BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG DOKTRIN BUSINESS

advertisement
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT
RULE DI INDONESIA
A. Sejarah Doktrin Business Judgment Rule
Lahirnya doktrin Business Judgment Rule diawali dari beberapa kasus
yang terjadi di beberapa negara dimana dari kasus tersebut menimbulkan kesan
bahwa direktur sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu dipersalahkan dalam
perseroan. Kesan tersebut tidak mencerminkan keadilan. Direktur bukanlah suatu
obyek yang selalu dapat dipersalahkan sepenuhnya atas pengelolaan perusahaan
atau dengan kata lain tanggung jawab tidak dapat dibebankan secara penuh
kepada direksi.22 Pembebanan tanggung jawab secara penuh terhadap direksi akan
menghambat inovasi dan kreatifitas direksi dalam mengambil keputusan bisnis.23
Direksi harus tetap diberi otonomi yang dibatasi oleh asas kepantasan.24
Melihat kepada potensi penyalahgunaan posisi oleh direktur, maka perlu
dilakukan pengawasan yang intensif terhadap direktur sebagai otak dalam
perusahaan yang mengendalikan perusahaan sehari–hari. Salah satu cara untuk
melakukan pengawasan kepada direktur adalah dengan membatasi
kewenangannya dalam mengambil sebuah keputusan bisnis yang dituangkan
dalam sebuah standar keputusan bisnis yang di negara–negara anglo saxon
dikenal dengan Business Judgment Rule.25
Doktrin Business Judgment Rule berasal dari Amerika Serikat yang
didasarkan pada sistem hukum common law, dimana sumber hukum utama bagi
negara Amerika Serikat ini menganut asas presedent. Konsep Business Judgment
Rule sudah diterapkan sejak 170 tahun yang lalu di Amerika Serikat dan telah
memainkan peranan yang sangat penting dalam perusahaan dan dalam kasus-
22
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule ; Aplikasinya dalam Hukum
Perusahaan Modern (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2015), hlm. 2.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
kasus bisnis. Secara umum doktrin ini merupakan doktrin yang memberikan
perlindungan bagi direksi terhadap keputusan bisnis yang diambilnya.
Dasar pemikiran dari aturan ini adalah pengakuan dari pengadilan bahwa
sudah menjadi sifatnya dalam menjalankan bisnis yang bernuansa resiko, direksi
harus terbebas dari rasa takut atas jeratan hukum yang mungkin menjerat direksi
dalam hal direksi mengambil keputusan bisnis yang beresiko, rasa takut direksi
dalam mengambil keputusan bisnis tersebut akan mempengaruhi keputusan bisnis
direksi tersebut.26
Hakim merupakan ahli dalam bidang hukum, namun bukan merupakan
ahli dalam mengelola perusahaan dan bisnis, oleh karena itu hakim harus
menghormati keputusan bisnis direksi tanpa perlu campur tangan dan memberi
pendapat bandingan atas kerputusan bisnis direksi. Pokok dari pemberlakuan
doktrin ini adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati
putusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan
berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah
bisnis yang kompleks.
Business Judgment Rule secara tradisional, juga dikonsep untuk
melindungi kepentingan anggota direksi dari pertanggungjawaban diambilnya
keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan.
Selanjutnya oleh Salomon dikutip pertimbangan hakim dalam perkara Gries
Enterprises Inc V.Cleveland browns Football co, inc.496 NE 2nd 959 (ohio),
dimana :
“ the business judgment rule is a principle of corporate governance that
has been part of common law for at least one hundred fifty years. It has
traditionally operated as ashield to protect directors from liability for the
protection of the rule, then the courts should not intereferewith or second
guess their decisions. If the directors are not entiled to the protection of
the rule, then the court scrutinize the decisions as to its intrinsic fairness to
the coorporation and the coorporation’s minority shareholders. The rule is
rebutablle presumption that directors acted without self dealingor
personal interest and exercised reasonable diligence and acted with good
faith. A party challenging a board of directors decisions was a proper
exercise of the business judgment of the board.”27
26
Business Judgment Rule, http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule, (diakses
pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.15).
