BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang individu dapat dikatakan menginjak masa dewasa awal ketika mencapai usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu mengalami transisi dari masa remaja menuju ke dewasa. Meskipun belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa seutuhnya, namun individu pada tahap perkembangan ini juga tidak dapat dikategorikan sebagai seorang remaja (Arnett dalam Santrock, 2010). Kebanyakan individu pada usia dewasa awal telah memiliki kesadaran akan adanya kewajiban sosial serta tanggung jawab dan komitmen terhadap orang lain, sehingga mendorong tumbuhnya kemandirian dalam diri individu tersebut dalam menjalani kehidupannya. Usia dewasa awal juga dikaitkan dengan pencarian makna hidup (Mayseless & Keren, 2014). Pada dunia yang telah memasuki era postmodern, perubahan dalam masyarakat cenderung terjadi dengan cepat. Hal tersebut menyebabkan terciptanya budaya yang terbuka sehingga muncul berbagai posibilitas atau kemungkinan dalam hidup serta banyak ketidakpastian jawaban akan permasalahan yang terjadi. Kondisi yang demikian mendorong individu untuk melakukan ekplorasi secara mandiri guna menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. Proses eksplorasi diri tersebut berlangsung sepanjang kehidupan, terkhusus pada usia dewasa awal. Oleh karena itu, pencarian makna hidup melalui eksplorasi diri secara mandiri menjadi salah satu tugas perkembangan individu usia dewasa awal. Jeffrey Arnett (dalam Santrock, 2010) juga menyebutkan bahwa pada tahap perkembangan ini, individu aktif melakukan perubahan dan eksplorasi terhadap berbagai aspek dalam hidup, termasuk di antaranya pada aspek karir, hubungan romantis, dan juga cara pandang terhadap dunia. Sebagai modal dalam berkarir, kebanyakan individu mencari pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan dunia kerja yang akan dihadapi di usia dewasa tengah (Arnett, 2000). Salah satu jalan yang umum ditempuh adalah dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Indonesia memiliki enam jenis perguruan tinggi, yaitu akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, universitas, dan akademik komunitas yang tersebar di hampir seluruh wilayahnya (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2015). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia pada tahun 2015, perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, berjumlah 4.301. Meskipun demikian, kualitas antarperguruan tinggi di Indonesia tidaklah setara. Hal ini dibuktikan dengan adanya peringkat perguruan tinggi di Indonesia yang dikeluarkan oleh Kemenristek Dikti pada bulan Agustus 2015 (sumber: http://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/08/17/17-an-kemenristek-dikti-lansirperingkat-perguruan-tinggi-di-indonesia). Fenomena ini mendorong pelajar-pelajar di Indonesia yang baru saja menyelesaikan pendidikan di bangku SMA untuk merantau (Anggraini, 2014). Keinginan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sebagai modal meraih kesuksesan biasanya ditempuh dengan cara menuntut ilmu di universitas terbaik yang mungkin berada di luar kota atau daerah asal. Hal tersebut membuat pendidikan, terutama pendidikan jenjang perguruan tinggi, sebagai alasan yang kuat bagi generasi muda untuk pergi merantau. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi merantau adalah pergi ke tempat yang tidak berapa jauh untuk mencari penghidupan, ilmu, dan lain sebagainya. Pada tahun 2013, tercatat jumlah mahasiswa di Yogyakarta mencapai sekitar 310.860 orang, dan 78,7% dari jumlah tersebut atau sekitar 244.739 orang merupakan mahasiswa perantauan dari luar wilayah Yogyakarta (sumber: http://nasional.kompas.com/read/2013 /04/08/03164776/Pertahankan.Indonesia.Mini.di.Yogyakarta). Menempuh pendidikan di kota lain bukanlah hal yang mudah, terutama bagi mahasiswa yang belum pernah hidup terpisah dari orangtua dan