51 BAB IV PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Konsep Perkawinan Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Pengertian perkawinan secara terminologi, ada beberapa pendapat, antara lain menurut: Sayuthi Thalib: “Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.”77 Mahmud Yunus: “Perkawinan ialah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at.”78 Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan raca yang diridhai ALLAH SWT.79 Pengertian perkawinan menurut ahli ushul, dikelompokkan ke dalam tiga pendapat utama, yaitu: 77 Sayuthi Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia; Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 47. 78 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: CV Al Hidayah, 1968), hlm. 1. 79 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989. Hlm. 9. 52 a. Menurut Ahli Ushul dari golongan Hanafi Perkawinan menurut arti aslinya setubuh dan menurut arti majazi ialah aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. b. Menurut Ahli Ushul golongan Syafi’i Perkawinan menurut arti aslinya aialah aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. c. Menurt Ahli Ushul dari golongan Abul Qasim Az-zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah: perkawinan artinya antara aqad dan setubuh.80 Dari pendapat yang telah penulis bahas diatas tentang pengertian perkawinan yang menjadi intinya adalah adanya unsur perjanjian atau aqad yang mengikat antara kedua orang yaitu calon suami dan istri sesuai dengan ketentuan syari’at. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa pengertian perkawinan adalah melakukan suatu aqad untuk mengikatkan diri antara seorang pria dengan seorang wanita untuk memperoleh legitimasi kehalalan hubungan seksual kedua belah pihak untuk mewujudkan mahlgai rumah tangga yang bahagia, didasri dengan kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang telah digariskan oleh syari’at. Dalam setiap perikatan akan timbul hak-hak dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang 80 A. Rahman Al-Djaziry, Al Fiqh Mazhahibil Arba’ah, jilid IV, (Mesir: Al-Maktabah AlTijariyyah, 1979), hlm. 1-3. 53 dipadukan dalam satu ketentuan dan disyaratkan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut perikatan.81 Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara orang laki-laki dan orang perempuan, dalam hal ini perkawinan merupakan perjanjian sakral untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, bahkan pandangan masyarakat perkawinan itu bertujuan membangun, membina dan memlihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Perkawinan bagi manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda, sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian seperti jual-beli atau sewamenyewa, tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan antara keduanya dan juga mewujudkan kebahagiaan dan ketentraman serta memiliki rasa kasih sayang, sesuai dengan sistem yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. 81 1-2. Achmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Hlm. 54 Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.82 Oleh karena itu dapat disimpulkan perkawinan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan dua belah pihak (calon suami isteri), yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditentukan syara’ untuk menghalalkan percampuran antar keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman dalam rumah tangga. 2. Asas-Asas Dalam Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari Hukum Perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena itu, ia tidak dapat lepas dari misi yang diemban oleh Undang-Undang Perkawinan tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam. Antara lain, KHI mutlak harus mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipengangi oleh umat Islam.83 Oleh karena itu pula sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana Undang-undang Perkawinanselain kompilasi harus mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung 82 83 47. Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmadia, 2007. Hlm. 7. Ahma Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). hlm. 55 dalam Pancasila. Atas dasar pemikiran itulah, perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam menentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, yang antisipatif terkadap perkembangan dan tuntutan zaman.84 Kompilasi Hukum Islam dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang-undang Perkawinan, maka prinsip-prinsip atau asas-asasnya dikemukakan dengan mengacu kepada undang-undang tersebut. Ada enam asas yang bersifat prinsipil di dalam Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masingagamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. 84 Ibid, hlm. 48. 56 d. Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.85 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam Pasal 2 diatur tentang kabsahan perkawinan, yaitu ayat (1), “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam versi Kompilasi Hukum Islam pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 dan 6. Namun pencatatan perkawinan adalah merupakan syarat administratif, di bawah ini dikutip ketentuan keabsahan perkawinan. 85 Ibid, hlm. 49. 57 Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.86 Jika dalam UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan istilah-istilah yang umum, maka kompilasi lebih spesifik lagi dengan menggunakan term-term Qur’ani seperti mitsaqon ghalidhon, ibadah, sakinah, mawaddah, dan warahmah. Selanjutnya Pasal 4 menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Di sini kompilasi menguatkan apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.87 3. Syarat Dan Rukun Dalam Perkawinan Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut hukum dalam Islam, akan dijelaskan berikut: a. Calon mempelai pria, Syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam. 2. Laki-laki 3. Jelas orangnya. 4. Dapat memberikan persetujuan. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. 86 87 Kompilasi Hukum Islam Ahma Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, hlm. 51. 58 b. Calon mempelai wanita, Syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam. 2. Perempuan. 3. Jelas orangnya. 4. Dapat dimintai persetujuannya. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali nikah, Syarat-syaratnya: 1. Laki-laki. 2. Dewasa. 3. Mempunyai hak perwalian. 4. Tidak terdapat halangan perwaliannya. d. Saksi nikah, Syarat-syaratnya: 1. Minimal 2 orang laki-laki. 2. Hadir dalam ijab qabul. 3. Dapat mengerti maksud akad. 4. Islam. 5. Dewasa. e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya: 1. Adanya pernyataan mengawinkan dengan wali. 2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria. 3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazij. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan. 59 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya. 6. Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah. 7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.88 Rukun dan syarat perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah: “Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya. Dan hukum nikah fasid dan nikah bathil adalah sama yaitu tidak sah.”. B. Homoseks/Gay Dalam Kajian Islam Homoseksual (Liwath) dilakukan dengan cara memasukkan penis (dzakar) ke dalam anus (dubur) atau dengan cara lainnya untuk mendapatkan orgasme atau puncak kenikmatan (climax of the sex act). Dalam perspektif sejarah, hal ini sudah pernah terjadi yaitu pada zaman Nabi Luth as., di mana al-Qur’an menceritakan kaum Luth as. sebagai kaum yang terkenal memiliki sifat-sifat homosesual. Mereka tidak mengawini perempuan, kecuali sangat gemar melakukan hubungan seks dengan sesama laki-laki.89 88 89 Ibid, hlm. 56. Kutbuddin Aibak, Fiqh Kontemporer, (Surabaya: eL-KAF, 2009). hlm. 108. 