27
Lewis D Salomon, Donald E Schwartz, Jeffry D Bauman and Eliot j Weiss,
Coorporation Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, west group, St paul, 1998, hlm. 685
Universitas Sumatera Utara
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai berikut:
“Business Judgment Rule dapat diartikan adalah salah satu prinsip dari
pengelolaan perusahaan yang telah menjadi bagian dalam common law
sekitar tahun 1950 (seribu sembilan ratus lima puluh). Business Judgment
Rule ini melindungi direktur dari tanggung jawab atas putusan bisnis yang
telah diambilnya. Jika direktur tersebut berhak atas perlindungan hukum,
maka pengadilan tidak dapat mencampuri terhadap putusan yang telah
diambilnya tersebut, namun sebaliknya jika tidak berhak atas perlindungan
hukum atas putusan yang telah diambilnya maka pengadilan wajib
memeriksa putusan tersebut apakah terdapat kejujuran yang mendasar dan
itikad baik kepada perusahaan dan pemegang saham minoritas dan harus
dilakukan tanpa self dealing28, tidak dilakukan untuk kepentingan pribadi,
dan harus dengan itikad baik.”
Prinsip Business Judgment Rule merupakan ketentuan yang dapat
dikesampingkan jika direktur bertindak lebih baik daripada pengadilan yang
akan mendalilkan Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam
keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi)
dan dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang
wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi
menghadapi resiko akan adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika pada
akhirnya dapat dibuktikan bahwa direksi membuat keputusan bisnis yang
tepat.29 Blacks Law Dictionary mendefenisikan Business Judgment Rule
sebagai berikut30 :
“Business Judgment Rule is the rule shields directors and officers from
liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the
transactions were made in good faith, with due care, and within the
directors or officers authority.”
sebagaimana dikutip dalam buku Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan
Perseroan (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 38.
28
Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan direksi, yang dalam
sejarah hukum semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilahpilah untuk dinilai mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh sektor hukum. Atas
adanya self dealing ini, maka dibebankan tanggung jawab pribadi terhadapa direksi, karena
transaksi ini pada dasarnya tidak layak dan bertentangan dengan fiduciary duty dari direksi. Di
Indonesia sendiri tidak ada larangan bagi direksi untuk melakukan self dealing, asalkan dilakukan
secara fair, tidak ada unsur penipuan yang dapat merugikan perseroan.
29
Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”,
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23 (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.30).
30
Bryan A Garner, dalam buku Frans Satrio Wicaksono : Tanggung Jawab Pemegang
Saham, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT) (Jakarta : Visimedia, 2009), hlm. 125.
Universitas Sumatera Utara
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai berikut:
“Business Judgment Rule dimaksudkan untuk melindungi direksi dan
karyawan, yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara pribadi
akibat keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.”
Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi
seorang direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap
pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dimana perintah-perintah yang
ditujukan kepada dewan direksi, atau terhadap keputusan-keputusan itu sendiri,
terhadap kasus yang menitikberatkan kepada keputusan bisnis yang merupakan
tanggung jawab dari pembuat keputusan.31 Business Judgment Rule yang
diterapkan terhadap direksi/pembuat keputusan lazim disebut doktrin Business
Judgment Rule, dan Business Judgment Rule yang diterapkan terhadap
keputusannya langsung disebut Business Judgment Rule.32
Dilihat dari uraian sejarah diatas, dapat dikatakan bahwa awal mula
doktrin Business Judgment Rule tidak ditentukan waktunya secara pasti, namun
dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan doktrin Business Judgement
Rule sejalan dengan perkembangan doktrin doktrin lain dalam hukum
perusahaan di negara anglo saxon, yang melandaskan hukumnya kepada
perkembangan putusan–putusan hakim di pengadilan khususnya di negara
Amerika Serikat.
B. Pemahaman Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi
Perseroan sebagai badan hukum dalam melaksanakan kepengurusannya
mempunyai organ yang terdiri rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi
dan komisaris. Ketiga organ tersebut melakukan metabolisme tubuh di dalam
badan hukum perseroan terbatas, menjalankan roda kegiatan perseroan terbatas
ke arah visi misi nya. Kegiatan organ–organ itu meliputi fungsi pembuat
kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1 angka 4, angka 5 dan angka 6 UUPT menjelaskan perbedaan dari ketiga
organ tersebut, yaitu rapat umum pemegang saham (RUPS) adalah organ
perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau
dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau
anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung
31
Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”,
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23 (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.30).
32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan
komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada direksi. Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai direksi sebagai
pengurus perseroan.
