Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Stakeholder
Istilah stakeholder telah dipakai oleh banyak pihak dalam hubungannnya
dengan berbagai ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu
komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembagalembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam
proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan.
Menurut Freeman (dalam Bryson, 2001), stakeholder dalam lingkup bisnis
merupakan kelompok atau individu yang dipengaruhi dan mempengaruhi masa
depan perusahaan yaitu pelanggan, pekerja, pemilik, pemerintah, lembaga
keuangan dan kritikus. Sedangkan dalam konteks organisasi, baik di pemerintahan
maupun swasta. Bryson (2001), mendefinisikan stakeholder sebagai individu,
kelompok atau organisasi apapun yang dapat melakukan klaim atau perhatian
terhadap sumber daya atau hasil organisasi atau dipengaruhi oleh hasil itu.
Dari sekian banyak stakeholder tidak semuanya harus mendapat perhatian
yang sama. Perhatian hanya perlu diberikan kepada stakeholder utama, karena
kunci keberhasilan dalam organisasi publik maupun swasta adalah bagaimana
organisasi tersebut dapat menjamin kepuasan stakeholder utama (pimer) ini
(Bryson, 2001).
24
25
Berdasarkan konsepsi di atas, pemahaman terhadap stakeholder akan
berguna untuk mengetahui secara jelas tentang siapakah stakeholder utama,
bagaimana kepentingan mereka, apa yang akan mereka dukung serta strategi dan
taktik yang diperlukan untuk menghadapinya (Kaufman dalam Bryson, 2001).
Selanjutnya dalam upaya melibatkan stakeholder, Soesilo (2000), mengingatkan
bahwa :
“..... mereka yang paling utama harus diputuskan adalah siapa stakeholder
utama kita ?. Penentuan ini sangat penting, sebab dalam manajemen sektor
publik, kita sering memiliki stakeholder yang banyak dan sering tujuan
utamanya saling bertentangan. Bila kita tidak mengetahui, maka kita akan
terombang ambing dalam kebingungan.....”.
Stakeholder merupakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
keberadaan
perusahaan
yang
meliputi
karyawan,
konsumen,
pemasok,
masyarakat, pemerintah selaku regulator, pemegang saham, kreditur, pesaing, dan
lain-lain. Gray, et al. (1994) dalam Ghozali dan Chariri, (2007) menyatakan
bahwa:
“Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder
dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah
untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin
besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Pengungkapan sosial
dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan
stakeholder-nya”.
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan diri atau memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang
digunakan perusahaan, hal ini ditentukan oleh besar kecilnya kekuatan (power)
yang dimiliki oleh stakeholder atas sumber ekonomi tersebut (Ghozali dan
Chariri, 2007). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi
pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses
26
terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan atau
kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan
perusahaan (Deegan, 2000 dalam Ghozali dan Chariri, 2007).
Teori stakeholder berkaitan dengan cara-cara yang digunakan perusahaan
untuk mengatur stakeholder-nya (Gray et al., 1997 dalam Ghozali dan Chariri,
2007). Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk mengatur stakeholder-nya
tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan (Ullman, 1985 dalam Ghozali
dan Chariri, 2007).
Dari pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa perhatian terhadap
stakeholder yang besar dapat mengakibatkan tingginya kinerja social yang
berpengaruh pada tingginya tingkat pengungkapan informasi sosial perusahaan,
tetapi apabila kepada perusahaan tidak memberikan perhatian lebih terhadap
stakeholder dapat mengakibatkan rendahnya kinerja sosial perusahaan yang
berpengaruh pada rendahnya tingkat pengungkapan informasi sosial.
2.1.2 Teori Legitimasi
Teori legitimasi dilandasi kontrak sosial antara perusahaan dengan
masyarakat tempat perusahaan beroperasi dan menggunakan sumber ekonomi.
Menurut Suchman (1995), bahwa “Legitimacy is sought by organisations as it
affects the understanding and actions of people towards the organization. People
perceive a legitimate organisation as “… more trustworthy”. (Aspinall, 2005).
Lebih lanjut Suchman (1995) dalam Barkemeyer (2007) memberikan definisi
mengenai organizational legitimacy sebagai berikut;
27
“Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of
an entity are desirable, proper, or appropriate within some socially
constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.”
O’Donovan (2002), juga menyatakan tentang legitimasi bahwa;
“Legitimacy theory as the idea that in order for an organization to
continue operating successfully, it must act in a manner that society deems
socially acceptable.”
Organisasi memainkan peranan penting dalam masyarakat dan mempunyai
tanggung jawab untuk diakui keberadaannya di dalam masyarakat (Farook dan
Lanis, 2005). Deegan (2007) mengutip klarifikasi dari Lindblom (1994) atas
perbedaan diantara “legitimation as the process that leads an organisation being
adjudged legitimate, and legitimacy as a status or condition.” Richardson (1987)
mendefinisikan “legitimation” sebagai proses “which create and validate the
normative order of society”. (Hui dan Bowrey, 2008).
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibilities (CSR) merupakan salah satu mekanisme yang dapat digunakan
untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders dan disarankan
bahwa
CSRD
merupakan
jalan
masuk
dimana
beberapa
organisasi
menggunakannya untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi
(O’Donovan, 2002). Deegan (2006) menyatakan bahwa kerangka teoritis yang
menjadi kajian selama beberapa tahun untuk menjelaskan mengapa organisasi
melaksanakan pelaporan sukarela terkait dengan lingkungan adalah teori
legitimasi.
Guthrie
dan
Parker
(1977)
menyarankan
bahwa
organisasi
mengungkapkan kinerja lingkungan mereka dalam berbagai komponen untuk
28
mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan mendapatkan legitimasi atas
usaha perusahaan (Hui dan Bowrey, 2008).
Teori legitimasi memberikan solusi potensial atas studi yang mendasarkan
pada kajian ekonomi. Hal ini ditemukan adanya “social contract” (Gray et al.,
1995) dan dimensi atas sosial kontrak secara potensial dapat meningkatkan
diversifikasi aktivitas perusahaan. CSRD mungkin juga dapat dilihat sebagai alat
untuk membentuk, mempertahankan, dan memperbaiki legitimasi perusahaan
dimana mereka mengeluarkan opini dan kebijakan publik (Patten, 1991).
Menurut Barkemeyer (2007) yang mengungkapkan penjelasan tentang
teori legitimasi organisasi yang memiliki kekuatan dalam konteks tanggung jawab
sosial perusahaan pada negara berkembang terdiri dari dua hal, yaitu; pertama,
kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan membuat
gambaran lebih jelas tentang motivasi perusahaan memperbesar tanggung jawab
sosialnya. Kedua, legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya
yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam konteks yang berbeda.
Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu
teori
yang
Pengungkapan
mendasari
pengungkapan
corporate
social
responsibility.
corporate social responsibility perusahaan dilakukan untuk
mendapatkan pandangan positip dan legitimasi dari masyarakat. Teori legitimasi
juga dapat digunakan untuk memberikan solusi potensial atas studi didasarkan
pada kajian ekonomi yang dapat menjelaskan keterkaitan mekanisme corporate
governance dan profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap pengungkapan
corporate social responsibility perusahaan. Dengan mekanisme corporate
29
governance, profitabilitas dan ukuran perusahaan yang mencukupi, perusahaan
tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan pandangan positif
dan legitimasi dari
masyarakat
yang akhirnya akan berdampak pada
meningkatnya keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Artinya
mekanisme corporate governance, profitabilitas dan ukuran perusahaan dapat
memberikan keyakinan perusahaan untuk melakukan pengungkapan corporate
social responsibility.
2.1.3 Pengungkapan Corporate Sosial Responsibility
2.1.3.1 Pengertian Corporate Sosial Responsibility
Walaupun telah menjadi sebuah isu global, sampai saat ini belum ada
suatu definisi tunggal dari CSR yang diterima secara global dan belum terdapat
kesamaan definisi dari berbagai kalangan. Secara etimologis corporate social
responsibility dapat berarti sebagai suatu tanggung jawab sosial perusahaan atau
korporasi. Berikut adalah beberapa definisi dari CSR atau tanggung jawab sosial
perusahaan:
Pengertian CSR menurut World Business Council for Sustainable
Development adalah yang dikutip oleh M.Arief Effendi (2009:107) sebagai
berikut:
“Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis
dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya
meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta
komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.”
Pengertian CSR menurut Jenny R. Suminar (2009:29) sebagai berikut:
30
“Operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan
keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk
pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan
berkelanjutan.”
Menurut CSR Asia seperti dikutip Darwin (2008) definisi CSR sebagai
berikut;
“CSR is a company’s commitment to operating in an economically,
socially andenvironmentally sustainable manner whilst balancing the
interests of diversestakeholders.”
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan suatu
komitmen bisnis perusahaan, dimana perusahaan dalam melakukan kegiatan
operasionalnya bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan keuntungan semata,
tetapi juga dapat melakukan pembangunan secara berkelanjutan untuk lingkungan
ekonomi dan sosial perusahaan, sehingga perusahaan dapat memberikan
kontribusi akan keberadaan perusahaan pada lingkungan disekitarnya.
2.1.3.2. Prinsip-prinsip Corporate Social Responsibilty
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
seperti yang dikutip oleh Yusuf Wibisono (2007:42-43) merumuskan prinsipprinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam implementasi CSR bagi perusahaan
transnasional. Pedoman tersebut berisikan kebijakan umum yang meliputi:
“1.
2.
3.
Memberikan kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan
berdasarkan
pandangan
untuk
mencapai
pembangunan
bekelanjutan(sustainability development).