kebutuhan sehari-hari terbiasa disiapkan oleh orangtua (Tjiong, 2014). Persiapan seorang anak untuk meninggalkan “zona nyaman” bersama orangtua dan memutuskan tinggal sendiri membutuhkan tekad yang kuat. Tentu saja mahasiswa tersebut akan mengalami berbagai perubahan dalam hidupnya yang menuntut dirinya untuk melakukan penyesuaian diri, salah satunya adalah harus beradaptasi untuk hidup mandiri dan bertanggungjawab atas diri sendiri (Anggraini, 2014). Salah satu kemampuan yang mendukung proses adaptasi adalah kemampuan pengambilan keputusan, yaitu suatu proses pemilihan satu di antara dua atau lebih pilihan berdasarkan kriteria atau strategi tertentu (Wang & Ruhe, 2007). Pengambilan keputusan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, mengingat bahwa manusia selalu dihadapkan dengan beberapa alternatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai mahasiswa yang sudah memasuki usia dewasa awal, kemandirian dalam pengambilan keputusan seharusnya sudah berkembang (Arnett, 2000). Kemandirian pengambilan keputusan pada usia dewasa awal ini berkaitan erat dengan self-sufficiency, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan secara mandiri serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan (Newman & Newman, 2012). Steinberg (dalam Budiman, 2011) menyatakan bahwa pada dewasa awal, seorang individu akan memiliki prinsip dan keyakinan tentang mana yang benar dan salah, serta menggunakan keyakinan tersebut untuk mengambil keputusan secara mandiri dan mau bertanggungjawab atas konsekuensi yang timbul dari keputusan tersebut. Inilah yang disebut Steinberg sebagai values autonomy dan behavioral autonomy. Tingkat kemandirian dalam pengambilan keputusan pada usia dewasa awal ditunjang oleh kemampuan kognisi yang semakin berkembang dan bahkan mencapai puncaknya ketika usia dewasa awal (Sigelman & Rider, 2006). Piaget (dalam Santrock, 2010) menempatkan tahap operasional formal sebagai periode terakhir perkembangan kognitif. Tahap operasional formal dimulai ketika individu berusia remaja dan terus berlanjut hingga mencapai usia dewasa. Meskipun berada pada tahap perkembangan yang sama, namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa individu dewasa awal memiliki pola pikir yang secara kualitatif berbeda dengan pola pikir remaja (Sigelman & Rider, 2006). Hal ini disebabkan adanya perubahan pola pikir yang lebih realistis, pragmatis, reflektif, dan relativistik. Oleh sebab itu, muncullah tahap perkembangan kognitif setelah tahap operasional formal, yaitu tahap postformal pada individu usia dewasa awal, termasuk pada mahasiswa (Sinnott dalam Santrock, 2010). Mahasiswa sebagai individu yang sudah melewati masa kanak-kanak hingga remaja tentu memiliki banyak pengalaman dalam hidupnya. Pengalaman-pengalaman tersebut terbentuk sejak kanak-kanak melalui interaksi dengan lingkungan sekitar, seperti interaksi dengan orangtua, guru, serta teman sebaya (Haryadi dalam Ulya, 2013). Pengalaman dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Dietrich, 2010). Kejadian di masa lalu dapat mempengaruhi pengambilan keputusan di masa kini dan juga masa depan. Individu memiliki kecenderungan untuk mengulang cara penyelesaian masalah yang menghasilkan dampak positif, dan sebaliknya akan menghindari cara penyelesaian masalah yang membawa dampak negatif. Dengan demikian, apabila dihadapkan pada situasi yang serupa dengan situasi yang pernah terjadi di masa lalu, individu akan mengulang cara pengambilan keputusan yang serupa dengan yang telah dilakukan di masa lalu. Kematangan kognitif dan banyaknya pengalaman yang dimiliki oleh mahasiswa, setidaknya sudah mampu membuat mahasiswa memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan. Namun kenyataannya, masih terdapat beberapa mahasiswa yang selalu kebingungan dalam beberapa hal dan tidak dapat melakukan pengambilan keputusan secara mandiri. Hasil penelitian