BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland,
2002). Peradangan juga merupakan patologi dari berbagai penyakit di masyarakat
seperti penyakit kardiovaskular, penyakit neurodegeneratif (termasuk Alzheimer).
Peradangan juga merupakan komponen penting dari perkembangan kanker dan
nyeri neuropatik. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu (Serhan dkk., 2010).
Dalam proses inflamasi terdapat kejadian pokok yang menghasilkan
disfungsi dan kerusakan jaringan yaitu pengumpulan dan migrasi leukosit dari
aliran darah menuju tempat luka atau infeksi (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994).
Infiltrasi jaringan yang spesifik oleh subpopulasi leukosit menandai fungsi kritis
mereka dalam patogenesis dari penyakit inflamasi (Luster dkk., 2005). Selama
aktivasi dan fagositosis, leukosit melepaskan produk mikrobisidal dan produk lain
yang merusak sel dan jaringan. Proses yang menetap, berkepanjangan dan tidak
dikendalikan menyebabkan infiltrasi leukosit sendiri akan menyerang jaringan dan
organ. Dengan hal tersebut, kerusakan jaringan karena leukosit akan menjadi
dasar dari berbagai penyakit akut dan kronis manusia (Kumar dkk., 2005).
1
2
Selama ini pengobatan inflamasi umumnya didominasi oleh obat-obat
NSAID (Antiinflamasi Non Steroid). Pengunaan obat-obat NSAID ini kerap
memunculkan keluhan-keluhan berupa gangguan pencernaan, liver dan ginjal
sehingga perlu dikembangkan obat lain yang lebich aman. Salah satu alternatif
antiinflamasi yang aman adalah antiinflamasi yang bersumber dari bahan alam.
Penggunaan senyawa alam yang terkandung dalam tumbuhan dan hewan
untuk pengobatan telah lama berlangsung. Adanya penelitian dari bahan-bahan
alam tersebut diharapkan dapat memberikan jalan bagi penemuan obat tradisional
atau obat alternatif untuk penyakit-penyakit yang semakin kompleks. Diharapkan
pula dengan penelitian dari bahan alam ini, dapat ditemukan alternatif obat baru
atau obat tradisional dengan harga yang terjangkau, bahan baku yang cukup
tersedia dan mempunyai efek samping minimal.
Pada penggunaan obat alami di masyarakat, tanaman Plantago
lanceolata digunakan sebagai antiinflamasi, anti bakteri, penyembuh luka,
diuretik dan antiasma tanpa adanya toksisitas. Oleh karena itu banyak peneliti
yang kemudian melakukan penelitian tentang kandungan senyawa aktif dari
Plantago lanceolata sehingga dapat menjelaskan berbagai kegunaan dari tanaman
ini (Fons dkk., 1998). Selain itu penelitian secara in vitro maupun in vivo tentang
aktivitas antiinflamasi Plantago lanceolata masih sangat terbatas. Diharapkan
adanya penelitian tentang aktivitas antiinflamasi dari daun Plantago lanceolata
dengan penghambatan migrasi leukosit menjadi penting dan diharapkan
memberikan kontribusi bagi penelitian tentang obat antiinflamasi.
3
B. Tinjauan Pustaka
1. Plantago lanceolata
Kedudukan tanaman Plantago lanceolata dalam sistematika tumbuhan
adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermathophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Asteridae
Order
: Plantaginales
Family
: Plantaginaceae
Species
: Plantago lanceolata L.
(Backer dan van den Brink, 1965)
Plantago lanceolata merupakan tanaman semak dengan tinggi 30 - 50
cm. Batangnya berbentuk bulat, pendek dan berwarna cokelat. Daunnya berbentuk
bulat telur, dengan ujung tumpul, pangkal meruncing, tepi bertoreh, berambut
halus, panjang 1 - 28 cm, lebar 5 - 11 cm, pertulangan daun melengkung, tangkai
panjang 1 - 20 cm, permukaan atas berwarna hijau keunguan, dan permukaan
bawah hijau. Bunganya majemuk, bentuk bulir, panjang 2 - 20 cm, berbulu halus,
hijau, tajuk bunga kecil, panjang 0,5 - 1 cm, dan berwarna putih. Buahnya
berbentuk kotak kecil berwarna hijau, sedangkan bijinya berbentuk pipih kecil
4
dan berwarna putih yang kemudian menjadi hitam ketika biji sudah tua
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Gambar 1. Tanaman Plantago lanceolata skala 1:6
Menurut European Medicine Agency, Plantago lanceolata mengandung
glikosida iridoid dengan aukubin dan katalpol sebagai senyawa utama (Jurisic
dkk., 2004). Tanaman ini juga mengandung metilester asperulosida, globularin,
asam desasetilasperulosida, 2 - 6,5% musilago, arabinogalaktan, glukomanan,
rhamnogalakturonan dengan sisi-rantai arabinogalaktan, rhamnoarabinogalaktan
dan linear (1-6)-α-D-glukan. Selain itu tanaman ini juga mengandung flavonoid
(apigenin 7-O-glukosida, scutellarein), caffeic acid glycosides esters (CGEs)
seperti plantamosida, verbaskosida, lavandulifoliosida, dan isoverbaskosida (Fons
5
dkk., 1998). Getahnya juga mempunyai kandungan alkana rantai lurus dan asam
triterpen (asam oleanolat dan asam ursolat) (Bakker dkk., 1999). Dekoktanya
mempunyai kandungan sumber elemen antara lain Ca, Co, Cu, K, Mn (Rabai
dkk., 2012).