Menghormati hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi oleh kegiatan yang
dijalankan perusahaan tersebut, sejalan dengan kewajiban dan komitmen
pemerintah di negara tempat perusahaan beroperasi.
Mendorong pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat
dengan komunitas lokal. Termasuk kepentingan bisnis.
31
4.
5.
6.
7.
8.
9
10.
11.
Mendorong pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan
kesempatan kerja dan memfasilitasi pelatihan bagi karyawan.
Menahan diri untuk tidak mencari atau menerima pembebasan diluar yang
dibenarkan secara hukum yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan
keselamatan kerja, perburuhan, perpajakan, intensif finansial dan isu-isu
lainnya.
Mendorong dan memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate
Governance serta mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek tata
kelola perusahaan yang baik.
Mengembangkan kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan
perusahaan melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan-kebijakan
pada pekerja termasuk melalui program-program pelatihan.
Mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek sistem manajemen yang
mengatur diri sendiri (self–regulation) secara efektif guna menumbuh
kembangkan relasi saling percaya diantara perusahaan dan masyarakat
setempat di mana perusahaan beroperasi.
Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif dan indisipliner.
Mengembangkan mitra bisnis termasuk para pemasok dan sub kontraktor
perusahaan untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan
pedoman tersebut.
Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tidak sepatutnya dalam
kegiatan-kegiatan politik lokal.”
2.1.3.3 Ruang Lingkup Corporate Sosial Responsibility
Corporate Social Responsibility menurut Isa Wahyudi dan Busyra Azheri
(2008) merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan para stakeholders.
Dengan kata lain meskipun perusahaan dibenarkan mengejar keuntungan, tetapi
dalam praktiknya secara moral tidak dibenarkan mengejar keuntungan dengan
mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain dalam lingkungan sosial di
sekitar perusahaan. Penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar CSR menurut
Wibisono Yusuf (2007: 32-37) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Profit (Keuntungan)/ Aspek Economic
a) Motivasi utama dari setiap kegiatan usaha adalah mencari keuntungan
(profit) Perusahaan harus tetap berorientasi untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
Profit pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat
digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan .
32
b) Aktivitas yang dapat meningkatkan profit adalah dengan
meningkatkan produktifitas dan melakukan efisiensi biaya sehingga
perusahaan mempunyai keungulan kompettitif yang dapat memberikan
nilai tambah semaksimal mungkin.
c) Peningkatan produktifitas dapat dilakukan dengan memperbaiki
manajemen kerja melalui penyederhanaan proses, mengurangi
aktivitas yang tidak efisien dan menghemat waktu proses dan
pelayanan.
d) Yang perlu diperhatikan profit yang diperoleh perusahaan tidak
terlepas dari partisipasi aktif maupun pasif dari stakeholdersnya, oleh
karena itu apabila suatu perusahaan mendapat profit sudah seyogyanya
pula perusahaan membagi keuntungan tersebut dalam stakeholdersnya
dalam berbagai bentuk.
2. People (Masyarakat)/ Aspek Social
a) Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti
pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana
pendidikan dan kesehatan, penguatan ekonomi kapasitas lokal, dan
bahkan ada perusahaan yang merancang skema perlindungan sosial
bagi warga setempat.
b) Masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholders
penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat
diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan
suatu perusahaan. Perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya
memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat yang
dituangkan dalam berbagai bentuk kepedulian.
c) Perlu disadari pula bahwa operasional perusahaan berpotensi
memberikan dampak kepada masyarakat sekitar baik dampak positip
maupun dampak negatifnya.oleh karena itu perusahaan perlu untuk
melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat
sebagai kompensasi dampak yang diterima oleh masyarakat.
3. Plannet (Lingkungan)/ Aspek Environment
a) Apabila aspek segala sesuatu yang berkaitan dengan profit dan people
telah menjadi bagian dari suatu aktivitas dunia usaha, perusahaan harus
pula memasukan aspek lingkungan (planet) sebagai bagian yang harus
diperhatikan dalam aktivitasnya.
b) Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan kausalitas,
jika kita merawat lingkungan maka lingkungan pun akan memberikan
manfaat kepada kita, sebaliknya jika kita merusaknya maka kita akan
menerima akibatnya.
c) Dampak dari kealpaan perusahaan dalam melestarikan lingkungan
adalah terjadinya berbagai bencana alam seperti: banjir, tanah longsor,
pemanasan global, kebakaran hutan dan masih banyak lagi yg lainnya
33
d) Dengan kata lain apa yang kita lakukan terhadap lingkungan maka kita
akan memetik apa yang telah kita lakukan tersebut oleh karena itu
perusahaan harus peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan
keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip
ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana
air bersih, perbaikan permukiman, pengembangan pariwisata.
2.1.3.4. Pro dan Kontra Terhadap Corporate Sosial Responsibility
Dalam perkembangannya tidak semua perusahaan menerima konsep
pelaksanaan tanggung jawab sosial ini, Sofyan Syafri Harahap (2007:401)
mengemukakan argumen mengenai perusahaan agar memiliki sikap dan tanggung
jawab sosial antara lain:
“1. Keterlibatan sosial merupakan respon terhadap keinginan dan
harapan masyarakat jangka panjang. Hal ini sangat menguntungkan
perusahaan.
2. Meningkatkan nama baik perusahaan akan menimbulkan simpati
langganan, simpati karyawan, investor dan lain-lain.
3. Keterlibatan sosial mungkin akan mempengaruhi perbaikan
lingkungan, masyarakat yang mungkin akan menurunkan produksi.
4. Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi
masyarakat. Campur tangan pemerintah cenderung membatasi peran
perusahaan, sehingga jika perusahaan memiliki tanggung jawab
sosial mungkin dapat menghindari pembatasan kegiatan perusahaan.
5. Dapat menunjukkan respon positif perusahaan terhadap norma dan
nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mendapat simpati
masyarakat.
6. Sesuai dengan keinginan para pemegang saham dalam hal publik.
7. Mengurangi tensi kebencian masyarakat kepada perusahaan yang
kadang-kadang melakukan kegiatan yang dibenci masyarakat tidak
mungkin dihindari.
8. Membantu kepentingan nasional, seperti konservasi alam,
pemeliharaan barang seni budaya, peningkatan pendidikan rakyat,
lapangan kerja, dan lain-lain.”
Beberapa argumen yang menolak keterlibatan perusahaan dalam kegiatan
sosial seperti yang dikemukakan oleh Sofyan S. Harahap (2007:402) antara lain:
“1.
Mengalihkan perhatian perusahaan dari tujuan utamanya dalam
mencari laba. Ini akan menimbulkan pemborosan.
34
2.
3.
4.
5.
Memungkinkan keterlibatan perusahaan terhadap permainan
kekuasaan atau politik secara berlebihan yang sebenarnya bukan
lapangannya.
Dapat menimbulkan lingkungan bisnis yang monolitik bukan yang
bersifat pluralistik.
Keterlibatan sosial memerlukan dana dan tenaga yang cukup besar
yang tidak dapat dipenuhi oleh dana perusahaan yang terbatas, yang
dapat menimbulkan kebangkrutan atau menurunkan tingkat
pertumbuhan ekonomi.
Keterlibatan pada kegiatan sosial yang demikian kompleks
membutuhkan tenaga dan para ahli yang belum tentu dimiliki oleh
perusahaan.”
Dari kedua argumen di atas dapat dilihat bahwa perusahaan yang
menjalankan konsep tanggung jawab sosial berarti mereka merasa peduli terhadap
masyarakat dan lingkungan disekitar perusahaan, tetapi perusahaan juga
mengharapkan hubungan timbal balik yang positif dari pelaksanaan CSR
perusahaan, tetapi terdapat argumen yang menolak pelaksanaan CSR perusahaan
tersebut yang disebabkan karena kekhawatiran perusahaan dalam memenuhi
tujuan utama perusahaan yaitu mendapatkan laba yang maksimal tidak dapat
dicapai.
2.1.3.5. CSR dari Segi Etika
Mintzberg (1983) dalam Syaiful & Jan (2006;178) menyatakan bahwa
CSR dapat dilakukan atau muncul dalam empat bentuk. Bentuk yang paling
sempurna adalah jika CSR dilakukan dengan dorongan sendiri. Perusahaan tidak
mengharapkan pengembalian dari aktivitas CSR, secara sosial mereka
bertanggung jawab dan ini merupakan cara mulia untuk prilaku korporasi. Bentuk
kedua, yang kurang sempurna dari CSR adalah jika dilakukan untuk kebijakan
kepentingan perusahaan tersebut (enlightened self interest) dalam kasus dimana
35
perusahaan melakukan CSR dengan berharap bayaran atau imbalan atas CSR
tersebut. Bayaran bisa berwujud atau tidak berwujud. Bentuk ketiga dari CSR
berkaitan dengan investasi. Sesuai dengan teori investasi, pasar saham bereaksi
terhadap tindakan perusahaan dan perilaku pertanggungjawaban sosial akan
dihadiahi oleh pasar. Terakhir, bentuk keempat CSR juga berkaitan dengan
kebijakan diri sendiri, aktivitas CSR untuk menghindari interfensi dari pengaruh
politik eksternal. Dalam kasus ini, perusahaan menjadi bertanggung jawab secara
sosial guna mencegah otoritas paksaan melalui legalisasi.
