BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan gagasan iman beserta nilai-nilainya sehingga dapat diterima dan dihayati umat di dalam kehidupan yang berakar pada kebudayaannya, yaitu budaya Jawa. Akar yang telah menguat secara mapan pada warisan pandangan dan tradisi GKN membuat liturgi GKJ sulit tersentuh dan menyentuh doktrin GKJ masa kini maupun kenyataan dunia kehidupan umat yang menjadi bagian masyarakat yang dibentuk oleh budaya Jawa. Sulitnya persentuhanpersentuhan itu tercermin dalam pandangan dan sikap GKJ terhadap wujudwujud kebudayaan dan tradisi-tradisi Jawa di masa lalu dan di masa kini yang masih kurang tegas. Kurangnya ketegasan GKJ terhadap kebudayaan Jawa tersebut tercermin dari akta-akta keputusan persidangan sinode GKJ dari awal sampai sekarang. Dari anggapan belum memiliki nilai-nilai Kristiani atas gamelan dan tembang di masa lalu sampai upaya dan proses keterbukaan melalui banyaknya wacana dan kajian budaya Jawa maupun perubahan 179 masyarakat saat ini, namun semua itu belum memunculkan pandangan mendasar dan resmi berupa rumusan yang dapat diacu umat. Kata lain bagi keberadaan liturgi GKJ di atas adalah kurangnya kreatifitas dalam mempergunakan sejarah warisan iman untuk melakukan kontekstualisasi liturgi yang memberi kemampuan Gereja untuk melakukan perjumpaan dan penyampaian Injil Kristus dengan konteks kehidupan dan kebudayaan masyarakat Jawa yang menjadi dunia pijakan umatnya sendiri. Selain kuatnya warisan pandangan dan tradisi Gereja Calvinis Belanda, keterbatasan dasar pengembangan bersifat praktis dalam bahasa dan kejenuhan yang ditunjukkan melalui partisipasi teknis, penyusunan nyanyian puji-pujian popular, KKR, memperlihatkan liturgi GKJ tidak mengakar dan kurang memiliki kekuatan dalam penghayatan iman umat. Ketidakjelasan pijakan aksi dan refleksi dalam liturgi GKJ menempatkan tata peribadahan itu sebagai liturgi yang belum kontekstual dan sulit memunculkan perubahan bagi umat maupun masyarakat di segala bidang kehidupan sebagai pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dan menikmati penyelamatanNya. Akhirnya sebagai temuan penting dari kajian ini adalah meskipun liturgi GKJ merupakan liturgi yang berasal dari benih Gereja Calvinis Belanda, tetapi pandangan teologis GKJ masa kini tetang liturgi memiliki hakikat makna sejajar dengan pemahaman ritual keagamaaan dalam tradisi yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Jawa. Liturgi adalah sarana untuk mewujudkan ibadah dalam perbuatan hidup sehari-hari, sekaligus 180 untuk menyatakan pertemuan umat dengan Allah yang memberi anugerah penyelamatan dan manusia menanggapinya. Inilah yang dapat menjadi harapan untuk pengembangan liturgi GKJ yang membumi. 5.2. Refleksi Kesulitan suatu kepercayaan iman tidak hanya terletak pada persoalan mempertahankan nilai-nilai kebenaran mendasar yang diyakini, tetapi juga persoalan bagaimana nilai-nilai itu dapat diterima sehingga lestari, bahkan mampu membuat pembaruan serta perubahan berwujud nyata di tengah konteks kehidupan umat dan memberi jatidiri yang khas serta relevan dengan konteks masyarakatnya. Demikian pula Kekristenan GKJ di dalam meng-emban visi penyelamatan Allah, beserta missi menghadirkan Kerajaan Allah melalui liturgi di tengah konteks umat yang berakar pada budaya Jawa sebagai pembentuk kepribadian sekaligus