Analisis Keragaman Genetik Phytophtora palmivora Penyebab

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Phytophthora palmivora (Butler) Butler (1 9 19)
Sinonim Pl~ytophthorupulnrivoru meliputi P. omnivom de Bary ( I 88 1 ),
Pyflzium pultnivorum Butler ( 1 9071, P. fuberi Maublanc ( 19091, P. fheobromut.
Coleman (1 9 101, Kuwukumiu curicu b r a (1 9 15), P. Jici Hori ( 19151, P. curica Hara
(1 9 1 6), P. paImivora var. pperis Muller ( 1936), clan P.palmivora var. tl~eobrclmuc.
(Coleman) Orellana (1959) (Holliday 1980; Erwin dan Ribeiro 1996). Dalam
klasifikasi, P. pulmivom terrnasuk FamiIi Pythiaceae, Orde Peronosporales, KeIas
Oomycetes, Phylum Oomycota dm Kingdom Chromista (Hawksworth et al. 1995;
Alexopoulos e i al. 1996).
Cendawan P. pulmivom &pat tumbuh baik pada media standar seperti
cornmeal agar, carrot ugur, lima bean ugur, dan V8 juice ugur pada suhu optimum
27-28°C (Drenth dan Sendall 200 1 ). Miselia turnbuh interseluler clan membentuk
haustoria di dalam sel tanaman inangnya. MiseIia benvarna putih, tidak bersekat dan
tumbuh baik pada 25-30°C (Siturnorang 1983). Menurut Milndkur (1 96 1 ) cendawan
ini mernbentuk miselia yang bercabang clan tidak bersekat ketika muda, dan
membentuk sekat pada hifa yang sudah tua yaitu pada saat pembentukan organ
reprodukti f.
Pada buah kakao cendaivan dapat membentuk sporangia (zoosporangia),
berbentuk buah per, dengan ukuran 30-60 x 20-53 pm. Sporangia dapat berkecambah
secara langsung dengan membentuk pernbuluh kecambah, tetapi dapat j uga
8
berkecambah secara tidak langsung dengan rnembentuk zoospora atau spom kernbara
yang dapat berenang. Cendawan dapat membentuk klamidospora yang bulat, dengan
garis tengah 3040 pm (Erwin dm Ribeiro 1996).
Cendawan P. palmivoru bersifat heterotalik, membentuk oogonia dan anteredia
secara alami atau buatan apabila strain-strain yang mernpunyai tipe kawin A ? dan A2
berpasangan dan peteburan kedua tipe kawin tersebut menghasi1kan oospora (Brassier
dan Maddison 198 1). Dewasa ini di seluruh dunia dikenal adanya dua tipe kawin P.
pulmivora yaitu A1 dan A2.
Di Jawa dikenal tipe kawin A2 yang berasal dari
tanaman inang lain bukan kakao (Cutlelya sp, dan Vanda sp.) (Zentmyer 1974).
Secara in vitro, oospora dibentuk pada suhu rendah f20°C) dalam keadaan gelap clan
nutn'si yang sesuai. Pada keadaan alami, oospora dibentuk pa& jaringan berkayu atau
sisa-sisa tanaman yang terhindar dari cahaya. Oogonia buiat (21-40' pm), dibentuk
secara lateral atau terminal, berdinding tipis dan tidak berwarna waktu masih muda.
Sebaliknya jika su&h matang, oogonia akan berdinding tebal dan b e m a coklat
keemasan. Anteridia am figenus dan persisten, 1 0- 15 x 1 0- 1 7 y m juga dibentuk secara
lateral atau terminal, berdinding tipis dan tidak benvarna. Oospora berbentuk bulat,
berdinding tipis atau tebal, dengan garis tengah 16-30 pm tidak berwarna pada waktu
muda tetapi akan krwama kuning hingga coklat keemasan apabila telah matang
(Erwin dan Ribeiro 1996).
