BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia.
Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan
primer dan merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu
sebesar 25,8%, sesuai dengan data Riskesdas 2013. Di samping itu, pengontrolan
hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia
(Anonim, 2014). Sebagai tempat pelayanan kesehatan primer, tentunya puskesmas
memiliki peran penting dalam pengobatan dasar bagi pasien hipertensi.
Saat ini hipertensi adalah faktor risiko ketiga terbesar yang menyebabkan
kematian dini, hipertensi berakibat terjadinya gagal jantung kongestif serta penyakit
cerebrovasculer. Gejala-gejalanya antara lain pusing, sakit kepala, keluar darah dari
hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dan lain-lain. Penyakit ini dipengaruhi
oleh cara dan kebiasaan hidup seseorang, sering disebut sebagai the silent killer
disease karena penderita tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi.
Penderita datang berobat setelah timbul kelainan organ akibat hipertensi. Hipertensi
juga dikenal sebagai heterogeneouse group of disease karena dapat menyerang siapa
saja dari berbagai kelompok umur, sosial dan ekonomi. Kecenderungan berubahnya
gaya hidup akibat urbanisasi, modernisasi dan globalisasi memunculkan sejumlah
faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kesakitan hipertensi (Anonim, 2006).
1
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang cukup
banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Pada umumnya, terjadi pada manusia
yang setengah umur (Iebih dari 40 tahun). Namun banyak orang tidak menyadari
bahwa dirinya menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya tidak nyata dan
pada stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatannya
(Anonim, 2006).
Prevalensi hipertensi di seluruh dunia diperkirakan antara 15-20%. Pada usia
setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria daripada wanita.
Pada golongan umum 55-64 tahun, penderita hipertensi pada pria dan wanita sama
banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, penderita hipertensi wanita lebih banyak daripada
pria. Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa tingginya tekanan darah
berhubungan erat dengan kejadian penyakit jantung. Sehingga, pengamatan pada
populasi menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan terjadinya
penyakit jantung (Anonim, 2006).
Sebagai pelayanan kesehatan primer, Puskesmas memiliki peran penting
dalam penatalaksanaan berbagai macam penyakit baik yang menular maupun tidak
menular. Hipertensi sebagai penyakit yang tidak menular tentunya juga menjadi salah
satu penyakit yang banyak dijumpai di pelayanan kesehatan primer seperti
Puskesmas. Dengan adanya peningkatan ekonomi masyarakat dan seiring dengan
perkembangan makanan baik di pedesaan maupun di perkotaan akan meningkatkan
pula kasus hipertensi. Warga dari pedesaan pada khususnya akan lebih memilih
sarana kesehatan yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka sehingga Puskesmas
akan menjadi pilihan pertama bagi warga pedesaan untuk mengatasi penyakitnya,
termasuk hipertensi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian tentang
hipertensi di Puskesmas mengenai pola pemberian obat antihipertensi pada pasien
hipertensi rawat jalan di Puskesmas Salaman II, Kabupaten Magelang pada periode
Januari-Desember 2014.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan
dalam penelitian yaitu:
1. Bagaimana pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi di
Puskesmas Salaman II periode Januari - Desember 2014.
2. Bagaimana karakteristik pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II periode
Januari – Desember 2014.
3. Apa saja jenis obat antihipertensi yang digunakan di Puskesmas Salaman II
periode Januari – Desember 2014.
4. Bagaimana Kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Salaman II
periode Januari – Desember 2014 menurut pedoman Pedoman Pengobatan Dasar
di Puskesmas (PPDP) 2011 dan Joint National Committe on Prevention
Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII (JNC 7).
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi di
Puskesmas Salaman II periode Januari-Desember 2014.
2. Mengetahui karakteristik pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II periode
Januari – Desember 2014.
3. Mengetahui jenis obat antihipertensi apa saja yang digunakan di Puskesmas
Salaman II periode Januari – Desember 2014.
4. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Salaman II
periode Januari – Desember 2014 menurut pedoman Pedoman Pengobatan Dasar
di Puskesmas (PPDP) 2011 dan Joint National Committe on Prevention
Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII (JNC 7).
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana pola pemberian
obat antihipertensi serta dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam
memberikan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II.
2. Bagi Perguruan Tinggi Terkait
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya yang terkait dengan pola pemberian obat antihipertensi pada pasien
hipertensi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Profil Puskesmas
Puskesmas Salaman II terletak di perbatasan Kabupaten Magelang –
Kabupaten Purworejo tepatnya di jalan Magelang-Purworejo km 21 di Desa Krasak
Kecamatan Salaman. Wilayah kerja puskesmas ini meliputi 10 Desa yaitu Desa
Krasak, Desa Margoyoso, Desa Kaliabu, Desa Sawangarga, Desa Sidosari, Desa
Ngampeldento, Desa Tanjunganom, Desa Jebengsari, Desa Purwosari, dan Desa
Sriwedari (Anonim, 2013).
9
10
8
2
1
3
4
7
6
5
Gambar 1. Wilayah Kerja Puskesmas Salaman II
Keterangan:
1. Desa Margoyoso
6. Desa Jebengsari
2. Desa Kaliabu
7. Desa Tanjunganom
3. Desa Krasak
8. Desa Sidosari
4. Desa Sawangargo
9. Desa Ngampeldento
5. Desa Sriwedari
10. Desa Purwosari
Data tahun 2011 menyebutkan, terdapat 10 jenis penyakit yang termasuk
dalam kategori penyakit yang paling banyak diderita oleh pasien puskesmas.
Penyakit-penyakit tersebut antara lain infeksi akut lain pada saluran pernapasan
bagian atas sebanyak 4492 kasus, hipertensi primer sebanyak 2228 kasus, diare dan
gastroenteritis non spesifik sebanyak 1107 kasus, penyakit pulpa dan
jaringan
periapikal sebanyak 545 kasus, faringitis sebanyak 539 kasus, konjungtivitis
sebanyak 537 kasus, varicella sebanyak 459 kasus, penyakit kulit karena jamur
sebanyak 359 kasus, gout sebanyak 293 kasus, dan tonsilitis sebanyak 261 kasus
(Anonim, 2013). Dilihat dari data tersebut, hipertesi primer menempati posisi kedua
terbanyak dalam hal jumlah kasus.
2. Hipertensi
Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah
suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mm Hg (tekanan
sistolik) dan/ atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) (Joint National Committe on
Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII (JNC 7),
2004). Nilai sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung,
sedangkan nilai diastolic menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung
(Anonim, 2006).
Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah
di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala,
dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya
resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan
ginjal (Anonim, 2007).
Hipertensi memiliki tanda dan gejala tertentu. Keluhan-keluhan yang tidak
spesifik pada penderita hipertensi antara lain:
a. Sakit kepala
b. Gelisah
c. Jantung berdebar-debar
d. Pusing
e. Penglihatan kabur
f. Rasa sakit didada
g. Mudah lelah, dan lain-lain (Anonim, 2006).
Sedangkan gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah ditemui
menurut Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi sebagai berikut:
a. Gangguan Penglihatan
b. Gangguan Saraf
c. Gangguan jantung
d. Gangguan Fungsi Ginjal
e. Gangguan Serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan perdarahan
pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran
hingga koma (Anonim, 2006).
Dilihat dari faktor penyebabnya, hipertensi dikelompokkan menjadi dua.
Dari Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, pengelompokan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Hipertensi Hipertensi primer : 90 – 95% tidak diketahui penyebabnya
b. Hipertensi sekunder : 5 – 10 %
1) beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan
bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
2) penyakit ginjal
3) kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB).
4) feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan
hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin).
5) Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga),
stres, alkohol atau garam dalam makanan
6) Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara
waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali
normal.
Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 tahun 2004
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
≤ 120
dan ≤ 80
Prehipertensi
120 – 139
atau 80 – 90
Hipertensi derajat 1
140 – 150
atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2
≥ 160
atau ≥ 100
Menurut Infodatin Hipertensi tahun 2014, selain jenis hipertensi
berdasarkan penyebabnya terdapat pula hipertensi jenis lainnya yaitu:
a. Hipertensi Pulmonal
Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada
pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan
pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi
pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan
toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan.
Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan
usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan
perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta
penduduk, dengan mean survival sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 23 tahun.
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National
Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35
mmHg atau "mean" tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat
istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya
kelainan katup pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung
kongenital dan tidak adanya kelainan paru.
b. Hipertensi Pada Kehamilan
Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat
pada saat kehamilan, yaitu:
1) Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang
diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan (selain tekanan darah yang
meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya). Preeklamsi
adalah penyakit yang timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan.
2) Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu
mengandung janin.
3) Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan
preeklampsia dengan hipertensi kronik.
4) Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada
yang mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh
darah, ada yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang
mengatakan disebabkan faktor keturunan, dan lain sebagainya (Anonim,
2014).
Diagnosa dari hipertensi di Puskesmas ditegakkan dengan mengukur
tekanan darah setelah seseorang duduk / berbaring 5 menit. Apabila pertama kali
diukur tinggi (140/90 mmHg) maka pengukuran diulang 2 x pada 2 hari
berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi (Anonim, 2007).
3. Epidemiologi
Diperkirakan pada 50 juta populasi penduduk Amerika, 30% diantaranya
memiliki tekanan darah yang tinggi (≥140/90 mmHg), berdasarkan hail survey
yang dilakukan National Health and Nutrition Examination sepanjang tahun
1999-2000. Berdasarkan hasil survey tersebut prevalensi hipertensi pada pria
sebesar 30,1% dan pada wanita 27,1%. Dari data tersebut tampak peningkatan
yang signifikan pada wanita dari tahun 1988-2000, sedangkan prevalensi pda pria
cenderung tetap (Dipiro, 2005).
Kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita
sebelum mencapai 55 tahun. Sedangkan dari usia 55 sampai 74 tahun, jumlah
wanita mengalami hipertensi lebih banyak daripada pria, bertambahnya usia
diiringi dengan meningkatnya prevalensi dilihat dari perbedaan jenis kelamin
(>75 tahun). Pada populasi lansia usia ≥60 tahun, prevalensi hipertensi pada tahun
2000 diperkirakan mencapai 65,4% (Dipiro, 2005).
4. Penatalaksanaan Terapi Hipertensi
Menurut Depkes RI dalam Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas
tahun 2011, penatalaksanaan hipertensi di Puskesmas adalah sebagai berikut:
a. Langkah awal biasanya adalah mengubah pola hidup penderita:
1) Menurunkan berat badan sampai batas ideal.
2) Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar
kolesterol darah tinggi.
3) Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6
gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium,
magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi alkohol.
4) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat.
5) Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama
tekanan darahnya terkendali.
6) Berhenti merokok.
b. Terapi obat pada hipertensi dimulai dengan salah satu obat berikut ini:
1) Hidroklorotiazid (HCT) 12,5 – 25 mg perhari dosis tunggal pada pagi hari
(Pada hipertensi dalam kehamilan, hanya digunakan bila disertai
hemokonsentrasi / udem paru)
2) Atenolol mulai dari 25-50 mg sehari sekali
3) Kaptopril 12,5 – 25 mg tiap 8-12 jam.
4) Amlodipin mulai dari 5mg tiap 24 jam, bisa dinaikkan 10 mg tiap 24 jam.
c. Hipertensi pada anak langsung dirujuk.
Sedangkan penatalaksanaan yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi
dalam Pedoman Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi tahun 2006 adalah sebagai
berikut:
a. Pengendalian Faktor Risiko
Pengendalian faktor risiko yang dapat dilakukan antara lain:
1) Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan.
