanggung sendiri (Twenge et al., 2007), misalnya perilaku
donor darah. Resiko merupakan peluang terjadinya peristiwa yang merugikan
(USGAO, 2009; Wachinger dan Renn, 2010), karena adanya ketidakpastian (Ngo
et al., 2013), dan berpotensi menimbulkan biaya. Sedangkan biaya merupakan
pengorbanan perilaku prososial yang bersifat materi maupun non materi.
Persepsi resiko individu cenderung berdasarkan faktor-faktor subyektif
seperti rasa takut munculnya kerugian (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013),
kemampuan individu mengontrol resiko (Ngo et al., 2013), dan perhatian individu
terhadap konsekuensi kerugian (Sjöberg et al., 2004) yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, nilai, sikap dan perasaan (Wachinger & Renn, 2010)
yang belum tentu benar (Slovic et al., 2005).
Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi resiko adalah affect
heuristics (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013), merupakan aturan umum yang
digunakan dalam pengambilan keputusan (Lowe dan Ferguson, 2003) berdasarkan
perasaan baik atau buruk (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013) dan pengalaman
(Slovic et al., 2005). Perasaan merupakan indikator utama dari persepsi resiko,
misalnya perasaan takut radiasi nuklir lebih tinggi dibandingkan radiasi sinar X
dalam bidang kedokteran (Fischhoff et al., 1978). Affect heuristics merupakan
respon biologis berdasarkan system saraf yang bereaksi lebih cepat dibandingkan
dengan sistem analitis kognitif (Ngo et al., 2013), dan bersifat independen, tidak
tergantung pada elemen kognitif, meskipun dapat berfungsi secara bersama-sama
(Zajonc, 1984) sehingga affect heuristics dan emosi berperan penting dalam
pengambilan keputusan terkait resiko (Slovic et al., 2005).
Pendapat tersebut bertentangan dengan penelitian Ochsner dan Gross (2005)
dalam penelitian gambar fungsi syaraf (functional neuroimaging studies)
menunjukan bahwa pada reappraisal system melibatkan interaksi antara daerah
kontrol kognitif (korteks prefrontal, anterior cingulate) dengan emosi (amigdala),
sehingga cognitive appraisal system dapat digunakan untuk mengatur emosi
individu. Elemen kognitif merupakan prasyarat elemen afektif, meskipun elemen
kognitif tidak selalu dapat diamati (Lazarus, 1993). Sehingga persepsi resiko
mengacu pada kondisi situasi sekitarnya dan keyakinan atas ketidakpastian di
masa mendatang (Ngo et al., 2013) serta evaluasi peluang terjadinya resiko
(Sjöberg et al., 2004).
Persepsi resiko donor darah dibedakan menjadi empat (Adam dan Soutar,
1999). Pertama, resiko ketidaknyamanan yang berkaitan dengan ketidaknyamanan
lokasi dan proses donor darah (Groosman et al., 2005; Shaz et al., 2009; Yuan et
al., 2011; Gillespie dan Hillyer, 2013), resiko kehilangan waktu, karena merasa
waktu yang digunakan untuk donor darah terlalu lama (Nguyen et al., 2008; Yuan
et al., 2009), lokasi donor darah jauh sehingga diperlukan pengorbanan menuju
lokasi donor darah (Sjöberg et al., 2004), dan petugas tidak ramah dalam
melayani donor darah (Marantidou, 2007; Aluja dan Sahuja, 2009). Resiko
psikologis, berkaitan dengan perasaan sakit yang muncul pada donor darah,
pusing (Shaz et al., 2009), takut darah (Marantidou, 2007; Aluja dan Sahuja,
2009), takut injeksi (Shaz et al., 2009), mau pingsan (Shaz et al., 2009), fisik
menjadi lemah (Shashahani et al., 2006; Kasraian, 2010; Desai dan Satapara,
2014; Abderrahaman dan Saleh, 2014). Resiko kesehatan, merupakan persepsi
resiko karena perasaan takut tertular penyakit (Marantidou, 2007; Shashahani et
al., 2006; Abderrahaman dan Saleh, 2014), prosedur keamanan donor darah
kurang baik (Adam & Soutar 1999), meragukan pemeriksaan kesehatan donor
darah (Rodríguez & Hita, 2009), infeksi yang dihasilkan dari peralatan yang tidak
memadai, lingkungan donor darah tidak sehat, pembuangan sampah donor darah
tidak baik, terjadinya kesalahan dalam pencocokan golongan darah (Cen dan Ma,
2015). Dan yang terakhir adalah resiko sosial, yaitu adanya hambatan donor darah
dari keluarga (Adam dan Soutar, 1999; Kumari dan Raina, 2015), teman,
masyarakat dan agama (Adam dan Soutar, 1999).
