Prinsip-prinsip Diplomasi

advertisement
REPUBLIKA
khazanah
20
Halaman >>
Rabu > 24 November 2010
Prinsip-prinsip
Diplomasi
Oleh Yusuf Assidiq
SAUDIARAMCOWORLD.COM
MEMBANGUN
JALAN DIPLOMASI
SAUDIARAMCOWORLD.COM
Oleh Yusuf Assidiq
PAKAR
GEOGRAFI
IBNU
BATUTTA
MENJADI
BAGIAN
DALAM MEMBANGUN
JALAN DIPLOMASI.
J
alan diplomasi sudah lama
dibangun. Banyak cendekiawan yang dilibatkan dalam
menjalin hubungan dengan
bangsa dan peradaban lain.
Pemerintahan Islam di abad
pertengahan banyak mengirim
diplomatnya, selain untuk menjaga
pertemanan, juga untuk mewujudkan perdamaian.
Jere L Bacharach dalam bukunya
Medieval Islamic Civilization, an
Encyclopedia mengatakan, praktik
diplomasi sudah menjadi bagian
dari politik Islam sejak berabadabad silam. Sejarawan ini mencatat,
terdapat dua karakteristik diplomasi yang dipraktikkan umat Islam.
Pertama, pada masa awal Islam,
tujuan religius menjadi fokus.
Diplomasi adalah untuk mengajak
kaum di luar Islam untuk memeluk
Islam, beriman kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya. Sedangkan, karakteristik kedua, lebih bersifat politis.
Pada masa pemerintahan Islam
banyak ekspedisi dan perluasan
wilayah.
Mereka harus berhubungan
dengan banyak negara dan peradaban lain. Diplomasi dibutuhkan
untuk memperkuat aliansi, pertukaran pengetahuan, perdagangan,
dan perdamaian. Ibnu Batutta
menjadi salah satu tokoh utusan
yang mewarnai perkembangan
diplomasi di dunia Islam.
Ia dikenal pula sebagai penjelajah terbesar bangsa Arab. Hampir
separuh dunia pernah dikunjungi-
nya. Ibnu Batutta melakukan ekspedisi pengembaraan hingga puluhan
tahun lamanya. Nama lengkap tokoh asal Maroko itu adalah Syamsuddin Muhammad bin Abdullah alTanji. Namun, lebih dikenal dengan
panggilan Ibnu Batutta.
Dirinya mengabdi pada pemerintahan Sultan Abu ‘Inan. Beberapa
ekspedisi perjalanannya dicatat
pada karya yang ditulis sarjana
bernama Ibnu Jauzi. Selain menjadi
pengembara, Ibnu Batutta juga ahli
geografi yang cermat. Keistimewaan
yang dimilikinya membuatnya
diberi kepercayaan oleh Sultan Abu
‘Inan.
Sultan menunjuknya sebagai
utusan Islam untuk Dinasti Yuan,
penguasa negeri Cina. Ibnu Battuta
menerima amanat tersebut dan
berangkat ke wilayah timur jauh.
Berkat pengetahuan yang luas dan
kecakapannya dalam bernegosiasi,
terjalin hubungan erat antara
pemerintahan Islam dan Cina.
Selama berabad-abad hampir tak
ada konflik yang muncul dalam
hubungan kedua pemerintahan itu.
Bahkan, terjadi transfer pengetahuan yang pesat. Kerja sama
perdagangan kian meningkat. Selain
Ibnu Batutta, muncul pula nama
lainnya, yaitu Nadhir al-Harami.
Ia pemimpin rombongan utusan
Khalifah al-Muqtadir ke kawasan
Volga Bulgars. Sebuah negara yang
terletak di Sungai Volga dan Kama,
Rusia. Seluruh kisah perjalanan
maupun langkah diplomasi alHarami terekam dalam buku
berjudul Ar-Risalah karya Ibnu
Fadhlan. Ia merupakan sekretaris
rombongan.
Al-Harami sukses menjalankan
titah khalifah. Sebelumnya, penguasa dan masyarakat Volga Bulgas
bersedia mempelajari agama Islam.
Utusan dari Volga tiba di Baghdad
pada 920 Masehi. Mereka meminta
kepada khalifah agar dikirimkan
ahli-ahli agama untuk mengajar di
sana.
Ada pula nama Abd el Ouahed
bin Messaoud. Ia bekerja di pemerintahan saat Ahmad al-Mansur
menjadi penguasa Maroko pada
sekitar abad ke-16. Jabatannya
adalah sekretaris kerajaan. Saat itu
umat Islam di Maroko sedang menghadapi pertikaian dengan bangsa
Spanyol.
Abd el-Ouahed lantas diutus menemui Ratu Elizabeth I dari Inggris.
Tujuannya agar terjalin aliansi antara Maroko dan Inggris untuk bersama menghadapi kekuatan armada
Spanyol. Jalan ini ditempuh karena
sebelumnya kekuatan Inggris
mampu mengalahkan armada
Spanyol, yaitu pada 1588 Masehi.
