BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep-konsep dan Definisi Yang Digunakan
2.1.1 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama diperbincangkan karena
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya. Dalam Panduan
Keluarga Sejahtera (2006) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya.
2.1.1.1 Pandangan Teoritis Mengenai Kemiskinan
Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan yang
seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin di dalam lemahnya kemauan untuk maju,
rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya
produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki berpartisipasi dalam pembangunan.
Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan muncul
berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri multikompleks, dinamis,
dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan dilihat dari berbagai sudut
pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan relatif adalah penduduk yang telah
memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar namun jauh lebih rendah dibanding
keadaan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan menurut tingkatan kemiskinan adalah kemiskinan
13
sementara dan kemiskinan kronis. Kemiskinan
sementara yaitu kemiskinan yang terjadi sebab
adanya bencana alam dan kemiskinan kronis yaitu kemiskinan yang terjadi pada mereka yang
kekurangan keterampilan, aset, dan stamina (Angahar, 2012).
Penyebab kemiskinan menurut Prem (2002) sebagai berikut. 1) Secara makro, kemiskinan
muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan
distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah
yang terbatas dan kualitasnya rendah; 2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber
daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga
rendah, upahnya pun rendah; 3) kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal.
Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan atau
vicious circle of poverty (Gambar 2.1). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar,
kurangnya
modal
menyebabkan
rendahnya
produktivitas.
Rendahnya
produktivitas
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan
berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada
keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir yang dikemukakan Nurkse (2000) yang
mengemukakan bahwa negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor
because it is poor).
Menurut Prem (2002) yang mengutip pendapat Chambers bahwa ada lima
“ketidakberuntungan” yang melingkari orang atau keluarga miskin yaitu sebagai berikut. 1)
Kemiskinan (poverty) memiliki tanda-tanda sebagai berikut: rumah mereka reot dan dibuat dari
bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, ekonomi keluarga
ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang serta pendapatan yang tidak menentu; 2)
Masalah kerentanan (vulnerability), kerentanan ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga
miskin menghadapi situasi darurat.
Ketidak sempurnaan pasar
Keterbelakangan
Ketinggalan
Kekurangan
modal
Investasi rendah
Produktifitas rendah
Tabungan rendah
pendapatan rendah
Gambar 2.1
Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Ragnar Nurkse
Sumber : Ragnar Nurkse, 1961
Perbaikan ekonomi yang dicapai dengan susah payah sewaktu-waktu dapat lenyap ketika
penyakit menghampiri keluarga mereka yang membutuhkan biaya pengobatan dalam jumlah
yang besar; 3) Masalah ketidakberdayaan. Bentuk ketidakberdayaan kelompok miskin tercermin
dalam ketidakmampuan mereka dalam menghadapi elit dan para birokrasi dalam menentukan
keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasi
dirinya; 4) Lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kualitas maupun
kuantitas sehingga konsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada rendahnya
produktivitas mereka; 5) Masalah keterisolasian. Keterisolasian fisik tercermin dari kantongkantong kemiskinan yang sulit dijangkau sedang keterisolasian sosial tercermin dari ketertutupan
dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat yang lebih luas. Dari berbagai teori yang
telah diuraikan di atas, bahwa kemiskinan itu adalah mereka yang tidak mampu memiliki
penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka membutuhkan uluran
tangan dan bantuan orang lain mencukupi kebutuhannya.
2.1.1.2 Konsep Tentang Kemiskinan
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu
mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar
hidup tertentu. Untuk memahami pengertian tentang kemiskinan ada berbagai pendapat yang
dikemukakan. Menurut Cornwall dan Brock (2005) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu
standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah
atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak
pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang
tergolong sebagai orang miskin.
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang telah ada sejak dahulu dan jumlahnya juga
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk suatu negara. Fenomena ini memerlukan
penanganan yang serius dan tindakan-tindakan nyata untuk mengatasinya dari berbagai pihak
baik pemerintah, swasta, LSM, maupun masyarakat secara umum. Kemiskinan menggambarkan
ketidak berdayaan atau ketidak mampuan suatu masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
kegiatan bermasyarakat secara ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
Dalam istilah kemiskinan, banyak pengertian yang telah dirangkum dari banyak pakar.
Diantaranya adalah yang diungkapkan oleh White (2005)," yang dimaksud dengan kemiskinan
adalah tingkat kesejahteraan masyarakat terdapat perbedaan kriteria dari satu wilayah dengan
wilayah
lain".
Dan menurut Kesuma (2008), "kemiskinan adalah tentang adanya pertambahan kesejahteraan
penduduk di kota yang terus meningkat, sementara penduduk yang berada di perdesaan relatif
stabil ataupun menurun serta belum terlihat kecenderungan untuk membaik." Pengertian lain
disampaikan oleh Mubyarto (2009) menyebutkan bahwa pengertian kemiskinan tersebut adalah
rendahnya taraf kehidupan suatu masyarakat baik yang berada di perdesaan maupun yang berada
di daerah perkotaan.
Soetrisno (2007) menyebutkan bahwa ada dua kategori
kelompok miskin, yaitu
kelompok miskin produktif dan kelompok miskin tidak produktif. Pengelompokan ini menjadi
sangat penting karena ia merupakan dasar dari seleksi untuk menentukan siapa dari kelompok
miskin yang dapat ikut dalam suatu program anti kemiskinan yang dikembangkan oleh
pemerintah. Dan untuk kelompok miskin yang tidak produktif di serahkan kepada Dinas Sosial
untuk dibimbing.
