Industri Perbankan Butuh Cetak Biru Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai Indonesia memerlukan cetak biru perbankan yang jelas. Cetak biru tersebut untuk memberikan arahkan industri perbankan Indonesia ke depan. Ketua Perbanas Sigit Pramono mengungkapkan, sebenarnya Bank Indonesia telah membuat Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada 2004 namun kenyataannya pemikiran-pemikiran yang tercantum dalam API,seperti mewujudkan bank internasional,nasional,dan regional, tidak bisa direalisasikan. Dari segi hukum,sambung Sigit,produk hukum API hanya dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) sehingga selama ini API hanya mengikat BI dan perbankan, tapi tidak otoritas fiskal ataupun pemerintah sebagai salah satu pemilik bank. “Pemerintah kan pemilik bank,apakah mereka ikuti arah API? Dalam kenyataannya kalau pemerintah mau wujudkan bank berskala nasional dan regional agar bisa bersaing dengan regional yang besar-besar maka perlu pemikiran yang serius,” ujar Sigit dalam Jumpa Pers Kongres XVIII dan Paparan tentang Sumbangan Pemikiran untuk Cetak Biru Arah Strategi Perbankan Nasional ke Depan, di Jakarta,kemarin. Keberadaan cetak biru perbankan sangat penting agar semua pihak baik itu regulator seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pelaku industri perbankan dan sektor riil bisa duduk bersama untuk susun cetak biru. Menurut Sigit, dalam cetak biru perbankan nasional, perlu ditekankan asas keseimbangan antara bank besar dan bank kecil, bank milik negara dan swasta, serta untuk bank do-mestik dan bank asing.“Yang penting itu, bank harus kokoh, efisien, layanan baik dan sehat. Jadi, tidak hanya terbatas bank besar dan bank kecil,”tuturnya. Perbanas pun mengusulkan, diperlukan adanya pembagian jenis bank menjadi bank umum dan bank khusus dalam cetak biru perbankan nasional. Menurut Sigit,pembagian jenis bank menjadi bank umum dan bank khusus akan membantu perekonomian di masa mendatang karena adanya dua jenis bank ini dalam cetak biru perbankan diharapkan tidak akan membuat para pemangku kepentingan kesulitan menyesuaikan kebijakan demi perekonomian Indonesia.“Kalau kita punya cetak biru perbankan nasional, itu tidak akan Bapindo gabung jadi Bank Mandiri. Sekarang kita mau biayai infrastruktur bingung, sampai mau buat bank infrastruktur. UU yang lama itu,bank hanya bank umum dan BPR. Makanya, ini kalau ada bank infrastruktur, masuk mana,”tuturnya. Sigit berharap, cetak biru perbankan memiliki kekuatan hukum yang cukup tinggi sehingga bisa mengikat seluruh pemangku kepentingan dalam membuat keputusan.Perbanas sendiri, kata Sigit, telah mengusulkan kepada BI,OJK,dan DPR terkait cetak biru perbankan nasional, di mana untuk bank umum tetap sebagai badan usaha yang mengumpulkan simpanan masyarakat untuk disalurkan kembali melalui pinjaman.Sedangkan bank khusus,memiliki sumber dana yang lebih variatif,bisa dari luar negeri. “Istilahnya, kita bangun jalan tol saja tidak bisabisa. Ini bank umum kan dananya missmatch kalau digunakan untuk membiaya proyek jangka panjang. Sekarang ini mayoritas deposito masyarakat saja jangka pendek,sebulanan dan roll over (diperpanjang) terus. Jadi, perlu ada bank khusus,”tandasnya erichson sihotang Sumber: seputar-indonesia.com