Karakterisasi Fenotipe dan Gemotipe

advertisement
IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penapisan Mastitis Subklinis dengan Pereaksi IPB-1
Dengan menggunakan IPB-1 sebagai pereaksi untuk mendeteksi mastitis
subklinis maka diperoleh hasil dari masing-masing wilayah sebagai berikut: dari 72
sampel susu sapi di wilayah Bogor, sebanyak 55 (76,40%) menderita mastitis
subklinis (bereaksi + dengan IPB-1),152 sampel dari wilayah Boyolali 139 (91,00%)
menderita mastitis subklinis dan 168 sampd dari wilayah Malang 136 (80,95%)
menderita mastitis subklinis. Hasil dari skrining mastitis subklinis dapat dilihat pada
Tabel 2. Hasil penapisan sampel susu dari Bagor, Boyolali dan Malang tehadap
mastitis subklinis dengan menggunakan pereaksi IPB-1
Daerah
Jumlah sampel
Bogor
Boyolali
Malang
72
152
168
Jumlah
392
Mastitis subklinis
(IPB-1 ) +
Prosentase
Dari hasil ini tampak kejadian mastitis subklinis sangat tinggi (rata-rata
84,2%). Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian Wtbawan et a/. (1995) yang
mengatakan bahwa kejadian mastitis subklinik di pulau Jawa rnencapai 85%. Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dimana data
kasus mastitis subklinis yang tercatat antara lain 67% di pulau Jawa (Hirst et a/,
1984); 61,66% di Jawa Barat (Sudarwanto 1984) dan lebih dari 80% sapi perah di
DKI Jakarta (Sudarwanto et a/. 1987) dan antara tahun 1989 sampai 1996 diperoleh
80.90% di Jawa dan di Bogor sekitamya 80-87% (Ananto 1994; Sukada 1996;
Sudarwanto 1999).
Namun demikian dari ketiga daerah tersebut untuk daerah
Boyolali kejadian mastitis subklinisnya paling tinggi yaitu mencapai 91%. Perbedaan
insidensi mastitis subklinis dari 3 daerah yang diuji ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Penyakit mastitis sendiri dikenal sebagai penyakit yang kompleks
dengan penyebab yang beragam dan didukung oleh multi faktor yang berpengaruh
terhadap kejadiannya.
Ada 3 faktor utama penyebab tejadinya mastitis yang
dikenal sebagai 3 biosistim yaitu : hewan, lingkungan dan agen penyebab. Dari
faktor hewan dipengaruhi oleh : ras sapi, faktor genetis (anatomis ambing),
kepekaan individu, jumlah produksi , jumlah laktasi.
Faktor lingkungan yang
berpengaruh antara lain : higiene secara umum, manusia (pemerah, tukang kandang
dan lain-lain), pakan, cuaca maupun pemerahan. Sedang faktor agen penyakait
sebagian besar (90%) diakibatkan oleh bakteri. Jadi banyak sekali faktor yang
mempengaruhi tejadinya mastitis, namun demikian dalam penelitian ini faktor-faktor
yang mempengaruhi tersebut tidak dibahas lebih lanjut karena bukan menjadi topik
yang diteliti.
4.2 Preidentifikasi S. agalactiae
Seluruh susu mastitis subklinis dibiakkan pada media agar darah dan
diinkubasi selama 18-24 jam suhu 37'~. Dari pertumbuhan koloni pada media agar
darah hampir seluruhnya ditemukan koloni yang sangat beragam, namun demikian
banyak koloni yang mempunyai morfologi koloni yang diduga koloni bakteri
streptokokus. Morfologi koloni dari bakteri streptokokus pada media agar darah
adalah bulat, kecil, perrnukaan mukoid, bewama bening, mempunyai zona hemolitik
(tidak tentu). Semua koloni yang diduga koloni streptokokus kemudian dipisahkan
untuk dilakukan preidentifikasi sebnjutnya dengan uji CAMP. Motfologi koloni
dugaan streptokokus sepeni terlihat pada G a W r 6.
Gambar 6. Morfomi koloni S. agaIyang diixrlasi dari suw sspi perah
Mastitis subklinis pada pada media agar darah.
Keterangan :koloni kecit, jemih atau transpatan, phemolitik.
Selunrh isolat yang diduga koloni dari bakteri s'mptokokus, dipisahkan dan
ditakuhn pieidentifikasi lanjut dengan uji CAMP. Sebanyak 55 sampel slssu mastitis
subwinis dari wilayah Bogor temyata dipemleh 37 isolat menunjukkan reaksi positif
terhadap uji CAMP (67%), 139 susu mastitis subklinis dari Boyolali 43 isolat
menunjukkan feaki positif (31%) dan 136 susu mastitis subklinis dari Maiang 42
isolat menunjukkan m k s i positif (31%). Reaksi uji CAMP positif yaw ditunjukkan
oleh zona yang lebih brang membentuk amrheadl bulan sabit yang menrpakan
kejasama dari p-hemofisin dari S. a u m s strain Persfh dengan fadimiliki oleh bakteri dugaan S. agalactiae diinjukkan @a Gambar 7.
CAMP y m
Gambar 7. Hasil uji CAMP antam PHemolik S. a u m s strain B r s t h m
a
nkoloni
~ptokokus.
