BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Dari data yang berhasil dihimpun, penelitian terdahulu yang secara spesifik mengkaji mengenai fenomena anak jalanan, khususnya komunikasi anak jalanan pada komunitas. Oleh karenanya kajian pustaka dalam penelitian ini adalah penelitian terdahulu dengan pendekatan studi kasus dan fenomena sosial. Pertama, penelitian Engkus Kuswarno yang berjudul “Studi tentang Konstruksi Sosial dan Manajemen Komunikasi Para Pengemis di Kota Bandung” pada tahun 2004, penelitian tentang Dunia Simbolik Pengemis Kota Bandung : Studi tentang Konstruksi Sosial dan Manajemen Komunikasi Para Pengemis di Kota Bandung. Penelitian ini merupakan Disertasi Doktor Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana pada Universitas Padjajaran, Bandung (Mulyana, 2007:87). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi, karena dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk menggambarkan fenomena pengemis dari kacamata para pengemis itu sendiri. Teori yang digunakan ialah Fenomenologi Sosial Alfred Schutz. Penelitian ini menghasilkan sebuah alternative solusi, yang sebenarnya merupakan sebuah pandangan subjektif dari peneliti, yang pada dasarnya mengemukakan kepeduliannya tentang upaya mengangkat harkat para pengemis yang mustadafin serta menuntut peran yang lebih nyata dari pemerintah dalam memberikan jaminan sosial dan keamanan bagi warganya. Nampaknya perlu ditambahkan aspek 10 11 kriminalitas pada katagorisasi pengemis melihat kenyataan dilapangan bahwa disinyalir ada unsure pemaksaan yang bernuansa kriminal dari pihak eksternal (oknum preman) kepadaa seseorang untuk menjadi pengemis. Selain itu Penelitian ini hanya fokus kepada pengemis di bandung yang bersifat homogeny dalam latar belakang budaya yaitu sunda. Peneliti bisa membandingan dengan pengemis dari latar belakang budaya lainnya. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian peneliti, yaitu menggunakan teori tentang interaksionisme simbolik dan fenomenologi sosial, namun dalam objek penelitian sedikit berbeda penelitian ini mengambil objek pengemis, dan peneliti mengambil objek anak jalanan. Kedua, selain itu penelitian mengenai pendekatan fenomenologi lainnya seperti Sri Rine Sugiarti, yang berjudul “ Fenomena Komunikasi Sosial pada tradisi mudik lebaran komunitas pedagang warung tegal di DKI Jakarta” oleh Sri Rine Sugiarti Pasca Sarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana 2009. Studi menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan paradigma interpretif melalui pendekatan fenomenologi, mengenai fenomena komunikasi sosial pada tradisi mudik lebaran komunitas pedagang warung tegal di DKI Jakarta. Penelitian ini menemukan bahwa ada 4 (empat) perkara yang menjai motif mengapa begitu besar hasrat dari komunitas pedagang warteg di Jakarta pada tradisi mudik lebaran, yaitu : a. Mencari berkah dengan cara sungkem kepada orangtua, bersilaturahmi dengan sanak saudara di kampung halaman. 12 b. Mengingat kembali aka nasal usul, yaitu kesabaran untuk tidak pernah melupakan jati dirinya, asal-usulnya, nenek moyangnya, dan kampung halamannya. c. Sebagai terapi psikologis atau terapi kejiwaan dari penyakit yang diderita manusia yang sedang mengalami proses modernisasi, dimana manusia ibarat sekrup-sekrup tanpa jiwa yang terperangkap oleh rutinitas pekerjaan. d. Sebagai ajang unjuk diri memamerkan kesuksesan setelah merantau ke Jakarta sebagai pedagang warteg. Selain itu juga ditemukan pola komunikasi dalam peristiwa mudik lebaran. Yaitu peristiwa mudik lebaran melibatkan komunikasi sosial sebagai suatu proses simbolik. Dalam berinteraksi dengan orang lain persepsi seseorang dikomunikasikan dengan suatu lambing atau simbol, yang maknanya sudah sama-sama disepakati. Pada komunitas pedagang warteg, komunikasi antara pedagang warteg dengan sesama pedagang warteg yang lain dan sanak saudaranya serta warga masyarakat di kampung halaman menggunkan simbol-simbol verbal dan non verbal. Namun simbol-simbol non verbal tidak mungkin terakomodasi dalam proses komunikasi yang menggunkan media, karena simbol-simbol serta perasaan hanya bisa terungkap ketika terjadi komunikasi interpersonal yang bersifat tatap muka. Komunikasi interpersonal ini berlangsung pada komunitas pedagang warteg setiap mudik lebaran, dan tahun ketahun seakan tidak lekang oleh berjalannya waktu, sehingga kemudian membentuk suatu “pola komunikasi”. Jadi, “pola komunikasi” yang berlangsung pada tradisi mudik lebaran komunitas pedagang warteg adalah komunikasi interpersonal yang bersifat tatap muka. Pola komunikasi ini dipengaruhi oleh faktor- 13 faktor dari dalam diri individu itu sendiri (internal) maupun faktor yang berasal dari luar (eksternal). Dimana faktor-faktor itu mempengaruhi kedua belah pihak dengan muatan berbeda. Menurut saya, dalam penelitian ini dapat dimasukan teori dramaturgi, karena pada saat pedagang warteg pamer kekayaan di kampung merupakan penipuan public yang tujuannya untuk aktualisasi diri dan diakui di kampungnya. Kenyataan belum tentu seperti itu. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian peneliti, yaitu menggunakan teori fenomenologi sosial, penelitian ini juga tidak menggunakan teori interaksionisme simbolik untuk melihat konsep diri dan motif. Objek penelitian sedikit berbeda penelitian ini mengambil objek pedagang warteg, dan peneliti mengambil objek anak jalanan Ketiga, penelitian Atwar Bajari, penelitian yang berjudul “ Makna Peran dan Perilaku Komunikasi Pada Anak Terpinggirkan (Studi Pada Anak Jalanan). Tujuan penelitian ini ialah mencoba mengangkat kompleksitas pemaknaan peran oleh anak jalanan dan perilaku komunikasi yang berlangsung selama mereka melakukan aktifitas di jalanan. Pembahasan merupakan hasil kajian di dua wilayah (Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon) sebagai wilayah yang termasuk dalam populasi anak jalanan yang tinggi di Jawa Barat. Teori menggunakan Interaksionisme Simbolik, Konsep Diri, The Looking Glass Self, Kostruksi realitas. Hasil penelitian ini ialah, anak jalanan memaknai peran diri dalam keluarga dan masyarakat sebagai individu yang mandiri (tanggung jawab pada diri dan keluarga), otonom (berusaha melepaskan ketergantungan), dan individu yang berusaha memiliki relasi sosial dalam konteks di jalanan. Konstruksi makna peran 14 diri itu sendiri dibangun secara kreatif dan dinamis di dalam interaksi sosial anak dengan orang-orang dalam lingkungan jalanan. Hasil interaksi sosial anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk konstruksi makna secara subjektif dan objektif tentang orang dewasa, aturan dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks anak jalanan ( Atwar Bajari, 2011; 83). Penelitian ini dapat diperkaya dengan adanya teori fenomenologi sosial, yang akan membantu memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian peneliti, yaitu menggunakan teori tentang interaksionisme simbolik begitu juga dengan objek penelitian yaitu anak jalanan. Namun, penelitian ini melihat konsep diri anak jalanan menggunakan teori pengembangan diri (konsep diri) George Herbert Mead, dan teori the looking glass self Charles H Cooley. Berbeda dengan penelitian ini yang melihat konsep diri anak jalanan dengan teori interaksionisme simbolik. Keempat, penelitian Sri Hastuti Susmiati tahun 2010. Penelitian yang berjudul “ Fenomena Permasalahan Anak di DIY” bertujuan untuk mengetahui fenomena yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan purposive dengan pertimbangan daerah-daerah yang angka permasalahan sosial anak tinggi. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, telaah dokumen dan Focus Group Discution (FGD). Adapun sasaran atau subjek penelitian adalah sumber-sumber yang dapat memberikan informasi tentang aspek yang akan diteliti, antara lain dinas sosial terkait, kecamatan dan kelurahan yang menjadi lokasi penelitian. Teknik analisis data menggunakan teknik Deskriptif Kuantitatif. 15 Ditemukan fenomena anak dalam bentuk penelantaran anak, pencabulan, penjualan, gizi buruk, kekerasan fisik, penculikan, pernikahan dini, perkosaan, pencurian, dan keterlibatan anak dalam narkoba. Adapun analisis kritik pada penelitian ini ialah perlu adanya kategorisasi umur anak yang diteliti apabila menggunakan kuantitatif. Penelitian ini mempunyai mengangkat permasalahan anak di DIY secara umum, berbeda dengan penelitian peneliti yang hanya mengangkat komunikasi sosial yang dilakukan oleh anak jalanan di kota Tangerang. Kelima, penelitian Eni Maryani penelitian yang berjudul “ Komunikasi Sosial di Jatinangor. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui dinamika sosial masyarakat di Jatinangor. Studi ini juga bertujuan untuk mengetahui berbagai bentuk komunikasi sosial yang ada serta isu atau permasalahan utama yang berkembang dan bagaimana peran komunikasi terkait isu tersebut. Teori yang digunakan komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa, dan interaktif. Hasil penelitian ini, komunikasi sosial di jatinangor secara umum dapat dipetakan melalui proses komunikasi yang mendasari interaksi antara tiga kelompok besar yang ada di Jatinangor yaitu perguruan tinggi, warga asli dan warga pendatang. Di dalam tiap kelompok terdapat pula kelompol – kelompok yang lebih spesifik dan memiliki perbedaan satu sama lain (Atwar Bajari , 2011:279). Penelitian ini dapat di buat spesifik dengan satu permasalahan sosial di Jatinangor, dan bagaimana penyelesaiannya di dalam hubungan komunikasi. Peneliti bisa mengambil salah satu masalah yang memang banyak terjadi di daerah tersebut. Sehingga penelitian ini bisa lebih fokus dan menjadi masukan untuk kemajuan 16 Jatinangor. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian peneliti, yaitu membahas tentang komunikasi sosial . namun, kajian yang dibahas itu berbeda, penelitian ini membahas secara global komunikasi sosial di Jatinangor, dan peneliti hanya membahas komunikasi sosial anak jalanan di kota Tangerang yang tergabung dalam komunitas anak langit. 17 Adapun matriks penelitian terdahulu ialah seperti dibawah ini : No 1 2 Nama Peneliti dan Judul Penelitian Engkus Kuswarno tahun 2004 ( Dunia Simbolik Pengemis Kota Bandung: studi tentang konstruksi sosial dan manajemen komunikasi para pengemis di Kota Bandung.) Sri Rine Sugiarti Tahun 2009 ( Fenomena Komunikasi Sosial Pada Tradisi Mudik Lebaran Komunitas Warung Tegal di Tujuan Penelitian Teori dan Metode Penelitian Hasil Penelitian Kritik Untuk mengetahui Teori : makna - Fenomenologi pengalaman hidup dari sejumlah - Interaksionisme pengemis di kota Simbolik Bandung, tentang suatu - Etnometodology konsep atau gejala, Metode : dimana di dalamnya - Pendekatan termasuk pandangan Kualitatif hidup dari para - Fenomenologi pengemis tersebut yang dikenal sebagai konsep diri (self concept). Pengunaan simbol komunikasi pengemis dengan sesame mereka dengan calon dermawannya mencakup ; nada suara, isyarat, isyarat dan gerakan tubuh, penampilan, dan ekspresi wajah. Penelitian ini hanya fokus kepada pengemis di bandung yang bersifat homogeny dalam latar belakang budaya yaitu sunda. Peneliti bisa membandingan dengan pengemis dari latar belakang budaya lainnya. a.mengungkapkan motif Teori : yang menjadi latar - Fenomenologi belakang tradisi mudik Metode : lebaran pada komunitas - Pendekatan pedagang warteg di Kualitatif DKI Jakarta - Fenomenologi b.Mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai a. Motif pedagang warteg pulang mudik lebaran yaitu mencari berkah, mengingat kembali asal usul, sebagai terapi psikologis, sebagai ajang unjuk diri pamer kesuksesan setelah merantau ke Jakarta. Kelemahan penelitian ini hanya fokus kepada teori fenomenologi. Namun, penelitian ini dapat diperkaya dengan teori interaksionisme simbolik dan dramartugi. 18 3 DKI Jakarta (Studi Fenomenologis) pola komunikasi berlangsung diantara sesame pedagang warteg , sanak keluarga, serta dengan warga masyarakat pada saat mudik lebaran. Atwar Bajari, ( Makna Peran dan Perilaku Komunikasi Pada Anak Terpinggirkan (Studi Pada Anak Jalanan) Ingin mencoba mengangkat kompleksitas pemaknaan peran oleh anak jalanan dan perilaku komunikasi yang berlangsung selama mereka melakukan aktifitas di jalanan. Pembahasan merupakan hasil kajian di dua wilayah (Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon) sebagai wilayah yang termasuk dalam populasi anak jalanan yang tinggi di Jawa Barat. b. Faktor-Faktor yang mempengaruhi pola komunikasi yaitu faktorfaktor pribadi, sosial, budaya. c. Peristiwa mudik lebaran melibatkan komunikasi sosial yang bersifat simbolik. Hasil penelitian ini ialah, Teori : anak jalanan memaknai - Interaksionisme peran diri dalam keluarga Simbolik dan masyarakat sebagai - Konsep Diri individu yang mandiri - The Looking (tanggung jawab pada Glass Self diri dan keluarga), - Kostruksi realitas. otonom (berusaha Metode : melepaskan - Penelitian ketergantungan), dan Kualitatif individu yang berusaha - Interaksi memiliki relasi sosial Simbolik dalam konteks di jalanan. Konstruksi makna peran diri itu sendiri dibangun secara kreatif dan dinamis di dalam interaksi sosial anak dengan orang-orang dalam lingkungan Penelitian ini dapat diperkaya adanya teori dengan fenomenologi sosial, yang akan membantu memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. 