BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep-konsep dan Definisi Yang Digunakan 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama diperbincangkan karena berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya. Dalam Panduan Keluarga Sejahtera (2006) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya. 2.1.1.1 Pandangan Teoritis Mengenai Kemiskinan Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin di dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki berpartisipasi dalam pembangunan. Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan muncul berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan dilihat dari berbagai sudut pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan relatif adalah penduduk yang telah memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar namun jauh lebih rendah dibanding keadaan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan menurut tingkatan kemiskinan adalah kemiskinan 13 sementara dan kemiskinan kronis. Kemiskinan sementara yaitu kemiskinan yang terjadi sebab adanya bencana alam dan kemiskinan kronis yaitu kemiskinan yang terjadi pada mereka yang kekurangan keterampilan, aset, dan stamina (Angahar, 2012). Penyebab kemiskinan menurut Prem (2002) sebagai berikut. 1) Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah; 2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah, upahnya pun rendah; 3) kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal. Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan atau vicious circle of poverty (Gambar 2.1). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir yang dikemukakan Nurkse (2000) yang mengemukakan bahwa negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor). Menurut Prem (2002) yang mengutip pendapat Chambers bahwa ada lima “ketidakberuntungan” yang melingkari orang atau keluarga miskin yaitu sebagai berikut. 1) Kemiskinan (poverty) memiliki tanda-tanda sebagai berikut: rumah mereka reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang serta pendapatan yang tidak menentu; 2) Masalah kerentanan (vulnerability), kerentanan ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin menghadapi situasi darurat. Ketidak sempurnaan pasar Keterbelakangan Ketinggalan Kekurangan modal Investasi rendah Produktifitas rendah Tabungan rendah pendapatan rendah Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Ragnar Nurkse Sumber : Ragnar Nurkse, 1961 Perbaikan ekonomi yang dicapai dengan susah payah sewaktu-waktu dapat lenyap ketika penyakit menghampiri keluarga mereka yang membutuhkan biaya pengobatan dalam jumlah yang besar; 3) Masalah ketidakberdayaan. Bentuk ketidakberdayaan kelompok miskin tercermin dalam ketidakmampuan mereka dalam menghadapi elit dan para birokrasi dalam menentukan keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya; 4) Lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kualitas maupun kuantitas sehingga konsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada rendahnya produktivitas mereka; 5) Masalah keterisolasian. Keterisolasian fisik tercermin dari kantongkantong kemiskinan yang sulit dijangkau sedang keterisolasian sosial tercermin dari ketertutupan dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat yang lebih luas. Dari berbagai teori yang telah diuraikan di atas, bahwa kemiskinan itu adalah mereka yang tidak mampu memiliki penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka membutuhkan uluran tangan dan bantuan orang lain mencukupi kebutuhannya. 2.1.1.2 Konsep Tentang Kemiskinan Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Untuk memahami pengertian tentang kemiskinan ada berbagai pendapat yang dikemukakan. Menurut Cornwall dan Brock (2005) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang telah ada sejak dahulu dan jumlahnya juga meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk suatu negara. Fenomena ini memerlukan penanganan yang serius dan tindakan-tindakan nyata untuk mengatasinya dari berbagai pihak baik pemerintah, swasta, LSM, maupun masyarakat secara umum. Kemiskinan menggambarkan ketidak berdayaan atau ketidak mampuan suatu masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat secara ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Dalam istilah kemiskinan, banyak pengertian yang telah dirangkum dari banyak pakar. Diantaranya adalah yang diungkapkan oleh White (2005)," yang dimaksud dengan kemiskinan adalah tingkat kesejahteraan masyarakat terdapat perbedaan kriteria dari satu wilayah dengan wilayah lain". Dan menurut Kesuma (2008), "kemiskinan adalah tentang adanya pertambahan kesejahteraan penduduk di kota yang terus meningkat, sementara penduduk yang berada di perdesaan relatif stabil ataupun menurun serta belum terlihat kecenderungan untuk membaik." Pengertian lain disampaikan oleh Mubyarto (2009) menyebutkan bahwa pengertian kemiskinan tersebut adalah rendahnya taraf kehidupan suatu masyarakat baik yang berada di perdesaan maupun yang berada di daerah perkotaan. Soetrisno (2007) menyebutkan bahwa ada dua kategori kelompok miskin, yaitu kelompok miskin produktif dan kelompok miskin tidak produktif. Pengelompokan ini menjadi sangat penting karena ia merupakan dasar dari seleksi untuk menentukan siapa dari kelompok miskin yang dapat ikut dalam suatu program anti kemiskinan yang dikembangkan oleh pemerintah. Dan untuk kelompok miskin yang tidak produktif di serahkan kepada Dinas Sosial untuk dibimbing. Soetrisno (2007) mengemukakaan pendapatnya