Ketemgan : hasil uji CAMP positif (kmni dan CAMP regatif (kansn).
vertikal : bhemolitik S. a u m s strain M h
horizotal : d v n kdoni stteptokokus
4.3. Identifikasi S. agahctdae
IdentMcasi S. aga-
dilakukn dengas! semgnrping menggunakan serum
spesifik grup 6 dengan uji imunodiilAGP. Uji AGP ini salah saw uji yang sering
dilakukan wrhrk uji imunobgis untuk melihat teijadinya ikatan antara a
m dan
antibodi. Hasil positif diinjukkan dengan tajadinya psipitasi pada daerah antam
antigen clan antibodi. Sebanyak 37 isolat yang positif uji CAMP dari wihyah Bogor,
35 isolat adalah S. agalacrdiae (95%), 43 isolat uji CAMP posMf dad wilayah Boyolali
30 isolat adalah S. 1--
(7096) dan 42 isolat uji CAMP positif untuk wilayah
Malang 31 isolat adalah S. a g a m e (74. %). tlasil uji Idenbifikasi seqruping S.
%gahdbe dengan uji irnunodrfusilAGP gecerra Ilengkap disajihn pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil identifikasi S. agalactiae isolat dari Bogor, Boyolali dan Malang
dengan serogruping menggunakan uji AGP
Daerah
Bogor
Boyolali
Malang
Uji CAMP +
Serogrup
(S. agalactiae)
Prosentase (%)
37
43
42
Menurut Joklik (1992), uji CAMP untuk identifikasi S. agalactiae memberikan
hasil 98100% positif. Sedang menurut Mac Faddin (1980) uji CAMP ini dapat
memastikan keberadaan S. agalactiae sebesar 96,20-99,7% . Sementara menurut
Bisping & Amtsberg (1988), Wahyuni (1998); Wibawan et al. (1995) uji CAMP akan
memberikan kebenaran S. agalactiae lebih dari 90%. Namun dari hasil penelitian ini
tampak bahwa tidak semua uji CAMP positif adalah S. agalactiae (rata-rata hanya
79%), ada 21% uji CAMP positif tetapi bukan S. agalactiae . Dari hasil penelitian
Laemmler et al. (1995) mendapatkan satu dari 50 (2%) isolat SGB mempunyai
CAMP negatif. Sedang dari hasil penelitian Hayati (2001) 4 dari 17 (24%) isolat SGB
pada manusia memiliki uji CAMP negatif. Berdasarkan beberapa hasil penelitian ini
maka dapat dikatakan bahwa uji CAMP digunakan hanya untuk preidentifikasi
bakteri dan bukan untuk identifikasi, karena tidak semua bakteri yang mempunyai uji
CAMP positif adalah S. agalactiae demikian juga sebaliknya tidak semua S.
agalactiae mempunyai uji CAMP positif. Pendapat ini mendukung pendapat Edward
dan Baker (1995) yang mengatakan bahwa identifikasi definitif untuk S. agalactiae
dapat dideteksi berdasarkan antigen dinding sel spesifik grup B melalui uji serologi.
Namun perkembangan terakhir ini identifikasi S. agalactiae yang lebih akurat dengan
menggudm Wknik Pdymgrase Chain Reaction (PCR) atau hibridisasi DNA ( R U M
1995; Ryan Hal. 1999).
Menurut Bopp (1994) =lain S. agala&he
beberapa bakteri y a k Stmptokokus grup A,
Rho-
equi dan Co-durn
faktor CAMP juga dimiliki oleh
C, G, E, N, 0,P dan V se&
mnak
Pada penelin ini setelah
difakukan uji 1mjut bhadap koloni yang mempunyai uji CAMP positif tetapi bukan S.
aga-
dengan menggmakan serum spesifik terhadap grup A,B,C,D,E dan G
temyata ymg menunjukkan reaksi positif
tern gtrepaokokus
masingmasing 2 isolat dari wilayah Bogor, 5 is&
grup A (SGA)
u m k wilayah Byolali dan 3
isolat untuk wilayah Malang. Sedang untuk s t m p b h h s grup lainnya hasilnya
negatif. Uji AGP antara ekstrak antigen a M a f isdat lapang dengan g
e
m spesifik
grup 8 dinjukkan pada Gamhr 8. Sementara hasil uji CAMP positif yang bukan S.
agaIactke diijukkan pa& Tabel. 4.
Gambar 8. Uji lmunodiisilujiAGP antam serum spesifik gnrp B dengan eksbak
Anbgen streptokokus isolat lapang.
Ketemngan : Reaksi (+) D i j u k k m oleh Antigen 1,2,3,5,6,8,10
Reaksi ( - ) Ditunjukkan oleh Antim 7,9,11
Tabel 4. Hasil uji CAMP positif yang bukan S. agalactiae dari Bogor, Boyolali dan
Malang
Daerah
Uji CAMP (+)
Bukan S. agalactiae
SGA
*)
Prosentase
(Yo)
Bogor
Boyolali
Malang
37
43
42
Jumlah
122
26
10
8
----1--1__------11_------------------------------------I--
*)
Diuji dengan menggunakan serum spesifik terhadap grup A, B, C, D, E dan G
Sebagai konfirmasi seluruh isolat S. agalactiae diuji sifat biokimia pada media
gula laktosa, media hipurat dan esculin. Dari hasil uji tampak bahwa seluruh isolat
positif pada uji laktosa yang ditunjukkan oleh adanya perubahan wama media dari
merah menjadi kuning. Hasil positii terhadap seluruh isolat juga pada uji hipurat
yang ditunjukkan oleh perubahan wama media menjadi gelap setelah ditambah fen
sitrat dalam larutan HCI serta menunjukkan hasil negatif pada seluruh isolat pada uji
esculin yang ditunjukkan dengan tidak tejadi perubahan warna pada media esculin.
Dari sini dapat dikatakan bahwa dalam penentuan grup terhadap S. agalactiae uji
serogrup dapat digunakan berdiri sendiri dan merupakan uji diagnostik yang paling
efektif.
