11 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Internet , Intranet , dan Ekstranet

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Internet , Intranet , dan Ekstranet
2.1.1. Pengertian Internet
Internet adalah jaringan fisik yang menghubungkan komputer di
seluruh dunia. Ini terdiri jika infrastruktur server jaringan dan hubungan
komunikasi antara mereka yang digunakan untuk menyimpan dan
memindahkan informasi antara personal computer(PC) client dan server
web (Chaffey, 2011, p. 98).
Internet adalah integrasi jaringan komputer di seluruh dunia pada
platform yang umum yaitu fasilitas komunikasi elektronik (Sing, 2004,
p. 30).
Internet
(“Net”)
adalah
jaringan
area
luas
yang
global
menghubungkan sekitar 1 juta jaringan komputer organisasi di lebih
dari 200 negara di semua benua, termasuk Antartika, dan fitur-fitur
dalam rutinitas harian hampir 2 miliar orang. Sistem komputer yang
berpartisipasi, disebut simpul, termasuk smart phone, PCs, LANs,
database, mainframe (Rainer Jr. dan Cegielski, 2011, p. 518).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
internet adalah suatu jaringan yang dapat menghubungkan jaringan
11
12
komputer secara global dan luas sehingga memungkinkan terjadinya
komunikasi tanpa ada batasan tempat.
2.1.2. Pengertian Intranet
Intranet adalah jaringan pribadi dalam satu perusahaan yang
menggunakan standar internet untuk memungkinkan para karyawan
untuk mengakses dan berbagi informasi dengan menggunakan
teknologi web publishing (Chaffey, 2011, p. 12).
Intranet adalah sebuah intranet ada sebuah implementasi dari
teknologi internet dalam lingkup dari sebuah jaringan internal
organisasi (Sing, 2004, p. 61).
Intranet
adalah
sebuah
jaringan
internal
perusahaan
atau
pemerintah yang menggunakan peralatan internet, seperti web browser,
dan protokol internet (Turban et al, 2012, p. 39).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
intranet adalah jaringan internet yang dimanfaatkan secara internal
dalam perusahaan dengan pemanfaatan teknologi internet.
2.1.3. Ekstranet
2.1.3.1.
Pengertian Ekstranet
Ekstranet adalah layanan yang disediakan melalui
internet dan teknologi web yang disampaikan dengan
memperluas intranet di luar perusahaan untuk pelanggan,
pemasok dan kolaborasi (Chaffey, 2011, p. 15).
Ekstranet merupakan implementasi dari teknologi
internet untuk sistem internal organisasi (Sing, 2004, p. 62).
13
Ekstranet adalah jaringan yang menggunakan internet
untuk menghubungkan beberapa intranet (Turban et al, 2012,
p. 39).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ekstranet adalah jaringan internet yang
menghubungkan
jaringan
intranet
perusahaan
dengan
jaringan intranet diluar perusahaan.
2.1.3.2.
Jenis Ekstranet
Ada tiga jenis utama dari ektranet berdasarkan
ketergantungan pada mitra bisnis yang terlibat (Rainer Jr. dan
Cegielski, 2011, p. 345) :
1.
Perusahaan dan dealer, konsumen, atau pemasok.
Jenis dari ekstranet ini adalah yang berpusat di sekitar
sebuah perusahaan tunggal.
2.
Industri ekstranet
Sama seperti perusahaan tunggal dapat mengatur
ekstranet, para pemain utama dalam industri dapat
bekerja sama untuk menciptakan sebuah ekstranet yang
akan menguntungkan semua dari mereka.
3.
Usaha patungan dan kemitraan bisnis lain.
Dalam jenis ekstranet ini, para mitra dalam usaha
patungan menggunakan ekstranet untuk pinjaman
komersial. Para mitra yang terlibat dalam membuat
pinjaman termasuk pemberi pinjaman, broker kredit,
sebuah perusahaan penampung dan perusahaan kecil.
14
2.2. E-Commerce , E-Business, dan World Wide Web
2.2.1. Pengertian E-Commerce
Electronic Commerce (e-commerce) adalah semua pertukaran
informasi melalui media elektronik antara organisasi (Chaffey, 2011, p.
10).
Electronic Commerce adalah berfokus pada pelaksanaan dasar
transaksi elektronik antara perusahaan, pelanggan, dan pemasok (Sing,
2004, p. 1).
E-commerce adalah penggunaan internet dan web untuk transaksi
bisnis. Lebih formalnya, secara digital memungkinkan terjadinya
transaksi komersial antara organisasi dan individu (Laudon dan Traver,
2012, p. 49).
Electronic commerce (EC) adalah proses pembelian, penjualan,
transfer, atau pertukaran produk, layanan, dan / atau informasi melalui
jaringan komputer, termasuk internet (Turban et al., 2008, p. 4).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa e-commerce adalah proses jual – beli yang dilakukan secara
digital melalui jaringan internet.
2.2.1.1. Jenis E-Commerce
Menurut Laudon dan Traver (2012, pp. 58-60) ada
lima jenis dari E-Commerce yaitu :
1.
Business-to-Consumer (B2C) E-Commerce
Business-to-Consumer (B2C) adalah bisnis online yang
menjual ke konsumen individu.
2.
Business-to-Business (B2B) E-Commerce
15
Business-to-Business (B2B) adalah bisnis online yang
menjual ke dinis lain(perusahaan dengan perusahaan).
3.
Consumer-to-Consumer (C2C) E-Commerce
Consumer-to-Consumer (C2C) adalah transaksi yang
terjadi dimana kosumen menjual ke konsumen lain.
4.
Peer-to-Peer (P2P) E-Commerce
Dalam e-commerce penggunaan teknologi peer to peer
yang memungkinkan pengguna internet untuk berbagi file
dan sumber daya computer secara langsung tanpa harus
melalui pusat server web.
5.
Mobile Commerce (M-Commerce)
Mobile Commerce (M-Commerce) adalah penggunaan
perangkat
digital
nirkabel
untuk
memungkinkan
melakukan transaksi di web.
Menurut Turban et al. (2012, pp. 42-43) jenis-jenis ecommerce meliputi :
1.
Business-to-Business (B2B)
Model e-Commerce di mana semua peserta adalah bisnis
atau organisasi lainnya.
2.
Business-to-Consumer (B2C)
Model e-Commerce di mana perusahaan menjual kepada
pembeli individu.
3.
E-Tailing
Ritel online, biasanya B2C.
4.
Business-to-Business-to-Consumer(B2B2C)
16
Model e-Commerce di mana bisnis menyediakan beberapa
produk
atau
jasa
kepada
klien
bisnis
yang
mempertahankan pelanggan sendiri.
5.
Consumer-to-Business (C2B)
Model e-Commerce di mana individu menggunakan
internet untuk menjual produk atau jasa kepada organisasi
atau individu yang mencari penjual yang menawarkan
produk atau jasa yang mereka butuhkan.
6.
Intrabusiness EC
Kategori e-Commerce yang mencakup semua kegiatan
internal organisasi yang melibatkan pertukaran barang dan
jasa atau informasi diantara berbagai unit dan individu
dalam sebuah organisasi.
7.
Business-to-Employees(B2E)
Model
e-Commerce
di
mana
sebuah
organisasi
memberikan layanan, informasi, atau produk kepada
karyawan.
8.
Consumer-to-Consumer (C2C)
Model e-Commerce dimana konsumen menjual langsung
kepada konsumen lain.
9.
Collaborative Commerce
Model e-Commerce dimana individual atau kelompok
berkomunikasi
atau
berkolaborasi
secara
online.
17
10. E-Government
Model e-Commerce dimana sebuah badan pemerintah
membeli atau menyediakan barang, jasa, atau informasi
dari atau ke bisnis atau warga negaranya.
2.2.1.2. Dimensi of electronic commerce
Menurut Turban et al. (2012, pp. 38-39) dimensi dari
electronic commerce adalah :
1.
Brick-and-Mortar (old economy) organization
Organisasi ekonomi lama (perusahaan) yang melakukan
secara offline bisnis utama mereka, menjual produk fisik
melalui agen fisik.
2.
Virtual (pure play) organizations
Organisasi yang melakukan kegiatan bisnis mereka
sepenuhnya secara online
3.
Click-and-Mortar (click-and-brick) organization
Organisasi
Commerce,
yang
melakukan
biasanya
beberapa
sebagai
kegiatan
tambahan
e-
saluran
pemasaran.
2.2.1.3. A Framework for Electronic Commerce
Menurut Turban et al. (2012, pp. 41-42) framework eCommerce terdiri dari :
18
1.
People
Penjual, pembeli, perantara, sistem informasi dan spesialis
teknologi, karyawan lain, dan setiap peserta lain yang
meliputi area pendukung yang penting.
2.
Public Policy
Hukum dan kebijakan lainnya dan masalah peraturan,
seperti perlindungan privasi dan perpajakan,
yang
ditentukan oleh pemerintah. Termasuk sebagai bagian dari
kebijakan umum adalah masalah dalam standar teknis
yang ditetapkan oleh pemerintah dan / atau mandat
industri dalam pembuatan kebijakan kelompok. Kepatuhan
terhadap peraturan merupakan masalah penting.
3.
Marketing and Advertising
Seperti bisnis lainnya. Elektronik Commerce biasanya
membutuhkan dukungan pemasaran dan periklanan. Hal
ini penting dalam transaksi online B2C, dimana pembeli
dan penjual biasanya tidak mengenal satu sama lain.
4.
Support Services
Banyak layanan yang diperlukan untuk mendukung ecommerce. Ini meliputi dari pembuatan konten untuk
pembayaran untuk pengiriman pesanan.
5.
Business Partnerships
Usaha patungan, pertukaran, dan lemitraan bisnis dari
berbagai jenis yang umum di e-Commerce. Ini sering
terjadi di seluruh rantai pasokan.
19
2.2.2. Pengertian E-Business
Electronic business (e-business) adalah semua pertukaran informasi
melalui media elektronik antara organisasi dan stakeholder (Chaffey,
2011, p. 12).
Electronic Business meliputi semua aspek perdagangan elektronik
baik proses front atau back office yang diperlukan untuk melayani
transaksi bisnis. Ini termasuk integrasi aplikasi perusahaan, proses
bisnis, dan struktur organisasi sebagai bagian dari strategi perusahaan
untuk mencapai tujuan bisnis (Sing, 2004, p. 2).
E-business adalah memungkinkan transaksi dan proses dalam
sebuah perusahaan secara digital, melibatkan sistem informasi di bawah
kendali perusahaan (Laudon dan Traver, 2012, p. 49).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
e-business adalah proses pertukaran informasi yang melibatkan bagian
front office dan bagian back office yang tidak hanya mencakup proses
jual – beli namun semua aktifitas yang berkaitan dengan bisnis dengan
menggunakan media elektronik.
2.2.3. Pengertian World Wide Web
World Wide Web adalah layanan yang paling populer yang ada di
internet, menyediakan akses yang mudah ke halaman web (Laudon dan
Traver, 2012, p. 60).
World Wide Web (the web, WWW, or W3) adalah sebuah standar
sistem universal yang diterima untuk penyimpanan, pengambilan,
pemformatan dan menampilkan informasi melalui arsitektur klien /
server. Web menangani semua jenis informasi digital, termasuk teks,
20
hypermedia, grafik, dan suara. Ini menggunakan grafis user interface,
sehingga sangat mudah dinavigasi (Rainer Jr. dan Cegielski, 2011, p.