Di beberapa negara penghasil kakao di Afrika Barat diketahui adanya spesies
Phyfophihoru lain yang dapat menyebabkan penyakit busuk buah, yaitu P. megakurycl
Brasier dan Griffin (Brasier dan Griffin 1 979). Di beberapa negara penghasil kakao di
I0
pengaruhnya terjadi secara tidak langsung melalui kebasahan permukaan buah dan
kelembaban. P e w suhu terjadi S a r a tidak langsung melalui kelembaban nisbi
udara dan kebasahan permukaan buah. Makin rendah suhy rnakin tinggi kelembaban
nisbi udara dan makin lama pula bertahannya kebasahan pada permukaan buah.
PeIepasan clan perkecambahan zoospora terjah pada suhu 15 sampai dengan 30°C,
sedangkan infeksi @a buah kakao terjadi pada suhu 20 sampai dengan 30°C.
PeIepasan, perkecambahan, dan infeksi memerl ukan adanya air bebas minimum
selama 3-4 jam (Purwantara I 990).
Teknik budidaya tanaman, antara lain pemangkasan, kerapatan tanaman,
pemberian mu1sa, drainasi, pemupukan, dan pernungutan hasil sangat rnempengaruhi
perkembangan penyakit. Lapisan mulsa yang ada di sekitar pangkal batang akan
mencegah terjadinya percikan air yang membawa tanah yang terinfestasi cendawan.
Juga adanya mulsa ini akan meningkatkan kegiatan jasad-j asad renik saprofit yang
bersifat antagonisti k terhadap 1'. pulmivora.
Ada beberapa cendawan antagonis
terhadap P. pultnivuru y aitu Suillus luteus, /,uciuriu,s delic,to.~us,/,encopwillu.v
cerealis var picein, Asprgi//u.s iumari, A. gigunteur., Penicillium purpurecens dan
Botryodiplodiu ~laeohromue. Di samping cendawan diketahui juga bakteri yang dapat
menghambat perkem bangan 1'. pulmivom yai tu Pseudomonas uerzrginosu, Buc~llzrs
cereus dan B. subfrli.~
(Sukarnto 1995 ). Busuk buah Iebi h banyak terdapat pada pohon
yang le bat buahnya. Sering di katakan penyaki t busuk buah berbanding 1urus dengan
jumlah buah dm dengan curah hujan (Sernangun 2000).
11
Kakao dari kelompok CrioIlo sangat rentan terhadap busuk buah. KeIornpok
Forastero mempunyai ketahanan yang lebih tinggi. Trinitario, merupakan hi brida dari
Criollo dan Forastero mempunyai ketahanan yang bervariasi. Sukarnto dan Mawardi
(1986) melaporkan bahwa klon DRI rentan; klon DR2, DR38 dan GC7 agak rentan;
klon DRC9 dan SCA89 agak tahan; sedangkan klon SCA6, SCAl2, ICS6 dan DRC 16
tahan terhadap serangan P. paIm~vorapenyebab penyakit busuk buah kakao.
Viru lensi Phytophtlrora pulmrmrvora
Virulensi adalah tingkat kemampuan suatu patogen untuk menimbulkan
pen yakit atau tingkat patogenisitas dari suatu patogen.
Sedangkan patogeni sitas
berarti kemampuan relati f dari suatu patogen unhk menimbulkan penyakit (Talboys et
al. 1973; Shurtleff dan Averre I11 1997). Isolat P. palmivnru dari berbagai bagian
tanaman kakao dan dari tanah rnampu menimbulkan penyakit busuk buah dan kanker
batang pada kakao. Virulensi isolat P. pulmivoru yang diambiI dari berbagai bagian
tanaman kakao dari dua kebun di Jawa Barat tidak berbeda. Virulensi tidak dapat
digunakan sebagai penanda untuk menentukan keragaman genetik P. pulmivoru
(Purwantara 200 1).
Motulo (2000) melaporkan bahwa isolat-isolat P. pu/mivuru yang berasosiasi
dengan penyakit gugur buah pada tanaman kelapa mempunvai keragaman genetik
yang tinggi. Isolat yang berasaI dari lokasi yang sama tidak selalu menunjukkan
hubungan kekerabatan yang dekat dan isolat yang berasai dari lokasi yang berbeda
juga tidak selalu menunjukkan hubungan kekerabatan yang jauh. Patogenisitas isolat-
isolat P. palmivora pada setiap kdtivar kelapa berbeda.
