usulan penelitian

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konferensi Bali dan berbagai organisasi dunia, baik lembaga swadaya
masyarakat maupun lembaga pemerintah, sudah mengakui dampak perubahan
iklim terhadap berbagai sektor, khususnya di sektor pertanian. Jika intensitas
bencana akibat pemanasan global makin sering dan tanpa ada upaya-upaya
adaptasi maka kegagalan panen akan makin sering terjadi dan pada akhirnya
berdampak
pada
ketahanan
pangan
nasional.
Pemanasan
global
telah
mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit
menentukan jenis varietas dan kalender tanam, karena iklim sulit diduga. Di
berbagai wilayah di Indonesia, kekeringan dan banjir menggagalkan produksi
pangan. Sawah banyak puso atau gagal panen yang disebabkan oleh kemarau
panjang dan banjir. Oleh sebab itu mesti ada upaya untuk mengatasi perubahan
iklim global dalam dunia pertanian.
Dari aspek pengelolaan air irigasi sawah pada umumnya dilakukan dengan
penggenangan secara terus-menerus; di lain pihak kesediaan air semakin terbatas.
Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani
hemat air. Usahatani padi sawah metode System of Rice Intensification (SRI)
merupakan teknologi usahatani ramah lingkungan, efisiensi input melalui
pemberdayaan petani dan kearifan lokal.
SRI mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1997 dan telah
diujicobakan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Hasil penerapan SRI di
beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa budidaya padi metode SRI telah
meningkatkan hasil dibandingkan dengan budidaya padi metode konvensional.
Anggota subak memiliki sejumlah alasan yang kuat untuk mengadopsi SRI
di sawahnya. SRI menggunakan benih yang lebih sedikit dibandingkan dengan
penanaman padi secara konvensional. Rata-rata benih yang digunakan berkisar
antara lima hingga 10 kg/ha. Dengan menggunakan benih yang lebih sedikit,
maka secara otomatis dapat menekan biaya yang mesti dikeluarkan untuk
pembelian benih sehingga dapat menekan ongkos produksi. Selain itu, petani
1
2
dapat memilih bermacam varietas yang sesuai dengan kondisi setempat yang telah
biasa mereka tanam.
Selain dapat menghemat benih, alasan lainnya adalah masa tanam padi
metode SRI lebih cepat dibandingkan dengan cara bertanam padi secara
konvensional. Pada SRI, umur delapan hingga 12 hari semaian siap ditanam
ketika baru tumbuh dua tangkai daun. Tujuannya adalah saat benih tumbuh lebih
memungkinkan untuk menghasilkan rumpun yang lebih banyak dan pertumbuhan
akar yang lebih banyak.
Anggota Subak tertarik menerapkan SRI di sawah mereka karena hemat
air. Dalam bercocok tanam padi secara konvensional pada umumnya dilakukan
dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin
terbatas. Sistem bercocok tanam padi metode SRI tidak membutuhkan air yang
berlebih. Namun, lahan tidak boleh mengalami kekeringan secara terus menerus
sehingga diperlukan manajemen air yang lebih baik. SRI memerlukan irigasi
berkala untuk menjaga tanah tetap basah.
Aktivitas pengairan yang terputus
(intermiten) harus dilakukan untuk memberikan kondisi aerobik dan anaerobik
bagi biota tanah untuk menyalurkan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Ini
bertujuan untuk memperkuat perakaran tanaman.
SRI menarik minat anggota subak untuk diterapkan pada sawah-sawah
mereka karena sedikit memerlukan pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pupuk
menjadi input produksi yang memerlukan biaya semakin besar karena semakin
hari harganya semakin tinggi. Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan
tidak terkontrol mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama
menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh
berkembang dengan pesat, dan adanya residu pestisida pada hasil panen.
Jika anjuran bercocok tanam SRI diikuti dengan baik oleh anggota subak
maka padi metode SRI akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan metode
konvensional. Pada metode konvensional, benih padi mengalami proses adaptasi
yang panjang pada lingkungannya yang baru. Berbeda dengan SRI proses itu
tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga benih yang ditanam lebih awal
dapat lebih cepat menyesuaikan diri dengan kondisi lahan. Dengan demikian
3
secara otomatis padi metode SRI memiliki umur panen yang lebih cepat
dibandingkan dengan metode konvensional.
Jumlah anakan/rumpun padi metode SRI lebih banyak dibandingkan
dengan metode konvensional. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anggota
subak untuk menerapkannya.
Jarak tanam yang lebih lebar memungkinkan
tanaman padi leluasa untuk mendapatkan bahan makanan yang tersedia tanpa
harus bersaing dengan tanaman padi yang ada di sekitarnya.
