BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Degeneratif Penyakit degeneratif secara umum diartikan bahwa penyakit yang terjadi karena penurunan fungsi organ tubuh umumnya pada usia tua. Tetapi tidak tertutup kemungkinan pada usia muda, penyakit ini juga bisa terjadi. Akibat yang paling berbahaya dari penyakit ini adalah rasa sakit dan juga menyita banyak biaya terutama pada masa tua, dan dapat pula berakhir dengan kematian. Penurunan fungsi sel sebelum waktunya dapat terjadi pada penyakit ini. Faktor risiko utama penyebab degeneratif adalah pola makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, merokok, dan meningkatnya stres (Dhani dan Yamasari, 2014). Penyakit degeneratif disebabkan oleh antioksidan yang tersedia dalam tubuh tidak mampu untuk menetralisir peningkatan konsentrasi radikal bebas, sehingga diperlukan antioksidan dari luar tubuh untuk dapat meredam radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel (Salamah, dkk., 2015).Penyakit degeneratif umumnya diakibatkan oleh kerusakan sel, jaringan lemak, protein, sistem kekebalan, dan DNA karena berbagai faktor; baik secara alami, yaitu radiasi atau karena zat-zat kimia yang bersifat karsinogenik (Atun,2006). Teori yang dapat menunjukkan proses awal dan faktor terjadinya penyakit degeneratif di dalam tubuh manusia (Handajani, et al., 2010) adalah sebagai berikut: a. adanya hubungan antara transisi demografi, epidemiologi, dan kesehatan. 8 Universitas Sumatera Utara b. perubahan metabolisme tubuh yang ditandai dengan adanya penurunan produksi hormon testosteron untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan biasanya mulai tampak pada usia 65 tahun ke atas. c. pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non-infeksi (degeneratif) akibat pergeseran pola makan dan pola hidup. d. kelebihan gizi yang berakibat tingginya prevalensi penyakit degeneratif sudah dirasakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. e. paparan radikal bebas diketahui memegang peranan menyebabkan penyakit degeneratif. 2.2 Stres Oksidatif Stres oksidatif adalah suatu kondisi ketidakseimbangan antara radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dapat dipicu oleh dua kondisi umum yaitu kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas (Benhar, et al., 2002).Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal seperti genetik, umur, oksidasi fosforilasi, proses patofisiologi, dan faktor eksternal seperti olahraga berlebih, asupan makanan, patogen, sinar ultraviolet, dan bahan kimia (Waris dan Ahsan, 2006). Menurut Halliwell dan Whiteman, 2004; stres oksidatif terjadi akibat: a. terjadi penurunan level antioksidan, contohnya mutasi dapat mempengaruhi aktivitas enzim antioksidan seperti CuZnSOD atau glutation peroksida, atau racun yang mengosongkan pertahanan antioksidan. Telah diketahui banyak xenobiotik yang dimetabolisme melalui konjugasi dengan Glutathione Sulph Hydril (GSH), dosis tinggi dapat menghabiskan GSH dan menyebabkan stres 9 Universitas Sumatera Utara oksidatif. Defisiensi terhadap mineral (Zn2+, Mg2+, Fe2+, Cu2+, Se) juga dapat menyebabkan stres oksidatif. b. peningkatan produksi spesies reaktif. Contoh, melalui paparan sel atau organisme pada level O2 yang tinggi atau senyawa toksin lain yang merupakan spesies reaktif misalnya NO2. atau yang dimetabolisme menjadi spesies reaktif, atau kelebihan aktivitas sistem alami yang memproduksi beberapa spesies reaktif. Stres oksidatif dapat merusak oksidatif baik pada tingkat sel, jaringan hingga organ sehingga mengakibatkan percepatan proses penuaan. Stres oksidatif berperanan penting dalam etiologi terjadinya berbagai penyakit kardiovaskular, neurologis, obesitas, diabetes, kanker dan juga inflamasi dari proses aging (Benhar, et al., 2002; Garelnabi,et al., 2008). Molekul oksigen sangat penting untuk proses produksi energi aerob dalam sel, sebagai hasil respirasi seluler, superoksida yang dihasilkan dalam sel dan disebut ROS karena reaktivitasnya lebih tinggi dari molekul oksigen. Mitokondria dianggap sebagai situs intraseluler utama tempat memproduksi ROS (Ryter, et al., 2007). Selain itu, aktivitas beberapa enzim, seperti peroksomal oksidase, enzim sitokrom P-450, nikotinamida adenin dinukleotida fosfat (NADPH) oksidase dan santin oksidase, bertanggung jawab untuk produksi ROS seluler selama reaksi metabolisme serta selama proses pertahanan antibakteri (Kregel dan Zhang, 2007; Harborne dan Williams, 2000). Stres oksidatif dalam sistem selular dapat dinilai melalui pengukuran biomarker, seperti produksi ROS, tingkat antioksidan, dan produk oksidasi dan keseimbangan antioksidan /prooksidan (Powers dan Jackson, 2008). Sel sendiri 10 Universitas Sumatera Utara mengandung mekanisme pertahanan untuk menjaga ROS pada tingkat yang aman dan ketika homeostasis ini tidak dapat dipertahankan disebut stres oksidatif (Ryter et al, 2007; Avery, 2011). 