REFORMASI KEHIDUPAN AKADEMIK KAMPUS DI PERGURUAN TINGGI: (studi di STIAMI) Tukhas Shilul Imaroh Abstract. Institutions of higher education and its graduates are faced with the challenge of globalization phenomenon that impacts in every dimension of economic, politics and cultures. Education is a process of activities undertaken by each individual to be better in accordance with the potential. Educational process will foster the values, intelligence, aptitude, mental attitude is also resilient and tough . Education that focuses on development and realization of Human Capacity Development in accordance with the various demands of exisitng qualification, it is necessary to inevitably face the approaching challenges. Educational reform and teaching, is largely determined by the quality of teachers in discharging the mandate of learning. In this context, learning with monolithic systems can no longer be maintained, not only the system was able to stem the rise of an idealistic ,critical , creativity and independence of students, but also impressed the scientific arrogance of teachers to learners . Keywords : Globalization , educational reform , and the Human Capacity Development Abstrak. Lembaga pendidikan tinggi dan lulusannya dihadapkan pada tantangan fenomena globalisasi yang dampaknya dapat dirasakan dalam setiap dimensi kehidupan ekonomi, politik maupun budaya. Pendidikan merupakan proses aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu menuju kearah yang lebih baik sesuai dengan potensi diri. Melalui proses pendidikan akan menumbuhkan nilai-nilai, kecerdasan, kecakapan, juga sikap mental yang ulet dan tangguh. Pendidikan yang berorientasi pada perkembangan dan keterwujudan Sumber Kemampuan Manusia (Human Capacity Development) yang sesuai dengan berbagai tuntutan atas kualifikasiyang ada, hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan yang semakin mendekat dan tidak bisa dihindarkan. Reformasi pendidikan dan pengajaran, sangat ditentukan oleh seberapa besar kualitas pengajar dalam menunaikan amanat pembelajaran. Dalam konteks ini, pembelajaran dengan sistem monolitik tidak lagi bisa dipertahankan, selain sistem itu dapat membendung munculnya idealis, kritis, kreativitas dan kemandirian mahasiswa, juga terkesan terjadinya arogansi keilmuan dari pengajar terhadap pebelajar. Kata kunci: Globalisasi, Reformasi pendidikan, dan Human Capacity Development Pendidikan tinggi yang mencakup akuntabilitas, kualitas,otonomi, evaluasi diri dan akreditrasi pendidikan tinggi yang berkenaan dengan kondisi yang dipersyaratkan masa depan, menuntut aktualisasi keunggulan manusia secara optimal merupakan persoalan yang dihadapi lulusan Perguruan Tinggi. Pendidikan tidak hanya sekedar mendidik menjadi tenaga siap pakai di pasar kerja, namun diharapkan juga membantu peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan keterkaitan tersebut berarti perlunya lembaga yang independen untuk menilai akreditasi Perguruan Tinggi. Kondisi akademik yang kondusif sangat menunjang keberhasilan suatu Perguruan Tinggi dalam menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Perkembangan era globalisasi yang banyak memberikan informasi-informasi baru dan menimbulkan “banjir informasi”. Hal ini tidak terlepas atas keberadaan masyarakat transisi dari tradisional ke masyarakat modern dengan tiga peradaban yakni; agraris, industri dan informasi secara bersamaan. Globalisasi yang menyuguhkan berbagai tantangan, telah memunculkan berbagai kecenderungan peradaban, kemanusiaan, teknologi dan krisis nilai-nilai kemanusiaan. Perubahan-perubahan besar di bidang sosial terjadi ditandai oleh berbagai kekuatan pengubah di antaranya; yaitu industrialisasi, urbanisasi dan internasionalisasi yang terjadi bukan saja di kota-kota, melainkan juga merambah ke desadesa atau di seluruh penjuru wilayah. Kenyataan yang ada di Perguruan Tinggi