Soetrisno (2007) mengemukakaan pendapatnya tentang kemiskinan yaitu “Kemiskinan adalah
suatu hal yang komplek dan karenanya tidak dapat dijelaskan dengan hanya melihat dari satu
segi saja. Dalam pelaksanaan program anti kemiskinan maka diperlukan definisi dan indikator
kemiskinan lokal”.
Sebagaimana yang diungkapkan Friedman (2004), melihat masalah kemiskinan sebagai
masalah struktural, dimana masyarakat miskin tidak mempunyai akses terhadap delapan
kekuatan sosial yang mendasar, yakni ruang untuk hidup, surplus waktu, pengetahuan dan
keterampilan, informasi yang tepat, organisasi sosial, kerjasama, sumber-sumber finansial, alatalat untuk bekerja dan hidup. Permasalahan kemiskinan sudah sangat mendesak untuk ditangani.
Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin
adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan
kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, serta mata
pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat
persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di
tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset
dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi dari gejala-gejala kemiskinan
tersebut muncul dalam berbagai bentuk, seperti antara lain.
1) Dimensi Politik, sering muncul dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang
mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka
benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri
mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber
daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak,
termasuk akses informasi;
2) Dimensi Sosial, sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke
dalam institusi sosial yang ada, terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak
kualitas manusia dan etos kerja mereka, serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial;
3) Dimensi Lingkungan, sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang
yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung
memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan
perlindungan lingkungan serta permukiman;
4) Dimensi Ekonomi, muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
5) Dimensi Aset, ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai
hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya
manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan, dan
sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka, usaha pengentasan kemiskinan harus diarahkan
kepada peningkatan akses masyarakat miskin terhadap kelima kekuatan dasar sosial tersebut.
Dengan kosekuensi program-program pengentasan masalah kemiskinan harus dirumuskan dalam
kerangka besar pemberdayaan (empowerment), yang menekankan pada penguatan masyarakat
sipil.
Pada dekade 70-an timbul perubahan pendekatan terhadap pembangunan terutama
pembangunan kemiskinan yang menjadi masalah pokok dan berkepanjangan. Pendekatan baru
disumbangkan oleh pengalaman administrasi pembangunan dunia ketiga. Pandangan Coralie
Bryant dan Louise White dalam Managing Development in Third World (1982) dikemukakan
sebagai contoh. Menurut kedua wanita ahli ini, pembangunan ialah upaya untuk meningkatkan
kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya. Ada lima implikasi utama definisi
tersebut adalah.
1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu
maupun kelompok (capacity)
2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan
kesejahteraan (equity)
3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun
dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan
dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk
memutuskan (empowerment)
4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri
(sustainability)
5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara yang
lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati
(interdependence).
Dari pengertian oleh kedua ahli di atas dapat disimpulkan untuk membentuk ada lima
faktor utama yang dapat untuk pengembangan community development yaitu capacity, equity,
empowerment, sustainability, interdependence, dari kelima faktor tersebut sangatlah penting
untuk mengentaskan kemiskinan yang terjadi diperkotaan maupun didalam masyarakat pedesaan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003) menjelaskan kemiskinan adalah
situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh masyarakat miskin,
melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Pendapat lain
dikemukakan oleh Setyawan (2001) yang menyatakan kemiskinan adalah adanya gap atau jurang
antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai tersebut
secara layak. Menurut Prem (2002), ada lima ketidak beruntungan yang melingkari kehidupan
orang atau keluarga miskin, yaitu.
1) Kemiskinan (poverty);
2) Fisik yang lemah (physsical weaknes);
3) Kerentanan (vulnerability);
4) Keterisolasian (isolation);
5) Ketidakberdayaan (powerlessness).
Kelima hal tersebut merupakan kondisi nyata yang ada pada masyarakat miskin di negara
berkembang. Kemiskinan menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN (1996)
adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf
kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya
untuk memenuhi kebutuhannya. Miskin atau kurang sejahtera dalam pengertian Pembangunan
Keluarga Sejahtera dengan kondisi keluarga sebagai berikut.
1) Pra Sejahtera, adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
keluarga berencana. Secara operasional keluarga tersebut tampak dalam ketidak
mampuan untuk memenuhi salah satu indikator sebagai berikut:
a. Menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya;
b. Makan minimal 2 kali per hari;
c. Pakaian lebih dari satu pasang;
d. Sebagian besar lantai rumahnya bukan dari tanah;
e. Jika sakit dibawa ke sarana kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera I, adalah keluarga-keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psiikologis,
seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan
tempat tinggal dan transportasi. Secara operasional mereka tidak mampu memenuhi salah
satu indikator sebagai berikut:
a. Menjalankan ibadah secara teratur
b. Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan
c. Minimal memiliki baju bbaru sekali dalam setahun
d. Luas lantai rumah rata-rata 8 m2 per anggota keluarga
e. Tidak ada anggota keluarga yang berusia 10-60 yang buta huruf latin
f. Semua anak usia 7 sampai dengan 15 tahun sekolah
g. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap
h. Dalam 3 bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik.
Diketahui pula bahwa keadaan yang serba kekurangan ini terjadi bukan seluruhnya
karena kehendak keluarga yang bersangkutan tetapi karena keterbatasan-keterbatasan yang
dimiliki oleh keluarga sehingga telah membuat mereka termasuk keluarga Pra Sejahtera dan
Sejahtera I. Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I itu dibagi atas dua kelompok, yaitu.
