BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS Landasan teori diperlukan sebagai dasar konseptual dan teoritis penelitian untuk membantu memahami informasi dan pengetahuan yang relevan terkait dengan masalah penelitian, dan memberikan dasar teoritis dalam memberikan jawaban atas permasalahan penelitian. Selain itu landasan teori digunakan untuk mengembangkan dan memberikan kerangka dasar yang baik dalam menyusun hipotesis penelitian (Sekaran dan Bougie, 2013). Terdapat beberapa hal yang akan dijelaskan, yaitu teori perilaku, posisi penelitian, hubungan antar variabel dan pengembangan hipotesis, dan model penelitian. Masing-masing sub bab dijelaskan di bawah. A. Teori Perilaku Pemasaran sosial adalah penerapan prinsip-prinsip pemasaran untuk mendorong perubahan dan perbaikan sosial, salah satunya dengan mobilisasi perilaku donor darah (Juwaheer et al., 2012). Perilaku dapat diprediksi oleh niat dan niat merupakan kemungkinan seseoarang untuk berperilaku tertentu (Ajzen, 2005), dan kemampuan niat dalam memprediksi perilaku merupakan faktor terpenting dalam hubungan antara niat dan perilaku. Kemampuan niat dalam memprediksi perilaku berdasarkan pada kesesuaian antara niat dengan perilaku dalam hal target perilaku, perilaku yang ditampilkan, situasi ketika perilaku terjadi dan waktu pelaksanaan perilaku. Beberapa penelitian dalam konteks yang berbeda mendukung pendapat Ajzen (2005) yang menyatakan bahwa niat merupakan prediktor dari perilaku, karena niat donor darah merupakan disposisi perilaku sampai perilaku tersebut direalisasikan (Giles et al., 2004; Masser et al., 2009). Bagozii (1981) dan Giles et al. (2004) mengidentifikasi bahwa niat donor darah secara signifikan berpengaruh positif pada perilaku donor darah. Stewart dan Moreno (2013) mengidentifikasi bahwa niat merokok dan mengkonsumsi mariyuwana berpengaruh positif pada perilaku merokok dan mengkonsumsi mariyuwana siswa sekolah.Yang et al., (2014) menemukan bahwa niat mengkonsumsi makanan organik berpengaruh positif terhadap perilaku pembelian makanan organik. Berbagai faktor demografis, fisiologis dan psikologis dapat mempengaruhi niat donor darah (Masser et al., 2008; Gadeer et al., 2011). Beberapa penelitian tentang donor darah menguji pengaruh sikap terhadap niat berperilaku (Bagozii, 1989; Adam dan Soutar, 1999; Holdershaw et al., 2003; Ferguson et al., 2007; Masser et al., 2009) dan menemukan fakta bahwa sikap donor darah berpengaruh positif pada niat donor darah. Sikap dibentuk melalui proses evaluasi yang berlanjut membentuk niat berperilaku (Bagozii, 1989) kemudian niat donor darah berpengaruh positif terhadap perilaku donor darah (Bagozii, 1989; Giles et al., 2004), sehingga niat donor darah merupakan ukuran sejauh mana individu termotivasi untuk donor darah (Giles et al., 2004). Sikap donor darah menggambarkan perasaan dan keyakinan terhadap donor darah, dan berpengaruh positif pada niat donor darah (Giles et al., 2004; Ferguson et al., 2007). Sehingga semakin tinggi sikap donor darah mengakibatkan meningkatnya niat donor darah. B. Posisi Penelitian Penulis (Tahun) Adam dan Soutar (1999) James et al., (2012) Tabel 2.1 Posisi Penelitian Variabel Variabel Variabel Independen Mediator Moderator Value; Attitude; Knowledge; Perceived Perceived Risk Risk Motivations; Barriers to Donae Blood Rewards Errea dan Cabases (2013) Abderrahman Attitudes; dan (2014) Reasons of Donation; Factors influencing blood donation; barriers may influence blood donation; participants’ knowledge about blood donation Kumari dan Motivations; Raina (2015) Barriers to Donae Blood Penelitian Persepsi Sikap saat ini resiko, (2016) Insentif Altruisme Variabel Analisis Dependen Statistik Intention SEM to Donate Blood Intention to Donate Blood Descriptive statistics Intention to Donate Blood Intention to Donate Blood Descriptive statistics Intention to Donate Blood Descriptive statistics Niat donor darah SEM Descriptive statistics Posisi penelitian merupakan perbandingan antara model