output pendidikan telah membuktikan pengembangan sektor sumber daya manusia telah menghasilkan sejumlah lulusan yang unadjusted, dependent, dan kurang memiliki kreativitas untuk bisa hidup secara mandiri. Hal ini sebagai konsekwensi dari pendidikan kita yang cenderung kurang memberdayakan potensi dalam diri peserta didik secara optimal. Cita-cita tentang peran pendidikan tinggi nampaknya masih jauh dari kenyataan sebenarnya, sementara lembaga pendidikan tinggi dan lulusannya dihadapkan pada tantangan fenomena globalisasi yang dampaknya dapat dirasakan dalam setiap dimensi kehidupan ekonomi, politik maupun budaya, menurut Conny Semiawan (2, 1998). UNESCO meletakkan Indonesia dengan Human Development Index (HDI) pada urutan ke-112 di antara 174 negara yang diteliti. Sedangkan, The Political dan Economics Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong telah meletakkan sistem pendidikan di Indonesia pada urutan ke-12 di antara 12 negara yang diteliti ini. Kondisi tersebut menuntut pemikiran bersama termasuk lembaga pendidikan secara khusus, dan sebagai kunci perubahan adalah Sumber daya manusianya. Melihat kondisi yang ada berarti tantangan masa depan masa depan Pendidikan Tinggi ini sangat berat, sehingga perlu adanya “REFORMASI KEHIDUPAN AKADEMIK KAMPUS DI PERGURUAN TINGGI” sebagai upaya mewujudkan cita-cita dari peran pendidikan tinggi. Sivitas akademika diharapkan mampu bergerak bersama ke arah capaian tujuan pendidikan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi berbasis riset untuk mengembangkan ilmu, teknologi, seni, dan budaya, serta mengupayakan penerapannya untuk mengoptimalkan Sumber Kemampuan Manusia. Sumber Kemampuan Manusia (Human Capacity Development) Menghadapi permasalahan pendidikan yang memerlukan pemikirian secara serius dalam rangka mempersiapkan persaingan global saat ini, diperlukan pendidikan yang berorientasi pada perkembangan dan keterwujudan Sumber Kemampuan Manusia (Human Capacity Development) yang sesuai dengan berbagai tuntutan atas kualifikasi itu.(9-14, 1998) HCD, mempunyai orientasi pengembangan kemampuan manusia yang bertolak dari dalam diri manusia itu sendiri. Sedangkan Sumberdaya manusia berorientasi pengembangan manusia yang bertolak dari luar diri manusia. Orientasi pengembangan manusia melalui lembaga pendidikan yang telah dan sedang berjalan hari ini lebih menitik beratkan pada sektor HRD ketimbang sektor HCD. Sebagai proses transformasi penyiapan HCD diperlukan manajemen pendidikan, perencanaan, dan pembiayaan yang menjadi faktor dominan lembaga pendidikan dalam menjalankan visi dan misinya. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 tahun 1990, pasa 2 ayat 1 disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Tinggi adalah; (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian, dan (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Peningkatan sumber kemampuan manusia dalam rangka menciptakan kemandirian setiap masyarakat ini juga merupakan harapan dari pembangunan pemerintah melalui Repelita VI yang menyatakan bahwa; Tujuan Repelita VI adalah menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang lebih selaras, adil, dan merata; serta meletakkan landasan pembangunan yang mantap untuk tahap pembangunan berikutnya. Sasaran umum adalah tumbuhnya sikap kemandirian dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan lahir batin. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dilakukan melalui empat kebijaksanaan, yaitu peningkatan kualitas hidup yang meliputi baik kualitas manusianya seperti jasmani, rohani, dan kejuangan maupun kualitas kehidupannya; peningkatan kualitas sumber daya manusia yang produktif dan upaya penyebarannya; peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berkemampuan dalam memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai iptek yang berwawasan lingkungan; serta pengembangan pranata yang meliputi kelembagaan dan perangkat hukum yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia. Satu faktor determinan dalam mutu proses dan produk pendidikan tinggi adalah kualitas SDM yang dimiliki baik tenaga dosen maupun karyawan. Hal ini menuntut lembaga kampus terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan sumberdaya melalui kegiatan pembelajaran ke jenjang lebih tinggi dan beberapa kerjasama pelatihan dengan beberapa pihak dari luar kampus. Pengembangan dilakukan berdasarkan kebutuhan, peta ini sangat diperlukan untuk acuan pengembangan kelembagaan, dan arah orientasi pada peningkatan mutu akademik, layanan dan produk yang dihasilkan. Peningkatan kualifikasi pada tenaga pengajar berimplikasi pada tuntutan mutu pelayanan administrasi. Staf administrasi perlu memiliki kualifikasi profesional pada bidangnya, kalau tidak akan berakibat pada kinerja staf yang kurang memadai dalam memberikan layanan proses belajar mengajar di lembaga pendidikan tinggi tersebut. Bahkan sering kali menjadi penghambat kelancaran layanan. Oleh karena itu, upaya peningkatan kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang bersifat administratif bagi seluruh staf administratif menjadi penting. Pada prinsipnya pengembangan Sumberdaya manusia dapat dilakukan dengan dua pendekatan yang saling melengkapi Menurut Cony R. Semiawan, (1994 : 14 – 15), yaitu pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan kemampuan manusia. Pengembangan sumber daya manusia atau Human Resource Development (HRD), terutama terfokus pada keterampilan sikap dan kemampuan produktif ketenagakerjaan sehingga memperlakukan manusia sebagai Sumber untuk dimanfaatkan (sebagai objek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama dalam jangka waktu pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam, melainkan diatur dari atas sesuai dengan kepentingan lingkungannya. Sebaiknya, pendidikan ini teralihkan fokusnya kepada perkembangan dan keterwujudan kemampuan manusia atau Human Capacity Development (HCD) sepanjang hayat. Yang berhak dan mampu memiliki berbagai peran dalam meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat, orang tua, pekerja dan konsumen. Human Capacity Development (HCD) menunjukkan konstelasi keterampilan, sikap dan perilaku dalam melangsungkan hidup mencapai kemandirian, sekaligus memiliki daya saing tinggi dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi dunia. Pendidikan Tinggi merupakan alat mencapai keterwujudan manusia unggulan menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas, dan otonom sebagai manusia yang bermartabat. Untuk itu dalam merancang pendidikan, tidaklah tepat jika hanya memikirkan generasi sekarang, melainkan dua generasi yang akan datang. Yang harus dilakukan bukan hanya memperbaiki kekurangan-kekurangan di masa lalu melainkan harus dapat mengantisipasi segala tantangan dan masalah di masa depan. Untuk itu pendidikan harus mengantisipasi dampak dan tuntutan globalisasi. Pendidikan tidak hanya sekedar mendidik menjadi tenaga siap pakai di pasar kerja, melainkan lebih daripada itu, yakni membantu peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan demikian perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan kualitasnya demi memenuhi kebutuhan tantangan jamannya. Mutu Pendidikan Kualitas perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kemampuan perguruan tinggi untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus menerus berubah dan pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak pernah berakhir. Untuk itu penyelesaian masalah mutu pendidikan tidak pernah tuntas, bahkan diindikasikan mutu pendidikan semakin menurun. Menurunya mutu pendidikan berimplikasi kepada rendahnya daya saing kita dengan negara-negara lain, meskipun pendidikan bukan satu-satunya indikator daya saing, Ada beberapa perhatian yang ditumpukan untuk memperbaiki