BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Newcastle Disease 2.1.1 Etiologi Virus ND merupakan virus dari family Paramyxoviridae sub famili Paramyxovirinae genus Avulavirus pada kelompok Avian Paramyxovirus Serotipe 1 (APMV-1) yang berbentuk pleomorfik (Murphy et al, 1998). Asam nukleat virus ND adalah RNA yang berbentuk single stranded RNA (ssRNA) dan berpolaritas negatif . Replikasi virus terjadi pada sitoplasma sel (Olivier, 2004; MacLachlan dan Dubovi, 2011). Asam nukleat virus dapat menyandi 6 protein struktural yang meliputi nukleoprotein (NP), phosphoprotein (P), protein matrik (M), protein fusi (F), hemaglutinin-neuraminidase (HN), dan RNA dependent RNA polymerase (L) (Spradbrow, 1992), serta menyandi 2 protein non struktural yaitu protein V dan protein W (MacLachlan dan Dubovi, 2011). Protein V berperan melawan interferon sedangkan protein W tidak diketahui fungsinya (Murphy et al, 1998). Virus ND terdiri dari amplop, kapsid, dan asam nukleat. Pada amplop terdapat protein HN, protein F, dan lipid membran serta mengandung nukleokapsid heliks simetris berbentuk seperti paku yang memiliki panjang 1 µm dan diameter 18 nm. Pada kapsid terdapat protein M dan NP (Aldous dan Alexander, 2001). Protein F berperan memicu fusi virus dengan membran sel inang sementara protein HN berperan dalam perlekatan dengan sel inang, menjaga kestabilan virus, dapat mengikat molekul permukaan sel inang yang mengandung residu asam sialat baik glikolipid atau glikoprotein. Bukti dari perlekatan tersebut terlihat dari terbentuknya butiran berpasir pada uji hemaglutinasi (OIE, 2008). Protein M adalah protein paling melimpah yang berperan dalam membatu perakitan virus dengan bahan glikoprotein dan ribonukleoprotein serta berperan dalam pengendali sintesis RNA namun protein M akan terlepas setelah memasuki sitoplasma sel inang. Dan protein P dan protein L yang membungkus genom RNA berfungsi untuk transkripsi genom RNA menjadi mRNA (MacLachlan dan Dudovi, 2011). Gambar 1. Morfologi virus Newcastle Disease (kiri) (Sumber: viralzone . expasy . org, 2010) dan penampakan virus Newcastle Disease melalui mikroskop elektron (kanan) (Sumber : www.stanford.edu/group/virus, 1999) Berdasarkan atas kesamaan antigeniknya, virus ND dengan uji HA/HI ada sembilan serotipe yaitu APMV-1 sampai APMV-9 tetapi APMV-1 yang menyebabkan penyakit ND. AMPV-1 dibagi menjadi 2 sub-divisi yaitu ND kelas 1 yang banyak ditemukan pada unggas air dan ND kelas 2 pada unggas kesayangan dan unggas liar (Aldous dan Alexander, 2001). Pada ND kelas 2 dibagi lagi menjadi 10 genotipe dimana sebagian besar (genotipe II-X) menyebabkan kejadian pandemik ND di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Afrika Selatan, China, dan yang terbaru di Taiwan (Kencana, 2012). Meskipun serotipe APMV-1 terkenal ganas namun serotipe ini telah digunakan sebagai vaksin ND karena dapat menginduksi antibodi protektif silang (crossprotektif) (MacLachlan dan Dubovi, 2011). Virulensi virus Berdasarkan virulensi (keganasan) virus dan penyebaran penyakit, virus ND dibagi menjadi 4 galur meliputi galur velogenik, galur mesogenik, dan galur lentogenik, dan galur asymptomatik enterik (Adjid, et al., 2008; Adi et al, 2010 ). Galur velogenik morbiditas dan mortalitasnya mencapai 100%, galur mesogenik morbiditas dan mortalitasnya 5% – 40%, serta galur lentogenik lebih ringan dari galur mesogenik (Maclachlan dan Dubovi, 2011). Protein yang paling berperan dalam menetukan virulensi virus ND adalah protein F dan protein HN (Murphy et al, 1998). Virulensi virus ND diuji dengan beberapa teknik standar yaitu Intravenous Pathogenicity Index (IVPI) dan Intracerebral Patogenicity Index (ICPI). Teknik IVPI dilakukan pada anak ayam umur 6 minggu dengan menyuntikkan virus secara intravena melalui vena brakialis sedangkan teknik ICPI dilakukan pada anak ayam umur sehari (DOC) dengan menyuntikkan virus secara intracerebral. Apabila pada uji ICPI memperoleh nilai 1,20-1,60 dan pada uji IVPI memperoleh nilai 1,00-1,45 maka virus termasuk galur mesogenik bila nilainya lebih tinggi termasuk galur velogenik dan sebaliknya bila lebih rendah termasuk galur lentogenik (Aldous dan Alexander, 2001). Selain 2 teknik tersebut, telah diciptakan teknik yang lebih cepat dan akurat yaitu uji molekuler seperti RTPCR dan Real Time RT-PCR dan rata-rata waktu kematian (Mean Death Time = MDT) embrio dari telur ayam bertunas (TAB) (Muharam dan Darminto, 2005; Kencana, 2012). 