522).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
world wide web adalah
layanan yang digunakan dalam teknologi
internet yang digunakan untuk mengakses ke halaman web sehingga
pengguna dapat mengakses informasi dengan mudah.
2.3.
Supply Chain
2.3.1. Pengertian Supply Chain
Supply Chain adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang
secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan
suatu produk ke tangan pemakai akhir. Perusahaan-perusahaan
tersebut biasanya termasuk pemasok , pabrik ,distributor , toko atau
ritel , serta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa
logistik” (Pujawan, 2005, p. 5).
Supply Chain mengacu pada proses yang menggerakan
informasi dan material ke dan dari proses manufaktur dan jasa di
perusahaan. Ini termasuk proses logistik yang secara fisik dalam
memindahkan dan pergudangan dan proses penyimpanan
produk
sehingga dapat dengan cepat dikirimkan ke pelanggan (Jacobs dan
Chase, 2011, p. 42).
Supply Chain adalah aliran material, informasi, uang, dan jasa
dari pemasok bahan baku melalui pabrik dan gudang ke konsumen
akhir (Turban et al., 2008, p. 307).
21
Supply Chain mengacu pada aliran material, informasi, uang,
dan jasa dari pemasok bahan baku, melalui pabrik dan gudang, ke
pelanggan akhir. Sebuah supply chain juga mencakup organisasi dan
proses yang menghasilkan dan mengirimkan produk, informasi, dan
layanan untuk konsumen akhir (Rainer Jr. dan Cegielski, 2011, p.
334).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa supply chain
adalah proses dimana setiap jaringan yang
terdapat dalam perusahaan saling bekerja sama agar alliran infotmasi,
produk dan layanan dapat sampai ke konsumen akhir.
2.3.2. Komponen Supply Chain
Menurut Turban et al., (2008, p. 308) , Supply Chain terbagi
menjadi 3 komponen utama yaitu :
1.
Upstream supply chain
Bagian hulu dari rantai pasokan meliputi kegiatan perusahaan
dengan pemasoknya (memproduksi, merkait atau keduanya atau
penyedia layanan) dan mereka terhubung dengan pemasok
(tingkatan kedua). Hubungan pemasok dapat diperpanjang ke kiri
dalam beberapa tingkatan, semua jalan menuju asal usul material.
Dalam upstream supply chain, kegiatan utama adalah pengadaan.
2.
Internal supply chain
Bagian internal dari rantai pasokan yang mencakup semua proses
in-house yang digunakan dalam mengubah input yang diterima
dari pemasok menjadi output dari organisasi. Proses ini luas
dimulai dari waktu dari input masuk ke dalam perusahaan ke
22
waktu dari produk masuk ke distribusi ke luar dari organisasi.
Dalam hal ini bagian dari supply chain, perhatian utama adalah
manajemen produksi, manufaktur, dan pengendalian persediaan.
3.
Downstream supply chain
Bagian hilir dari rantai pasokan mencakup semua kegiatan yang
terlibat dalam memberikan produk kepada pelanggan akhir.
Dalam downstream supply chain, perhatian diarahkan pada
distribusi, pergudangan, transportasi, dan layanan purna jual.
Menurut Rainer Jr. dan Cegielski (2011, p. 334) ada tiga
komponen dalam supply chain:
1.
Upstream
Dimana sumber atau pengadaan dari pemasok eksternal terjadi. Di
segmen ini, manajer supply chain (SC) memilih pemasok untuk
mengantarkan barang dan jasa perusahaan butuhkan untuk
menghasilkan produk atau jasa mereka. Selanjutnya manajer SC
mengembangkan harga, pengiriman, dan proses untuk mengelola
persediaan, menerima dan memverifikasi pengiriman, mentransfer
barang ke fasilitas manufaktur dan otorisasi pembayaran kepada
pemasok.
2.
Internal
Dimana pengemasan, perakitan, atau produski terjadi. Manajer
SC menjadwalkan kegiatan yang diperlukan untuk produksi,
pengujian, pengemasan, dan mempersiapkan produk untuk
pengiriman. Manajer SC juga memantau tingkat kualitas, hasil
produksi dan produktivitas pekerja.
23
3.
Downstream
Dimana distribusi berlangsung, sering kali oleh distributor
eksternal. Di segmen ini, manajer SC mengkoordinasikan
penerimaan pesanan dari pelanggan, mengembangkan jaringan
pergudangan, memilih pembawa untuk mengantarkan produk
mereka ke konsumen dan mengembangkan sistem penagihan
untuk menerima pembayaran dari konsumen.
2.3.3. Tipe Supply Chain Berdasarkan Decoupling Point
Menurut Pujawan (2005, p. 37) Decoupling Point adalah titik
temu sampai di mana suatu kegiatan
bisa dilakukan atas dasar
ramalan (tanpa harus menunggu permintaan dari pelanggan) dan dari
mana kegiatan harus ditunggu sampai ada permintaan yang pasti.
Istilah lain dari decoupling point adalah order penetration point
(OPP). Istilah decoupling point merupakan istilah yang jarang
digunakan untuk suatu sistem produksi, namun karena ada kesamaan
analogi dapat kita gunakan untuk memahami order penetration point
supply chain.
Menurut Pujawan (2005, p. 39) secara umum, terdapat empat
macam posisi decoupling point pada supply chain dalam merespon
permintaan pelanggan:
1.
Make-to-Stock (MTS)
MTS adalah sistem dimana decoupling berada pada proses
terakhir, yaitu pada pengiriman ke pelanggan. Produk akhir dibuat
berdasarkan ramalan. Hanya kegiatan pengiriman yang dilakukan
setelah ada pesanan dari pelanggan. Efisiensi fisik menjadi fokus
24
dalam pengelolaanya. MTS cocok untuk produk yang variasinya
sedikit dan ketidakpastian permintaannya relative rendah. Aspek
kunci dalam mengelola supply chain yang beroperasi pada
lingkungan MTS adalah penentuan berapa persediaan produk
akhir yang harus disimpan dan bagaimana mekanisme pengiriman
produk jadi ke suatu lokasi pemasaran. Keseimbangan antara
tingkat layanan pelanggan dan banyaknya persediaan produk juga
menjadi hal penting yang harus ditentukan pada supply chain
yang beroperasi dengan sistem MTS.
2.
Assemble-to-Order (ATO)
ATO adalah sistem dimana hanya kegiatan perakitan yang
menungu pesanan dari pelanggan, sedangkan kegiatan fabrikasi
komponen atas dasar peramalan. ATO cocok diterapkan pada
sistem yang memproduksi banyak variasi produk dengan
kesamaan antara komponen dari tiap produk yang cukup tinggi.
Jadi, decouple point ditempatkan setelah proses fabrikasi atau
diawal proses perakitan yang berarti bahwa persediaan akan
disimpan dalam bentuk komponen siap rakit. Aspek kunci dalam
mengelola supply chain yang beroperasi pada lingkungan ATO
adalah lamanya proses perakitan setelah ada pesanan dari
pelanggan dan jumlah variasi produk yang dapat ditawarkan ke
pelanggan Kecepatan perusahaan dalam memenuhi pesanan
pelanggan sangat ditentukan oleh lead time perakitan.
3.
Make-to-Order (MTO)
25
MTO adalah
sistem dimana kegiatan fabrikasi tidak bisa
dikerjakan tanpa menunggu pesanan dari pelanggan karena setiap
pesanan memiliki variabilitas yang tinggi dan berbeda – beda.
Untuk mengatasi masalah variabilitas ini perusahaan harus
memproduksi pesanan pelanggan setelah pelanggan melakukan
pesanan. Usaha perusahaan untuk menyiapkan produk sebelum
adanya pesanan dari pelanggan dianggap memiliki biaya yang
mahal dan resiko yang tinggi. Aspek kunci dalam mengelola
supplu chain yang beroperasi pada lingkungan MTO adalah
kecepatan perusahaan dalam menerima, menterjemahkan, dan
memproses pesanan dari pelanggan sehingga produksi dapat
berjalan secepat mungkin.
4.
Engineer-to-Order (ETO)
ETO adalah sistem dimana perancangan produk baru diakukan
setelah ada pesanan dari pelanggan. Model ini cocok digunakan
bila setiap pelanggan memerlukan produk dengan rancangan yang
spesifik. Rancangan spesifik ini nantinya akan berimplikasi pada
kebutuhan material dan urutan proses yang berbeda untuik tiap
produk. Aspek kunci dalam mengelola supply chain yang
beroperasi pada lingkungan ETO adalah kesepakatan waktu dan
rancangan produksi antara perusahaan dan pelanggan serta
fleksibilitas dari bagian produksi dan perancangan untuk dapat
menyerap permintaan dari pelanggan yang berbeda – beda.
26
2.3.4. Arus dalam Supply Chain
Menurut Rainer Jr. dan Cegielski (2011, pp. 334-335) ada tiga
aliran dalam supply chain :
1.
Materials
Aliran material meliputi produk fisik bahan baku, pasokan, dan
lain sebagainya yang mengalir di sepanjang rantai. Aliran material
juga termasuk arus terbalik (pengembalian logistik) - produk
yang dikembalikan, daur ulang produk, dan pembuangan material
atau produk. Jadi sebuah rantai pasokan melibatkan pendekatan
siklus hidup produk, dari “dirt to dust”.
2.
Information
Aliran informasi terdiri dari data yang terkait dengan permintaan,
pengiriman, pesanan, pengembalian, dan jadwal, serta perubahan
dalam salah satu dari data.
3.
Financial
Aliran keungan melibatkan transfer uang, pembayaran, informasi
kartu kredit dan otorisasi, jadwal pembayaran, e-payments, dan
data kredit yang terkait.
2.3.5. Tantangan dalam Supply Chain
Menurut Pujawan (2005, pp. 17-18) ada beberapa tantangan
yang harus dihadapi dalam mengelola supply chain :
1.
Kompleksitas struktur supply chain
Suatu supply chain biasanya sangat kompleks, melibatkan banyak
pihak di dalam maupun di luar perusahaan. Pihak-pihak tersebut
sering kali memiliki kepentignan yang berbeda-beda, bahkan
27
tidak jarang bertentangan (conflicting) antara yang satu dengan
yang lainnya. Di dalam perusahaan sendiripun perbedaan
kepentingan ini sering muncul. Konflik antar bagian ini
merupakan satu tantangan besar dalam mengelola sebuah supply
chain. Kompleksitas suatu supply chain juga dipengaruhi oleh
perbedaan bahasa, zone waktu, dan budaya antara satu perusahaan
bahkan dengan perusahaan lain.
2.
Ketidakpastian
Ketidakpastiaan merupakan sumber utama kesulitan pengelolaan
suatu
supply
chain.
Ketidakpastiaan
menimbulkan
ketidakpercayaan diri terhadap rencana yang sudah dibuat.