2) Mengurangi asupan garam didalam tubuh.
3) Ciptakan keadaan rileks
4) Melakukan olah raga teratur
5) Berhenti merokok
6) Mengurangi konsumsi alkohol (Anonim, 2006)
b. Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan
angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara
seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup
penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa kerja
yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat
ditambahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi (Anonim,
2006).
Pemilihan obat tunggal atau kombinasi yang cocok bergantung pada
keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat anti hipertensi.
Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut :
1) Pengobatan
hipertensi
sekunder
adalah
menghilangkan
penyebab
hipertensi
2) Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya
komplikasi.
3) Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti
hipertensi.
4) Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
pengobatan seumur hidup (Anonim, 2006).
Pada saat seseorang ditegakkan diagnosisnya menderita hipertensi maka
yang pertama dilakukan adalah mencari faktor risiko apa yang ada, maka
dilakukanlah usaha untuk menurunkan faktor risiko yang ada dengan modifikasi
gaya hidup, sehingga dapat dicapai tekanan darah yang diharapkan. Bila dalam
jangga waktu 1 bulan tidak tercapai tekanan darah normal, maka terapi obat
pilihan diperlukan. Terapi obat yang diperlukan sesuai dengan derajat hipertensi
dan ada tidaknnya indikasi khusus, seperti diabetes melitus, kehamilan, asma
bronchial, kelainan hati dan kelainan darah. Terapi pertama obat pilihan adalah
pertama golongan tiazid, kedua golongan penghambat enzim konversi angitensin,
kemudian diikuti golongan antagonis kalsium. Bila terapi tunggal tidak berhasil
maka terapi dapat dikombinasikan. Bila tekanan darah tidak dapat dicapai baik
melalui modifikasi gaya hidup dan terapi kombinasi maka dilakukakanlah sistem
rujukan spesialistik (Anonim, 2006).
MODIFIKASI GAYA HIDUP
Kurangi berat badan
Aktifitas fisik teratur
Hindari minuman beralkohol
Mengurangi asupan garam
Berhenti merokok
Tekanan darah normal tidak tercapai
(<140/90mmHg, <130/80mmHg pada penderita
diabetes dan penyakit ginjal kronis)
PILIHAN OBAT UNTUK TERAPI PERMULAAN
Hipertensi tanpa indikasi khusus
Hipertensi derajat 1
Umumnya diberikan
diurertik, gol thiazide
hipertensi.
Bisa dipertimbanglkan
pemberian penghambat
ACE, beta blocker,
Antagonis Ca, atau
kombinasi.
Hipertensi dengan indikasi khusus
Hipertensi derajat 2
Umumnya diberikan
kombinasi 2 macam
thiazide dan
penghambat ACE atau
antagonis (ARB) atau
beta blocker, atau
antagonis Ca.
Obat-Obatan untuk
Indikasi Khusus.
Obat antihipertensi
lainnya (Diuretik,
Penghambat ACE, ARB,
Beta Blocker, antagonis
Ca sesuaiyang
diperlukan.
Sasaran tekanan darah tak tercapai
Optimalkan dosis atau penambahan jenis obat sampai tekanan darah tercapai. Pertimbangkan
konsultasi dengan dokter spesialis hipertensi.
Gambar 2. Pedoman penatalaksanaan hipertensi menurut Panduan Teknis Penemuan
dan Tatalaksana Hipertensi 2006
5. Antihipertensi
Obat antihipertensi memiliki berbagai macam golongan. Obat-obatan
tersebut menurut Pedoman Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi tahun 2006
digolongkan seperti berikut:
a. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(Iewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan
daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah.
Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya
penyakit lainnya (Anonim, 2006).
b. Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja denqan menghambat aktivitas syaraf simpatis
(syaraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk
dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonodin dan
reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik (kekurangan
sel darah merah kerena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan
kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit hati kronis. Saat ini golongan ini
jarang digunakan (Anonim, 2006).
c. Beta Bloker
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah
diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkhial. Contoh obat
golongan betabloker adalah metoprolol, propanolol, atenolol dan bisoprolol.
Pemakaian pada penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi
gejala hipoglikemia (dimana kadar gula darah turun menjadi sangat rendah
sehingga dapat membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita
bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat
harus hati-hati (Anonim, 2006). Beta-bloker tidak boleh dihentikan mendadak
melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina karena
dapat terjadi fenomena rebound (Aprianti, 2010).
d. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot
polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah
prazosin dan hidralazin. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian
obat ini adalah pusing dan sakit kapala (Anonim, 2006).
e. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat
angiotensin II (zat yang dapat meningkatakan tekanan darah). Contoh obat
yang termasuk golongan ini adalah kaptopril. Efek samping yang sering
timbul adalah batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas (Anonim, 2006).
f. Antagonis Kalsium
Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan
menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan
obat ini adalah : nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang
mungkin timbul adalah sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah (Anonim,
2006).
g. Penghambat Reseptor Angiotensin II
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II
pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obatobatan yang termasuk golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang
mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual (Anonim, 2006).
F. Kerangka Teori
Hipertensi merupakan salah satu penyakit dengan jumlah penderita terbanyak
di Indonesia.Sebagai tempat pelayanan kesehatan primer, tentu Puskesmas memiliki
peran penting dalam pengobatan hipertensi.Antihipertensi yang dipilihkan harus
sesuai dengan kondisi yang dialami pasien agar pemberian obat rasional (POR) dapat
tercapai.
Peresepan obat antihipertensi di Puskesmas memiliki pola yang berbeda pada
setiap daerah tergantung pada karakteristik pasien hipertensi yang datang
memeriksakan diri ke Puskesmas tersebut, juga tergantung pada penyakit pasien
apakah terdapat penyakit penyerta atau tidak. Instrumen utama yang digunakan dalam
memperoleh pola pemberian obat antihipertensi adalah catatan rekam medis pasien
hipertensi rawat jalan di Puskesmas. Selain itu dapat pula dianalisa lebih lanjut
mengenai kerasionalan obat antihipertensi yang diberikan pada pasien. Proses
pencatatan rekam medis ditunjukkan pada gambar 3.
Pasien
hipertensi ke
puskesmas
Pemberian
antihipertensi
Pencatatan
data pada
rekam medis
Gambar 3. Gambaran umum proses pencatatan rekam medis di Puskesmas
G. Kerangka Konsep
Sesuai dengan rumusan masalah mengenai bagaimana pola pemberian obat
antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di Puskesmas Salaman II periode
Januari - Desember 2014, maka dibutuhkan data dari rekam medis pasien di
Puskesmas Salaman II pada periode tersebut. Data rekam medis kemudian dianalisis
sehingga didapat pola pemberian obat antihipertensi di Puskesmas Salaman II.
Kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan terlihat pada gambar 4.
Pengambilan
data rekam
medis
Pengolahan
data rekam
medis
Pola
pemberian
obat
antihipertensi
Analisis data
rekam medis
Gambar 4. Gambaran umum proses pengolahan data penelitian
H. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai karakteristik
pasien hipertensi yang berkunjung di Puskesmas Salaman II periode JanuariDesember 2014 yang meliputi karakteristik berdasarkan jenis kelamin, umur, dan
tingkat tekanan darah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui gambaran pola
pemberian obat antihipertensi baik tunggal maupun kombinasi, dan kesesuian
pemberian obat antihipertensi berdasarkan standar JNC 7 dan Pedoman Pengobatan
Dasar di Puskesmas 2011 untuk pasien hipertensi yang berkunjung di Puskesmas
Salaman II periode Januari-Desember 2014.
Download