dan variabel penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya, sehingga dapat dipahami perbedaannya. Penelitian sebelumnya mengenai donor darah banyak yang menggunakan variabel independen sebagai prediktor niat donor darah, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku dalam mengidentifikasi niat donor darah. Niat donor darah diprediksi dengan sikap donor darah, norma subyektif dan hambatan donor darah (Abderrahman dan Saleh, 2014), kemudian motivasi dan hambatan donor darah merupakan prediktor sikap donor darah (James et al., 2012). Dalam penelitian ini sikap donor darah merupakan disposisi dari niat donor darah yang dipengaruhi oleh persepsi resiko dan insentif. Adam dan Soutar (1999), mengidentifikasi persepsi resiko secara langsung mempengaruhi niat donor darah dan dimediasi sikap donor darah. Sedangkan dalam penelitian ini, persepsi resiko secara tidak langsung mempengaruhi niat donor karena dimediasi oleh sikap donor darah, karena sikap merupakan disposisi dari niat (Fishbein, 1963). Dalam penelitian Errea dan Cabases (2013), insentif merupakan prediktor niat donor darah, sedangkan dalam penelitian ini insentif berpengaruh tidak langsung terhadap niat donor darah karena dimediasi oleh sikap donor darah. Menurut penelitian Kumari dan Raina (2015), altruisme merupakan prediktor niat donor darah, sedangkan dalam penelitian ini altruisme sebagai variable moderator, karena altruisme bersifat pribadi sehingga perilaku altruistik tergantung pada kepribadian individu. C. Hubungan Antar Variabel Penelitian dan Pengembangan Hipotesis Pada sub bab ini dibahas mengenai hubungan antar variabel pengamatan untuk pengembangan hipotesis dan membangun model penelitian. Hubungan antar variabel menunjukan keterkaitan antar variabel penelitian berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan permasalahan penelitian (Sekaran dan Bougie, 2013). 1. Hubungan antara persepsi resiko dan sikap donor darah Perilaku prososial merupakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan orang lain, bukan untuk keuntungan pribadi dan seringkali disertai dengan resiko atau biaya yang harus ditanggung sendiri (Twenge et al., 2007), misalnya perilaku donor darah. Resiko merupakan peluang terjadinya peristiwa yang merugikan (USGAO, 2009; Wachinger dan Renn, 2010), karena adanya ketidakpastian (Ngo et al., 2013), dan berpotensi menimbulkan biaya. Sedangkan biaya merupakan pengorbanan perilaku prososial yang bersifat materi maupun non materi. Persepsi resiko individu cenderung berdasarkan faktor-faktor subyektif seperti rasa takut munculnya kerugian (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013), kemampuan individu mengontrol resiko (Ngo et al., 2013), dan perhatian individu terhadap konsekuensi kerugian (Sjöberg et al., 2004) yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, nilai, sikap dan perasaan (Wachinger & Renn, 2010) yang belum tentu benar (Slovic et al., 2005). Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi resiko adalah affect heuristics (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013), merupakan aturan umum yang digunakan dalam pengambilan keputusan (Lowe dan Ferguson, 2003) berdasarkan perasaan baik atau buruk (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013) dan pengalaman (Slovic et al., 2005). Perasaan merupakan indikator utama dari persepsi resiko, misalnya perasaan takut radiasi nuklir lebih tinggi dibandingkan radiasi sinar X dalam bidang kedokteran (Fischhoff et al., 1978). Affect heuristics merupakan respon biologis berdasarkan system saraf yang bereaksi lebih cepat dibandingkan dengan sistem analitis kognitif (Ngo et al., 2013), dan bersifat independen, tidak tergantung pada elemen kognitif, meskipun dapat berfungsi secara bersama-sama (Zajonc, 1984) sehingga affect heuristics dan emosi berperan penting dalam pengambilan keputusan terkait resiko (Slovic et al., 2005). Pendapat tersebut bertentangan dengan penelitian Ochsner dan Gross (2005) dalam penelitian gambar