BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Leher 2.1.1 Definisi Nyeri Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidak nyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka (Prajoto, 2006). Definisi nyeri yang diusulkan oleh the Subcommitte on Taxonomy of the International Association for the Study of Pain menyatakan bahwa nyeri merupakan sensasi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang diikuti gangguan atau kerusakan jaringan yang merupakan kombinasi dari respon sensoris, afektif dan kognitif sehingga hubungan nyeri dengan kerusakan jaringan tidak sama dan tidak konstan. Nyeri menyebabkan fungsi dan gerak 6 7 tertentu dari tubuh menjadi terbatas sehingga sangat mengganggu aktivitas fungsional. Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang individu (Gerwin, 2010). Jadi dapat disimpulkan, nyeri adalah suatu perasaan yang tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang akibat adanya kerusakan jaringan dan nyeri tersebut merupakan suatu pengalaman yang pribadi dan bersifat subjektif sehingga rasa nyeri yang dirasakan setiap orang berbeda – beda. 2.1.2 Fisiologi Nyeri Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel - sel saraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum - sum tulang belakang dan otak. Reseptor - reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor - reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat - zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat - zat kimia ini akan 8 mensensitasi ujung saraf dan menyampaikan impuls ke otak (Guyton & Hall, 2008). Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls - impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Guyton & Hall, 2008). 9 Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel - sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri (Guyton & Hall, 2008). 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Leher Berikut adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya nyeri leher, yaitu (Anggraeni, 2013): a. Trauma pada otot Kerja otot yang berlebihan saat bekerja, dapat menyebabkan terjadinya trauma makro dan mikro pada otot. Trauma makro disebabkan karena injury langsung pada jaringan otot. Trauma makro yang terjadi menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang berujung pada pembentukan jaringan-jaringan kolagen baru. Jaringan kolagen ini cenderung berbentuk tidak beraturan, dan menjadi pemicu munculnya myofascial trigger point pada otot. Sedangkan trauma mikro disebabkan karena adanya cedera yang berulang-ulang pada otot (repetitive injury) akibat kerja yang terus menerus. Beban kerja yang diterima terus menerus ini dapat menstimulasi terbentuknya jaringan kolagen baru dan berujung pada terbentuknya jaringan fibrous. Hal ini lah yang memicu semakin berkembangnya trigger point pada otot (Gerwin, 2001). 10 b. Postur tubuh Postur tubuh yang buruk dalam aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome. Aktivitas manusia saat ini yang cenderung statis dengan postur yang buruk, seperti: forward head posture dan lateral head posture dapat menyebabkan beban yang berlebihan pada otot upper trapezius. Hal ini jika berlangsung lama akan menimbulkan terbentuknya trigger point pada otot . c. Sikap bekerja Sikap kerja yang buruk saat bekerja, seperti: bekerja dalam posisi stastis dalam waktu yang lama dan mengangkat beban yang melebihi kemampuan otot, dapat menyebabkan kompresi pada otot. Hal ini jika dilakukan secara terus-menerus akan memicu terjadinya myofascial pain syndrome. d. Usia Faktor usia juga turut mempengaruhi myofascial pain syndrome. Kasus ini lebih sering terjadi pada usia pertengahan (usia dewasa). Hal ini kemungkinan disebabkan karena kemampuan otot untuk menahan beban dan mengatasi trauma akibat beban tersebut mulai menurun. Selain itu, semakin tua usia seseorang akan menyebabkan degenerasi pada ototnya. Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah serabut otot, atrofi serabut otot, dan berkurangnya masa otot. Dampaknya yaitu pada penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot. 11 2.1.4 Nyeri Otot Upper Trapezius Otot upper trapezius merupakan otot tipe tonik (slow twitch) yang bekerja secara konstan bersama-sama dengan otot-otot shoulder girdle lain yaitu memfiksasi scapula dan leher termasuk mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan meningkat pada kondisi tertentu seperti adanya postur yang jelek, ergonomi kerja yang buruk, degenerasi otot, trauma atau strain kronis. Keadaan ini akan beresiko untuk terjadinya gangguan pada jaringan miofasial otot upper trapezius itu sendiri (Neuman, 2002). Sebagaimana diketahui pada jaringan miofasial yang sehat terdapat keseimbangan antara kompresi atau ketegangan dengan rileksasi. Keseimbangan ini dipelihara oleh adanya substansi dasar (ground substance) dari jaringan miofasial. Substansi dasar ini mempertahankan keseimbangan kompresi atau tegangan dengan relaksasi melalui cara mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat, berperan sebagai alat transpor zat gizi dan sebagai alat transpor zatzat sisa metabolisme (Neuman, 2002). 2.1.5 Pengukuran Nyeri Visual Analog Scale (VAS) adalah skala berupa garis lurus yang panjangnya biasanya 10 cm atau 100 mm, dengan penggambaran verbal pada masing - masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). VAS telah direkomendasikan untuk menilai keparahan nyeri pada IHS edisi pertama untuk trial kontrol obat-obat migren pada tahun 1991. Beberapa 12 studi lainnya juga telah menunjukkan bahwa VAS merupakan alat ukur yang valid dan reliable pada pengukuran intensitas nyeri baik kronik maupun akut (Prentice, 2002). Pengukuran nyeri dilakukan dengan cara pasien diminta untuk menandai sepanjang garis tersebut, sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah nilai yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian nilai tersebut dicatat untuk melihat kemajuan dari pengobatan atau terapi yang dilakukan. Gambar 2.1: Visual Analogue Scale (Sumber: Warden et al, 2003) 13 Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. 2.2 Biomekanik dan Anatomi Terapan Cervical 2.2.1 Regio Cervical Regio cervical disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlanto-occipital joint (C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2) dan vertebra joints (C2-C7). Regio ini merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang vertebra. Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu untuk mengatur sendi dan memfasilitasi posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision), pendengaran, penciuman dan keseimbangan tubuh. Adapun gerakan yang dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi cervical (Neuman, 2002). 14 b. Atlanto-occipital Joint (C0-C1) Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi-ekstensi dan lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan fleksi condylus yang conveks akan slide ke arah belakang terhadap facet articularis yang concaf sebesar 10 derajat. Sedangkan pada gerakan ekstensi condylus yang conveks akan slide ke arah depan terhadap facet articularis yang concaf sebesar 17o. Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisi-sisi pada jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks terhadap facet articularis(atlas) yang concaf sebesar 5o (Neuman, 2002). c. Atlanto-axial Joint (C1-C2) Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi cervical ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan fleksi akan terjadi gerakan pivot kedepan dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2) sebesar 15o sedangkan pada gerakan ekstensi gerakan pivot kebelakang dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Gerakan rotasi pada sendi ini sebesar 45o dimana atlas yang berbentuk cincin akan berputar disekitar procesus odonthoid bagian procesus articularis inferior atlas yang sedikit concaf akan slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap procesus articularis superior axis (Neuman, 2002). 15 d. Vertebra Joints (C2-C7) Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah atas dan depan terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 40o, sedangkan pada gerakan ekstensi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah bawah dan belakang terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 70o. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada procesus articularis inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi contralateral terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 45o. Gerakan lateral fleksi cervical, procesus articularis inferior vertebra superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit ke belakang dan pada sisi contralateral akan slide ke arah atas dan sedikit kedepan sebesar 35o. Inlinasi pada bentuk facet joint akan menghasilkan gerakan coupling yang searah dimana selama gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang searah (Neuman, 2002). 16 2.2.2 Biomekanik Terapan pada Upper Trapezius Otot trapezius adalah salah satu grup otot besar pada tubuh manusia, otot ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu upper, midle dan lower trapezius. Otot upper trapezius merupakan grup otot pada tubuh manusia yang berfungsi untuk elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi cervical. Otot upper trapezius merupakan otot yang berperan sentral dapan stabilisasi postur kepala. Stabilisasi tersebut dikarenakan adanya otot agonis dan antagonis yang dimainkan oleh upper trapezius kiri dan kanan. Otot ini memberikan arah tarikan ke inferolateral pada cervical sehingga dengan adanya suatu gangguan pada otot ini akan menyebabkan postur kepala yang tidak seimbang antara kanan dan kiri (Neuman, 2002). elevasi bahu ekstensi cervical Gambar 2.2 : Otot Upper Trapezius (Sumber: Lippert, 2011) Latera fleksi cervical 17 2.2.3 Biomekanik Otot Skeletal Otot upper trapezius merupakan salah satu jenis otot skeletal yang terdiri dari banyak serabut otot berbentuk seperti benang/serabut. Membran yang membungkus serabut otot dinamakan dengan sarkolema. Sarkolema berbentuk seperti neuron yang mengandung potensial membran. Neuron tersebut akan mengeluarkan impuls yang berjalan ke sarkolema yang mengakibatkan sel otot berkontraksi. Transverse tubulus merupakan lubang yang ada pada sarkolema yang berfungsi menghantarkan impuls dari sarkolema ke dalam sel terutama pada struktur lain di dalam sel yang menyelubungi miofilamen yang disebut sarcoplasmic reticulum. Tranverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan dengan sarcoplasmic reticulum dalam menghantarkan impuls serta tempat penyimpanan ion kalsium. Antara sarcoplasmicreticulum dengan sitoplasma sel otot disebut sarkoplasma. Pada sarkoplasma tersebut terjadi pemompaan ion kalsium. Ketika impuls saraf ada pada membrane sarcoplasmic reticulum maka terjadi pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium melewati menuju pada sarkoplasma yang akan mempengaruhi miofibril untuk berkontraksi (Fatmawati, 2012). Sarkoplasma pada setiap serabutotot mengandung sejumlah nukleus dan mitokondria, serta sejumlah benang/serabut miofibril yang berjalan parallel sejajar satu sama lain. Miofibril mengandung 2 tipe filamen protein yang susunannya menghasilkan karakteristik pola striated sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal (Sudaryanto & Anshar, 2011). Miofibril terbuat dari 18 molekul protein yang panjang disebut miofilamen. Miofilamen terdiri dari 2 jenis yaitu thick miofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin miofilamen yang berwarna lebih terang. Kedua jenis miofilamen tersebut membentuk sub unit yang saling berhubungan dalam miofibril. Sub unit tersebut dinamakan sebagai sarkomer yang merupakan unit strukural dasar dari serabut otot. Di dalam sarkomer, thick miofilamen berada di tengah dan diapit oleh thin miofilamen. Jika dilihat dalam microscopis daerah tengah sarkomer akan terlihat lebih gelap yang disebut dengan I-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan A-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line (Sharewood, 2006). Kepala miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP, binding site dan aktin binding site. Pergeseran miosin yang terjadi disebabkan karena kepala dari miosin bertemu dengan molekul aktin di dalam miofilamen. Thin miofilamen terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, troponin dan tropomiosin. Pada otot yang rileks, molekul miosin menempel pada benang molekul tropomiosin, ketika ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah bentuk dan posisi troponin. Perubahan tersebut membuat molekul tropomiosin terdorong dan menjadikan kepala myosin bersentuhan dengan dengan molekul aktin. Persentuhan tersebut membuat kepala miosin bergeser, pada akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan memecah ikatan antara aktin dan miosin. Kepala miosin kembali