19 4 Sri Hastuti Susmiati, tahun 2010 (Fenomena Permasalahan Anak di Daerah Istimewa Yogyakarta) Ingin mengetahui Metode : fenomena permasalahan - Penelitian anak yang terjadi di Kuantitatif Daerah Istimewa Yogyakarta. 5 Eni Maryani (Komunikasi Sosial di Jatinangor) Ingin mengetahui Teori : dinamika sosial - Komunikasi masyarakat di antarpribadi Jatinangor. Studi ini - Komunikasi juga bertujuan untuk kelompok mengetahui berbagai - Komunikasi bentuk komunikasi massa sosial yang ada serta isu jalanan. Hasil interaksi sosial anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk konstruksi makna secara subjektif dan objektif tentang orang dewasa, aturan dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks anak jalanan Ditemukan fenomena anak dalam bentuk penelantaran anak, pencabulan, penjualan, gizi buruk, kekerasan fisik, penculikan, pernikahan dini, perkosaan, pencurian, dan keterlibatan anak dalam narkoba. Hasil penelitian ini, komunikasi sosial di jatinangor secara umum dapat dipetakan melalui proses komunikasi yang mendasari interaksi antara tiga kelompok besar yang ada di Penelitian ini bisa di buat spesifik katagorisasi kategorisasi umur anak yang diteliti apabila menggunakan kuantitatif. Sehingga dapat melihat juga psikologis anak dari umur anak tsb. Penelitian ini dapat di buat spesifik dengan satu permasalahan sosial di Jatinangor, dan bagaimana penyelesaiannya di dalam hubungan komunikasi. Peneliti bisa mengambil salah satu masalah yang memang banyak 20 atau permasalahan utama yang berkembang dan bagaimana peran komunikasi terkait isu tersebut Metode : - Penelitian Kualitatif - Survey Jatinangor yaitu perguruan tinggi, warga asli dan warga pendatang. Di dalam tiap kelompok terdapat pula kelompol – kelompok yang lebih spesifik dan memiliki perbedaan satu sama lain. Tabel 2.1 Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu terjadi di daerah tersebut. Sehingga penelitian ini bisa lebih fokus dan menjadi masukan untuk kemajuan Jatinangor. 21 2.1.2 Kajian Teoritis 2.1.2.1 Komunikasi Antar Pribadi Berkomunikasi antarpribadi, atau secara ringkas berkomunikasi, merupakankeharusan bagi manusia. Manusia membutuhkan dan senantiasa berusaha membuka sertamenjalain komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu, ada sejumlah kebutuhandi dalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat komunikasi dengan sesamanya. Secara umum komunikasi antar pribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna nataraorang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi terjadi secara tatap muka (face to face)antara dua individu. Memahami komuniaksi dan hubungan antar pribadi dari sudut pandang individu adalah menempatkan pemahaman mengenai komunikasi di dalam proses psikologis.Proses psikologis merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam komunikasi antar pribadi.Hal ini terjadi karena dalam komunikasi antar pribadi mencoba meninterpresetasikan makna yang menyangkut diri sendiri, diri orang lain dan hubungan yang terjadi kesemuanya terjadi melalui sutu proses pikir yang melibatkan penarikan kesimpulan. Komunikasi antar pribadi merupakan proses komunikasi yang terjadi antar individu ataupun antar perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan-kegiatan seperti percakapan tatap muka (face to face communication), contohnya : percakapan melalui telepon, suratmenyurat pribadi. Johnson (1981) menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagian hidup manusia, yaitu antara lain : 22 1.Komuniaksi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial. 2. Indentitas atau jati-diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. 3.Dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesankesan dan pengertian yang miliki tentang dunia di sekitar, perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. 4.Kesehatan mental sebagian besar juga ditentukan oleh kualitaas komunikasi atau hubungan dengan orang lain, lebih-lebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup. Komunikasi antarpribadi untuk mampu memulai, mengembangkan dan memeilhara komunikasi yang akrab, hangat dan produktif dengan orang lain, perlu memiliki sejumlah keterampilan dasar komunikasi. Menurut Johnson (1981), beberpa keterampilan dasar yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : 1.Harus mampu saling memahami. Secara rinci, kemampuan ini mencakup beberapa subkemampuan, yaitu sikap percaya, pembukaan diri, keinsafan diri dan penerimaan diri (Johnson, 1981). 2.Harus mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat dan jelas. 