fungsi syaraf (functional neuroimaging studies) menunjukan bahwa pada reappraisal system melibatkan interaksi antara daerah kontrol kognitif (korteks prefrontal, anterior cingulate) dengan emosi (amigdala), sehingga cognitive appraisal system dapat digunakan untuk mengatur emosi individu. Elemen kognitif merupakan prasyarat elemen afektif, meskipun elemen kognitif tidak selalu dapat diamati (Lazarus, 1993). Sehingga persepsi resiko mengacu pada kondisi situasi sekitarnya dan keyakinan atas ketidakpastian di masa mendatang (Ngo et al., 2013) serta evaluasi peluang terjadinya resiko (Sjöberg et al., 2004). Persepsi resiko donor darah dibedakan menjadi empat (Adam dan Soutar, 1999). Pertama, resiko ketidaknyamanan yang berkaitan dengan ketidaknyamanan lokasi dan proses donor darah (Groosman et al., 2005; Shaz et al., 2009; Yuan et al., 2011; Gillespie dan Hillyer, 2013), resiko kehilangan waktu, karena merasa waktu yang digunakan untuk donor darah terlalu lama (Nguyen et al., 2008; Yuan et al., 2009), lokasi donor darah jauh sehingga diperlukan pengorbanan menuju lokasi donor darah (Sjöberg et al., 2004), dan petugas tidak ramah dalam melayani donor darah (Marantidou, 2007; Aluja dan Sahuja, 2009). Resiko psikologis, berkaitan dengan perasaan sakit yang muncul pada donor darah, pusing (Shaz et al., 2009), takut darah (Marantidou, 2007; Aluja dan Sahuja, 2009), takut injeksi (Shaz et al., 2009), mau pingsan (Shaz et al., 2009), fisik menjadi lemah (Shashahani et al., 2006; Kasraian, 2010; Desai dan Satapara, 2014; Abderrahaman dan Saleh, 2014). Resiko kesehatan, merupakan persepsi resiko karena perasaan takut tertular penyakit (Marantidou, 2007; Shashahani et al., 2006; Abderrahaman dan Saleh, 2014), prosedur keamanan donor darah kurang baik (Adam & Soutar 1999), meragukan pemeriksaan kesehatan donor darah (Rodríguez & Hita, 2009), infeksi yang dihasilkan dari peralatan yang tidak memadai, lingkungan donor darah tidak sehat, pembuangan sampah donor darah tidak baik, terjadinya kesalahan dalam pencocokan golongan darah (Cen dan Ma, 2015). Dan yang terakhir adalah resiko sosial, yaitu adanya hambatan donor darah dari keluarga (Adam dan Soutar, 1999; Kumari dan Raina, 2015), teman, masyarakat dan agama (Adam dan Soutar, 1999). Meskipun persepsi resiko berbeda dengan actual risk (Lowe dan Ferguson, 2003; Ngo et al., 2013), tetapi berpengaruh dalam pengambilan keputusan (Ngo et al., 2013), karena individu cenderung menghindari risiko (Sjöberg et al., 2004; Menon et al., 2008), dan perilaku prososial berdasarkan perhitungan manfaat dan biaya yang diterima donor (Lyle et al., 2009). Slovic et al.(2005) mengidentifikasi bahwa resiko dan manfaat cenderung berkorelasi positif, karena kegiatan berisiko tinggi cenderung memiliki manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kegiatan berisiko rendah, misalnya undian berhadiah (Menon et al., 2008), tetapi resiko dan manfaat berkorelasi negatif dalam pikiran dan penilaian individu, karena resiko tinggi dikaitkan dengan manfaat yang rendah, dan sebaliknya (Slovic dan Peter, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian resiko melibatkan aspek evaluasi, jika dievaluasi menguntungkan maka dianggap beresiko rendah dan bermanfaat tinggi, dan sebaliknya, sehingga dalam prakteknya pertimbangan biaya dan manfaat berpengaruh pada keputusan perilaku prososial (Lyle et al., 2009). Jika manfaat lebih besar dari biaya, maka seseorang bersikap positif pada donor darah, jika manfaat lebih kecil dari biaya, maka bersikap negatif pada donor darah dan sikap netral seseorang terhadap donor darah terjadi jika manfaat sama besarnya dengan biaya yang harus ditanggung (Rodríguez & Hita, 2009). Pendapat tersebut sesuai dengan penelitian Adam dan Soutar (1999) yang mengidentifikasi bahwa persepsi resiko secara signifikan berpengaruh negatif pada sikap donor darah. Shashahani et al. (2006) dan Abderrahman dan Saleh (2014) mengidentifikasi bahwa resiko tertular penyakit dan perasaan fisik menjadi lemah setelah donor darah berpengaruh negatif pada sikap donor darah, sehingga jika persepsi resiko meningkat, maka sikap donor darah menurun. Maka berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, hipotesis penelitian pertama adalah. H1: Persepsi resiko berpengaruh negatif pada sikap donor darah. 