Mereka lantas menguasai wilayah
Cadiz. Pasukan Maroko menang
atas Spanyol pada pertempuran
Alcazar tahun 1578. Dua momen itu
mengilhami Ahmad al-Mansur. Dia
ingin dua kekuatan, Inggris dan
Maroko, bersatu. Lantas dikirimlah
diplomat terbaiknya, Abd el
Ouahed yang tiba di Inggris pada
ewujudkan perdamaian dan hubungan
erat menjadi acuan diplomasi umat
Islam. Hal ini diungkapkan Majid
Khadduri melalui karyanya, War and
Peace in the Law of Islam. Ia mengatakan, kedua
aspek di atas lebih dikedepankan. Namun bila
terpaksa, pilihan perang dapat dimunculkan.
Pada masa awal Islam, ujar Majid, diplomasi
dan negosiasi telah dirintis. Dimulai sebelum
perang, yakni memberikan peringatan atau
menyampaikan pesan-pesan Islam kepada nonMuslim. Setelah terjadi perang, konflik diplomasi
juga digelar untuk memberikan gencatan senjata
ataupun pertukaran tawanan.
Sementara itu, pada masa damai, diplomasi
diarahkan untuk menjalin hubungan dagang, pertukaran ilmu, hingga menjaga stabilitas di perbatasan masing-masing. Ketika itu, para diplomat
dikenal dengan sebutan sufara. Mereka ditugaskan bernegosiasi dengan petinggi negara lain,
berbekal sejumlah keahlian dan kecakapan.
Mereka berpengetahuan luas, berdedikasi tinggi, loyal, dan berani. Tak jarang, mereka dipilih
karena penampilan fisik yang memadai atau
berkharisma. Khalifah ataupun sultan sangat
menjaga sisi personalitas para diplomatnya.
Mereka misalnya diminta untuk tidak mempunyai
catatan buruk.
Pada umumnya, diplomat direkrut dari seseorang yang merupakan pakar bidang politik dan
hukum. Misi diplomatik sendiri terdiri atas tiga
pejabat, yakni sang diplomat senior, diplomat junior untuk belajar seni bernegosiasi, serta sekretaris. Mereka dibekali dengan surat resmi dari
khalifah atau sultan.
Surat harus diserahkan kepada penguasa
negeri tujuan. Surat itu memberi kuasa penuh
kepada para diplomat untuk mewakili khalifah
selama menggelar negosiasi. “Sejak masa
Rasulullah hingga kekhalifahan, para utusan dan
diplomat dikirimkan ke negara-negara lain, baik
untuk misi agama maupun politik,” papar Majid
Khudduri.
Pada wilayah taklukan, diplomasi bakal membicarakan besaran pajak atau pungutan. Sebagai
gantinya, kata Jere Bacharach, mereka menerima
hak kebebasan beragama dan perlindungan
militer. Sedangkan dengan negara-negara besar,
negosiasi terutama mengenai perjanjian perdamaian, pengaturan tapal batas, dan perdagangan.
Pada abad ke-9, penguasa Dinasti Abbasiyah
membentuk badan khusus bagi urusan diplomasi
luar negeri, yakni al-Rasa’il wal Sirr. Sebuah
risalah abad ke-10 bertajuk Rusul al-Mulk, yang
memaparkan perkembangan diplomasi dan
hubungan internasional yang dilakukan umat
Islam.
Buku karya Ibnu al-Farr itu diakui sebagai
karya besar yang melukiskan kemajuan diplomasi
Islam dari masa jahiliah hingga pemerintahan
Khalifah al-Mu’tasim (833-842). ■ ed: ferry kisihandi
M
Ibnu Batutta
1600 Masehi.
Selama menjalankan misi diplomasinya, Abd el Ouahed didampingi
Haji Messa dan Haji Bahanet. Pun
seorang penerjemah bernama Abd el
Dodar. Tujuan lain utusan ini adalah
membuka jalur perdagangan antara
kedua negara. Mereka bertemu Ratu
pada 19 Agustus dan 10 September.
Rombongan itu menghabiskan
waktu selama enam bulan di
Inggris. Saat itu, Ratu belum memberikan jawaban atas tawaran kerja
sama dalam menghadang Spanyol.
Namun, ia menerima keinginan
Maroko untuk menjalin perdagangan. Abd el Ouahed berusaha menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya.
Ia membahas dengan perinci
prinsip-prinsip kerja sama yang
akan dijalankan kedua negara.
Seperti besaran kompensasi dari
masing-masing negara untuk memperkuat perniagaan. Demikian pula
bantuan pembuatan kapal perang.
Menurut Jere Bacharach, Abd el
Oauahed menunjukkan dedikasi
luar biasa.
Bacharach mengatakan, Abd el
Oauahed memiliki karakter seorang
diplomat sejati yaitu loyal,
berpengetahuan luas, mahir
berbicara, cermat, pantang menyerah, dan tegas. Menurut dia, pengiriman misi diplomatik semacam itu
juga lazim dilakukan penguasa
Islam di Spanyol maupun Palestina.
Praktik itu kian intensif karena
kerap timbul gejolak di kawasan
tersebut. Para diplomat dan utusan
dengan keahlian hebat sangat dibutuhkan untuk meneruskan peradaban Islam yang gemilang.
■ ed: ferry kisihandi
Ekspedisi yang menyertakan Ibnu Fadhlan
MUSLIMHERITAGE.COM
Download