Dari S. agalactiae yang didapat pada penelitian ini tampak tingkat kejadian
mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae masing-masing untuk Bogor
sebesar 64%, Boyolali 22% dan Malang sebesar 22%. Frekuensi kejadian mastitis
subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae secara lengkap tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil isolasi S. agalactiae dari sampel susu mastitis subklinis dari Bogor,
Boyolali dan Malang
---------------
Daerah
----------
Mastitis Subklinis
Bogor
Boyolali
Malang
55
139
136
Jumlah
330
S. agalactiae
96
Prosentase (%)
29
Dari hasil penelitian ini tampak bahwa S. agalactiae sebagai penyebab
mastitis subklinis rata-rata sebesar 29%, jauh lebih kecil dari yang telah dilaporkan
oleh hasil penelitian sebelumnya yang mencapai 83%, 82% dan 80% masingmasing di daerah Bogor, Boyolali dan Malang ( Wtbawan et a/. 1995). Bahkan
menurut Kelser dan Schoening (1948) S.agalactiae sebagai penyebab mastitis
mencapai 90%. Sedang menurut Benda et a/. (1997) dua bakteri patogen penyebab
mastitis subklinis yang sering ditemukan adalah S. agalactiae (92%) dan S. aureus
(67%).
Seperti kita ketahui mastitis memang merupakan kasus yang komplek
dimana proses tejadinya senantiasa dikaitkan dengan tiga faktor yaitu temawsapi,
penyebab peradangan (80-90% disebabkan oleh mikroorganisme) dan lingkungan
(Sudarwanto 1999). Namun bakteri penyebab mastitis subklinis sendiri cukup
banyak antara lain : S. agalactiae, S. dysgalactiae, S. uberis, S. epidennidis dan S.
aureus (Dodd 1981; Tranter 1983; Hutabarat & Witono & Unruh 1984). Pada
prinsipnya patogen sebagai penyebab mastitis sendiri ada yang 'parasit obligatl non
environment patogen' dan 'environment patogen'. S. agalactiae sendiri sebagai
parasit obligat, sedang beberapa bakteri yang environment patogen antara lain :S.
uberis, S. dysgalactiae, E. coli, Pseudomonas.
Kemungkinan kejadian mastitis
subklinis pada penelitian ini lebih banyak disebabkan oleh agen penyakit yang lain.
Semenbra menurut Syarief & Sumoprastowo (1986) agen penyebab yang biasa
menyerang ambing selain bakteri adalah fungi, mikoplasma, algae bahkan kadangkadang oleh virus.
4.4.
Fenotipe S. agalactiae pada Media Cair, Agar Lunak, Panjang Rantai
dan Hidrofobisitas Bakteri
Hasil karakterisasi fenotipe pada penelitian ini didasarkan pada pola
pertumbuhan bakteri S. agalacfiae pada media cair (THB), media agar lunak,
panjang rantai dan sifat hidrofobisitas. Pola perkrmbuhan bakteri pada media cair
mempunyai 2 sifat. Sifat pertama tumbuh jemih dengan endapan dibawah tabung
atau adesif pada dinding tabung, sedang sifat yang kedua adalah tumbuh keruh
merata. Dari 35 S. agalactiae berasal dari Bogor 25 (71%) bersifat jemih dan 10
(29%) bersifat keruh. Dari 31 S. agalactiae dari Boyolali sebanyak 21 (68%) bersifat
jemih dan 10 (32%) bersifat keruh, sedang 30 S. agalactiae dari Malang 25 (83%)
bersifat jemih dan 5 (17%) bersifat kenrh.
Sifat pertumbuhan S. agalacfiae pada media agar lunak mempunyai pola
pertumbuhan bersifat kompak dan difus. Sebanyak 25 (71%) bersifat kompak dan
10 (29%) bersifat difus untuk daerah Bogor. Sebanyak 21 (68%) bersifat kompak
dan 10 (32%) bersifat difus untuk daerah Boyolali serta 25 (83%) bersifat kompak
dan 5 (17%) bersifat difus untuk Malang.
Sifat panjang rantai S. agalactiae pada pengecatan tampak membentuk rantai
panjang dan rantai pendek . Sebanyak 25 (71%) bersifat panjang dan 10 (29%)
bersifat pendek untuk daerah Bogor. Sebanyak 21 (68%) bersifat panjang dan 10
(32%) bersifat pendek untuk daerah Boyolali serta 25 (83%) bersifat panjang dan 5
(17%) bersifat pendek untuk Malang.
Dari hasil penelitian sebelumnya dikatakan bahwa panjang rantai S. agalactiae
dikaitkan dengan biovar, kecepatan pertumbuhan, pola pertumbuhan pada media
cair dan media agar lunak. S. agalacfiae berantai panjang pada umumnya dimiliki
oleh isolat asal sapi, ha1 ini diduga berkaitkan dengn salah satu cara S. agalactiae
untuk bertahan terhadap fagositosis. Seperti diketahui bahwa S. agalacfiae isolat
asal sapi pada umumnya tidak memiliki kapsul polisakarida yang tebal, ha1 ini
menyebabkan bakteri S. agalactiae isolat asal sapi mudah dieliminasi oleh sel
fagosit maka bentuk rantai panjang merupakan salah satu cara untuk menutupi
kelemahan ini. Apabila dikaitkan dengan sifat penyakit mastitis subklinis, bentuk
rantai panjang tidak mendukung sifat invasif sehingga kondisi atau keadaan subklinis
selalu dapat dipertahankan. Hal ini sejalan dengan perturnbuhan S. agalacfiae isolat
asal sapi yang temyata sangat lambat yaitu kurang lebih 18 jam
dibandingkan
dengan S. agalactiae berantai pendek yang hanya butuh waktu kurang lebih 8 jam
sehingga populasi selalu terkendali untuk memunculkan bentuk penyakit yang
subklinis Wbawan 1993). lsolat S. agalactiae asal sapi yang saling berikatan kuat
tersebut bersifat Steric hindrance yaitu suatu keadaan dimana bakteri jika sudah
saling berikatan akan sangat sulit untuk dilepaskan ikatannya. Hal ini membuat
bakteri tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan. S. agalactiae biovar sapi
lebih mengekspresikan sifat protein di permukaan yang bertanggung jawab terhadap
sifat kohesif yang lebih kuat.