mutu pendidikan ini diantaranya adalah : Pertama, memperbaiki layanan pendidikan kepada masyarakat melalui proses standarisasi pelayanan. Sekarang ini telah terjadi integrasi antara jasa dan output layanan pendidikan dalam tuntutan pasar global. Perlu segera menyesuaikan mutu layanan yang sesuai dengan kecenderungan tuntutan pasar global. Layanan pendidikan yang memperhatikan kaidah ‘total quality circle’. Kedua, memperhatikan standarisasi proses belajar mengajar, proses rekrutmen mahasiswa, proses pelayanan administrasi pendidikan. Standarisasi proses dimulai dari hulu hingga ke hilir, dari proses rekruitmen mahasiswa proses belajar mengajar, proses interaksi akademik, proses pelayanan mahasiswa hingga kebermanfaatanya dalam dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian, lulusan lembaga tinggi bukan hanya memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja (human resources development oriented), tetapi juga dapat mengembangan kapasitas diri mereka sendiri secara optimal dan fleksibel (human capacity development oriented). Upaya akan dapat dilakukan apabila ada situasi yang kondisif untuk proses pelembagaan tradisi dan kultur akademik, menghargai mutu pada seluruh civitas akademika, baik itu dosen, karyawan maupun mahasiswa. Budaya menghargai mutu berarti mengupayakan agar kinerja dalam kehidupan kampus senantiasa memperhatikan proses yang bermutu guna menghasilkan produk yang bermutu juga. Proses yang bermutu adalah kerja yang senantiasa menghendaki tingkat presisi yang tinggi. Pendidikan dalam Membentuk Sumber Kemampuan Manusia Sumber daya manusia sebagai pelaku perubahan dalam segala bidang harus dimulai dari proses pendidikan secara tepat. Berdasarkan pendekatan “content analisis” yang di rujuk dari buku Conny, R. Semiawan yang berjudul “Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin”, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998. Reformasi Pendidikan dan Pengajaran Model pendidikan yang dikembangkan hari ini yang lebih menekankan pada pengembangan sumberdaya manusia ternyata telah menghasilkan out-put perguruan tinggi yang cenderung tidak siap bersaing. Di sisi lain pada aspek pengajaran bidang studi yang ditawarkan sebagaimana terangkum dalam kurikulum belum sepenuhnya menjadi kontribusi bagi kebutuhan mahasiswa, sehingga cenderung tidak menunjang bagi pengembangan kemampuan sumber mahasiswa. Dari aspek pembelajaran, masih sangat terpusat pada dosen, sehingga mahasiswa lebih sebagai pendengar yang setia, kemudian dijejali oleh berbagai tugas yang cenderung tidak berorientasi mengembangkan kreativitas. Dalam suasana pembelajaran semacam ini hanya melahirkan pebelajar yang penurut bukan yang kritis, yang berani menampilkan pendapat yang berbeda dan kontradiktif. Kondisi seperti ini perlu dilakukan perubahan (reformasi), mengingat tuntutan dan cita-cita dari pendidikan tinggi yang harus dicapai. Secara khusus STIAMI perlu melakukan adjusment dengan lingkungannya. Dalam menghadapi tantangan luar aspek pendidikan dan pengajaran merupakan faktor yang pertama harus diperhatikan. Pendidikan dan pengajaran yang hanya menekankan aspek kognisi dengan pemberdayaan belahan otak sebelah kiri seperti saat ini, hanya mampu membangun sumberdaya manusia yang anadjusted, dependent, dan jauh dari kemandirian, sebagaimana yang diharapkan tujuan pendidikan nasional. Pedidikan dan pengajaran semacam itu, masih sangat konvensional dan perlu adanya reformasi (perbaikan). Means dkk. menawarkan reformasi pembejalaran ini pada tujuh elemen, yang diistilahkannya dengan reformasi pembelajarn dari yang konvensional kepada pembelajaran yang reformatif. Pertama, teacher-directied kepada student exploration. Kedua, didactic teaching kepada interactive modes of instruction. Ketiga, short block of instruction on single subject kepada extended blocks of authentic and multidiciplinary