Hal ini akan
merangsang tumbuhnya anakan/rumpun yang jauh lebih banyak jika dibandingkan
dengan metode konvensional.
Kualitas batang dan daun padi metode SRI adalah lebih kuat. Hal ini
berawal dari menanam bibit lebih muda yang menyebabkan potensi tumbuhnya
tangkai dan akar tanaman akan semakin banyak dan kokoh. Hal ini dapat
meningkatkan minat anggota subak untuk menerapkan SRI, karena tanaman
tumbuh dengan sehat. Jika tanaman padi tumbuh dengan sehat maka padi metode
SRI lebih tahan terhadap berbagai penyakit.
Selain itu, tanaman juga akan
semakin kokoh karena ditopang oleh akar-akar yang sehat, sehingga petani tidak
merasa khawatir tanaman mereka roboh jika diterpa hujan dan angin yang kuat.
Padi metode SRI lebih bernas karena pertumbuhan tanaman menjadi lebih
optimal jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu jumlah bulir
padi lebih banyak sesuai dengan jumlah anakannya. Hal ini yang menjadi alasan
lainnya anggota subak menerapkan SRI pada lahan usaha taninya. Alasan lain
anggota subak menerapkan SRI adalah waktu panen yang lebih cepat.
Padi
metode SRI dapat menghemat waktu hingga 10 hari jika dibandingkan dengan
metode konvensional.
Rasa nasi padi metode SRI adalah lebih enak. Tidak digunakannya pupuk
anorganik dan pestisida menghasilkan beras yang alami, sehingga rasa nasi padi
metode SRI lebih enak dibandingkan padi yang menggunakan pupuk buatan dan
pestisida yang berlebihan. Alasan ini semakin menguatkan anggota subak untuk
menerapkan SRI di lahan usahataninya.
Pada akhirnya, alasan yang paling kuat anggota subak menerapkan SRI
adalah keuntungan yang lebih besar. Pada metode SRI jerami lebih tinggi dan
bulir padi lebih bernas, menghemat waktu hingga 10 hari, sedikit bahkan tidak
4
sama sekali memakai bahan kimia, lebih hemat air dibandingkan dengan metode
konvensional, sedikit bulir padi yang kosong, meningkatkan ketahanan tanaman
dari angin, dan lahan semakin sehat karena terjadi aktivitas biologis dalam tanah.
Secara ilmiah, SRI telah menunjukkan hasil-hasil yang sangat baik dan
menjanjikan cara becocok tanam padi yang intensif dan dengan produksi yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara bercocok tanam padi konvensional.
Kenyataannya, inovasi SRI baru diadopsi oleh sebagian kecil angota subak di
seluruh Bali. Hal inilah yang menjadikan minat penulis untuk meneliti lebih jauh
faktor-faktor yang memengaruhi anggota subak menerapkan metode SRI pada
lahan usahataninya.
Banyak perubahan yang terjadi pada level individual, dimana seseorang
bertindak sebagai individu yang menerima atau menolak inovasi. Perubahan pada
level ini disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain difusi, adopsi,
modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Perubahan juga terjadi pada level
sistem sosial. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk perubahan macam ini,
misalnya pembangunan, sosialisasi, integrasi atau adaptasi.
Perubahan pada kedua level itu berhubungan erat. Subak adalah suatu
sistem sosial, maka pengadopsian SRI akan membawa pada proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh anggota subak untuk mengubah cara bertaninya
dari cara-cara konvensional ke penerapan SRI. Perubahan pada sebagian anggota
subak akan menyebabkan perubahan pada subak sebagai suatu sistim sosial.
Keputusan anggota subak untuk mengadopsi SRI akan diikuti dengan perubahan
pada cara-cara bertani yang ada pada sistem sosial subak di Bali.
Dibalik semua itu, semua analisis perubahan sosial harus memusatkan
perhatian pada proses belajar anggota subak. Masuknya inovasi SRI ke dalam
sistem sosial subak tidak semata-mata sebagai proses alih teknologi dari metode
konvensional ke metode SRI, tetapi lebih pada proses belajar anggota subak di
dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Semua inovasi pasti mempunyai komponen ide, tetapi banyak inovasi
yang tidak memiliki wujud fisik misalnya ideologi. Inovasi yang tidak memiliki
wujud fisik tidak dapat diadopsi secara fisik, pengadopsiannya hanyalah berupa
keputusan simbolis.
Sedangkan inovasi yang mempunyai komponen ide dan
5
komponen objek (fisik) seperti yang terdapat pada SRI, pengadopsiannya akan
diikuti keputusan tindakan berupa tingkah laku nyata.