2.1.2 Cara Penularan Penularan penyakit ND terjadi secara kontak langsung melalui inhalasi (aerosol) dari partikel debu serta secara oral melalui konsumsi pakan dan air minum yang terkontaminasi feses atau leleran hidung dan mulut ayam terinfeksi (Kencana, 2012). Mekanisme penyebaran penyakit antara daerah satu dengan daerah lainya dipengaruhi oleh stabilitas relatif virus dan inang. Penularan secara vertikal jarang terjadi namun beberapa kasus yang muncul kemungkinan penularan melalui kontamiansi feses yang mengandung virus ND pada kulit telur. Namun ini masih belum pasti apakah penularan secara vertikal berasal dari virus yang lebih patogen meskipun dalam sebuah percobaan dengan dosis virus yang sangat rendah, virus ND dapat diisolasi dari ayam yang baru menetas. Ayam yang terinfeksi dapat mengeluarkan virus selama 1 sampai 2 minggu kecuali burung psittacine yang dapat mengeluarkan virus selama berbulan-bulan. Burung ini menjadi sumber penular penting dari virus Newcastle Disease di daerah endemis (CFSPH, 2008). Selain melalui kontak langsung, penularan penyakit juga melalui kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan kandang seperti tempat pakan/minum, alat transportasi, dan pekerja kandang (OIE, 2004). Selain faktor-faktor yang telah disebutkan itu, pergantian musim, perpindahan ayam, sifat virus, dan perantara virus juga dapat berperan dalam penyebaran penyakit ND (Ronohardjo dan Yusuf, 1995). 2.1.3 Masa Inkubasi dan Gejala Klinis Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND pada ayam tergantung pada strain virus, jenis unggas, status imun, dan adanya infeksi sekunder. Masa inkubasi virus selama 2 sampai 6 hari (Kencana, 2012). Secara umum, penyakit ND diawali dengan anoreksia dan peningkatan suhu tubuh ayam. Gejala klinis penyakit ND ditandai dengan ayam mengalami sesak nafas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf, tortikolis, dan depresi (Maclachlan dan Dubovi, 2011). Berdasarkan patogenisisnya, virus ND dibagi menjadi 4 galur yaitu galur lentogenik, galur mesogenik, galur velogenik, dan galur enterik asimtomatik. Pada galur lentogenik, infeksi biasanya bersifat subklinis sampai menimbulkan penyakit pernafasan ringan dan kematian unggas umumnya sangat rendah. Pada galur mesogenik, infeksinya menimbulkan penyakit pernafasan akut, saraf, anoreksia, sianosis pada pial dan jengger, dan edema di kepala, namun mortalitas rendah. Sedangkan infeksi velogenik menimbulkan morbiditas dan mortalitas 100% dengan gejala klinis bervariasi seperti anoreksia, konjungtiva merah dan udema, diare putih kehijauan, sianosis pada leher dan kepala, serta gejala saraf seperti tremor, spasmus, paralisis kaki dan sayap, serta gejala saraf yang khas adalah tortikolis. Kematian ayam dapat terjadi secara mendadak dengan atau tanpa gejala klinis. Jika masih bertahan hidup, ayam akan mengalami kerusakan saraf dan gangguan produksi telur bersifat permanen (Kencana, 2012). Serta galur enterik asimtomatik yang tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster 2C. Anggota ordo Phasianiformes khusunya ayam terutama ayam petelur sangat rentan terhadap penyakit ND (Aryoputranto, 2011). Dampak penyakit ND terhadap ayam petelur terjadi penurunan produksi telur, dan telur yang abnormal pada warna, kulit, dan albuminnya (Aldous dan Alexander, 2001). Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan, galur virus ND velogenik dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu pneumotropik velogenik, viscerotropik velogenik, dan neurotropik velogenik. Pneumotropik velogenik ditandai dengan gangguan pernafasan dan pembengkakan jaringan sekitar mata dan leher (Maclachlan dan Dubovi, 2011). Viscerotropik velogenik ditandai dengan diare putih kehijauan dan feses yang menempel didaerah dubur (Aldous dan Alexander, 2001). Sementara gejala kronis pada neurotropik velogenik adalah tortikolis dengan leher terpuntir kebelakang (Kencana, 2012). 2.1.4 Pengendalian dan Pencegahan Sejauh ini belum ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi penyakit ND. Pencegahan penyakit ND dapat dilakukan dengan manajemen peternakan yang ketat, penerapan sistem sanitasi dan biosecurity yang baik, vaksinasi, dan membatasi pengunjung (Lima et al., 2004; MacLachlan dan Dubovi, 2011). Salah satu program vaksinasi penyakit ND adalah pemberian vaksin pada umur 4 hari melalui tetes (mata, mulut, atau hidung) atau air minum kemudian diulang pada umur 18-21 hari melalui tetes mata atau suntikan (SC) (MacLachlan dan Dubovi, 2011). Menurut Kencana (2012) mengatakan bahwa saat ini telah tersedia vaksin yang mampu menimbulkan tanggap kebal humoral lebih baik pada unggas yaitu vaksin galur B1 dan La Sota. Tindakan pengendalian dan pencegahan penyakit ND juga harus memperhatikan pergantian musim. Kejadian penyakit ND dapat terjadi setiap saat tetapi wabahnya terjadi pada pergantian musim kering ke musim hujan. Apabila vaksinasi dilakukan pada saat wabah terjadi akan menimbulkan dampak negatif karena kekebalan belum timbul dan ayam sudah menderita penyakit. Sehingga sebaiknya vaksinasi dilakukan pada musim kering/saat tidak terjadi wabah (Ronohardjo dan Yusuf, 1995). 2.2 Vaksinasi Vaksinasi adalah tindakan memasukkan bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau dimatikan virulensinya kedalam tubuh dengan tujuan menggertak tubuh agar secara aktif membentuk zat kebal. Cara vaksinasi yang biasa diaplikasikan adalah suntik, semprot, tetes mata/hidung, atau air minum (Suryana, 2006). Selain itu, vaksinasi juga dapat diaplikasikan melalui pakan namun efektifitasnya tidak cukup untuk membangkitkan kekebalan terhadap ND (Partadiredja, 1991). Vaksinasi pertama pada ayam dilakukan pada umur 3 minggu setelah titer antibodi maternal cukup rendah sekitar sekitar 21,67 kemudian pengukuran titer antibodi dilakukan setiap 2 minggu sekali melalui pengambilan contoh darah (Allan et al., 1978; Partadiredja, 1991; Suryana, 2006). Keberhasilan program vaksinasi ND dipengaruhi oleh jenis vaksin, status penyakit, kesehatan unggas, dan tingkat kekebalan terhadap infeksi ND di lapangan (Paniago, 2007). Faktor kualitas vaksin, program vaksinasi, vaksinator, dan peralatan vaksinasi juga berpengaruh. Vaksin yang digunakan harus mengandung konsentrasi antigen yang cukup untuk menstimulasi kekebalan ayam dan menggunakan adjuvant untuk mengurangi stres (Aryoputranto, 2011). Program vaksinasi harus memperhitungkan kadar titer maternal antibodi. Kadar maternal antibodi berhubungan erat dengan titer antibodi pada induknya Maternal antibodi akan menurun secara linear dan titer akan mencapai kadar setengah dari titer baru menetas setelah 5 – 6 hari. Proteksi maternal antibodi pada ayam disediakan sampai umur 1 – 2 minggu. Vaksinasi dalam waktu beberapa minggu setelah titer antibodi mulai menurun akan menghasilkan respon yang bersifat sekunder (Tabbu, 2003). Keberadaan agen penyakit dalam tubuh juga mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Selain itu, kesesuaian strain virus yang digunakan untuk vaksinasi dengan strain virus lapang dan waktu pemberian vaksin sangat penting untuk perlindungan yang efektif dan keberhasilan vaksin (Hermina, 2013). Menurut Suryana (2006), titer antibodi terhadap virus ND adalah sama dengan atau lebih dari 4 (HI log 2) sehingga memberikan daya proteksi 60%. Hal ini sesuai dengan ACFAF (2012) bahwa titer antibodi pasca vaksinasi ND adalah sama dengan atau lebih besar dari 1:16 pada uji HI. Namun menurut Alders dan Spradbrow (2001), strain vaksin ND sudah dapat melindungi unggas terhadap virus ND lapang dengan titer antibodi sebanyak 23. Pelaksanaan program vaksinasi ND pada peternakan harus ditunjang dengan pemantauan titer antibodi pasca vaksinasi untuk mengetahui status imun pada kelompok ayam terhadap ND. Titer antibodi pasca vaksinasi pada umur 2 minggu akan mengalami peningkatan setelah ayam berumur 5 minggu (Suryana, 2006). 