Sebagai akibatnya, perusahaan sering menciptakan pengaman di
sepanjang supply chain. Pengaman ini bisa berupa persediaan
(Safety stock), waktu (safety time), ataupun kapasitas produksi
maupun transportasi. Di sisi lain ketidakpastiaan sering
menyebabkan janji tidak bisa terpenuhi. Dengan kata lain,
customer service level akan lebih rendah pada situasi dimana
ketidakpastian cukup tinggi. Berdasarkan sumbernya ada tiga
klasifikasi utama ketidakpastian pada supply chain. Pertama
adalah Ketidakpastian permintaan. Ketidakpastian permintaan
dari konsumen akan menyebabkan ketidakpastian distributor,
semakin ke hulu, maka tingkat ketidakpastian permintaan akan
semakin meningkat. Peningkatan ketidakpastian atau variasi
permintaan dari hilir ke hulu pada suatu supply chain dinamakan
bullwhip effect. Ketidakpastian kedua berasal dari arah pemasok.
28
Hal ini bisa berupa ketidakpastian pada leadtime pengiriman,
harga bahan baku, atau komponen, ketidakpastian kualitas, serta
kuantitas material yang dikirim. Sedangkan sumber yang ketiga
adalah ketidakpastian internal yang bisa diakibatkan oleh
kerusakan
mesin,
kinerja
mesin
yang
tidak
sempurna,
ketidakhadiran tenaga kerja, serta ketidakpastian waktu maupun
kualitas produksi. Besarnya ketidakpastian yang dihadapi
berbeda-beda.
2.4.
Supply Chain Management
2.4.1. Pengertian Supply Chain Management
Supply
Chain
Management
adalah
mengelola
dan
menyelaraskan entitas, proses dan kegiatan untuk memproduksi
produk dan jasa bagi pelanggan (Sing, 2004, p. 4).
Supply Chain Management adalah ide central dari manajemen
rantai pasokan untuk mengelola arus informasi, bahan, dan jasa dari
pemasok bahan baku melalui pabrik dan gudang ke konsumen akhir
(Jacobs dan Chase, 2011, p. 52).
Supply Chain Management adalah seperangkat pendekatan
yang digunakan untuk efisiensi dalam mengintegrasikan pemasok,
manufakturm, gudang, dan toko sehingga barang yang diproduksi dan
didistribusikan pada jumlah yang tepat, lokasi yang tepat dan pada
waktu yang tepat untuk meminimalkan biaya seluruh sistem ketika
tingkat pelayan yang memuaskan (levi, Kaminsky, dan levi, 2004, p.
2).
29
Supply Chain Managament (SCM) adalah suatu proses yang
kompleks yang memerlukan koordinasi banyak kegiatan sehingga
pengiriman barang dan jasa dari pemasok sampai ke pelanggan
dilakukan secar efisien dan efektif bagi semua pihak yang terkait
(Turban et al., 2008, p. 308).
Supply Chain Management (SCM) adalah segala upaya yang
terlibat dalam proses kewirausahaan yang berbeda yang menciptakan
nilai dalam bentuk produk dan jasa untuk konsumen akhir (Salgado
Junior, Novi, Pacagnella Junior, dan Borges de Oliveira, 2011).
Supply Chain Management adalah metode atau pendekatan
integratif untuk mengelola alur produdan,informasi,dan mata uang
yang terintegrasi dari upstream sampai downstream yang mencakup
supplier, pabrik, dan jaringan distribusi serta pelayanan persediaan.
(Haryanto & Sarjono, p. 2)
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa supply chain management adalah suatu proses yang kompleks
yang digunakan untuk mengelola dan mengkoordinasi semua kegiatan
yang terdapat dalam supply chain dapat berjalan secara efesien dan
efektif sesuai dengan fungsi dari supply chain management yaitu
merencanakan, mengatur, dan dan mengkoordinasikan semua
kegiatan rantai pasokan (Jafarnejad & Safari).
2.4.2. Tujuan Supply Chain Management
Tujuan dari manajemen rantai pasokan adalah menjadi efisien
dan biaya yang efektif di seluruh sistem ; total biaya seluruh sistem,
dari transportasi dan distribusi untuk persediaan bahan baku, barang
30
dalam proses, dan barang jadi, harus diminimalkan (levi et al., 2004,
p. 2).
Supply Chain Management bertujuan untuk meminimalkan
tingkat persediaan, mengoptimalkan produksi dan meningkatkan
output, mengurangi waktu manufaktur, mengoptimalkan logistik dan
distribusi,
merampingkan
pemenuhan
pesanan,
dan
secara
keseluruhan mengurangi biaya yang berkaitan dengan kegiatan ini
(Turban et al., 2008, p. 308).
Tujuan
dari
supply
chain
management adalah
untuk
menciptakan jaringan yang cepat, efisien, dan jaringan dari hubungan
bisnis atau rantai pasokan, untuk mendapatkan produk perusahaan
dari konsep ke pasar (O'Brien dan Marakas, 2009, p. 319).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan dari supply chain management adalah menciptakan
suatu jaringan supply chain yang efisien dan efektif sehingga dapat
meningkatkan kinerja pada jaringan supply chain.
2.4.3. Element Supply Chain Management
Menurut Wisher et al., (2012, p. 15) elemen fondasi dari
supply chain management adalah :
1.
Supply Elements
Strategi pembelian tradisional menekankan banyak pemasok,
penawaran kompetitif dan kontrak jangka pendek. Hal ini sering
dibuat berlawanan hubungan pembeli-pemasok dengan fokus
utama pada harga pembelian produk bukan kemampuan pemasok
dan bagaimana mereka dapat berkontribusi untuk daya saing
31
jangka panjang dari organisasi pembelian. Manajemen pasokan
yang efektif umumnya menghasilkan dasar pasokan yang kecil
dan pengembangan lebih hubungan jangka panjang dengan
pemasok untuk mencapai manfaat kompetitif. Pembelian dan
konsep strategis dari manajemen pasokan adalah salah satu
fondasi dari manajemen rantai pasokan, karena kualitas bahan
yang masuk, waktu pengirimanm dan harga beli yang dipengaruhi
oleh hubungan pembeli-pemasok dan kemampuan dari pemasok.
2.
Operation Elements
Setelah bahan, komponen dan produk yang dibeli dikirimkan ke
organisasi pembeli, sejumlah elemen operasi internal menjadi
penting dalam perakitan atau memproses bahan menjadi produk
jadi, memastikan bahwa jumlah yang tepat dari produk yang
dihasilkan dan produk jadi memenuhi kualitas tertentu, biaya dan
ketentuan layanan konsumen. Setelah manajemen rantai pasokan,
manajemen operasi dianggap sebagai fondasi kedua dalam
manajemen rantai pasokan.
3.
Logistic Elements
Ketika produk selesai, mereka dikirim ke pelanggan melalui
sejumlah jenis transportasi yang berbeda. Pengiriman produk ke
konsumen di waktu, kualitas dan jumlah yang tepat membutuhkan
perencanaan tingkat tinggi diantara perusahaan, konsumen dan
berbagai elemen logistik atau layanan yang digunakan (seperti
transportasi,
pergudangan
dan
break
bull
atau
layanan
pengemasan ulang). Untuk layanan, produk yang diproduksi dan
32
dikirim ke konsumen secara bersamaan dalam banyak kasus,
sehingga layanan sangat bergantung pada kapasitas server dan
layanan yang sukses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Logistik adalah fondasi ketiga dari manajemen rantai pasokan.
4.
Integration Elements
Fondasi akhir adalah mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
proses antara fokus perusahaan dan mitra kunci rantai pasokan.
Proses dalam sebuah rantai pasokan dikatakan terintegrasi ketika
anggota dari rantai pasokan bekerja sama untuk membuat
keputusan pembelian, produksi, kualitas, dan logistik yang
berdampak pada keuntungan dari rantai pasokan. Jika salah satu
kegiatan utama gagal untuk yang dilakukan dengan buruk, maka
arus barang yang bergerak sepanjang rantai pasokan akan
terganggu, akan membahayakan efektivitas dan seluruh rantai
pasokan. Proses integrasi rantai pasokan yang berhasil terjadi
ketika para partisipan sadar bahwa manajemen rantai pasokan
yang efektif harus menjadi bagian dari proses perencanaan
strategis setiap anggota, dimana tujuan dan kebijakan secara
bersama-sama ditentukan berdasarkan kebutuhan konsumen akhir
butuhkan dan secara keseluruhan apa yang rantai pasokan bisa
lakukan untuk mereka.
2.4.4. Pengerak Supply Chain Management
Menurutn Chopra dan Meindhl (2007, p. 44) ada empat faktor
utama yang menjadi penggerak utama yang menjadi penggerak utama
SCM dan penentu performa dari SCM, yaitu :
33
1.
Fasilitas
Fasilitas adalah lokasi fisik dalam jaringan supply chain yang
menjadi tempat untuk perakitan, penyimpanan, ataupun produksi.
Fasilitas yang dikelompokkan menjadi fasilitas produksi dan
fasilitas penyimpanan. Beberapa komponen fasilitas yang harus
dipertimbangka antara lain peranan, lokasi dan kapasitas.
2.
Persediaan
Persediaan terdiri dari persediaan bahan baku, bahan setengah
jadi, dan bahan jadi. Persediaan timbul karena adanya perbedaan
antara penawaran dan pemintaan. Beberapa komponen persediaan
yang harus dipertimbangkan antara lain :
- Cycle Inventory
Jumlah rata – rata persediaan yang diperlukan untuk
memenuhi permintaan selama menunggu pengiriman dari
pemasok.
- Safety Inventory
Persediaan untuk mengantisipasi permintaan yang berlebih.
- Seasonal Inventory
Persediaan untuk mengantisipasi variasi permintaan musiman.
3.
Sourcing
Proses bisnis yang diperlukan untuk mendapatkan barang ataupun
jasa yang diperlukan perusahaan. Perusahaan dalam supply chain
dapat memperoleh keuntungan kompetitif dengan memilih dan
menjalin hubungan erat dengan pemasok terpilih melalui kontrak
jangka panjang.
34
4.
Transportasi
Transportasi berfingsi untuk memindahkan produk antara tahap
satu ke tahap lain di sepanjang supply chain. Beberapa komponen
transportasi yang harus dipertimbangkan antara lain pemilian rute
dan jenis transportasi yang tepat.
5.
Informasi
Informasi adalah penghubung antara berbagai tahapan – tahapan
yang ada dalam supply chain. Beberapa komponen informasi
yang harus dipertimbangkan antara lain:
- Push versus Pull, informasi untuk proses push umumnya
berupa perencanaan kebutuhan bahan baku dari rencana
produksi, sementara untuk proses pull umumnya berupa
permintaan actual yang diinformasikan dengan cepat.
- Koordinasi dan pembagian informasi, bagaimana cara
informasi dapat dikelola agar koordinasi di sepanjang supply
chain menjadi baik.
- Peramalan dan perencanaan agregat, melakukan peramalan
akan keadaan di masa depan, dan melakukan perencanaan dari
peramalan yang dibuat.
- Manajemen harga dan pendapatan , menentukan tingkat harga
yang sesuai dengan keadaan yang ada.
- Teknologi pendukung menentukan penerapan teknoloi yang
mendukung aliran dan pengelolaan informasi di sepanjang
supply chain.
35
2.4.5. Model Supply Chain Management
Menurut levi et al., (2004, pp. 42-44) model dari supply chain
ada tiga macam :
1.
Push-Based Supply Chain
Dalam rantai pasokan berbasis dorongan, keputusan produksi dan
distribusi didasarkan pada peramalan jangka panjang. Biasanya,
produksi berdasarkan peramalan permintaan atas penerimaan
pesanan dari gudang pengecer. Oleh karena itu membutuhkan
waktu lebih lama untuk rantai pasokan berbasis dorongan untuk
bereaksi terhadap perubahan pasar, yang dapat mengakibatkan :
- Ketidakmampuan untuk memenuhi pola perubahan permintaan
- Keusangan persediaan rantai pasokan karena permintaan untuk
produk tertentu menghilang.