Untuk melihat hidrofobisitas atau karakter permukaan bakteri dilakukan uji
SAT.
SAT merupakan salah satu uji untuk menentukan keberadaan protein
perrnukaanl hidrofobisitas bakteri. Uji tersebut berdasarkan atas kemampuan sifat
protein yang mudah menggumpal pada larutan garam amonium sulfat (Weir 1978).
Bakteri dengan permukaan yang didominasi protein akan mudah digumpalkan
dengan larutan amonium sulfat konsentrasi rendah dan dikatakan bakteri tersebut
bersifat hidrofobik. Sedang bakteri dengan permukaan didominasi oleh kapsul
(poiisakarida) akan sulit digumpalkan dengan amonium sulfat dikatakan bersifat
hidrofilik (Wibawan & Laemmler 1992; Lindahl et al. 1981; W~bawan& Laemmler
1990b). S. agalacfiae yang permukaannya bersifat hidrofobik ini akan menyebabkan
bentuk rantai panjang dan membentuk endapan pada perhrmbuhan pada media cair,
sedang bakteri yang permukaannya bersifat hidrofilik akan tumbuh merata atau
keruh pada media cair serta membentuk rantai pendek S. agalactiae yang bersifat
hidrofilik biasanya mempunyai antigen polisakarida di permukaan bakteri. Hal ini
menyebabkan tertutupnya
protein permukaan sel bakteri sehingga tidak
terekspresikan dalam media agar lunak yang juga merupakan karbohidrat
(Opdebeek et a/. 1987). Oleh karena itu dalam media agar lunak bakteri berkapsul
terekspresikan dalam bentuk difus, sedang bakteri yang tidak berkapsul dalam
bentuk kompak. Ditambahkan pula sifat pertumbuhan S. agalactiae keruh pada
media cair, difus pada media agar lunak dan bersifat hidrofobis ini banyak
ditunjukkan oleh isolat SGB asal manusia (Wibawan et a/. 1995; Hayati 2001).
Hasil pengamatan fenotipe yang diamati dengan melihat pola pertumbuhan S.
agalactiae pada media cair, agar lunak dan panjang rantai serta sifat hidrofobisitas
disajikan pada Tabel 6. Gambar fenotipe ditunjukkan pada Gambar 9, 10 dan II.
Tabel .8. Fmdpe S. agah&e aan mgw, Boyom aan WImg pada h b g a i
media
Dererah
Jumlah
Media Cair
MiAgar Lunak
J
K
C
71
25
71
D
25
Panjang m i SAT (2M)
Pj.
71
Pd
25
+ -
71
25
Kebetangan :J-ih
dengsn Endapan di Dasaf atau Dinding Tahng, K=Kemh,
C=Kompak, D=Difus, Pj=Panjang, Fd=Pend& SAT:SalY A g g m
Test
m8).
Gambar 9. Fenatipe S. aglabdke pada media a i r
Keterangan :A : bakteri tumbuh jemih, adesif pada diiding tabung
d m wadi endapan
B : bakteri turnkeruh clan mrata pada media
Dari hasil w
i
n hi tampak bahwa & hubungai~antara
~~
WdM pada media cak THB, media q p r lunak, panjang tantai dm h
dengan poea prbnbubjem$l pada media d r ,
S.
i
i
~
~
~
BePlihat k m p k
pada media agar lunak, memperlihatbn mrW yang panjaq dan bersifat hidrofobik.
~ S . ~ y m g ~ s i f a t p W ~ n k e n S r p a d a m d i i c a i r
maka &can Mihat Mus
media w r lunak, kantai pendek dan M i a t
hidrodilik
Gambar 10. Ferwtipe S. wahdkw pada media agar lunak.
A : Kobni S. agakompak
B : Kobni S. agaladkw difus
k f ~ k a r l c a nbiovamya, fenottpe S. agaM88 pada sapi m y a akan
tumbuh jmih parda media air, h p a k p8da medm agar h k , hmei ~II-
dan b e r m hirdobik. Swhq~
fendip p& manusia justnr sebliknya yaitu kenrh
.
pada media cair, difus pada media agar lunak, berantai pendek dan bersifat
hidrofilik. Namun dari hasil penelitian akhir-akhir ini fenotipe S. agalactiae tidak
secara otomatis membedakan biovamya. Hal ini telah dibuktikan oleh Wahyuni
(1998) dan Wibawan et al. (1995) menunjukkan sebanyak 41% dan 33% S.
agalacfiae dari sapi perah mempunyai fenotipe seperti yang dimiliki oleh fenotipe
SGB pada manusia. Sedang dari hasil penelitian Hayati (2001) menunjukkan 18%
SGB dari manusia mempunyai fenotipe seperti fenotipe S. agalacfiae isolat sapi.