1) Karena alasan ekonomi/keluarga miskin yaitu keluarga yang menurut kemampuan
ekonominya lemah dan miskin. Keluarga-keluarga semacam ini mempunyai sifat seperti
yang dalam indikator yang dikembangkan oleh BPS dan Bappenas, yaitu keluarga yang
secara ekonomis memang miskin atau sangat miskin dan belum bisa menyediakan
keperluan pokoknya dengan baik;
2) Karena alasan non ekonomi yaitu keluarga yang kemiskinannya bukan karena pada
harta/uang atau kemampuan untuk mendukung ekonomi keluarganya tetapi miskin
kepeduliannya untuk mengubah hidupnya menjadi lebih sejahtera misalna dalam hal
partisipasi pembangunan dan kesehatan dengan membiarkan rumahnya masih berlantai
tanah padahal sebenarnya mampu untuk memplester lantai rumahnya atau kalau anaknya
sakit tidak dibawa/diperiksa ke puskesmas.
Dengan demikian dana Kukesra dimaksudkan untuk diberikan kepada keluarga Pra
Sejahtera dan Sejahtera I alasan ekonomi yang mempunyai usaha ekonomi produktif.
2.1.1.3 Sebab-Sebab Kemiskinan
Eyben et. al (2008) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan
adalah persoalan aksesibiliti. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia
mempunyai keterbatasan (bahwa tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali
menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilaksanakan (buka apa yang seharusnya
dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan dalam melakukan pilihan,
akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat.
Menurut Kuncoro (2000) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan meliputi:
1) Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin
hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah;
2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas
sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya
upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib
yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan;
3) Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious
circle poverty) adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal
menyebabkan rendahnya produktifitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang
masyarakat terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan. Logika
berfikir ini dilakukan oleh Nurske (2000), yang mengatakan: “a poor country is poor because it
is poor” (negara miskin itu karena dia miskin).
Menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan keluarga masuk dalam kategori
Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, antara lain adalah.
1) Faktor internal
a. Kesakitan
b. Kebodohan
c. Ketidaktahuan
d. Ketidaktrampilan
e. Ketertinggalan tehnologi
f. Ketidakpunyaan modal.
2) Faktor eksternal
a. Struktur sosial ekonomi
yang menghambat peluang untuk berusaha dan
meningkatkan pendapatan
b. Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang mendukung upaya peningkatan
kualitas
keluarga;
Kurangnya
akses
untuk
dapat
memanfaatkan
fasilitas
pembangunan.
2.1.2 Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
menumbuhkan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional) Unsur-unsur yang secara esensial tercakup dalam
pengertian pendidikan menurut Dwi Siswono (2008) dalam bukunya “Ilmu Pendidikan”, adalah
sebagai berikut :
1) Dalam pendidikan terkandung pembinaan (pembinaan kepribadian), pengembangan
(pengembangan
kemampuan-kemampuan
atau
potensi-potensi
yang
perlu
dikembangkan), peningkatan (misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan tidak tahu
tentang dirinya menjadi tahu tentang dirinya), serta tujuan (kearah mana peserta didik
akan diharapkan mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin).
2) Dalam pendidikan, secara implisit terjalin hubungan antara dua pihak, yaitu pendidik dan
peserta didik yang di dalam hubungan itu berlainan kedudukan serta peranan setiap
pihak, akan tetapi sama dalam hal dayanya yaitu saling mempengaruhi, guna
terlaksananya
proses
pendidikan
(transformasi
pengetahuan,
nilai-nilai,
dan
keterampilan-keterampilan) yang tertuju pada tujuan-tujuan yang diinginkan.
3) Pendidikan adalah proses sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan diri secara utuh
dalam arti pengembangan segenap potensi diri dalam rangka pemenuhan semua
komitmen manusia sebagai individu, sebagai makhluk social dan sebagai makhluk
Tuhan.
4) Aktivitas pendidikan dapat berlangsung dalam keluarga, dalam sekolah, dan dalam
masyarakat.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
suatu proses yang melibatkan pendidik maupun peserta didik, dalam proses tersebut terjadi
transfer pengetahuan yang kemudian menjadikan peserta didik lebih berkembang baik sebagai
individu, makhluk sosial maupun makhluk Tuhan. Pendidikan itu sendiri tidak hanya bersifat
formal (dalam sekolah), tetapi juga ada pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan keluarga
maupun masyarakat.
2.1.3 Pengaruh tingkat Pendidikan terhadap tingkat kemiskinan
Tingkat pendidikan adalah program pemerintah yang memberikan kompensasi kepada
Rumah Tangga Miskin (RTM) guna mengurangi beban pengeluaran RTM akibat kenaikan harga
bahan bakar minyak BBM. Berbeda dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan
Bakar (PKPS BBM) lainnya, tingkat pendidikan diberikan secara langsung dan tunai kepada
RTM berupa uang tunai sebesar Rp. 300.000.-/ 3 bulan sekali selama satu tahun terhitung dari
Oktober 2005 sampai September 2006. Setiap RTM memperoleh uang kompensasi BBM sebesar
Rp.1.200.000. yang dapat diambil dalam 4 tahapan, yaitu tahapan I dimulai pada bulan Oktober
2005 dan dilanjutkan ke tahapan II pada tahun 2006. pada tahapan ke II atau sering disebut
tahapan susulan dibagi lagi ke dalam 3 tahapan, dimana pada setiap tahapan dana tingkat
pendidikan yang diperoleh oleh RTM sebesar Rp. 300.000.
Penghapusan subsidi BBM merupakan langkah yang berat yang pernah ditempuh oleh
pemerintah Indonesia, karena rakyat Indonesia sejak dulu sudah dimanjakan dengan harga BBM
yang lebih murah jika dibandingkan dengan harga BBM diluar negeri seperti Malaysia dan
Singapura. Penghapusan subsidi BBM oleh pemerintah dirasa perlu dilakukan karena subsidi
BBM yang selama ini dilakukan dianggap tidak tepat sasaran dimana konsumsi BBM yang telah
disubsidi oleh pemerintah lebih banyak dinikmati oleh orang-orang mampu, sehingga tujuan dari
diberikan subsidi yaitu untuk mengurangi beban masyarakat kecil yang tidak mampu jauh dari
kenyataan. Walaupun subsidi juga diterima oleh masyarakat kecil/kurang mampu, namun tidak
sebesar yang dikonsumsi oleh mereka yang mampu. Selain itu dengan margin yang cukup besar
antara harga BBM di Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura
menyebabkan penyelundupan BBM dari Indonesia ke negara tersebut sering dilakukan.