work. Keempat, individual work kepada collaborative work. Kelima, teacher as knowledge dispenser kepada teacher as facilitator. Keenam, ability gorupings kepada heterogeneous groupings. Ketujuh, Assessment of fact knowledge and discrete skills kepada performance-based assessment. Karena reformasi pembelajaran ini lebih berorientasi kepada peserta didik, maka sudah barang tentu aspek kreativitas mahasiswa akan lebih dirangsang secara optimal, selain pendewasaan dan pencerdasan emosional seseorang, maka pendekatan pembelajaran seperti ini lebih mempersiapkan peserta didik ke arah kemandirian, independent, adjusted dan mampu berkreasi, bukan menunggu hasil kreasi orang lain. Jadi tidak hanya mengandalkan pada apa yang diberikan oleh dosen, dengan kecenderungan dosen sebagai sumber ilmu pengetahuan serta mempunyai otoritas tinggi dalam proses belajar mengajar. Tetapi dilakukan dari kedua aspek yang berkaitan yaitu disamping “teacher learning centre” atau proses belajar mengajar yang berpusat pada dosen, juga “student learning centre” atau proses belajar mengajar berpusat pada siswa, sebagai pihak yang berkepentingan langsung dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran ini. Kegiatan pendidikan dan pengajaran dapat juga dilakukan dengan percepatan atau akselerasi yang mempunyai tujuan, memberikan tantangan pada siswa untuk memiliki kemampuan dan prestasi yang baik dan dapat mengurangi jam belajar siswa. Menurut Means, Barbara,dkk. Penyelenggaraan akselerasi dalam belajar dengan berbagai fase terkait, dapat mempercepat pertumbuhan intelektual siswa. Upaya akselerasi belajar seseorang menurut Stanley dalam Conny, dapat dilakukan yaitu dengan menghadirkan eskalasi (yaitu peningkatan kadar mental). Meskipun akselerasi tidak selalu menghasilkan eskalasi berupa transformasi terhadap kemampuan mental yang lebih tinggi, sebab transformasi terjadi dalam berfikir kreatif melalui prosedur latihan untuk berpikir elaboratif dan berpikir original, yang memerlukan bimbingan. Percepatan belajar menurut Rose dan Nicholl dikemukakan enam langkah sebagai kunci tersebut yang disingkat dengan MASTER yakni; (1) M = motivation, (2) A = acquiring, (3) S = searching, (4) T = trigger, (5) E = exhibiting, dan (6) R = reflecting). Selain untuk membuka kunci dalam percepatan tujuan belajar Rose dan Nicholl juga meyakinkan bahwa langkah MASTER ini adalah sebagai blue print untuk belajar secara efektif. Dalam menggunakan MASTER ini mesti menggunakan inteligensi yang jamak dengan menggunakan seluruh kemampuan berpikir, dan tidak bisa mengandalkan inteligensi yang tunggal. Dalam hal ini Gardner dan Rose menawarkan delapan macam inteligensi jamak yakni; (1) inteligensi linguistik, (2) inteligensi logis-matematis, (3) inteligensi visual-spatial, (4) inteligensi musikal, (5) inteligensi kinestetis badan, (6) inteligensi interpersonal (sosial), (7) inteligensi intrapersonal dan, (8) inteligensi naturalistik. Seluruh inteligensi ini harus dikembangkan secara optimal, terlebih ketika seseorang sedang berada di perguruan tinggi, merupakan umur yang utama menuntut penggunaan kemampuan otak secara optimal melalui kombinasi unik semua inteligensi tersebut. Selajutnya Gardner mengatakan, pemahaman terhadap materi ajar yang tradisional hanya berorientasi pada Single Chance Theory of Education, dan sebaliknya. Sedangkan delapan inteligensi mengandung Multiple Chanse untuk memperoleh pemahaman. Disisi lain upaya perbaikan dapat dilakukan pada tenaga pengajar/ dosen untuk dapat ditingkatkan kualitas pendidikannya dengan melanjutkan pendidikannya. Menurut Roger Hahn dalam Conny menyebutkan bahwa sebagai perubahan penting dari revolusi ilmu adalah adanya perubahan ciri penelitian yang dampaknya terjadi pada perubahan pola organisasi ilmiah dan rekonstruksi pendidikan ilmiah (scientific education). Dalam kondisi perekonomian yang serba tidak menentu, dapat dilakukan