PENDAHULUAN Latar Belakang Konferensi Bali dan berbagai organisasi dunia, baik lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga pemerintah, sudah mengakui dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor, khususnya di sektor pertanian. Jika intensitas bencana akibat pemanasan global makin sering dan tanpa ada upaya-upaya adaptasi maka kegagalan panen akan makin sering terjadi dan pada akhirnya berdampak pada ketahanan pangan nasional. Pemanasan global telah mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit menentukan jenis varietas dan kalender tanam, karena iklim sulit diduga. Di berbagai wilayah di Indonesia, kekeringan dan banjir menggagalkan produksi pangan. Sawah banyak puso atau gagal panen yang disebabkan oleh kemarau panjang dan banjir. Oleh sebab itu mesti ada upaya untuk mengatasi perubahan iklim global dalam dunia pertanian. Dari aspek pengelolaan air irigasi sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus; di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air. Usahatani padi sawah metode System of Rice Intensification (SRI) merupakan teknologi usahatani ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal. SRI mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1997 dan telah diujicobakan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Hasil penerapan SRI di beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa budidaya padi metode SRI telah meningkatkan hasil dibandingkan dengan budidaya padi metode konvensional. Anggota subak memiliki sejumlah alasan yang kuat untuk mengadopsi SRI di sawahnya. SRI menggunakan benih yang lebih sedikit dibandingkan dengan penanaman padi secara konvensional. Rata-rata benih yang digunakan berkisar antara lima hingga 10 kg/ha. Dengan menggunakan benih yang lebih sedikit, maka secara otomatis dapat menekan biaya yang mesti dikeluarkan untuk pembelian benih sehingga dapat menekan ongkos produksi. Selain itu, petani 1 2 dapat memilih bermacam varietas yang sesuai dengan kondisi setempat yang telah biasa mereka tanam. Selain dapat menghemat benih, alasan lainnya adalah masa tanam padi metode SRI lebih cepat dibandingkan dengan cara bertanam padi secara konvensional. Pada SRI, umur delapan hingga 12 hari semaian siap ditanam ketika baru tumbuh dua tangkai daun. Tujuannya adalah saat benih tumbuh lebih memungkinkan untuk menghasilkan rumpun yang lebih banyak dan pertumbuhan akar yang lebih banyak. Anggota Subak tertarik menerapkan SRI di sawah mereka karena hemat air. Dalam bercocok tanam padi secara konvensional pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Sistem bercocok tanam padi metode SRI tidak membutuhkan air yang berlebih. Namun, lahan tidak boleh mengalami kekeringan secara terus menerus sehingga diperlukan manajemen air yang lebih baik. SRI memerlukan irigasi berkala untuk menjaga tanah tetap basah. Aktivitas pengairan yang terputus (intermiten) harus dilakukan untuk memberikan kondisi aerobik dan anaerobik bagi biota tanah untuk menyalurkan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Ini bertujuan untuk memperkuat perakaran tanaman. SRI menarik minat anggota subak untuk diterapkan pada sawah-sawah mereka karena sedikit memerlukan pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pupuk menjadi input produksi yang memerlukan biaya semakin besar karena semakin hari harganya semakin tinggi. Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh berkembang dengan pesat, dan adanya residu pestisida pada hasil panen. Jika anjuran bercocok tanam SRI diikuti dengan baik oleh anggota subak maka padi metode SRI akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan metode konvensional. Pada metode konvensional, benih padi mengalami proses adaptasi yang panjang pada lingkungannya yang baru. Berbeda dengan SRI proses itu tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga benih yang ditanam lebih awal dapat lebih cepat menyesuaikan diri dengan kondisi lahan. Dengan demikian 3 secara otomatis padi metode SRI memiliki umur panen yang lebih cepat dibandingkan dengan metode konvensional. Jumlah anakan/rumpun padi metode SRI lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anggota subak untuk menerapkannya. Jarak tanam yang lebih lebar memungkinkan tanaman padi