2.3 Vaksin Vaksin adalah sediaan yang mengandung antigen (virus, bakteri dan protozoa), baik merupakan kuman mati ataupun hidup, yang dilumpuhkan virulensinya tanpa merusak potensi antigennya dengan maksud untuk menimbulkan kekebalan aktif yang spesifik terhadap kuman atau toxinnya. Ada dua jenis vaksin yang dikenal yaitu vaksin aktif dan vaksin inakif. Vaksin aktif yaitu vaksin yang mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan. Sedangkan vaksin inaktif yaitu vaksin yang virusnya telah dimatikan (OIE, 2004). Vaksin aktif dibuat dengan pasase berulang-ulang pada telur ayam bertunas (TAB) atau dapat melalui media penumbuh steril lainnya seperti hewan coba dan biakan jaringan. Setelah masuk kedalam tubuh, vaksin harus segera menemukan sel target karena virus hanya dilemahkan. Oleh karena itu, dalam waktu 2 - 4 jam vaksin harus habis terkonsumsi (apabila diberikan melalui air minum) kemudian virus menuju ke organ limfoid untuk menggertak terbentuknya antibodi seperti halnya pada infeksi alam. Kekebalan yang terbentuk lebih cepat tapi tidak bertahan lama, sehingga memerlukan vaksinasi ulangan. Umumnya vaksin berbentuk kering beku sehingga harus dilarutkan dahulu dengan air biasa atau aqua destilata (Aldous dan Alexander, 2001). Selain itu, kekurangan lain dari vaksin aktif adalah dapat menimbulkan penyakit, adanya netralisasi dari maternal antibodi saat vaksinasi primer, dapat dirusak oleh berbagai bahan kimiawi; panas; dan suhu yang tidak sesuai, dan dapat tercemar oleh virus lainnya jika kontrol kualitas tidak ketat. Contoh strain virus untuk vaksin aktif meliputi Hitchner-B1, La Sota, V4, dan Mukteswar (OIE, 2012). Respon imun yang diinduksi oleh vaksin aktif dipengaruhi oleh tipe mikroorganisme, penurunan suhu, jalur penyebaran, lokasi replikasi, umur, dan status imun unggas. Umumnya, vaksin aktif yang digunakan dalam industri perunggasan telah di kurangi (di lemahkan) melalui pengenceran berseri dengan tujuan memelihara respon imun yang diinduksi oleh sel inang melalui pengurangan kemampuan mikroorganisme penyebab penyakit atau imunosupresi. Meskipun banyak digunakan di industri perunggasan, beberapa vaksin aktif juga dapat menyebabkan imunosupresi seperti vaksin aktif Marek Disease Virus (MDV), Infectious Bursal Disease Virus (IBDV), haemorrhagic enteritis virus, and Chicken Infectious Anemia Virus (CIAV) (Davidson et al., 2008). 2.4 Vaksin ND aktif Vaksin ND aktif adalah vaksin yang mengandung virus ND yang telah dilemahkan virulensinya. Vaksinasi ND aktif pertama bertujuan untuk membentuk kekebalan lokal di saluran pernapasan dan mengaktifkan kelenjar harderian di daerah mata. Antibodi vaksin aktif akan mulai terbentuk pada 3-4 hari post vaksinasi. Selain bersifat tunggal, vaksin ND aktif juga dapat dikombinasikan dengan agen penyakit lainnya (Maclachan dan Dubovi, 2011). Beberapa keuntungan vaksin ND aktif adalah harga relatif murah, aplikasinya mudah, dapat diberikan secara massal, menstimulasi kekebalan lokal untuk menggertak terbentuknya antibodi, perlindungan dapat dicapai dalam beberapa hari setelah pemberian vaksin, dan virus vaksin dapat menyebar dari ayam yang telah mendapat vaksin ke ayam lain yang belum menerima vaksin (Tabbu, 2003). Vaksin ND aktif dapat menginduksi Ig A lokal di glandula Harderian, Ig A dan Ig M di lakrimalis, serta Ig Y di saluran respirasi (Davidson et al., 