2. Hubungan antara insentif dan sikap donor darah Insentif merupakan persepsi individu mengenai suatu imbalan tertentu baik materi maupun non materi (Buchan et al., 2000). Berdasarkan penelitian sebelummnya diketahui ketidakkonsistenan pengaruh insentif terhadap sikap donor darah. Mellström dan Johannesson (2008) menyatakan bahwa insentif mengakibatkan menurunnya donor darah altruistik, karena insentif dalam bentuk tunai dapat menurunkan niat donor darah (Lacetera dan Macis, 2009), karena dapat menurunkan nama baik donor (Benabou dan Tirole, 2005). Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Goette dan Stutzer (2008) yang menyatakan bahwa insentif yang selektif berpengaruh positif terhadap motif prososial, sehingga insentif dapat meningkatkan donor altruistik (Buciuniene et al., 2006; Rodríguez & Hita, 2009). Insentif dinilai sama pentingnya dengan altruisme dalam mempengaruhi niat donor darah (Yuan et al., 2011), bahkan jika insentif moneter dihapuskan, donor akan mengurangi frekuensi donor darah (Buciuniene et al., 2006). Karena insentif moneter dapat meningkatkan resiko menurunnya kualitas darah (Kasraian, 2010) dan resiko penularan penyakit (Desai dan Satapara, 2014) yang disebabkan donor tidak memberikan informasi adanya penyakit (Echevarria dan Garcia, 2014), maka untuk mengurangi resiko donor darah, insentif diberikan bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk pemeriksaan kesehatan (Niza et al., 2013, James et al., 2013), kartu lotre (Niza et al., 2013), tiket gratis nonton film (Yuan et al., 2011). Berbagai penelitian mengidentifikasi bahwa insentif berpengaruh positif pada donor darah. Insentif dalam bentuk kartu lotre meningkatkan sikap donor darah (Goette dan Stutzer, 2008; Lacetera dan Macis, 2009), donor bersikap positif terhadap insentif dalam bentuk tambahan hari libur kerja (Lacetera dan Macis, 2009), insentif dapat meningkatkan donor darah jika nama donor disamarkan (Goette et al., 2010), donor bersikap positif terhadap insentif finansial (Lacetera dan Macis, 2009; shi, 2011) tetapi bersikap negatif terhadap insentif dalam bentuk penghargaan (Shi, 2011), insentif dalam bentuk tes kesehatan Hb, kolesterol dan gula darah dapat meningkatkan donor darah karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan donor (Kasraian dan Maghsudlu, 2012). Penelitian terdahulu tersebut menunjukan bahwa insentif tidak terbukti berpengaruh negatif pada donor darah, karena pengaruh insentif terhadap donor darah tergantung kepada jenis insentif, moneter atau non moneter; tujuan donor darah, untuk kepentingan individu atau masyarakat; karakteristik donor, altruistik atau egois (Errea dan Cabases, 2013), dan norma sosial (Font. et.al., 2012). Maka hipotesis penelitian kedua adalah. H2: Insentif berpengaruh positif pada sikap donor darah 3. Hubungan antara sikap donor darah dan niat donor darah Sikap merupakan salah satu topik yang sering dipelajari dalam ilmu sosial dan tidak ada definisi yang berlaku secara universal (Chaiklin, 2011). Sikap memiliki hubungan dengan perilaku sosial (Wicker, 1969), karena sikap berperan penting dalam memprediksi perilaku (Ajzen, 2005). Sikap adalah disposisi yang bersifat positif atau negatif untuk menanggapi hal-hal yang bersifat evaluatif terhadap suatu obyek (Fishbein, 1963; Ajzen, 2005). Sikap berpengaruh dinamis terhadap perilaku karena sikap merupakan reaksi terhadap lingkungannya dan merupakan respon dari suatu obyek atau situasi (Jain, 2014) .Sikap tidak dapat dilihat dari karakteristik fisik, karena bersifat tersembunyi dan hanya dapat disimpulkan melalaui perilaku (Ajzen, 2005). Sikap tersusun atas komponen kognitif dan afektif (Fishbein, 1963; See et al., 