Hasil penelitian Kasim dan Prayitno (1980) membuktikan bahwa isoIat-isolat
P. cupsici (sebelurnnya dikenal sebagai P. pulmivora) penyebab penyakit busuk
pangkal batang pa& tanaman lada di Lampung Utara, Larnpung Selatan, dan Bangka
berbeda-beda dalam morfologi dan virulensinya. Isolat dari Lampung, khususnya
Lampung Selatan mempunyai virulensi yang lebih tinggi dari pada isoIat dari Bangka.
Beberapa isolai P. pulmivora yang berasal dari kakao mernpunyai tingkat
patogenisitas yang tinggi pada buah kabo bila dibandingkan dengan isolat asal
kelapa, lada dan vani ti. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan diameter bercak
pada permukaan kulit buah dan jaringan di b a d permukaan kulit buah kakao
(Hendrawati 1 997). Ruzelfin ( 1989) j uga melaporkan bahwa cendawan P. puimivora
asztl
busuk buah kakao, busuk bidang sadapan karet, dan gugur buah kelapa hibrida PB
12 1 menyebabkan gejala bercak pada kulit buah kakao dengan patogenisitas isoIat asal
kakao lebih tinggi dibandingkan isolat asal karet dan kelapa, sedangkan isolat asal lada
tidak rnenunjukkan sifat patogenisitas (tidak mampu menimbulkan gejala) pa& buah
kakao. Dengan demi kian tanaman karet dan kelapa hibrida PB 1 2 1 yang terserang P.
palmiv~rudapat merupakan sumber i nokulurn bag] tanaman kakao.
Mekanisme Keragaman pada Cendawan
Pada cendawan ras-ras b m dapat terjadi meldui beberapa proses, yaitu
mutasi, hibridisasi seksual, heterokariosis, rekombinasi paraseksual dan adaptasi
(Brown 1980; Semangun I 996; Agrios 1997).
Mutasi adaIah perubahan secara mendadak pada sifat genetik yang terjadi
karena adanya perubahan pada satu basa atau Iebih pada untaian nukleotida. Pada
kebanyakan mutasi, perubahan terjadi pada gen individual, meskipun kadang-kadang
juga karena a&nya perubahan pada krornosom DNA (Agrios 1997).
Frekuensi
mutasi dapat meningkat karena adanya agensia fisik maupun kirniawi.
Hibridisasi s e k s d terjadi karena rekombinasi gen sebagai akibat percampuran
secara acak kromosom cendawan i nduk dan j uga karena terjadi nya crossing-over
selama meiosis. Sebagai akibatnya genotipe koloni keturunannya berbeda dengan
genotipe induknya. Diperkirakan bahwa banyak ras baru cendawan patogen timbul
karena hibridisasi seksual ini (Brown 1 980; Agrios 1 997).
Heterokariosis terjadi karena sel cendawan mengandung dm atau Iebi h inti
yang berbeda secara genetik. Keadaan heterokariotik ini dapat terjadi karena beberapa
cara anbra lain ( I ) terjadinya fusi atau anastomosis hifa-hifa yang rnenyebabkan
tercarnpurnya inti yang berbeda ke dalam suatil miselium, dan (2) te jadinya mutasi
pada hi fa homokariotik karena adanya inti mutan yang dapat bertahan di antara intiinti lama. Diperkirakan bahwa heterokariosis merupakan mekanisme variasi yang
penting pa& cendawan Phyfophfhorakarena fase di kariotik merupakan bagian besar
dari daur hidupnya (Semangun 1996; Agnos 1997).