3.Harus mampu saling menerima dan saling memberikan dukungan atau saling menolong. 4.Harus mampu memecahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antarpribadi lain yang mungkin muncul dalam komunikasi dengan orang lain, melalui cara-cara yang 23 konstruktif. Artinya, dengan cara-cara yang semakin mendekatkan dengan lawaan komunikasi dan menjadikan komunikasi itu semakin tumbuh dan berkembang. Dalam ruang lingkup sederhana, manusia membutuhkan manusia lainnya, maka untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan bentuk komunikasi efektif. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan bisa lepas dari manusia lainnya, komunitas dan lingkungan tempat dia berdiri. Untuk bisa bersinergi dengan tiga hal diatas maka, diperlukan sebuah proses komunikasi. 2.1.2.2 Teori Looking Glass Self Teori The Looking Glass Self dikembangkan oleh Cooley, menurut Cooley individu ada atau eksis berkat proses berlanjut hidup secara biologis dan sosial. Sebaliknya masyarakat sangat bergantung kepada individu karena individu menyumbangkan sesuatu kepada kehidupan bersama. Hubungan antar individu dengan masyarakat menurut Cooley, bukanlah dua realitas yang berdiri secara terpisah, melainkan dua sisi atau segi dari realitas yang satu dan sama. Realitas tunggal adalah hidup manusia. Analisis tersebut masuk kedalam konsep Cooley tentang “ Diri Cerminan Orang Lain”. Tiga unsur Looking Glass Self, Cooley menjelaskan makna yang dibangun anak jalanan dan lingkungan manakala mereka berada dalam “dunia interaksi” dan “dunia komunikasi” mereka. Ketiga konsep tersebut, yakni satu bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat diri anak jalanan, kedua bayangan mengenai pendapat yang dipunyai anak jalanan mengenai dirinya, dan ketiga peran diri yang bersifat positif dan negatif 24 sehubungan dengan peran-peran yang berlangsung dalam proses sosial mereka selama berada di jalanan. ( Atwar Bajari , 2011:90 ) Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri : 1) Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain. 2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada diri masingmasing orang. Misalnya, pakaian yang dipakai. 3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri. 2.1.2.2 Teori Interaksi Simbolik Interaksionisme Simbolik merupakan sebuah cara berpikir mengenai pikiran, diri sendiri, dan masyarakat. George HerbertMead dala, Littlejohn (2009:121) dianggap sebagai pengagas interaksionisme simbolik. Meskipun Mead dalam West and Turner (2007:96), sangat sedikit melakukan publikasi selama karir akademisnya, namun pemikirannya yang tertuang dalam “ Mind, Self and Society ” diterbitkan pada tahun 1934 menyatakan tentang dasar dari teori interaksi simbolik. Menurut Littlejohn (2009:121) dengan interaksi simbolik mengajarkan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian untuk istilahistilah dan tindakan-tindakan tertentu dan memahami kejadian tertentu dalam caracara tertentu pula di masyarakat. Sebenarnya, sebuah hasil penting dari interaksi adalah sebuah gagasan khusus mengenai diri sendiri. Komunikasi sangat penting dari 25 awal karena anak-anak bersosialisasi melalui interaksi dengan orang lain dalam lingkungan di sekitar mereka. Johnson (1995:144) dalam arena, Michael P, dan Arrigo, Bruce A (2004:16) mengatakan bahwa : Symbolic interactiosm is define as the way in wich we use an, interpert symbols not merely to communicate with one anothe but to create and maintain impressions of ourselves, to forge a sense of self and to create and sustain what we experience as the reality of a particular social situation. Yaitu bahwa interaksi simbolik di definisikan sebagai cara dimana kita menggunakan dan menginterpretasikan simbol yang tidak hanya untuk berkomunikasi dengan orang lain, namun untuk menciptakan dan menjaga kesan diri kita, untuk membentuk rasa diri, dan untuk menciptakan dan mempertahankan yang kita alami sebagai realitas dalam situasi sosial tertentu. Herbert Blumer (1998:2) juga menjelaskan dalam bukunya bahwa : Symbolic interactionism rests in the last analysis on three simple premises. The first premise is that human being act toward things on the basic of the meanings that the things have for them. The second premise is that the meaning suh thingsis derived from or arises out of , the social interaction that one has with one’s fellows. The third premise is that these means are handled in, and modified through, an