2008). Komponen kognitif berkaitan dengan persepsi dan keyakinan terhadap obyek yang diperoleh dari pengetahuan dan informasi, misalnya untung dan rugi, sedangkan komponen afektif menggambarkan emosi dan perasaan terhadap obyek, misalnya rasa takut dan rasa sakit (See et al., 2008). Komponen kognitif merupakan prasyarat dari komponen afektif (Fishbein, 1963; Lazarus, 1993), karena komponen afektif merupakan merupakan evaluasi dari komponen kognitif (Fishbein, 1963). Individu yang memiliki komponen kognitif dan afektif yang tinggi, memberikan jawaban lebih cepat tentang keyakinan dan perasaannya dibandingkan dengan individu yang memiliki komponen kognitif dan afektif rendah (Huskinson dan Haddock, 2006). Komponen kognitif dan afektif mempengaruhi sikap pada produk minuman (Fabrigar dan Petty, 1999), mata kuliah statistik (Santilan et al., 2012), menghadapi bencana gempa bumi (Khalid et al., 2010), pembelian mobil (Jain, 2014), persepsi resiko kanker ovarium (Peipin, et al., 2015), website dan merk produk (Hwang et al., 2011), dan donor darah (Farley dan Stasson, 2005). Sikap dapat berpengaruh langsung terhadap perilaku jika sikap dan perilaku terdapat hubungan yang sangat erat dan berada pada tingkatan yang sama spesifikasinya. Sikap tertentu dapat menjadi prediktor perilaku tertentu dan tidak konsisten jika digunakan untuk memprediksi perilaku secara umum (Wicker, 1969). Hal ini dibuktikan dengan penelitian Fishbein dan Ajzen (1974) yang mengidentifikasi bahwa sikap umum beragama merupakan prediktor perilaku beragama secara umum, tetapi tidak konsisten untuk memprediksi perilaku beragama secara khusus, karena sikap mempengaruhi perilaku secara tidak langsung karena dimediasi oleh niat (Ajzen, 2005), hal itu sejalan dengan penelitian Bagozii (1981), Adam dan Soutar (1999), dan Giles et al. (2004) yang mengidentifikasi bahwa sikap donor darah sercara signifikan berpengaruh positif terhadap niat donor darah dan berpengaruh tidak langsung pada perilaku donor darah karena dimediasi oleh niat donor darah, sehingga semakin positif sikap donor darah, maka semakin tinggi niat donor darah. Maka berdasarkan penelitian sebelumnya, hipotesis penelitian yang ketiga adalah. H3: sikap donor darah berpengaruh positif pada niat donor darah. 4. Hubungan antara altruisme dengan persepsi resiko dan sikap donor darah Altruisme adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu orang lain dan bukan untuk kepentingan pribadinya (Hoffman, 1978). Berdasarkan penelitian terdahulu diidentifikasi bahwa altruisme merupakan alasan utama melakukan donor darah (Wells dan Christenberry, 2002). Tetapi hal tersebut bertentangan dengan Andreoni (1989) yang menyatakan bahwa donor darah lebih dipengaruhi oleh tekanan sosial, rasa bersalah, simpati dan motif memperoleh keuntungan emosional dibandingkan dengan motif altruisme. Ferguson et al. (2012) menyatakan bahwa motif donor darah adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi yang dikombinasikan dengan motif membantu orang lain, dan donor darah lebih dipengaruhi kepribadian dibanding motif altruism (Ferguson et al., 2007), hal tersebut menunjukan bahwa kepribadian mempengaruhi tingkat altruisme individu (Oda et al., 2014) Dalam penelitian lainnya, menyatakan bahwa faktor genetika dan lingkungan berpengaruh sama kuat terhadap perilaku prososial. Perilaku prososial berdasarkan faktor genetika menurut memiliki karakteristik tergantung pada keeratan hubungan antara donor dengan resipien, manfaat bagi resipien, resiko yang dihadapi donor serta kondisi lingkungan yang menyertainya. Kekuatan hubungan antara variabel kepribadian dengan perilaku prososial dipengaruhi oleh daya tarik situasi lingkungan, jika situasi lingkungan berpengaruh kuat maka lingkungan lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku, tetapi jika siatuasi lingkungan lemah maka kepribadian lebih dominan dalam mempengaruhi perilaku prososial (Carlo, 1991). Sehingga perilaku prososial dipengaruhi perbedaan waktu dan situasi (Bierhoff