Rekombinasi paraseksual terjadi b i h gen-gen rnengadakan rekombinasi di Iuar
daur seksual. Rincian daur ini belum banyak diketahui, namun agaknya daur ini
melewati I ima langkah penting: ( I ) pembentukan rniseliurn heterokariotik clan
tejadinya fusi antara dua inti haploid yang berbeda untuk menjadi inti diploid; (2) Inti
dpIoid ini harm dapat memperbanyak diri bersama-sama dengan inti haploid
induknya. Dengan demikian miselium mengandung tiga tipe inti, dua inti haploid
yang berbeda dan inti diploid; (3) Berkembangnya miseli~m diploid yang
menghasilkan strain cendawan diploid; (4) Terjadmya crossing-over mitotik yang
menyebabkan terjadmya rekombinasi gen pada kromosom ddam inti diploid; dan (5)
Terjadtnya haploidisasi vegetatif, kromosom yang mengandung gen rekombinasi
terdapat dalam inti haploid (Semmgun 1996; Agrios 1997).
Adaptasi sebagai suatu m e h i s m e keragaman pada cendawan, walaupun agak
sul i t dibuktikan &lam percobam. Beberapa cendawan patogen dapat beradaptasi
terhadap lingkungan tertentu karena memproduksi enzim-enzim adaptif. Adaptasi
nampaknya merupakan h a i l seleksi dari strain-strain mutan yang mempunyai
keuntungan kompetitif untuk keragaman (Brown 1980).
Marker Molekuler
Potensi penggunaan marker sebagai dat untuk rnelakukan karakterisasi genetik
dalam program pemuliaan telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Marker bisa
dikatagorikan sebagai marker morfologi, sitologi, dan yang terbaru adalah marker
molekule: (Moritz dan HiIlis 1996; Sessions 1996). Dalam mempelajari penyakit
tanaman, virulensi merupakan marker yang paling banyak digunakan (Puwan&ra
2001). .
Marker rnorfologi merupakan marker yang telah banyak digunakan, baik
da1am program mendasar genetika maupun dalam program praktis pemuliaan tanarnan
karena marker ini dapat dengan mudah diarnati, seperti warna bunga, warm batang,
warna kulit biji, bentuk biji, clan sebagainya. Narnun marker ini rnemililu kelernahan
karena &pat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, memperlihatkan sifat menurun
dominankesesif, dm mempunyai tingkat keragaman (polimorfisme) rendah atau
jumlah yang sedikit (Tanksley et a/. 1989). Marker sitolog adalah marker yang
berhubunp dengan kromosom. Contoh marker sitologi yang telah dipergmakcin di
daIam membantu pernuliaan tanaman adalah jurnlah kromosom, ukuran kromosom
dan morfologi set kromosorn (Sessions 1996).
Pada
saat
ini, kemajuan ddam bidang biologi berkembang sangat pesat.
Biologi molekuler merupakan salah satu cabang ilmu yang mernpelajari organisme
pada tingkat DNA. Teknik di bidang biologi molekuler sangat membantu pemulia
tanaman daiam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat. Untuk
mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan analisis dengan menggunetkan marker
molekuler, seperti isozym, RFLP (restrictionfragment length po(vmorphism), RAPD
(randomly amplfled pobmorphic DNA), AFLP (ampdifled fragment
length
polymorphism),dan yang Iainnya (Kongluatngam et 02. 1995; Powell et 01. 1996; Karp
dan Edwards 1997).
Marker rnolekuler &pat rnemberi gambaran yang cukup t inggi tentang
perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun dengan kerabat
jauhnya. Menurut Tanskley (1983) marker molekuler dapat mendeteksi variasi
genetik pada tingkat jaringan atau seluler, dm polimorfisrnenya tidak dipengaruhi oleh
lingkungan. Marker molekuler yang pertam dan yang paling sederhana dikenal
dengan penanda protein yang lazim disebut isozyrn. Polimorfisme protein dideteksi
dengan cara eIektroforesis, dan perbedaan yang terdeteksi antar ale1 bergantung pada
pergantian asam-asam amino yang berrnuatan. Untuk pencirian dan analisis gen yang
jumIahnya beragam, aplikasi marker isozym mem punyai keterbatasan karena jumlah
lokus yang bisa digunakan terbatas (Murphy el al. 1996j.