Plantago lanceolata mempunyai manfaat sebagai antiinflamasi, anti
bakteri, penyembuh luka, diuretik dan antiasma tanpa adanya toksisitas (Fons
dkk.,1998). Penelitian yang dilakukan oleh Beara dkk. (2010) menunjukkan
bahwa ekstrak metanol daun Plantago lanceolata mempunyai kemampuan
antiinflamasi dengan penghambatan COX-1 dan 12-LOX. Salep Plantago
lanceolata juga menunjukkan kemampuannya dalam mempercepat penyembuhan
tendinitis (Oloumi dkk., 2011). Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Vogl
dkk. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata
mempunyai aktivitas antiinflamasi yang kuat pada penghambatan NF-κB.
2. Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu respons terhadap stimulus luka jaringan yang
disebabkan oleh berbagai penyebab seperti infeksi, antibodi, atau luka fisik.
Respon inflamasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan tubuh dari lingkungan
patogen dan luka. Pada beberapa situasi dan penyakit, inflamasi dapat
memberikan respon yang berlebihan dan berkepanjangan tanpa memberikan
manfaat (Burke dkk., 2006). Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi dari
mikrosirkulasi beserta substansinya terhadap luka. Mikrosirkulasi yaitu sistem
pembuluh darah kecil yang menyediakan darah bagi jaringan yang di dalamnya
6
terdapat berbagai macam leukosit yang merupakan bagian penting dari proses
inflamasi. Tujuan dari inflamasi adalah untuk membatasi dan mengobati luka.
Pada luka fisik, kerusakan secara langsung pada sistem pembuluh jaringan
memulai reaksi inflamasi (Green dan Harris, 2008).
Pada proses inflamasi terjadi reaksi vaskular, sehingga cairan, elemenelemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia terkumpul pada
tempat yang cedera untuk menetralkan dan menghilangkan agen-agen berbahaya
serta memperbaiki jaringan yang rusak (Kee dan Hayes, 1993). Tanda-tanda
pokok inflamasi mencakup kemerahan, panas, nyeri, pembengkakan, perubahan
fungsi atau dalam bahasa latin klasik rubor, kalor, dolor, tumor, fungsio laesa
(Price
dan
Wilson,
1994).
Tanda-tanda
inflamasi
meliputi
kerusakan
mikrovaskuler, peningkatan permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke daerah
inflamasi (Wilmana, 1995).
Secara garis besar, inflamasi ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem
7
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton dan Hall, 1997).
Exposure to
foreign
protein
Celullar
damage
Invasion by
infective
agents
Stimulation of humoral
Immune system (B cells)
Antibody production
Stimulation of celluler
immune system(T cells)
Activation of
T Helper cells
IgE
Release of
inflammatory
mediators
Antibody/antigen
Interaction
Chemotaxis
Increased
Leukocyte infiltration
Vascular
permeablity
phagocytosis
Pain
Oedema
Release of
Cytokines
Activation of
cytotoxic T cells
Stimulation of
machrophages
Removal of invading cells
or foreign protein
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi (dimodifikasi dari Gard, 2001)
Inflamasi dapat bersifat akut yaitu berumur pendek atau kronis yaitu
berkepanjangan.
a. Inflamasi akut
Inflamasi akut merupakan respons langsung terhadap agen inflamasi.
Respons ini berlangsung dalam waktu relatif singkat, hanya beberapa jam atau
hari (Robins dan Kumar, 1987). Inflamasi akut adalah respons awal tubuh oleh
benda berbahaya dan meningkat dengan meningkatnya pergerakan plasma dan
8
leukosit dari darah ke jaringan luka. Reaksi biokimia berantai yang mempropagasi
dan mematangkan respons imun, termasuk sistem vaskuler, sistem imun, dan
berbagai sel yang ada pada jaringan luka ( Gard, 2001).
Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan peningkatan
aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan
memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah.
Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan migrasi dan
selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell dan Cotran, 2003). Inflamasi
akut memiliki tiga proses yaitu:
1.
Perubahan diameter pembuluh darah
2.
Kenaikan permeabilitas vaskuler
3.
Pembentukan eksudat seluler berupa migrasi neutrofil polimorf ke dalam
rongga ekstravaskuler (Underwood, 1999).
Perubahan yang terjadi di dalam sirkulasi mikro merupakan respons
fisiologi. Fase awal konstriksi arteriol terjadi sementara, yang mungkin kurang
penting pada inflamasi akut. Fase vasodilatasi (hiperemi aktif) berikutnya dapat
bertahan dari 15 menit sampai beberapa jam, tergantung dari berat ringannya
cedera. Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa aliran darah ke daerah
cedera dapat meningkat hingga 10 kali lipat. Sementara aliran darah mulai
mengalir secara perlahan, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding
pembuluh darah, di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit
menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya migrasi leukosit ke dalam
ruang ekstravaskuler. Lambatnya aliran darah yang mengikuti fase hiperemia
9
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya
plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam
pembuluh darah. Akibatnya viskositas darah menjadi meningkat (Underwood,
1999).
Resolusi dari respons inflamasi ditandai dengan adanya penghilangan
leukosit melalui limfa atau dengan apoptosis (bunuh diri sel) dan fagositosis oleh
makrofag pada jaringan sehingga respons inflamasi akut berhenti. Selain itu
adanya sel debris dan sel darah merah pada kompartemen ekstraseluler
dihilangkan oleh fagositosis pada makrofag jaringan. Kegagalan dalam
penghilangan sel apoptosis ini akan membawa sel menjadi nekrotik sehingga
akan meningkatkan kerusakan jaringan. Bila respons inflamasi akut menjadi
berlebihan atau berkepanjangan maka dapat membawa menuju kerusakan jaringan
dan organ yang serius (Serhan dkk., 2010).