Meskipun persepsi resiko berbeda dengan actual risk (Lowe dan Ferguson,
2003; Ngo et al., 2013), tetapi berpengaruh dalam pengambilan keputusan (Ngo et
al., 2013), karena individu cenderung menghindari risiko (Sjöberg et al., 2004;
Menon et al., 2008), dan perilaku prososial berdasarkan perhitungan manfaat dan
biaya yang diterima donor (Lyle et al., 2009).
Slovic et al.(2005) mengidentifikasi bahwa resiko dan manfaat cenderung
berkorelasi positif, karena kegiatan berisiko tinggi cenderung memiliki manfaat
yang lebih besar dibandingkan dengan kegiatan berisiko rendah, misalnya undian
berhadiah (Menon et al., 2008), tetapi resiko dan manfaat berkorelasi negatif
dalam pikiran dan penilaian individu, karena resiko tinggi dikaitkan dengan
manfaat yang rendah, dan sebaliknya (Slovic dan Peter, 2006).
Hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian resiko melibatkan aspek
evaluasi, jika dievaluasi menguntungkan maka dianggap beresiko rendah dan
bermanfaat tinggi, dan sebaliknya, sehingga dalam prakteknya pertimbangan
biaya dan manfaat berpengaruh pada keputusan perilaku prososial (Lyle et al.,
2009). Jika manfaat lebih besar dari biaya, maka seseorang bersikap positif pada
donor darah, jika manfaat lebih kecil dari biaya, maka bersikap negatif pada donor
darah dan sikap netral seseorang terhadap donor darah terjadi jika manfaat sama
besarnya dengan biaya yang harus ditanggung (Rodríguez & Hita, 2009).
Pendapat tersebut sesuai dengan penelitian Adam dan Soutar (1999) yang
mengidentifikasi bahwa persepsi resiko secara signifikan berpengaruh negatif
pada sikap donor darah. Shashahani et al. (2006) dan Abderrahman dan Saleh
(2014) mengidentifikasi bahwa resiko tertular penyakit dan perasaan fisik menjadi
lemah setelah donor darah berpengaruh negatif pada sikap donor darah, sehingga
jika persepsi resiko meningkat, maka sikap donor darah menurun. Maka
berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, hipotesis penelitian pertama adalah.
H1: Persepsi resiko berpengaruh negatif pada sikap donor darah.
2.
Hubungan antara insentif dan sikap donor darah
Insentif merupakan persepsi individu mengenai suatu imbalan tertentu
baik materi maupun non materi (Buchan et al., 2000). Berdasarkan penelitian
sebelummnya diketahui ketidakkonsistenan pengaruh insentif terhadap sikap
donor darah. Mellström dan Johannesson (2008) menyatakan bahwa insentif
mengakibatkan menurunnya donor darah altruistik, karena insentif dalam bentuk
tunai dapat menurunkan niat donor darah (Lacetera dan Macis, 2009), karena
dapat menurunkan nama baik donor (Benabou dan Tirole, 2005). Hal tersebut
bertentangan dengan pendapat Goette dan Stutzer (2008) yang menyatakan bahwa
insentif yang selektif berpengaruh positif terhadap motif prososial, sehingga
insentif dapat meningkatkan donor altruistik (Buciuniene et al., 2006; Rodríguez
& Hita, 2009).