Terpisah dari bentuk CSR pertama yang paling sempurna, Mintzberg
(1983) menyatakan CSR bentuk yang lain bukanlah dari segi etika. Dia
menyatakan bahwa CSR hanya untuk pertahanan dan seharusnya dilakukan,
dalam bentuk yang sangat sempurna dari segi etika tanpa mengharapkan balas
jasa. Dengan demikian pelaksanaan CSR guna meningkatkan profitabilitas
merupakan kebaikan terselubung yang sesungguhnya untuk melayani keserakahan
korporasi.
Walaupun beberapa penulis berargumentasi bahwa perusahaan seharusnya
bertanggung jawab secara sosial tanpa mengharapkan imbalan, namun yang lain
juga menyatakan hal tersebut salah untuk perusahaan yang tidak melakukan
apapun tanpa bermaksud untuk mendapatkan manfaat dari tindakan tersebut. Ide
demikian pada prinsipnya memiliki dasar teori keagenean, yang menyatakan
bahwa manajer adalah agen dari pemegang saham dan seharusnya memberikan
prioritas untuk melayani dengan memaksimumkan laba finansial. Para manajer
36
harus berusaha untuk memaksimumkan return pemegang saham dan mereka tidak
seharusnya membuat tindakan yang mengarah pada pengurangan laba.
Lantos (2001:608) membagi CSR menjadi CSR bersifat etis, CSR yang
altruistik (dermawan) dan CSR bersifat strategik, yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Ethical CSR adalah permintaan kepada perusahaan untuk bertanggung jawab
secara moral guna mencegah kecelakaan dan melukai, sebagai akibat dari
aktivitas perusahaan. Jenis CSR ini diharapkan berlaku untuk semua
perusahaan dan harus dipenuhi sebagai minimum.
b. Altruistic CSR adalah kepedulian sejati yang optional, bahkan mungkin
dengan pengorbanan personal atau organisasional.
c. Strategic CSR terjadi bila sebuah perusahaan melakukan aktivitas pelayanan
peduli terhadap kelompok masyarakat yang cocok dengan tujuan strategi
bisnisnya.
Lantos menggunakan kerangka etika yang beragam untuk menyatakan
bahwa altruistic CSR adalah tidak bersifat etis dan seharusnya tidak dilakukan
oleh perusahaan publik. Ethical CSR adalah sangat minimum sementara strategic
CSR adalah baik untuk bisnis dan masyarakat. Lantos menambahkan bahwa
altruistic CSR, walaupun kadang-kadang diharapkan karena seperti kontrak sosial
antara perusahaan dan masyarakat, secara relatif jarang dilakukan karena berdiri
diluar lingkup aktivitas perusahaan yang tepat.
37
2.1.3.6. Pengertian Pengungkapan Corporate Sosial Responsibility
Perusahaan dituntut untuk memberikan informasi mengenai aktivitas
sosialnya. Sejauh ini perkembangan akuntansi konvensional (mainstream
accounting) telah banyak di kritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat secara luas, hal ini mengakibatkan muncul konsep akuntansi baru
yang disebut sebagai Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial atau Social
Responsibility Accounting (SRA). Tanggung jawab sosial diartikan bahwa
perusahaan bertanggung jawab pada tindakan yang mempengaruhi konsumen,
masyarakat, dan lingkungan. Selama ini produk akuntansi konvensional
dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik saham
(sebagai salah satu stakeholders internal), kini paradigma tersebut diperluas
menjadi pertanggungjawaban kepada stakeholders (Sofyan S. Harahap, 2007).
Guthrie dan Parker (1990) dalam Sayekti dan Wondabio (2007)
menyatakan bahwa pengungkapan corporate social responsibilities dalam laporan
tahunan
merupakan
salah
satu
cara
perusahaan
untuk
membangun,
mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan
politis. Penelitian Basamalah dkk. (2005) yang melakukan review atas social and
environmental reporting and auditing dari perusahaan di Indonesia yang
mendukung prediksi legitimacy theory tersebut.
Pengungkapan CSR dalam laporan tahunan terbukti berpengaruh terhadap
reaksi investor yaitu yang dibuktikan dengan volume perdagangan saham yang
meningkat (Zuhroh dan Sukmawati, 2003). Dari pemahaman diatas memberikan
penjelasan
bahwa
pengungkapan
corporate
social
responsibility
(CSR
38
Disclosure-CSRD) merupakan pengungkapan yang dilakukan perusahaan berguna
dalam memberikan informasi berkaitan dengan praktik CSR perusahaan kepada
pemegang saham.
Ikatan Akutan Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akutansi
Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2013) paragraf 14 secara implisit
menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah sosial sebagai
berikut :
“Beberapa entitas juga menyajikan, terpisah dari laporan keuangan,
laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah, khususnya
bagi industri dimana faktor lingkungan hidup memegang peranan penting
dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna
laporan keuangan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan
tersebut diluar lingkup SAK.”
Berbagai alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan corporate
social responsibilities secara sukarela telah diteliti dalam penelitian sebelumnya,
diantaranya adalah karena untuk mentaati peraturan yang ada, untuk memperoleh
keunggulan kompetitif melalui penerapan corporate social responsibility, untuk
memenuhi ketentuan kontrak pinjaman dan memenuhi ekspektasi masyarakat,
untuk melegitimasi tindakan perusahaan, dan untuk menarik investor (Ullman,
1985 dalam Basamalah dkk, 2005).
Menurut Martin Freedman, dalam Henny dan Murtanto (2001) dalam
Kuntari dan Sulistyani (2007), ada tiga pendekatan dalam pelaporan kinerja sosial,
yaitu :
1. Pemeriksaan Sosial (Social Audit)
Pemeriksaan sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dari operasi yang
39
dilakukan perusahaan. Pemeriksaan sosial dilakukan dengan membuat suatu
daftar aktivitas-aktivitas perusahaan yang memiliki konsekuensi sosial, lalu
auditor sosial akan mencoba mengestimasi dan mengukur dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas tersebut.
2. Laporan Sosial (Social Report)
Berbagai alternatif format laporan untuk menyajikan laporan sosial telah
diajukan oleh para akademis dan praktisioner. Pendekatan-pendekatan yang
dapat
dipakai
oleh
perusahaan
untuk
melaporkan
aktivitas-aktivitas
pertanggungjawaban sosialnya ini dirangkum oleh Dilley dan Weygandt
menjadi empat kelompok sebagai berikut (Henry dan Murtanto, 2001 dalam
Kuntari dan Sulistyani, 2007) :
a. Inventory Approach
Perusahaan mengkompilasikan dan mengungkapkan sebuah daftar yang
komprehensif dari aktivitas-aktivitas sosial perusahaan. Daftar ini harus
memuat semua aktivitas sosial perusahaan baik yang bersifat positif maupun
negatif.
b. Cost Approach
Perusahaan membuat daftar aktivitas-aktivitas sosial perusahaan dan
mengungkapkan jumlah pengeluaran pada masing-masing aktivitas tersebut.
c. Program Management Approach
Perusahaan
tidak
hanya
mengungkapkan
aktivitas-aktivitas
pertanggungjawaban sosial tetapi juga tujuan dari aktivitas tersebut serta
40
hasil yang telah dicapai oleh perusahaan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
d. Cost Benefit Approach
Perusahaan mengungkapkan aktivitas yang memiliki dampak sosial serta
biaya dan manfaat dari aktivitas tersebut. Kesulitan dalam penggunaan
pendekatan ini adalah adanya kesulitan dalam mengukur biaya dan manfaat
sosial yang diakibatkan oleh perusahaan terhadap masyarakat.
3. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan (Disclosure In Annual Report)
Pengungkapan sosial adalah pengungkapan informasi tentang aktivitas
perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan sosial perusahaan.
Pengungkapan sosial dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain
laporan tahunan, laporan interim/laporan sementara, prospektus, pengumuman
kepada bursa efek atau melalui media masa.
Perkembangan secara lebih tepat dapat dibandingkan dan variabel-variabel
terukur serta standar laporan yang baku bagi pelaporan sustainability saat ini telah
berkembang dengan pesat. Global Reporting Initiative (GRI) yang dibentuk tahun
1997 untuk menyusun standar baku global bagi penyusunan sustainability
reporting, saat ini telah diimplementasikan dibanyak negara Hedberg & Von
Malmborg, (2003). Sustainability reporting yang direkomendasikan oleh GRI3
tahun 2009 terfokus pada 3 aspek kinerja yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial.
Pedoman Pelaporan Keberlanjutan GRI (Pedoman) menyediakan Prinsipprinsip Pelaporan, Pengungkapan Standar, dan Panduan Penerapan untuk
penyusunan laporan keberlanjutan oleh organisasi, apa pun ukuran, sektor, atau
41
lokasinya. Pedoman ini juga menyediakan referensi internasional untuk semua
pihak yang terlibat dengan pengungkapan pendekatan tata kelola serta kinerja dan
dampakI lingkungan, sosial, dan ekonomi organisasi. Pedoman ini berguna untuk
menyiapkan berbagai jenis dokumen yang memerlukan pengungkapan tersebut.
Pedoman ini dikembangkan melalui proses yang melibatkan pemangku
kepentingan global dari perwakilan dari bisnis, tenaga kerja, masyarakat sipil, dan
pasar keuangan, serta auditor dan pakar di berbagai bidang, dan melalui dialog
erat bersama regulator dan lembaga pemerintah di beberapa negara. Pedoman ini
dikembangkan bersesuaian dengan dokumen yang terkait pelaporan yang telah
diakui secara internasional, yang direferensikan di seluruh Pedoman ini.
Adapun pedoman Global Reporting Initiative (GRI) terdiri dari 2 (dua)
bagian yaitu :
1. Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar – berisi Prinsipprinsip Pelaporan, Pengungkapan Standar, dan kriteria yang akan diterapkan
oleh organisasi untuk menyiapkan laporan keberlanjutannya ‘sesuai’ dengan
Pedoman ini. Definisi istilah-istilah penting juga disertakan.