Adanya sifat ini kemungkinan disebabkan oleh adanya : (1) Reaksi silang antara
sapi dan manusia karena pola pemerahan. Seperti kita ketahui bahwa lebih dari
85% pemerahan sapi perah di Indonesia masih menggunakan tangan, ha1 ini tidak
menutup kemungkinan terjadi infeksi silang meski secara ilmiah belum banyak
dilaporkan (Brglez 1983 diacu dari Wibawan dan Pasaribu 1993). Namun demikian
Tolle 1975 melaporkan bahwa di Denmark prevalensi terjadinya infeksi SGB lebih
tinggi pada manusia yang minum susu yang tidak dipasteurisasi. Sedang Haug et
a/. (1979) melaporkan bahwa bakteri SGB yang berasal dari manusia dapat
menimbulkan perubahan pada ambing sapi perah (mastitis) tetapi belum diketahui
secsra pasti apakan teQadiinfeksi silang antara SGB dari sapi dan manusia (2) Sifat
permukaan S. agalactiae yang tidak selalu stabil. Hal ini diduk~ngoleh kenyataan
adanya : (a) fase varian yaitu suatu keadaan dimana dalam suatu populasi selalu
ada sifat bakteri yang berkapsul dan tidak berkapsul (Salasia et a/. 1994 ; Pincus et
a/. 1992). Fase varian ini juga terjadi pada streptokokus grup C yang telah dilakukan
penelian oleh Harlina (1999). (b) adanya strain yang mengaiami mutagenesis. Hal
ini telah dibuktikan oleh Laemmler & Wibawan 1994 yang membandingkan sifat-sifat
SGB COH (parent) yang mempunyai asam sialat tebal dengan SGB COH 1-11
Osngrrn &bWuamrya idkabr ini -d
i
dapat d-i
-
Irsmmgkhm
BerjadinyahMaisilmgtwsebut ~ M a a d i W t m d e n g a n s i t a t ~ S .
-
m -m rntiOen
pIg&p=n m q m imun y m g
ftu US&b8 untuk meningkaUm
bnun p n g benifat non-apesifik
m berm--
sepertinyrr Wak atm kumg efektif. Ohh
imun S8Mhya diarahltan ke
4.5. Serotyping
Penentuan serotipe S. agalactiae didasarkan atas keberadaan antigen
perrnukaan bakteri dengan menggunakan antiserum untuk tipe la, Ib, 11, Ill, IV, V, VI,
VII,
VIII,
c,
R, X
yang sebelumnya telah dipreparasi dan telah diuji
kemonospesifisitasnya. Untuk itu setiap serum diadu dengan preparasi antigen
homolog dan antigen heterolognya dengan uji imunodifusi (AGPT). Garis presipitat
yang terbentuk merupakan tempat perkmuan antigen dan antibodi yang berfusi ke
dalam lapisan agar hingga mencapai keseimbangan dan membentuk kompleks yang
mengendap (Kresno 1996). Ditambahkan bahwa kompleks yang tidak larut tersebut
dipengaruhi oleh aviditas antibodi. Semakin tinggi aviditas semakin stabil kompleks
antigen-antibodi tersebut. Data hasil uji spesifisitas antiserum sebelum dan sesudah
absorbsi ditunjukkan pada Tabel 7a dan 7b.
Tabel 7a. Data spesifisitas antiserum sebelum absorbsi antara antiserum lsolat
rujukan dan antigen perrnukaan isolat rujukan
Tabel 7b . Data spesifisitas antiserum sesudah absorbsi antara antiserum isolat
rujukan dan antigen perrnukaan isolat rujukan
Dan data spesiftsitas antiserum sebelum dan sesudah absorbsi tampak ada
perbedaan. Dari 12 antiserum yang diuji antiserum II, III,V, VI, VII, VIII, R dan X
menunjukkan reaksi monospesifik tanpa perlakuan absorbsi. Sedang 4 antiserum
lainnya reaksi monospesifik dapat dipemleh setelah dilakukan absorbsi dengan
preparasi bakteri utuh yang menunjukkan reaksi silang dengan antisera tersebut.
Sebagai contoh antiserum IV
yang bereaksi dengan antigen IV dan V maka
antiserum IV diabsorbsi dengan preparasi bakteri utuh V. Demikian juga antiserum
la ( diabsorbsi dengan preparasi bakteri utuh Ib dan c), antiserum Ib (diabsorbsi
dengan preparasi bakteri utuh c) dan antiserum c (diabsorbsi dengan preparasi
bakteri utuh la,lb,c, 11, Ill, IV, V, VI, VII, VIII, R dan X).
Setelah diperoleh antiserum yang spesifik, maka dilakukan uji serotipel
serotyping antara S. agalactiae isolat lapang (sebanyak 96 isolat) dengan seluruh
antiserum monospesifik tersebut. Hasil uji serotipe untuk daerah Bogor: serotipe NT
sebesar 51%, 11 31% dan serotipe V sebesar 18%. Sedang hasil uji serotipe untuk
daerah Boyolali: serotipe V sebesar 61% dan serotipe NT 39%. Hasil uji serotipe
untuk daerah Malang: serotipe NT sebesar 66% dan serotipe II sebesar 3490. Dan
serotipe NT, II maupun V yang muncul ada yang berdiri sendiri tapi kebanyakan
bergabung dengan antigen protein c, R dan X.
Dan sebaran serotipe yang diperoleh dari masing-masing daerah temyata
ada perbedaan. Dari Bogor serotipe yang muncul adalah NT diikuti I1dan V, sedang
daerah Boyolali serotipe NT, diikuti V dan Malang serotipe NT diikuti II. Dari seluruh
sebaran serotipe yang ditemukan tidak satupun yang memiliki serotipe la, Ib, Ill, IV,
VI, VII, dan VIII. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Pasaribu et a/. (1994)
yang menunjukkan bahwa serotipe S. agalactiae pada sapi di Indonesia adalah
serotipe 11 (67%), NT (23%), IV (7%) dan V (3%). Sedang dari hasil penelitian
Wibawan et a/. (1995) memperlihatkan hasil sebaran serotipe di 3 daerah di pulau
Jawa adalah sebagai berikut: Bogor (11: 49%; IV: 5%; V: 2%; dan NT: 44%), Boyolali
( la: 4%; 11: 10%; IV: 6,5%; V: 10% dan NT: 69%) sedangkan Malang (!a: 4%; II:
8,5%; 111: 7%; IV: 8,5%; V: 3% dan NT:70%). Sedang hasil sebaran serotipe pada
sapi yang dilaporkan oleh Pasaribu et a/. (1985) adalah: tipe X dan beberapa tipe IV
dan R dan tipe yang lain adalsh Ib, II dan Ill.