Perkembangan dan penggunaan marker RFLP relatif baru dibandingkan
dengan isozim, meskipun demikian prinsip interpretasi anal isis genetik dari isozyrn
sama dengan RFLP. Akhir-akhir ini RFLP mendapat perhatian yang Iebih besar dari
pakar genetika molekuler dart pemulia tanaman.
Hal ini karena RFLP dapat
mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang lebih banyak antar individu-individu
dibandingkan i s o w . Marker RFLP mendasarkan pada perbedaan &lam ukuran
fragmen DNA nukleus (kromosom), organel, atau total DNA yang dihasilkan dari
pernotongan dengan enzim restriksi. Individu-individu yang mempunyai perbedaan
sekuen DNA akan mempunyai perbedaan distribusi dan situs restriksi untuk suatu
enzim restriksi. Fragmen DNA hasil restriksi dipimhkan menurut ukuran berat
molekul pada gel elektroforesis, kernudian dipindahkan ke mernbran niIon dan
dihibridisasi dengan pelacak DNNprobe. Polimorfisme &an terjadi bi la pola hibrida
17
DNA yang terbentuk p d a membran nilon yang dihibridisasi dengan suatu probe
berbeda antar individu yang diuji (McCouch dan Tanskley 1991).
Semenjak diperkenalkm oleh Williams et al. (1990), teknik RAPD menjadi
salah satu cara yang banyak digunakan untuk krbagai penelitian di bidang biologi
molekuler. Dibandingkan dengan RFLP, teknik ini lebih sederhana karena DNA tidak
perlu lpotong dengan enzim resbiksi, sampei DNA yang diperIukan relatif sedikit,
tidak memerlukan pemindahan DNA ke membran nilon, tidak memerlukan hibridisasi
DNA, clan ti&
memerlukan prosedur labeling. Telmik RAPD mendasarkan pada
amplifikasi DNA secara in vitro dengan PCR (polymerase chain reaction), yaitu
dengan rnengatur variasi suhu pada mesin PCR selarna pengulangan siklus denaturasi,
pertautan primer, dan perpanjangan pita DNA dengan bantuan enzirn Tag DNA
polirnerase. Teknik ini memerlukan primer yang panjangnya 10 basa untuk segrnen
pemula dalam pembentukan fragmen tertentu dari DNA (Nair 1 993 ).
Di bandingkan dengan
te kni k
RFLP, RAPD mempunyai beberapa kemudahan
yaitu; pengetahuan latar klakang genom ti&
diperlukan, hasil RAPD dapat
diperoleh secara cepat ji ka dibandingkan dengan analisis RFLP yang memerlukan
banyak tahapan dan beberapa jenis primer arbitrari dapat dibeli dan digunakan untuk
analisis genom semua jenis organisme, sedangkan keterbatasannya adalah sangat
sensitif terhadap kondisi reaksi dan profil suhu (Williams el ul. 1990; Vos er a/. 1995).
Di samping itu marker RAPD bersifat dominan, yaitu dalam populasi yang
bersegregasi, individu yhqg homozigot dengan individu yang heterozigot tidak dapat
dibedakan dengan menggunakan marker RAPD karena baik individu yang homozigot
18
atau yang heterozigot akan sama-sama memberikan hasil pita DNA untuk suatu
marker RAPD tertentu (Ronning et al. 1995).
Teknik AFLP merupakan penggabungan dari RFLP clan RAPD, yang
mendasarkan pada amplifikasi PCR selektif fragmen restriksi dari pernotongan total
DNA genomik. Teknik ini meliputi tiga tahapan yaitu restriksi DNA dan ligasi
adapter oligonukleoti& amplifikasi selektif set fragmen restriksi dan malisis gel dari
fragmen restriksi. Dengan rnenggunakan tekni k ini informasi genetik yang didapatkan
lebih akurat, narnun pelaksanaannya lebih sulit dan memerlukan biaya yang tinggi
(Vos et al, 1995).
Download