2.
Pull-Based Supply Chain
Dalam rantai pasokan berbasis tarikan, produksi dan distribusi
adalah
pendorong
permintaan
yang
terkoordinasi
dengan
permintaan konsumen yang sebenarnya dibandingkan dengan
peramalan permintaan. Dalam sistem tarik murni, perusahaan
tidak memiliki persediaan apapun dan anya merespon pesanan
khusus. Hal ini dimungkinkan oleh mekanisme arus informasi
yang cepat yang mentransfer informasi tentang permintaan
pelanggan kepada berbagai peserta rantai pasokan. Sistem tarik
secara intuitif aktraktif karena mengakibatkan :
36
- Mengurangi waktu pengiriman dicapai melalui kemampuan
untuk lebih mengantisipasi pesanan yang masuk melalui
pengecer.
- Mengurangi persediaan di pengecer karena tingkat persediaan
pada fasilitas ini meningkat seiring dengan waktu pengiriman.
- Mengurangi
keragaman
keragaman
yang
dalam
dihadapi
sistem
oleh
dan
produksi
khususnya
akibat
dari
pengurangan waktu pengiriman.
- Penurunan persediaan di pabrik akibat penurunan keragaman.
3. Push-Pull Supply Chain
Dalam rantai pasokan dorongan-tarikan, beberapa tahapan dari
rantai pasokan, biasanya pada tahap awal, yang dioperasikan
dengan
cara
berbasis dorongan,
sedangkan
tahap
sisanya
menggunakan strategi berbasis tarikan. Interface antara tahapan
berbasis dorongan dan tahap berbasis tarikan dikenal sebagai
perbatasan dorongan-tarikan.
2.4.6. Tantangan dalam Supply Chain Management
Menurut levi et al., (2004, p. 3) ada 2 tantangan dalam supply
chain management :
1. Ini adalah tantangan untuk medesain dan mengoperasikan rantai
pasokan sehingga total biaya seluruh sistem dapat diminimalkan
dan tingkat layanan seluruh sistem dapat dipelihara, kesulitan
meningkat secara eksponensial ketika seluruh sistem sedang
dipertimbangkan. Proses menemukan strategi seluruh sistem yang
terbaik dikenal sebagai optimasi global.
37
2. Ketidakpastian yang melekat dalam setiap rantai pasokan;
permintaan pelanggan tidak dapat diramalkan dengan tepat, tidak
pernah yakin akan waktu perjalanan, dan mesin dan kendaraan
akan rusak. Rantai pasokan harus didesain untuk menghilangkan
ketidakpastian semaksimal mungkin dan untuk menangani secara
efektif ketidakpastian yang tersisa.
2.5.
E-Supply Chain Management
2.5.1. Pengertian E-Supply Chain Management
E-Supply Chain Management adalah penggunaan teknologi
kolaboratif untuk meningkatkan operasi dari kegiatan rantai pasokan
serta manajemen rantai pasokan (Turban et al., 2008, p. 309).
E-Supply Chain Management adalah filosofi manajemen
strategis dan taktis yang bertujuan untuk menghubungkan secara
kolektif kapasitas produksi dan sumber daya yang ada dalam suatu
jaringan supply chain dengan mengaplikasikan teknologi internet
untuk menemukan solusi inovatif dan sinkronisasi kemampuan supply
chain dalam menyediakan nilai yang unik bagi pelanggan (Ross,
2003, p. 18).
E-Supply Chain Management mengacu pada dampak bahwa
internet memiliki pada integrasi proses bisnis utama dari pengguna
akhir melalui pemasok asli yang menyediakan produk, jasa, dan
informasi yang menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholder
lainnya (Gimenez Thomsen dan R. Lourenco, 2004).
Jadi dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa e-Supply Chain Management adalah penggunaan teknologi
38
untuk menciptaka kolaborasi bisnis sehingga mennemukan solusi
inovatif dan sinkronisasi kemampuan supply chain
yang dapat
menyediakan nilai bagi pelanggan.
2.5.2. Infrastruktur untuk E-Supply Chain Management
Menurut Turban et al., (2008, p. 311) Aktivitas kunci
dijelaskan dengan menggunakan berbagai infrastruktur dan alat-alat.
Berikut ini adalah unsur-unsur infrastruktur utama dan alat-alat dari eSupply Chain:
a.
Electronic Data Interchange .
EDI adalah alat utama yang digunakan oleh perusahaan besar
untuk memfasilitasi hubungan rantai pasokan. Banyak perusahaan
beralih dari internal EDI ke internet berbasis EDI.
b.
Extranets
Tujuan utama mereka adalah untuk mendukung komunikasi dan
kolaborasi antar organisasi.
c.
Intranets
Ini adalah jaringan internal perusahaan untuk berkomunikasi dan
berkolaborasi.
d.
Corporate Portals
Ini menyediakan sebuah gateway untuk kolaborasi eksternal dan
internal.
e.
Workflow system and tools
Ini adalah sistem yang mengelola arus informasi di dalam
organisasi.
f.
Groupware and other collaborative tools
39
Sejumlah besar alat-alat memfasilitasi kolaborasi dan komunikasi
antara dua pihak dan antara anggota kecil maupun kelompok
besar.
2.5.3. Kunci Sukses e-Supply Chain Management
Menurut Turban et al., (2008, p. 309) kesusksesan suatu esupply chain management tergantung pada:
1.
Kemampuan semua mitra rantai pasokan untuk melihat mitra
kolaborasi sebagai aset strategis.
Ini adalah integrasi yang erat dan kepercayaan antara mitra
dagang yang menghasilkan kecepatan, ketangkasan, dan biaya
yang rendah.
2.
Strategi rantai pasokan yang didefinikan dengan baik
Ini termasuk pemahaman yang jelas tentang kekuatan dan
kelemahan yang ada, perencanaan artikulasi terdefinisi dengan
baik untuk perbaikan, dan membangun tujuan lintas organisasi
untuk kinerja rantai pasokan. Komitmen eksekutif senior sangat
penting dan harus tercermin melalui alokasi yang tepat dari
sumber daya dan penetapan prioritas.
3.
Visibilitas informasi sepanjang seluruh rantai pasokan.
Informasi tentang persediaan pada berbagai bagian dari rantai,
permintaan produk, perencanaan dan pengaktifan kapaitas,
sinkronisasi dari aliran material, waktu pengiriman, dan informasi
relevan lainnya harus dapat dilihat oleh semua anggota dari rantai
pasokan pada waktu tertentu. Oleh karena itu, informasi harus
40
dikelola secara baik dengan kebijakan yang ketat, disiplin, dan
pengawasan sehari-hari.
4.
Kecepatan, biaya, kualitas, dan layanan konsumen.
Ini adalah metrik dimana rantai pasokan diukur. Konsekuensinya,
perusahaan harus bisa menetapkan pengukuran untuk masingmasing dari keempat metrik, bersama-sama dengan tingkat target
yang harus dicapai. Tingkat target harus menarik bagi mitra
bisnis.
5.
Mengintegrasikan rantai pasokan yang lebih erat.
Sebuah e-supply chain akan mendapatkan keuntungan dari
integrasi yang lebih kuat, baik di dalam perusahaan dan seluruh
perluasan perusahaan terdiri dari pemasok, mitra dagang,
penyedia logistik, dan saluran distribusi.
2.5.4. Keuntungan e-Supply Chain Management
Menurut Pujawan (2005, pp. 258-260) beberapa manfaat dari
e-Supply Chain Management :
1.
Menurunkan biaya.
2.
Memperoleh akses pasar.
3.
Gerakan mencegah kompetitor (pre-emption of competition).
4.
Mencari aset strategis.
5.
Rasionalisasi untuk meningkatkan efisiensi.
2.5.5. Preliminary Steps
Menurut Ross (2003, p. 131) dalam mencapai penentuan
keputusan strategi e-Supply Chain Management (e-SCM), ada 5
tahapan yaitu :
41
1.
Energize the Organization
Agar perusahaan siap dalam menerima e-SCM maka perusahaan
harus memperoleh dukungan dari manajemen puncak selaku
pelopor dalam perubahan. Manajemen puncak harus memperoleh
pendidikan dasar tentang supply chain management dan eBusiness. Setelah itu manajemen puncak harus menjadi sponsor
dalam
usaha
pengembangan
strategi
e-Supply
Chain
Management. Selain itu mereka juga harus memastikan bahwa
strategi e-Business terintegrasi baik degan supply chain
perusahaan dan merancang infrastruktur serta pengembangan
anggaran untuk implementasi e-SCM. Setelah adanya dukungan
dari manajemen puncak, langkah selanjutnya adalah manajemen
puncak harus menyemangati dan mengintegrasikan sumber daya
manusia perusahaan dengan e-SCM. Agar semua pihak yang
terkait dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan
dan
implementasi e-SCM.
2.
Enterprise Vision
Visi perusahaan mendefinisikan perilaku dari kemampuan
persaingan yang dimiliki dalama infrastruktur yang sekarang dan
di jaringan supply chain. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
tingkat kompetitif dari bisnis yang dilakukan yang bertujuan
memperdalam tingkat kesadaran akan pentingnya e-business bagi
perusahaan. Dan menentukan langkah – langkah penting yang
diperlukan untuk membangun e-SCM yang efektif dan bagaimana
42
menerjemahkan ke dalam proses yang lebih spesifik yang
berdasarkan pada internet untuk mencapai visi yang ada.
3.
Supply Chain Value Assesment
Perusahaan harus menentukan proses apa yang mendukung
keunggulan kompetitif untuk dikonversikan ke dalam bentuk ebusiness.
Salah
satu
cara
yang
dapat
dilakukan
untuk
mencocokkan inisiatif penerapan teknologi, proses bisnis, dan visi
strategis adalah dengan menggunakkan supply chain value
assessment (SCVA).Tujuan dari tahap ini untuk menentukan dan
mengindentifikasikan inisiatif e-business yang perlu diambil agar
dapat memberikan manfaat maksimal dan keuntungan terbesar
bagi perusahaan.
4.
Opportunity Identification
Pada tahap ini akan timbul beberapa pilhan inisiatif yang
mungkin untuk dilakukan dan peluang apa saja yang dimiliki oleh
perusahaan. Hal ini memungkinkan perusahaan utuk memulai
proses dalam menentukan jenis implementasi e-SCM yang
diinginkan, peluang kompetitif yang ditimbulkan, dan perkiraan
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
5.
Strategy Decision
Tahap terakhir ini, para eksekutif perusahaan dapat berfokus pada
inisiatif dan pemanfaatan peluang yang dipilih dengan memulai
proses perencanaan. Keputusan yang dibuar harus berfokus pada
manfaat dan keuntungan yang diharapkan. Tujuan dari inisiatif eSCM adalah memanfaatkan kekuatan bersama antara anggota
43
dalam supply chain untuk meningkatkan keuntungan dalam pasar
ataupun menyadari cara baru untuk menciptakan nilai bagi
pelanggan.
2.6.