60 Homoseks merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar, yang merusak etika, fitrah, agama, dan jiwa manusia. Homoseks adalah hubungan biologis antara sesama jenis kelamin dalam hal ini antara laki laki dengan laki-laki (Gay).90 Perilaku homoseks menyimpang dari fitrah manusia karena fitrah manusia cenderung kepada hubungan biologis secara heteroseksual, yakni hubungan antara pria dan wanita. Perbuatan homoseks bukan hanya terdapat di zaman modern ini, tetapi telah terjadi pada zaman Nabi Luth, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Dan Luth tatkala ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun di dunia ini sebelumnya? Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu kepada mereka, bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah suatu kaum yang melampaui batas. Jawaban kaumnya tidak lain hanyalah mengatakan, “Usirlah mereka (Luth beserta pengikut-pengikutnya) dari desa ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri”. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan batu; maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”91 Perbuatan kaum Nabi Luth telah melampaui batas kemanusiaan, yang hanya bersyahwat kepada sesama laki-laki, dan tidak berniat kepada wanita sebagaimana yang ditawarkan oleh Luth. Perbuatan semacam ini membawa akibat yang sangat fatal, karena dapat merusak akal dan jiwa, menimbulkan kehancuran akhlak dan tindak kejahatan yang akan menghilangkan ketentraman masyarakat. 90 91 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, VI (Libanon: Dar al Fikr, 1968), hlm. 10-11. QS. al-A’raf, ayat 80-84. 61 Kendati kaum Luth telah dihancurkan oleh Allah ratusan abad yang lalu, namun homoseks tetap ada di tengah kehidupan manusia. Siksaan keras yang ditimpakan kepada kaum Luth tidaklah diambil sebagai pelajaran. Bahkan dunia dewasa ini dilanda revolusi seks yang jauh melampaui batas dan ketentuan agama. Dari kisah kaum Nabi Luth banyak pertanyaan yang belum bisa dijelaskan, salah satu pertanyaan utamanya adalah apakah orientasi seksual merupakan pemberian Allah (kodrat, given), atau dikontruksikan secara sosial-budaya ? Pada bagaian awal penulis telah mengemukakan bahwa orientasi seksual adalah kodrat atau pemberian Allah. Dengan kata lain, orientasi seksual sejenis (homoseks/gay) dan beda jenis (heteroseks) bukanlah sifat atau perilaku yang dibuat-buat, tetapi sudah diciptakan Allah sejak dalam kandungan. Di dalam sumber klasik Islam ditemukan bahwa para ulama membagi keberadaan “al-Mukhannats” ini ke dalam dua kategori. Yakni, “mukhannats khalqy” atau homoseksual yang kodrati dan “mukhannats bi al-‘amdi” atau homoseksual yang disengaja. Dengan membagi dua kategori diatas, para ulama zaman klasik kemudian menjelaskan hukumnya. Mereka menyatakan bahwa terhadap “mukhannats khalqy” atau “min ashli khilaqatihi” (homoseksual kodrati) tidak boleh direndahkan, distigmakan atau di hukum. Celaan dan hukuman 62 hanya boleh dikenakan terhadap “mukhannats bi al-‘amdi” (homoseksual yang dibuat-buat).92 Pandangan para ulama diatas merujuk pada Hadist-hadist Nabi yang menceritakan tentang kisah seorang laki-laki sahabat Nabi yang memiliki kecenderungan dan tingkah laku menyerupai perempuan, “al-mukhannats”. Kisah ini juga menunjukkan bahwa “mukhannats” ada pada masa Nabi SAW dan keberadaannya direspon pula oleh Nabi SAW. Para ahli tafsir menyebut namanya secara berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa dia bernama Hita. Sebagian lain menyebutnya Hanib.93 Penting untuk dikemukakan bahwa para ulama mengidentifikasi mukhannats bi al-‘amdi sebagai kecenderungan seks yang dibuat-buat (mempermainkan orientasi seksual), bukan hasil kontruksi sosial, atau dikondisikan oleh sistem sosial. Dalam ukuran masyarakat hari ini, pemahaman para ulama tersebut mungkin dianggap sangat simplistik (sederhana). Homoseksual dalam pemahaman sekarang sesungguhnya memiliki kompleksitas persoalan sendiri. Ia tidak sekedar menyangkut persoalan perilaku fisik dan seksual, melainkan juga soal medis, psikologis, dan kultural.94 Penjelasan singkat diatas mengambarkan kepada penulis bahwa homoseks/gay sesungguhnya bukanlah “liwath” atau “luthi”. Kedua istilah ini merujuk pada relasi seksual yang pernah dilakukan kaum Nabi Luth. 92 Husein Muhammad, et. all., Fiqh Seksualitas, hlm. 93. Ibid. 94 Ibid, hlm. 94. 