Dengan pertimbangan itulah pemerintah Indonesia merasa subsidi BBM sudah tidak relevan
lagi untuk dijalankan, sehingga pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah
yang dibilang tidak populer dengan menghapus subsidi BBM. Hal ini membawa dampak kepada
masyarakat miskin, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dengan naiknya harga
BBM akan meningkatkan biaya hidup masyarakat miskin sedangkan pendapatan yang mereka
terima tidak cukup untuk memenuhinya. Untuk meringankan beban dari masyarakat miskin
akibat penghapusan subsidi BBM, pemerintah kemudian mengeluarkan bantuan tingkat
pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat miskin.
Adapun tujuan dari tingkat pendidikan ini adalah pertama : membantu masyarakat miskin
agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kedua : mencegah penurunan taraf
kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi (BPS Provinsi Bali, 2005). Dilihat
dari tujuannya, tingkat pendidikan memang dimaksudkan untuk mengurangi angka kemiskinan.
Artinya, kalau garis kemiskinan ditunjukkan oleh penghasilan minimal Rp. 182.636 per orang
(BPS, 2008), dan pemerintah telah memberikan Rp. 100.000 per orang per bulan, ditambah
dengan penghasilannya sendiri, misalnya Rp. 100.000 per bulan, maka totalnya di bulan itu dia
memiliki uang Rp. 200.000. Jadi, orang tersebut tidak termasuk orang miskin tentunya juga ada
indikator lainnya. Sehingga, orang seperti ini tidak termasuk dalam catatan angka kemiskinan.
Dengan kata lain, mereka tidak menjadi orang miskin hanya karena mendapatkan tingkat
pendidikan. Jadi, dalam hal ini terdapat pengaruh negatif antara BLT terdapat jumlah penduduk
miskin (Ascholani, 2009).
2.1.4 Pengaruh Inflasi terhadap Tingkat Kemiskinan
Menurut Boediono (2001), inflasi adalah kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara
umum dan terus menerus. Ini tidak berarti, bahwa harga berbagai macam barang itu naik dengan
persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan, namun yang
penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode
tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup
besar) bukanlah merupakan inflasi.
2.1.4.1 Jenis-jenis Inflasi
1) Menurut parah tidaknya. inflasi dapat digolongkan menjadi.
a) Inflasi ringan (kurang dari 10% setahun)
b) Inflasi sedang (antara 10-30% setahun)
c) Inflasi berat (antara 30-100% setahun)
d) Hyper inflasi (lebih dari 100% setahun)
2) Berdasarkan sebab musababnya. inflasi dapat digolongkan menjadi.
a) Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang semakin kuat.
Inflasi semacam ini disebut “demand inflation”.
b) Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi atau disebut dengan “cost inflation”.
3) Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi.
a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). Inflasi yang berasal dari
dalam negeri dapat timbul karena adanya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan
pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.
b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Inflasi yang timbul karena
kenaikan harga-harga (inflasi) di luar negeri atau negara-negara yang melakukan
perdagangan dengan negara tersebut.
Ada 3 (tiga) hal yang mengakibatkan kenaikan harga barang yang di impor yaitu sebagai
berikut.
1) Secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena, sebagian dari barang-barang yang
tercakup didalamnya berasal dari impor.
2) Secara tidak langsung menaikan indeks harga melalui kenaikan ongkos produksi dari
berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus di impor.
3) Secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri, karena ada
kemungkinan kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran
pemerintah atau swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand
inflation).
Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri jelas lebih mudah terjadi pada negaranegara yang perekonomiannya terbuka, yaitu negara dengan sektor perdagangan luar negerinya
penting. Namun berapa jauh penularan tersebut terjadi juga tergantung kepada kebijaksanaan
pemerintah yang diambil. Dengan kebijakan moneter dan perpajakan tertentu pemerintah bisa
menetralisir kecenderungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut.
2.1.4.2 Sebab-sebab Terjadinya Inflasi
Penggolongan inflasi menurut Boediono (1993). berdasarkan penyebab awal terjadinya
didasarkan atas empat macam sebagai berikut.
1) Inflasi karena dorongan permintaan (demand full inflation), yaitu inflasi yang terjadi sebagai
akibat permintaan total terhadap barang ataupun jasa naik lebih cepat dibandingkan dengan
tingkat output full employment.
2) Inflasi karena biaya (cost push inflation), yaitu inflasi yang diakibatkan karena banyaknya
golongan dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan untuk memaksakan kenaikan gaji
atau upah serta harga.
3) Inflasi karena struktur pemerintahan (bottle neck inflation), yaitu inflasi yang disebabkan
karena berubahnya struktur pemerintahan yang cepat dibandingkan dengan peredaran
barang-barang. Biasanya inflasi ini terjadi karena perang. bencana alam dan lain sebagainya.
4) Inflasi karena pengeluaran pemerintah (government current expenditure inflation), yaitu
inflasi yang terjadi jika pemerintah melakukan lebih banyak pengeluarannya untuk
pembelian barang-barang dari pada apa yang bisa dicapai dari pungutan pajak.