2. Panduan Penerapan– berisi penjelasan tentang cara menerapkan Prinsipprinsip Pelaporan, cara menyiapkan informasi yang akan diungkapkan, dan
cara menginterpretasikan berbagai konsep dalam Pedoman. Referensi ke
sumber lain, daftar istilah, dan catatan pelaporan umum juga disertakan.
Kerangka pelaporan GRI yang meliputi pedoman pelaporan, pedoman
sektor dan sumber daya lainnya memungkinkan transparansi yang lebih besar
tentang organisasi, lingkungan, kinerja sosial dan tata kelola ekonomi.
42
Transparansi
dan
akuntabilitas
ini
membangun
kepercayaan
pemangku
kepentingan organisasi, dan dapat menyebabkan banyak manfaat lainnya.
Menurut Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) mengatakan bahwa
Corporate Social Responsibility terbagi menjadi 3 kategori yaitu kinerja ekonomi,
kinerja lingkungan dan kinerja sosial, sedangkan dalam penelitian ini
mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan
berdasarkan standar GRI (Global Reporting Initiative). Global Reporting
Initiative (GRI) adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah
mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka
laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan
perbaikan dan penerapan di seluruh dunia (www.globalreporting.org). Daftar
pengungkapan sosial yang berdasarkan standar GRI juga pernah digunakan oleh
Dahli dan Siregar (2008), peneliti ini menggunakan 6 indikator pengungkapan
yaitu : ekonomi, lingkungan, tenaga kerja, hak asasi manusia, sosial dan produk.
Indikator-indikator yang terdapat di dalam GRI yang digunakan dalam penelitian
yaitu :
1. Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator)
2. Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance indicator)
3. Indikator Kinerja Tenaga Kerja (labor practices performance indicator)
4. Indikator Kinerja Hak Asasi Manusia (human rights performance indicator)
5. Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator)
6. Indikator Kinerja Produk (product responsibility performance indicator)
43
Untuk penelitian ini indikator yang digunakan hanyalah tiga kategori,
yaitu indikator kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial. Indikator kinerja sosial
mencakup empat indikator yang terdiri dari; indikator kinerja tenaga kerja, hak
asasi manusia, sosial/kemasyarakatan, dan produk.
2.1.3.7 Undang-Undang tentang Wajibnya Corporate Sosial Responsibility
CSR saat ini sudah ditegaskan dalam Undang-Undang. Terdapat 2 (dua)
Undang-Undang yakni yang menegaskan tentang CSR yaitu UU No.40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) pasal 74 & UU No.25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal pasal 15,17 & 34. Adapun UU PT No.40 tahun 2007 pasal
74 berisi :
a)
Ayat (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan.
b)
Ayat (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan & diperhitungkan
sebagai
biaya
perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan kepatutan & kewajaran.
c)
Ayat (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan.
d)
Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial & lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
44
Selanjutnya UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 15,17 &
34 berisi tentang :
1. Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
1) Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
2) Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
3) Membuat
laporan
tentang
kegiatan
penanaman
modal
dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
4) Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman modal; dan
5) Mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan
wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang
memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 34
Pasal 34 menegaskan bahwa :
1).
Ayat 1 : “Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a.
Peringatan tertulis;
b.
Pembatasan kegiatan usaha;
45
c.
Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d.
Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal”.
2). Ayat 2 : “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
3). Ayat 3 : “Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha
perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Beragam tanggapan perusahaan terhadap kewajiban CSR, ada yang tidak
mempermasalahkan namun ada juga mengatakan bahwa CSR itu tidak wajib.
Besarnya anggaran CSR (beragam pendapat) ada yang mengatakan 2% hingga 5%
dari laba perusahaan. Perusahaan berskala besar & dengan laba besar, tentu akan
memiliki cadangan dana CSR besar pula. Namun demikian, tidak berarti
perusahaan yang berskala kecil akan kehilangan kesempatan ataupun kreativitas
dalam mengelola program CSR. CSR bisa dilakukan oleh perusahaan itu sendiri
bisa juga dengan menggandeng pihak lain. Dengan melakukan CSR setidaknya
perusahaan telah melakukan investasi jangka panjang yakni reputasi. Pasti,
membangun reputasi baik itu cukup sulit.
2.1.4 Mekanisme Corporate Governance
2.1.4.1 Pengertian Corporate Governance
Menurut Calbury Committee yang dialih bahasakan oleh Indra Surya
(2006)
46
pengertian corporate governance adalah sebagai berikut:
“Corporate governance adalah sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan
antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk
menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada
stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik,
direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.”
Corporate Governance oleh (M.A. Daniri, 2005:8) didefinisikan sebagai
suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan
(Direksi, Dewan Komisaris, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada
pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholder
lainnya,
berlandaskan
peraturan
perundangan dan nora yang berlaku.
La Porta et al. 2000 (Monetary Authority of Singapore, MAS2004),
mengungkapkan bahwa corporate governance adalah seperangkat mekanisme
untuk memastikan bahwa kepentingan outside investors terlindungi dari
kemungkinan expropriation Pihak insider, yaitu manajer dan pemegang saham
pengendali. Monk and Minow (2001) mengungkapkan bahwa corporate
governance berkaitan dengan proses dan mekanisme aktivitas perusahaan dalam
menjalankan wewenang dan pengarahan perusahaan, supervisi pelaksanaan
tindakan dan pengarahan perusahaan. Mekanisme yang dimaksud adalah
hubungan antar berbagai pihak yang berkepentingan dalam rangka mengarahkan
dan menentukan kinerja perusahaan. Pihak utama yang terkait disini adalah: (1)
pemegang saham, (2) manajemen dan (3) Board of directors”
F. Antonius Alijoyo (2004) mendefinisikan corporate governance adalah
sebagai seperangkat aturan dan prinsip antara lain fairness, transparency,
47
accountability dan responsibility yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, manajemen perusahaan (direksi dan komisaris), pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta stakeholder lainnya yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Menurut Trager (2003),
terjadi ketika timbul konflik antar
problem keagenan
tujuan pemilik (prinsipal) dengan para
direksi/top management sebagai agen. Para pemilik mengalami kesulitan untuk
memverifikasi apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh manajemen. Konflik
kepentingan tersebut dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme yang mampu
mensejajarkan kepentingan pemegang saham selaku pemilik dengan kepentingan
manajemen. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah good corporate
governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnisnya.
Corporate Governance merupakan suatu cara untuk mengarahkan
manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan stakeholders. Pelaksanaan
good corporate governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap
hak-hak pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas (Claessens,
2002). Penerapan GCG diharapkan dapat mencegah pengambil alihan hak
pemegang saham (expropriation) oleh manajemen, termasuk mencegah praktik
manajemen laba. Good corporate governance dapat mendorong manajemen untuk
bersikap transparan dalam penyajian laporan keuangan (Dallas,2004).
Akhmad Syakhroza (2005) mendiskripsikan pemahaman terhadap
corporate governance dapat dikategorikan menjadi dua perspektif yang berbeda
secara prinsipil, yaitu: (1) perspektif pemegang saham (shareholder); dan (2)
48
perspektif berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder). Kedua perspektif ini
dapat dijelaskan sebagai berikut,:
1) Perspektif pemegang saham
Suatu organisasi atau korporasi dipandang secara tradisional, bahwa
perusahaan
didirikan dan dioperasikan untuk tujuan memaksimumkan
kesejahteraan pemegang saham
sebagai
akibat
dari
investasi
yang
dilakukannya.
2) Perspektif pihak-pihak yang berkepentingan
Suatu perusahaan dipandang sebagai organ yang berhubungan dengan
berbagai pihak yang berkepentingan, baik yang berada di dalam maupun di
luar perusahaan, yang tidak hanya memperhatikan kepentingan pemegang
saham.
Dari pengertian-pengertian diatas maka dapat dijelaskan bahwa corporate
governance merupakan suatu aturan aturan saling berhubungan yang terdiri atas
mekanisme dan penerapan corporate governance terhadap kegiatan perusahaan
dalam melaksanakan peraturan perusahaan, arahan pelaksanaan tindakan
manajemen dan pelaporan pertanggungjawaban. Mekanisme dan penerapan
corporate governance tentu saja memerlukan komitmen dari seluruh unsur
organisasi dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada di dalamnya.
2.1.4.2 Prinsip-prinsip Corporate Governance
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam corporate governance yaitu,
transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness (dikenal
49
dengan TARIF). Berikut ini beberapa penjelasan untuk ke lima prinsip corporate
governance tersebut (M.A. Daniri, 2005), antara lain:
1. Transparency (transparansi) bisa diartikan keterbukaan informasi, baik
dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan
informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
2. Accountability (akuntabilitas) adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. Secara ideal tanggung jawab perusahaan harus
menjadi bagian dari filosofi perusahaan.
3. Responsibility (pertanggung jawaban perusahaan) adalah kesesuaian
(kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi
yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Maksudnya
tanggung jawab bisnis terhadap perijinan dan peraturan, karyawan,
tanggung jawab sosial, tanggungjawab terhadap lingkungan, masyarakat
sekitar serta tanggung jawab etika dan moral.
4. Independency (kemandirian) adalah suatu keadaan di mana perusahaan
dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip koperasi yang
sehat.
5. Fairness (kewajaran) dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan
setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan
perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Dari penjelasan di atas tersebut maka prinsip transparansi, akuntabilitas,
kesetaraan dan kewajaran, independensi, serta responsibilitas perlu diberlakukan
secara sistematis dan berkesinambungan, hal ini dilakukan untuk pencapaian suatu
kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku
kepentingan (stakeholders).