93 63 Imam al-Thabari menyebut kaum Nabi Luth sebagai Sodom, masyarakat yang berperilaku sodomi.95 Al-Qur’an menceritakan mengenai kisah relasi seksual mereka: “ Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.96 Kata-kata Nabi Luth kepada kaumnya di atas dijelaskan oleh al-Thabari sebagai berikut : ﺷﮭْﻮَ ة ًﻣِ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻟﺬَﻟِﻚَ ﻣِ ﻦْ د ُوْ نِ اﻟﱠﺬِى اَﺑَﺎ َﺣﮫُ ا ﱠ َ اﻟﺮﺟَﺎل ﻓِﻲ ا َ ْدﺑَﺎِر ِھ ْﻢ ّ ِ َاَﯾﱡﮭَﺎا ْﻟﻘَﻮْ ُم ﻟَﺘَﺎْﺗ ُﻮن ﻟَ ُﻜ ْﻢ وَ ا َ َﺣﻠﱠﮫُ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨِّﺴﺎ َء “kalian telah melakukan hubungan seks dengan laki-laki melalui anus mereka, dan bukannya dengan perempuan sebagaimana yang dihalalkan Allah.”97 95 Ibid. Q. S. Al-A’raf dan terjemah, Ayat 80-81 97 Tafsir Q.S. al-A’araf (7) Ayat 80-81, Baca Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fiy Tafsir al-Qur’an. Lihat Husein Muhammad, et. all., Fiqh Seksualitas, hlm. 95. 96 64 Penjelasan Imam al-Thabari ini menunjukkan dengan jelas bahwa “liwath” atau “luthi” adalah apa yang dewasa ini dikenal dengan “sodomi”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa homoseksual/gay tidak sama dengan liwath. Homoseks/gay adalah orientasi seksual pada sejenis, sementara liwath (sodomi) adalah perilaku seksual yang menyasar ke anus (dubur), bukan ke vagina. Liwath (sodomi bisa dilakukan oleh kaum homoseksual dan juga heteroseksual, atau bahkan biseksual. Oleh karena itu, tidak sepatunya kita memperlakukan kaum homoseks/gay sama dengan kaum sodomi, baik secara sosial maupun hukum. C. Perilaku Seksual Sejenis (Gay) Ditinjau Menurut Hukum Islam Dalam sub bab ini penulis akan membahas perilaku seksual sejenis (gay) dari beberapa sudut pandang diantaranya sudut pandang homoseks/gay ditinjau dari Perspektif Jarimah Islam (Hukum Pidana Islam) dan hukum perdata Islam yaitu hukum perkawinan sejenis (gay) menurut hukum perkawinan Islam. 1. Perilaku Seksual Sejenis(Gay) ditinjau dari Perspektif Jarimah Islam (Hukum Pidana Islam) Praktek homoseksual diharamkan dalam ajaran Islam, karena termasuk perbuatan zina. Maka dalam hal ini, terdapat beberapa pendapat Ulama Hukum Islam tentang sanksi (ganjaran) yang harus dijatuhkan kepada pelakunya, antara lain dikemukakan oleh Zainuddin bin Abdil ‘Aziz Al-Malibaary yang dikutip Mahjudin yaitu: 65 Ahli Ilmu Hukum Islam berbeda pendapat dalam (masalah) ganjaran hukum praktek homoseksual. Maka ada sekelompok (Ulama Hukum Islam) yang menetapkan bahwa pelakunya wajib dihukum sebagaimana menjatuhkan ganjaran hukum perzinaan. Apabila pelakunya tergolong orang yang sudah pernah kawin, maka wajib dirajam. Dan apabila ia belum pernah kain, maka wajib didera sebanyak seratus kali. Penetapan inilah yang mencerminkan ke dua pendapat Imam Syafi’i Ra (Al-Qaulul Qadim dan Al-Qaulul Jadid). Dan pendapat ini juga menetapkan bahwa terhadap laki-laki yang dikumpuli oleh homoseksual, mendapatkan ganjaran dera sebanyak seratus kali atau diasingkan setahun: baik laki-laki maupun perempuan, yang pernah kawin maupun belum pernah. Ada juga segolongan (Ulama Hukum Islam) berpendapat, bahwa pelaku homoseksual wajib dirajam, meskipun ia belum pernah kawin. Ini termasuk pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan pendapat Imam Syafi’i menetapkan bahwa pelaku dan orang-orang yang dikumpuli (oleh homoseksual dan lesbian) wajib dibunuh, sebagaimana keterangan Hadits.98 Para ahli hukum fiqh telah sepakat mengharamkan homoseks, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan hukumannya. Pendapat pertama, Imam Syafi’i, pasangan homoseks dihukum mati, bedasarkan hadits Nabi: ﻣﻦ وﺟﺪﻣﻮه ﯾﻌﻞ ﻋﻠﻢ ﻗﻮم ﻟﻮط ﻓﺎﻗﺘﻠﻮااﻟﻔﺎﻋﻞ وﻟﻤﻔﻌﻮل ﺑﮫ “barang siapa menjumpai orang yang berbuat homoseks, seperti praktik kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)”. H.R. Abu Daud, At Turmudzy, Ibnu Majjah dan Al Baihaqy.99 Menurut al-Mundziri, Khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap pasangan homoseks. 