Berdasarkan dari konsep yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa
kondisi yang memungkinkan terjadinya inflasi, yaitu bila terjadi kelebihan permintaan terhadap
barang dan jasa disektor riil atau kalau dilihat dari sektor moneter, inflasi terjadi karena adanya
kelebihan jumlah uang beredar, sehingga masyarakat akan melakukan pengeluaran lebih besar,
padahal output riil sudah mencapai keadaan full employment.
Menurut Phillips (Rahardja & Manurung, 2008) bahwa ada trade off (imbang korban atau
harga yang harus dibayar) antara tingkat inflasi dan pengangguran. Jika ingin mengurangi tingkat
pengangguran, harga yang harus dibayar adalah meningginya inflasi. Dengan naiknya inflasi
maka pengangguran berkurang, dimana berarti masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan juga berkurang. Jadi, antara tingkat inflasi dan pengangguran terdapat hubungan
yang negatif.
2.1.5 Teori Konsep Tenaga Kerja
Kesempatan kerja (employment) adalah kesempatan yang tercipta akibat perkembangan
ekonomi tertentu, dalam arti kesempatan kerja itu mungkin saja sudah terisi atau ada yang
belum terisi. Kesempatan kerja yang selama ini dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
baik melalui sensus penduduk maupun survai penduduk baik kesempatan kerja yang dirinci
menurut lapangan usaha, jenis jabatan, maupun status hubungan kerja adalah menyangkut
kesempatan kerja yang telah terisi. Jadi menyangkut mereka yang telah bekerja dan ini juga
dapat disebut pekerja(Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014)
Istilah employment dalam bahasa Inggris berasal dari kata kerja to employ yang berarti
menggunakan dalam suatu proses atau usaha memberikan pekerjaan atau sumber penghidupan.
Jadi employment berarti keadaan orang yang sedang mempunyai pekerjaan.Penggunaan istilah
employment sehari-hari biasa dinyatakan dengan jumlah orang dan yang dimaksudkan ialah
sejumlah orang yang ada dalam pekerjaan atau mempunyai pekerjaan. Pengertian ini
mempunyai dua unsur yaitu lapangan atau kesempatan kerja dan orang yang dipekerjakan atau
yang melakukan pekerjaan tersebut.Jadi pengertian employment dalam bahasa Inggris sudah
jelas yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki (Soeroto, 2006).
Pengangguran dalam suatu negara adalah perbedaan diantara angkatan kerja dengan
penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya. Angkatan kerja adalah jumlah tenaga kerja yang
terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu tertentu. Untuk menentukan angkatan kerja
diperlukan dua informasi yaitu (1) jumlah penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun dan belum
ingin bekerja (contoh adalah pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga dan pengangguran
sukarela), dan (2) jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang masuk pasar kerja (yang sudah
ingin bekerja) jumlah penduduk dalam golongan (2) dinamakan angkatan kerja dan penduduk
golongan (1) dinamakan bukan angkatan kerja. Dengan demikian angkatan kerja dalam suatu
periode tertentu dapat dihitung dengan mengurangi jumlah penduduk usia kerja dengan jumlah
bukan angkatan kerja. Perbandingan diantara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja yang
dinyatakan dalam persen dinamakan tingkat partisipasi angkatan kerja.
Dalam prakteknya suatu negara dianggap sudah mencapai tingkat penggunaan tenaga
kerja penuh atau kesempatan kerja penuh (Sukirno, 1994). Menurut Undang-undang No. 14
Tahun 1969, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat (pasal 1). Jadi pengertian tenaga kerja menurut ketentuan ini meliputi
tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja, dengan alat produksi
utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun pikiran.
Menurut Simanjuntak (2000) tenaga kerja (man power) mengandung dua pengertian.
Pertama, tenaga kerja mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam
proses produksi. Dalam hal ini tenaga kerja mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh
seorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa.
Kedua, tenaga kerja
mencakup orang yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut, mampu
bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu kegiatan
tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Menurut Simanjuntak (2000) angkatan kerja dibedakan dalam tiga golongan seperti berikut.
1) Penganggur (open unemployment), yaitu orang yang sama sekali tidak bekerja
dan
berusaha mencari pekerjaan.
2) Setengah pengangguran (underemployment), yaitu mereka yang kurang dimanfaatkan
dalam bekerja dilihat dari segi jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan. Setengah
pengangguran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a) setengah pengangguran kentara (visible underemployed) yakni mereka yang bekerja
kurang dari 35 jam seminggu, dan
b) setengah pengangguran tidak kentara (invisible underemployed) yaitu mereka yang
produktivitas kerja dan pendapatannya rendah.
c) Bekerja penuh, yaitu keadaan dimana bekerja sesuai dengan jam kerja yaitu 35 jam
seminggu dan pendapatannya, produktivitas kerja tinggi.
Menurut Manning, (1990) dalam Marhaeni dan Manuati, (2004), permintaan terhadap
tenaga kerja selain dapat dilihat secara mikro yaitu dari segi perusahan juga dapat dilihat secara
makro baik secara sektoral, jenis jabatan, dan status hubungan kerja. Permintaan tenaga kerja
secara makro juga sering dikenal dengan istilah kesempatan kerja atau jumlah orang yang
bekerja. Konsep bekerja atau kesempatan kerja mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu.
Suatu negara dianggap baru mulai mendekati titik balik atau turning point dalam pembangunan
apabila jumlah tenaga kerja disektor pertanian mulai turun secara absolut. Lebih lanjut dikatakan
bahwa pembangunan biasanya disertai dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke
sektor manufaktur dan sektor jasa, serta keberhasilan strategi pembangunan biasanya sering
dikaitkan dengan kecepatan pertumbuhan sektor manufaktur yang dianggap berkaitan erat
dengan peningkatan produktivitas pekerja.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Elnopembri (2008) dengan judul “Analisis Faktorfaktor yang mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Industri Kecil Di Kabupaten Tanah Datar
Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990-2004”.Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa upah
minimum regional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja
industri kecil. Tingkat suku bunga kredit investasi Bank Pemerintah Daerah dan Bank Persero
Pemerintah di Daerah sama sama memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan
tenaga kerja sektor industri kecil artinya peningkatan suku bunga kredit hanya akan
mengakibatkan turunnya permintaan tenaga kerja sektor industri kecil. Nilai produksi memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil.
Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan oleh Edyan (2005) dengan judul “Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta”.Hasil ini menunjukkan
bahwa variabel PDRB, Investasi, Upah minimum Provinsi (UMP) dan Angkatan Kerja secara
bersama sama berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. Namun apabila dilihat
secara parsial, variabel investasi tidak sesuai dengan hipotesis, dimana hasil analisisnya
menunjukkan pengaruh negatif terhadap kesempatan kerja. Ketidaksesuaian ini diantaranya
disebabkan oleh adannya realokasi beberapa industri ke luar wilayah DKI Jakarta. Sedangkan
analisis dari variabel PDRB, Angkatan Kerja, dan UMP sesuai dengan hipotesis, dimana PDRB
berpengaruh positif, angkatan kerja berpengaruh positif, dan UMP berpengaruh negatif terhadap
kesempatan kerja di DKI Jakarta. pada periode II (2006-2010) dibandingkan pada periode I
(2001-2005).
2.1.6 Pengangguran
Pengertian pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari
pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau yang sudah mempunyai pekerjaan
tetapi belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran adalah ketimpangan kesempatan
yang terjadi antara angkatan kerja dan kesempatan kerja sehingga tidak dapat melakukan
kegiatan kerja. Terjadinya pengangguran tidak hanya disebabkan oleh kurangnya lowongan
pekerjaan akan tetapi kurangnya keterampilan yang dimiliki para pencari kerja. Pengangguran
adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak
memiliki pekerjaan dan secara aktif tidak sedang mencari pekerjaan (Nanga, . Sukirno
mengatakan pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara aktif
mencari pekerjaan tetapi belum
memperolehnya. Menakertrans
menyebutkan bahwa
pengangguran adalah orang yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha
baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
Menurut Payman J.Simanjuntak, pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia
angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu
sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan.
Penyebab terjadinya pengangguran dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Kurangnya lapangan pekerjaan
b) Pertumbuhan penduduk yang cepat tidak sesuai dengan jumlah lapangan pekerjaan.
c) Tidak adanya kecocokan upah
d) Kurangnya informasi mengenai lowongan pekerjaan
e) Tidak mau menjalani wirausaha
f) Angkatan kerja tidak mampu memenuhi kualifikasi yang diinginkan oleh dunia kerja
g) Ketidakberhasikan sektor industri kecil dan industri rumah tangga.
Beberapa jenis pengangguran ada juga yang diklasifikasikan menurut sifatnya, diantaranya:
a) Pengangguran terbuka yaitu orang yang tidak bekerja sama sekali dan tidak sedang
berusaha mencari pekerjaan
b) Setengah menganggur yaitu orang yang berkerja namun tenaganya kurang dimanfaatkan
diukur dari jam kerja, produktifitas kerja dan penghasilannya.
c) Pengangguran terselubung adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena
suatu alas an tertentu, misalnya sarjana yang bekerja sebagai tukang kebun.
Menurut Edgar O.Edward (tahun 1974) pengangguran dibagi ke dalam 5 bentuk, yaitu:
a) Pengangguran terbuka: mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan
yang lebih baik (secara sukarela) ataupun mereka yangmau bekerja namun tidak
mendapatkan pekerjaan (secara terpaksa).
b) Setengah menganggur (underemployment): mereka yang bekerja dengan waktu yang
lebih sedikit daripada yang biasa mereka kerjakan.
c) Tampaknya bekerja namun tidak bekerja secara penuh: mereka yang tidak tergolong pada
pengangguran terbuka dan setengah menanggur yang dapat diklasifikasikan lagi sebagai
berikut:
1) Pengangguran tak kentara (disguised employment) misalnya petani yang bekerja di
ladang selama satu hari penuh padahal seharusnya pekerjaan tersebut tidak
memerlukan waktu seharian untuk dikerjakan.
2) Pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) misalnya orang yang bekerja
tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya.
3) Pensiun lebih awal yang biasanya sering dialami oleh pegawai pemerintahan. Di
beberapa negara usia pensiun diatur lebih awal untuk memberi kesempatan untuk
kalangan yang lebih muda menduduki jabatan diatasnya.
d) Tenaga kerja yang lemah (impaired): mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi
intensitasnya lemah karena menderita suatu penyakit.
e) Tenaga kerja yang tidak produktif: mereka yang mampu bekerja secara produktif namun
terkendala oleh sumber daya-sumber daya yang mendukung pelaksanaan pekerjaannya.
2.1.7 Investasi
Investasi adalah setiap wahana dimana dana ditempatkan dengan harapan untuk dapat
memelihara atau menaikkan nilai atau memberikan hasil yang positif (Elyani, 2010).
Adhisasmita (2005), mengemukakan bahwa investasi atau perpindahan modal (swasta maupun
pemerintah) merupakan sarana bagi proses kumulatif, mengarah ke atas di daerah yang bernasib
baik dan mengarah ke bawah di daerah yang bernasib tidak baik. Di daerah perkotaan yang
sedang mengalami perkembangan, kenaikan permintaan akan mendorong pendapatan dan
permintaan, yang selanjutnya menaikkan investasi, dan demikian seterusnya. Di daerah-daerah
lainnya dimana perkembangan sangat lamban maka permintaan terhadap modal untuk investasi
adalah rendah sebagai akibat dari rendahnya penawaran modal dan pendapatan yang cenderung
makin rendah. Perbedaan perkembangan tersebut dan terkonsentrasinya investasi di daerahdaerah yang mapan mengakibatkan terjadinya ketimpangan atau bertambahnya ketidakmerataan.