leluasa untuk mendapatkan bahan makanan yang tersedia tanpa harus bersaing dengan tanaman padi yang ada di sekitarnya. Hal ini akan merangsang tumbuhnya anakan/rumpun yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan metode konvensional. Kualitas batang dan daun padi metode SRI adalah lebih kuat. Hal ini berawal dari menanam bibit lebih muda yang menyebabkan potensi tumbuhnya tangkai dan akar tanaman akan semakin banyak dan kokoh. Hal ini dapat meningkatkan minat anggota subak untuk menerapkan SRI, karena tanaman tumbuh dengan sehat. Jika tanaman padi tumbuh dengan sehat maka padi metode SRI lebih tahan terhadap berbagai penyakit. Selain itu, tanaman juga akan semakin kokoh karena ditopang oleh akar-akar yang sehat, sehingga petani tidak merasa khawatir tanaman mereka roboh jika diterpa hujan dan angin yang kuat. Padi metode SRI lebih bernas karena pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu jumlah bulir padi lebih banyak sesuai dengan jumlah anakannya. Hal ini yang menjadi alasan lainnya anggota subak menerapkan SRI pada lahan usaha taninya. Alasan lain anggota subak menerapkan SRI adalah waktu panen yang lebih cepat. Padi metode SRI dapat menghemat waktu hingga 10 hari jika dibandingkan dengan metode konvensional. Rasa nasi padi metode SRI adalah lebih enak. Tidak digunakannya pupuk anorganik dan pestisida menghasilkan beras yang alami, sehingga rasa nasi padi metode SRI lebih enak dibandingkan padi yang menggunakan pupuk buatan dan pestisida yang berlebihan. Alasan ini semakin menguatkan anggota subak untuk menerapkan SRI di lahan usahataninya. Pada akhirnya, alasan yang paling kuat anggota subak menerapkan SRI adalah keuntungan yang lebih besar. Pada metode SRI jerami lebih tinggi dan bulir padi lebih bernas, menghemat waktu hingga 10 hari, sedikit bahkan tidak 4 sama sekali memakai bahan kimia, lebih hemat air dibandingkan dengan metode konvensional, sedikit bulir padi yang kosong, meningkatkan ketahanan tanaman dari angin, dan lahan semakin sehat karena terjadi aktivitas biologis dalam tanah. Secara ilmiah, SRI telah menunjukkan hasil-hasil yang sangat baik dan menjanjikan cara becocok tanam padi yang intensif dan dengan produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara bercocok tanam padi konvensional. Kenyataannya, inovasi SRI baru diadopsi oleh sebagian kecil angota subak di seluruh Bali. Hal inilah yang menjadikan minat penulis untuk meneliti lebih jauh faktor-faktor yang memengaruhi anggota subak menerapkan metode SRI pada lahan usahataninya. Banyak perubahan yang terjadi pada level individual, dimana seseorang bertindak sebagai individu yang menerima atau menolak inovasi. Perubahan pada level ini disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain difusi, adopsi, modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Perubahan juga terjadi pada level sistem sosial. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk perubahan macam ini, misalnya pembangunan, sosialisasi, integrasi atau adaptasi. Perubahan pada kedua level itu berhubungan erat. Subak adalah suatu sistem sosial, maka pengadopsian SRI akan membawa pada proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh anggota subak untuk mengubah cara bertaninya dari cara-cara konvensional ke penerapan SRI. Perubahan pada sebagian anggota subak akan menyebabkan perubahan pada subak sebagai suatu sistim sosial. Keputusan anggota subak untuk mengadopsi SRI akan diikuti dengan perubahan pada cara-cara bertani yang ada pada sistem sosial subak di Bali. Dibalik semua itu, semua analisis perubahan sosial harus memusatkan perhatian pada proses belajar anggota subak. Masuknya inovasi SRI ke dalam sistem sosial subak tidak semata-mata sebagai proses alih teknologi dari metode konvensional ke metode SRI, tetapi lebih pada proses belajar anggota subak di dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Semua inovasi pasti mempunyai komponen ide, tetapi banyak inovasi yang tidak memiliki wujud fisik misalnya ideologi. Inovasi yang tidak memiliki wujud fisik tidak dapat diadopsi secara fisik, pengadopsiannya hanyalah berupa keputusan simbolis. Sedangkan inovasi yang mempunyai komponen ide dan 5 komponen objek (fisik) seperti yang terdapat pada SRI, pengadopsiannya akan diikuti keputusan tindakan berupa tingkah laku nyata. Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang. Jika seseorang menerima (mengadopsi) inovasi, dia mulai menggunakan ide baru, praktek baru atau barang baru itu dan menghentikan penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas; Keputusan ini mempunyai cici-ciri dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak diketemukan dalam situasi pembuatan keputusan yang lain. Faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan untuk menerima ataupun menolak suatu inovasi menjadi topik utama penelitian ini. Untuk membahas faktor-faktor tersebut akan melibatkan pengertian-pengertian tentang belajar dan pengambilan keputusan dari teori-teori dan konseptualisasi proses keputusan inovasi. Penyebaran suatu inovasi tidak bisa terpelas dari peranan agen pembaru dalam usaha memengaruhi keputusan inovasi yang diambil anggota subak. Kenyataannya, masih sering ditemukan jarak pemisah antara agen pembaru dengan orang-orang atau sistem sosial yang menjadi sasarannya, karena mereka berbeda dalam bahasa, status sosial ekonomi, kemampuan teknis maupun nilainilai dan sikap-sikapnya. Kesenjangan yang demikian tidak hanya dengan sistim kliennya, tetapi kadang-kadang juga dengan atasannya di lembaga penyuluhan dimana agen pembaru itu bekerja. Hal yang demikian ini sering mengakibatkan terjadinya konflik peranan pada diri agen pembaru dan kesulitan-kesulitan berkomunikasi. Sebagai jembatan dua sistem sosial, agen pembaru diharapkan menjadi seseorang yang tetap melaksanakan tugas intansinya dan juga memperjuangkan kepentingan petani, ibaratnya sebelah kakinya ditaruh di lembaga pembaru sedang sebelah kaki lainnya diletakkan di sistem kliennya. Difusi SRI akan lebih berhasil jika agen pembaru mengenal dan dapat menggerakkan para pengurus subak sebagai tokoh masyarakat setempat. Waktu dan tenaga agen pembaru untuk menyebarluaskan SRI terbatas. Jika agen pembaru mengarahkan komunikasinya, memusatkan usahanya untuk 6 memengaruhi pengurus subak, maka agen pembaru dapat menghemat tenaga, biaya, dan sosial. Dengan menghubungi tokoh masyarakat berarti agen pembaru tidak perlu lagi menghubungi semua anggota subak satu persatu, karena setelah sampai ke pengurus subak SRI akan lebih cepat tersebar. Pembentukan persepsi anggota subak tentang SRI yang baik menjadi masalah tersendiri bagi agen pembaru. Agen pembaru cenderung memberikan jawaban terhadap stimuli berdasarkan kebiasaan, dan jawaban tersebut akan rusak jika ditata dalam situasi yang baru. Masalah demikian sering dihadapi agen pembaru yang melayani kliennya dengan latar belakang budaya yang beragam. Agen pembaru yang telatih dan berasal dari daerah perkotaan biasanya harus belajar untuk mengamati situasi pertanian, karena yang diajak bekerjsama dan mengamati sesuatu adalah orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Anggota subak mungkin memandang kondisi tertentu dengan cara berbeda. Sebelum anggota subak mengenal SRI, maka anggota subak tidak dapat membentuk sikap tertentu terhadap SRI. Kepribadian anggota subak, begitu pula norma-norma sistem sosialnya memengaruhi anggota subak mencari informasi, pesan apa saja yang belum diterima, dan bagaimana menafsir keterangan yang diperoleh itu untuk kelangsungan usahataninya. Dengan demikian persepsi penting dalam menentukan perilaku komunikasi anggota subak pada tahap penentuan sikap terhadap metode SRI. Ciri-ciri inovasi yang tampak seperti keuntungan relatif, kompatibilitas, dan kerumitan atau kesederhanaannya sangat penting artinya pada tahap anggota subak mempersepsikan inovasi SRI. Dalam mengembangkan sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap SRI, anggota subak menerapkan ide baru itu secara mental pada situasi dirinya sekarang atau masa mendatang sebelum menentukan apakah akan mencobanya atau tidak. Proses mental ini dapat dianggap sebagai percobaan pengganti (semacam penilaian, namun berbeda dengan percobaan inovasi secara fisik yang dipandang sebagai bagian dari tahap keputusan). Setiap inovasi termasuk SRI mengandung risiko subyektif tertentu pada anggota subak. Anggota subak belum tahu persis akibat atau hasil yang akan diperoleh dari SRI, karena itu anggota subak perlu memperkuat sikap terhadap SRI. 7 Tujuan