98 Mahjudin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003). hlm. 27. 99 Kutbuddin Aibak, Fiqh Kontemporer, hlm. 112 66 Pendapat kedua, al-Auza’i, Abu Yusuf dan lain-lain, hukumannya disamakan dengan hukuman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam untuk untuk pelaku yang sudah kawin. Hal ini berdasarkan hadits Nabi100 : أذاأﺗﻰ اﻟﺮﺟﻞ ﻟﺮﺟﻞ ﻓﮭﻤﺎزاﻧﯿﺎن “Apabila seseorang pria melakukan hubungan seks dengan pria lain, maka kedua-duanya adalah berbuat zina”. Pendapat ketiga, Abu Hanifah, pelaku homoseks/gay dilakukan ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringannya hukuman ta’zir diserahkan kepada pengadilan (hakim). Hukuman ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar hukumannya oleh nash al-Qur’an dan Hadits.101 Berdasarkan perdapat diatas, menurut al-Syaukani sebagaimana yang dikutip oleh Sayid Sabiq bahwa pendapat pertamalah yang kuat karena berdasarkan nash shahih yang jelas maknanya; sedangkan perndapat kedua dianggap lemah, karena memakai qiyas, pada hal ada nashnya dan sebab hadits yang dipakainya lemah. Demikian pula pendapat ketiga juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman ta’zir.102 100 Ibid. Ibid, hlm. 113. 102 Ibid. 101 67 Dari beberapa uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada tiga klasifikasi pendapat yang menghukumi (ganjaran) bagi pelaku dan orang-orang yang dikumpuli oleh homoseksual. Pertama, pendapat dari segolongan Ulama Hukum Islam, yang menganggap dirinya mengikuti pendapat Imam Syafi’i, yang memberikan ganjaran hukum bagi pelaku homoseksual, bersama-sama orang yang dikumpulinya, dengan hukuman rajam bila ia sudah pernah kawin, dan hukuman dera seratus kali bila ia sudah pernah kawin, dan hukuman dera seratus kali bila ia belum pernah kawin. Atau memberikan hukuman dengan mengasingkan selama setahun bagi pelaku homoseks bersama orang yang dikumpulinya, baik ia telah kawin maupun yang belum. Kedua, pendapat dari segolongan Ulama Hukum Islam yang menganggap dirinya mengikuti pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang memberikan ganjaran hukuman bagi pelaku homoseksual, bersama dengan orang yang dikumpulinya, dengan hukuman rajam: meskipun ia belum pernah kawin. Ketiga, pendapat Abu Hanifah, pelaku homoseks/gay dilakukan ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringannya hukuman ta’zir diserahkan kepada pengadilan (hakim). Hukuman ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar hukumannya oleh nash al-Qur’an dan Hadits. Persepsi Islam terhadap fitrah manusia senantiasa menghubungkan dengan naluri seks. Islam memandang bahwa naluri seks memerlukan penyaluran biologis dalam bentuk perkawinan. Islam tidak menganggap 68 bahwa naluri seks merupakan suatu yang jahat dan tabu bagi manusia. Tetapi, Islam sangat menentang penyimpangan seks, perbuatan seks yang menyimpang semacam homoseks/gay yang dapat merusak eksistensi fitrah manusia. Hukum Islam senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya, salah satunya terkait dengan substansi jiwanya yang berasal dari kehendak hawa nafsu manusia yang ingin melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam. Penyimpangan biologis yang melanggar fitrah manusia seperti perkawinan sejenis (gay) dalam hukum Islam menentang secara keras, karena telah menyalahi aturan yang telah ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar hukum Islam yang telah ada. 2. Perkawinan Sejenis (Gay) Ditinjau Menurut Hukum Perkawinan Islam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas menyatakan melarang perkawinan sejenis (gay) karena dalam KHI mengatur tentang perkawinan yang bersifat heteroseksual, yakni syarat perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara laki-laki dan perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d, Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30 KHI. Pasal 1 huruf a KHI: Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Pasal 