2.3 Radikal Bebas Radikal bebas dapat diartikan sebagai suatu molekul, atom atau beberapa atom yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya sehingga bersifat sangat reaktif. Suatu molekul bersifat stabil jika elektron berpasangan, tetapi jika tidak berpasangan (single) molekul tersebut tidak stabil dan berpotensi untuk merusak (Puspitasari, dkk., 2016). Jadi dapat dikatakan, radikal bebas bersifat toksik terhadap molekul biologi/sel. Radikal bebas dapat mengganggu produksi DNA, lapisan lipid pada membran sel, mempengaruhi pembuluh darah, produksi prostaglandin dan protein lain seperti enzim yang terdapat dalam tubuh. Radikal bebas yang mengambil elektron dari DNA akan menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga membuat sel-sel mutan. Bila mutasi terjadi dalam waktu yang lama dapat menjadi kanker (Werdhasari, 2014). Hasil oksidasi di dalam tubuh dapat berupa komponen radikal bebas dan ROS. Radikal bebas dibentuk di dalam sel maupun di luar sel, yang akan memicu gangguan fisiologis dan biokimia (Susantiningsih, 2015). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA. Dari ketiga molekul target tersebut yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Kemungkinan yang dapat terjadi sebagai akibat dari aktivitas radikal bebas adalah gangguan fungsi dan kerusakan struktur sel; terjadi molekul termodifikasi yang tidak dapat dikenali oleh sistem imun bahkan terjadinya mutasi (Latumahina, dkk., 2011). Mekanisme perusakan sel 11 Universitas Sumatera Utara akibat radikal bebas berawal dari teroksidasinya asam lemak tak jenuh membran sel, reaksi ini mengawali terjadinya oksidasi lipid berantai merusakmembran sel; proses oksidasi sesungguhnya akan terjadi pada protein dan merusak DNA (Cook and Samman, 1996). Tubuh dapat menetralisir radikal bebas bila jumlahnya tidak berlebihan. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap radikal bebas adalah berupa antioksidan pada sel, membran, dan ekstra sel (Werdhasari, 2014). 2.3.1 Reactive Oxygen Species (ROS) ROS adalah spesies kimia yang terbentuk oleh reduksi oksigen yang tidak sempurna (D’Autreaux dan Toledano, 2007). ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu oksigen radikal dan oksigen non radikal seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif (Kohen dan Nyska, 2002). Tabel 2.1 Metabolit oksigen radikal dan oksigen nonradikal Nama Oksigen Radikal Oksigen (Bi-radikal) Ion Superoksida Hidroksil Peroksil Alkoksil Nitrit Oksida Oksigen Non Radikal Hidrogen Peroksida Peroksida Organik Asam Hipoklorit Ozon Aldehid Singlet Oksigen Peroksinitrit Simbol O2•• O2• OH• ROO• RO• NO• H2O2 ROOH HOCl O3 HCOR 1 O2 ONOOH 12 Universitas Sumatera Utara Pada sistem biologis akibat produksi ROS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan, stres oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen sehingga mengganggu keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada makhluk hidup.Produksi ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA sehingga menghambat fungsi normal sel (Kohen dan Nyska., 2002). Kerusakan akibat ROS dapat dilihat pada Gambar 2.1. Release from cellular and non-cellular NO• (Nitric oxide radical) ONOO- (ONOOH) (Peroxynitrite) O2•(HO2•) (Superoxide ion radical) Spontaneus and/or enzymatic dismutation H2O2 O2 (Hydrogen peroxide) Fenton-like Myeloperoxidase ROO• ROOH (Peroxyl radical) ClClO-(HCLO) (Hypochlorus acid) DNA (e.g., base modification, single and double strand breaks) Mn+(n) (Tansition metals) Fe3+, Cu 2+ OH• (Hydroxyl radical) Lipids (e.g., peroxidation, fatty acid loss) Reduction of the metals Mn+(n-1) Fe2+, Cu + RO• (Alkoxyl Protein (e.g., degradation, fragmentation, carbonyls, peroxidation, modification and inactivation) Gambar 2.1Kerusakan akibat ROS (dimodifikasi dari Kohen dan Nyska, 2002). 