Todaro dalam Lubis (2008) mengatakan bahwa sumber daya yang akan digunakan untuk
meningkatkan pendapatan dan konsumsi di masa yang akan datang disebut investasi. Menurut
Samuelson dan Nordhaus (1996), investasi merupakan suatu hal yang penting dalam
pembangunan ekonomi karena
investasi ini dibutuhkan sebagai faktor penunjang didalam
peningkatan proses produksi. Dengan demikian investasi diartikan sebagai pengeluaran atau
pembelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal
dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang
dan jasa yang tersedia dalam perekonomian, sehingga investasi disebut juga dengan penanaman
modal. (Sukirno, 2010)
Investasi merupakan langkah mengorbankan konsumsi saat ini untuk memperbesar
konsumsi di masa datang. Selain itu investasi mendorong terjadinya akumulasi modal.
Penambahan stok bangunan gedung dan peralatan penting lainnya akan meningkatkan output
potensial suatu bangsa dan merangsang pertumbuhan ekonomi untuk jangka panjang.
Investasi ini memiliki peran aktif dalam menentukan tingkat output, dan laju
pertumbuhan output tergantung pada laju investasi (Arsyad, 1999). Lebih lanjut, Jhingan (1999)
menyebutkan salah satu efek kegiatan
investasi pada sisi permintaan agregat yang
mempengaruhi pendapatan bila investasi meningkat, maka pengeluaran agregat akan meningkat,
yang kemudian meningkatkan pendapatan daerah melalui proses multiplier.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai perkembangan investasi dari waktu ke waktu,
ada tiga macam cara (berdasarkan tiga gugus data) yang bisa dilakukan (Dumairy,1996).
Pertama, dengan menyoroti kontribusi pembentukan modal domestik bruto dalam konteks
permintaan agregat, yakni dengan melihat sumbangan atau perkembangan variabel investasi
dalam persamaan pendapatan nasional, Y=C+I+G+X-M dimana C adalah konsumsi, I adalah
investasi, G adalah Pengeluaran pemerintah, X adalah jumlah ekspor dan M adalah nilai impor.
Data investasi merupakan data keseluruhan investasi domestik bruto, meliputi baik investasi
oleh swasta (PMDN dan PMA) maupun oleh pemerintah. Kedua, ialah dengan mengamati data
PMDN dan PMA, dimana dengan cara ini berarti hanya mengamati investasi oleh kalangan
dunia usaha swasta saja. Ketiga, adalah dengan menelaah perkembangan dana investasi yang
disalurkan oleh dunia perbankan. Cakupan data dengan cara ini relatif lebih terbatas, karena
belum memperhitungkan modal sendiri yang ditanam oleh investor.
1)
Pembentukan modal tetap bruto mencakup pengadaan, pembuatan atau pembelian barang
modal baru dari dalam negeri dan barang modal baru maupun bekas dari luar negeri.Barang
modal yang dibeli atau dibuat sendiri adalah barang tahan lama yang digunakan untuk
berproduksi dan biasanya berusia pakai satu tahun lebih. Pembentukan modal tetap
domestik bruto dibedakan atas:
2)
Pembentukan modal tetap berupa bangunan/konstruksi; nilainya dihitung dengan
menjumlahkan nilai seluruh keluaran (output) sektor konstruksi yaitu nilai bahan
bangunan/konstruksi ditambah ongkos angkut dan marjin perdagangan serta biaya lain
berupa jasa serta biaya primer. Nilai keluaran sektor bangunan yang berasal dari perbaikanperbaikan ringan/kecil tidak dihitung sebagai pembentukan modal.
3)
Pembentukan modal tetap berupa mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan baik yang
berasal dari impor maupun hasil produksi dalam negeri yang nilainya dihitung dengan
menjumlahkan nilai mesin/alat yang bersangkutan ditambah ongkos angkut dan marjin
perdagangan serta biaya-biaya lainnya.
2.1.8 Pengaruh Teori Investasi dan Penanaman Modal Asing terhadap Tingkat
Kemiskinan.
Semasa orde baru Indonesia sempat menentang masuknya modal asing. khususnya modal
dari negara-negara barat. Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai
pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi
dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam
perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan
Secara garis besar investasi dapat di golongkan menjadi 3 antara lain.
1) Autonomous Investment, yaitu macam investasi yang tidak dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan. misalnya investasi pada rehabilitas prasarana jalan. irigasi dan sebagainya.
Walaupun investasi ini tidak mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan tetapi secara
tidak langsung (dengan sendirinya) dilaksanakan untuk memperlancar roda perekonomian itu
sendiri. Investasi ini sering dilakukan oleh pemerintah, karena investasi ini akan menyangkut
banyak aspek sosial budaya yang ada di masyarakat.
2) Induced Investment, yaitu investasi yang mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan yang
ada pada masyarakat di suatu tempat atau suatu negara menyebabkan kenaikan kebutuhan
barang tertentu.
3) Investasi yang sifatnya dipengaruhi adanya tingkat bunga uang atau modal yang berlaku
dimasyarakat.
Investasi swasta di Indonesia yang terjadi dengan kemudahan-kemudahan fasilitas adalah
berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA).
Pengertian Penanaman Modal asing (PMA) menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1997 adalah
hanya meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau
berdasarkan ketentuan-ketentuan No 1 tahun 1997 yang digunakan untuk menjalankan perusahan
di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari
penanaman modal tersebut. Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk investasi
langsung dan investasi portofolio. Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan
instrument surat berharga seperti saham dan obligasi. Investasi langsung dikenal dengan PMA
merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun. membeli total atau mengakuisisi
perusahaan.