1 huruf d KHI: 69 Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 29 ayat (3) KHI: Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Pasal 30 KHI: calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.103 Perkawinan sejenis (gay) dalam hal ini perkawinan antara laki-laki dengan laki dalam konteks Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas dilarang karena tidak memenuhi syarat perkawinan yang sah. Selain itu, dalil fiqh ulama secara menghukumi perkawinan sejenis (gay) itu haram yakni, a. Pelaku (gay) harus dibunuh secara mutlak. b. Pelaku (gay) harus di hadd sebagai mana hadd zina, yakni dengan hukuman dirajam. c. Pelaku (gay) harus di beri (ta’zir) sanksi sesuai keputusan penguasa (Hakim). Selain itu, mengenai perkawinan sejenis (gay) ini, beberapa tokoh juga memberikan pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik Kontroversi Perkawinan Sejenis, sebagaimana penulis sarikan, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa perkawinan sejenis adalah haram. Lebih lanjut Ma’ruf Amin mengatakan, “Masak laki-laki sama laki-laki atau perempuan sama 103 Kompilasi Hukum Islam 70 perempuan. Itu kan kaumnya Nabi Luth. Perbuatan ini jelas lebih buruk daripada zina.” Penolakan serupa juga dikatakan oleh pengajar hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia mengatakan bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam alQur’an jelas perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.104 Dalam ketentuan teknis, hukum Islam meliputi hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Wilayah pembahasan hukum Islam hanya menyangkut dimensi lahiriyah manusia dalam hal ini perbuatanperbuatan yang dilakukan manusia, tidak menyangkut aspek pikiran atau keyakinan atau aktivitas hati atau segala sesuatu yang bersifat batiniyah dalam hal ini seperti orientasi seksual seseorang atau hal lainnya yang bersifat immaterial. Hukum Islam tidak bicara soal orientasi seksual, melainkan bicara soal perilaku seksual. Mengapa? Karena hukum hanya menyentuh hal-hal yang dapat dipilih manusia secara bebas. Orientasi seksual adalah kodrat, sementara perilaku seksual adalah pilihan. Hukum Islam selalu tertuju kepada perbuatan yang dikerjakan manusia dengan pilihan bebas, bukan sesuatu yang bersifat kodrati di mana manusia tidak dapat memilih. 104 Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia, www.Hukum Online.com., diakses pada senin, 2 Mei 2016. 71 D. Komparasi Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Perilaku Seksual Sejenis (Gay) Dari pembahasan perilaku seksual sejenis (gay) dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam diatas, setelah mendeskripsikan dan di analisis dapat ditemukan dua konsep yaitu perilaku seksual sejenis (gay) antara hukum positif dan hukum Islam yang kemudian dikomparasikan, sehingga terdapat persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut sebagai berikut: 1. Persamaan hukum positif dan hukum Islam terhadap perkawinan sejenis (gay). a. Konsep perkawinan dalam hukum positif maupun hukum Islam adalah sama. Perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita. Konsep perkawinan tersebut adalah heteroseks atau perkawinan yang berbeda jenis kelamin. Jadi perkawinan sejenis (gay) yang sama jenis kelaminnya adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat dan rukun sahnya perkawinan dalam humum keduanya. b. Dalam hukum Positif maupun hukum Islam perilaku homoseks/gay adalah termasuk perbuatan pidana dalam hukum positif dan jarimah (pidana Islam) dalam hukum Islam. 