13 Universitas Sumatera Utara ROS dalam jumlah normal sebenarnya berperan pada berbagai proses fisiologis seperti sistem pertahanan, biosintesis hormon, fertilisasi, dan sinyal seluler. Peningkatanjumlah ROS dapat diakibatkan metabolisme oksigen, reperfusi oksigen saat kondisi hipoksia, oksidasi hemoglobin dan mioglobin (Finaund, et al., 2006). ROS dapat memicu proses peroksidasi lipid yang tidak hanyamerusak makanan, tetapi yang lebih penting adalah perusakan jaringan tubuh. Peroksidase lipid dalam membran sel akan mengganggu fungsi membran, merusakkarenairreversiblefluiditas dan elastisitas membran yang menyebabkan ruptur membran sel (Szocs, 2004). Peningkatan akumulasi ROS akan menimbulkan toksisitas bahkan kematian sel (Ivanova dan Ivanov, 2000). ROS memainkan peran yang berbeda. Beberapa peran positif ROS adalah dalam hal produksienergi, fagositosis, regulasi pertumbuhan sel antar signaling dan sintesis biologis. Namun demikian, ROS juga sangat merusak, karena dapat menyerang lipid membran sel, protein dalam jaringan atau enzim, karbohidrat dan DNA, menginduksi oksidasi yang menyebabkan kerusakan membran, modifikasi protein dan kerusakan DNA. Spesies kimia ROS ada yang memiliki elektron tidak berpasangan, seperti radikal superoksida (O2•) dan radikal hidroksil (OH•), dan yang berpasangan seperti hidrogen peroksida (H2O2) (Avery, 2011). Anion superoksida dan nitrat oksida adalah radikal bebas utama yang dihasilkan sel dan mudah bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk banyak oksigen reaktif dan nitrogen spesies lainnya (Kregal dan Zhang, 2007; McCord, 2000). Anion superoksida terbentuk dalam sistem seluler sebagai produk rantai transpor elektron dalam respirasi sel dan sebagai produk tertentu dalam reaksi enzimatik, dengan adanya superoksida dismutase, bertindak sebagai biokatalis, menghasilkan 14 Universitas Sumatera Utara hidrogen peroksida dalam sel. Terdapat enzim lain yang memproduksi H2O2 di dalam sel, seperti santin oksidase dan asam amino oksidase(Powers dan Jackson, 2008;. Ryter et al, 2007; McCord, 2000). 2.3.2Hidrogen Peroksida (H2O2) H2O2pertama kali diisolasi melalui reaksi barium peroksida dan asam nitrit oleh Louis Jacques Thenard pada tahun 1818. H2O2murni ditemukan pertama kali oleh Richard Wolffenstein pada tahun 1894 melalui destilasi vakum. Nama lain H2O2 adalah dioksida dihidrogen, dihidrogen dioksida, dioksidan (Nindl, 2004). H2O2 telah lama digunakan di bidang medis, seperti obat cuci luka dan debriding agent;dibidang THT (Telinga Hidung Tenggorokan) digunakan sebagai pembersih serumen, mengobati telinga berair dan dapat membersihkan tuba ventilasi yang tersumbat (Perez, 2003). Hidrogen peroksida merupakan cairan bening, tidak berwarna, tampilannya seperti air dan dapat dicampur dengan air dalam berbagai konsetrasi. Konsentrasi tinggi, hidrogen peroksida berbau asam (Wiranatha, et al., 2014). Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang bersifat iritan terhadap mata, membran mukosa, dan kulit. Paparan singkat pada mata mengakibatkan mata terasa perih dan berair meskipun pada konsentrasi 1-3%. Kontak terhadap kulit dapat menyebabkan pemutihan sementara pada bagian kulit. Keracunan H2O2sistemik menyebabkan sakit kepala, muntah, diare, tremor, mati rasa, kejang, edema paru, dan kehilangan kesadaran sampai syok (Halliwell, et al., 2000). Masa hidup H2O2 secara in vivo sangat singkat, hanya dalam hitungan milidetik. H2O2 secara elektris bersifat netral, sehingga tidak dapat dihambat saat berdifusi melewati membran sel (Perez, 2003). 15 Universitas Sumatera Utara Sumber utamaH2O2terdapat pada mitokondria, selama proses respirasi di mitokondria, O2 berperan dalam pembentukan ATP (adenosin trifosfat). Sebagian O2akan tereduksi membentuk superoksid O2- yang reaktif akibat kehilangan satu elektron dalam rantai transpor elektron mitokondria, proses ini selanjutnya akan mereduksi O2- (dismutasi) kembali menjadi H2O2,dengan perantara enzim superoksid dismutase (SOD) dan H2O2akan tereduksi menjadi radikal hidroksil (OH-) yaitu suatu oksidan yang sangat reaktif (Yilmaz, et al., 2004; Bowler, et al., 2002). Produksi hidrogen peroksida dan ROS dapat dilihat pada Gambar 2.2. About 5% of the time....... About 95% of the time O2 +4 H+ +4 e- oxigen e - water ATP O2superoxide e- ehydrogen peroxide hydroxyl radical H2O2 e- OH- H2O Gambar 2.2Produksi ROS selama respirasi sel normal (dimodifikasi dari Nindl, 2004). H2O2 dalam sel kurang reaktif dan hanya bersifat oksidan ringan (Ryter et al., 2007). Logam katalis akan memproduksi radikal hidroksil dari H2O2, yaitu melalui reaksi Fenton. Setelah terbentuk radikal hidroksil, bereaksi dengan mudah dengan molekul di sekitarnya karena merupakan oksidator kuat sehingga dianggap sebagai ROS yang paling merugikan dalam sistem biologis (Powers dan Jackson, 2008). 