dan Rohmann, 2004; Otto dan Bolle, 2011) dan ciri-ciri kepribadian (Penner et al.,2005) oleh karena itu, altruisme juga dapat terjadi dalam lingkungan keluarga. Niat orang tua untuk mengurangi resiko kesehatan terhadap anaknya merupakan bentuk altruisme dan berpengaruh terhadap keputusan alokasi belanja rumah tangga. Orang tua akan akan meningkatkan belanja produk yang berfungsi menurunkan resiko kesehatan anaknya (Cai et al., 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Dickie dan Gerking (2007) yang mengidentifikasi bahwa orang tua melakukan pembelian lotion pelindung cahaya matahari untuk mengurangi resiko kanker kulit anaknya. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2008) yang menguji tingkat kepekaan orang tua terhadap bahaya yang dihadapi anaknya, juga menunjukan bahwa orang tua meningkatkan pengeluaran belanja keluarga dengan membeli peralatan pengolahan air minum untuk melindungi anaknya dari racun. Penelitian terdahulu tersebut menunjukan bahwa perilaku altruisme meningkat ketika lingkungannya berada dalam situasi yang dipersepsikan beresiko tinggi. Maka berdasarkan penelitian sebelumnya, hipotesisi penelitian keempat adalah. H4: Altruisme memoderasi pengaruh persepsi resiko pada sikap donor darah 5. Hubungan antara altruisme dengan insentif dan sikap donor darah Seseorang berkepribadian altruistik memiliki kepedulian pada permasalahan orang lain, sehingga seseorang yang memiliki ciri-ciri kepribadian altruistik memiliki kemampuan mengenali keadaan emosional orang lain (Haas et al., 2015), memiliki tanggung jawab sosial dan empati yang tinggi (Bierhoff dan Rohmann, 2004), sehingga perilaku prososial melekat pada orang yang memiliki kepribadian altruistik. Karakter kepribadian donor berbeda dengan donor lainnya dan dipengaruhi oleh keeratan hubungan antara donor dengan resipien (Rushton, 2004; Carlo et al., 1991; Záškodná, 2010, 2010; Bierhoff dan Rohmann, 2004; Guzman et al., 2013; Oda et al., 2014). Kepribadian merupakan pondasi dari pikiran dan perasaan yang mempengaruhi preferensi (Hill et al., 2014) dan keyakinan seseorang (Guzman et al., 2013). Menurut Guzman et al. (2013) preferensi dan keyakinan menggambarkan kepribadian seseorang dalam menanggapi insentif dalam perilaku prososial. Perilaku prososial secara konsep ekonomi menurut Záškodná (2010) berdasarkan pada kalkulasi untung rugi, sehingga perilaku sosial akan meningkat jika keuntungan lebih besar dari biaya. Berdasarkan penelitian sebelumnya dapat diindikasikan bahwa kepribadian altruistik meningkatkan pengaruh insentif terhadap sikap prososial, sehingga hipotesisi penelitian kelima adalah. H5: Altruisme memoderasi pengaruh insentif pada sikap donor darah 6. Hubungan antara altruisme dengan sikap donor darah dan niat donor darah Altruisme merupakan tindakan untuk membantu orang lain yang dipengaruhi oleh personal norm dan merupakan kewajiban moral untuk melakukan atau tidak melakukan sutau tindakan tertentu (Schwartz dan Howard, 1981). Personal norm dipengaruhi oleh empat situasi (Steg dan Groot, 2010) pertama adalah sejauh mana donor menyadari konsekuensi postif atau negatif dari tindakan prososial yang dilakukan, adanya perasaan bertanggung jawab atas dampak negatif yang terjadi jika perilaku prososial tidak dilakukan, identifikasi tindakan untuk meringankan beban orang lain dan yang terakhir adalah mengetahui kemampuan diri sendiri dalam melakukan tindakan prososial. Berdasarkan penelitian Fishbein dan Ajzen (1970) diidentifikasi bahwa altruisme dapat berperan sebagai variabel moderasi dengan melakukan manipulasi terhadap niat berperilaku pada suatu permainan dengan tujuan berbeda. Ketika tujuan permainan adalah untuk memperoleh nilai individu tertinggi maka akan meningkatkan niat individu untuk memperoleh nilai tertinggi. Tetapi jika penilaian berdasarkan kelompok, maka sikap untuk memperoleh nilai tertinggi tidak berpengaruh signifikan pada niat memperoleh nilai tertinggi, tetapi meningkatkan pengaruh norma subyektif pada sikap