2008). Vaksin ND aktif dapat berasal galur lentogenik dan mesogenik. Galur lentogenik memiliki tingkat virulensi dan mortalitas rendah yang meliputi strain B1 (Hitchner), strain La Sota, dan strain F. Sementara galur mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama daripada galur lentogenik. Namun pemberian vaksin galur mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar akan menimbulkan reaksi post-vaksinasi dan penurunan produksi telur. Galur mesogenik meliputi strain Mukteshwar, strain Komarov, dan strain Bankowski (Aryoputranto, 2011). Vaksin ND aktif banyak digunakan sebagai aplikasi massal karena praktis dan mudah dilakukan seperti melalui air minum. Cara vaksinasi ini memiliki keunggulan yaitu biaya murah dan stress pada ayam rendah. Serta cocok terutama untuk ayam umur dewasa karena jumlah konsumsi air minum pada ayam dewasa relatif optimal dan penyerapan vaksin bersifat sistemik (Davidson et al., 2008). Namun kekurangan vaksin ND aktif yaitu vaksin dapat dikeluarkan melalui tinja dan sekreta lainnya dan dapat menjadi ganas kembali sehingga dapat menyebar ke unggas yang tidak divaksin. Dilaporkan pada burung merpati virus vaksin ND aktif dapat diekskresikan melalui tinja mulai 5 – 25 hari pasca vaksinasi (Kencana, 2012). Tetapi apabila virus ND aktif berasal dari galur lentogenik dapat menguntungkan karena dapat meningkatkan kekebalan kelompok. Selain itu, efektifitas vaksin ND akan berkurang apabila ayam telah divaksin gumboro karena vaksinasi gumboro bersifat imunosupresif (Davidson et al, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian Kencana (2011) bahwa semua vaksin gumboro menyebabkan penekanan respon imun terhadap respon primer (humoral) ayam pedaging terhadap vaksin ND (tetelo). Munculnya antibodi terhadap ND dikatakan sebagai indikator infeksi virus ND dari hasil vaksinasi. Semakin tinggi persentase ayam yang divaksin pada suatu kelompok semakin besar peluang dan titer virus yang disebarkan pada ayam yang kontak (Kencana et al, 2012). 2.5 Sistem Kekebalan Ayam Sistem kekebalan ayam dibagi dua yaitu sistem kekebalan spesifik (dapatan) dan sistem kekebalan non-spesifik (bawaan) (Murphy et al., 1998). Sistem kekebalan spesifik dibagi menjadi sistem kekebalan seluler (cell mediated immunity) dan sistem kekebalan humoral (antibody mediated immunity). Sistem kekebalan seluler diperantarai oleh limfosit T dalam pertahanan tubuh dimana limfosit T akan menghasilkan sel T sitotoksik, sel T penolong yang dibantu Mayor Histocompatibility Complex (MHC) kelas II pada permukaan sel makrofag, sel T supressor untuk menyeimbangkan produksi antibodi sesuai kebutuhan, dan sel T memori. Tugas utama kekebalan seluler adalah menghancurkan sel inang yang terinfeksi antigen. Limfosit merupakan komponen aktif komponen aktif dalam perlindungan infeksi melalui implikasi respon imun bawaan dan respon imun dapatan (Kresno, 2001). Sedangkan sistem kekebalan humoral diperantarai oleh limfosit B dalam pertahanan tubuh. Pembentukan antibodi ini dipicu oleh kehadiran antigen. Antibodi secara spesifik akan bereaksi dengan antigen. Antibodi umumnya tidak secara langsung menghancurkan antigen yang menyerang. Namun, pengikatan antara antigen dan antibodi merupakan dasar dari kerja antibodi dalam kekebalan tubuh. Terdapat beberapa cara antibodi menghancurkan antigen, yaitu netralisasi, penggumpalan, pengendapan, dan pengaktifan sistem komplemen (protein komplemen) (Kresno, 2001). Pada unggas, limfosit B akan membentuk sel plasma dan sel memori di bursa fabrisius (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011). Peranan sel plasma dan sel memori pun berbeda, dimana sel plasma akan membentuk antibodi selama bermingguminggu pasca infeksi pertama sedangkan sel memori akan membentuk antibodi selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun setelah terjadi infeksi yang sama untuk kedua kalinya. Sel memori akan kembali muncul ketika antigen yang