tentang kemiskinan yaitu “Kemiskinan adalah suatu hal yang komplek dan karenanya tidak dapat dijelaskan dengan hanya melihat dari satu segi saja. Dalam pelaksanaan program anti kemiskinan maka diperlukan definisi dan indikator kemiskinan lokal”. Sebagaimana yang diungkapkan Friedman (2004), melihat masalah kemiskinan sebagai masalah struktural, dimana masyarakat miskin tidak mempunyai akses terhadap delapan kekuatan sosial yang mendasar, yakni ruang untuk hidup, surplus waktu, pengetahuan dan keterampilan, informasi yang tepat, organisasi sosial, kerjasama, sumber-sumber finansial, alatalat untuk bekerja dan hidup. Permasalahan kemiskinan sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut muncul dalam berbagai bentuk, seperti antara lain. 1) Dimensi Politik, sering muncul dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi; 2) Dimensi Sosial, sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial; 3) Dimensi Lingkungan, sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman; 4) Dimensi Ekonomi, muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan 5) Dimensi Aset, ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut maka, usaha pengentasan kemiskinan harus diarahkan kepada peningkatan akses masyarakat miskin terhadap kelima kekuatan dasar sosial tersebut. Dengan kosekuensi program-program pengentasan masalah kemiskinan harus dirumuskan dalam kerangka besar pemberdayaan (empowerment), yang menekankan pada penguatan masyarakat sipil. Pada dekade 70-an timbul perubahan pendekatan terhadap pembangunan terutama pembangunan kemiskinan yang menjadi masalah pokok dan berkepanjangan. Pendekatan baru disumbangkan oleh pengalaman administrasi pembangunan dunia ketiga. Pandangan Coralie Bryant dan Louise White dalam Managing Development in Third World (1982) dikemukakan sebagai contoh. Menurut kedua wanita ahli ini, pembangunan ialah upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya. Ada lima implikasi utama definisi tersebut adalah. 1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok (capacity) 2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity) 3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment) 4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability) 5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati (interdependence). Dari pengertian oleh kedua ahli di atas dapat disimpulkan untuk membentuk ada lima faktor utama yang dapat untuk pengembangan community development yaitu capacity, equity, empowerment, sustainability, interdependence, dari kelima faktor tersebut sangatlah penting untuk mengentaskan kemiskinan yang terjadi diperkotaan maupun didalam masyarakat pedesaan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003) menjelaskan kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh masyarakat miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Pendapat lain dikemukakan oleh Setyawan (2001) yang menyatakan kemiskinan adalah adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai tersebut secara layak. Menurut Prem (2002), ada lima ketidak beruntungan yang melingkari kehidupan orang atau keluarga miskin, yaitu. 1) Kemiskinan (poverty); 2) Fisik yang lemah (physsical weaknes); 3) Kerentanan (vulnerability); 4) Keterisolasian (isolation); 5) Ketidakberdayaan (powerlessness). Kelima hal tersebut merupakan kondisi nyata yang ada pada masyarakat miskin di negara berkembang. Kemiskinan menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN (1996) adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya. Miskin atau kurang sejahtera dalam pengertian Pembangunan Keluarga Sejahtera dengan kondisi keluarga sebagai berikut. 1) Pra Sejahtera, adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keluarga berencana. Secara operasional keluarga tersebut tampak dalam ketidak mampuan untuk memenuhi salah satu indikator sebagai berikut: a. Menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya; b. Makan minimal 2 kali per hari; c. Pakaian lebih dari satu pasang; d. Sebagian besar lantai rumahnya bukan dari tanah; e. Jika sakit dibawa ke sarana kesehatan. 2) Keluarga Sejahtera I, adalah keluarga-keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psiikologis, seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Secara operasional mereka tidak mampu memenuhi salah satu indikator sebagai berikut: a. Menjalankan ibadah secara teratur b. Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan c. Minimal memiliki baju bbaru sekali dalam setahun d. Luas lantai rumah rata-rata 8 m2 per anggota keluarga e. Tidak ada anggota keluarga yang berusia 10-60 yang buta huruf latin f. Semua anak usia 7 sampai dengan 15 tahun sekolah g. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap h. Dalam 3 bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Diketahui pula bahwa keadaan yang serba kekurangan ini terjadi bukan seluruhnya karena kehendak keluarga yang bersangkutan tetapi karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh keluarga sehingga telah membuat mereka termasuk keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I itu dibagi atas dua kelompok, yaitu. 