Dari hasil penelitian ini tampak tejadi perubahan pola sebaran serotipe.
Hasil ini mendukung pemyataan Anthony dan Okada (1977) yang mengatakan
bahwa penyebaran serotipe diantara strain
dari S. agalactiae berbeda-beda
diantara beberapa negara tergantung dari mana isolat itu didapat dan kapan isolat
itu didapat. Sementara menurut Wibawan dan Laemmler (1991b) antigen protein R
jarang ditemukan pada sapi , sebaliknya antigen X-lah yang sering dijumpai pada
sapi. Pada penelitian ini antigen protein yang sering muncul (bergabung dengan
antigen polisakarida atau NT) adalah antigen protein X sebesar 35% sedang untuk c
dan R masing-masing 24% dan 8%. Menurut Jelinkova et a/. (1970) tidak ada
kejadian yang menunjukkan terjadinya reaksi silang antara antiserum terhadap 2
macam antigen polisakarida, namun dari hasil penelitian ini tampak ada 3 antigen
polisakarida yang bereaksi masing-masing antigen polisakarida II dan V dari daerah
Bogor, demikian juga ada 2 antigen protein yaitu antara c dan X yang bergabung
dengan antigen polisakarida V. Hal ini teQadikemungkinan disebabkan oleh adanya
pengaruh lingkungan baik lingkungan makro maupun lingkungan mikronya.
Hasil sebaran serotipe SGB pada manusia di lndonesia yang diperoleh
secara klinik sebagian besar adalah laic, Ill dan V. Sebagian kecil serotipe II dan IV,
dan tak satupun mempunyai serotipe Ib dan X (Wibawan et a/. 1992a). Sedang hasil
penelitian Hayati (2001) memperlihatkan sebaran serotipe SGB dari lndonesia
adalah: IV: 6%; V: 12%; VI: 18% dan NT: 65% (NTIc: 64%, NT: 27% dan NTIdR:
9%). Dari sebaran pada manusia ini 63,64% SGB bergabung dengan protein c dan
949% bergabung dengan protein R dan tidak ada satupun yang bergabung dengan
antigen protein X. Dari telaah hasil penelitian ini temyata antigen protein X hanya
dijumpai pada isolat yang berasal dari sapi dan tidak pemah dijumpai pada isolat
asal manusia. Hasil ini mendukung pendapat Jensen (1980) yang mengatakan
bahwa adanya protein X pada S. agaladiae mengindikasikan isolat tersebut berasal
dari sapi. Demikian juga Laemmler (1993) yang mengatakan bahwa antigen protein
X adalah satu-satunya antigen protein yang terdapat pada isolat SGB asal sapi dan
tidak berasal dari isolat manusia. Hasil ini didukung pula oleh penelitian Wibawan et
a/. (1993a) yang mengatakan bahwa SGB dari manusia yang sering ditemukan
adalah serotipe la, Ill berdiri sendiri atau kombinasi dengan c dan R.
Sedang
menurut Pasaribu (1985) yang membandingkan isolat SGB dari manusia dengan S.
agalactiae isolat dari sapi tampak bahwa yang umum pada isolat manusia adalah :
la, II dan Ill sedang yang sering ditemukan pada sapi adalah antigen tipe X baik
sendiri maupun kombinasi dengan tipe IV. Oleh karena itu antigen protein X ini dapat
digunakan sebagai alat yang diskriminatif1 marker sebagai pembeda biovar S.
agalactiae asal sapi. Sehingga dapat digunakan untuk studi epidemiologi untuk
mengetahui terjadinya infeksi silang antara manusia dan sebaliknya, sehingga dapat
diketahui apakah S. agaiactjae ini merupakan penyakit yang bersifat roonosis atau
tidak. Untuk itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan uji serologi dengan
antibodi spesifik terhadap X dan lsolasi antigen X S. agalactiae. Sedang menurut
Rainnard et a/. (1991) dan Gravekamp et al. (1997) antigen protein X merupakan
antgen protein yang bersifat imunogenik, namun penelitian lebih lanjut mengenai
protein X ini belum banyak dipelajari. Oleh karena itu menarik sekali untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang antigen protein X sebagai faktor virulen untuk dipilih
sebagai kandidat vaksin maupun alat pembeda biovar isolat.
Dari seluruh sebaran serotipe tampak isolat NT baik berdiri sendiri maupun
bergabung dengan antigen protein me~pakanantigen yang paling sering (52%)
banr kemudian serotipe V sebesar 26% dan serotipe 11 22%. Yang menarik dari
sebaran serotipe di sini adalah NT selain jumiahnya paling banyak, temyata semua
isolat yang mempunyai serotipe NT (baik sendiri maupun bergabung dengan antigen
protein) menampakkan sifat pertumbuhan jemih pada media cair, kompak pada
media agar lunak, berantai panjang serta bersifat hidrofobik.
Hasil sebaran serotipe S. agalactiae secara lengkap disajikan pada Tabel 8.
Sedang hasil uji imunodifusil AGP antara serum monospesifik terhadap antigen tipe
dengan antigen perrnukaan S.agalactiae isolat lapang dapat dilihat pada Gambar 12.
Tabel. 8. Had uji s e b m d p S. 6g&&m
dad 8qor1B o p M dan h h g
Gambar 12. Had uji Irnundi I uji AGP antam swum monospegifik M w d a p
antigen tipe d m g m antigen permuhan S, agah&sw isolat lapang.
Berdasar fenotipe yang dimiliki oleh NT ini, temyata memperlihatkan
kecenderungan bersifat seperti S. agalactiae yang mengekspresikan perrnukaan
antigen protein.