Jika respons inflamatoris tidak berhasil memperbaiki seluruh jaringan
yang rusak sehingga kembali ke keadaan aslinya (misalnya gagal melenyapkan
substansi asing) atau jika perbaikan jaringan tidak dapat disempurnakan, maka
proses akan berlanjut pada keadaan inflamasi kronis. Proses ini berciri dengan
adanya limfosit, monosit, dan sel plasma secara terus menerus (Ward, 1993).
b. Inflamasi Kronis
Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi
panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara
simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya
dengan inflamasi akut yaitu inflamasi akut ditandai dengan perubahan vaskuler,
10
edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar, sedangkan inflamasi kronis
ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit dan sel plasma),
destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah
baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell dan Cotran, 2003). Inflamasi kronis
pada umumnya primer, kadang-kadang disebut inflamasi kronis ab initio, tetapi
adakalanya merupakan kelanjutan inflamasi akut.
Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Inflamasi
kronis dapat timbul menyusul inflamasi akut, atau responsnya sejak awal bersifat
kronis. Perubahan inflamasi akut menjadi inflamasi kronis berlangsung bila
respons inflamasi akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab luka yang
menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya
inflamasi kronis sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab lukanya
memiliki toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan penyebab yang
menimbulkan inflamasi akut. Terdapat tiga kelompok besar yang menjadi
penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu, kontak
lama dengan bahan yang tidak dapat hancur serta penyakit autoimun. Suatu
inflamasi yang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronis, tetapi
karena banyak bergantung pada respons efektif tuan rumah dan sifat alami luka,
maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara inflamasi akut dan
kronis sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins dan Kumar, 1995).
Inflamasi kronis ditandai terjadinya degenerasi dan fibrosis jaringan.
Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeabel sifatnya
berubah disebut limfe inflamasi. Leukosit dan limfe inflamasi secara bersama
11
membentuk eksudat inflamasi yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan.
Rasa nyeri disebabkan serabut syaraf yang tertekan akibat pembengkakan
jaringan. Kerusakan jaringan disebabkan fagositosis, enzim lisosomal, dan radikal
oksigen (Insel, 1996). Inflamasi kronis adalah respons proliferatif dimana terjadi
proliferasi fibroblas, endotelium vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit,
sel
plasma
dan
makrofag).
Eksudat
leukosit
pada
inflamasi
kronis
monomorfonuklir membedakannya dari eksudat polimorfonuklir pada inflamasi
akut (Robins dan Kumar, 1987).
c. Patologi Inflamasi
Selama
aktivasi
dan
fagositosis,
leukosit
melepaskan
produk
mikrobisidal dan produk lain tidak hanya di dalam phagolisosom tetapi juga pada
rongga ekstraseluler. Substansi yang paling penting pada neutrofil dan makrofag
adalah enzim lisosom yang terdapat pada granul; reactive oxygen intermediate;
dan produk metabolisme asam arakhidonat termasuk prostaglandin dan leukotrien.
Produk-produk tersebut dapat menyebabkan luka pada endotelial dan merusak
jaringan, dan mungkin semakin menguatkan efek dari luka yang pertama. Produk
dari monosit/makrofag dan leukosit yang lain mempunyai potensi yang
merugikan. Bila hal tersebut menetap, berkepanjangan dan tidak dikendalikan,
maka infiltrasi leukosit akan menyerang jaringan dan organ, dan kerusakan
jaringan karena leukosit akan menjadi dasar dari berbagai penyakit akut dan
kronis manusia (Kumar dkk., 2005).
Inflamasi juga berperan dalam meningkatkan resiko kanker pada jaringan
yang dikenai. Kondisi klinik yang terlibat dalam inflamasi dan peningkatan resiko
12
kanker meliputi penyakit imunologi, infeksi (bakteri, cacing,virus) dan iritasi
kimia dan mekanis yang kronis. Inflamasi terlibat dalam respons yang kompleks,
pada inflamasi akut menuju penyembuhan luka dan regenerasi jaringan. Respons
ini meliputi perekrutan tipe sel yang spesifik, pelepasan mediator inflamasi dan
interaksi antara ligan kemokin dan reseptor sistem. Leukosit (neutrofil, monosit,
makrofag, dan eosinofil) menghasilkan spesies oksigen dan nitrogen reaktif yang
secara langsung dapat merusak gen yang mengontrol cell growth (Christen dkk.,
1999). Sel yang memperantarai respons inflamasi juga menghasilkan faktor
autokrin dan parakrin yang merangsang proliferasi sel, menghambat apoptosis,
menginduksi angiogenesis dan mengganggu beberapa respons imun. Secara
umum faktor-faktor tersebut dapat mempercepat adanya mutagenesis, mendukung
keberlangsungan proliferasi dari sel yang telah bermutasi, dan meningkatkan
kemungkinan beberapa klon sel menerima mutasi genetik menjadi kanker yang
invasif dan metastatic (Thun dkk., 2004).
Penyakit inflamasi kronis seperti rheumatoid arthritis dicirikan dengan
adanya akumulasi sel inflamasi pada synovial sendi yang menyebabkan kerusakan
sendi. Kerusakan fungsi jaringan dan organ sebagai akibat dari respons inflamasi
yang tidak tepat juga terlihat pada berbagai penyakit antara lain bronkitis kronis,
emfisema, asma, glomerulonefritis, myocardial infarction, dan lain sebagainya.
Bagaimanapun selain manfaatnya, inflamasi dapat berhenti memberikan manfaat
dan berkontribusi dalam patogenesis dari berbagai penyakit (Serhan dkk., 2010).