interpretive process used by the person in dealing with the things he encounters. Yang dalam terjemahan bebasnya adalah bahwa interaksi simbolik mempunyai analisis akhir dari tiga premis sederhana. Premis pertama bahwa manusia bertindak untuk mencapai sesuatu didasarkan pada arti bahwa sesuatu terseut merupakan hak mereka. Premis kedua bahwa makna dari sesuatu tersebut merupakan hak mereka. Premis kedua bahwa makna dari sesuatu tersebut berasal dari atau timbul 26 dari interaksi sosial yang dimiliki seseorang dengan pengikutnya. Premis ketiga adalah bahwa makna tersebut dibawa dalam dan dimodifikasi melalui sebuah proses interpretasi yang digunakan oleh orang dalam berhubungan dengan hal-hal yang ditemukan. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Ralph Larosa dan Donald C. Reitzes (1993 : 136) yang dikutip oleh Richard West dan Lynn H. Turner (2008 : 96) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah “pada intinya, sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya, menciptakan dunia simbolik, dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk prilaku manusia” George Herbert Mead (1934) dalam bukunya yang berjudul Mind, Self, and Society yang dikutip dalam oleh Steven E. Beebe, Susan J. Beebe, dan Mark V. Redmont dalam Interpersonal Communication Relating to Others (2008:40) bahwa Teori interaksi simbolik bedasarkan pada asumsi bahwa kita masing-masing membuat penilaian terhadap dunia berdasarkan pada interaksi kita dengan orang lain. Kita menginterpretasikan apa dasar sebuah kata atau simbol diartikan, dalam bagian, pada bagaimana orang lain bereaksi terhadap penggunaan kata atau simbol kita. Meskipun pengertian kita pada siapa diri kita (konsep diri) dipengaruhi oleh apa yang dikatakan orang lain siapa kita. Inti untuk mengetahui tentang diri sendiri adalah mengetahui pentingnya orang lain dalam membentuk pengertian diri kita sendiri. Teori interaksi simbolik mempunyai pengaruh utama pada teori komunikasi dikarenakan cara yang 27 mudah menyerap pada komunikasi kita dengan orang lain mempengaruhi prilaku, kepercayaan, nilai-nilai, dan konsep diri. Gorge Herbert Mead dalam Beebe dan Redmond (2008:40) dikenal dengan pengembangan teori interaksi simbolik, meskipun Mead tidak menulis secara khusus tentang teorinya, 1. Dari muridnya, Herbert Blumer, menciptakan bentuk interaksi simbolik yang menggambarkan proses interaksi kita dengan orang lain mempengaruhi pemikiran kita tentang orang lain, pengalaman hidup kita, dan diri kita sendiri. Mead percaya bahwa kita tidak dapat mempunyai konsep diri dari identitas diri kita sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain. dalam West and Turner (2007:56) dikatakan bahwa Mead dan pengikutnya menggunakan sejumlah konsep untuk memperluas makna yang timbul melalui interaksi dalam sebuah komunitas. Sebagai contoh Mead mengatakan bahwa : Other important concepts within symbolic interactionism are sign other, the generalized other, and role taking, these concepts are woven together in symbolic interactionism to provide acomplex picture of interplay of individual perception and psychology; simbolic communication, and society norms and beliefs in the sosial construction of society. Yang dalam terjemahan bebasnya adalah bahwa konsep penting lain dalam interaksi simbolik adalah significant other (orang yang paling berpengaruh dalam hidup kita), generalized other (konsep anda mengenai bagaimana orang menerima anda), and role taking (model peilaku setelah perilaku orang lain). Ralph Larossa dan Donald C Reitzes (1993) seperti dituliskan kembali oleh Richard West dan Lynn H. Turner (2008:98) telah mempelajari teori interaksi simbolik yang berhubungan dengan kajian mengenai keluarga. Mereka mengatakan 28 bahwa tujuan asumsi mendasari interaksi simbolik dan bahwa asumsi – asumsi ini memperlihatkan tiga tema besa : 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia Teoi interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena tidak bersifat intristik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, tujuan dari interaksi, menurut interaksi simbolik adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama berkomunikasi akan menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin. 2. Pentingnya konsep mengenai diri Tema ini memiliki dua asumsi , menurut Larossa dan Reitzes (1993) : o Individu- individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. o Konsep diri memberikan motivasi yang penting untuk perilaku. 