Pasal 1 angka 5 UUPT mendefinisikan direksi sebagai organ perseroan
yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar. Direksi perseroan terbatas bisa terdiri dari satu orang
atau bisa juga lebih dari satu orang. Kecuali untuk perseroan yang usahanya
menghimpun dan mengelola dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan
hutang, dan perseroan terbuka (Tbk.), wajib memiliki minimal 2 orang anggota
direksi. Pembagian tugas dan wewenang direksi yang anggotanya terdiri dari 2
orang atau lebih ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Jika RUPS tidak
menetapkan pembagian tugas dan wewenang semacam itu, maka anggota direksi
sendiri yang menetapkannya berdasarkan keputusan direksi. 33
Ada 4 (empat) macam direktur perseroan, yaitu sebagai berikut :
1.
Direktur biasa, yakni direktur yang dipilih oleh rapat umum pemegang saham
(RUPS) atau oleh anggaran dasar. Inilah direktur yang paling lazim dan
banyak sekali terdapat dalam praktek.
2.
Direktur de facto, yaitu direktur yang tidak dipilih oleh rapat umum
pemegang saham (RUPS) atau oleh anggaran dasar.
3.
Direktur substitusi atau direktur alternatif, yaitu direktur pengganti yang
sifatnya sementara atau yang ditugaskan khusus untuk perbuatan tertentu.
4.
Direktur bayangan (shadow director), yaitu direktur yang bertugas hanya
menjadi pajangan belaka, dimana setiap pekerjaan dilakukan atas suruhan
33
Legal Akses, ”Direksi”, http://www.legalakses.com/direksi/, (diakses pada tanggal 18
Oktober 2015 pukul 21.41).
Universitas Sumatera Utara
pihak lain, atau bahkan pihak lain yang melakukan tugas–tugas direksi.
Misalnya direksi yang diangkat dengan perjanjian trustee, yang dalam hal ini
lebih tepat disebut sebagai direktur boneka.34 Selain dari model direksi diatas,
masih didapat lagi model direksi lain seperti direksi eksekutif, direksi non
eksekutif, managing director, associate director, direktur permanen, direktur
nominee, dan lain–lain.35
Syarat umum menjadi anggota direksi dinyatakan dalam Pasal 93 ayat 1
UUPT. Adapun syarat–syarat untuk menjadi anggota direksi dalam perseroan
terbatas adalah:
1.
Orang yang mampu melaksanakan perbuatan hukum (orang yang dewasa atau
cakap).
2.
Tidak pernah dinyatakan pailit.
3.
Tidak pernah dinyatakan bersalah sebagai anggota direksi atau komisaris
yang menyebabkan pailitnya suatu perseroan terbatas.
4.
Bukan orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang
merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatan.
Anggota direksi diangkat oleh RUPS, kecuali untuk pertama kali anggota
direksi diangkat dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi dalam
akta pendirian dan anggota direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan
kemungkinan diangkat kembali.36 Sebagai organ perseroan terbatas, direksi
bertanggung jawab penuh atas kegiatan pengurusan perseroan kepentingan dan
34
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 52.
35
Ibid.
36
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 94.
Universitas Sumatera Utara
dalam mencapai tujuan perseroan, serta mewakili perseroan dalam segala
tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kedudukan direksi dalam
perusahaan adalah sebagai ujung tombak dari perusahaan itu. Direksi yang
bertugas untuk menyusun dan juga menjalankan strategi bisnis sebagai usaha
dalam mencapai keuntungan bagi perusahaan. Setelah mencapai keuntungan,
direksi harus bisa mempertahankan keuntungan yang telah dicapai itu, agar tidak
berkurang tetapi agar terus bertambah.
Tugas dan wewenang direksi sebagai pengurus perusahaan secara umum
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.
Direksi bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perusahaan untuk
kepentingan perusahaan, sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Direksi juga bertugas untuk mewakili perusahaan baik di dalam maupun
diluar pengadilan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan
kebijakan yang dianggap tepat olehnya. Direksi yang terdiri atas dua anggota
atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan diantara anggota
direksi ditetapkan berdasarkan RUPS. Jika RUPS tidak menetapkan,
pembagian tugas dan wewenang direksi ditetapkan atas keputusan anggota
direksi.
2.