jiwa mereka. Dengan kesatuan arah manfaat liturgi ke dalam dan ke luar berupa pemeliharaan kasih karunia keselamatan Allah di tengah perhimpunan umat maupun kesaksian Injil bagi semesta kehidupan (Markus 16:15), telaah data tentang liturgi GKJ dengan kajian teologi kontekstual berdasarkan budaya Jawa kiranya semakin memperluas pandangan GKJ dalam terang misteri penjelmaan Sang Sabda (Yohanes 1:14), sehingga mampu memandang segenap sisi hakiki kehidupan setiap umat manusia sebagai anugerah mulia dalam kehendak agung Tuhan dan berani menggunakannya supaya semua orang di muka bumi mendengar, menerima, serta menikmati Injil Kristus. 181 Karya Sadrach merupakan salah satu dari upaya para penegak tonggak Kekristenan ala Jawa. Yang dilakukannya bukan satu-satunya dan bukan hanya baru ada di era masa kini saja. Seperti dikatakan oleh Chupungco, persoalan liturgi Kristen dan penyesuaiannya terhadap budaya dimulai oleh Yesus Kristus di tengah bangsa di mana Dia hadir. Penyesuaian itu terus terjadi hingga sekarang dengan beragam bentuk. Seperti liturgi GKN yang diacu oleh GKJ, bentuknya berbeda dengan liturgi di masa Yesus Kristus ataupun para Rasul. Karenanya, kenyataan liturgi yang kontekstual itu tentu tidak bisa disangkal dan menjadi kemestian bagi GKJ pula. Dengan keterbatasan yang dimiliki liturgi GKJ bukan berarti tata peribadahan itu tidak memiliki peran pada kelangsungan keberadaan umat. Meskipun tradisi Gereja Calvinis Belanda masih sangat terasa dalam liturgi GKJ, tetapi hingga sekarang melaluinya paling tidak Kekristenan umat GKJ telah tertopang. Bagaimanapun tradisi peribadahan GKN yang diturunkan kepada GKJ itu menjadikan sekumpulan umat tersebut mengenal Injil Kristus. Namun mengingat tujuan penting Injil Kristus itu sendiri maka perlu sikap kritis agar liturgi GKJ bisa dihayati dan mengakar dalam dasardasar kehidupan umat di tengah masyarakatnya. Setiap liturgi Kristen harus didasarkan pada Injil sebagai inti gagasan dan nilai-nilai penting yang harus tetap terjaga. Tetapi seperti dikatakan oleh Chupungco pula bahwa, Injil tidak boleh dikaburkan oleh suatu ajaran yang sesungguhnya menggambarkan cara pandang dan cara pengungkapan kalangan tertentu dengan berbagai latar belakang situasi dan kondisi di 182 tengah sejarah maupun budaya mereka. Artinya, meskipun suatu ajaran penting, tetapi tidak boleh mengungkung Injil yang menjangkau semua orang. Suatu ajaran dapat dipandang sebagai bungkus supaya bisa diterima oleh orang-orang yang yang memiliki kemasan itu. Karenanya, supaya dapat menjangkau segenap umat manusia, maka Injil harus senantiasa dibebaskan dari bungkusnya agar dapat memberi terang penafsiran dan pemaknaan secara benar selaras dengan konteks kalangan penerimanya. Dengan ilham pemikiran Chupungco tentang misteri inkarnasi Sabda, maka inilah saatnya bagi GKJ lebih terbuka memandang terang Injil kasih karunia Kristus bagi bangsa-bangsa yang mengangkat harkat kemanusiaan seutuhnya, termasuk orang-orang Jawa. Banyak temuan bentuk-bentuk budaya Jawa beserta dengan falsafah dan nilai-nilai yang menghidupi masyarakatnya dapat dijadikan ajang praksis GKJ untuk menemukan hakikat Injil dengan berteologi lokal bersama umat, sekaligus membagikan berkat Injil untuk memperbarui dan mengubah budaya di tengah umat menjadi semakin mulia sebagai persembahan bagi Tuhan yang