16 Universitas Sumatera Utara 2.4 Antioksidan Antioksidan adalah molekul yang dapat mereduksi efek radikal bebas dengan menstabilkan molekul berbahaya, menetralkan radikal bebas dengan cara menerima atau mendonasikan elektron untuk mengeliminasi molekul yang dalam kondisi tidak berpasangan (Lu, et al., 2010). Penggunaan antioksidan yang bekerja sebagai scavenger radikal bebasmerupakan suatu strategi untuk mencegah proses inisiasi sel kanker oleh ROS sebagai tahap permulaan karsinogenesis dan demikian dapat menurunkan insiden terjadinya kanker (Wolfe et al., 2008).Antioksidan menyebabkan resistensi terhadap stres oksidatif dengan meredam radikal bebas, menghambat peroksidasi lipid, dan mekanisme lain sehingga dapat mencegah penyakit (Ahalya, et al., 2013). Antioksidan terbagi dalam dua kelompok yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), dan glutation peroksidase/reduktase (GPx/GRx), dan antioksidan eksogen antara lain asam askorbat (Vitamin C), α-tokoferol (Vitamin E), glutation, karotenoid, dan flavonoid (Ali, et al., 2008). Tubuh memerlukan asupan antioksidan eksogen dalam jumlah yang memadai agar mampu menginduksi kerja sistem antioksidan seluler sehingga dapat menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler (Latumahina, dkk., 2011). Rathore, et al., (2010) mengklasifikasikan antioksidan berdasarkan dua parameter, yaitu: a. Berdasarkan kelarutan: i. antioksidan hidrofilik; mudah larut dalam air dan dapat beraksi dengan oksidan dalam sitoplasma sel dan plasma darah. 17 Universitas Sumatera Utara ii. antioksidan hidrofobik; larut dalam lemak dan dapat melindungi membran sel dari peroksidasi lipid. b. Berdasarkan sifat kerja: i. antioksidan preventif;berupa enzim seperti SOD (superoksida dismutase), CAT (katalase), GPX (glutathion peroksidase), glutathion reduktase dan beberapa mineral seperti Se, Mn, dan Cu, dan sebagainya. SOD terutama berperan sebagai peredam superoksida (O2), katalase berperan sebagai katalis dekomposisi H2O2 menjadi air dan oksigen sedangkan GPX mengkatalisis reduksi H2O2 dan lipidperoksida selama peroksidasi lipida menjadi air dengan menggunakan glutathion sebagai substrat. ii. antioksidan peredam radikal; meliputi glutathion, vitamin C, asam urat, albumin, bilirubin, vitamin E, karotenoid, dan flavonoid. β-karoten adalah penangkal oksigen tunggal yang sangat baik. Vitamin C berinteraksi secara langsung dengan radikal seperti O2, OH. GSH adalah penangkal yang baik terhadap banyak radikal seperti O2, OH, dan berbagai lipid hidroperoksida, dan membantu mendetoksifikasi banyak polusi udara teroksidasi yang terhirup seperti ozon. iii. perbaikan dan enzim de novo; merupakan gugus kompleks enzim yang berperan memperbaiki kerusakan DNA, protein, lipid teroksidasi dan peroksida, serta a menghentikan propagasi rantai radikal lipid peroksil. Enzim-enzim ini dapat memperbaiki kerusakan biomolekul dan merekonstitusi membran sel yang rusak. 18 Universitas Sumatera Utara 2.5 Peran Antioksidan dalam Menangkal Radikal Bebas Dua jenis antoksidan enzimatik dan non enzimatik berkorelasi memodulasi reaksi radikal bebas. Tubuh melindungi diri dari ROS dengan menggunakan enzim antioksidan untuk mengurangi tingkat hiperperoksida lipid dan H2O2, sehingga mencegah peroksidasi lipid dan menjaga struktur dan fungsi membran sel (Nimse dan Pal, 2015). Contoh antioksidan enzimatik adalah CAT, GSHPx, SOD, dan Peroxiredoxin I-IV. SOD yang terletak di sitosol dan mitokondria mengkonversi O2•- menjadi oksigen dan H2O2 dengan kofaktor ion logam seperti tembaga (Cu), seng (Zn), atau mangan (Mn). Enzim CAT di dalam peroksisom akan mengkonversi H2O2 menjadi air dan oksigen. GSHPx ditemukan dalam sitoplasma dan ekstraseluler pada hampir setiap jaringan manusia. GSHPx mengkonversi H2O2 menjadi air. Enzim GSHPx memiliki aktivitas kuat terhadap H2O2 dan lemak. Enzim peroxiredoxin mengkatalisis reduksi H2O2, hidroperoksida organik dan peroxinitrit (ONOO). Dengan uraian tersebut, enzim antioksidan berperan mencegah kerusakan oksidatif (Nimse dan Pal, 2015). Efek sinergis enzim antioksidan dalam scavengingdari O2•- dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Efek sinergis CAT, GSHPx, dan SOD dalam pemerangkapan O2•(Nimse dan Pal, 2015). Mekanisme aksi antioksidan melalui beberapa cara yaitu: menekan pembentukan spesies oksigen reaktif dengan menghambat enzim atau elemen 19 Universitas Sumatera Utara yang terlibat dalam produksi radikal bebas; dan scavenging reaktif oksigen spesies (Pietta, 2000). Flavonoid adalah diantara metabolit sekunder yang telah memenuhi sebagian besar kriteria yang dijelaskan di atas. Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan adalah sebagai berikut: a. menekan pembentukan radikal bebas atau ROS dengan cara menghambat enzim, pengkelatan ion logam (metal ion chelating) yang terlibat dalam produksi radikal bebas. Flavonoid telah terbukti menghambat siklooksigenase, lipooksigenase, mikrosomal monooxidase, glutathion Stransferase, mitokondria succinoxidase, dan NADH oksidase, yang semuanya terlibat dalam pembentukan ROS. b. meredam radikal bebas (free radicals scavenggers) (Pietta, 2000; Widowati, et al., 2005). Flavonoid yang terbentuk dalam tumbuhan berasal dari asam amino aromatik fenil alanin dan tirosin malonat. Struktur dasar flavonoid adalah inti flavan yang terdiri dari 15 atom karbon yang terangkai dalam 3 cincin (C6-C3-C6). Flavonoid dapat menghambat peroksidasi lipid dengan cara meredam radikal peroksil (ROO•) sekaligus mengakhiri radikal dan memadamkan anion superoksida (O2•-) (Widowati, et al., 2005). Hubungan antara flavonoid dan aktivitas peredaman radikal bebas (free radical scavenging) menunjukkan bahwa diantara senyawa flavonoid terdapat perbedaan aktivitas, perbedaan tergantung pada struktur dan substituen pada cicin heterosiklik cincin C dan cincin B. Ada 2 gugus fungsi utama pada flavanoid yang menentukan potensi peredaman radikal bebas yaitugugus katekol (o-dihidroksi) 20 Universitas Sumatera Utara pada cincin B yang bersifat sebagai donor elektron dan merupakan target radikal; ikatan rangkap C2-C3 yang terkonjugasi dengan gugus 4-okso pada cincin heterosiklik, berperan pada delokalisasi elektron (Widowati, et al., 2005). Tindakan flavonoid sangat tergantung pada bioavailabilitasnya pada jaringan target. Ada pandangan baru bahwa flavonoid memiliki aktivitas preventif atau kuratif dengana mengkonsumsinya, dan efek ini tidak hanya berpotensi sebagai antioksidan, tetapi juga memodulasi jalur seluler yang penting dalam patogenensis berbagai penyakit. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa flavonoid dan metabolitnya dapat memodulasi sel melalui tindakan pada protein kinase dan signaling lipid jalur kinase. Tindakan penghambatan atau stimulasi pada jalur ini oleh flavonoid sangat mempengaruhi fungsi sel dengan mengubah keadaaan fosforilasi molekul target dan memodulasi ekspresi gen (Mansuri, et al., 2014). Gambaran meneyeluruh dari peran flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Skema representasi interaksi flavonoid dengan jalur sinyal sel (dimodifikasi dari Mansuri, et al., 2014). 21 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Gambar 2.4 Flavonoid mengaktifkan berbagai jalur sinyal seperti ERK (extracelllular signaling-regulated protein kinase), Akt/PKB (protein kinase B), PI3K (phosphatidylinositol-3 kinase), dan PKC (protein kinase C) untuk meningkatkan kelangsungan hidup sel. Flavonoid menghambat protein p38 dan JNK yang bertindak dalam proses apoptosis/ kematian sel. Akt/PKB mengaktifkan Nrf2 (nuclear factor erythroid-derived 2)yang dapat mengaktifkan ARE (antioxidant respons element) (Mansuri, et al., 2014). 2.6 Sel Vero Sel Veromerupakan sel epitel non kanker (sel normal). Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel monolayer berbentuk poligonal dan pipih, immortal, non tumorigenic fibroblastic cell. Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan membentuk ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas, dan transformasi sel yang diinduksi oleh berbagai senyawa kimia (Goncalves, et al., 2006). Sel ini diketahui dapat hidup dan berkembang dengan sangat baik dalam kultur buatan di laboratorium sehingga sel Vero banyak digunakan dalam laboratorium untuk penelitian di seluruh dunia. Kultur sel ini tumbuh dengan sangat agresif dan dapat dengan mudah menginvasi kultur sel lain. Sel ini cukup aman digunakan untuk kepentingan kultur sel (Desaintes, et al.,1999). 22 Universitas Sumatera Utara 2.7 Tanaman yang Bersifat Sitoprotektif Aktivitas sitoprotektif beberapa tanaman telah banyak penelitian sebelumnya dengan berbagai metode pengujian. Tanaman yang bersifat sitoprotektif dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Tanaman yang bersifat sitoprotektif No Tanaman Sel Bagian yang digunakan Ekstrak etanolik tomat dan jambu biji Merah Metode Hasil 1 Jambu biji merah dan tomat Sel fibroblas MTT Sel Vero Ekstrak etanolik umbi wortel MTT Buah naga merah dan Wortel Sel primer fibroblas Ekstrak etanol buah naga merah dan Wortel MTT Ganggang coklat Sel mioblas Ekstrak etanol ganggang coklat Petalonia bingnhamiae MTT Ekstrak jambu biji merah tidak bisa memberikan efek sitoprotektif dari paparan radikal bebas hidrogensedangkan ekstrak etanolik tomatkemungkinan memiliki