Tugas direksi yang utama adalah mengurus perusahaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Direksi dalam melaksanakan tugas dan kewajiban nya harus didasari
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap kesalahan dan atau kelalaian
dalam menjalankan tugas dan atau kewajibannya tersebut akan membawa akibat
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban secara pribadi dari masing–masing anggota direksi atas
setiap kerugian yang diderita oleh perseroan maupun para pemegang sahamnya. 37
Tanggung jawab direksi dalam hukum perseroan terbatas di Indonesia
adalah bersifat tanggung renteng sebagaimana dianut dalam Pasal 97 ayat 3
UUPT yang berbunyi:
“Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)”
Tindakan satu direktur mengikat seluruh direksi. Ketika seorang direktur
melakukan perbuatan hukum, maka tindakan tersebut dianggap diakui dan
disetujui oleh direktur yang lain. Muncul pertanyaan ketika direktur lain tidak
menyetujui dan tidak mengakui, apakah perusahaan harus bertanggung jawab,
Bila diamati dari teori organ makan tindakan dari satu orang direktur saja adalah
tindakan badan hukum, oleh karena itu badan hukum harus bertanggung jawab,
asalkan tindakan tersebut menguntungkan perusahaan dan dilakukan direktur
dalam batas–batas kewenangannya.38
Doktrin Business Judgment Rule berkembang dalam sistem hukum
common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan lain nya. Doktrin
tersebut merupakan bentuk perlindungan bagi direksi. Business Judgment Rule
menurut Roger LeRoy dan Gaylod A. Jentz adalah:
“A rule that immunizes corporate management from liability for action
that result in corporate losses or damages if the action are undertaken in
good faith and are within both the power of the coporation and the
authorithy of management to make.”39
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai berikut:
“Business Judgment Rule melindungi direksi atas keputusan bisnis yang
merupakan transaksi korporasi, selama hal tersebut dilakukan dalam
batas–batas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati–hatian dan
itikad baik.”
37
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 111.
38
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya dalam Hukum
Perusahaan Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 35.
39
Roger LeRoy dan Gaylod A. Jentz dalam buku Freddy Harris dan Teddy
Anggorro:Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
Pakar hukum lain yaitu Robert Charles Clark memandang Business Judgment
Rule sebagai aturan sederhana atas pertimbangan bisnis direksi yang tidak akan
dibantah oleh pengadilan dan pemegang saham.40 Direksi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas konsekuensi yang timbul dari putusan bisnisnya. Jika
dikaitkan dengan doktrin Fiduciary Duty, maka doktrin Business Judgment Rule
merupakan reaksi atas pembatasan diskresi yang timbul karena adanya
kewajiban–kewajiban fiduciary bagi direksi dalam mengurus korporasi.
Teori Fiduciary Duty yang merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan
undang–undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana
kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lain nya, yang sifatnya
hanya hubungan atasan–bawahan sesaat.41 Orang yang mempunyai kewajiban ini
harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standart of
duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan dengan hukum.42
Fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil
(trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai
wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust
and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik
(good faith), dan keterusterangan (candor).43
Doktrin Business Judgment Rule merupakan satu–satunya pertahanan yang
dapat dipakai oleh direksi yang beritikad baik dalam melindungi dirinya dari
gugatan korporasi, pemegang saham atau kreditor sehubungan dengan kerugian
yang timbul akibat keputusan yang diambil oleh direksi. Business Judgment Rule
berkaitan erat dengan kemampuan dari direktur untuk mengelola risiko.
Manajemen resiko diperlukan karena seorang direktur bukanlah peramal yang
mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Begitu banyak resiko
yang harus dihadapi oleh direktur ketika mengambil suatu keputusan. Direktur
perusahan diwajibkan untuk mempunyai pemahaman yang penuh atas resiko yang
mungkin terjadi. Seorang direktur diwajibkan untuk secara berkelanjutan
mengevaluasi segala keputusan yang akan diambilnya, termasuk mengevaluasi
segala kemungkinan sebelum diambilnya keputusan.
Indonesia menganut 3 standar yang digunakan sebagai dasar pembenar
suatu keputusan bisnis yaitu keputusan bisnis yang diambil harus dengan itikad
40
Robert Charles Clark dalam buku Freddy Harris dan Teddy Anggorro:Hukum
Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hlm.
59.
41
Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”,
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23 (diakses pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 21.00).
42
Ibid.
43
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
baik, dengan penuh tanggung jawab dan tidak untuk kepentingan pribadi direktur.
Ketiga standar tersebut dapat lebih dipertajam sebagai berikut :
1.
Keputusan bisnis diambil dengan itikad baik.