akhir seorang agen pembaru adalah berkembangnya perilaku “memperbarui diri sendiri” pada anggota subak. Dengan kata lain, penyuluhan pertanian menghasilkan petani pembelajar, petani penemu ilmu dan teknologi, petani pengusaha agribisnis yang unggul, petani pemimpin di masyarakatnya, petani “guru” dari petani lain yang bersifat mandiri. Sifat mandiri meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan. Kemandirian material artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayang-bayangi rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses belajar tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya “pembina” atau “agen pembaru” dari luar sebagai “guru” mereka. Masalah Penelitian Proses resosialisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan program belajar pada masyarakat tani. Proses resosialisasi ini penting karena proses sosialisasi cara bertani yang didapat dari nenek moyangnya tidak cukup dan tidak memadai untuk dijadikan bekal bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa depan. Dengan demikian, petani sangat memerlukan wadah untuk belajar kembali tentang teknik bertani yang lebih baik. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak; (2) Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI terhadap pengadopsian metode SRI di kalangan anggota subak; (3) Bagaimanakah hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak; dan 8 (4) Bagaimanakah model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak yang sesuai dengan sistem sosial subak di Bali. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan suatu model peningkatan kapasitas subak untuk mengadopsi SRI di Bali, sehingga petani memiliki tempat untuk belajar, saling tukar menukar informasi, dan pengalaman, serta memiliki ikatan yang kuat di antara sesama petani. Dengan demikian, petani memiliki kekuatan untuk memecahkan masalah bersama-sama dengan dukungan nilai-nilai tradisional yang sudah ada sejak dahulu kala. Berdasarkan masalah penelitian, maka dirumuskan tujuan penelitian secara lebih spesifik sebagai berikut. (1) Menemukan faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak. (2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI terhadap pengadopsian SRI di kalangan anggota subak. (3) Menganalisis hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak (4) Merumuskan model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak yang sesuai dengan sistem sosial subak. Kegunaan Penelitian Perubahan iklim global menjadi dasar kajian dalam penelitian ini, karena salah satu akibat dari perubahan iklim global tersebut menyebabkan kelangkaan sumber daya alam terutama air irigasi. Padahal air irigasi adalah sumber kehidupan untuk kelangsungan hidup pertanian di negeri ini. Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki potensi yang besar untuk menerima inovasi dan dikembangkan menjadi wahana belajar petani. Dengan peningkatan kapasitas subak menjadi wahana belajar petani maka diharapkan penelitian ini berguna dalam merumuskan konsep-konsep dasar pengembangan subak sebagai wahana belajar petani. Dengan dukungan konsep-konsep dasar yang strategis maka penelitian ini dapat memberikan 9 kontribusi yang berharga untuk memberikan solusi penyelesaian masalah yang terkait dengan isu-isu lemahnya sumberdaya manusia, penguatan kelembagaan tradisional, menurunnya fungsi lingkungan, ketahanan pangan, dan kesehatan. Hasil penelitian tentang adopsi SRI dapat dimanfaatkan dalam kegiatan penyuluhan, sehingga proses adopsi SRI oleh anggota subak dapat dipercepat. Adapun implikasi penelitian adopsi SRI terhadap kegiatan penyuluhan adalah: (1) Penyuluh dapat memilih dan mengembangkan berbagai sumber informasi yang digunakan pada awal dan akhir proses adopsi metode SRI; (2) Media sangat berperan menarik minat untuk melakukan komunikasi pribadi mengenai SRI, penyuluhan akan efektif apabila ada tindak lanjut di lapangan. Contohnya: (a) Siaran pedesaan tentang SRI. Walaupun minat masyarakat tani dapat ditumbuhkan untuk menerapkan SRI, namun bila tidak ada tindak lanjut (diskusi, denplot yang didampingi penyuluh) kegiatan ini tidak ada gunanya, (b) Penempelan poster “SRI pola tanam masa kini” memang dapat menumbuhkan minat dan kesadaran, tapi tidak ada gunanya jika tidak