Five Forces Porter
Menurut David (2004, pp. 144-148), Analisis Persaingan Model Lima
Kekuatan Porter merupakan pendekatan yang banyak dipakai untuk
mengembangkan strategi oleh banyak industri. Menurut Porter, sifat
persaingan dalam suatu industri dapat dilihat sebagai gabungan dari lima
kekuatan berikut ini :
1.
Perseteruan di antara perusahaan yang saling bersaing
2.
Potensi masuknya pesaing baru
3.
Potensi pengembangan produk pengganti
4.
Kekuatan tawar pemasok
5.
Kekuatan tawar konsumen
Sumber : Pearce II & Robinson, 2008, p. 125
Gambar 2.1. Model Lima Kekuatan Porter
44
1.
Perseteruan di Antara Perusahaan yang Bersaing
Kekuatan ini paling berpengaruh dibandinkan dengan empat kekuatan
lainnya. Strategi yang dijalankan oleh suatu perusahaan dapat berhasil
hanya jika strategi itu memiliki keunggulan kompetitif (competitive
advantange) dibandingkan dengan strategi yang dijalankan oleh
perusahaan pesaing. Perubahan strategi di sebuah perusahaan dapat
diimbangi serangan balasan, seperti menurunkan harga, meningkatkan
mutu, menambah fitur, menyediakan pelayanan, memperpanjang garansi,
dan meningkatkan iklan.
Intensitas persaingan di antara perusahaan yang bersaing cendetung
meningkat ketika jumlah pesaing bertamba, ketika perusahaan yang
bersaing menjadi setara besarnya dan kemampuannya, ketika permintaan
produk industri menurun, dan ketika potongan harga menjadi biasa.
Persaingan juga bertambah jika konsumen dapat dengan mudah berganti
merek; jika hambatan untuk meninggalkan pasar tinggi; jika biaya tetap
tinggi; jika produk mudah rusak; jika perusahaan pesaing memiliki
strategi, asal dan budaya yang berbeda; serta jika merger dan akuisisi
biasa terjadi dalam industri. Ketika pesaingan di antara perusahaan
meningkat, laba industry menurun, dan dalam beberapa kasus sampai
industri tersebut menjadi tidak menarik.
2.
Potensi Masuknya Pesaing Baru
Ketika perusahaan baru dapat dengan mudah masuk ke industri
tertentu, sudah pasti intensitas persaingan diantara perusahaan meningkat.
Hambatan – hambatan terhadap masuknya pesaing baru bisa berupa
pentingnya memperoleh skala ekonomi dengan cepat, pentingnya
45
memperoleh skala ekonomi dengan cepat, pentingnya memperoleh
teknologi dan pengetahuan khusus, kurangnya pengalaman, kuatnya
loyalitas pelanggan, fanatisme terhadap merek tertentu, persyaratan modal
yang besar, kurangnya saluran distribusi yang memadai, kebijakan
peraturan pemerintah, tariff, kurangnya akses bahan baku, kepemilikan
paten, lokasi yang tidak menguntungkan, serangan balik oleh perusahaan
yang bertahan, dan potens kejenuhan pasar.
Walaupun banyak hambatan, perusahaan baru kadang – kadang
masuk ke dalam industri dengan produk yang lebih tinggi mutunya, harga
yang lebih rendah, dan tenaga pemasaran yang banyak. Oleh karena itu,
tugas perencana strategis adalah mengindetifikasi perusahaan baru yang
potensial masuk pasar, memonitor strategi perusahaan baru yang menjadi
pesaing, melakukan “serangan balik” jika diperlukan, dan memanfaatkan
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
3.
Potensi Pengembangan Produk Pengganti
Dalam berbagai industry, perusahaan bersaing ketat dengan produsen
produk pengganti. Contohnya, produsen tempat dari plastic bersaing
dengan produsen tempat dari gelas, karton, dan alumunium. Produsen
asetaminofen bersaing dengan produsen obat sakit kepala yang lain.
Adanya produk pengganti membuat batasan harga maksimal, sebelum
konsumen pindah ke produk pengganti tersebut.
Tekanan persaingan akibat adanya produk pengganti semakin
bertambah ketka harga produk pengganti relatif murah dan biaya
konsumen untuk beralih ke produk pun rendah. Kekuatan kompetitif
produk pengganti paling mudah diukur dari seberapa besar pangsa pasar
46
yang direbutnya dan rencana perusahaan produk pengganti tersebut untuk
meningkatkan kapasitas serta penetrasi pasar.
4.
Kekuatan Tawar Pemasok
Kekuatan tawar pemasok mempengaruhi intensitas persaingan dalam
suatu industri, terutama ketika jumlah pemasok banyak, ketika hanya ada
sedikit bahan baku pengganti yang baik, atau ketika biaya mengganti
bahan baku ama tinggi. Sering kali demi kepentingan bersama, pemasok
dan produsen saling membantu dengan memberikan harga yang
tejangkau, mutu yang lebih baik, pengembangan pelayanan baru,
penyerahan barag tepat waktu, dan mengurangi biaya inventarisasi,
sehingga menngkatkan kemampuan meraih laba jangka panjang bagi
semua pihak yang terkait.
Perusahaan mungkin menjalankan backward integration strategy atau
strategi tarik mundur agar bisa mengendalikan pemasok atau menarik
modal yang diberikan kepada pemasok. Strategi ini sangat efektif ketika
pemasok tidak dapat diandalkan, biayanya terlalu tinggi, atau tidak
mampu memenuhi kebutuhan perusahaan secara konsisten. Perusahaan
biasanya
dapat
melakukan
negosiasi
persyaratan
yang
lebih
meguntungkan dengan pemasok jika strategi ini lazim digunakan di antara
perusahaan yang bersaing dalam industri.
5.
Kekuatan Tawar Konsumen
Ketika pelanggan terkonsentrasi atau jumlahnya besar, atau membeli
dalam jumlah banyak, kekuatan tawarnya merupakan kekuatan utama
yang mempengaruhi intensitas persaingan dalam suatu industri.
Perusahaan pesaing mungkin menawarkan garansi yang lebih panjang
47
atau pelayanan khusus untuk memperoleh loyalitas pelanggan ketika
kekuatan tawar dari konsumen luar biasa. Kekuatan tawar konsumen juga
lebih besar ketika produk yang dibeli bersifat standar atau tidak berbeda.
Ketika demikian halnya, konsumen sering dapat melakukan negosiasi atau
menekan harga jual, jaminan, dan paket aksesori sampai tingkat tertentu.
Bahkan untuk perusahaan besar, seperti Wal-Mart, tingginya kekuatan
tawar konsumen akibat penggunaan Internet merupakan ancaman
eksternal utama.
2.7.
Value Chain Analysis
Menurut Pearce II dan Robinson, (2008, p. 208), Analisis rantai nilai
(value chain analysis – VCA) digunakan untuk memahami bagaimana suatu
bisnis menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memeriksa kontribusi dari
aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam bisnis terhadap nilai tersebut”.
Analisis rantai nilai membagi aktivitas dalam perusahaan menjadi dua
kategori umum yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung (Pearce II dan
Robinson, 2008, pp. 208-209).
1. Aktivitas Utama /Primer (primary activities)
Aktivitas utama/primer kadang kala disebut fungsi lini yaitu aktivitasaktivitas dalam suatu perusahaan yang terlibat dalam penciptaan fisik dari
produk, pemasaran, dan transfer ke pembeli, serta layanan purnajual.
Aktivitas ini terdiri dari :
a.
Pengadaan logistik dalam perusahaan
Aktivitas, biaya, dan asset yang berkaitan dengan perolehan bahan
bakar, energy, bahan baku, suku cadang, barang dagangan, dan
48
perlengkapan lainnya dari pemasok; penerimaan, penyimpanan, dan
distribusi input dari pemasok; inspeksi; dan manajemen persediaan.
b.
Operasi
Aktivitas, biaya, dan asset yang berkaitan dengan konversi input
menjadi bentuk produk akhir (produksi, perakitan, pengemasan,
pemeliharaan
peralatan,
operasi
fasilitas,
penjaminan
mutu,
perlindungan lingkungan)
c.
Pengadaan logistik luar perusahaan
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan distribusi fisik dari
produk kepada pembeli (penyimpanan barang jadi, pemrosesan
pemesanan, pengepakan pesanan, pengiriman, operasi kendaraan
pengiriman).
d.
Pemasaran dan Penjualan
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan upaya tenaga
penjualan, iklan dan promosi, riset dan perencanaan pasar, serta
dukungan bagi dealer/distributor.
e.
Layanan
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan penyediaan bantuan
bagi pembeli, seperti instalasi, pengiriman suku cadang, pemeliharaan
dan perbaikan, bantuan teknis, penanganan atas pertanyaan dan
keluhan pembeli.
2. Aktivitas Pendukung (support activities)
Aktivitras pendukung sering kali disebut fungsi staf atau overhead adalah
aktivitas-aktivitas dalam suatu perusahaan yang membantu perusahaan
tersebut secara keseluruhan dengan cara menyediakan infrastruktur atau
49
input yang memungkinkan aktivitas-aktivitas primer dilakukan secara
berkelanjutan. Aktivitas ini terdiri dari :
a.
Administrasi umum
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan manajemen umum,
akuntansi dan keuangan, hokum dan masalah peraturan, keselamatan
dan keamanan, sistem informasi manajemen, dan fungsi-fungsi
“overhead” lainnya.
b.
Manajemen sumber daya manusia
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan perekrutan,pelatihan,
pengembangan, dan kompensasi dari seluruh jenis karyawan, aktivitas
hubungan dengan karyawan, pengembangan keahlian yang berbasis
pengetahuan.
c.
Riset, teknologi, dan pengembangan sistem
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan litbang produk,
litbang
proses,
perbaikan
desain
proses,
desain
peralatan,
pengembangan peranti lunak computer, sistem telekomunikasi, desain
dan rekayasa dengan bantuan computer, kapabilitas basis data baru,
dan pengembangan sistem pendukung yang terkomputerisasi.
d.
Pembelian
Aktivitas, biaya, dan aset yang berkaitan dengan pembelian dan
penyediaan bahan baku, perlengkapan, jasa, dan jasa pihak luar
lainnya
yang
dperlukan
untuk
medukung
perusahaan
serta
aktivitasnya. Sering kali aktivitas ini menjadi bagia dari aktvitas
pengadaan logistic dalam perusahaan.
50
Sumber : Pearce II dan Robinson, 2008, p. 209
Gambar 2.2. Rantai Nilai
2.8.
Konsep Make-to-Stock dan Make-to-Order
Secara umum, proses make-to-stock diakhiri dengan persediaan barang
jadi, pesanan pelanggan tersebut kemudian tersedia dari persediaan. Proses
make-to-stock dapat dikontrol berdasarkan jumlah aktual atau yang
diantisipasi dari persediaan barang jadi (Jacobs dan Chase, 2011, p. 150).
Dalam lingkungan make-to-stock (MTS) , fokus utama dari kegiatan
permintaan manajemen adalah dalam hal pengelolaan persediaan barang jadi.