Insentif dinilai sama pentingnya dengan altruisme dalam mempengaruhi
niat donor darah (Yuan et al., 2011), bahkan jika insentif moneter dihapuskan,
donor akan mengurangi frekuensi donor darah (Buciuniene et al., 2006). Karena
insentif moneter dapat meningkatkan resiko menurunnya kualitas darah (Kasraian,
2010) dan resiko penularan penyakit (Desai dan Satapara, 2014) yang disebabkan
donor tidak memberikan informasi adanya penyakit (Echevarria dan Garcia,
2014), maka untuk mengurangi resiko donor darah, insentif diberikan bukan
dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk pemeriksaan kesehatan (Niza et al., 2013,
James et al., 2013), kartu lotre (Niza et al., 2013), tiket gratis nonton film (Yuan
et al., 2011).
Berbagai penelitian mengidentifikasi bahwa insentif berpengaruh positif
pada donor darah. Insentif dalam bentuk kartu lotre meningkatkan sikap donor
darah (Goette dan Stutzer, 2008; Lacetera dan Macis, 2009), donor bersikap
positif terhadap insentif dalam bentuk tambahan hari libur kerja (Lacetera dan
Macis, 2009), insentif dapat meningkatkan donor darah jika nama donor
disamarkan (Goette et al., 2010), donor bersikap positif terhadap insentif finansial
(Lacetera dan Macis, 2009; shi, 2011) tetapi bersikap negatif terhadap insentif
dalam bentuk penghargaan (Shi, 2011), insentif dalam bentuk tes kesehatan Hb,
kolesterol dan gula darah dapat meningkatkan donor darah karena bermanfaat
untuk mengetahui kondisi kesehatan donor (Kasraian dan Maghsudlu, 2012).
Penelitian terdahulu tersebut menunjukan bahwa insentif tidak terbukti
berpengaruh negatif pada donor darah, karena pengaruh insentif terhadap donor
darah tergantung kepada jenis insentif, moneter atau non moneter; tujuan donor
darah, untuk kepentingan individu atau masyarakat; karakteristik donor, altruistik
atau egois (Errea dan Cabases, 2013), dan norma sosial (Font. et.al., 2012). Maka
hipotesis penelitian kedua adalah.
H2: Insentif berpengaruh positif pada sikap donor darah
3.
Hubungan antara sikap donor darah dan niat donor darah
Sikap merupakan salah satu topik yang sering dipelajari dalam ilmu sosial
dan tidak ada definisi yang berlaku secara universal (Chaiklin, 2011). Sikap
memiliki hubungan dengan perilaku sosial (Wicker, 1969), karena sikap berperan
penting dalam memprediksi perilaku (Ajzen, 2005). Sikap adalah disposisi yang
bersifat positif atau negatif untuk menanggapi hal-hal yang bersifat evaluatif
terhadap suatu obyek (Fishbein, 1963; Ajzen, 2005). Sikap berpengaruh dinamis
terhadap perilaku karena sikap merupakan reaksi terhadap lingkungannya dan
merupakan respon dari suatu obyek atau situasi (Jain, 2014) .Sikap tidak dapat
dilihat dari karakteristik fisik, karena bersifat tersembunyi dan hanya dapat
disimpulkan melalaui perilaku (Ajzen, 2005).
Sikap tersusun atas komponen kognitif dan afektif (Fishbein, 1963; See et
al., 2008). Komponen kognitif berkaitan dengan persepsi dan keyakinan terhadap
obyek yang diperoleh dari pengetahuan dan informasi, misalnya untung dan rugi,
sedangkan komponen afektif menggambarkan emosi dan perasaan terhadap
obyek, misalnya rasa takut dan rasa sakit (See et al., 2008). Komponen kognitif
merupakan prasyarat dari komponen afektif (Fishbein, 1963; Lazarus, 1993),
karena komponen afektif merupakan merupakan evaluasi dari komponen kognitif
(Fishbein, 1963).
Individu yang memiliki komponen kognitif dan afektif yang tinggi,
memberikan
jawaban
lebih
cepat
tentang
keyakinan
dan
perasaannya
dibandingkan dengan individu yang memiliki komponen kognitif dan afektif
rendah (Huskinson dan Haddock, 2006). Komponen kognitif dan afektif
mempengaruhi sikap pada produk minuman (Fabrigar dan Petty, 1999), mata
kuliah statistik (Santilan et al., 2012), menghadapi bencana gempa bumi (Khalid
et al., 2010), pembelian mobil (Jain, 2014), persepsi resiko kanker ovarium
(Peipin, et al., 2015), website dan merk produk (Hwang et al., 2011), dan donor
darah (Farley dan Stasson, 2005).