bergerak ke belakang dan ATP dipecah sebagai ADP + P. Kepala 19 miosin kembali berikatan dengan molekul aktin yang lain, ikatan ini membuat terjadinya lagi gerakan aktin terdorong oleh kepala miosin (Fatmawati, 2012). Pada keadaan rileks, otot skeletal akan terjadi apabila impuls saraf melalui end plates. Akibat dari ketiadaan impuls tersebut maka tidak ada ion kalsium yang masuk ke dalam sitoplasma karena pintu masuk kalsium menjadi tertutup sehingga kalsium akan kembali masuk ke dalam sarcoplasmic reticulum. Selanjutnya akibat kembalinya kalsium ke dalam sarcoplasmic reticulum menyebabkan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali normal dan memutus hubungan antara kepala miosin dan aktin. Otot akan kembali rileks pada saat kepala miosin dan aktin tidak lagi saling berhubungan sehingga tak ada lagi pergeseran molekul. Gambar 2.3 : Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot (Sumber: Sherwood, 2006) 20 Menurut Azizah & Hardjono (2006), ada 2 tipe serabut yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat didalam suatu otot tunggal. 1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan kontraksi yang lambat (kecepatan kontraktil yang lambat), banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria, kekuatan motor unit yang rendah, tahan terhadap kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi dan berfungsi untuk mempertahankan sikap. 2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat (kecepatan kontraktil yang cepat), tidak tahan terhadap kelelahan (cepat lelah), memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak mengandung miofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik. Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik.Kontraksi konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang untuk menahan beban.Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011). 21 2.3 Penjahit Payung Bali Menjahit adalah salah satu pekerjaan manual, yang dilakukan dalam posisi duduk dengan posisi leher menunduk statis ke depan selama beberapa menit. Pekerjaan menjahit yang dilakukan berulang - ulang dan dalam waktu yang relatif lama dapat menyebabkan kelelahan secara fisiologis, yang disebabkan karena aktivitas kerja dan mempertahankan tubuh ketika bekerja. Penjahit payung bali proses dan sistem kerjanya sama dengan penjahit garmen, hanya objek yang dijahit yang berbeda. Berdasarkan analisis ilmu ergonomi pada penjahit, terdapat beberapa permasalahan ergonomi yang ditimbulkan akibat pekerjaannya, diantaranya (Diana, 2007): 1. Pegal pada bagian kaki Pegal pada bagian kaki ini dapat disebabkan karena menggerakkan mesin jahit secara terus - menerus, sehingga lama-kelamaan dapat menimbulkan gangguan fisiologis pada kaki, seperti pegal - pegal, keram, dan tapalan pada kaki. 2. Pegal pada bagian lengan dan pergelangan tangan Pegal pada bagian lengan dan pergelangan tangan ini bisa disebabkan oleh karena aktivitas menjahit yang monoton, sehingga bisa menyebabkan pegal-pegal pada bagian lengan dan pergelangan tangan. 22 3. Sakit punggung dan nyeri pada pinggang bagian bawah Sakit punggung dan nyeri pada pinggang bagian bawah ini sama-sama disebabkan oleh karena posisi duduk terlalu lama, yaitu selama 15-20 menit sehingga otot-otot punggung biasanya mulai letih. Maka akibatnya mulai dirasakan nyeri pada pinggang bagian bawah. Nyeri pada pinggang bagian bawah ini akan menyebabkan otot-otot pinggang menjadi tegang dan dapat merusak jaringan lunak di sekitarnya. Apabila hal ini berlanjut terus, akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang mengakibatkan hernia nukleus pulposus, yaitu saraf tulang belakang “terjepit” di antara kedua ruas tulang belakang sehingga menyebabkan nyeri pada pinggang dan juga rasa kesemutan yang menjalar ke tungkai sampai ke kaki. Bahkan, bila parah, dapat menyebabkan kelumpuhan. 