Dalam lingkungan ini, pelanggan membeli langsung dari persediaan yang
tersedia, sehingga layanan pelanggan sangat ditentukan oleh apakah item
mereka tersedia atau tidak. (Berry et al., 2011, p. 36)
Sedangkan, proses make-to-order hanya aktif sebagai respon terhadap
pesanan yang sebenarnya. Persediaan (baik barang dalam proses dan barang
jadi) disimpan seminimal mungkin. Secara teoritis, dapat diharapkan bahwa
waktu respon akan lambat karena semua kegiatan harus diselesaikan sebelum
produk dikirim ke pelanggan. Pelayanan sesuai dengan sifatnya sering
menggunakan proses make-to-order (Jacobs dan Chase, 2011, p. 149). Dalam
51
lingkungan
make-to-order, teknik menentukan apa bahan yang akan
dibutuhkan, langkah apa yang akan dibutuhkan di bidang manufaktur, dan
biaya yang terlibat. Bahan dapat berasal dari persediaan perusahaan atau
pembelian dari pemasok (Berry et al., 2011, p. 38).
Semua perusahaan ingin memenuhi persyaratan dalam layanan dengan
biaya yang minimum. Oleh karena itu, dalam memutuskan MTO atau MTS,
kita harus memperhatikan dua aspek penting yaitu persediaan yang diadakan
sebagai syarat dalam layanan pengiriman atau persediaan diadakan untuk
memberikan penghematan biaya. Beberapa pertimbangan yang digunakan
dalam alat bantu keputusan MTO dan MTS yaitu : (Donk et al., 2005, pp. 49).
1.
Service Consideration (Pertimbangan Pelayanan)
Pertimbangan pelayanan menggambarkan kemampuan perusahaan
untuk memenuhi pesanan pelanggan dari segi waktu. Istilah yang sering
dipergunakan dalam pertimbangan waktu adalah waktu deadline
pelanggan dan waktu produksi. Bila perusahaan memiliki waktu produksi
yang lebih lama daripada waktu yang tersedia dari deadline pelanggan,
maka perusahaan harus memenuhi pesanan dari persediaan yang telah
ada secara MTS. Namun, bila perusahaan mampu menyelesaikan
produksi produk yang dipesan pelanggan sebelum waktu deadline yang
disepakati dengan pelanggan, perusahaan memilih untuk memproduksi
produk secara MTO ataupun MTS.
2.
Demand Analysis (Pertimbangan Permintaan)
Pertimbangan permintaan memasukkan pertimbangan terhadap
ketidakpastian jumlah kuantitas permintaan dari berbagai produk yang
52
diproduksi perusahaan. Variasi dari permintaan pelanggan akan
menunjukkan kestabilan pola permintaan pelanggan terhaap produk
perusahaan. Variansi dari permintan dapat dinyatakan dalam nilai
koefisien variansi penjualan, yang didapatkan dari hasil perhitungan
sebagai berikut :
CoV penjualan = standar deviasi penjualan / rata-rata penjualan
3.
Cost Analysis (Pertimbangan Biaya)
Dalam pertimbangan ekonomis, akan dilakukan perbandingan antara
total biaya yang diperlukan bila perusahaan memutuskan MTO atau MTS
untuk sebuah produk, setelah perhitungan selesai, perusahaan akan
memilih biaya yang paling rendah diantara keduanya. Asumsi yang
digunakan dalam melakukan perhitungan ini sebagai berikut :
a. Permintaan tahunan untuk sebuah produk adalah D unit/tahun yang
berasal dari pesanan sejumlah N pesanan dari pelanggan selama
setahun.
b. Ada biaya tetap yang dinyatakan dalam rupiah/pesanan untuk
mempersiapkan produksi (setup cost)
c. Biaya yang diperlukan untuk produksi diketahui dan dinyatakan
dalam rupiah/unit produk.
d. Dalam kasus MTS, pesanan ke pemasok akan dilakukan sebesar
jumlah EOQ, yaitu Q unit. Untuk melindungi perusahaan dari
kehabisan
stock,perusahaan
jugaakan
memiliki
persediaan
penyangga/ safety stock.
e. Dalam MTO, jumlah barang yang diproses adalah sejumlah barang
yang dipesan pelanggan dengan asumsi sebesar D/N unit dan dalam
53
kasus MTS sebesar Q unit. Beberapa pesanan MTO dapat
digabungkan menjadi satu pada saat produksi, namun hal ini tidak
dilakukan karena dengan adanya variasi yang besar dan deadline
pelanggan, penggabungan dapat menimbulkan waktu produksi yang
panjang dan semakin bervariasi.
f. Perusahaan akan memiliki biaya penyimpanan yang dinyatakan
sebagai rupiah/unit /tahun.
g. Total biaya untuk MTO adalah biaya pemesanan bahan baku dan
biaya produksi. Biaya persediaan tidak diperhitungkan karena MTO
tidak memiliki persediaan.
h. Total biaa untuk MTS adalah sebesar biaya pemesanan bahan baku,
biaya produksi,dan biaya penyimpanan persediaan. Semua parameter
yang diperlukan dalam perhitungan dapat didapat dari catatan
perusahaan tentang produksi dan penjualan.
4.
Capacity Considerations (Pertimbangan Kapasitas)
Setelah pertimbangan waktu, variasi, dan ekonomis selesai, solusi
awal untuk MTO dan MTS akan didapatkan. Tetapi, sampai saat ini
perhitunga dilakukan tanpa memperhitungkan interaksi antara produk
tersebut dengan kapasitas perusahaan. Untuk memastikan kapasitas
produksi cukup untuk keputusan MTO dan MTS yang telah ada, akan
dilakukan perhitungan kebutuhan kapasitas untuk masing-masing
alternative. Untuk MTS, hasilnya didapatkan dengan mengalikan waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan satu batch produksi dengan jumlah
batch yang ada, sementara untuk MTO, hasilnya didapatkan dengan
54
mengalikan waktu rata-rata yang diperlukan untuk menyelesaikan satu
pesanan dengan jumlah pesanan pelanggan yang ada.
Bila kapasitas yang diperlukan melebihi jumlah kapasitas yang
tersedia, solusi sementara yang ada akan diubah dengan menggant
keputusan produk tertentu dari MTO ke MTS atau sebaliknya agar
menghasilkan penambahan biaya yang paling minimal. Jika semua
perubahan yan memungkinkan telah dilakukan, tetapi solusi yang
mencukupi belum dapat ditemukan, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa
kapasitas
yang tersedia di
perusahaan memang belum
memadai.Perusahaan dapat memutuskan untuk menambah kapasitas
ataupun menghentikan penjualan produk dengan volume dan variasi yang
rendah.
Sumber : Donk, Soman, & Gaalman, 2005, p. 5
Gambar 2.3. Arsitektur Alat Bantu Keputusan MTO-MTS
55
2.9.
Konsep Persediaan
2.9.1. Definisi Persediaan
Persediaan merupakan stok barang yang disimpan oleh suatu
perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan (Taylor III, 2004, p.
364).
2.9.2. Jenis Persediaan
Menurut Heizer dan Render (2009, pp. 82-83) terdapat empat jenis
persediaan yaitu :
1.
Persediaan bahan mentah (raw material inventory)
Persediaan bahan – bahan yang biasanya dibeli, tetapi belum
memasuki proses manufaktur.
2.
Persediaan barang setenga jadi (working in process-WIP inventory)
Produk – produk atau komponen – komponen yang tidak lagi
merupakan bahan mentah, tetapi belum menjadi barang jadi.
3.
MRO
MRO adalah persediaan – persediaan yang disediakan untuk
persediaan pemeliharan, perbaikan, operasi (maintenance, repair,
operating - MRO) yang dibutuhkan untuk menhaga agar mesin –
mesin dan proses – proses tetap produktif. MRO ada karena
kebutuhan serta waktu untuk pemeliharaan dan perbaikan dari
beberapa perlengkapan tidak diketahui.
4.
Persediaan barang jadi
Persediaan barang jadi adalah produk yang telah selesai dan tinggal
menunggu pengiriman. Barang jadi dapat dimasukkan ke
56
persediaan karena permintaan pelanggan di masa mendatang tidak
diketahui.
2.9.3. Biaya dalam Persediaan
Menurut Taylor III (2004, p. 366) terdapat tiga biaya dasar yang
berhubungan dengan persediaan. Biaya – biaya ini terdiri dari :
1.
Biaya Penyimpanan (Carrying Costs)
Biaya penyimpanan merupakan biaya menyimpan barang
dalam persediaan. Biaya ini berubah tergantung tingkat persediaan
dan biasanya dengan perode waktu barang yang disimpan, yaitu
seakin besar tingkat persediaan sepanjang waktu, semakin tinggi
biaya penyimpanannya.
Biaya penyimpanan biasanya dinyatakan dalam dua cara.
Bentuk yang paling umum adalah dengan mengalokasikan total
biaya penyimpanan, yang ditentukan dengan menjumlahkan setiap
biaya yang telah disebutkan sebelumnya, atas dasar unit selama
suatu periode, misalnya sebulan, atau setahun. Dalam bentuk ini,
biaya pentimpanan dinyatakan dalam bentuk jumlah dolar per unit
setiap tahun, misalnya
$10 per tahun. Sebaliknya biaya
pentimpanan kadang kala dinyatakan sebagai persentase nilai
barang atau persentase dari nilai persediaan rata – rata. Secara
umum diestimasikan bawhwa biaya penyimpanan mencapai antara
10% - 40% dari nilai perolehan persediaan.
2.
Biaya Pemesanan (Ordering Costs)
Biaya pemesanan merupakan biaya yang terkait dengan
pembelian kembali untuk mengisi persediaan yang dimiliki. Biaya
57
ini biasanya dinyatakan dengan jumlah dolar per pesanan dan
besarnya tidak tergantung dengan kuantitas pesanan. Jadi, biaya
pemesanan dapat berubah tergantung dari berapa kali pesanan
dibuat (atau jika kuantitas pesanan meningkat, biaya pemesanan
meningkat).
Biaya pemesanan biasanya bersifat berlawanan dengan biaya
penyimpanan. Jika jumlah yang dipesan bertambah, frekuensi
pemesanan berkurang karenanya mengurangi biaya pemesanan per
tahun. Namun, memesan dalam jumlah banyak menyebabkan
tingginya tingkat persediaan dan biaya penyimpanan yang tinggi.
Secara umum, ketika kuantitas pesanan meningkat, biaya
pemesanan tahunan turun sementara biaya penyimpanan tahunan
meningkat.
3.
Biaya Kekurangan (Shortage Costs)
Biaya kekurangan, juga disebut biaya kehabisan stok, terjadi
jika permintaan pelangan tidak dapat dipenuhi karena kurangnya
persediaan di tangan. Jika kekurangan ini menyebabkan hilangya
penjualan secara permanen, maka biaya ini juga menyebabkan
berkurangnya
keuntungan.
Kekurangan
juga
menyebabkan
ketidakpuasan pelanggan dan hilangnya nama baik yang dapat
menyebabkan hilangnya pelanggan dan penjualan di masa yang
akan dating
2.9.4. Tujuan Manajemen Persediaan
Tujuan dari manajemen persediaan adalah untuk memiliki sistem
pengendalian persediaan yang akan memberikan indikasi berapa banyak
58
persediaan yang harus dipesan dan kapan pesanan dilakukan untuk
meminimumkan jumlah ketiga biaya persediaan (biaya penyimpanan,
biaya pemesanan, dan biaya kekurangan) (Taylor III, 2004, p. 367).
Tujuan
dari
manajemen
persediaan
adalah
menentukan
keseimbangan antara investasi persediaan dengan pelayanan pelanggan
(Heizer dan Render, 2009, p. 82).