2.1.4.3 Manfaat Penerapan Corporate Governance
Manfaat penerapan corporate governance dapat membawa perusahaan
menjadi lebih efisien dan mampu memberikan pelayanan dalam suatu perbaikan
50
pola kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Selanjutnya manfaat perwujudan
GCG menurut M.A. Daniri(2005:14) juga dapat :
1. Mengurangi ageny cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung
pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak
manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita
perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing),
ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya
hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari
pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas
dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil
seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra
perusahaan di mata publik dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan
tersebut terhadap keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan
kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat
jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala
tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan.
Corporate governance bermanfaat dalam peningkatan kinerja perusahaan
melalui
pengendalian
dan
evaluasi
kinerja
manajemen
dan
adanya
pertanggungjawaban manajemen pada perusahaan berdasarkan peraturan yang
berlaku. Corporate governance memberikan kerangka acuan yang memungkinkan
pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme pengendalian dan
evaluasi kinerja dalam perusahaan.
2.1.4.4 Pengertian Mekanisme Corporate Governance
Babic (2005) menyatakan bahwa sistem corporate governance dapat
berbeda
tergantung
atas
bagaimana
mekanisme
pemilik
perusahaan
51
mempengaruhi manajer. Secara umum mekanisme corporate governance terdiri
atas dua jenis yaitu: (1) The internal mechanisms of corporate governance; dan
(2) The external mechanismst of corporate governance. Mekanisme corporate
governance dapat meliputi mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme internal
dapat meliputi; struktur dewan komisaris, struktur kepemilikan, konpensasi
eksekutif, struktur bisnis multidivisi. Mekanisme eksternal dapat meliputi;
pengendalian oleh pasar, kepemilikan institusional, pendanaan dengan hutang
(debt financing), pelaksanaan audit oleh auditor eksternal (Claessens, 2002).
Majidah (2005) membedakan mekanisme Corporate Governance dengan
proses Corporate Governance. Mekanisme Corporate Governance adalah
komponen-komponen yang terkait dalam fungsi pengendalian,
misalnya;
komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan
institusional. Adapun proses Corporate Governance adalah pelaksanaan dan
implementasi Corporate Governance melalui pelaksanaan prinsip keadilan,
transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas. Proses tata kelola perusahaan ini di
antaranya dapat meliputi : (1) pemberian suara sesuai dengan jumlah kepemilikan
sebagai manifestasi dari prinsip keadilan; (2) penyajian laporan keuangan yang
akurat, tepat waktu, memberikan pengungkapan yang memadai sebagai
manipestasi dari prinsip transparansi; dan (3) ketaatan manajemen pada peraturan
dan perundang-undangan serta kepeduliannya terhadap lingkungan, sebagai
manipestasi dari prinsip akuntabilitas.
Dari penjelasan diatas maka dalam suatu perusahaan corporate
governance sebagai sistem pengendalian, terdiri atas mekanisme dan proses
52
corporate governance. Mekanisme corporate governance mencerminkan fungsi
pengendalian
sedangkan
implementasi
corporate
proses
corporate
governance
dalam
governance
aktivitas
mencerminkan
usaha
perusahaan.
Pemisahaan antara mekanisme corporate governance dan proses corporate
governance agar mekanisme corporate governance dapat membantu proses
corporate governance perusahaan agar dapat terlaksana terlaksana dengan baik.
Mekanisme Corporate Governance yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
Kepemilikan
Institusional.
Kepemilikan
Institusional
menurut
Murwaningsari (2009), merupakan Institusi sebuah lembaga yang memiliki
kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham,
sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu
untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara
profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap
tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan.
Kepemilikan institusional umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang
memonitor perusahaan (Novita dan Djakman, 2008), control yang dapat diberikan
dalam Kepemilikan Institusional adalah dengan memberikan arahan dan masukan
kepada manajemen ketika manajemen tidak melakukan aktivitas positif seperti
pengungkapan CSR untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Hal ini
penting untuk dilakukan karena akan berdampak positif bagi keberlanjutan
perusahaan di masa mendatang. Kepemilikan institusional dapat memberikan
monitoring terhadap manajemen untuk melakukan aktivitas positif tersebut.
53
Struktur kepemilikan institusional umumnya dapat bertindak sebagai pihak
yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang
besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor
manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien
pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai
pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faizal, 2004
dalam Arif dkk.,2004). Institusi merupakan suatu organisasi yang memiliki
kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham.
Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggungjawab pada divisi tertentu
untuk mengelola aktivitas investasi perusahaan tersebut, selanjutnya institusi
tersebut akan memantau secara profesional perkembangan investasi yang
dilakukan dengan tingkat pengendalian pada tindakan manajemen yang tinggi
sehingga potensi kecurangan dapat dikendalikan. Kepemilikan saham institusional
diukur dengan proksi jumlah saham yang dimiliki suatu institusi dalam sebuah
perusahaan terhadap total jumlah saham yang beredar. (Murwaningsari, 2009)
2.1.5 Profitabilitas Perusahaan
Profitabilitas adalah faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibelitas
kepada manajemen untuk melakukan dan mengungkapkan kepada pemegang
saham program tanggung jawab sosial secara lebih luas (Heinze, 1976 dalam
Florence, et al., 2004). Menurut Petronila dan Mukhlasin (2003) dalam
Wahidahwati (2002) profitabilitas merupakan gambaran dari kinerja manajemen
dalam mengelola perusahaan. Ukuran profitabilitas dapat berbagai macam seperti:
54
laba operasi, laba bersih, tingkat pengembalian investasi/aktiva, dan tingkat
pengembalian ekuitas pemilik.
Ang (1997) dalam Wahidahwati (2002) mengungkapkan bahwa rasio
profitabilitas atau rasio rentabilitas menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan. Keuntungan yang layak dibagikan kepada pemegang
saham adalah keuntungan setelah bunga dan pajak. Semakin besar keuntungan
yang diperoleh semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayarkan
dividennya. Para manajer tidak hanya mendapatkan dividen, tapi juga akan
memiliki kemampuannya yang lebih besar dalam menentukan kebijakan
perusahaan.
Profitabilitas suatu perusahaan diukur dengan rasio profitabilitas yaitu
rasio yang mengukur kemampuan para eksekutif perusahaan dalam menciptakan
tingkat keuntungan baik dalam bentuk laba perusahaan maupun nilai ekonomis
atas penjualan, aset bersih perusahaan maupun modal sendiri (shareholders
equity) (Hendra S. Raharjaputra, 2009: 205).
Pada penelitian ini, kemampuan perusahaan menghasilkan laba diukur
dengan menggunakan rasio return on asset (ROA). ROA mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba bersih setelah pajak dari total
aset yang digunakan untuk operasional perusahaan (Gitman, 2009). ROA
merupakan
rasio
yang
menggambarkan
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan keuntungan dari setiap rupiah aktiva yang digunakan dan
memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena
menunjukkan efektivitas manajemen dalam menggunakan aktiva dalam upaya
55
memperoleh pendapatan (Darsono dan Ashari, 2005). ROA mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat
aktiva tertentu atau dapat dikatakan pula bahwa ROA merupakan rasio yang
menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari
setiap rupiah aktiva yang digunakan.
2.1.6. Ukuran Perusahaan
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia membagi
ukuran perusahaan dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar, perusahaan
menengah dan perusahaan kecil. Suatu perusahaan yang sudah mapan akan
memiliki aktivitas yang lebih besar dan memilki risiko atau tanggung jawab yang
besar pula sesuai dengan aktivitas yang dilakukan. Semakin besar suatu
perusahaan maka akan semakin dikenal masyarakat, yang berati semakin mudah
untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan (Jogiyanto, 2003:282).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2003) menyatakan bahwa ukuran
perusahaan mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan,
semakin besar suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas yang dilakukan
sehingga memberikan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat, selain itu
perusahaan besar mempunyai kemampuan merekrut karyawan yang ahli, serta
adanya tuntutan dari pemegang saham dan analis, hal ini menjadikan perusahaan
besar memiliki inisiatif untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Disamping itu, perusahaan besar
merupakan emiten yang banyak disoroti, sehingga pengungkapannya yang lebih
56
luas merupakan pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan.
Sedangkan menurut Sembiring (2005) perusahaan besar yang memiliki
biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas
untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Di samping itu, perusahaan besar
merupakan emiten yang banyak disoroti, pengungkapan yang lebih besar
merupakan wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan yang lebih besar
dalam melakukan aktivitas yang lebih banyak sehingga memiliki pengaruh yang
lebih besar terhadap masyarakat, memilik lebih banyak pemegang saham yang
punya perhatian terhadap program sosial yang dilakukan perusahaan dan laporan
tahunan merupakan alat yang efisien untuk mengkomunikasikan informasi ini
(Cowen et Al., 1987) dalam Achmad (2007).
Salah satu tolok ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah
ukuran aktiva dari perusahaan. Semakin besar jumlah aktiva perusahaan, maka
semakin besar ukuran perusahaan tersebut (Jin dan Machfoedz, 1998). Perusahaan
yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah
mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah
positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif
lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan
lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset yang
kecil (Indriani, 2005). Menurut Ahmad Nurkhin (2009) berdasarkan kategori total
asset perusahaan yang total assetnya kurang dari Rp.1.000 milyar rupiah adalah
57
termasuk perusahaan kecil sedangkan perusahaan yang total asset perusahaannya
lebih dari Rp.1.000 milyar rupiah adalah termasuk perusahaan besar.