Ariyani (2014) menemukan secara empiris beberapa mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian sedang dan bahkan rendah, termasuk kemandirian dalam hal pengambilan keputusan. Terdapat 113 subjek yang berpartisipasi mengisi skala sikap kemandirian, dan hasilnya 58,4% yang tergolong dalam kategori kemandirian tingkat sedang dan 32,74% masuk ke dalam kategori rendah. Sikap mahasiswa yang kurang mandiri dalam mengambil keputusan ditemukan dalam beberapa kasus, seperti misalnya kebingungan dalam menentukan gaya rambut dan pakaian yang akan dikenakan, kegiatan atau aktivitas yang harus dilakukan, dan lain sebagainya (Suriyanto, 2013). Hal tersebut biasanya dikarenakan kegagalan dalam menempatkan prioritas dan kurang matang dalam membuat rencana, sehingga pada akhirnya mahasiswa menjadi kurang percaya diri akan keputusan yang akan diambil dan memilih untuk bertanya dan mengikuti saran dari orang lain. Kegagalan mahasiswa dalam melakukan kemandirian pengambilan keputusan akan memunculkan masalah perilaku negatif, seperti harga diri yang rendah, perasaan malu, motivasi belajar dan prestasi akademik yang rendah, perasaan tidak aman, serta kecemasan (Schaefer & Millman dalam Ulya, 2013). Dalam rangka memperoleh gambaran fenomena terkait kemandirian dalam pengambilan keputusan pada mahasiswa yang merantau, peneliti melakukan wawancara pada beberapa mahasiswa rantau semester 7 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Wawancara dilakukan guna mengetahui sikap mahasiswa apabila menghadapi kebingungan terkait masalah sehari-hari sebagai mahasiswa rantau. Seluruh subjek menyatakan bahwa mereka sering kali memerlukan pendapat teman dalam mengambil sebuah keputusan berkenaan dengan masalah sehari-hari, misalnya dalam hal memilih tempat makan, membeli suatu barang, atau masalah relasi sosial dengan orang lain. Subjek mengaku bahwa rasa percaya diri dalam mengambil keputusan akan meningkat setelah mendapatkan saran dari teman. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan dengan subjek berinisial DA: “…iya, suka minta pendapat temen dulu gitu. Ee…soalnya kalo mutusin sendiri suka nggak pede. Nah, terus kalo udah…udah dapet saran dari temen tuh yaudah nurut aja. Tapi…biasanya sepikiran sih. Kayak aku udah punya pilihan apa…misalnya A, tapi bingung terusan pas nanya, eh, temen pilih A juga. Ya…udah tambah yakin buat milih A.” (DA, 8 Oktober 2015). Sependapat dengan DA, subjek berinisial TW juga terkadang merasa takut apabila harus mengambil keputusan sendiri sehingga subjek sering meminta pendapat temanteman dekatnya. Berikut kutipan wawancara dengan TW: “…eemm…biasanya sih nanya ee…terutama kalo ada yang urgent gitu ya, kayak misalnya harus balesin chat orang gitu kan harus saat itu juga kan. Nah aku gitu biasanya nanya ke temen dekeeet. Yang tau tentang masalahnya itu… Soalnya biar nggak…nggak salah langkah …” (TW, 26 Oktober 2015). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, peneliti memperoleh gambaran awal terkait fenomena yang tengah terjadi terkait kemandirian dalam pengambilan keputusan pada mahasiswa yang merantau. Beberapa mahasiswa masih memerlukan pendapat orang lain karena kurang percaya diri akan pilihannya serta takut apabila salah mengambil keputusan, terutama apabila dihadapkan pada kasus-kasus yang berkenaan dengan hubungan atau relasi sosial dengan orang lain. Pengambilan keputusan merupakan kemampuan yang terus berkembang seiring bertambahnya usia seorang individu. Kemampuan mengambil keputusan dalam sebuah permasalahan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu bias kognitif, pengalaman masa lalu, komitmen terhadap permasalahan yang dihadapi, rasa keterlibatan personal dalam permasalahan, serta usia dan perbedaan individu (Dietrich, 2010). Perbedaan individu mengarah pada variasi karakter antara satu individu dengan individu lain, termasuk salah satunya adalah perbedaan