2.9.5. Konsep EOQ, ROP dan Safety Stock
2.9.5.1. EOQ (Economic Order Quantity)
Menurut Heizer dan Render (2009, pp. 92-95), model
kuantitas pesanan ekonomis (economic order quantity) adalah
sebuah teknik kontrol persediaan yang meminimalkan biaya
total dari pemesanan dan penyimpanan. Teknik ini relatif
mudah digunakan dan didasarkan pada beberapa asumsi yaitu :
a. Jumlah permintaan diketahui, konstan, dan independen.
b. Waktu tunggu yaitu waktu antara pemesanan dan
penerimaan pesanan dikeahui dan konstan.
c. Penerimaan
persediaan
bersifat
instan
dan
selesai
seluruhnya.
d. Tidak tersedia diskon kuantitas.
e. Biaya variabel hanya biaya untuk menyiapkan atau
melakukan pemesanan dan biaya menyimpan persediaan
dalam waktu tertentu.
f. Kekurangan persediaan sepenuhnya dapat dihindari jika
pemesanan dilakukan pada waktu yang tepat.
59
Dalam menentukan kuantitas pesanan agar optimal
dapat menggunakkan variabel – variabel berikut ini :
EOQ
Q
D
S
H
=
=
=
=
=
Jumlah optimum unit per pesanan
Jumlah unit per pesanan
Permintaan tahunan dalam unit untuk barang persediaan
Biaya penyetelan atau pemesanan untuk setiap pesanan
Biaya penyimpanan atau penyimpanan per unit/tahun
Jumlah optimum unit per pesanan (EOQ) dapat dihitung
dengan
rumus:
EOQ =
Biaya penyetelan atau pemesanan dapat dihtitung
dengan rumus :
Biaya pemesanan =
S
Biaya penyimpanan dapat dihitung dengan rumus :
Biaya penyimpanan =
H
Biaya total persediaan dapat dihitung dengan rumus :
Biaya total =
S+
H
2.9.5.2. Reorder Point dan Safety Stock
Menurut (Heizer dan Render, 2009, p. 99), Titik pemesanan
ulang (reorder point – ROP) yaitu tingkat persediaan dimana ketika
persediaan telah mencapai tingkat tersebut, pemesanan harus
dilakukan.
60
Setelah menentukan berapa pesanan yang harus dipesan, maka
yang harus ditentukan
selanjutnya adalah kapan pemesanan
dilakukan. Model persediaan sederhana mengasumsikan :
1.
Sebuah perusahaan akan menempatkan sebuah pesanan ketika
tingkat persediannya untuk barang tertentu tersebut mencapai
nol.
2.
Perusahaan akan menerima barang yang dipesan secara
langsung
Penentuan ROP dipengaruhi oleh tingkat pelayanan (service
level)
merupakan
persediaan.
komplemen
Permintaan
yang
dari
probabilitas
tidak
pasti
kehabisan
meningkatkan
kemungkinan kehabisan persediaan. Salah satu metode untuk
mengurangi kehabisan persediaan adalah dengan menetapkan
safety stock untuk persediaan (Heizer dan Render, 2009, p. 109).
Menurut Heizer dan Render (2009, p. 100), safety stock atau
persediaan pengaman merupakan persediaan tambahan yang
mengijinkan terjadinya ketidaksamaan permintaan.
Safety Stock dapat dihitung dengan rumus
SS = Z x
ROP dapat dihitung dengan rumus :
ROP = (d x L) +SS
Dimana :
SS
Z
δ_dLT
δd
Safety Stock
Jumlah standar deviasi
Standar Deviasi dari permintaan selama waktu tunggu (δd) x
=
√Leadtime )
= Standar deviasi permintaan
=
=
61
ROP
d
L
= Reorder Point atau Titik Pemesanan Ulang
= Permintaan harian
Waktu tunggu pesanan / jumlah hari kerja yang dibutuhkan
=
untuk megantarkan sebuah pesanan
2.10. Analisis dan Perancangan Sistem
Analisis sistem adalah proses memahami dan menentukan secara rinci
apa sistem informasi sebaiknya dicapai (Satzinger et al, 2010, p. 4).
Perancangan sistem adalah proses menentukan secara rinci bagaimana
banyaknya komponen dari sistem informasi harus diimplementasikan secara
fisik (Satzinger et al, 2010, p. 4).
2.10.1 Object-Oriented Analysis and Design (OOAD)
Object-Oriented Analysis (OOA) adalah menentukan semua
jenis
objek
yang melakukan
pekerjaan
dalam
sistem dan
menunjukkan apa use case yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
tugas (Satzinger et al., 2010, p. 60).
Object-Oriented Design (OOD) menentukan semua jenis
obyek yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang-orang
dan perangkat dalam sistem, menunjukkan bagaimana objek
berinteraksi untuk menyelesaikan tugas, dan memperbaiki pengertian
masing-masing jenis objek sehingga dapat diimplementasikan
dengan bahasa atau lingkungan tertentu (Satzinger et al., 2010, p.
60).
Object Oriented Analysis and Design adalah sekumpulan alat
dan
teknologi
untuk
mengembangkan
system
yang
akan
mengutilisasi objek untuk membangun system dan software-nya
(Whitten et al., 2004, p. 31).
62
2.10.2. Pengembangan Sistem
Menurut
Satzinger et al., (2010, pp. 53-60), semua
pengembang sistem harus mengenal dua pendekatan yang sangat
umum untuk pengembangan sistem, karena membentuk dasar dari
hampir semua
metodologi.
Dua
pendekata
tersebut
adalah
pendekatan tradisional dan pendekatan berorientasi objek.
1. Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional mencakup berbagai variasi berdasarkan
teknik yang digunakan untuk mengembangkan sistem informasi
dengan pemrograman terstruktur dan modular. Pendekatan ini
sering disebut sebagai pengembangan sistem yang terstruktur.
Pengembangan sistem terstruktur itu harus mencakup analisis
terstruktur, desain terstruktur, dan pemrograman terstruktur
karena tiga teknik tersebut yang membentuk pendekatan
terstruktur. Kemudian, pemrograman terstruktur merupakan
program berkualitas tinggi yang tidak hanya menghasilkan
output yang benar setiap kali program berjalan, tetapi berhasil
memudahkan
programmer
lain
untuk
membaca
dan
memodifikasi program kemudian. Sebuah program terstruktur
adalah salah satu yang memiliki satu awal dan satu akhiran serta
setiap langkah dalam pelaksanaan program terdiri dari salah satu
dari tiga konstruksi pemrograman:
• Sebuah urutan pernyataan program
• Sebuah keputusan dimana satu set pernyataan atau set
pernyataan lain yang dijalankan
63
• Sebuah pengulangan dari serangkaian pernyataan
2. Pendekatan Berorientasi Objek
Pendekatan berorientasi objek memandang sistem informasi
sebagai kumpulan dari objek yang berinteraksi bekerja sama
untuk menyelesaikan berbagai tugas. Secara konseptual, tidak
ada proses atau program, tidak ada entitas data atau file. Sistem
ini terdiri dari objek. Sebuah objek adalah hal dalam sistem
komputer yang mampu menanggapi pesan. Pandangan radikal
yang berbeda dari sebuah sistem komputer membutuhkan
pendekatan yang berbeda untuk analisis sistem, desain sistem,
dan pemrograman.
2.10.3. Unified Process (UP)
Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2010, pp. 667-668),
Unified Process (UP) adalah metodologi pengembangan sistem
berorientasi objek yang semula ditawarkan oleh Rational Software,
yang sekarang menjadi bagian dari IBM dan dikembangkan oleh
Grady Booch, James Rumbaugh, dan Ivar Jacobson. Mereka adalah
tiga pelopor yang berada di balik keberhasilan Unified Modeling
Language
(UML)-UP
dengan
upaya
untuk
mendefinisikan
metodologi lengkap yang menggunakan UML untuk model sistem
dan menjelaskan yang baru, adaptif siklus hidup pengembangan
sistem.
UP
kini
secara
luas
diakui
sebagai
metodologi
pengembangan sistem standar untuk pengembangan berorientasi
obyek, dan banyak variasi yang digunakan.
64
2.10.3.1 Tahap-Tahap Unified Process (UP)
Sebuah tahap dalam UP dapat dianggap sebagai tujuan, atau
fokus utama untuk bagian tertentu dari proyek. Tahap dalam UP
memberikan kerangka umum untuk perencanaan dan pelacakan
proyek dari waktu ke waktu. Dalam setiap tahap, beberapa iterasi
direncanakan untuk memungkinkan fleksibilitas tim menyesuaikan
diri dengan masalah atau kondisi yang berubah. Berikut adalah
tahap-tahap dalam UP sebagai berikut :
Sumber : Satzinger, Jackson, & Burd, 2010, p. 668
Gambar 2.4. Tahapan Unified Process (UP)
1. Inception Phase
Pada tahap ini bertujuan untuk mengembangkan perkiraan visi
sistem, membuat kasus bisnis, mendefinisikan ruang lingkup, dan
menghasilkan perkiraan kasar biaya dan jadwal.
2. Elaboration Phase
Pada tahap ini bertujuan untuk menentukan visi, mengidentifikasi
dan menjelaskan semua persyaratan, menyelesaikan ruang lingkup,
desain dan mengimplementasikan arsitektur inti dan fungsi,
65
mengatasi risiko yang tinggi, dan menghasilkan perkiraan yang
realistis untuk biaya dan jadwal.
3. Construction Phase
Pada tahap ini secara iteratif mengimplementasikan risiko yang lebih
rendah, dapat diprediksi, elemen yang tersisa lebih mudah dan
mempersiapkan untuk penyebaran.
4. Transition Phase
Pada tahap ini menyelesaikan tes versi beta dan penyebaran sehingga
user memiliki sistem kerja dan siap untuk mendapatkan keuntungan
seperti yang diharapkan.
2.10.4. Unified Modeling Language (UML)
Unified Modeling Language (UML) adalah suatu standar
konstruksi model dan notasi yang dikembangkan secara khusus
untuk pengembangan object-oriented (Satzinger et al., 2005, p. 48).
1. Activity Diagram
Activity
Diagram
adalah
diagram
alur
kerja
yang
menggambarkan berbagai aktivitas pengguna (atau sistem), orang
yang melakukan setiap kegiatan, dan aliran berurutan aktivitas ini.
Diagram aktivitas adalah salah satu diagram Unified Modeling
Language (UML) yang terkait dengan pendekatan berorientasi
objek, tetapi dapat digunakan dengan pendekatan pengembangan
(Satzinger, Jackson, & Burd, 2010, p. 141).
66
Sumber : Satzinger, Jackson, & Burd, 2010, p. 142
Gambar 2.5. Activity Diagram
Dalam activity diagram terdapat beberapa simbol yang
digunakan, yaitu (Satzinger, Jackson, & Burd, 2010, p. 141) :
a. Synchronization bar
a symbol in an activitydiagram to control the splitting or
uniting of sequential paths.
b. Swimlane
a rectangular area on an activity diagram representing the
activities of a single agent.
c.
Starting activity (pseudo)
Merupakan notasi yang menandakan dan menjelaskan
dimulainya sebuah aktivitas.
d.
Transition arrow
Merupakan garis penunjuk arah yang menggambarkan
transisi dari suatu aktivitas dan arah dari suatu aktivitas.
e.