juga dengan kegiatan “joint studies” antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta dalam rangka memperkuat ketahanan menghadapi tantangan yang berat ini. Diantaranya dengan melakukan berbagai penelitian yang bersifat fertilisasi silang (cros fertilization), untuk dapat menambah”cohesiveness” dari berbagai pihak yang terkait dalam pengembangan toknologi. Bidang Penelitian Aspek penelitian, para dosen perguruan tinggi Indonesia tergolong rendah, demikian juga keberadaan dosen-dosen yang berada dalam kawasan STIAMI. Fenomena yang tercatat di kalangan STIAMI ini antara lain disebabkan oleh; (1) kurangnya minat dosen dalam menulis, (2) masih relatif rendahnya minat baca, terutama berkaitan dengan rumpun keilmuan masingmasing, (3) kecilnya pembiayaan yang tersedia untuk setiap paket penelitian. Di dalam Kerangka Pengembangan Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (KPJPPT,1996), tercatat tujuh kendala yang dihadapi oleh bidang penelitian di Perguruan Tinggi, Conny menyimpulkan sebagai berikut: (1) sumberdaya yang terbatas tidak memungkinkan perguruan tinggi untuk mengikuti semua perkembangan IPTEK yang melaju dengan cepat, (2) Ketersediaan dana penelitian terbatas karena tingkat pengembalian investasi dalam kegiatan penelitian masih dipandang belum ekonomis, (3) kemampuan meneliti sebagian besar staf akademis masih terbatas, (4) akses ke sumber informasi ilmiah masih terbatas, (5) belum tumbuhnya budaya meneliti dan mempublikasikan hasilnya, (6) ketersediaan sarana penelitian masih terbatas, dan (7) pemanfaatan hasil penelitian masih kurang sistimatis. Bidang Pengabdian Masyarakat Tri dharma perguruan tinggi terutama darma ke tiga mengalami perkembangan yang dilematis. Pengabdian masyarakat bagi sebuah perguruan tinggi yang seyogyanya dilatarbelakangi filsafat altruistis. Orientasi pengabdian tentulah merealisasikan karya-karya sosial yang berdimensi kemasyarakatan sosial, bukan berbasis bisnis, akhirnya berubah menjadi kegiatan yang bertujuan menghasilakn uang dan mencari keuntungan. Roger Hahn dalam Conny mengatakan, revolusi ilmiah (scientific revolution) adalah transformasi sosial yang penting sekali (crucial) yang menunjuk kepada kondisi ilmu yang lebih matang (mature state), dan mengakibatkan peningkatan (perbaikan) tingkat masyarakat umum. Mengingat saling terkaitnya antara kepentingan riset ini dengan masyarakat maka, dimensi penelitian yang lebih berorientasi pada kesejahteraan dan peningkatan sosial masyarakat perlu dioptimalkan. Sebagai titik tolak dalam peningkatan ini, sangat tergantung pada aspek manusianya yang memiliki kapasitas ilmiah. Pengabdian mahasiswa, perlu berubah orientasi dari aktivitas blu color job kepada white color job, seiring dengan itu kesan pengabdian masyarakat mahasiswa sebagai “pekerja social” perlu diubah imagenya, menjadi “pekerja kuliah” yang mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan dunia kerja dan masyarakat. Diharapkan, seusai mahasiswa melakukan tugas belajarnya sebagai pekerja kuliah, mereka telah bersentuhan dengan dunia luar yang lebih menantang masa depannya, sehingga akan tertantang bersikap “Adversity Quotion” dalam cakupan yang luas. Manajemen Kualitas Total di Perguruan Tinggi Penyelenggara pendidikan dan pengambil kebijakan pendidikan diharapkan dapat lebih memperhatikan kualitas pendidikan secara menyeluruh dan terpadu (total). Kata kunci dalam memperhatikan kualitas pendidikan secara total ini utamanya dipandang dari sudut HCD adalah perlakuan terhadap manusia. Model pendekatan yang lebih strategis dalam pendekatan total ini adalah aspek-aspek manajemen, yang subtansinya menekankan accountability dan quality Kualitas manajemen total dalam pendidikan tinggi ini cukup luas, dengan demikian dituntut pengetahuan dalam mencari kebenaran untuk secara bersungguh-sungguh dan dapat diabdikan kepada masyarakat hari ini. Khusus