Menurut Sujoko dan Soebiantoro (2007), ukuran perusahaan menunjukkan
aktivitas perusahaan yang dimiliki perusahaan. Ukuran perusahaan secara
langsung mencerminkan tinggi rendahnya aktivitas operasi suatu perusahaan.
Pada umumnya semakin besar suatu perusahaan maka akan semakin besar pula
aktivitasnya. Weston dan Brigham (2000) menyatakan bahwa suatu perusahaan
yang besar dan mapan (stabil) akan lebih mudah untuk ke pasar modal.
Kemudahan untuk ke pasar modal berarti fleksibilitas perusahaan besar lebih
tinggi serta kemampuan untuk mendapatkan dana dalam jangka pendek juga lebih
besar daripada perusahaan kecil. Dalam menganalisis ukuran perusahaan dapat
dirumuskan:
Total aktiva = aktiva lancar + aktiva tidak lancar
Sumber: Ferry dan Jines (2002)
Ukuran perusahaan mendapat perhatian penting dalam penelitian
pengungkapan CSR, karena sejauhmana pengungkapan CSR yang dilakukan oleh
perusahaan dapat dipengaruhi
oleh ukuran perusahaan tersebut. ukuran
perusahaan merupakan dimensi yang menunjukan besar- kecilnya perusahaan
tersebut. Haniffa dan Cooke (2002).
Elton dan Gruber (2004) menyatakan bahwa asset size perusahaan besar
dianggap mempunyai resiko lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan kecil,
karena perusahaan besar dianggap lebih mempunyai akses ke pasar modal
sehingga dianggap mempunyai beta yang lebih kecil. Kemudahan perusahaan
58
besar masuk ke pasar modal berarti perusahaan dapat dengan mudah memperoleh
dana segar untuk membiayai investasinya dan meningkatkan pertumbuhan
perusahaan; sebab semakin besar perusahaan maka semakin banyak dana yang
dibutuhkan untuk membiayai investasinya. Dalam pandangan penelitian terdapat
tiga alternatif proksi yang dapat digunakan dalam pengukuran variabel ukuran
perusahaan, yaitu (1) Ukuran asset yang diambil dari neraca per akhir tahun, (2)
besaran penjualan bersih yang diambil dari laporan laba rugi per akhir tahun, (3)
kapitalisasi pasar atau nilai saham akhir tahun (Fitriany, 2001).
Dalam penelitian ini menggunakan total asset untuk menghitung variabel
ukuran perusahaan menggunakan logaritma natural dari total aktiva (Fleming,
2004). Adapun alasan penggunaan proksi ini juga mengacu pada penelitian yang
telah dilakukan oleh Munif (2010) yang menggunakan variabel ukuran
perusahaan. Dalam penelitian tersebut, diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi
indeks pengungkapan CSR dengan sampel perusahaan non-keuangan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia, peneliti menggunakan nilai kapitalisasi pasar
sebagai proksi ukuran perusahaan. Namun hasilnya, proksi tersebut tidak
mempengaruhi indeks pengungkapan CSR dan dinyatakan oleh peneliti hasil
tersebut kurang valid, oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya, peneliti
menyarankan untuk menggunakan total aktiva dalam mengukur ukuran
perusahaan. Hal ini dilakukan untuk mencegah perolehan hasil yang kurang valid
karena pengukuran dengan total aktiva tidak terpengaruh oleh pasar sehingga
dapat menghasilkan data yang valid.
Ukuran perusahaan dinilai dengan log of total assets ini digunakan untuk
59
mengurangi perbedaan signifikan antara ukuran perusahaan yang terlalu besar
dengan ukuran perusahaan yang terlalu kecil, maka nilai total asset dan sales
dibentuk menjadi logaritma natural, konversi kebentuk logaritma natural ini
bertujuan membuat data total asset terdistribusi normal. Ukuran perusahaan
menggunakan log natural dari total asset menurut Klapper (2002): Size=Ln total
asset
2.1.7 Hasil Penelitian Empiris Sebelumnya tentang Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance, Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan
terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility
2.1.7.1 Mekanisme Corporate governance dan Pengungkapan Corporate
Social Responsibility
Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) menyatakan bahwa
tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan,
organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik atau good
corporate governance (GCG) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya. Jamali, D. et a.l (2008) telah melakukan penelitian
terhadap hubungan antara corporate governance dan CSR, yang menyatakan
bahwa corporate governance merupakan tiang utama dalam melakukan CSR yang
berkesinambungan, diawali dengan keseimbangan berbagai pihak yang peduli
terhadap CSR sehingga berkembang menjadi apresiasi yang saling terkait dan
kebutuhan untuk melaksanakan corporate governance diiringi dengan aktivitas
CSR secara sukarela.
Menurut Shahin A. & M.,Zairi, 2007, agar kinerja dan nilai perusahaan
dapat meningkat, seharusnya perusahaan tidak hanya memperhatikan corporate
60
governance saja dan tidak memperhatikan Corporate Social Responsibility.
Karena kedua aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan
berjalan bersamaan untuk meningkatkan sustainability operasional perusahaan.
Haniffa & Cooke (2005) telah mengkaji pengaruh corporate governance
terhadap pengungkapan CSR di pasar modal Malaysia. Kajian tersebut
menyimpulkan bahwa peran direktur non eksekutif terbatas terhadap kebijakan
pengungkapan CSR. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan pengalaman
dan pengetahuan para direktur non eksekutif. Tapi, direktur eksekutif (chairman
of the board) berpengaruh besar dibandingkan direktur yang lain. Pengaruh ini
juga termasuk seberapa banyak informasi yang harus diungkapkan oleh
perusahaan. Karena pengungkapan CSR masih bersifat sukarela, kemauan
perusahaan mengungkapkan suatu informasi dipengaruhi juga oleh perusahaan
lain. Direktur yang memiliki jabatan yang sama di perusahaan lain (multiple
directorship)
akan
berpengaruh
terhadap
jumlah
informasi
CSR
yang
diungkapkan oleh suatu perusahaan.
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan oleh
institusi keuangan, seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan asset
management (Veronica dan Bachtiar, 2003). Tingkat kepemilikan institusional
yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak
investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer.
Hal senada juga dikemukan oleh Novita dan Djakman (2008) bahwa kepemilikan
institusional umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor
perusahaan, misalnya memberikan arahan dan masukan kepada manajemen ketika
61
manajemen tidak melakukan aktivitas positif seperti pengungkapan CSR untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan karena
akan berdampak positif bagi keberlanjutan perusahaan di masa mendatang.
Kepemilikan institusional dapat memberikan monitoring terhadap manajemen
untuk melakukan aktivitas positif tersebut, dengan demikian pengungkapan CSR
perusahaan dapat dipengaruhi oleh tingkat kepemilikan institusional. Penelitian
ini mengkaitkan struktur kepemilikan (kepemilikan asing dan kepemilikan
institusional) dengan variabel kontrol tipe industri, ukuran perusahaan, dan
kategori BUMN-Non BUMN terhadap luas pengungkapan CSR.
Penjelasan di atas, memberikan pemahaman bahwa dengan tingkat
kepemilikan institusional yang merupakan salah satu Mekanisme Corporate
Governance akan mempengaruhi tingkat pengawasan terhadap manajemen.
Semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional akan meningkatkan tingkat
pengawasan manajemen terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility.
2.1.7.2 Profitabilitas dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Belkaoui
dan
Karpik
(1989)
mengungkapkan
bahwa
hubungan
profitabilitas dengan pengungkapan CSR paling baik diekspresikan dengan
pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan
kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba.
Namun, menurut Donovan dan Gibson (2000) menyatakan hal yang berbeda.
Berdasarkan teori legitimasi, ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi,
perusahaan menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu
62
informasi tentang kesuksesan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat
profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca
“good news” kinerja perusahaan misalnya dalam lingkup sosial (Sembiring,
2005).
Choi (1998) dalam Hossain dkk (2006) menyatakan bahwa hubungan
profitabilitas dan pengungkapan CSR merupakan isu kontroversial untuk
dipecahkan. Argumentasinya adalah bahwa akan terdapat biaya tambahan dalam
rangka pengungkapan CSR. Dengan demikian, profitabilitas akan menjadi turun.
Bowman & Haire (1976) dan Preston (1978) dalam Hackston & Milne (1996)
menyatakan semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar
pengungkapan informasi sosial (Anggraini, 2006). Pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan mencerminkan suatu pendekatan manajemen adaptive dalam
menghadapi lingkungan yang dinamis dan multidimensional serta kemampuan
untuk mempertemukan tekanan sosial dengan reaksi kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, ketrampilan manajemen perlu dipertimbangkan untuk survive
dalam lingkungan perusahaan masa kini (Cowen, et al., 1987 dalam Florence, et
al., 2004).
Menurut Waddock & Graves, 1997, kinerja sosial yang baik dan praktek
manajerial yang bagus akan menghasilkan kinerja keuangan yang baik. Waddock
& Graves (1997) menemukan hubungan yang signifikan antara indeks kinerja
sosial dan kinerja ekonomi seperti ROA pada tahun berikutnya. Mereka juga
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kinerja keuangan dan kinerja sosial
akan menjadi negatif, jika pengeluaran untuk CSR dibebankan sebagai biaya bagi
63
perusahaan. Biaya CSR ini (contoh investasi dalam kontrol polusi) akan membuat
perusahaan kurang kompetitif, jika pesaing memutuskan tidak menjadikan
pengeluaran CSR tersebut sebagai biaya. Secara alternatif, hubungan akan
menjadi positif jika manfaat dari CSR melebihi dari biaya yang dikeluarkan.