efek sitotoksik daripada sitoprotektif Pemberian ekstrak menunjukkan adanya aktivitas sitoprotektif pada sel vero Ekstrak buah naga dan ekstrak wortel belum mampu melindungi sel dari paparan radikal bebas H2O2 Ekstrak ganggang coklat Petalonia bingnhamiaememberikan efek perlindungan terhadap sitoprotektif 2 Wortel 3 4 Sumber Waris, 2015 Ginting, 2015 Hanifa, 2015 Kang, et al., 2015 Tabel 2.2 (Lanjutan) 5 Daun Kemangi (Ocimum sanctum ) Sel Vero Ekstrak air daun kemangi (Ocimum sanctum) MTT 6 Ganggang coklat (Padina tetrastomat ica) Sel normal payudara 184B5, sel MCF-7 dan sel fibroblas embrionik 3T3-L1 Ekstrak metanol ganggang coklat (Padina tetrastomatica) Comet assay Ekstrak air daun kemangi (Ocimum sanctum) memiliki efek sitoprotektif pada sel Vero Ekstrak metanol ganggang coklat memiliki efek sitoprotektif pada sel fibroblas embrionik 3T3L1 Priyadarshini, et al., 2015 Chia, et al., 2015 23 Universitas Sumatera Utara 7 Echium amoenum Human endotelial cells(HUV ECs) Ekstrak Echium amoenum MTT 8 Daunmaho ni Swietenia macrophylla Cerebellar Primary Cultures Ekstrak air Swietenia macrophylla MTT 9 Arnica montana L. dan Artemisia absinthium L. Sel fibroblasNCTC cell Ekstrak etanol Arnica montana L. dan Artemisia absinthium L. MTT Ekstrak Echium amoenum mempunyai efek sitoprotektif terhadap paparan H2O2 Ekstrak daun mahoni memiliki efek sitoprotektif pada Cerebellar Primary Ekstrak Arnica montana L. dan Artemisia absinthium L. memiliki efek sitoprotektif terhadap paparan hidogen peroksida Safa-eian, et al., 2015 Pamplo-na, et al., 2015 Craciunescu, et al., 2012 Priyadarshini, 2014 telah melakukan peneltian tentang efek sitoprotektif ekstrak air daun Kemangi menggunakan sel Vero. Metode penentuan efek sitoprotektif dilakukan dengan menggunakan metode MTT dengan induksi kalsium oksalat. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan konsentrasi ekstrak meningkatkan efek perlindungan terhadap kalsium oksalat; peningkatan konsentrasi ekstrak air daun Kemangi, meningkatkan persentase viabilitas sel epitel. Penelitian efek sitoprotektif ekstrak metanol ganggang coklat Padina tetrastromatica pada sel 3T3-L1 meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi ekstrak dengan menggunakan metode Comet Assay, dengan induksi hidrogen peroksida (Chia, et al., 2015). Penelitian ekstrak metanol ganggang coklat spesies lain Petalonia binghamiae dengan metode MTT pada sel mioblas terhadap efek sitoprotektif; pada konsentrasi 300 mg/mL dengan induksi hidrogen peroksida dapat melindungi sel dari stres oksidatif (Kang, et al., 2015). 24 Universitas Sumatera Utara Efek sitoprotektif Echium amoenum pada sel endotelial manusia (HUVECs) dengan metode MTT assayyang diinduksi dengan H2O2menunjukkan bahwa ekstrak Echium amoenum pada konsentrasi 100-1000 mg/mL menguruangi kematian sel akibat paparanH2O2dan bergantung pada konsentrasi (Safaeian, et al., 2015). Penelitian aktivitas sitoprotektif pada ekstrak etanol Arnica montana L. dan Artemisia absinthium L menggunakan metode MTT yang diinduksi dengan H2O2 menunjukkan bahwa kedua ekstrak tanaman mampu melindungi sel fibroblas dari stres oksidatif (Craciunescu, et al., 2012). Ekstrak air daun mahoni (Swietenia macrophylla) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kelangsungan hidup sel pada semua dosis yang digunakan;ini menunjukkan bahwa ekstrak yang digunakann memiliki efek sitoproteksi yang signifikan setelahdiinduksi dengan MeHg secara invitro, menggunakan metode MTT (Pamplona, et al., 2015). Penelitian di Indonesia terkait dengan efek sitoprotektif adalah penelitian Waris, 2015, yang menggunakan ekstrak etanol buah jambu biji merah dan tomat dengan metode MTT pada sel fibroblas yang diinduksi dengan H2O2. Ekstak etanol jambu biji merah pada konsenstrasi tertinggi yaitu 300 µg/mL memberikan meningkatkan viabilitas sel fibroblas setidaknya 9,59 % dibanding kontrol H2O2. Namun signifikansi tidak berbeda nyata, sehingga ekstrak jambu biji merah tidak bisa memberikan efek sitoprotektif terhadap sel fibroblas dari paparan radikal bebas untuk hidrogen peroksida, sedangkan ekstrak etanolik tomat kemungkinan memiliki efek sitotoksik dari pada efek sitoprotektif untuk melawan kerusakan sel fibroblas yang diberi H2O2. Ginting, 2015 melakukan penelitian aktivitas sitoprotektif ekstrak etanolik umbi wortel pada sel Vero dengan metode MTT; 25 Universitas Sumatera Utara menunjukkan aktivitas sitoprotektif. Hanifa, 2015 meneliti efek sitoprotektif esktrak etanol buah naga merah dan wortel menggunakan metode MTT pada paparan H2O2 pada sel primer fibroblas, hasil penelitian pada uji sitoprotektif; ekstrak buah naga merah pada konsentrasi 150 µg/mL dan ekstrak wortel dengan konsentrasi 200 µg/mL belum mampu melindungi sel dari paparan radikal bebas H2O2. 