13
3. Migrasi Leukosit
Leukosit pada manusia adalah sebagian besar sel imun di dalam darah.
Leukosit beredar ke seluruh tubuh manusia melalui pembuluh sirkuler yang
terhubung dengan sel endotelial. Saat leukosit meninggalkan darah, hal yang
pertama terjadi adalah rolling (menggelinding) pada leukosit. Selama terjadinya
rolling leukosit, adhesi leukosit menuju endotelium yang secara umum
diperantarai oleh sekelompok reseptor yang disebut selectin, termasuk L-selectin
(CD62L) pada leukosit, P- dan E-selectin (CD62P dan CD62E) pada endotelium
(Springer, 1990). Selectin berikatan dengan P-selectin glycoprotein ligand 1
(PSGL1) dan ligan terglikosilasi lainnya. Peran yang dominan dimiliki oleh
PSGL1 terhadap tiga selectin tersebut walaupun sebenarnya digambarkan sebagai
ligan dari P-selectin. Interaksi dari selectin dan ligan membuat leukosit mampu
menempel pada endotelium yang mengalami inflamasi dengan kondisi adanya
aliran darah (Ley dkk., 2007).
Selain selectin, integrin juga berperan dalam rolling dan memperantarai
adhesi leukosit. Sel mengekspresikan α 4 β 7 -integrin yang menggerakkan mucosal
vascular addressin cell-adhesion molecule 1 (MADCAM-1) dan limfosit dapat
menggerakkan
vascular
cell-adhesion
molecule
1
(VCAM-1)
dengan
mengikatkan permukaan sel mereka dengan very late antigen 4 (VLA4 atau
dikenal dengan α 4 β 1 -integrin). Rolling melalui VLA4 sering teramati pada sel
monosit dan monocyte-like (Ley dkk., 2007).
Mengikuti proses rolling sebelumnya yang diperantarai oleh selectin,
integrin dan ligannya, aktivasi leukosit terjadi dengan berkurangnya kecepatan
14
rolling dan berubah menjadi adhesi yang kuat. Adhesi sel distabilkan oleh
interaksi dari integrin yang berikatan dengan keluarga imunoglobulin yaitu
celullar adhesion molecules (CAM), meliputi intercelullar ICAM-1, vascular
VCAM-1, dan platelet-endothelial PECAM-1. Imunoglobulin ini diekspreskan
oleh endotelium, dan dapat ditingkatkan selama inflamasi, berlaku untuk ICAM-1
dan VCAM-1, sedangkan PECAM-1 diredistribusi ke tempat inflamasi dan
terlibat pada interaksi homofilik PECAM-1 dan leukosit (Serhan dkk., 2010)
Gambar 3. Mekanisme migrasi leukosit (Serhan dkk., 2010).
Melanjutkan adhesi yang tetap sebelumnya, leukosit meninggalkan
venula postcapillar dan mendorong dirinya ke dalam rongga subendotelial.
Kejadian ini disebut ekstravasasi leukosit, atau diapedesis yang tergantung pada
susunan proses seluler meliputi ekspresi molekul adhesi dan aktivasi, reorganisasi
sitoskeletal, dan alterasi pada fluiditas membran. Molekul seperti molekul adhesi
JAM, PECAM-1, ICAM-1, ICAM-2, V-CAM-1, CD99 dan Endothelial cell-
15
selective adhesion molecule (ESAM) dapat ditemukan pada endothelial junction
(persimpangan endotelial) dan mengatur migrasi leukosit ke dalam jaringan
(Serhan dkk., 2010)
Terdapat dua jalur diapedesis yaitu rute paraseluler dan transseluler.
Pada proses migrasi paraseluler leukosit harus melewati endothelial junction yang
berperan sebagai fungsi pembatas dari pembuluh darah, dan terdiri dari protein
adhesi transmembran yang terhubung dengan ligan intraselulernya. Migrasi
melalui jalur transseluler agak sulit terjadi pada area sel endotelial yang banyak
terdapat ICAM-1. Ligasi dari ICAM-1 oleh integrin pada permukaan leukosit
menghasilkan sinyal yang mengarah pada pembentukan saluran dalam sel
endotelial, tempat leukosit dapat bermigrasi. Walaupun terdapat beberapa pilihan
jalur migrasi, proses ini dipengaruhi oleh stimulus migrasi dan tergantung pada
pembuluh darah yang terlibat (Serhan dkk., 2010).
Migrasi leukosit tidak hanya bertindak sebagai pengarah migrasi leukosit
dari lumen vaskuler menuju jaringan esktravaskular namun juga memberikan
peran yang penting dalam mengatur fenotip dari migrasi sel sehingga perilaku
leukosit dalam responsnya terhadap kemoatraktan, arah migrasi dan interaksi
dengan komponen dari jaringan ekstravaskuler dapat diregulasi. Mekanisme
tersebut dapat berkontribusi dalam kemampuan sistem imun untuk memberikan
respons yang optimum, tidak berlebihan dan terlokalisasi pada jaringan dengan
adanya rangsangan ekstravaskuler tanpa menyebabkan adanya kerusakan pada
tingkat vaskuler. Namun pada kondisi infiltrasi leukosit yang tidak terkontrol dan
berlebihan baik pada besar maupun durasinya, atau tidak sesuai dengan
16
tempatnya, migrasi leukosit dapat menginduksi penghapusan respons inflamasi
pada host (Yadav dkk., 2003).