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat
oleh seseorang.
Jika seseorang menerima (mengadopsi) inovasi, dia mulai
menggunakan ide baru, praktek baru atau barang baru itu dan menghentikan
penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah
proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil
keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya.
Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas;
Keputusan ini mempunyai cici-ciri dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak
diketemukan dalam situasi pembuatan keputusan yang lain. Faktor-faktor yang
memengaruhi pengambilan keputusan untuk menerima ataupun menolak suatu
inovasi menjadi topik utama penelitian ini.
Untuk membahas faktor-faktor
tersebut akan melibatkan pengertian-pengertian tentang belajar dan pengambilan
keputusan dari teori-teori dan konseptualisasi proses keputusan inovasi.
Penyebaran suatu inovasi tidak bisa terpelas dari peranan agen pembaru
dalam usaha memengaruhi keputusan inovasi yang diambil anggota subak.
Kenyataannya, masih sering ditemukan jarak pemisah antara agen pembaru
dengan orang-orang atau sistem sosial yang menjadi sasarannya, karena mereka
berbeda dalam bahasa, status sosial ekonomi, kemampuan teknis maupun nilainilai dan sikap-sikapnya. Kesenjangan yang demikian tidak hanya dengan sistim
kliennya, tetapi kadang-kadang juga dengan atasannya di lembaga penyuluhan
dimana agen pembaru itu bekerja. Hal yang demikian ini sering mengakibatkan
terjadinya konflik peranan pada diri agen pembaru dan kesulitan-kesulitan
berkomunikasi. Sebagai jembatan dua sistem sosial, agen pembaru diharapkan
menjadi seseorang yang tetap melaksanakan tugas intansinya dan juga
memperjuangkan kepentingan petani, ibaratnya sebelah kakinya ditaruh di
lembaga pembaru sedang sebelah kaki lainnya diletakkan di sistem kliennya.
Difusi SRI akan lebih berhasil jika agen pembaru mengenal dan dapat
menggerakkan para pengurus subak sebagai tokoh masyarakat setempat. Waktu
dan tenaga agen pembaru untuk menyebarluaskan SRI terbatas. Jika agen
pembaru
mengarahkan
komunikasinya,
memusatkan
usahanya
untuk
6
memengaruhi pengurus subak, maka agen pembaru dapat menghemat tenaga,
biaya, dan sosial. Dengan menghubungi tokoh masyarakat berarti agen pembaru
tidak perlu lagi menghubungi semua anggota subak satu persatu, karena setelah
sampai ke pengurus subak SRI akan lebih cepat tersebar.
Pembentukan persepsi anggota subak tentang SRI yang baik menjadi
masalah tersendiri bagi agen pembaru. Agen pembaru cenderung memberikan
jawaban terhadap stimuli berdasarkan kebiasaan, dan jawaban tersebut akan rusak
jika ditata dalam situasi yang baru.
Masalah demikian sering dihadapi agen
pembaru yang melayani kliennya dengan latar belakang budaya yang beragam.
Agen pembaru yang telatih dan berasal dari daerah perkotaan biasanya harus
belajar untuk mengamati situasi pertanian, karena yang diajak bekerjsama dan
mengamati sesuatu adalah orang-orang dengan latar belakang yang berbeda.
Anggota subak mungkin memandang kondisi tertentu dengan cara berbeda.
Sebelum anggota subak mengenal SRI, maka anggota subak tidak dapat
membentuk sikap tertentu terhadap SRI. Kepribadian anggota subak, begitu pula
norma-norma sistem sosialnya memengaruhi anggota subak mencari informasi,
pesan apa saja yang belum diterima, dan bagaimana menafsir keterangan yang
diperoleh itu untuk kelangsungan usahataninya. Dengan demikian persepsi
penting dalam menentukan perilaku komunikasi anggota subak pada tahap
penentuan sikap terhadap metode SRI. Ciri-ciri inovasi yang tampak seperti
keuntungan relatif, kompatibilitas, dan kerumitan atau kesederhanaannya sangat
penting artinya pada tahap anggota subak mempersepsikan inovasi SRI.
Dalam mengembangkan sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap SRI,
anggota subak menerapkan ide baru itu secara mental pada situasi dirinya
sekarang atau masa mendatang sebelum menentukan apakah akan mencobanya
atau tidak. Proses mental ini dapat dianggap sebagai percobaan pengganti
(semacam penilaian, namun berbeda dengan percobaan inovasi secara fisik yang
dipandang sebagai bagian dari tahap keputusan). Setiap inovasi termasuk SRI
mengandung risiko subyektif tertentu pada anggota subak. Anggota subak belum
tahu persis akibat atau hasil yang akan diperoleh dari SRI, karena itu anggota
subak perlu memperkuat sikap terhadap SRI.