2. Perbedaan hukum positif dan hukum Islam terhadap perilaku seksual sejenis (gay). a. Dalam pengertian perlaku seksual sejenis (gay) perspektif Islam, para ulama membagi keberadaan “al-Mukhannats” ini ke dalam dua 72 kategori. Yakni, “mukhannats khalqy” atau homoseksual yang kodrati dan “mukhannats bi al-‘amdi” atau homoseksual yang disengaja. Dengan membagi dua kategori diatas, para ulama zaman klasik kemudian menjelaskan hukumnya. Mereka menyatakan bahwa terhadap “mukhannats khalqy” atau “min ashli khilaqatihi” (homoseksual kodrati) tidak boleh direndahkan, distigmakan atau di hukum. Celaan dan hukuman hanya boleh dikenakan terhadap “mukhannats bi al‘amdi” (homoseksual yang dibuat-buat). Pandangan para ulama diatas merujuk pada Hadist-hadist Nabi yang menceritakan tentang kisah seorang laki-laki sahabat Nabi yang memiliki kecenderungan dan tingkah laku menyerupai perempuan, “al-mukhannats”. Kisah ini juga menunjukkan bahwa “mukhannats” ada pada masa Nabi SAW dan keberadaannya direspon pula oleh Nabi SAW. Para ahli tafsir menyebut namanya secara berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa dia bernama Hita. Sebagian lain menyebutnya Hanib. Penting untuk dikemukakan bahwa para ulama mengidentifikasi mukhannats bi al‘amdi sebagai kecenderungan seks yang dibuat-buat (mempermainkan orientasi seksual), bukan hasil kontruksi sosial, atau dikondisikan oleh sistem sosial. Dalam ukuran masyarakat hari ini, pemahaman para ulama tersebut mungkin dianggap sangat simplistik (sederhana). Homoseksual dalam pemahaman sekarang (dalam hukum positif) sesungguhnya memiliki kompleksitas persoalan sendiri. Ia tidak sekedar menyangkut persoalan perilaku fisik dan seksual, melainkan juga soal 73 medis, psikologis, dan kultural. Homoseks/gay sesungguhnya bukanlah “liwath” atau “luthi”. Karena liwath adalah berupa perbuatan sedangkan homoseks/gay adalah orientasi seksual yang menyukai atau tertarik ke sesama jenis. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan kaum homoseks/gay juga melakukan hubungan seksual berupa liwath atau sodomi. b. Perlaku Seksual Sejenis (Gay) menurut hukum positif (KUHP) dan hukum Islam (Jarimah Islam). Homoseks/gay dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dikategorikan perbuatan cabul. Pengertian cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, yang semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: mencium, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Perbuatan cabul tidak mengaruskan adanya hubungan kelamin asal perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup hawa nafsu birahi. Dalam Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam hal ini sodomi atau liwath dapat diketegorikan sebagai kejahatan kesusilaan yang diatur secara khusus pada Pasal 292 KUHP. dalam pasal tersebut mengatur mengenai pencabulan sesama jenis kelamin yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap orang yang belum dewasa (anak-anak). Secara tidak langsung dalam Pasal 292 KUHP ini memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam konteks yuridis, 74 spesifikasi homoseks/gay merupakan perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 292 KUHP, tetapi pasal tersebut hanya mengatur mengenai perbuatan cabul homoseks/gay terhadap korban yang belum cukup umur, bukan korban yang telah cukup umur. Jadi dalam hal ini terjadi kekosongan hukum, karena Pasal 292 KUHP tidak mengatur secara khusus mengenai perbuatan cabul sesama jenis kelamin yang dilakukan dua orang dewasa sehingga dalam permasalahan ini adalah pengaturan mengenai perbuatan sodomi/liwath yang merupakan perbuatan homosek/gay terhadap korban yang telah cukup umur (dewasa) belum ada aturan hukum yang bisa dijadikan dasar. Dalam Islam, para ulama sepakat atas keharaman perbuatan homoseks menurut ketentuan syari’at. Homoseks/gay merupakan perbuatan keji sebagaimana jarimah zina. Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi homosesk/gay. Pendapat pertama, yakni dibunuh secara mutlak. Kedua, dihad sebagaiman had zina, bila pelakunya jejaka ia didera, bila pelakunya muhsan ia harus di hukum rajam. Ketiga, dikenakan hukuman ta’zir. Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa had homoseks adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang jejaka maupun orang yang telah menikah. Menurut Abu Hanifah, pelaku homoseks/gay harus diberi sanksi berupa ta’zir. Ta’zir merupakan hukuman yang bertujuan edukatif, dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan (hakim).