2.
Direktur bertanggung jawab secara pribadi atas kesalahan yang dilakukan
nya.
3.
Direktur dilarang memiliki conflict of interest dalam mengambil suatu
keputusan bisnis.44
Ketiga standar tersebut tidak dapat dipisahkan dengan asumsi Business
Judgment Rule yang menjadi pusat dari semua Business Judgment Rule dan tidak
dapat dilepaskan pula dari prinsip–prinsip Business Judgment Rule yang menjadi
penjabaran asumsi umum. Ketiga standar tersebut memberikan aturan yang
menjadi arahan dalam mengambil keputusan bisnis.
Business Judgment Rule memberikan dorongan kepada direksi agar berani
mengambil keputusan serta mengambil resiko dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya mengurus perseroan serta tidak takut dan tidak berhati-hati secara
berlebihan terhadap ancaman yang mengakibatkan direksi bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian perseroan yang mungkin timbul akibat dari tindakan
maupun keputusan bisnis direksi tersebut. Kondisi perekonomian yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor mengakibatkan perubahan iklim bisnis yang
begitu cepat, serta persaingan bisnis yang semakin ketat, oleh karena itu direksi
sebagai pengelola perseroan dituntut untuk bertindak cepat, apabila direksi
terlampau lamban mengambil keputusan bukan tidak mungkin perseroan akan
kehilangan peluang bisnis yang kemungkinan akan memberikan keuntungan bagi
perseroan. Seorang direktur dalam mengambil keputusan bisnis tersebut harus
mempertimbangkan dan meminimalkan resiko yang kemungkinan akan terjadi
akibat keputusan bisnis yang diambilnya.
C. Pengaturan Doktrin Business Judgment Rule Dalam Undang–Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya
disebut KUH Perdata) menyatakan tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang
44
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya Dalam Hukum
Perusahaan Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal ini terdiri dari
beberapa unsur, di antaranya adalah adanya suatu perbuatan yang dilakukan yang
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian.
Pasal 1366 KUH Perdata sedikit menambahkan bahwa tanggung jawab seseorang
tidak sebatas pada perbuatan yang dilakukan, melainkan terhadap kelalaian atau
kesalahan.
Dari kedua Pasal di atas, dapat ditafsirkan bahwa kerugian dapat
ditimbulkan bukan hanya karena dilakukannya suatu perbuatan, namun juga dapat
diakibatkan dari tidak dilakukannya suatu perbuatan. Pasal 97 ayat 5 UUPT
berbunyi:
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.”
Pasal ini memberikan pengertian bahwa direksi bersalah atas kerugian
perseroan dan wajib bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan
tersebut, apabila direksi ingin terbebas dari tanggung jawab pribadi atas kerugian
perseroan tersebut, direksi dibebankan dengan pembuktian bahwa dia tidak
bersalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 ayat 5 UUPT.
Pasal 97 ayat 5 huruf a UUPT menjelaskan tentang dimana seseorang
harus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya yang
mengakibatkan kerugian. Pasal 97 ayat 5 huruf b UUPT menjelaskan itikad baik
merupakan sesuatu yang diwajibkan dalam suatu perjanijan. Pendirian perseroan
terbatas dilakukan dengan perjanjian maka harus dilandasi dengan itikad baik,
dimana Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 97 ayat 5 UUPT itu sendiri merupakan
penerapan dari Pasal 1365 KUH Perdata, dimana setiap kerugian harus
dipertanggungjawabkan.
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 UUPT sebenarnya termasuk
dalam Fiduciary Duty, jadi sesuai ketentuan Pasal 97 ayat 5 UUPT, dalam hal
adanya kerugian perseroan, direksi dianggap bersalah telah melanggar fiduciary
Universitas Sumatera Utara
duty dan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab pribadi atas kerugian
perseroan, direksi wajib membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak
melanggar fiduciary duty yang tercantum dalam pasal tersebut. Diberlakukannya
Pasal 97 ayat 5 UUPT, maka beban pembuktian berada pada direksi, sehingga
Pasal 97 ayat 5 UUPT tidak dapat dikatakan melindungi direksi dari tanggung
jawab pribadi atas kerugian perseroan, namun lebih tepat dikatakan sebagai salah
satu upaya bagi direksi untuk membebaskan diri dari tanggung jawab pribadi atas
kerugian perseroan yang disediakan oleh undang-undang, yang dalam hal ini
adalah UUPT.