2.7.1 Bangun-bangun Susunan taksonomi, tanaman Bangun-bangun yang secara internasional dikenal dengan Plectranthus amboinicus (Lour.)Spreng dengan sinonim Coleus amboinicus Lour diklasifikasikan sebagai kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, bangsa Lamiales, suku Lamiaceae, marga Plectranthus, jenis Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng (BPOM RI, 2008). Bangun-bangun merupakan tanaman obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Sumatera Utara untuk mempercepat pemulihanibu-ibu pasca melahirkan. Tanaman ini digunakan sebagai obat demam malaria, hepatopati, batu ginjal, kandung kemih, batuk, asma kronis, cekukan, bronkitis, cacingan dan kejang (Warsiki,et al., 2005). Hal ini menunjukkan bahwa Bangun-bangun mengandung senyawa bioaktif sebagai antioksidan, antibakteri dan antifungi(Manjamalai,et al., 2011). Daun Bangun-bangun merupakan tanaman daerah tropis; daunnya memiliki aroma khas sehingga dikenal sebagai tanaman aromatik. Tanaman ini banyak ditemukan di India, Ceylon dan Afrika Selatan, memiliki bunga berbentuk tajam dan mengandung minyak atsiri sehingga disebut juga Coleus aromaticus. 26 Universitas Sumatera Utara Tanaman ini mengandung berbagai jenis flavonoid yaitu kuersetin, apigenin, luteolin, salvigenin, genkwanin. Daun tanaman ini juga telah dibuktikan sebagai antiinflamasi karena bekerja menghambat respon inflamasi yang diinduksi oleh siklooksigenase, juga terbukti sebagai anti kanker dan anti tumor (Kaliappan, 2008; Mangathayaru, 2008). Daun Bangun-bangunmerupakan tumbuhan yang secara empiris digunakan masyarakat di Indonesia sebagai menu sayuran sehari-hari terutama ibu-ibu yang baru melahirkan (Damanik, 2006). Daun ini mengandung vitamin C , Vitamin B1, Vitamin B12, beta karotin, niasin, karvakrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat (Santosa, 2005). Beberapa penelitian tentang daun Bangun-bangun terkait potensi sebagai antikanker telah dilakukan, diantaranya bertindak sebagai imunomodulator tubuh dengan mengikat sifat fagositik sel netrofil (Santosa, 2005). Ekstrak hidroklorid memiliki efek anticlastogenic dan berpotensi sebagai radioprotektif pada studi menggunakan metode micronucleus assayterhadap sel V79 (chinese hamster fibroblast) yang terradiasi (Rao, et al., 2006). Ekstrak etanol daun Bangun-bangun memiliki potensi sebagai anticlastogenic dan hasilnya menunjukkan bahwa ektrak etanol daun Bangun-bangun mampu melindungi kerusakan kromosom yang diinduksi dengan siklofosfamid dan mitomycin pada sel (Shyama, et al., 2002).Ekstrak metanol dan etil asetat daun Bangun-bangun memiliki aktifitas antioksidan dengan metode DPPH nilai IC50 sebesar 59,26 µg/mL dan 87,84 µg/mL menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, karena memiliki nilai IC50kurang dari 200µg/mL (Surya, et al., 2013). 27 Universitas Sumatera Utara 2.8 Metode Ekstraksi Sebelum menguji efek sitoprotektif daun Bangun-bangun, terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan bahan aktif dari tumbuhan. Metode pemisahan yang dilakukan adalah ekstraksi dengan beberapa cara, yaitu maserasi, perkolasi, reflux, digesti, sokletasi, infundansi, dan dekoktasi. a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut melalui beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes RI, 1986).Maserasi dapat dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok kedalam sebuah bejanakemudian dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari, sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari. Lalu dienaptuangkan dan disaring (Depkes RI, 1979). b. Perkolasiadalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan.Cara perkolasi ini umumnya digunakan untuk pembuatan sediaan galenik yang pekat, ekstrak, ekstrak cair, oleoresin dan resin. Pada proses penarikan ini, cairan penyari akan turun perlahan-lahan dari atas melalui simplisia (berlainan dengan maserasi yang cairannya tidak mengalir) (Syamsuni, 2006). 28 Universitas Sumatera Utara c. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik(Depkes RI, 2000). d. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan secara terus-menerus) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C (Depkes RI, 2000). e. Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat soklet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). f. Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemanasan air (bejana infus diatas penangas air mendidih), temperatur terukur (90-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit)(Depkes RI, 2000). g. Dekoktasi adalah ekstraksi dengan metode infundasi yang dilakukan selama 30 menit dengan temperatur titik didih air (Depkes RI, 2000). 2.9 Metode pengujian aktivitas sitoprotektif Pengujian aktivitas sitoprotektif dapat dilakukan dengan mellihat beberapa parameter, seperti uji viabilitas sel dengan metode MTT, analisis apoptosis dengan metode flow sitometridan analisis ekspresi ROS dengan metode imunositokimia. 2.9.1 Metode MTT Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu 29 Universitas Sumatera Utara substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik, et al., 2001). Reaksi warna yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5Reduksi MTT menjadi formazan (Kupcsik, et al., 2011) Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromid) oleh sistem reduktase. Suksinat tetrazolium termasuk dalam rantai respirasi dalam mitokondria sel-sel yang hidup membentuk kristal formazan berwarna ungu dan tidak larut air. Penambahan reagen stopper (bersifat detergenik) akan melarutkan kristal berwarna ini yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Intensitas warna ungu yang terbentuk, (CCRC b, 2012). 2.9.2 Flowsitometri Pengujian apoptosis menggunakan metode flowsitometri yaitu teknik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisa partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Sayed, et al., 2009). Flowsitometri digunakan untuk menganalisis jenis-jenis sel yang terdapat pada populasi sel. Sel dilabel fluoresen, dilewatkan celah sempit dan ditembak sinar. Dapat dilakukan analisis terhadap fase-fase daur sel, sel apoptosis, serta sel yang mengalami poliploidi (CCRC c, 2012).Prinsip dasar dari metode ini adalah berdasarkan flourosensi. Sel yang sesuai dengan cahaya laser dan panjang gelombang yang tepat dapat 30 Universitas Sumatera Utara dipancarkan kembali sebagai fluoresnsi jika sel mengandung zat alami fluorescent satu atau lebihfluorochrome-label antibodi melekat pada permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan bergantung pada struktur internal sel dan ukuran dan bentuknya. Hasil data disimpan melaui komputer (Ulfah, 2010). Flow sitometri dapat digunakan untuk analisa DNA content sel melalui pewarnaan propidium idodide (PI) atau 4’,6’-diamino-2-phenylindole (DAPI). Fluorochrome yang berinterkelasi dengan basa untai DNA seperti propium iodide, maka tiap sel dengan jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka intensitas fluoresensi akan semakin besar. Pada pengujian apoptosis, ditambahkan Annexin V dan propidium iodida, sedangkan pengujian siklus sel ditambahkan propidium iodida. Kemudian diukur dengan alat flowcytometer (Hostanska, et al., 2004). 2.9.3 Imunositokimia Imunositokimia merupakan suatu metode yang digunakan untuk dapat mendeteksi adanya ekspresi suatu protein spesifik atau antigen dalam sel dengan menggunakan antibodi spesifik yang akan berikatan dengan protein atau antigen. Terdapat dua jenis metode imunositokimia, yaitu metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung, antibodi yang mengikat fluoresen atau zat warna langsung berikatan dengan antigen pada sel. Pada metode tidak langsung, antigen diikatkan pada antibodi primer secara langsung, lalu ditambahkan antibodi sekunder yang mengikat enzim seperti peroksidase, alkali fosfatase atau glukosa oksidase. Antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer. Kemudian ditambahkan substrat kromogen yang akan diubah oleh enzim sehingga terjadi pembentukan warna (pigmen) yang akan mewarnai sel. Untuk dapat menjamin 31 Universitas Sumatera Utara antibodi untuk dapat mengikat antigen, sel harus difiksasi dengan cara ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen akan immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sel pada slide mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Terdapat dua macam metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-linking. Pelarut organik seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid, mendehidrasi sel, dan mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti paraformaldehid membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas. Imunositokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi akan berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak langsung dengan antibodi sekunder berlabel enzim atau fluoresen (CCRCd, 2009). 32 Universitas Sumatera Utara