7
Tujuan akhir seorang agen pembaru adalah berkembangnya perilaku
“memperbarui diri sendiri” pada anggota subak. Dengan kata lain, penyuluhan
pertanian menghasilkan petani pembelajar, petani penemu ilmu dan teknologi,
petani pengusaha agribisnis yang unggul, petani pemimpin di masyarakatnya,
petani “guru” dari petani lain yang bersifat mandiri. Sifat mandiri meliputi
kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan.
Kemandirian material artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk
memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki
sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar.
Kemandirian intelektual artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk
mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayang-bayangi rasa takut atau
tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan artinya anggota subak memiliki
kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses belajar tanpa
harus tergantung atau menunggu sampai adanya “pembina” atau “agen pembaru”
dari luar sebagai “guru” mereka.
Masalah Penelitian
Proses resosialisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan program
belajar pada masyarakat tani.
Proses resosialisasi ini penting karena proses
sosialisasi cara bertani yang didapat dari nenek moyangnya tidak cukup dan tidak
memadai untuk dijadikan bekal bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa
depan. Dengan demikian, petani sangat memerlukan wadah untuk belajar kembali
tentang teknik bertani yang lebih baik.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
(1) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan
anggota subak;
(2) Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI,
sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak
menerapkan SRI terhadap pengadopsian metode SRI di kalangan anggota
subak;
(3) Bagaimanakah hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang
memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak; dan
8
(4) Bagaimanakah model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak yang
sesuai dengan sistem sosial subak di Bali.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan suatu model peningkatan
kapasitas subak untuk mengadopsi SRI di Bali, sehingga petani memiliki tempat
untuk belajar, saling tukar menukar informasi, dan pengalaman, serta memiliki
ikatan yang kuat di antara sesama petani. Dengan demikian, petani memiliki
kekuatan untuk memecahkan masalah bersama-sama dengan dukungan nilai-nilai
tradisional yang sudah ada sejak dahulu kala.
Berdasarkan masalah penelitian, maka dirumuskan tujuan penelitian secara
lebih spesifik sebagai berikut.
(1) Menemukan faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan
anggota subak.
(2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI,
sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak
menerapkan SRI terhadap pengadopsian SRI di kalangan anggota subak.
(3) Menganalisis hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang
memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak
(4) Merumuskan model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak yang sesuai
dengan sistem sosial subak.
Kegunaan Penelitian
Perubahan iklim global menjadi dasar kajian dalam penelitian ini, karena
salah satu akibat dari perubahan iklim global tersebut menyebabkan kelangkaan
sumber daya alam terutama air irigasi. Padahal air irigasi adalah sumber
kehidupan untuk kelangsungan hidup pertanian di negeri ini.
Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki
potensi yang besar untuk menerima inovasi dan dikembangkan menjadi wahana
belajar petani. Dengan peningkatan kapasitas subak menjadi wahana belajar
petani maka diharapkan penelitian ini berguna dalam merumuskan konsep-konsep
dasar pengembangan subak sebagai wahana belajar petani. Dengan dukungan
konsep-konsep dasar yang strategis maka penelitian ini dapat memberikan
9
kontribusi yang berharga untuk memberikan solusi penyelesaian masalah yang
terkait dengan isu-isu lemahnya sumberdaya manusia, penguatan kelembagaan
tradisional, menurunnya fungsi lingkungan, ketahanan pangan, dan kesehatan.
Hasil penelitian tentang adopsi SRI dapat dimanfaatkan dalam kegiatan
penyuluhan, sehingga proses adopsi SRI oleh anggota subak dapat dipercepat.
Adapun implikasi penelitian adopsi SRI terhadap kegiatan penyuluhan adalah: (1)
Penyuluh dapat memilih dan mengembangkan berbagai sumber informasi yang
digunakan pada awal dan akhir proses adopsi metode SRI; (2) Media sangat
berperan menarik minat untuk melakukan komunikasi pribadi mengenai SRI,
penyuluhan akan efektif apabila ada tindak lanjut di lapangan. Contohnya: (a)
Siaran pedesaan tentang SRI. Walaupun minat masyarakat tani dapat
ditumbuhkan untuk menerapkan SRI, namun bila tidak ada tindak lanjut (diskusi,
denplot yang didampingi penyuluh) kegiatan ini tidak ada gunanya, (b)
Penempelan poster “SRI pola tanam masa kini” memang dapat menumbuhkan
minat dan kesadaran, tapi tidak ada gunanya jika tidak diikuti tindak lanjut, dan
(3) Agen penyuluh dapat membantu anggota subak untuk meningkatkan kapasitas
subak sebagai wahana belajar dan lembaga ekonomi sehingga menjadi lebih kuat
menghadapi penjual, pemberi kredit, dan/atau tuan tanah. Apabila ini dilakukan
akan mengubah suatu sistem yang lebih berpihak kepada yang lemah.