hadir membawa Kerajaan Surga di bumi. Liturgi GKJ dapat dijiwai dan pantas pula memberi jiwa kebudayaan yang menghidupi umatnya. Dengan falsafah Jawa, orang Jawa dapat memandang dan mengenal Tuhan Maha Agung yang menyapa dan berkasih karunia di setiap waktu dan keadaan. Dengan pitutûr ataupun gêgulang serta lambang-lambang, orang Jawa dapat berbicara dan mengerti tanggung jawab hidupnya sekaligus kehendak Tuhan. Dengan berkesenian Jawa, orang Jawa dapat menikmati 183 dan mengungkapkan keindahan hidup pemberian Tuhan. Dengan berpakaian Jawa, orang Jawa dapat merasakan semangat harmoni kehidupan, dengan adat istiadat Jawa, orang Jawa dapat memandang betapa penting dan berharganya seluruh sisi dan bidang kehidupan sehingga harus dihormati dan dijaga bersama-sama. Demikian pula dengan berbahasa, orang Jawa tidak hanya mampu berkata-kata, tetapi juga beroleh pengetahuan hidup serta kehidupan, dan lain sebagainya. Semuanya sisi itu baik bagi orangorang Jawa dan baik pula ditelaah untuk menemukan pijakan dan tempat mengakarkan liturgi GKJ yang hidup sekaligus menjadi identitas peribadahan diri GKJ. 5.3. Saran Kajian telaah ini kiranya dapat menambah khazanah liturgi sebagai bagian dari teologi praktika yang bisa dijadikan perbandingan, bahkan dikembangkan lebih kanjut. Secara khusus kiranya kajian ini dapat dijadikan salah satu wacana yang mendukung pengembangan lebih lanjut dalam upaya mewujudkan harapan liturgi GKJ di tengah kehidupan umat. Seluruh kajian sosial dan budaya Jawa yang dilakukan oleh GKJ hingga saat ini kiranya dapat dirumuskan secara konkrit sebagai pandangan maupun petunjuk teknis dan pelaksanaannya sehingga cepat atau lambat mampu memberi pemahaman positif atau kritis bagi umat untuk melakukan perjumpaan yang membawa perubahan melalui dialog Injil dengan 184 kehidupan masyarakatnya, khususnya pandangan dan wujud-wujud kebudayaan Jawa dalam berbagai adat-istiadatnya. Tentu saja upaya di atas membawa konsekuensi terhadap pengertian GKJ itu sendiri. Artinya secara kritis definisi GKJ sebagai Gereja harus ditilik ulang. Kalau tidak perlu mengadakan definisi baru, maka paling tidak pengertian tentang GKJ yang sudah ada dan dipandang memadai perlu diberi klarifikasi tambahan terkait keberadaannya sebagai bagian masyarakat dan perannya, sehingga menjadi salah satu dasar konkrit perumusan liturgi GKJ yang mengakar dalam kehidupan masyarakat dan budayanya. Bila selama ini ada model-model formula liturgi berbasis kebutuhan praktis di tengah peribadahan umatnya, maka GKJ juga harus memiliki model formula liturgi yang lahir dari benih pergumulan umat di tengah kehidupan masyarakat dan budayanya sebagai Gereja beridentitas. Akhirnya, kemampuan penyesuaian liturgi GKJ menunjukkan keimanan Gereja yang membumi. GKJ sebagai persekutuan orang percaya yang hidup di tengah masyarakat Jawa hendaknya memiliki relevansi secara langsung yang memberikan kegunaan melalui perjumpaan kristis dengan dunia keagamaan setempat.207 Karena itu pengembangan liturgi GKJ ke depan harus menggali aneka potensi budaya yang banyak ditemukan dalam lapangan pergumulan hidup umat di tengah masyarakatnya, sehingga Gereja tidak gamang, dan umat semakin menikmati keselamatan Injil Kristus di tengah kebersamaan masyarakatnya. 207 Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKis, 2004), 1-2. 185 186