sama menyerang. Sel ini berdiferensiasi dengan cepat dalam sel efektor. Produksi sel memori yang spesifik merupakan awal pertahanan thd infeksi. Respon imun seluler akan mencapai puncak setelah 3 minggu pascavaksinasi ND (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011). Walaupun berbeda, namun kedua sistem diatas saling meningkatkan efektifitasnya (Murphy et al., 1998). Sementara sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan secara alami diperoleh tubuh dimana semua antigen yang masuk kedalam tubuh dihancurkan oleh mekanisme fagositosis dan reaksi inflamasi sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu (Abbas dan Lichtman, 2003). Dengan mengetahui kemampuan respon imun non-spesifik (alami) unggas akan membantu kinerja dari vaksin aktif dalam menginduksi respon imun tersebut dengan lebih cepat pada paparan antigen selanjutnya (Davidson et al., 2008). Kekebalan tubuh unggas dipengaruhi oleh jenis dan umur unggas, tipe vaksin (inaktif atau aktif), dosis, dan rute vaksinasi akan mempengaruhi hasil dan proses dari antigen oleh sel kekebalan yang kurang baik pada unggas karena terlalu sedikitnya antigen untuk vaksin yang sama dengan strain lapangan, dosis uji tantang yang berlebihan, dan kekurangan bahan antigen vaksin yang dapat merangsang respon kekebalan protekti (Aryoputranto, 2011). 2.6 Respon Antibodi Sekunder Sistem imun (antibodi) terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang saling berinteraksi. Komponen seluler utama dari sistem imun adalah makrofag dan limfosit. Makrofag memiliki fungsi dalam fagositosis, respon imun alamiah, dan menghasilkan beberapa mediator aktif. Respon imun memiliki 3 fungsi utama yaitu pertahanan, homeostatis, dan perondaan. Respon imun dipengaruhi oleh faktor metabolik, faktor lingkungan, faktor anatomi, faktor fisiologi, faktor umur, dan faktor antigen (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011). Respon imun digolongkan menjadi 2 macam yaitu respon imun adaptif (dapatan)/spesifik dan respon imun alamiah (bawaan)/non-spesifik. Respon imun alamiah memiliki respon cepat terhadap infeksi antigen sementara respon imun adaptif memiliki respon lambat sekitar beberapa hari sampai mingguan (Kresno, 2001). Respon imun alamiah merupakan mekanisme pertama ketika antigen masuk yang berlangsung antara jam ke 0 – jam ke 12. Respon imun alami dapat mengenali antigen yang masuk karena tubuh pernah terpapar antigen yang sama atau antigen lain yang memiliki struktur yang mirip dengan antigen pertama. Sementara respon imun dapatan terjadi karena kegagalan respon imun alamiah dalam menghalau infeksi antigen yang memiliki struktur baru. Mekanisme ini terjadi 1 – 5 hari pasca infeksi (Suryana, 2006). Berdasarkan diperolehnya rangsangan kekebalan, respon imun dapatan dibagi menjadi 2 yaitu kekebalan dapatan aktif dan pasif. Kekebalan dapatan aktif berasal dari rangsangan agen penyakit seperti vaksinasi atau setelah sembuh dari penyakit. Sementara kekebalan dapatan pasif berasal dari sumber luar seperti dari sang induk melalui telur (Aryoputranto, 2011). Antibodi asal induk akan berkurang setengahnya (waktu paruh) setiap 5 hari hingga antibodi tersebut habis (Rahman dkk, 2002). Dilihat dari interaksi antigen dengan inang, respon imun dibagi menjadi 2 yaitu respon imun primer dan respon imun sekunder. Pada respon imun sekunder, antibodi yang terbentuk memiliki titer dan afinitas yang lebih tinggi serta fase lag yang lebih pendek dibanding respon imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respon imun primer akan cepat mengalami transformasi blast dan diferensiasi menjadi antibodi. Sehingga apabila kelak mendapat paparan antigen yang serupa dapat memberikan respon yang lebih kuat dan lebih cepat (Davidson et al, 2008). Untuk mendapatkan titer antibodi cukup tinggi, sifat respon imun sekunder diterapkan dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali (Aryoputranto, 2011).