Penanaman modal asing lebih banyak mempunyai kelebihan dibanding dengan investasi
portofolio. Selain sifatnya yang permanent/jangka panjang, PMA juga memberikan andil dalam
alih teknologi, alih ketrampilan manajemen dan membuka lapangan pekerjaan baru. Semenjak
diberlakukannya Undang-undang No. 1/Tahun 1967 tentang PMA, investasi cenderung terus
meningkat dari waktu ke waktu. Walaupun demikian, pada tahun-tahun tertentu sempat juga
terjadi penurunan. Penanaman modal tahun sebelumnya adalah penanama modal tahun lalu yang
akan memberikan kobtribusi atau pengaruh yang tahun akan datang.
Peningkatan dalam investasi akan mengakibatkan semakin banyaknya lapangan kerja yang
tercipta. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan daya beli masyarakat secara
umum. Meningkatnya daya beli masyarakat ini akan menyebabkan perekonomian semakin
berkembang, dengan perekonomian yang semakin berkembang tentunya jumlah penduduk
miskin akan berkurang. Jadi, dalam hal ini terdapat pengaruh negatif antara investasi terhadap
jumlah penduduk miskin.
2.2 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai tingkat kemiskinan telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Priyanto (2009) yang berjudul ” Analisis Pengaruh PMA, PMDN dan Laju
Inflasi terhadap Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 1990 – 2003” diperoleh kesimpulan
: bahwa variabel PMA, PMDN dan Laju Inflasi secara bersama-sama dan parsial berpengaruh
secara signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Pada uji tahap II Partial Adjusment Model
(PAM) bahwa dalam jangka pendek dan panjang variabel Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh
secara signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian lainnya mengenai kemiskinan juga pernah dilakukan oleh: Dian Octaviani (2008)
yang berjudul “Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Perkotaan
Indonesia”. Dalam penelitian ini diperoleh hasil Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa
inflasi dan pengangguran bersama-sama dengan variabel lain yaitu rasio antara garis kemiskinan
dengan pendapatan rata-rata, tingkat kemiskinan periode sebelumnya, variabel-variabel
demografis serta rasio gini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan,
baik terhadap head-count poverty, poverty gap maupun squared poverty gap. Secara lebih
spesifik, pengangguran memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat
kemiskinan sedangkan variabel inflasi memperlihatkan pengaruh yang cenderung tidak konsisten
dengan tingkat signifikansi yang iebih rendah.
Triana dan Lidya (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai kemiskinan dengan
judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia” diperoleh hasil
bahwa dari seluruh sampel yang diteliti (53.108.176 rumah tangga), sebanyak 62,7 persen
termasuk kategori tidak miskin, 14,9 persen termasuk dalam kategori hampir miskin, dan 22,4
persen masuk dalam kategori rniskin. Probabilita suatu rumahtangga untuk berada pada kategori
tidak miskin adalah 71,97 persen, sementara itu probabilita rumahtangga berada pada kategori
hampir miskin adalah 13,13 persen, dan probabilitas suatu rumah tangga berada pada kategori
miskin adalah 14,9 persen. Berdasarkan analisis deskriptif, persentase tertinggi pada
rumahtangga miskin dimiliki oleh mereka yang berpendidikan tidak pernah sekolah/tidak tamat
SD, tinggal di perdesaan, memiliki sumber penerangan selain listrik PLN, lapangan usaha utama
kepala keluarga di sektor pertanian, memiliki rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang besar,
memiliki jumlah penduduk dewasa melek huruf yang sedikit, dan rata-rata jarak yang harus
ditempuh ke fasilitas kesehatan, ekonomi, pendidikan lebih jauh dari rumah. Faktor-faktor yang
diharapkan dapat meningkatkan probabilitas suatu rumah tangga untuk berada pada kategori
hampir miskin dan tidak miskin adalah dengan cara meningkatkan tingkat pendidikan kepala
rumah tangga, memperhitungkan kembali jumlah anggota rumah tangga, meningkatkan jumlah
anggota rumah tangga yang dapat membaca dan menulis, mendorong perluasan lapangan usaha
yang digeluti para kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga, dan kemudahan akses dalam
memperoleh rumah yang murah, sumber penerangan listrik PLN dan jarak yang harus ditempuh
ke fasilitas pendidikan.
Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada
variabel terikat yang digunakan. Dalam penelitian ini dan penelitian sebelumnya sama-sama
menggunakan variabel tingkat kemiskinan sebagai variabel terikat. Penelitian ini mencoba
mengembangkan beberapa penelitian sebelumnya dengan memfokuskan pada peran pemerintah
dan dunia usaha, dalam hal ini pengeluaran pemerintah dan investasi, terhadap pertumbuhan
ekonomi dan tenaga kerja. Secara cakupan daerah penelitian, penelitian ini sama dengan yang
dilakukan Muammil Sun’an dan Endang Astuti (2008) serta penelitian dari Ni Nyoman Yuliarmi
(2008) yaitu tingkat provinsi. Variabel penelitian ini sama dengan variabel penelitian Muammil
Sun’an.
Perbedaannya terletak pada wilayah penelitian, perbedaan yang lainnya juga terdapat
pada variabel bebas yang digunakan, kerangka berpikir, alat analisis yang dipergunakan, waktu
penelitian, sumber data komponen variabel yang digunakan. Alat analisis penelitian ini
menggunakan jalur path untuk menganalisis hubungan tingkat inflasi, investasi dan pendidikan
terhadap kemiskinana melalui pengangguran.
Download