Pengumpulan dan migrasi leukosit dari aliran darah menuju tempat luka
atau infeksi adalah kejadian pokok dalam proses inflamasi yang menghasilkan
disfungsi dan kerusakan jaringan (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994). Infiltrasi
jaringan yang spesifik oleh subpopulasi leukosit menandai fungsi kritis mereka
dalam patogenesis dari penyakit inflamasi ( Luster dkk., 2005).
4. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih berfungsi untuk membantu tubuh melawan
berbagai penyakit infeksi dan merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel
darah putih tidak berwarna, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus
dinding kapiler/diapedesis (Baratawidjaja, 2004). Jumlah leukosit normal dalam
darah adalah 4000-11000/mm3. Konsentrasi leukosit dalam darah lengkap dijaga
relatif konstan, walaupun setiap hari sejumlah leukosit mati, leukosit ini diganti
melalui pembelahan sel. Pembentukan leukosit di sum-sum tulang disebut
granulopoesis. Bertambahnya jumlah leukosit terjadi dengan mitosis. Stem cell
mampu membelah diri dan berkembang menjadi sel darah putih matang dalam
suatu sekuens pematangan yang teratur kemudian dibebaskan dari sum-sum
tulang ke dalam sirkulasi ( Ronald dkk., 2005; Hoffbrand dan Petit, 2005).
Leukosit terdiri dari dua kelas utama, yaitu granular dan agranular.
Terdapat tiga jenis leukosit granular yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Terdapat dua jenis leukosit agranular yaitu limfosit dan monosit (Johnson, 1991).
17
a. Leukosit granular
1.
Neutrofil. Neutrofil atau leukosit polimorfonuklear adalah leukosit yang
paling banyak terdapat pada darah perifer manusia, terdiri dari 40%- 60% dari
total leukosit di darah. Sel ini berdiameter 12–15 μm, memilliki inti yang khas
dan padat, terdiri tiga lobus, mempunyai heterokromatin yang besar, dan tidak
mempunyai nukleus. Sitoplasmanya bersifat lebih asidofilik dan mengandung
dua tipe granul (Johnson, 1991). Neutrofil merupakan pertahanan utama tubuh
dalam melawan antigen dan mikroorganisme asing. Neutrofil berperan dalam
fagositosis mikroorganisme, produksi berbagai mediator, menghasilkan
reactive oxygens species (ROS) serta mengeluarkan enzim litik dengan
aktivitas antimikroba. Semua kemampuan tersebut sangat penting untuk
membunuh patogen (Serhan dkk., 2010).
2.
Eosinofil. Eosinofil mempunyai diameter 12-17 µm dan mempunyai
persentase 1%-6% dari total populasi sel darah putih. Eosinofil terutama berada
pada jaringan yang mengandung permukaan mukosa seperti uterus dan saluran
pencernaan (Serhan dkk., 2010). Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali
granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap karena
mengandung protein basa, dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti.
Mielosit eosinofil dapat dikenali tetapi pada stadium sebelumnya tidak dapat
dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan dalam darah untuk
eosinofil lebih lama daripada neutrofil. Eosinofil memasuki eksudat
peradangan dan memainkan peran istimewa pada respons alergi, pada
18
pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk
selama peradangan (Hoffbrand dan Pettit, 1996).
3.
Basofil. Basofil adalah leukosit granuler yang paling jarang, yaitu 0,5%-
1,5% dari total leukosit pada darah periferal (Serhan dkk., 2010). Diameter
basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 μm. Basofil memiliki banyak
granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin.
Dalam jaringan, basofil menjadi sel mast. Basofil memiliki tempat-tempat
perlekatan IgG dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin
(Hoffbrand dan Pettit, 1996). Ekspresi mereka pada Fc reseptor IgE, berbagai
mediator yang diproduksi, dan keberadaan basofil pada jaringan dan sirkulasi
dengan adanya alergen menunjukkan bahwa basofil berperan dalam asma,
alergi dan beberapa infeksi (Serhan dkk., 2010).
b. Leukosit agranuler
1.
Limfosit. Limfosit adalah jenis dari leukosit dan penting pada pertahanan
tubuh melawan benda asing. Terdapat beberapa jenis limfosit yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda, namun mereka berasal dari stem sel hematopoetik
pada sum-sum tulang belakang. Limfosit dapat dibagi berdasarkan ukuran dan
granularitas. Sel Natural killer (NK) mempunyai ukuran yang besar, sedangkan
limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T) mempunyai ukuran yang kecil (Serhan
dkk., 2010).
2.
Monosit. Monosit mempunyai ukuran yang relatif besar dari leukosit darah
tepi lain yaitu berdiameter 16-20 μm dan memiliki inti besar di tengah oval
atau berlekuk dengan kromatin mengelompok (Johnson, 1991). Monosit hanya
19
memiliki sedikit persediaan dalam sum-sum tulang belakang, mobilisasi
monosit memerlukan waktu yang lebih lama untuk membelah diri dari sel
asalnya. Monosit pada keadaan normal mempunyai tempat permanen dalam
jaringan berupa makrofag (Ronald dkk., 2005).
5. Obat Antiinflamasi
Obat antiinflamasi digolongkan menjadi dua yaitu obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID) dan obat antiinflamasi steroid (SAID). Obat-obat tersebut
mempunyai mekanisme yang berbeda dalam mengurangi inflamasi.
a. Obat Antiinflamasi Non-steroid (NSAID)
Efek terapeutik utama dari NSAID berasal dari kemampuannya
menghambat pembentukan prostaglandin. Enzim pertama pada pembentukan
prostaglandin adalah prostaglandin endoperoksida sintase atau asam lemak
siklooksigenase. Enzim ini mengubah asam arakidonat menjadi senyawa antara
yang tidak stabil, yaitu PGG 2 dan PGH 2. Telah diketahui bahwa ada dua bentuk
siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX2). Enzim COX-1 merupakan suatu isoform konstitutif yang terdapat dalam
kebanyakan sel dan jaringan normal, sedangkan COX-2 terinduksi saat
berkembang peradangan oleh sitokin dan mediator radang. Namun COX-1 juga
diekspresi secara konstitutif di dalam lambung tetapi COX-2 tidak (Roberts dan
Morrow, 2007).