4. Sakit leher Sakit leher ini bisa disebabkan oleh karena posisi duduk yang bungkuk dan monoton dalam waktu lama pada saat menjahit, sehingga mengakibatkan leher menjadi pegal-pegal dan sakit. Pada pekerja penjahit payung bali di Desa Mengwi keluhan yang paling sering dialami adalah keluhan nyeri leher. Hal tersebut didasari oleh hasil wawancara kepada 5 orang penjahit payung bali, dan 3 diantaranya menyatakan 23 mengalami keluhan nyeri leher. Keluhannya berupa rasa nyeri dan kaku di bagian leher sampai bahu, terkadang keluhan tersebut sampai menjalar ke tangan. Kalau hal tersebut dibiarkan tanpa mendapat penangan yang tepat bisa menyebabkan keluhan yang lebih parah, seperti myofacial syndrome (Tana, et al 2009). Gambar 2.4 : Proses Menjahit Payung Bali (Sumber : Dokumentasi pribadi) 24 2.4 Auto Stretching 2.4.1 Pengertian Auto stretching juga dikenal sebagai self-stretching karena tipe ini dilakukan sendiri oleh pasien secara aktif. Auto stretching adalah stretching otot pada posisi yang benar, yang dapat mencegah dan atau mengurangi kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot yang membatasi gerakan. Teknik auto stretching merupakan aspek penting dari program latihan di rumah (home programe) dan merupakan penatalaksanaan terapi jangka panjang pada beberapa gangguan muskuloskeletal. Pemberian edukasi terhadap pasien tentang cara yang aman melakukan prosedur auto stretching di rumah sangat penting untuk pencegahan injuri kembali atau mencegah terjadinya disfungsi di masa akan datang (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997). Adapun prinsip untuk mengaplikasikan auto stretching adalah sebagai berikut (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997): 1) Posisi awal harus aman dan stabil 2) Fungsi dari otot atau grup otot yang sebenarnya adalah harus selalu dihitung. 3) Latihan harus selalu terkontrol dan mempunyai dampak yang sesuai harapkan. 25 4) Otot atau grup otot harus dalam keadaan terulur di berbagai posisi dan memanjang sebisa mungkin sehingga dapat mencapai batas dari mobilitas normal. Prinsip-prinsip vital ini yang membuat auto stretching efektif dan aman. Auto stretching membantu bergerak dengan mudah dan lebih baik. Tidak ada reaksi perlindungan yang ditimbulkan dan tidak terdapat resiko overs tretch atau kerobekan pada otot jika stretching dilakukan secara perlahan dan lembut (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997). 2.4.2 Mekanisme Penurunan Intensitas Nyeri Otot Upper Trapezius dengan Pemberian Auto stretching Pemberian auto stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan auto stretching serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormal cross link akibat sindroma miofasial. Auto stretching dapat bermanfaat pada serabut otot yang mengalami nyeri miofasial. Serabut otot yang terganggu akan menyebabkan penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam serabut otot. Sarkomer sebagai komponen elastis di dalam serabut otot akan mengalami gangguan. Pemberian auto stretching yang dilakukan secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan 26 akan mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu. Auto stretching dapat mencegah dan atau mengurangi kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot upper trapezius yang membatasi gerakan dan merupakan teknik peregangan dengan konsep kontraksi isotonik (kontraksi dinamik) (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997). 2.5 Neck Cailliet Exercise 2.5.1 Definisi Neck cailliet exercise adalah salah satu terapi latihan isometrik kontraksi dengan menahan tahanan maksimal dan diakhiri dengan relaksasi. Metode Neck Cailliet Exercise dapat digunakan untuk mengatasi spasme otot dan untuk memelihara atau meningkatkan kekuatan otot leher untuk memperoleh ketahanan statis dan dinamis leher, memelihara luas gerak sendi dan kelenturan leher, serta memperoleh postur yang benar dengan terkoreksinya muscle imbalance (Cailliet, 1991). 2.5.2 Indikasi dan kontraindikasi Indikasi pemberian neck cailliet exercise yaitu (Cailliet, 1991) a) Adanya pemendekan, kontraktur, atau spastisitas pada otot b) Meningkatkan kekuatan pada otot atau grup otot yang mengalami kelemahan c) Adanya malposition pada unsur tulang d) Perbaikan pergerakan sendi yang berhubungan dengan disfungsi artikular 27 Kontraindikasi pemberian neck cailliet exercise yaitu (Cailliet, 1991) a) Cedera muskuloskeletal akut b) Adanya fraktur tulang yang tidak stabil c) Adanya penyatuan dan ketidakstabilan pada sendi d) Osteoporosis e) Gangguan kardiovaskuler 2.5.3 Prinsip Aplikasi Neck Cailliet Exercise Terdapat beberapa prinsip pelaksanaan neck cailliet exercise antara lain (Chaitow, 2006): 1. Palpasi Sebelum menerapkan neck cailliet exercise, fisioterapis melakukan pemeriksaan pada otot atau sendi yang mengalami tightness, hipomobile, hipermobile dan spasme dengan palpasi untuk menentukan target jaringan yang akan dilakukan treatment. Teknik palpasi yang dilakukan dengan tekanan yang halus. Otot atau sendi harus dalam keadaan yang relaks saat dilakukan gerak pasif. Tujuannya untuk menentukan besarnya ketegangan tonus otot atau mobilitas sendi. 