Dengan ditemukannya serotipe NT yang banyak ini dari segi
mikrobiologi ada kemungkinan untuk ditemukan serotipe baru. Namun demikian
dari segi pencegahan atau penolakan penyakit akan lebih sulit lagi karena dengan
ditemukannya serctipe baru ini berarti akan menambah keragaman serotipe lagi.
Oleh karena itu pengendalian sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan respon imun
yang bersifat non-spesifik. Hal ini bisa dicapai dengan jalan : (1) membuat antibodi
yang bersifat sebagai opsonin, diharapkan
dengan membuat bakteri mampu
menimbulkan sifat opsonik maka aktivitas dan kapasitas fagositosis akan meningkat.
(2) dengan membuat Nozode yaitu membuat respon imun meningkat dengan
menyuntik host dengan bagian dari sel bakteri penyebab. Karena ini bakteri gram
positif maka dapat dilakukan penyuntikan peptidoglikan. Dengan jumlah serotipe NT
yang banyak ini maka untuk membedakannya disarankan dicari cara yang lebih
diskriminatif misalnya dengan memakai enzim restriksi yang memotong DNA hanya
rnenjadi 2 atau 3 potongan DNA saja.
Fenotipe S. agalacfiae ditentukan
oleh faktor permukaan bakteri.
S.
agalacfiae yang mengekspresikan antigen protein akan mempunyai fenotipe seperti
yang telah disebut diatas, demikian juga bakteri yang cenderung mengekspresikan
antigen polisakaridanya. Sedang serotipe S. agalactiae juga ditentukan oleh adanya
stuktur antigen di permukaan sel bakteri. Dari hasil yang telah dipaparkan diatas
pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah bagaimana hubungan antara serotipe
dengan ekspresi fenotipe bakteri tersebut?. Bakteri yang mempunyai antigen NT
baik sendiri maupun bergabung dengan antigen protein c,R,X dan antigen
polisakarida II dan V yang bergabung dengan antigen protein R atau X akan
mengekspresikan pola pertumbuhan jemih pada media cair, kompak pada media
agar lunak dan mempunyai rantai panjang serta bersifat hidrofobik. Sedangkan
bakteri yang mempunyai antigen polisakarida (I1 atau V) baik berdiri sendiri atau
dengan bergabung antigen protein c akan bersifat sebaliknya. Dari hasil penelitian ini
tampak ada hubungan antara serotipe dengan ekspresi fenotipe bakteri. Hubungan
antara serotipe dan ekspresi fenotipe secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel. 9. Hubungan antara serotipe dan fenotipe S. agalactiae dari Bogor, Boyolali
dan Malang
4.5 Genotipe S. agalactiae dengan PFGE
Genotipe suatu sel ditentukan oleh inforrnasi genetis yang dikandung di
dalam kromosomnya.
Bakteri seperti halnya sel-sel organisme tingkat tinngi
membawa lebih banyak inforrnasi genetisl genotipenya dari pada yang dipergunakan
atau yang diekspresikannya.
Bila suatu ciri-ciri itu masih dinyatakan dalam
perangkat genetik maka ciri-ciri tersebut disebut genotipe. Genotipe S. agalactiae
!leua6uaw 6ueA w!zua qelepe !u! ueylauad welep !eyed!p 6ueA lews !syulsaJ
w!zu3 '!u! ae!pele6e -S ualyeq woua6 VNQ 6ue~ef6uolowaw ledep ueydweq!p
3+3 lnyalow eAey 6ueA uanyas !leua6uaw 6ueA !syulsaJ u!zua ue6uolowad snys
ue6uaa '3+3eAey 6ueA sn$!s leua6uaw 6ueA asealynuopua w!zua ueyeun66uaw
y m m %op >3+9 ue6unpuey ue6uap woua6 eMqeq qelepe (~86
1) 'le ja puella(=pyy
qalo ueyuwes!p 6ueA !6ale~ls6uepas '(8961 'le l a Aauow!l)
% p ~ 3+9 low
6unpue6uau snyoyolda~lsualym 'lejos! 6u!sew-6u!sew uep uef y!p!s ueyedruaw
e66u!qas y!un ulep sew lelos! 6u!sew-6u!sew uep ueyl!seq!p 6ueA clod
-sela!
ue6uap lews u!zua qalo !syulsatal VNa y e d w ~(ueynlru lelos! s w a s 6ueleyy uep
lelos! (; uep !leloAog uep lelos!
'~o6oguep lelos! 9) !fn!p 6ueA lelos! 12 uea
(~ayle~u
C-P.Z
) sep!o~eyds~epeqopoqtl:s.a
ae!pelelTe 'S plos! apoy : n - v
'33jd ue6uap lewS !seyWai u!zua ue6uap 6ueleyy
uep !leloAog '~o6oauep leswaq ae!pele6e 'S lelos! woua6 VNa el!d 'EL JeqweE)
'€1 Jeqwe3 eped ueyynfunyp dey6ual wmas 6ueleyy uep !leloAog '10608 uep
ae!pelebe
-S adqoua6 uep I!seH -!se~6!wywef uep eyd qelwnr ueyesep!p 6ueA
3 3 3 d l!seq woua6 VNa alIJ01d ue6uap wq!~!pledep 6ueleyy uep !leloAog ' ~ 0 uep
6 ~
sekuen kaya G+C yang memiliki spesifikasi enam pasang basa dengan situs
pemotongan Smal (CCC SGGG). Semakin panjang jumlah basa yang dikenali
enzim restriksi maka semakin sedikit situs yang dikenalinya pada DNA genom
sehingga semakin sedikit fragmen-fragmen DNA genom yang dihasilkan. Menurut
Suwanto dan Kaplan (1992) enzim yang digunakan untuk MFLPI shizotyping hams
memotong jarang sehingga menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang berukuran
besar dengan jumlah sedikit Oleh karena itu MFLP ini cocok menggunakan enzim
Smal. Pemakaian enzim restriksi Smal telah dilakukan pada bakteri streptokokus
oleh Gordillo et a/. (1993) untuk bakteri SGB dan menghasilkan potongan DNA yang
diskrit. Pemakaian enzim Smal untuk restriksi juga telah dilakukan juga oleh
Chaussee et a/. (1996) pada Streptococcus pyogenes, dan menghasilkan potongan
DNA yang jelas. Namun demikian pada penelitian ini ada 3 isolat yang tidak dapat
dipotong dengan enzim Smal yaitu isolat P (B-107/NT/X) dan isolat N (M-88lNT)
serta isolat S (R.ref). Dari hasil ini tampak bahwa tidak semua isolat S. agalactiae
dapat dipotong dengan enzim Smal. Hal ini pemah dialami oleh peneliti sebelumnya
Gordillo et a/. (1993) yang mengatakan bahwa ada isolat-isolat S. agalactiae
temyata tidak dapat dipotong enzim Smal namun belum diketahui secara pasti apa
yang menyebabkannya.