Selain kemampuan utamanya dalam menghambat sintesis prostaglandin,
NSAID juga memiliki kemampuan dalam menghambat faktor transkripsi, faktor
20
pertumbuhan sel, dan menghambat molekul yang mengatur apoptosis. Pada
konsentrasi supraterapi, sodium salisilat menghambat transkripsi gen regulator
nuclear factor κB (NFκB) yang berperan dalam mengurangi ekspresi dari
kemokin dan nitrit oksida (NO), serta mengurangi aktivitas tumor necrosis factor
(TNF). Obat NSAID selektif dan nonselektif COX-2 juga mempunyai
kemampuan menghambat angiogenesis melalui hambatan terhadap mitogenactivated protein kinase (ERK2) di sel endotelial (Sundy, 2004).
Mekanisme kerja NSAID lainnya dalam menghambat COX adalah yang
pertama melalui mediasi terhadap inhibisi time-independent dari COX yang
tergantung dari konsentrasi obatnya. Kedua, beberapa NSAID (misalnya
indometasin dan flurbiprofen) memiliki kemampuan merangsang perubahan
struktur time-dependent di tempat COX teraktivasi, yang dapat menyebabkan
penghambatan aktivitas enzim semi-ireversibel (Sundy, 2004). Selain itu NSAID
tertentu juga dapat menghambat aktivasi dan fungsi neutrofil secara langsung,
barangkali dengan menghambat proses yang berkaitan dengan membran, terlepas
dari kemampuannya untuk menghambat sintesis prostaglandin. Beberapa NSAID
juga dapat menghambat adhesi leukosit yang tampaknya terlepas dari
kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin (Roberts dan Morrow,
2007)
Obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) dapat dibagi dalam 3 kelas
besar, yaitu aspirin dan salisilat, nonselektif, serta penghambat selektif COX-2.
Obat anti inflamasi non-steroid nonselektif dapat dibagi lagi menjadi beberapa
subkelas berdasarkan struktur kimianya (Sundy, 2004). Penghambat selektif
21
COX-2 dibagi dalam 3 golongan, yaitu penghambat semiselektif atau parsial,
selektif, dan superselektif COX-2 (Smith dan Whitney, 2003). Walaupun masingmasing NSAID menunjukkan perbedaan yang jelas dalam struktur biokimia dan
asalnya, namun NSAID memiliki mekanisme kerja yang mirip satu sama lain,
sehingga efek sampingnya juga sama. Keadaan ini dikenal sebagai “group effect”.
Perbedaannya hanya pada waktu paruh masing-masing NSAID, yang berpengaruh
pada interval pemberian dan potensinya (Roda dkk., 2007).
b. Obat Antiinflamasi Steroid (SAID)
Obat
antiinflamasi
steroid
(SAID)
merupakan
obat
golongan
glukokortikoid (disebut juga obat-obat golongan kortikosteroid). Kortikosteroid
merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid alami
pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Kortikosteroid
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Glukokortikoid menghambat terbentuknya leukotrien dan prostaglandin,
sehingga
sifat
antiinflamasinya
kuat.
Pengaruh
glukokortikoid
terhadap
keseimbangan air dan elektrolit kecil, sedangkan pengaruhnya terhadap
penyimpanan glikogen hepar adalah nyata. Mineralokortikoid lebih berefek pada
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruh glikogen hepar kecil
(Suherman, 1999). Efek antiinflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel
imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel
mast, yaitu dengan menghambat responss inflamasi dan menyebabkan apoptosis
berbagai sel tersebut (Smoak dan Clidowski, 2008)
22
Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler
terjadi melalui mekanisme genomik dan nongenomik. Glukokortikoid (GK)
berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol.
Ikatan GK-RG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel untuk
berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu glucocorticoid responsse elements
(GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses
transkripsi. Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi endothelial
nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan nitric
oxide (NO), suatu mediator antiinflamasi (Lee dkk., 2009; Baschant dan
Tuckermann, 2010)
Imunosupresi secara genomik terjadi melalui aktivasi annexin-1
(lipocortin-1) dan mitogen-activated proteinkinase (MAPK) phosphatase 1.
Selain itu, GK juga meningkatkan transkripsi gen antiinflamasi secretory
leukoprotease inhibitor (SLPI) interleukin-10 (IL-10) dan inhibitor nuclear
factor-κB (IκB-a). Annexin-1 menghambat pelepasan asam arakhidonat sehingga
produksi mediator inflamasi menurun (prostaglandin, tromboksan, prostasiklin,
dan leukotrien) (Smoak dan Clidowski, 2008; Barnes, 2006). Kerja enzim MAPK
phosphatase 1 menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T, sel
dendritik, dan makrofag terhambat. Mekanisme genomik lain berupa inhibisi
faktor transkripsi yang berperan dalam produksi mediator inflamasi, yaitu nuclear
factor-κB (NF-κB) dan activator protein-1(AP-1) ( Lee dkk., 2009).
Salah satu protein antiinflamasi yang ditingkatkan sintesisnya oleh
kortikosteroid adalah lipokortin-1, suatu inhibitor fosfolipase A 2 (Ikawati, 2006).