2.1.7.3
Ukuran Perusahaan
Responsibility
dan
Pengungkapan
Corporate
Social
Sembiring (2003) dalam penelitiannya juga menunjukkan adanya
pengaruh antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan. Akan tetapi indikator yang digunakan dilihat dari jumlah tenaga kerja
yang ada pada perusahaan yang bersangkutan. Dari sisi tenaga kerja, dengan
semakin banyaknya jumlah tenaga kerja dalam suatu perusahaan, maka tekanan
pada pihak manajemen untuk memperhatikan kepentingan tenaga kerja akan
semakin besar. Program berkaitan dengan tenaga kerja yang merupakan bagian
dari tanggng jawab sosial perusahaan, akan semakin banyak dilakukan oleh
perusahaan. Hal ini berarti program tanggung jawab sosial perusahaan juga
semakin banyak dan akan diungkapkan dalam laporan tahunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2003) dalam Nurlela dan
Islahuddin (2008) menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, semakin besar suatu perusahaan
maka semakin banyak aktivitas yang dilakukan sehingga memberikan dampak
yang lebih besar terhadap masyarakat, selain itu perusahaan besar mempunyai
kemampuan merekrut karyawan yang ahli, serta adanya tuntutan dari pemegang
saham dan analis, hal ini menjadikan perusahaan besar memiliki inisiatif untuk
64
melakukan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Disamping itu, perusahaan besar merupakan emiten yang banyak disoroti,
sehingga pengungkapannya yang lebih luas merupakan pengurangan biaya politis
sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Berikut ini disajikan beberapa
penelitian yang mendukung penelitian yang dilakukan penulis seperti yang dapat
dilihat pada tabel 2.1, sebagai berikut:
Tabel 2.1
Penelitian-penelitian terdahulu
No.
Nama,
Tahun
Publikasi/Judul
Penelitian
Rekomendasi
1
Fr. Reni.
Retno
Anggraini,
2006
Pengungkapan
informasi sosial
dan faktor yang
mempengaruhi
pengungkapan
informasi sosial
dalam
laporan
tahunan.
2
Jamali, D.,
Safieddine
A.M.
&
Rabbath,
M., 2008
Haniffa,
R.M. dan
Cooke,
T.E., 2005.
3
Posisi dengan Usulan Penelitian Ini
Persamaan
Perbedaan
Perusahaan
kepemilikan
manajemen
yang
besar
dan dalam
industri yang berisiko
politis yang tinggi
cenderung
mengungkapkan CSR
lebih banyak.
Memasukkan
ukuran
perusahaan dan
CSR
Kajian
tidak
mengkaitkan
dengan
profitabilitas
perusahaan dan
Mekanisme
Corporate
Governance.
Corporate
Governance and
Corporate Social
Responsibility :
Synergies
and
Interrelationship.
Corporate
Governance
yang
diimbangi
dengan
perhatian
terhadap
CSR.
Saling
tergantung
antara
GCG dan CSR untuk
meningkatkan kinerja
CSR.
Menkaji
hubungan
dan GCG.
Mengkaji
hubungan CSR
dan GCG dr
perspektif
manager
yg
terlibat langsung
dengan CSR.
The Impact of
Culture
and
Governance on
Corporate Social
Reporting.
Hubungan
yang
signifikan
antara
pengungkapan sosial
perusahaan (CSRD)
dan dewan direksi.
Ukuran perusahaan,
jenis industri secara
signifikan
terkait
dengan CSRD
Menggunakan
data
sekunder
untuk
analisis.
Firms
size,
penentu CSRD
dan
menggunakan
mekanisme
Corporate
Governance.
CSR
Tidak
mempertimbangk
an profitabilitas.
Lebih fokus pada
budaya manager
yang berasal dari
multiple
directorships and
foreign
share
Ownership.
65
4
Veronica
dan
Bachtiar
2005.
Pengaruh
Struktur
Kepemilikan,
Ukuran
Perusahaan, dan
Praktik
CG
terhadap
pengelolaan laba.
Tingkat kepemilikan
institusional
yang
tinggi
akan
menimbulkan usaha
pengawasan
yang
lebih besar oleh pihak
investor institusional
Mengkaji
kepemilikan
Institusional dan
ukuran
perusahaan
Tidak
mempertimbang
kan profitabilitas
perusahaan
5
Novita dan
Djakman,
2008
Pengaruh
Struktur
Kepemilikan
terhadap Luas
Pengungkapan
Tanggung Jawab
Sosial
(CSR
Disclosure) pada
Laporan
Tahunan
Perusahaan
Struktur kepemilikan
(kepemilikan asing
dan kepemilikan
institusional) dengan
variabel kontrol tipe
industri, ukuran
perusahaan,
dan kategori BUMNNon BUMN dapat
berpengaruh terhadap
luas pengungkapan
CSR.
Mengkaitkan
struktur
kepemilikan
institusional dan
ukuran
perusahaan
terhadap
pengungkapan
CSR
Tidak
mempertimbang
kan profitabilitas
perusahaan.
6
Belkaoui,
A. and
Karpik,
P.G. ,
1989
Determinants Of
The Corporate
Decision To
Disclose Social
Information
Adanya hubungan
profitabilitas dengan
pengungkapan CSR
diekspresikan dengan
pandangan bahwa
tanggapan sosial yang
diminta dari
manajemen sama
dengan kemampuan
yang diminta untuk
membuat suatu
perusahaan
memperoleh laba.
Mengkaitkan
CSR
dan
profitabilitas.
Tidak
mengkaitkan CG
dan
ukuran
perusahaan.
7
Sembiring,
2 003.
Pengaruh kinerja
keuangan,
political
visibility,
ketergantungan
pada hutang
terhadap
pengungkapan
CSR.
Variabel
ukuran perusahaan
(size) sebagai salah
satu proksi political
visibility yang terbukti
signifikan
berpengaruh terhadap
pengungkapan CSR.
Mengkaitkan
CSR dan ukuran
perusahaan
Kajian
tidak
mengkaitkan
GCG
66
8
Sembiring,
2 005.
Karakteristik
Perusahaan dan
Pengungkapan
Tanggung Jawab
Sosial
Memasukkan variabel
profile dan ukuran
dewan komisaris
sebagai pengganti dari
variabel kepemilikan
publik.
Mengkaitkan
CSR dan ukuran
perusahaan
Kajian
tidak
mengkaitkan
profitabilitas
9
Hossain
dkk, 2006.
Corporate Social
and
Environmental
Disclosure in
Developing
Countries
Menemukan bukti
bahwa faktor
profitabilitas (dengan
proksi net profit
margin)
mempunyai hubungan
positif terhadap
pengungkapan CSR.
Mengkaitkan
CSR
dan
profitabilitas
Kajian
tidak
mengkaitkan
Mekanisme
Corporate
Governance
10
Hackston,
D.
&
Milne,
M.J.,
1996.
Some
Determinants Of
Social
And
Environmental
Disclosures
Ukuran perusahaan
dan Jenis industri
secara
signifikn
berpengaruh terhadap
jumlah
pengungkapan.
Pengaruh
Ukuran
perusahaan terhadap
pengungkapan lebih
kuat untuk industri
high-profile .
Indikator Firm
Size dengan total
asset.
Corporate Social
Disclosure
(CSD) dihitung
brdasarkan
jumlah halaman
pada
laporan
tahunan.
11
Waddock,
S.A.
&
Graves, S.,
1997
The Corporate
Social
Performance
Financial
Performance
Kinerja
sosial
perusahaan
berhubungan positif
secara
signifikan
dengan
kinerja
keuangan
tahun
mendatang.
Mengkaitkan
profitabilitas dan
CSR
Menggunakan
firm size jumlah
karyawan
sebagai variabel
kontrol.
Hubungan
Corporate
Governance,
Corporate Social
Responsibilities
dan Corporate
Financial
Performance
Dalam
Satu
Continuum.
Good
Corporate
Governance
yang diamati melalui
kep. managerial dan
institusional,
berpengaruh terhadap
pengungkapan
tanggung
jawab sosial
perusahaan
Mengkaitkan
Corporate
Governance,
Corporate Social
Responsibilities
dan Corporate
Financial
Performance
Tidak
mengkaitkan
dengan ukuran
perusahaan.
Corporate
Governance as A
Critical Element
Corporate
Governance sebagai
elemen penting untuk
Menganalisis CG
sebagai penentu
implementasi
Study kasus dan
interview para
manager
Link
12
Murwaning
sari,
2007
13
Shahin,
Arash &
Zairi, M.,
67
2007
for Driving
Excellence in
Corporate Social
Responsibility
keunggulan CSR
dapat menjadi sumber
keunggulan
kompetitif bagi
perusahaan.
CSR guna
meningkatkan
kinerja keuangan
perusahaan.
perusahaan guna
mengkaji CG
sebagai variabel
penentu CSR.