Jumlah pita DNA pada penelitian ini berkisar antara 7 sampai 15 dengan
besar molekul <31 sampai 91011105 kb. Analisa DNA dari 21 isolat S.agalactiae
dihasilkan 15 pola profile DNA. Profile DNA disini dapat digunakan sebagai sidik jari
dari masing-masing isolat. Pola pita DNA pada Gambar 14 diatas selanjutnya
diinterpretasikan menjadi matrik data biner (0 dan 1) berdasar muncul tidaknya
potongan DNA (Lampiran 4). Jika pita muncul maka diberi skor 1 dan bila tidak
muncul diberi skor 0, kemudian dikonversikan menjadi matriks data kesamaan.
Matriks data kesamaan dikelompokkan menggunakan metode Unweighted pairgroup method,arithmetic average (U PGMA) menggunakan Program NTSYS-PC
Version 1.60 (Rohlf 1990) sehingga didapatkan dendrogram hubungan kekerabatan
antara satu isolat dengan isolat yang lain baik antar serotipe maupun antar wilayah
seperti pada Gambar 14. Pola profile DNA S. agalactiae yang dipotong dengan
ensim Smal dapat dilihat pada Tabel. 10.
Tabel. 10. Pita .DNA S. agalactiae dengan enzim restriksi Smal dari Bogor,
Boyolali dan Malang
Berdasarkan
data
matrik
hasil
schizotyping
yang
dikelompokkan
menggunakan UPGMA, dari ke 21 isolat yang dipotong dengan enzim Smal ( 3 isolat
tidak terpotong) tersebut dapat digolongkan menyadi 2 kelompok besar. Kelompok
pertama yaitu isolat J, K, 0, B, D, C, E, F, TI U dan A. Sedang kelompok kedua
terdiri dari isolat L, R, M, H, Q, G dan J. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut
kelompok pertama temyata berasal dari daerah yang berbeda-beda, demikian pula
kelompok kedua temyata berasal dari daerah yang berbeda-beda. Jadi dari asal
isolat tidak ada hubungan secara langsung dengan genotipe isolat. Pengamatan
selanjutnya berdasar serotipe isolat memperlihatkan bahwa kelompok pertama juga
berasal dari bermacam-macam serotipe, demikian juga dengan kelompok kedua.
Jadi serotipe isolat S. agaiactiae disini tidak mempengaruhi langsung terhadap
ekspresi genotipe.
Gambar 14. Dendrogram yang menunjukkan hubungan kekerabatan antar
isolat S.agalactiae dari Bogor, Boyolali dan Malang dengan
berbagai serotipe.
Dari hasil dendrogram tampak ada isolat-isolat mempunyai kekerabatan yang
dekat yaitu antara isolat J (K-4U II) dan isolat K (M-301 IIIX), isolat B (K-311 Illc) dan
D (BlOlNT), isolat E (5871 V) dan F (B-1011Vlc) serta isolat T (V.ref) dan U (X.ref).
Tingkat kekerabatan di sini 100 % dan bisa dikatakan isolat-isolat tersebut
mempunyai kekerabatan yang sangat dekat. Isolat-isolat tersebut temyata bukan
berasal dari wilayah yang sama dan juga bukan menrpakan isolat dengan serotipe
yang sama. Jadi isolat yang berasal dari wilayah yang sama aiaupun isolat dengan
serotipe yang sama belum tentu memiliki profil DNA yang sama, demikian juga
sebaliknya. Selain itu isolat yang lain mempunyai kekerabatan yang sangat
beragam, misalnya isolat M (B-117)1c/X) dengan H (M-501 NT) mempunyai
kekerabatan yang dekat yaitu sekitar 95%.
Sedang isolat yang lain tingkat
kekerabatannya sangat beragam. Jadi dari analisis secara genotipe asal isolat
maupun perbedaan serotipe dari S. agalactiae ini tidak memiliki korelasi.
Keanekaragaman dalam spesies menyebabkan pada tiap anggota spesies
dapat dilihat adanya kedekatan kekerabatannya satu sama lain. Semakin banyak
persarnaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat kekerabatannya. Sebaliknya semakin
sedikit persamaan yang dimiliki makin jauh kekerabatannya.
timbulnya
keanekaragaman
genetik
yang
berakibat
Faktor penentu
pada
timbulnya
keanekaragaman dalam kehidupan adalah adanya mutasi gen. Mutasi dalam gen ini
menrpakan faktor penentu timbulnya keanekaragaman genetik yang berakibat pada
timbulnya keanekaragaman dalam kehidupan.
Download