diikuti tindak lanjut, dan (3) Agen penyuluh dapat membantu anggota subak untuk meningkatkan kapasitas subak sebagai wahana belajar dan lembaga ekonomi sehingga menjadi lebih kuat menghadapi penjual, pemberi kredit, dan/atau tuan tanah. Apabila ini dilakukan akan mengubah suatu sistem yang lebih berpihak kepada yang lemah. Penelitian ini juga berguna kepada anggota subak baik yang telah mengadopsi SRI maupun yang belum mengadopsi SRI. Kepada anggota subak yang telah mengadopsi SRI, hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan dan dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki paket-paket teknologi SRI yang belum diterapkan ataupun penerapannya di lapangan belum sempurna, sehingga dapat meningkatkan kualitas penerapan SRI di masa depan. Kepada anggota subak yang belum menerapkan SRI, hasil penelitian ini sebagai stimuli/rangsangan menumbuhkan minat untuk menerapkan SRI di lahan usahataninya, sehingga penyebaran SRI di kalangan anggota subak semakin cepat. Kepada pengurus subak, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk menjadikan subak sebagai tempat belajar petani anggotanya untuk mempertimbangkan, menilai, mencoba, dan menerapkan suatu inovasi baru yang masuk ke dalam lembaga tradisional yang dipimpinnya, dan hasil penelitian ini 10 dapat dijadikan inspirasi bahwa subak yang dipimpinnya mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai lembaga tradisional yang tidak hanya mengelola air irigasi tetapi juga sebagai tempat belajar, tempat penguatan ekonomi pedesaan terutama sebagai penyedia sarana produksi yang diperlukan anggotanya. Penelitian ini juga berguna dalam pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan di masa depan. Diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi adopsi inovasi pertanian dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk menyusun informasi, program, dan aksi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani. Definisi Istilah Subak: Subak adalah lembaga irigasi tradisional di Bali yang berfungsi sebagai pengelola air untuk memproduksi pangan, khususnya beras yang bersifat socio-agrarisreligius. Karakteristik anggota subak: Karakteristik anggota dan pengurus subak merupakan kondisi yang menggambarkan ciri atau profil seseorang atau sekelompok orang yang membedakannya dengan individu atau kelompok lain. Kompetensi Penyuluh: Kompetensi penyuluh adalah kemampuan seseorang untuk mengubah perilaku masyarakat menuju kondisi yang lebih bermutu, sekaligus mencapai tujuan program intervensi. Peubah ini diukur berdasarkan kemampuan berkomunikasi, kemampuan memotivasi, dan kemampuan melakukan transfer belajar. Transfer belajar berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan hasil-hasil belajar yang telah didapatnya di dalam situasi yang baru yang sama dengan situasi sebelumnya atau yang lebih kompleks. Kompetensi Pengurus Subak: Kompetensi pengurus subak adalah kemampuan pengurus subak dalam membantu menyebarluaskan inovasi. Peubah ini diukur berdasarkan kemampuan pengurus dalam menyebarluaskan SRI dan kemampuan pengurus menguasai inovasi SRI. 11 Persepsi anggota subak tentang SRI: Persepsi anggota subak adalah pengertian anggota subak terhadap paket-paket teknologi SRI. Peubah ini diukur berdasarkan atas tingkat penerimaan ataupun penolakan secara mental terhadap prinsip-prinsip SRI dengan bekal pengetahuan dan pengalaman usahataninya. Sikap petani angota subak terhadap SRI: Sikap anggota subak adalah tingkat persetujuan anggota subak terhadap paketpaket teknologi SRI. Peubah ini diukur dengan skala sikap. Kemandirian anggota subak: Kemandirian (self-reliance) adalah suatu suasana atau kondisi yang telah mencapai kondisi itu tidak lagi tergantung pada bantuan atau kedermawanan pihak ketiga untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok. Pengadopsian metode SRI: Pengadopsian metode SRI adalah proses mental yang terjadi pada individu anggota subak untuk menerima atau menolak inovasi SRI. Sistem of Rice Intensification (SRI): SRI adalah cara bercocok tanam padi dengan pengelolaan tanah, tanaman, dan air secara intensif dan efisien melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan local, serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan dan berkelanjutan.