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat Tema yang berakhir berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di tengah untuk pertanyaan ini. Mereka mencoba untuk menjelaskan baik mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah sebagai berikut : - Orang dan kelompok dipengaruhi proses budaya dan sosial 29 - Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial Manford Kuhn dalam Littlejohn (2009:121-122) mengatakan bahwa pelaku komunikasi tidak hanya berinteraksi dengan orang lain dan dengan objek – objek sosial; mereka juga berkomunikasi dengandiri mereka sendiri. Para pelaku komunikasi melakukan percakapan sendiri sebagai bagian dari proses interaksi, kita berbicara pada diri kita sendiri dan memiliki percakapan dalam pikiran kita untuk membedakan benda dan manusia. Ketika mengambil keputusan mengenai bagaimana bertindak terhadap suatu objek sosial, kita menciptakanapa yang disebut Kuhn sebagai rencana tindakan yang dipandu oleh sikap atau pernyataan verbal yang menunjukan nila-nilai terhadap tindakan yang diarahkan. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. karena ide ini dapat diinterpretasikan secara luas. Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat interistik terhadap apa pun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, tujuan, dari interaksi, adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin. Menurut LaRossa dan Reitzes, Interaksi Simbolik mempunyai tiga asumsi yang diambil dari karya Herbert Blumer (1969). Asumsi – asumsi ini adalah sebagai berikut : a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. 30 b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. c. Makna di modifikasi melalui proses interpretif. ( Richard West, 2008 : 98-99) Teori interaksi simbolik menyediakan pandangan yang menonjol mengenai perilaku komunikasi antarmanusia dalam konteks yang sangat luas dan bervariasi. Teori ini dikembangkan dengan baik, mulai dari peranan diri dan kemudian berkembang pada pelajaran mengenai diri dalam masyarakat. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organism yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan dia sadar akan keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Perasaan individu bahwa dia tidak mempunyai kemampuan yang dia miliki, padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang sseluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan. Sebaliknya pandangan positif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan seorang individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang mudah untuk diselesaikan. Konsep diri terentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungan. Menurut Jalalaudin Rakhmat dalam Psikologi Komunikasi, bahwa “konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kamu tentang diri 31 kamu.” Jadi, konsep diri meliputi apa yang kamu pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. ( Jalaludin Rakhmat dalam Psikologi Komunikasi :100) Dalam psikologi sosial konsep diri memiliki dua komponen, yaitu : “ Komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen efektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya, menurut William D Brooks dan Philip Emmert, berpengaruh besar pola komunikasi interpersonal. Menurut Larossa dan Reitzes (1993), ada dua asumsi untuk konsep diri : - Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri , mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi. - Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai dii mempengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. 32 Bagan 2.1 Interaksi Sosial Keluarga Anda Teman Kerabat 2.1.2.3 Teori Kognitif Jean Piaget Teori perkembangan kognitif piaget adalah salah satu teori yang menjelaskan bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadiankejadian disekitarnya. Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objekobjek, seperti mainan, perabot, dan makanan, serta objek-objek social seperti diri, orang tua dan teman. Pada pandangan piaget (1952), kemampuan atau perkembangan kognitif adalah hasil dari hubungan perkembangan otak dan system nervous dan pengalamanpengalaman yang membantu individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Piaget (1964) berpendapat, karena manusia secara genetik sama dan mempunyai pengalaman yang hampir sama, mereka dapat diharapkan untuk sungguh- 33 sungguh memperlihatkan keseragaman dalam perkembangan kognitif mereka. Oleh karena itu, dia mengembangkan empat tahap tingkatan perkembangan kognitif yang akan terjadi selama masa kanak-kanak sampai remaja, yaitu sensori motor (0-2 tahun) dan praoperasional (2-7 tahun). Yang akan kita bicarakan untuk masa kanak-kanak adalah dua tahap ini lebih dahulu, sedangkan dua tahap yang lain, yaitu operasional konkret (7-11 tahun) dan operasional formal (11-dewasa), akan kita bicarakan pada masa awal pubertas dan masa remaja. Dalam teori perkembangan kognitif Piaget, masa remaja adalah tahap transisi dari penggunaan berpikir konkret secara operasional ke berpikir formal secara operasional. Remaja mulai menyadari batasan-batasan pikiran mereka. Mereka berusaha dengan konsep-konsep yang jauh dari pengalaman mereka sendiri. Inhelder dan Piaget (1978) mengakui bahwa perubahan otak pada pubertas mungkin diperlukan untuk kemajuan kognitif remaja. Menurut Jean Piaget, perkembangan manusia melalui empat tahap perkembangan kognitif dari lahir sampai dewasa. Setiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan intelektual baru di mana manusia mulai mengerti dunia yang bertambah kompleks. Bagan 2.2 Tahapan Kognitif Piaget Tahap-Tahap Sensori-motorik Umur 0-2 tahun Kemampuan Menunjuk pada konsep permanensi objek, yaitu kecakapan psikis untuk mengerti bahwa suatu objek masih tetap ada. 34 Meskipun pada waktu itu tidak tampak oleh kita dan tidak bersangkutan dengan aktivitas pada waktu itu. Tetapi, pada stadium ini permanen objek belum sempurna. Praoperasional 2-7 tahun Perkembangan kemampuan menggunakan simbol-simbol yang menggambarkan objek yang ada di sekitarnya. Berpikir masih egosentris dan berpusat. Operasional 7-11 tahun Mampu berpikir logis. Mampu konkret memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan juga dapat menghubungkan dimensi ini satu sama lain. Kurang egosentris. Belum bisa berpikir abstrak. Operasional 11tahun- Mampu formal dewasa menganalisis masalah secara ilmiah dan berpikir abstrak dan dapat kemudian menyelesaikan masalah. 2.2 Kerangka Pemikiran Pemaknaan realitas dan realitas sosial terbentuk berdasarkan pengalaman dan komunikasi yang dilakukan setiap harinya dipengaruhi oleh lingkungan. Semakin banyak pesan yang diterima dan dilakukan secara terus menerus maka dianggap suatu kebenaran atau suatu realitas yang nyata. Pembentukan pemahaman realitas sosial dan realitas sosial itu sendiri diambil dari teks-teks kemudian di interpretasikan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dilakukan kesehariannya maka akan menimbulkan makna-makna yang tertuang dalam simbol. Sehingga dapat membentuk 35 sebuah keyakinan yang terbungkus dalam ideology yang ada dalam identifikasi diri “ self “ yang menyebabkan seseorang atau masyarakat melakukan tindakan atau perilaku. Pemaknaan realitas atau fenomena sosial di jalanan cenderung di anggap negatif bagi sebagian masyarakat melihat dari teori Looking Glass Self Cooley bahwa anak jalanan sudah terkonsep dengan image yang buruk, sehingga itu merugikan bagi anak jalanan tersebut. Kenyataanya mungkin belum tentu, semua anak jalanan itu bertindak negatif. Tidak sedikit anak jalanan dapat berkarya dijalan, dan mereka menjadi sukses dengan caranya. Namun tetap saja, anak jalanan wajib di lindungi oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga komunikasi sosial yang mereka jalankan mempunyai bentuk yang positif dan berguna bagi sosial. Mengetahui konsep diri dengan teori Interaksionisme Simbolik. Teori Interaksi Simbolik menyediakan pandangan yang menonjol tentang perilaku komunikasi antarmanusia dalam konteks yang sangat luas dan bervariasi. Teori ini dikembangkan dengan baik, mulai dari peranan diri dan kemudian berkembang pada pelajaran mengenai diri dalam masyarakat. Jallaludin Rakhmat berpendapat bahwa “konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kamu tentang diri kamu.” Jadi, konsep diri meliputi apa yang kamu pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. Dengan adanya beberapa teori ini penulis mengetahui bagaimana motif dan pola komunikasi anak jalanan di dalam Komunitas Anak Langit Tangerang. 36 Bagan Kerangka Pemikiran Komunikasi dengan Keluarga Komunikasi dengan Komunitas Anak Jalanan : a. Latar Belakang (Motif) - Keluarga - Ekonomi - Lingkungan b. Konsep Diri - Positif - Negatif c. Kegiatan Komunitas Komunikasi dengan Kerabat Komunikasi dengan Masyarakat Teori Looking Glass Self ( Cooley ) Teori Interaksi Simbolik (Herbert Blumer) Konsep Diri Anak Jalanan