23
Penghambatan lipokotrin terhadap fosfolipase A 2 mungkin dengan mengganggu
pengikatan fosfolipid. Fosfolipase A 2 bekerja mengkatalisis pembentukan asam
arakidonat. Dengan picuan sintesis lipokortin-1 oleh obat-obat kortikosteroid,
maka sintesis asam arakhidonat juga terhambat sehingga menghambat
pembentukan mediator baik melalui jalur siklooksigenase maupun lipooksigenase.
Mekanisme ini menjelaskan mengapa kortikosteroid memiliki aksi yang lebih luas
dan lebih poten dibandingkan dengan obat NSAID yang hanya menghambat jalur
siklooksigenase. Dengan mekanisme itu, obat kortikosteroid memiliki kegunaan
terapetik yang luas (Ikawati, 2006).
6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode kromatografi yang paling
sederhana dari metode kromatografi lainnya. Metode ini membutuhkan bejana
tertutup berisi pelarut dan lempeng KLT untuk pemisahan dan analisis kualitatif
kuantitatif (Sherma, 1996).
Dasar dari KLT adalah campuran senyawa ditotolkan pada fase diam.
Sampel dikeringkan sebelum dilakukan proses elusi. Fase diam dengan dengan
totolan diletakkan pada fase gerak yang biasanya merupakan campuran dari
pelarut murni didalam bejana tertutup. Komponen-komponen dari campuran
senyawa bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pemisahan dari fase
gerak melalui fase diam hingga akhir pengembangan kromatogram. Saat fase
gerak telah berkembang sesuai dengan jarak yang diinginkan, fase diam diambil
24
dari bejana, fase gerak dikeringkan dan plat dideteksi dengan reagen visualisasi
yang sesuai (Sherma, 1996).
Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur,
selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Dari penjerap-penjerap
tersebut, silika gel adalah penjerap yang paling banyak digunakan. Silika gel ini
menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara
pembuatannya sehingga silika gel G Merck, menurut spesifikasi Stahl, yang
diperkenalkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus
diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar
air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).
Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun
(descending). Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering
dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang
paling sederhana ialah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran
kedua pelarut ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal (Rohman, 2007).
Deteksi paling sederhana adalah komponen yang secara alami
mempunyai warna, fluoresensi atau dapat menyerap sinar ultraviolet (UV).
Meskipun demikian, penggunaan reagen untuk visualisasi dengan penyemprotan
atau pencelupan biasanya diperlukan untuk menghasilkan warna atau fluoresensi
pada sebagian besar komponen. Penyerapan sinar UV merupakan kemampuan
25
umum bagi banyak komponen seperti senyawa aromatik dan senyawa yang
mempunyai ikatan konjugasi. Hal tersebut membuat metode deteksi yang
sederhana dan universal pada lapisan yang diimpregnasi dengan indikator
fluoresensi (Sherma, 1996).
7. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi
zat aktif simplisia nabati dan hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Metode
penyarian yang akan digunakan tergantung dari wujud dan kandungan dari bahan
yang akan disari. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi dan
sokhletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut di atas disesuaikan dengan
kepentingan dalam kandungan senyawa yang diinginkan (Harborne, 1987).
Pemilihan metode ekstraksi harus mempertimbangkan beberapa faktor di
antaranya sifat bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode
ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak sempurna atau mendekati
sempurna (Ansel dkk., 1999).
Maserasi adalah
proses penyarian simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali penggojokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan. Maserasi merupakan penyarian yang paling sering digunakan karena
efektif dan sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari sampai meresap dan susunan selnya lunak
sehingga zat-zat yang mudah larut akan segera terlarut. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif
26
sehingga zat aktif akan segera larut. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam dan di luar sel menyebabkan larutan yang pekat didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara
larutan di dalam sel dan di luar sel (Voight, 1994).
Dalam proses maserasi, bahan berupa serbuk yang akan disari biasanya
ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, ditutup rapat dan
diaduk isinya berulang-ulang. Melalui usaha ini dijamin suatu kesetimbangan
konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan penyari. Keadaan
diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan zat aktif. Hasil
ekstraksi yang diperoleh disimpan dalam keadaan dingin selama beberapa hari
lalu cairan dituang dan disaring (Voight, 1994).
8. Uji Migrasi Leukosit yang Diinduksi Thioglikolat
Migrasi leukosit dari aliran darah menuju tempat inflamasi adalah
komponen pokok dari respons inflamasi (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994).
Untuk mencapai proses ini, terdapat mekanisme ketika leukosit intravaskular
mampu menembus dinding dan berpindah ke tempat terjadinya luka atau infeksi
dengan proses yang melibatkan sel endotelial dan mediator-mediator inflamasi.
Migrasi leukosit dapat dipelajari secara in vitro maupun in vivo. Migrasi leukosit
dipelajari secara in vivo dengan berbagai model. Pendekatan paling umum adalah
dengan menghitung migrasi leukosit pada suatu rongga dalam tubuh seperti
rongga pleural atau peritoneal menggunakan penginduksi proinflamasi non-
27
spesifik seperti thioglikolat atau glikogen, atau mediator inflamasi tertentu seperti
IL-1β atau IL-4 (Yadav dkk., 2003).
Dasar dari migrasi leukosit transendotelial sangat diuntungkan dengan
adanya teknik in vitro yang memberikan analisis molekuler mendalam dan
menjelaskan mekanisme pemberian sinyal yang terlibat dalam proses di bawah
kondisi percobaan yang dikehendaki. Akan tetapi pengamatan dari studi in vitro
tersebut harus diekstrapolasikan ke dalam keadaan in vivo dengan perhatian
penuh, yang bahkan model in vitro yang paling teliti pun tidak dapat sepenuhnya
menyerupai struktur dinding pembuluh pada in vivo (Yadav dkk., 2003).