1) Karena alasan ekonomi/keluarga miskin yaitu keluarga yang menurut kemampuan ekonominya lemah dan miskin. Keluarga-keluarga semacam ini mempunyai sifat seperti yang dalam indikator yang dikembangkan oleh BPS dan Bappenas, yaitu keluarga yang secara ekonomis memang miskin atau sangat miskin dan belum bisa menyediakan keperluan pokoknya dengan baik; 2) Karena alasan non ekonomi yaitu keluarga yang kemiskinannya bukan karena pada harta/uang atau kemampuan untuk mendukung ekonomi keluarganya tetapi miskin kepeduliannya untuk mengubah hidupnya menjadi lebih sejahtera misalna dalam hal partisipasi pembangunan dan kesehatan dengan membiarkan rumahnya masih berlantai tanah padahal sebenarnya mampu untuk memplester lantai rumahnya atau kalau anaknya sakit tidak dibawa/diperiksa ke puskesmas. Dengan demikian dana Kukesra dimaksudkan untuk diberikan kepada keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I alasan ekonomi yang mempunyai usaha ekonomi produktif. 2.1.1.3 Sebab-Sebab Kemiskinan Eyben et. al (2008) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibiliti. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahwa tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilaksanakan (buka apa yang seharusnya dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan dalam melakukan pilihan, akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat. Menurut Kuncoro (2000) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan meliputi: 1) Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah; 2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan; 3) Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty) adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang masyarakat terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan. Logika berfikir ini dilakukan oleh Nurske (2000), yang mengatakan: “a poor country is poor because it is poor” (negara miskin itu karena dia miskin). Menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan keluarga masuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, antara lain adalah. 1) Faktor internal a. Kesakitan b. Kebodohan c. Ketidaktahuan d. Ketidaktrampilan e. Ketertinggalan tehnologi f. Ketidakpunyaan modal. 2) Faktor eksternal a. Struktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan meningkatkan pendapatan b. Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang mendukung upaya peningkatan kualitas keluarga; Kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan. 2.1.2 Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) Unsur-unsur yang secara esensial tercakup dalam pengertian pendidikan menurut Dwi Siswono (2008) dalam bukunya “Ilmu Pendidikan”, adalah sebagai berikut : 1) Dalam pendidikan terkandung pembinaan (pembinaan kepribadian), pengembangan (pengembangan kemampuan-kemampuan atau potensi-potensi yang perlu dikembangkan), peningkatan (misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan tidak tahu tentang dirinya menjadi tahu tentang dirinya), serta tujuan (kearah mana peserta didik akan diharapkan mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin). 2) Dalam pendidikan, secara implisit terjalin hubungan antara dua pihak, yaitu pendidik dan peserta didik yang di dalam hubungan itu berlainan kedudukan serta peranan setiap pihak, akan tetapi sama dalam hal dayanya yaitu saling mempengaruhi, guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan) yang tertuju pada tujuan-tujuan yang diinginkan. 3) Pendidikan adalah proses sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi diri dalam rangka pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, sebagai makhluk social dan sebagai makhluk Tuhan. 4) Aktivitas pendidikan dapat berlangsung dalam keluarga, dalam sekolah, dan dalam masyarakat. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang melibatkan pendidik maupun peserta didik, dalam proses tersebut terjadi transfer pengetahuan yang kemudian menjadikan peserta didik lebih berkembang baik sebagai individu, makhluk sosial maupun makhluk Tuhan. Pendidikan itu sendiri tidak hanya bersifat formal (dalam sekolah), tetapi juga ada pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. 2.1.3 Pengaruh tingkat Pendidikan terhadap tingkat kemiskinan Tingkat pendidikan adalah program pemerintah yang memberikan kompensasi kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) guna mengurangi beban pengeluaran RTM akibat kenaikan harga bahan bakar minyak BBM. Berbeda dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar (PKPS BBM) lainnya, tingkat pendidikan diberikan secara langsung dan tunai kepada RTM berupa uang tunai sebesar Rp. 300.000.-/ 3 bulan sekali selama satu tahun terhitung dari Oktober 2005 sampai September 2006. Setiap RTM memperoleh uang kompensasi BBM sebesar Rp.1.200.000. yang dapat diambil dalam 4 tahapan, yaitu tahapan I dimulai pada bulan Oktober 2005 dan dilanjutkan ke tahapan II pada tahun 2006. pada tahapan ke II atau sering disebut tahapan susulan dibagi lagi ke dalam 3 tahapan, dimana pada setiap tahapan dana tingkat pendidikan yang diperoleh oleh RTM sebesar Rp. 300.000. Penghapusan subsidi BBM merupakan langkah yang berat yang pernah ditempuh oleh pemerintah Indonesia, karena rakyat Indonesia sejak dulu sudah dimanjakan dengan harga BBM yang lebih murah jika dibandingkan dengan harga BBM diluar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Penghapusan subsidi BBM oleh pemerintah dirasa perlu dilakukan karena subsidi BBM yang selama ini dilakukan dianggap tidak tepat sasaran dimana konsumsi BBM yang telah disubsidi oleh pemerintah lebih banyak dinikmati oleh orang-orang mampu, sehingga tujuan dari diberikan subsidi yaitu untuk mengurangi beban masyarakat kecil yang tidak mampu jauh dari kenyataan. Walaupun subsidi juga diterima oleh masyarakat kecil/kurang mampu, namun tidak sebesar yang dikonsumsi oleh mereka yang mampu. Selain