memperoleh nilai tertinggi yaitu meningkatnya harapan pasangan bermainnya untuk mendapatkan nilai tertinggi. Berdasarkan penelitian sebelumnya diindikasikan bahwa altruisme dapat berperan sebagai variabel moderator karena dapat meningkatkan atau menurunkan pengaruh sikap seseorang terhadap niat berperilaku. Sehingga, hipotesis penelitian keenam adalah. H6: Altruisme memoderasi pengaruh sikap donor darah pada niat donor darah A. Model Penelitian Model penelitian merupakan hubungan beberapa faktor penting yang telah diidentifikasi berdasarkan teori untuk menjawab permasalahan penelitian (Sekaran dan Bougie, 2013). Gambar 2.1 Model Penelitian Persepsi Resiko H1 Sikap Donor Darah H2 H3 Niat Donor Darah Insentif H4, H5, H6 Altruisme Sumber : Modifikasi Model Penelitian Perilaku Donor Darah Adam dan Soutar (1999), Slovic et al., 2005, Errea dan Cabases, 2013, Evans dan Ferguson, 2014 Model penelitian ini merupakan modifikasi dari beberapa penelitan. Penelitian perilaku donor darah yang dilakukan oleh Adam dan Soutar (1999) menggunakan sikap sebagai variabel mediasi dan knowledge, value dan perceived risk sebagai variabel independen. Pada penelitian ini variabel knowledge dan value dihilangkan karena, knowledge merupakan variabel yang menjelaskan mengenai informasi yang dimiliki dan dipahami oleh donor yang berpengaruh pada perceived risk dan perilaku donor darah. Knowledge dalam penelitian ini direfleksikan oleh variabel persepsi resiko dan insentif karena knowledge seseorang terhadap donor darah berpengaruh pada persepsi resiko dan manfaat yang diterima. Persepsi resiko individu cenderung berdasarkan faktor-faktor subyektif seperti rasa takut munculnya kerugian (Slovic et al., 2005; Ngo et al., 2013), kemampuan individu mengontrol resiko (Ngo et al., 2013), dan perhatian individu terhadap konsekuensi kerugian (Sjöberg et al., 2004) yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, nilai, sikap dan perasaan (Wachinger & Renn, 2010) yang belum tentu benar (Slovic et al., 2005). Insentif merupakan persepsi individu mengenai suatu imbalan tertentu baik materi maupun non materi (Buchan et al., 2000). Pengaruh insentif terhadap donor darah tergantung kepada jenis insentif, moneter atau non moneter; tujuan donor darah, untuk kepentingan individu atau masyarakat; karakteristik donor, altruistik atau egois (Errea dan Cabases, 2013), dan norma sosial (Font. et.al., 2012). Berdasarkan justifikasi penelitian awal diidentifikasi bahwa insentif menjadi salah satu variabel yang secara positif berpengaruh pada sikap donor darah. Value pada penelitian Adam dan Soutar (1999) diindikasikan sebagai rasa bahagia dan gembira melakukan donor darah yang merupakan keuntungan emosional donor. Variabel value dalam penelitian ini dihilangkan karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari perilaku altruisme (Evans dan Ferguson, 2014) karena perilaku altruisme seseorang salah satunya karena motif untuk memperoleh keuntungan emosional, rasa bahagia telah menolong orang lain (warm glow altruism). Dalam penelitian ini altruisme digunakan sebagai variabel moderator karena altruisme merupakan bagian dari kepribadian, sehingga perilaku altruisme perilaku seseorang tergantung pada kepribadian seseorang yang kemungkinan berbeda setiap orang. Perbedaan altruisme setiap orang diduga akan berpengaruh pada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan hipotesis dan hubungan antar variabel penelitian, maka dapat dibuat model penelitian yang menjelaskan hubungan antara, persepsi resiko, insentif, altruisme, sikap donor darah dan niat donor darah, seperti pada gambar 2.1. Model penelitian ini menjelaskan pengaruh persepsi resiko pada sikap donor darah (H1), pengaruh insentif pada sikap donor darah (H2), pengaruh sikap donor pada niat donor darah (H3),altruisme memoderasi pengaruh persepsi resiko pada sikap donor darah (H4), altruisme memoderasi pengaruh insentif pada sikap donor darah (H5) dan altruisme memoderasi sikap pada niat donor darah (H6).