Fiduciary Duty dalam Pasal 97 ayat 5 UUPT pada umumnya sama dengan
Fiduciary Duty yang dikemukakan dalam definisi-definisi Business Judgment
Rule yang harus dipenuhi direksi. Pasal 97 ayat 5 UUPT dengan doktrin Business
Judgment Rule yang diterapkan di negara-negara di mana doktrin ini berkembang,
di antaranya Amerika Serikat dan Inggris. Kemudian baik dalam Business
Judgment Rule maupun Pasal 97 ayat 5 UUPT, keduanya dapat diterapkan hanya
dalam hal adanya kerugian. Doktrin Business Judgment Rule melindungi direksi
dalam melakukan suatu tindakan pengurusan terhadap perseroan, keputusan
direksi dan tindakannya dianggap selalu benar dan untuk membantah anggapan
itu, pihak yang tidak sependapat dengan anggapan itu harus membuktikan bahwa
direksi telah melakukan pelanggaran Fiduciary Duty sehingga merugikan
perseroan. Hal ini didasarkan pada definisi-definisi yang ada seperti diungkapkan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan diterapkannya doktrin Business
Judgment Rule, maka beban pembuktian berada pada pihak yang menyatakan
bahwa direksi telah bersalah dan bertanggung jawab atas kerugian perseroan.
Antara doktrin Business Judgment Rule dengan Pasal 97 ayat 5 UUPT
jelas terlihat bahwa perbedaan yang signifikan terdapat pada beban pembuktian,
yaitu pihak yang mana yang diwajibkan membuktikan atas adanya kerugian dalam
pengurusan perseroan oleh direksi. Mengenai pembuktian itu sendiri, KUH
Perdata Pasal 1865 menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Bunyi Pasal tersebut di atas berkaitan dengan Business Judgment Rule,
bahwa dalam hal adanya pihak yang menganggap adanya kerugian akibat
kesalahan direksi, maka pihak tersebut harus dapat membuktikan. Rumusan
pembuktian dalam KUH Perdata tersebut disimpulkan bahwa pembuktian tersebut
merupakan pembuktian untuk mendalilkan sesuatu dan bukan untuk menyangkal
sesuatu. Sedangkan Pasal 97 ayat 5 UUPT merupakan pembuktian yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan penyangkalan akan sebuah kesalahan dan tanggung jawab. Dari
keterangan-keterangan yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembuktian yang dimaksud dalam doktrin Business Judgment Rule relevan
dengan hukum pembuktian yang diatur dalam buku ke empat bab ke satu Pasal
1865 KUH Perdata.
D. Batasan-Batasan Business Judgment Rule
Business Judgment Rule merupakan penyeimbang dari doktrin Fiduciary
Duty yang menekankan pada kewajiban dan larangan kepada direksi. Doktrin
Fiduciary Duty menekankan bahwa seorang direksi dituntut standar prilaku
tertentu dan kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipenuhi, maka Business
Judgment Rule sebaliknya adalah suatu pembebasan tanggung jawab pribadi atas
segala kerugian yang terjadi akibat keputusan, tindakan dan perilaku bisnis yang
dilakukan oleh direksi. Dengan adanya Business Judgment Rule, memberikan
kelegaan kepada direksi dalam menjalankan roda kepemimpinan di perusahaan
yang berbadan hukum perseroan terbatas. Sepintas ada pertentangan antar prinsip
Fiduciary Duty dengan Business Judgment Rule, tetapi sebenarnya kedua hal
tersebut bersifat komplementer atau saling melengkapi. Seorang direksi terbebas
dari tanggung jawab direksi apabila ia dapat membuktikan diri bahwa telah
melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Fiduciary Duty, misalnya
telah melakukan duty of care, goodfaith, tidak melanggar doktrin Ultra Vires,
tidak melakukan gross neglegence dan lain sebagainya.
Business Judgment Rule merupakan pembelaan kepada para direksi karena
prinsip ini menekankan bahwa anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung
jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan
bisnis (Business Judgment Rule) oleh anggota direksi yang bersangkutan,
sekalipun apabila pertimbangan ini keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Dalam pengambilan keputusan, direksi harus menempatkan diri untuk dan
atas nama perseroan. Konsekuensi baik dan buruknya segala sesuatu yang
dibuatnya pada prinsipnya dipikul perseroan itu sendiri. Prinsip demikian berlaku
baik dalam sistem hukum di Amerika maupun didalam sistem hukum Indonesia.