itu dengan margin yang cukup besar antara harga BBM di Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura menyebabkan penyelundupan BBM dari Indonesia ke negara tersebut sering dilakukan. Dengan pertimbangan itulah pemerintah Indonesia merasa subsidi BBM sudah tidak relevan lagi untuk dijalankan, sehingga pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah yang dibilang tidak populer dengan menghapus subsidi BBM. Hal ini membawa dampak kepada masyarakat miskin, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dengan naiknya harga BBM akan meningkatkan biaya hidup masyarakat miskin sedangkan pendapatan yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhinya. Untuk meringankan beban dari masyarakat miskin akibat penghapusan subsidi BBM, pemerintah kemudian mengeluarkan bantuan tingkat pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Adapun tujuan dari tingkat pendidikan ini adalah pertama : membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kedua : mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi (BPS Provinsi Bali, 2005). Dilihat dari tujuannya, tingkat pendidikan memang dimaksudkan untuk mengurangi angka kemiskinan. Artinya, kalau garis kemiskinan ditunjukkan oleh penghasilan minimal Rp. 182.636 per orang (BPS, 2008), dan pemerintah telah memberikan Rp. 100.000 per orang per bulan, ditambah dengan penghasilannya sendiri, misalnya Rp. 100.000 per bulan, maka totalnya di bulan itu dia memiliki uang Rp. 200.000. Jadi, orang tersebut tidak termasuk orang miskin tentunya juga ada indikator lainnya. Sehingga, orang seperti ini tidak termasuk dalam catatan angka kemiskinan. Dengan kata lain, mereka tidak menjadi orang miskin hanya karena mendapatkan tingkat pendidikan. Jadi, dalam hal ini terdapat pengaruh negatif antara BLT terdapat jumlah penduduk miskin (Ascholani, 2009). 2.1.4 Pengaruh Inflasi terhadap Tingkat Kemiskinan Menurut Boediono (2001), inflasi adalah kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Ini tidak berarti, bahwa harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan, namun yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. 2.1.4.1 Jenis-jenis Inflasi 1) Menurut parah tidaknya. inflasi dapat digolongkan menjadi. a) Inflasi ringan (kurang dari 10% setahun) b) Inflasi sedang (antara 10-30% setahun) c) Inflasi berat (antara 30-100% setahun) d) Hyper inflasi (lebih dari 100% setahun) 2) Berdasarkan sebab musababnya. inflasi dapat digolongkan menjadi. a) Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang semakin kuat. Inflasi semacam ini disebut “demand inflation”. b) Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi atau disebut dengan “cost inflation”. 3) Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi. a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). Inflasi yang berasal dari dalam negeri dapat timbul karena adanya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya. b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga (inflasi) di luar negeri atau negara-negara yang melakukan perdagangan dengan negara tersebut. Ada 3 (tiga) hal yang mengakibatkan kenaikan harga barang yang di impor yaitu sebagai berikut. 1) Secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena, sebagian dari barang-barang yang tercakup didalamnya berasal dari impor. 2) Secara tidak langsung menaikan indeks harga melalui kenaikan ongkos produksi dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus di impor. 3) Secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri, karena ada kemungkinan kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah atau swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand inflation). Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri jelas lebih mudah terjadi pada negaranegara yang perekonomiannya terbuka, yaitu negara dengan sektor perdagangan luar negerinya penting. Namun berapa jauh penularan tersebut terjadi juga tergantung kepada kebijaksanaan pemerintah yang diambil. Dengan kebijakan moneter dan perpajakan tertentu pemerintah bisa menetralisir kecenderungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut. 2.1.4.2 Sebab-sebab Terjadinya Inflasi Penggolongan inflasi menurut Boediono (1993). berdasarkan penyebab awal terjadinya didasarkan atas empat macam sebagai berikut. 1) Inflasi karena dorongan permintaan (demand full inflation), yaitu inflasi yang terjadi sebagai akibat permintaan total terhadap barang ataupun jasa naik lebih cepat dibandingkan dengan tingkat output full employment. 2) Inflasi karena biaya (cost push inflation), yaitu inflasi yang diakibatkan karena banyaknya golongan dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan untuk memaksakan kenaikan gaji atau upah serta harga. 3) Inflasi karena struktur pemerintahan (bottle neck inflation), yaitu inflasi yang disebabkan karena berubahnya struktur pemerintahan yang cepat dibandingkan dengan peredaran barang-barang. Biasanya inflasi ini terjadi karena perang. bencana alam dan lain sebagainya. 