Sikap dapat berpengaruh langsung terhadap perilaku jika sikap dan perilaku
terdapat hubungan yang sangat erat dan berada pada tingkatan yang sama
spesifikasinya. Sikap tertentu dapat menjadi prediktor perilaku tertentu dan tidak
konsisten jika digunakan untuk memprediksi perilaku secara umum (Wicker,
1969). Hal ini dibuktikan dengan penelitian Fishbein dan Ajzen (1974) yang
mengidentifikasi bahwa sikap umum beragama merupakan prediktor perilaku
beragama secara umum, tetapi tidak konsisten untuk memprediksi perilaku
beragama secara khusus, karena sikap
mempengaruhi perilaku secara tidak
langsung karena dimediasi oleh niat (Ajzen, 2005), hal itu sejalan dengan
penelitian Bagozii (1981), Adam dan Soutar (1999), dan Giles et al. (2004) yang
mengidentifikasi bahwa sikap donor darah sercara signifikan berpengaruh positif
terhadap niat donor darah dan berpengaruh tidak langsung pada perilaku donor
darah karena dimediasi oleh niat donor darah, sehingga semakin positif sikap
donor darah, maka semakin tinggi niat donor darah. Maka berdasarkan penelitian
sebelumnya, hipotesis penelitian yang ketiga adalah.
H3: sikap donor darah berpengaruh positif pada niat donor darah.
4.
Hubungan antara altruisme dengan persepsi resiko dan sikap donor
darah
Altruisme adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu
orang lain dan bukan untuk kepentingan pribadinya (Hoffman, 1978).
Berdasarkan penelitian terdahulu diidentifikasi bahwa altruisme merupakan alasan
utama melakukan donor darah (Wells dan Christenberry, 2002). Tetapi hal
tersebut bertentangan dengan Andreoni (1989) yang menyatakan bahwa donor
darah lebih dipengaruhi oleh tekanan sosial, rasa bersalah, simpati dan motif
memperoleh keuntungan emosional dibandingkan dengan motif altruisme.
Ferguson et al. (2012) menyatakan bahwa motif donor darah adalah untuk
memperoleh keuntungan pribadi yang dikombinasikan dengan motif membantu
orang lain, dan donor darah lebih dipengaruhi kepribadian dibanding motif
altruism (Ferguson et al., 2007), hal tersebut menunjukan bahwa kepribadian
mempengaruhi tingkat altruisme individu (Oda et al., 2014)
Dalam penelitian lainnya, menyatakan bahwa faktor genetika dan
lingkungan berpengaruh sama kuat terhadap perilaku prososial. Perilaku prososial
berdasarkan faktor genetika menurut memiliki karakteristik tergantung pada
keeratan hubungan antara donor dengan resipien, manfaat bagi resipien, resiko
yang dihadapi donor serta kondisi lingkungan yang menyertainya. Kekuatan
hubungan antara variabel kepribadian dengan perilaku prososial dipengaruhi oleh
daya tarik situasi lingkungan, jika situasi lingkungan berpengaruh kuat maka
lingkungan lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku, tetapi jika siatuasi
lingkungan lemah maka kepribadian lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku
prososial (Carlo, 1991). Sehingga perilaku prososial dipengaruhi perbedaan waktu
dan situasi (Bierhoff dan Rohmann, 2004; Otto dan Bolle, 2011) dan ciri-ciri
kepribadian (Penner et al.,2005) oleh karena itu, altruisme juga dapat terjadi
dalam lingkungan keluarga.
Niat orang tua untuk mengurangi resiko kesehatan terhadap anaknya
merupakan bentuk altruisme dan berpengaruh terhadap keputusan alokasi belanja
rumah tangga. Orang tua akan akan meningkatkan belanja produk yang berfungsi
menurunkan resiko kesehatan anaknya (Cai et al., 2008). Hal ini sejalan dengan
penelitian Dickie dan Gerking (2007) yang mengidentifikasi bahwa orang tua
melakukan pembelian lotion pelindung cahaya matahari untuk mengurangi resiko
kanker kulit anaknya. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2008)
yang menguji tingkat kepekaan orang tua terhadap bahaya yang dihadapi anaknya,
juga menunjukan bahwa orang tua meningkatkan pengeluaran belanja keluarga
dengan membeli peralatan pengolahan air minum untuk melindungi anaknya dari
racun. Penelitian terdahulu tersebut menunjukan bahwa perilaku altruisme
meningkat ketika lingkungannya berada dalam situasi yang dipersepsikan
beresiko tinggi. Maka berdasarkan penelitian sebelumnya, hipotesisi penelitian
keempat adalah.