Activity
Merupakan notasi yang menggambarkan dan mejelaskan
suatu aktivitas
67
f.
Ending activity (pseudo)
Merupakan notasi yang menandakan dan menjelaskan
berakhirnya suatu aktivitas.
2. Use Case Diagram
Use Case Diagram adalah diagram untuk menunjukkan
berbagai
peran
pengguna
dan
bagaimana
peran
mereka
menggunakan sistem. Tujuan dari use case diagram adalah untuk
mengidentifikasi penggunaan atau use cases dari sistem baru yang
dimana dengan kata lain untuk mengidentifikasi bagaimana
sistem akan digunakan (Satzinger et al., 2010, p. 242).
Use Case Diagram merupakan diagram yang menggambarkan
interaksi antara sistem, sistem eksternal, dan pengguna. Dengan
kata lain, secara grafis mendeskripsikan siapa yang akan
menggunakan
sistem
dan
dalam
cara
apa
pengguna
mengharapkan interaksi dengan sistem tersebut (Honni, Herman,
& Christanto, 2008, p. 19)).
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 243
Gambar 2.6. Use Case Diagram
68
3. Use Case Description
Menurut Satzinger et al., (2010, pp. 171-174), use case
description adalah penjelasan yang berisi daftar rincian proses
untuk use case. Secara singkat, Use Case Description dibagi
menjadi tiga yaitu :
a.
Brief Description
Brief description dapat digunakan untuk use case yang
sangat sederhana, terutama ketika sistem yang akan
dikembangkan juga kecil sehingga aplikasi dapat dipahami
dengan baik. Sebuah use case sederhana biasanya akan
memiliki skenario tunggal dan sangat sedikit, jika ada,
kondisi
pengecualian.
Contohnya
pembaruan
data
pelanggan.
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 172
Gambar 2.7. Brief Description
b.
Intermediate Description
Intermediate description memperluas uraian singkat untuk
memasukkan aktivitas aliran internal untuk use case. Jika
ada beberapa skenario, setiap aliran kegiatan dijelaskan
secara
individual.
Kondisi
Exception
didokumentasikan jika mereka diperlukan.
dapat
69
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 172
Gambar 2.8. Intermediate Description
c.
Fully Developed Description
Fully developed description adalah metode yang paling
formal untuk mendokumentasikan use case.
dibutuhkan
sedikit
lebih
banyak
Meskipun
pekerjaan
untuk
mendefinisikan semua komponen pada tingkat ini, namun
metode ini merupakan metode yang disukai untuk
mendeskripsikan kegiatan aliran internal untuk use case.
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 174
Gambar 2.9. Fully Developed Description
70
4. Class Diagram
Class diagram adalah model grafis yang digunakan dalam
pendekatan berorientasi objek untuk menunjukkan kelas objek
dalam sistem. Ada beberapa tahapan dalam class diagram yaitu
(Satzinger et al., 2010, p. 60) :
a. Domain Model Class Diagram
Salah satu jenis UML class dagram ini menunjukkan hal
dalam users work domain atau disebut sebagai domain
model class diagram. Tipe lain dari notasi UML class
diagram digunakan untuk membuat design class diagrams
ketika merancang software. Simbol domain kelas adalah
rectangle dengan dua bagian. Bagian atas berisi nama kelas
dan bagian bawah berisi daftar atribut kelas. Nama kelas
selalu diawali dengan huruf capital dan nama atribut selalu
diawali dengan huruf kecil (Satzinger et al., 2010, p. 187).
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 187
Gambar 2.10. Domain Model Class Diagram
b. First Cut Design Class Diagram
First-cut design class diagram dikembangkan dengan
memperpanjang model domain class diagram. Hal ini
71
membutuhkan dua langkah yaitu menguraikan tentang
atribut dengan jenis dan informasi nilai awalnya dan
menambahkan panah navigation visibility (Satzinger et al.,
2010, p. 413).
Menurut Satzinger et al., (2010, p. 415),
terdapat
beberapa panduan dalam menentukan panah navigation
visibility adalah :
• One-to-many relationships mengindikasikan hubungan
superior/subordinate yang biasanya dinavigasi dari
superior ke subordinate. Contohnya dari Order ke
OrderItem.
• Mandatory relationships, di mana objek dalam satu kelas
tidak mungkin ada tanpa objek dari kelas lain, biasanya
dinavigasi dari independent class ke dependent class.
Contohya dari Customer ke Order.
• Ketika sebuah objek memerlukan informasi dari objek
lain,
panah
navigasi
mungkin
dibutuhkan
untuk
menunjukkan baik ke objek itu sendiri atau perusahaan
induknya dalam suatu hirarki.
• Panah navigasi mungkin juga dua arah
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 414
Gambar 2.11. First Cut Design Class Diagram
72
c. Updating and Packaging The Design Classes
Berdasarkan metode ini, pertama kita harus menambahkan
method signatures sebelum finalisasi tampilan. Ada tiga
jenis metode yang ditemukan di sebagian besar kelas: (1)
constructor methods, (2) data get and set methods, and (3)
use case specific methods. Constructor methods membuat
instance baru dari objek. Data get and set methods
mengambil dan memperbarui nilai atribut. Oleh karena
setiap kelas harus mempunyai constructor, dan sebagian
besar biasanya memiliki data get and set methods, ini
merupakan opsional untuk memasukkan method signatures
dalam design class diagram. Metode ketiga yaitu use case
specific methods harus dimasukkan dalam design class
diagram (Satzinger et al., 2010, p. 457).
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 457
Gambar 2.12. Updating and Packaging The Design Classes
73
5. Sequence Diagram
Dalam sequence diagram terdapat empat tahapan yang harus
dilakukan yaitu :
a. System Sequence Diagram (SSD)
System Sequence Diagram (SSDs) adalah diagram
yang menunjukkan urutan pesan antara aktor eksternal dan
sistem selama kasus penggunaan atau skenario (Satzinger et
al., 2010, p. 242).
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 253
Gambar 2.13. System Sequence Diagram (SSD)
b.
First Cut Sequence Diagram
Satzinger et al, (2005, p. 316) menyatakan bahwa dalam
memulai first cut sequence diagram harus dengan elemenelemen dari System Sequence Diagram (SSD). Mengganti
objek :System dengan use case controller. Kemudian
menambahkan objek lain yang diperlukan use case.
Langkah selanjutnya adalah menentukan message, termasuk
74
objek yang harus menjadi sumber dan tujuan dari setiap
message untuk mengumpulkan semua informasi yang
diperlukan.
Sumber : (Satzinger et al., 2010, p. 439)
Gambar 2.14. First Cut Sequence Diagram
c. Three Layer Design Sequence Diagram
Menurut Satzinger et al., (2005, pp. 320-322) three layer
design
sequence diagram merupakan gambaran lengkap
dari sequence diagram dan juga pengembangan dari first
cust sequence diagram yang terdiri dari tambahan layer
sebagai berikut :
• View layer
View Layer melibatkan interaksi manusia-komputer dan
membutuhkan merancang user interface untuk setiap use
case. Desain user interface adalah salah satu aktivitas
utama dari disiplin desain UP.
75
• Data Access Layer
Prinsip pemisahan tanggung jawab juga berlaku untuk
data access layer. Desain Multilayer penting untuk
mendukung jaringan multitier di mana database pada
satu server, logika bisnis pada server lain, dan user
interface pada beberapa klien desktop. Cara baru
merancang sistem yang tidak hanya menciptakan sistem
yang lebih kuat, tetapi juga sistem yang lebih fleksibel.
Sumber : Satzinger et al., 2010, p. 454
Gambar 2.15. Three Layer Design Sequence Diagram
6. User Interface
User Interface adalah bagian dari suatu sistem informasi
yang memerlukan interaksi pengguna untuk membuat input dan
output (Satzinger et al., 2010, p. 531).
76
Menurut Ben Shneiderman, terdapat delapan aturan emas
untuk merancang interface yang interaktif (Satzinger et al.,
2010, pp. 541-544) :
a. Upaya untuk Konsistensi
Merancang sebuah interface dan fungsi yang konsisten
adalah salah satu tujuan desain yang paling penting. Cara
agar informasi diatur pada bentuk, nama dan pengaturan
komponen menu, ukuran dan bentuk icon, dan urutan diikuti
untuk melaksanakan tugas harus konsisten di seluruh sistem.
b. Memungkinkan Pengguna Menggunakan Shortcuts
User yang bekerja dengan satu aplikasi sepanjang hari
bersedia untuk menginvestasikan waktu untuk belajar
shortcut. Shortcut mengurangi jumlah interaksi untuk
pekerjaan tertentu. Juga, desainer harus menyediakan
fasilitas macro bagi pengguna untuk membuat shortcut-nya
sendiri.
c. Feedback yang Informatif
Setiap tindakan pengguna harus menghasilkan beberapa jenis
feedback dari komputer sehingga pengguna mengetahui
bahwa tindakan tersebut diakui.
d. Desain Dialog untuk Hasil Penutupan
Setiap dialog dengan sistem harus diatur dengan urutan yang
jelas yaitu awal, tengah, dan akhir. Setiap tugas yang jelas
memiliki urutan awal, tengah, dan akhir, sehingga penggunan
tugas di komputer seharusnya juga merasakan seperti itu.
77
e. Penawaran Sederhana Error Handling
Kesalahan pengguna membutuhkan biaya, baik dalam waktu
yang dibutuhkan untuk memperbaiki hasil kesalahannya.
Perancang sistem harus mencegah pengguna dari membuat
kesalahan bila memungkinkan. Sebuah cara utama untuk
melakukan ini adalah membatasi pilihan yang tersedia dan
memungkinkan pengguna untuk memilih dari pilihan yang
valid pada setiap titik dalam dialog. Umpan balik yang
memadai, seperti yang dibahas sebelumnya juga membantu
mengurangi kesalahan.
f. Mengijinkan pengguna untuk membatalkan tindakan
Pengguna harus merasa bahwa mereka dapat mengeksplorasi
pilihan dan mengambil tindakan yang dapat dibatalkan atau
dibatalkan tanpa kesulitan. Ini adalah salah satu cara
pengguna
belajar
tentang
sistem
dengan
melakukan
percobaan. Ini juga merupakan cara untuk mencegah
kesalahan,
seperti pengguna
mengenali mereka
telah
membuat kesalahan, membatalkan tindakan.
g. Dukungan Internal Locus of Control
Pengguna yang berpengalaman merasa bahwa mereka
bertanggung jawab atas sistem dan bahwa sistem merespon
perintah mereka. Mereka seharusnya tidak dipaksa untuk
melakukan sesuatu atau dibuat merasa seolah-olah sistem
mengendalikan mereka. Sistem harus membuat pengguna
merasa bahwa mereka memutuskan apa yang harus
78
dilakukan. Desainer dapat memberikan banyak fasilitas bagi
hal ini dan pengendalian melalui kata-kata petunjuknya dan
pesan.
h. Mengurangi Beban Memori Jangka Pendek
Orang-orang memiliki banyak keterbatasan, dan memori
jangka pendek adalah salah satu yang terbesar. Interface
desainer tidak bisa berasumsi bahwa pengguna akan
mengingat apa pun dari form ke form, atau dialog box untuk
dialog box, selama interaksi dengan sistem.
79
2.11. Kerangka Berpikir dan Kerja
Gambar kerangka pikir dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.16. Kerangka Berpikir dan Kerja
Download