4) Inflasi karena pengeluaran pemerintah (government current expenditure inflation), yaitu inflasi yang terjadi jika pemerintah melakukan lebih banyak pengeluarannya untuk pembelian barang-barang dari pada apa yang bisa dicapai dari pungutan pajak. Berdasarkan dari konsep yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya inflasi, yaitu bila terjadi kelebihan permintaan terhadap barang dan jasa disektor riil atau kalau dilihat dari sektor moneter, inflasi terjadi karena adanya kelebihan jumlah uang beredar, sehingga masyarakat akan melakukan pengeluaran lebih besar, padahal output riil sudah mencapai keadaan full employment. Menurut Phillips (Rahardja & Manurung, 2008) bahwa ada trade off (imbang korban atau harga yang harus dibayar) antara tingkat inflasi dan pengangguran. Jika ingin mengurangi tingkat pengangguran, harga yang harus dibayar adalah meningginya inflasi. Dengan naiknya inflasi maka pengangguran berkurang, dimana berarti masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan juga berkurang. Jadi, antara tingkat inflasi dan pengangguran terdapat hubungan yang negatif. 2.1.5 Teori Konsep Tenaga Kerja Kesempatan kerja (employment) adalah kesempatan yang tercipta akibat perkembangan ekonomi tertentu, dalam arti kesempatan kerja itu mungkin saja sudah terisi atau ada yang belum terisi. Kesempatan kerja yang selama ini dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baik melalui sensus penduduk maupun survai penduduk baik kesempatan kerja yang dirinci menurut lapangan usaha, jenis jabatan, maupun status hubungan kerja adalah menyangkut kesempatan kerja yang telah terisi. Jadi menyangkut mereka yang telah bekerja dan ini juga dapat disebut pekerja(Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014) Istilah employment dalam bahasa Inggris berasal dari kata kerja to employ yang berarti menggunakan dalam suatu proses atau usaha memberikan pekerjaan atau sumber penghidupan. Jadi employment berarti keadaan orang yang sedang mempunyai pekerjaan.Penggunaan istilah employment sehari-hari biasa dinyatakan dengan jumlah orang dan yang dimaksudkan ialah sejumlah orang yang ada dalam pekerjaan atau mempunyai pekerjaan. Pengertian ini mempunyai dua unsur yaitu lapangan atau kesempatan kerja dan orang yang dipekerjakan atau yang melakukan pekerjaan tersebut.Jadi pengertian employment dalam bahasa Inggris sudah jelas yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki (Soeroto, 2006). Pengangguran dalam suatu negara adalah perbedaan diantara angkatan kerja dengan penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya. Angkatan kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu tertentu. Untuk menentukan angkatan kerja diperlukan dua informasi yaitu (1) jumlah penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun dan belum ingin bekerja (contoh adalah pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga dan pengangguran sukarela), dan (2) jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang masuk pasar kerja (yang sudah ingin bekerja) jumlah penduduk dalam golongan (2) dinamakan angkatan kerja dan penduduk golongan (1) dinamakan bukan angkatan kerja. Dengan demikian angkatan kerja dalam suatu periode tertentu dapat dihitung dengan mengurangi jumlah penduduk usia kerja dengan jumlah bukan angkatan kerja. Perbandingan diantara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja yang dinyatakan dalam persen dinamakan tingkat partisipasi angkatan kerja. Dalam prakteknya suatu negara dianggap sudah mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh atau kesempatan kerja penuh (Sukirno, 1994). Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 1969, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pasal 1). Jadi pengertian tenaga kerja menurut ketentuan ini meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja, dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun pikiran. Menurut Simanjuntak (2000) tenaga kerja (man power) mengandung dua pengertian. Pertama, tenaga kerja mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini tenaga kerja mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Kedua, tenaga kerja mencakup orang yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut, mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Menurut Simanjuntak (2000) angkatan kerja dibedakan dalam tiga golongan seperti berikut. 1) Penganggur (open unemployment), yaitu orang yang sama sekali tidak bekerja dan berusaha mencari pekerjaan. 2) Setengah pengangguran (underemployment), yaitu mereka yang kurang dimanfaatkan dalam bekerja dilihat dari segi jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan. Setengah pengangguran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a) setengah pengangguran kentara (visible underemployed) yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, dan b) setengah pengangguran tidak kentara (invisible underemployed) yaitu mereka yang produktivitas kerja dan pendapatannya rendah. c) Bekerja penuh, yaitu keadaan dimana bekerja sesuai dengan jam kerja yaitu 35 jam seminggu dan pendapatannya, produktivitas kerja tinggi. Menurut Manning, (1990) dalam Marhaeni dan Manuati, (2004), permintaan terhadap tenaga kerja selain dapat dilihat secara mikro yaitu dari segi perusahan juga dapat dilihat secara makro baik secara sektoral, jenis jabatan, dan status hubungan kerja. Permintaan tenaga kerja secara makro juga sering dikenal dengan istilah kesempatan kerja atau jumlah orang yang bekerja. Konsep bekerja atau kesempatan kerja mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Suatu negara dianggap baru mulai mendekati titik balik atau turning point dalam pembangunan apabila jumlah tenaga kerja disektor pertanian mulai turun secara absolut. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembangunan biasanya disertai dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan sektor jasa, serta keberhasilan strategi pembangunan biasanya sering dikaitkan dengan kecepatan pertumbuhan sektor manufaktur yang dianggap berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas pekerja. Penelitian lainnya dilakukan oleh Elnopembri (2008) dengan judul “Analisis Faktorfaktor yang mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Industri Kecil Di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990-2004”.Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa upah minimum regional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Tingkat suku bunga kredit investasi Bank Pemerintah Daerah dan Bank Persero Pemerintah di Daerah sama sama memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri kecil artinya peningkatan suku bunga kredit hanya akan mengakibatkan turunnya permintaan tenaga kerja sektor industri kecil. Nilai produksi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan oleh Edyan (2005) dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta”.Hasil ini menunjukkan bahwa variabel PDRB, Investasi, Upah minimum Provinsi (UMP) dan Angkatan Kerja secara bersama sama berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. Namun apabila dilihat secara parsial, variabel investasi tidak sesuai dengan hipotesis, dimana hasil analisisnya menunjukkan pengaruh negatif terhadap kesempatan kerja. Ketidaksesuaian ini diantaranya disebabkan oleh adannya realokasi beberapa industri ke luar wilayah DKI Jakarta. Sedangkan analisis dari variabel PDRB, Angkatan Kerja, dan UMP sesuai dengan hipotesis, dimana PDRB berpengaruh positif, angkatan kerja berpengaruh positif, dan UMP berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. pada periode II (2006-2010) dibandingkan pada periode I (2001-2005). 2.1.6 Pengangguran Pengertian pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran adalah ketimpangan kesempatan yang terjadi antara angkatan kerja dan kesempatan kerja sehingga tidak dapat melakukan kegiatan kerja. Terjadinya pengangguran tidak hanya disebabkan oleh kurangnya lowongan pekerjaan akan tetapi kurangnya keterampilan yang dimiliki para pencari kerja. Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif tidak sedang mencari pekerjaan (Nanga, . Sukirno mengatakan pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum memperolehnya. Menakertrans menyebutkan bahwa pengangguran adalah orang yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Menurut Payman J.Simanjuntak, pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan. Penyebab terjadinya pengangguran dapat diuraikan sebagai berikut: a) Kurangnya lapangan pekerjaan b) Pertumbuhan penduduk yang cepat tidak sesuai dengan jumlah lapangan pekerjaan. c) Tidak adanya kecocokan upah d) Kurangnya informasi mengenai lowongan pekerjaan e) Tidak mau menjalani wirausaha f) Angkatan kerja tidak mampu memenuhi kualifikasi yang diinginkan oleh dunia kerja g) Ketidakberhasikan sektor industri kecil dan industri rumah tangga. Beberapa jenis pengangguran ada juga yang diklasifikasikan menurut sifatnya, diantaranya: a) Pengangguran terbuka yaitu orang yang tidak bekerja sama sekali dan tidak sedang berusaha mencari pekerjaan b) Setengah menganggur yaitu orang yang berkerja namun tenaganya kurang dimanfaatkan diukur dari jam kerja, produktifitas kerja dan penghasilannya. c) Pengangguran terselubung adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alas an tertentu, misalnya sarjana yang bekerja sebagai tukang kebun. Menurut Edgar O.Edward (tahun 1974) pengangguran dibagi ke dalam 5 bentuk, yaitu: a) Pengangguran terbuka: mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik (secara sukarela) ataupun mereka yangmau bekerja namun tidak mendapatkan pekerjaan (secara terpaksa). b) Setengah menganggur (underemployment): mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih sedikit daripada yang biasa mereka kerjakan. c) Tampaknya bekerja namun tidak bekerja secara penuh: mereka yang tidak tergolong pada pengangguran terbuka dan setengah menanggur yang dapat diklasifikasikan lagi sebagai berikut: 1) Pengangguran tak kentara (disguised employment) misalnya petani yang bekerja di ladang selama satu hari penuh padahal seharusnya pekerjaan tersebut tidak memerlukan waktu seharian untuk dikerjakan. 2) Pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) misalnya orang yang bekerja tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. 3) Pensiun lebih awal yang biasanya sering dialami oleh pegawai pemerintahan. Di beberapa negara usia pensiun diatur lebih awal untuk memberi kesempatan untuk kalangan yang lebih muda menduduki jabatan diatasnya. d) Tenaga kerja yang lemah (impaired): mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi intensitasnya lemah karena menderita suatu penyakit. e) Tenaga kerja yang tidak produktif: mereka yang mampu bekerja secara produktif namun terkendala oleh sumber daya-sumber daya yang mendukung pelaksanaan pekerjaannya. 