H4: Altruisme memoderasi pengaruh persepsi resiko pada sikap donor
darah
5.
Hubungan antara altruisme dengan insentif dan sikap donor darah
Seseorang berkepribadian altruistik memiliki kepedulian pada permasalahan
orang lain, sehingga seseorang yang memiliki ciri-ciri kepribadian altruistik
memiliki kemampuan mengenali keadaan emosional orang lain (Haas et al.,
2015), memiliki tanggung jawab sosial dan empati yang tinggi (Bierhoff dan
Rohmann, 2004), sehingga perilaku prososial melekat pada orang yang memiliki
kepribadian altruistik.
Karakter kepribadian donor berbeda dengan donor lainnya dan dipengaruhi
oleh keeratan hubungan antara donor dengan resipien (Rushton, 2004; Carlo et
al., 1991; Záškodná, 2010, 2010; Bierhoff dan Rohmann, 2004; Guzman et al.,
2013; Oda et al., 2014).
Kepribadian merupakan pondasi dari pikiran dan
perasaan yang mempengaruhi preferensi (Hill et al., 2014) dan keyakinan
seseorang (Guzman et al., 2013). Menurut Guzman et al. (2013) preferensi dan
keyakinan menggambarkan kepribadian seseorang dalam menanggapi insentif
dalam perilaku prososial. Perilaku prososial secara konsep ekonomi menurut
Záškodná (2010) berdasarkan pada kalkulasi untung rugi, sehingga perilaku sosial
akan meningkat jika keuntungan lebih besar dari biaya. Berdasarkan penelitian
sebelumnya dapat diindikasikan bahwa kepribadian altruistik meningkatkan
pengaruh insentif terhadap sikap prososial, sehingga hipotesisi penelitian kelima
adalah.
H5:
Altruisme memoderasi pengaruh insentif pada sikap donor darah
6.
Hubungan antara altruisme dengan sikap donor darah dan niat donor
darah
Altruisme merupakan tindakan untuk membantu orang lain yang
dipengaruhi oleh personal norm dan merupakan kewajiban moral untuk
melakukan atau tidak melakukan sutau tindakan tertentu (Schwartz dan Howard,
1981). Personal norm dipengaruhi oleh empat situasi (Steg dan Groot, 2010)
pertama adalah sejauh mana donor menyadari konsekuensi postif atau negatif dari
tindakan prososial yang dilakukan, adanya perasaan bertanggung jawab atas
dampak negatif yang terjadi jika perilaku prososial tidak dilakukan, identifikasi
tindakan untuk meringankan beban orang lain dan yang terakhir adalah
mengetahui kemampuan diri sendiri dalam melakukan tindakan prososial.
Berdasarkan penelitian Fishbein dan Ajzen (1970) diidentifikasi bahwa
altruisme dapat berperan sebagai variabel moderasi dengan melakukan manipulasi
terhadap niat berperilaku pada suatu permainan dengan tujuan berbeda. Ketika
tujuan permainan adalah untuk memperoleh nilai individu tertinggi maka akan
meningkatkan niat individu untuk memperoleh nilai tertinggi. Tetapi jika
penilaian berdasarkan kelompok, maka sikap untuk memperoleh nilai tertinggi
tidak
berpengaruh
signifikan pada niat memperoleh nilai tertinggi, tetapi
meningkatkan pengaruh norma subyektif pada sikap memperoleh nilai tertinggi
yaitu meningkatnya harapan pasangan bermainnya untuk mendapatkan nilai
tertinggi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya diindikasikan bahwa altruisme dapat
berperan sebagai variabel moderator karena dapat meningkatkan atau menurunkan
pengaruh sikap seseorang terhadap niat berperilaku.