2. Menutup Mata Fisioterapis melakukan pemeriksaan palpasi pada target jaringan dengan menutup mata, untuk merasakan seberapa besar ketegangan tonus otot atau 28 mobilitas sendi dengan menggerakkan secara pasif bagian yang diterapi. Gerakan secara perlahan, halus, dan rasakan endfeel pada sendi. 3. Intensitas Kontraksi Otot Intensitas kekuatan yang digunakan adalah 60% sampai 80% kekuatan maksimal dan disesuaikan pada setiap posisi. Beban perlahan ditingkatkan sampai pada akhirnya kekuatan otot meningkat. 4. Waktu Kontraksi Latihan isometrik dilakukan 6 sampai 10 detik. Latihan yang dilakukan kurang dari 6 detik belum menimbulkan adaptasi atau perubahan anatomi dan fisiologi otot sedangkan latihan yang dilakukan terlalu lama dapat menimbulkan kelelahan dan bahkan bila berulang ulang dapat menimbulkan cedera. 5. Pernapasan Pernapasan pada saat melakukan neck cailliet exercise sangat penting, karena rileksasi yang diberikan lebih besar dan sangat baik untuk meningkatkan sirkulasi darah. Saat melakukan kontraksi isometrik, pasien diinstruksikan untuk mengeluarkan napas dengan perlahan dan rileks. Setelah penerapan neck cailliet exercise, pasien diinstruksikan untuk menarik dan menghembuskan napas dengan perlahan dan rileks. Tujuan pernapasan ini dilakukan untuk memberikan efek rileksasi pada jaringan dan otot agar ketegangan jaringan dan otot menurun serta memberikan efek yang nyaman bagi pasien. 29 6. Waktu pengulangan Pengulangan yang dilakukan sebanyak 10 kali, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Waktu pengulangan ini efektif bagi rileksasi jaringan dan otot. 30 PEDOMAN LATIHAN NECK CAILLIET EXERCISE - Posisi awal kepala tegak, mata lurus kedepan, gerakan kepala bergeser kedepan dengan tinggi dagu tetap tahan 6 detik, istirahat 6 detik dan ulangi 10x - Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan - Tundukkan kepala dengan pelan tetapi cukup kuat dan sekaligus bersamaan dengan itu kedua tangan pasien berusaha menahan gerakan menunduk tersebut dengan mendorong dahi ke arah tengadah, seolah – olah saling dorong mendorong sehingga hasil akhirnya kepala tetap tegak. - Tahan 6 detik, istirahat 6 detik dan ulangi 10x - Lakukan juga gerakan tengadah ke blakang, mieing kanan-kiri, sambil ditahan. - Posisi awal sama dengan laithan 2 - Dorong/tarik kepala ke arah bahu kanan, tahan 6 detik dengan menghitung 101 s/d 106 - Istirahat 6 detik ulangi sampai 10x - Terapkan yang sama pada bagian kiri - - Posisi awal sama dengan diatas - Dorong/tarik kepala rotasi dengan sedikit ke bawah, ke arah kanan, tahan 6 detik seperti diatas lalu istirahat 6 detik dan ulangi 10x ke kanan dan ke kiri Gambar 2.5: Neck Calliet Exercise (Sumber : Cailliet, 1991) 31 2.5.4 Mekanisme Penurunan Intensitas Nyeri Otot Upper Trapezius dengan Pemberian Terapi Latihan Neck Cailliet Exercise Pada intervensi neck cailliet exercise akan terjadi mekanisme post isometric relaxation (PIR). Post isometric relaxation yang mengacu pada pengurangan tonus otot agonis setelah kontraksi isometrik. Hal ini terjadi karena pengaruh reseptor stretch yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Reseptor ini bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya berkontraksi. Hal ini secara natural melindungi reaksi terhadap regangan berlebih, mencegah ruptur dan memiliki pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba-tiba pada seluruh otot dibawah pengaruh stretching (Chaitow, 2006). Gambar 2.6 : Post Isometric Relaxation (Sumber: Chaitow, 2006) 32 Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent dari golgi tendon organ masuk ke bagian dorsal spinal cord dan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls motor neuron efferent dan oleh karena itu terjadi pencegahan kontraksi lebih lanjut, tonus otot menurun, yang menghasilkan relaksasi dan pemanjangan otot agonist sehingga nyeri dapat berkurang (Chaitow, 2006).