2.1.7 Investasi Investasi adalah setiap wahana dimana dana ditempatkan dengan harapan untuk dapat memelihara atau menaikkan nilai atau memberikan hasil yang positif (Elyani, 2010). Adhisasmita (2005), mengemukakan bahwa investasi atau perpindahan modal (swasta maupun pemerintah) merupakan sarana bagi proses kumulatif, mengarah ke atas di daerah yang bernasib baik dan mengarah ke bawah di daerah yang bernasib tidak baik. Di daerah perkotaan yang sedang mengalami perkembangan, kenaikan permintaan akan mendorong pendapatan dan permintaan, yang selanjutnya menaikkan investasi, dan demikian seterusnya. Di daerah-daerah lainnya dimana perkembangan sangat lamban maka permintaan terhadap modal untuk investasi adalah rendah sebagai akibat dari rendahnya penawaran modal dan pendapatan yang cenderung makin rendah. Perbedaan perkembangan tersebut dan terkonsentrasinya investasi di daerahdaerah yang mapan mengakibatkan terjadinya ketimpangan atau bertambahnya ketidakmerataan. Todaro dalam Lubis (2008) mengatakan bahwa sumber daya yang akan digunakan untuk meningkatkan pendapatan dan konsumsi di masa yang akan datang disebut investasi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1996), investasi merupakan suatu hal yang penting dalam pembangunan ekonomi karena investasi ini dibutuhkan sebagai faktor penunjang didalam peningkatan proses produksi. Dengan demikian investasi diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian, sehingga investasi disebut juga dengan penanaman modal. (Sukirno, 2010) Investasi merupakan langkah mengorbankan konsumsi saat ini untuk memperbesar konsumsi di masa datang. Selain itu investasi mendorong terjadinya akumulasi modal. Penambahan stok bangunan gedung dan peralatan penting lainnya akan meningkatkan output potensial suatu bangsa dan merangsang pertumbuhan ekonomi untuk jangka panjang. Investasi ini memiliki peran aktif dalam menentukan tingkat output, dan laju pertumbuhan output tergantung pada laju investasi (Arsyad, 1999). Lebih lanjut, Jhingan (1999) menyebutkan salah satu efek kegiatan investasi pada sisi permintaan agregat yang mempengaruhi pendapatan bila investasi meningkat, maka pengeluaran agregat akan meningkat, yang kemudian meningkatkan pendapatan daerah melalui proses multiplier. Untuk mendapatkan gambaran mengenai perkembangan investasi dari waktu ke waktu, ada tiga macam cara (berdasarkan tiga gugus data) yang bisa dilakukan (Dumairy,1996). Pertama, dengan menyoroti kontribusi pembentukan modal domestik bruto dalam konteks permintaan agregat, yakni dengan melihat sumbangan atau perkembangan variabel investasi dalam persamaan pendapatan nasional, Y=C+I+G+X-M dimana C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah Pengeluaran pemerintah, X adalah jumlah ekspor dan M adalah nilai impor. Data investasi merupakan data keseluruhan investasi domestik bruto, meliputi baik investasi oleh swasta (PMDN dan PMA) maupun oleh pemerintah. Kedua, ialah dengan mengamati data PMDN dan PMA, dimana dengan cara ini berarti hanya mengamati investasi oleh kalangan dunia usaha swasta saja. Ketiga, adalah dengan menelaah perkembangan dana investasi yang disalurkan oleh dunia perbankan. Cakupan data dengan cara ini relatif lebih terbatas, karena belum memperhitungkan modal sendiri yang ditanam oleh investor. 1) Pembentukan modal tetap bruto mencakup pengadaan, pembuatan atau pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan barang modal baru maupun bekas dari luar negeri.Barang modal yang dibeli atau dibuat sendiri adalah barang tahan lama yang digunakan untuk berproduksi dan biasanya berusia pakai satu tahun lebih. Pembentukan modal tetap domestik bruto dibedakan atas: 2) Pembentukan modal tetap berupa bangunan/konstruksi; nilainya dihitung dengan menjumlahkan nilai seluruh keluaran (output) sektor konstruksi yaitu nilai bahan bangunan/konstruksi ditambah ongkos angkut dan marjin perdagangan serta biaya lain berupa jasa serta biaya primer. Nilai keluaran sektor bangunan yang berasal dari perbaikanperbaikan ringan/kecil tidak dihitung sebagai pembentukan modal. 3) Pembentukan modal tetap berupa mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan baik yang berasal dari impor maupun hasil produksi dalam negeri yang nilainya dihitung dengan menjumlahkan nilai mesin/alat yang bersangkutan ditambah ongkos angkut dan marjin perdagangan serta biaya-biaya lainnya. 2.1.8 Pengaruh Teori Investasi dan Penanaman Modal Asing terhadap Tingkat Kemiskinan. Semasa orde baru Indonesia sempat menentang masuknya modal asing. khususnya modal dari negara-negara barat. Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan Secara garis besar investasi dapat di golongkan menjadi 3 antara lain. 1) Autonomous Investment, yaitu macam investasi yang tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. misalnya investasi pada rehabilitas prasarana jalan. irigasi dan sebagainya. Walaupun investasi ini tidak mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan tetapi secara tidak langsung (dengan sendirinya) dilaksanakan untuk memperlancar roda perekonomian itu sendiri. Investasi ini sering dilakukan oleh pemerintah, karena investasi ini akan menyangkut banyak aspek sosial budaya yang ada di masyarakat. 2) Induced Investment, yaitu investasi yang mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan yang ada pada masyarakat di suatu tempat atau suatu negara menyebabkan kenaikan kebutuhan barang tertentu. 3) Investasi yang sifatnya dipengaruhi adanya tingkat bunga uang atau modal yang berlaku dimasyarakat. Investasi swasta di Indonesia yang terjadi dengan kemudahan-kemudahan fasilitas adalah berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Pengertian Penanaman Modal asing (PMA) menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1997 adalah hanya meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan No 1 tahun 1997 yang digunakan untuk menjalankan perusahan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut. Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio. Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrument surat berharga seperti saham dan obligasi. Investasi langsung dikenal dengan PMA merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun. membeli total atau mengakuisisi perusahaan. Penanaman modal asing lebih banyak mempunyai kelebihan dibanding dengan investasi portofolio. Selain sifatnya yang permanent/jangka panjang, PMA juga memberikan andil dalam alih teknologi, alih ketrampilan manajemen dan membuka lapangan pekerjaan baru. Semenjak diberlakukannya Undang-undang No. 1/Tahun 1967 tentang PMA, investasi cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. Walaupun demikian, pada tahun-tahun tertentu sempat juga terjadi penurunan. Penanaman modal tahun sebelumnya adalah penanama modal tahun lalu yang akan memberikan kobtribusi atau pengaruh yang tahun akan datang. Peningkatan dalam investasi akan mengakibatkan semakin banyaknya lapangan kerja yang tercipta. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan daya beli masyarakat secara umum. Meningkatnya daya beli masyarakat ini akan menyebabkan perekonomian semakin berkembang, dengan perekonomian yang semakin berkembang tentunya jumlah penduduk miskin akan berkurang. Jadi, dalam hal ini terdapat pengaruh negatif antara investasi terhadap jumlah penduduk miskin. 2.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai tingkat kemiskinan telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2009) yang berjudul ” Analisis Pengaruh PMA, PMDN dan Laju Inflasi terhadap Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 1990 – 2003” diperoleh kesimpulan : bahwa variabel PMA, PMDN dan Laju Inflasi secara bersama-sama dan parsial berpengaruh secara signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Pada uji tahap II Partial Adjusment Model (PAM) bahwa dalam jangka pendek dan panjang variabel Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah. Penelitian lainnya mengenai kemiskinan juga pernah dilakukan oleh: Dian Octaviani (2008) yang berjudul “Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Perkotaan Indonesia”. Dalam penelitian ini diperoleh hasil Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa inflasi dan pengangguran bersama-sama dengan variabel lain yaitu rasio antara garis kemiskinan dengan pendapatan rata-rata, tingkat kemiskinan periode sebelumnya, variabel-variabel demografis serta rasio gini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan, baik terhadap head-count poverty, poverty gap maupun squared poverty gap. Secara lebih spesifik, pengangguran memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat kemiskinan sedangkan variabel inflasi memperlihatkan pengaruh yang cenderung tidak konsisten dengan tingkat signifikansi yang iebih rendah. Triana dan Lidya (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai kemiskinan dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia” diperoleh hasil bahwa dari seluruh sampel yang diteliti (53.108.176 rumah tangga), sebanyak 62,7 persen termasuk kategori tidak miskin, 14,9 persen termasuk dalam kategori hampir miskin, dan 22,4 persen masuk dalam kategori rniskin. Probabilita suatu rumahtangga untuk berada pada kategori tidak miskin adalah 71,97 persen, sementara itu probabilita rumahtangga berada pada kategori hampir miskin adalah 13,13 persen, dan probabilitas suatu rumah tangga berada pada kategori miskin adalah 14,9 persen. Berdasarkan analisis deskriptif, persentase tertinggi pada rumahtangga miskin dimiliki oleh mereka yang berpendidikan tidak pernah sekolah/tidak tamat SD, tinggal di perdesaan, memiliki sumber penerangan selain listrik PLN, lapangan usaha utama kepala keluarga di sektor pertanian, memiliki rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang besar, memiliki jumlah penduduk dewasa melek huruf yang sedikit, dan rata-rata jarak yang harus ditempuh ke fasilitas kesehatan, ekonomi, pendidikan lebih jauh dari rumah. Faktor-faktor yang diharapkan dapat meningkatkan probabilitas suatu rumah tangga untuk berada pada kategori hampir miskin dan tidak miskin adalah dengan cara meningkatkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga, memperhitungkan kembali jumlah anggota rumah tangga, meningkatkan jumlah anggota rumah tangga yang dapat membaca dan menulis, mendorong perluasan lapangan usaha yang digeluti para kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga, dan kemudahan akses dalam memperoleh rumah yang murah, sumber penerangan listrik PLN dan jarak yang harus ditempuh ke fasilitas pendidikan. Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada variabel terikat yang digunakan. Dalam penelitian ini dan penelitian sebelumnya sama-sama menggunakan variabel tingkat kemiskinan sebagai variabel terikat. Penelitian ini mencoba mengembangkan beberapa penelitian sebelumnya dengan memfokuskan pada peran pemerintah dan dunia usaha, dalam hal ini pengeluaran pemerintah dan investasi, terhadap pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Secara cakupan daerah penelitian, penelitian ini sama dengan yang dilakukan Muammil Sun’an dan Endang Astuti (2008) serta penelitian dari Ni Nyoman Yuliarmi (2008) yaitu tingkat provinsi. Variabel penelitian ini sama dengan variabel penelitian Muammil Sun’an. Perbedaannya terletak pada wilayah penelitian, perbedaan yang lainnya juga terdapat pada variabel bebas yang digunakan, kerangka berpikir, alat analisis yang dipergunakan, waktu penelitian, sumber data komponen variabel yang digunakan. Alat analisis penelitian ini menggunakan jalur path untuk menganalisis hubungan tingkat inflasi, investasi dan pendidikan terhadap kemiskinana melalui pengangguran.