Injeksi intraperitoneal dari thioglikolat secara efektif menginduksi
pengerahan leukosit kedalam rongga peritoneal. Bioassay ini merupakan model
untuk mengetahui kemampuan leukosit untuk bermigrasi ke tempat inflamasi
pada mencit (Yadav dkk., 2003). Pada studi dengan eksudat makrofag peritoneal,
thioglikolat sering digunakan sebagai eliciting agent (agen pengumpul). Stimulus
ini memiliki kelebihan dalam mengumpulkan banyak sel ke tempat inflamasi
(Leijh, 1984). Studi kinetik juga menunjukkan bahwa injeksi thioglikolat
menginduksi peningkatan jumlah sel leukosit pada peritoneal (Dy M dkk.,1978).
9. Indometasin
Indometasin adalah obat golongan antiinflamasi non steroid (NSAID)
turunan indol asam asetat. Indometasin mengandung tidak kurang dari 98,5 %
C 19 H 16 C l NO 4 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Merupakan serbuk
hablur kuning pucat hingga kuning kecoklatan dan kelarutannya dalam air kecil
28
(Anonim, 1979). Indometasin mempunyai khasiat yang kuat setara dengan
diklofenak, tetapi lebih sering menimbulkan efek samping khususnya ulcerogen
dan pendarahan tersembunyi (occult) (Tjay dan Rahardja, 2002). Indometasin
memiliki efek antiinflamasi dan analgesik-antipiretik yang sebanding dengan
aspirin, dan efek analgetiknya perifer maupun sentral.
Indometasin merupakan inhibitor COX yang kuat dan juga menghambat
migrasi dan motilitas leukosit polimorfonuklear (PMN). Seperti banyak NSAID
yang lain, indometasin mencegah berpasangannya fosforilasi oksidatif pada
konsentrasi di atas terapeutik dan menekan biosintesis mukopolisakarida (Harman
dan Limbird, 2008).
Indometasin efektif untuk melegakan sakit sendi, bengkak, perih, dan
menurunkan durasi dari morning stiffness. Indometasin dapat memberikan
beberapa efek samping yang sebagian besar tergantung pada dosis. Keluhan pada
lambung serta diare disertai luka pada usus merupakan hal yang paling banyak
terjadi (Burke dkk., 2006).
29
C. LANDASAN TEORI
Inflamasi merupakan suatu respons terhadap stimulus luka yang
disebabkan oleh berbagai penyebab seperti infeksi, antibodi, atau luka fisik.
Respon inflamasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan tubuh dari lingkungan
patogen dan luka. Pada beberapa situasi dan penyakit, inflamasi dapat
memberikan respon yang berlebihan dan berkepanjangan tanpa memberikan
manfaat (Burke dkk., 2006). Inflamasi yang tidak terkontrol dapat muncul sebagai
dasar patofisiologi pada banyak penyakit di masyarakat yang dikaitkan dengan
peristiwa pada respons inflamasi (Serhan dkk., 2010). Migrasi leukosit dari aliran
darah menuju tempat inflamasi adalah salah satu komponen pokok dari respons
inflamasi (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994).
Migrasi leukosit dipelajari secara in vivo dengan berbagai model.
Pendekatan paling umum adalah dengan menghitung migrasi leukosit pada suatu
rongga dalam tubuh seperti rongga pleural atau peritoneal menggunakan
penginduksi proinflamasi nonspesifik thioglikolat atau glikogen, atau mediator
inflamasi tertentu seperti IL-1β atau IL-4. Model dengan injeksi intraperitoneal
dari thioglikolat secara efektif menginduksi inflamasi melalui pengerahan leukosit
kedalam rongga peritoneal. Bioassay ini merupakan model untuk mengetahui
kemampuan leukosit untuk bermigrasi ke tempat inflamasi pada mencit (Yadav
dkk., 2003).
Plantago lanceolata mengandung glikosida iridoid dengan aukubin dan
katalpol sebagai senyawa utama (Jurisic, 2004), metilester asperulosida,
globularin
dan
asam
desasetilasperulosida,
2-6,5%
lendir
(muscilago),
30
arabinogalaktan, sebuah glukomanan dan rhamnogalakturonan dengan sisi-rantai
arabinogalaktan serta rhamnoarabinogalaktan dan linear (1-6)-α-D-glukan
(Wichtl, 2004). Getah Plantago lanceolata mengandung alkana rantai lurus dan
asam triterpen yaitu asam oleanolat dan asam ursolat (Bakker, 1999) dan
dekoktanya mengandung Ca, Co, Cu, K, Mn (Rabai dkk., 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Beara dkk. (2010) menunjukkan bahwa
ekstrak metanol daun Plantago lanceolata mempunyai kemampuan antiinflamasi
dengan penghambatan COX-1 dan 12-LOX. Salep Plantago lanceolata juga
menunjukkan kemampuannya dalam mempercepat penyembuhan tendinitis
(Oloumi dkk., 2011). Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Vogl dkk.
(2013) menunjukkan bahwa ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata
mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai agen antiinflamasi.
D. HIPOTESIS
Ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata dapat menghambat
migrasi leukosit ke dalam rongga peritoneal mencit yang diinduksi thioglikolat.
E. RUMUSAN MASALAH
Apakah ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata dapat
menghambat migrasi leukosit ke dalam rongga peritoneal mencit yang diinduksi
thioglikolat?
Download