kepribadian yang dimiliki oleh individu tertentu (Farooq, 2011). Di dalam konstruk kepribadian individu berdasarkan pendekatan sosial kognitif, terdapat sebuah konsep yang disebut dengan locus of control (Neill, 2006). Locus of control merupakan suatu konsep yang menggambarkan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengontrol atau mengendalikan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupnya (Selart, 2005). Teori ini dikemukakan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1966. Rotter (dalam Selart, 2005) menyebutkan bahwa terdapat dua orientasi atau arah locus of control, yaitu internal dan eksternal. Internal locus of control merujuk pada keyakinan individu atas segala kejadian yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari perbuatannya. Sebaliknya, individu dengan external locus of control memandang segala kejadian yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari faktor eksternal di luar kendali dirinya, seperti nasib, keberuntungan, kesempatan, atau orang lain yang lebih berkuasa. Penelitian Merton (dalam Selart, 2005) menemukan bahwa orang dengan external locus of control memiliki kecenderungan untuk bertindak secara pasif dan kurang produktif. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Phares (dalam Selart, 2005) mengemukakan bahwa internal locus of control akan mendorong seseorang untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan serta kejadian yang terjadi dalam hidupnya, sebab terdapat kepercayaan diri akan kemampuan yang dimiliki, sehingga individu tersebut cenderung mengabaikan bantuan dari orang lain dan mengandalkan dirinya sendiri. Sebaliknya, individu dengan external locus of control akan cenderung beradaptasi dan menerima pengaruh yang diberikan oleh kelompok dan memiliki anggapan bahwa kesuksesan hanya akan diperoleh dengan cara berdiskusi dengan orang lain. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan locus of control yang dimiliki oleh seorang individu dapat berpengaruh pada pola pikir serta sikap individu dalam menghadapi permasalahan atau kejadian dalam hidupnya, termasuk sikap individu dalam mengambil keputusan. Mahasiswa rantau, sebagai individu yang telah memasuki usia dewasa awal, seharusnya sudah memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan, namun faktanya masih terdapat beberapa mahasiswa yang kurang dapat mengandalkan kemampuannya sendiri dan bergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan, terkhusus pada masalah yang berkaitan dengan relasi sosial dengan orang lain. Kesenjangan teori dengan fakta yang ada inilah yang menjadikan peneliti berminat untuk menguji secara empiris terkait hubungan locus of control, secara khusus internal locus of control, dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan pada mahasiswa baru yang merantau di Yogyakarta. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara internal locus of control dan kemandirian pengambilan keputusan dalam permasalahan relasi sosial pada mahasiswa baru yang merantau. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan referensi ilmiah bagi ilmu psikologi, khususnya pada bidang yang berkaitan dengan topik locus of control dan tingkat kemandirian pengambilan keputusan. Lebih lanjut, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut tentang locus of control dan kemandirian pengambilan keputusan pada kasus lain guna memperkuat, memperkaya, dan membandingkan temuannya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan yang komprehensif bagi mahasiswa rantau mengenai kemandirian pengambilan keputusan dalam permasalahan relasi sosial serta kaitannya dengan kecenderungan internal locus of control yang dimiliki. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan oleh tim konseling Fakultas Psikologi UGM sebagai referensi apabila terdapat berkonsultasi mengenai masalah kemandirian pengambilan keputusan. mahasiswa yang