Penelitian ini juga berguna kepada anggota subak baik yang telah
mengadopsi SRI maupun yang belum mengadopsi SRI. Kepada anggota subak
yang telah mengadopsi SRI, hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan dan
dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki paket-paket teknologi SRI yang
belum diterapkan ataupun penerapannya di lapangan belum sempurna, sehingga
dapat meningkatkan kualitas penerapan SRI di masa depan. Kepada anggota
subak
yang
belum
menerapkan
SRI,
hasil
penelitian
ini
sebagai
stimuli/rangsangan menumbuhkan minat untuk menerapkan SRI di lahan
usahataninya, sehingga penyebaran SRI di kalangan anggota subak semakin cepat.
Kepada pengurus subak, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan
untuk menjadikan subak sebagai tempat belajar petani anggotanya untuk
mempertimbangkan, menilai, mencoba, dan menerapkan suatu inovasi baru yang
masuk ke dalam lembaga tradisional yang dipimpinnya, dan hasil penelitian ini
10
dapat dijadikan inspirasi bahwa subak yang dipimpinnya mempunyai potensi
untuk dikembangkan sebagai lembaga tradisional yang tidak hanya mengelola air
irigasi tetapi juga sebagai tempat belajar, tempat penguatan ekonomi pedesaan
terutama sebagai penyedia sarana produksi yang diperlukan anggotanya.
Penelitian ini juga berguna dalam pengembangan ilmu penyuluhan
pembangunan di masa depan. Diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi
adopsi inovasi pertanian dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk
menyusun informasi, program, dan aksi penyuluhan yang sesuai dengan
kebutuhan petani.
Definisi Istilah
Subak:
Subak adalah lembaga irigasi tradisional di Bali yang berfungsi sebagai pengelola
air untuk memproduksi pangan, khususnya beras yang bersifat socio-agrarisreligius.
Karakteristik anggota subak:
Karakteristik
anggota
dan
pengurus
subak
merupakan
kondisi
yang
menggambarkan ciri atau profil seseorang atau sekelompok orang yang
membedakannya dengan individu atau kelompok lain.
Kompetensi Penyuluh:
Kompetensi penyuluh adalah kemampuan seseorang untuk mengubah perilaku
masyarakat menuju kondisi yang lebih bermutu, sekaligus mencapai tujuan
program intervensi. Peubah ini diukur berdasarkan kemampuan berkomunikasi,
kemampuan memotivasi, dan kemampuan melakukan transfer belajar. Transfer
belajar berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan hasil-hasil belajar yang
telah didapatnya di dalam situasi yang baru yang sama dengan situasi sebelumnya
atau yang lebih kompleks.
Kompetensi Pengurus Subak:
Kompetensi pengurus subak adalah kemampuan pengurus subak dalam membantu
menyebarluaskan inovasi. Peubah ini diukur berdasarkan kemampuan pengurus
dalam menyebarluaskan SRI dan kemampuan pengurus menguasai inovasi SRI.
11
Persepsi anggota subak tentang SRI:
Persepsi anggota subak adalah pengertian anggota subak terhadap paket-paket
teknologi SRI. Peubah ini diukur berdasarkan atas tingkat penerimaan ataupun
penolakan secara mental terhadap prinsip-prinsip SRI dengan bekal pengetahuan
dan pengalaman usahataninya.
Sikap petani angota subak terhadap SRI:
Sikap anggota subak adalah tingkat persetujuan anggota subak terhadap paketpaket teknologi SRI. Peubah ini diukur dengan skala sikap.
Kemandirian anggota subak:
Kemandirian (self-reliance) adalah suatu suasana atau kondisi yang telah
mencapai kondisi itu tidak lagi tergantung pada bantuan atau kedermawanan
pihak ketiga untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok.
Pengadopsian metode SRI:
Pengadopsian metode SRI adalah proses mental yang terjadi pada individu
anggota subak untuk menerima atau menolak inovasi SRI.
Sistem of Rice Intensification (SRI):
SRI adalah cara bercocok tanam padi dengan pengelolaan tanah, tanaman, dan air
secara intensif dan efisien melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan local,
serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Download