Prinsip ini bukanlah suatu prinsip yang baku, karena dalam hal-hal tertentu
konsekuensi dan tindakan direktur ini harus dipikul secara pribadi oleh direktur
sendiri walaupun dalam kenyataanya ia bertindak untuk dan atas nama perseroan.
Menurut hukum di Amerika Serikat direktur akan bertanggung jawab secara
pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standart tertentu,
misalnya dengan sengaja menyalahgunakan dan menyelewengkan dana
perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Seorang direksi dapat dilindungi dalam mengambil keputusan jika tidak
ada unsur kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan informasi yang mereka
percaya didasari oleh keadaan yang tepat dan secara rasional mempercayai bahwa
keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik untuk perusahaan. Tentu saja
tidak semua keputusan dan kebijakan direksi dapat berlindung dengan alasan
pertimbangan bisnis sehingga dapat dilindungi oleh Business Judgment Rule ini.
Di Amerika serikat, ternyata pengadilan-pengadilan tidak seragam dalam
merumuskan pengecualian-pengecualian Business Judgment Rule tersebut.
Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan anggota direksi tidak
dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan tersebut didasarkan atas suatu
kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest),
atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Sementara
beberapa pengadilan lain berpendapat bahwa seorang direktur yang mengambil
alih pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi
oleh Business Judgment Rule, jika kerugian tersebut sebagai akibat kelalaian berat
(gross negligence) anggota direksi yang bersangkutan.
Doktrin Business Judgment Rule yang termuat didalam Pasal 92 ayat 1 dan
2 serta Pasal 97 ayat 5 UUPT sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya. Pasal 92 ayat 1 dan 2 berbunyi:
(1) “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
(2) “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam
batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran
dasar.”
Pasal 97 ayat 5 berbunyi:
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik lansung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.”
Pasal 97 ayat 5 UUPT yang telah disebutkan diatas merupakan suatu acuan
dan sekaligus menjadi batasan bagi direksi dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya dalam pengelolaan perseroan, sehingga dapat diketahui
Universitas Sumatera Utara
apakah direksi dapat dilindungi oleh Business Judgment Rule atau tidak. Direksi
dalam menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan,
tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko ini terkadang berada di luar
kemampuan maksimal direksi. Setiap manusia memiliki keterbatasan, guna
melindungi ketidakmampuan yang disebabkan adanya keterbatasan manusia,
maka direksi dilindungi oleh doktin Business Judgment Rule.
Doktrin Business Judgment Rule dalam sistem hukum Indonesia sebagai
doktrin dimana seorang direksi dapat dilindungi terhadap keputusannya dalam
melakukan pengelolaan perusahaan berdasarkan doktrin Business Judgment Rule.
Seorang direksi yang terbukti melanggar prinsip Fiduciary Duty, maka terhadap
pelanggaran tersebut secara otomatis tidak dapat dilindungi oleh doktrin Business
Judgment Rule, akan tetapi sepanjang dapat membuktikan sebaliknya bahwa
direksi tersebut tidak melakukan pelanggaran terhadap Fiduciary Duty maka akan
terlepas dari bentuk pertanggungjawaban.
Doktrin Business Judgment Rule pada UUPT sangat jelas dapat
memberikan perlindungan yang maksimal bagi direksi yang dianggap melanggar
prinsip Fiduciary Duty, hanya dapat dibuktikan di dalam proses persidangan,
hakimlah yang mempunyai peranan penting untuk menilai apakah tindakan yang
dilakukan oleh direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pribadi atau tidak, olehnya itu dibutuhkan suatu pemahaman yang lebih terhadap
implementasi dari Business Judgment Rule tersebut sehingga dapat berjalan sesuai
yang diharapkan.
Walaupun penerapan doktrin Business Judgment Rule masih diselimuti
dengan berbagai persoalan dan kendala sebagaimana yang telah diuraikan diatas,
tetapi harus ada pendekatan yang dilakukan agar ketentuan Pasal 97 ayat 5 UUPT
dapat diimplementasikan. Khususnya untuk usaha perbankan, akan didekati
dengan berbagai ketentuan dan kelaziman yang berlaku di dunia perbankan di
samping ketentuan UUPT itu sendiri sebagai payung hukumnya.
Universitas Sumatera Utara
Download