14
Yuniarti
(2003)
dalam
Nurlela
dan
Islahuddin
(2008)
Pengungkapan
informasi
pertanggungjawa
ban sosial pada
perusahaan
yang terdaftar di
BEI
Hasil penelitian
menemukan: tingkat
pengungkapan CSR
sangat rendah,
Ukuran
perusahaan
mempengaruhi
tingkat pengungkapan
CSR, Setiap jenis
industri
berbeda dalam
pengungkapan CSR
Menkaji tentang
pengungkapan
CSR dan ukuran
perusahaan
Kajian
tidak
mengkaitkan
dengan
mekanisme
corporate
governance dan
profitabilitas
15
Nurlela
dan
Islahuddin
(2008)
pengaruh
Corporate Social
Responsibility
(CSR) terhadap
nilai perusahaan
dengan
kepemilikan
manajemen
sebagai variabel
moderating
Corporate Social
Responsibility,
prosentase
kepemilikan, serta
interaksi antara CSR
dengan persentase
kepemilikan
manajemen secara
simultan berpengaruh
signifikan
Menkaji tentang
CSR
dan
Mekanisme
Corporate
Governance
Kajian
tidak
mengkaitkan
Mekanisme
Corporate
Governance
dengan
Kepemilikan
Institusional
Sumber : Jurnal Penelitian Yang Dipublikasikan
2.2
2.2.1
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Kerangka Pemikiran.
2.2.1.1 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Pengungkapan
Corporate Sosial Responsibility
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan terhadap masyarakat dan
lingkungannya atau yang dikenal dengan konsep Corporate Sosial Responsibility.
Penerapan konsep ini diperkuat dengan diibentuknya Undang Undang perseroan
terbatas No. 40/tahun 2007, pasal 74 mengenai tanggung jawab sosial dan
68
lingkungan mengenai perseoran terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya
dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Pengertian CSR menurut World Business Council for Sustainable
Development adalah yang dikutip oleh M.Arief Effendi (2009:107) sebagai
berikut:
“Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku
etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya
meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta
komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.”
CSR merupakan sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu
nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
(financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom
lines yaitu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (Daniri,
2008).
Tanggung jawab sosial diartikan bahwa perusahaan bertanggung jawab
pada tindakan yang mempengaruhi konsumen, masyarakat, dan lingkungan.
Selama ini produk akuntansi konvensional dimaksudkan sebagai pertanggung
jawaban manajemen kepada pemilik saham (sebagai salah satu stakeholders
internal), kini paradigma tersebut diperluas menjadi pertanggung jawaban kepada
seluruh stakeholders (Sofyan S. Harahap, 2007). Pengungkapan corporate social
responsibilities dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan
untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan
69
dari sisi ekonomi dan politis. (Guthrie dan Parker, 1990) dalam Sayekti dan
Wondabio, 2007).
Selanjutnya pengertian Corporate Governance menurut Calbury
Committee yang dialih bahasakan oleh Indra Surya (2006:24) adalah sebagai
berikut:
”Corporate Governance adalah sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan
antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk
menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada
stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik,
direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.”
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
Corporate Governance merupakan sistem yang memberikan acuan dan
mengendalikan perusahaan sehingga perusahaan dapat mencapai nilai tambah
(value added) bagi stakeholders. Dalam menjamin kelangsungan dan eksistensi
perusahaan, setiap perusahaan harus memastikan bahwa setiap prinsip dasar
Corporate Governance senantiasa diterapkan pada aspek bisnis dan di semua
jajaran perusahaan. Menurut M.A. Daniri (2005), prinsip-prinsip yang terkandung
dalam corporate governance yaitu, transparency, accountability, responsibility,
independency dan fairness (dikenal dengan TARIF).
Corporate governance dapat diterapkan berbeda tergantung atas
bagaimana mekanisme pemilik perusahaan mempengaruhi manajer. Secara umum
mekanisme corporate governance terdiri atas dua jenis yaitu: (1) The internal
mechanisms of corporate governance; dan (2) The external mechanismst of
corporate governance. Mekanisme corporate governance dapat meliputi
mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme internal dapat meliputi; struktur
70
dewan komisaris, struktur kepemilikan, konpensasi eksekutif, struktur bisnis
multidivisi. Mekanisme eksternal dapat meliputi; pengendalian oleh pasar,
kepemilikan institusional, pendanaan dengan hutang (debt financing). Mekanisme
Corporate Governance yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kepemilikan
Institusional.
Kepemilikan
Institusional
menurut
Murwaningsari
(2009),
merupakan Institusi sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap
investasi yang dilakukan termasuk investasi saham, sehingga biasanya institusi
menyerahkan tanggungjawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi
perusahaan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) menyatakan bahwa
tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan,
organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik atau good
corporate governance (GCG) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya. Hal senada juga dikemukan oleh Novita dan
Djakman (2008) bahwa kepemilikan institusional umumnya dapat bertindak
sebagai pihak yang memonitor perusahaan, misalnya memberikan arahan dan
masukan kepada manajemen ketika manajemen tidak melakukan aktivitas positif
seperti pengungkapan CSR untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Hal ini
penting untuk dilakukan karena akan berdampak positif bagi keberlanjutan
perusahaan di masa mendatang.
Dari pemahaman di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa
jika Mekanisme Corporate Governance dilaksanakan baik maka akan
berpengaruh terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibilities, karena
71
dengan adanya Corporate Social Responsibilities pada lingkungan perusahaan
maka akan dapat memberi jaminan kepada pemangku kepentingan (stakeholders)
bahwa perusahaan telah melakukan tata kelola perusahan yang baik.
Pengungkapan Corporate Social Responsibility akan lebih efektif apabila pada
perusahaan terdapat Mekanisme Corporate Governance yang efektif.
2.2.1.2 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Sosial
Responsibility
Profitabilitas
menunjukkan
kemampuan
suatu
perusahaan
untuk
menghasilkan keuntungan yang dapat mempengaruhi perusahaan dalam
pengambilan suatu keputusan. Profitabilitas adalah faktor yang memberikan
kebebasan
dan
fleksibelitas
kepada
manajemen
untuk
melakukan
dan
mengungkapkan kepada pemegang saham program tanggung jawab sosial secara
lebih luas (Heinze, 1976 dalam Florence, et al., 2004).
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan mencerminkan suatu
pendekatan manajemen adaptive dalam menghadapi lingkungan yang dinamis dan
multidimensional serta kemampuan untuk mempertemukan tekanan sosial dengan
reaksi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, ketrampilan manajemen perlu
dipertimbangkan untuk survive dalam lingkungan perusahaan masa kini (Cowen,
et al., 1987 dalam Florence, et al., 2004). Belkaoui dan Karpik (1989) dalam
Anggraini (2006), mengatakan bahwa dengan kepeduliannya terhadap masyarakat
(sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable.
Dari pengertian profitabilitas dalam kaitannya dengan pengungkapan
Corporate Social Responsibilities terhadap masyarakat dapat disimpulkan bahwa
72
semakin baik profitabilitas perusahaan yang dimiliki investor perusahaan, maka
akan memiliki kepercayaan yang tinggi untuk melakukan pengungkapan
Corporate Social Responsibilities
.
2.2.1.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Pengungkapan Corporate
Sosial
Responsibility
Ukuran Perusahaan merupakan suatu bentuk ukuran besar atau kecilnya
kegiatan operasional atau aktivitas yang dilakukan pada suatu perusahaan.
Menurut Cowen et al. (1987) dalam Sembiring (2005), secara teoritis perusahaan
besar tidak akan lepas dari tekanan, dan perusahaan yang lebih besar mempunyai
aktivitas operasi yang lebih banyak dan memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap masyarakat, serta mungkin akan memiliki pemegang saham yang lebih
banyak yang akan selalu memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan
sehingga pengungkapan informasi sosial perusahaan akan semakin luas, hal
tersebut
menyebabkan
perusahaan
yang
lebih
besar
dituntut
untuk
memperlihatkan/mengungkapkan tanggung jawab sosialnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2003) menyatakan bahwa ukuran
perusahaan mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan,
semakin besar suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas yang dilakukan
sehingga memberikan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat, selain itu
perusahaan besar mempunyai kemampuan merekrut karyawan yang ahli, serta
adanya tuntutan dari pemegang saham dan analis, hal ini menjadikan perusahaan
besar memiliki inisiatif untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Disamping itu, perusahaan besar
73
merupakan emiten yang banyak disoroti, sehingga pengungkapannya yang lebih
luas merupakan pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan.
Dari penjelasan diatas maka ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai
indikator dalam penentuan banyak atau sedikitnya pengungkapan yang dilakukan
oleh perusahaan, semakin besar suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas
yang dilakukan sehingga memberikan dampak yang lebih besar terhadap
masyarakat,dan
pengungkapan
Corporate
Social
Responsibility
terhadap
masyarakat pun akan semakin besar.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan penelitian-penelitian sebelumnya
maka Penjelasan-penjelasan di atas dapat dituangkan dalam bagan kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Mekanisme
Corporate Governance
Profitabilitas
Pengungkapan
Corporate
Social
Responsibility
Ukuran Perusahaan
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran
74
2.2.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan suatu pernyataan dugaan, suatu proposisi sementara,
mengenai hubungan antar variabel
penelitian (Sugiyono, 2013). Berdasarkan
kajian teoritis dan kerangka pemikiran, hipotesis penelitian yang diajukan adalah:
Hipotesis 1
: Mekanisme
Corporate
Governance
secara
parsial
berpengaruh positif terhadap pengungkapan Corporate Social
Responsibility pada Perusahaan Manufaktur yang tercatat di
BEI.
Hipotesis 2
: Profitabilitas secara parsial berpengaruh positif terhadap
pengungkapan
Corporate
Social
Responsibility
pada
Perusahaan Manufaktur yang tercatat di BEI.
Hipotesis 3
:
Ukuran
perusahaan secara parsial berpengaruh positif
terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility pada
Perusahaan Manufaktur yang tercatat di BEI.
Hipotesis 4
: Mekanisme Corporate Governance, Profitabilitas dan Ukuran
perusahaan secara simultan berpengaruh positif terhadap
pengungkapan
Corporate
Social
Responsibility
Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI.
pada
Download