Sehingga, hipotesis
penelitian keenam adalah.
H6: Altruisme memoderasi pengaruh sikap donor darah pada niat donor
darah
A.
Model Penelitian
Model penelitian merupakan hubungan beberapa faktor penting yang telah
diidentifikasi berdasarkan teori untuk menjawab permasalahan penelitian
(Sekaran dan Bougie, 2013).
Gambar 2.1 Model Penelitian
Persepsi
Resiko
H1
Sikap Donor
Darah
H2
H3
Niat Donor
Darah
Insentif
H4, H5, H6
Altruisme
Sumber
:
Modifikasi Model Penelitian Perilaku Donor Darah Adam dan Soutar (1999), Slovic
et al., 2005, Errea dan Cabases, 2013, Evans dan Ferguson, 2014
Model penelitian ini merupakan modifikasi dari beberapa penelitan.
Penelitian perilaku donor darah yang dilakukan oleh Adam dan Soutar (1999)
menggunakan sikap sebagai variabel mediasi dan knowledge, value dan perceived
risk sebagai variabel independen. Pada penelitian ini variabel knowledge dan
value dihilangkan karena, knowledge merupakan variabel yang menjelaskan
mengenai informasi yang dimiliki dan dipahami oleh donor yang berpengaruh
pada perceived risk dan perilaku donor darah. Knowledge dalam penelitian ini
direfleksikan oleh variabel persepsi resiko dan insentif karena knowledge
seseorang terhadap donor darah berpengaruh pada persepsi resiko dan manfaat
yang diterima.
Persepsi resiko individu cenderung berdasarkan faktor-faktor subyektif
seperti rasa takut munculnya kerugian (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013),
kemampuan individu mengontrol resiko (Ngo et al., 2013), dan perhatian individu
terhadap konsekuensi kerugian (Sjöberg et al., 2004) yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, nilai, sikap dan perasaan (Wachinger & Renn, 2010)
yang belum tentu benar (Slovic et al., 2005).
Insentif merupakan persepsi individu mengenai suatu imbalan tertentu
baik materi maupun non materi (Buchan et al., 2000). Pengaruh insentif terhadap
donor darah tergantung kepada jenis insentif, moneter atau non moneter; tujuan
donor darah, untuk kepentingan individu atau masyarakat; karakteristik donor,
altruistik atau egois (Errea dan Cabases, 2013), dan norma sosial (Font. et.al.,
2012). Berdasarkan justifikasi penelitian awal diidentifikasi bahwa insentif
menjadi salah satu variabel yang secara positif berpengaruh pada sikap donor
darah.
Value pada penelitian Adam dan Soutar (1999) diindikasikan sebagai rasa
bahagia dan gembira melakukan donor darah yang merupakan keuntungan
emosional donor. Variabel value dalam penelitian ini dihilangkan karena hal
tersebut merupakan salah satu bentuk dari perilaku altruisme (Evans dan
Ferguson, 2014) karena perilaku altruisme seseorang salah satunya karena motif
untuk memperoleh keuntungan emosional, rasa bahagia telah menolong orang lain
(warm glow altruism). Dalam penelitian ini altruisme digunakan sebagai variabel
moderator karena altruisme merupakan bagian dari kepribadian, sehingga perilaku
altruisme perilaku seseorang tergantung pada kepribadian seseorang yang
kemungkinan berbeda setiap orang. Perbedaan altruisme setiap orang diduga akan
berpengaruh pada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
dalam penelitian ini.
Berdasarkan rumusan hipotesis dan hubungan antar variabel penelitian,
maka dapat dibuat model penelitian yang menjelaskan hubungan antara, persepsi
resiko, insentif, altruisme, sikap donor darah dan niat donor darah, seperti pada
gambar 2.1. Model penelitian ini menjelaskan pengaruh persepsi resiko pada
sikap donor darah (H1), pengaruh insentif pada sikap donor darah (H2), pengaruh
sikap donor pada niat donor darah (H3),altruisme memoderasi pengaruh persepsi
resiko pada sikap donor darah (H4), altruisme memoderasi pengaruh insentif
pada sikap donor darah (H5) dan altruisme memoderasi sikap pada niat donor
darah (H6). 
Download