manajemen total di peruruan tinggi paling tidak menuntut adanya analisis dua jalur. Oleh Ramiszowky (1986), dalam Conny pendekatan sistemnya disebut two road analysis, yang mencakup tiga komponen; pertama, target group analysis (siapa mahasiswa yang kita hadapi). Kedua, content analysis (apa sasaran program kita). Ketiga, context analysis (apa relevansi program yang terkait denga itu). Jadi taget group analysis, context analysis dan content analysis, merupakan kerangka analisa sistem tingkat dua. Dalam hal terakhir berkenaan dengan content itulah perlu dijaga curriculum yang menjadi area of interest untuk dijaga koherensinya. Reformasi pendidikan dan pengajaran, sangat ditentukan oleh student learning centre sebagai pihak yang langsung berkepentingan dan sebagai pemunculan krativitas dari dalam diri individu tersebut. Disamping itu perlu juga dilakukan reformasi terhadap tenaga pengajarnya agar ditingkatkan kualitas pendidikan yang dimilikinya. Dalam suasana dunia yang dibanjiri oleh informasi seperti saat ini, boleh jadi muatan informasi yang diterima mahasiswa tentang sesuatu yang bersifat baru (some thing new) melebihi kadar muatan yang diterima oleh sang pengajar. Pada aspek Penelitian, perlu dilakukan joint dengan Perguruan tinggi negeri untuk memperkuat dalam menghadapi tantangan yang ada. Sedangkan dalam aspek pengabdian masyarakat, karena kemajuan di bidang ilmiah berkorelasi positif dengan tingkat kemajuan sosial masyarakat. Selain itu, kemampuan HCD dosen di bidang penelitian juga perlu menjadi perhatian serius, karena rendahnya minat meneliti, juga terkait dengan faktor kemampuan. Seiring dengan itu peluang dan biaya yang memadai untuk penelitian perlu dialokasikan secara wajar, karena faktor itu juga memberikan motivasi yang dominan tertarik tidaknya dosen meneliti. Pengabdian masyarakat yang lebih berorientasi bisnis, sudah harus ditinggalkan, karena aktivitas tersebut selain menjauhkan visi dan misi perguruan tinggi, juga tidak mencerminkan sikap dan perilaku akademisi yang syarat dengan muatan ilmiah, idelais dan kritis. Ketentuan tridharma perguruan tinggi menunjuk Perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas. Sistem pendidikan tinggi yang sehat ditandai dengan kualitas perguruan tinggi yang semakin berkualitas dan relevan. Di samping itu, terbuka pula bagi kesetaraan akses dan meningkatnya partisipasi masyarakat. Dengan otonomi yang dimiliki, perguruan tinggi diharapkan mampu memperlihatkan akuntabilitas yang baik dan tanggung jawab sosial yang kuat. Beberapa strategi dan upaya yang mengacu pada fenomena yang terjadi di perguruan tinggi dalam penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai berikut: Strategi-1: UpayaPengadaan/Melengkapi Sarana Prasarana Perguruan Tinggi. (a) Perguruan tinggi menyediakan perpustakaan, ruang dosen, aula, musholla/ruang ibadah, ruang pertemuan/ ruang sidang, ruang bagi kegiatan kemahasiswaan, restroom, pantry, tempat parkir, dan seterusnya. (b) Perguruan Tinggi membentuk pusat pembelajaran (learning center) yang berfungsi untuk mengembangkan kompetensi dan kemampuan sivitas akademika. (c) Perguruan Tinggi membangun sistem dan perangkat knowledge management untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan pimpinan, struktural, staf, dosen, dan karyawan. (d) Perguruan tinggi menyediakan sarana praktik kerja untuk memenuhi kompetensi dasar melalui kemampuan learning. (e) Perguruan tinggi memiliki database hasil penelitian dosen dan mahasiswa, minimal 50% dari jumlah masyarakat kampus. (f) Perguruan tinggi memiliki akses jurnal ilmiah dan bahan pustaka digital secara nasional, sehingga perlu dilakukan pelatihan dan sosialisasi bagi para pustakawan dan akademisi. (g) Perguruan tinggi melengkapi kebutuhan ruang kelas dan peralatan laboratorium, bengkel kerja, dan perpustakaan, termasuk laboratorium hidup. (h) Perguruan tinggi memiliki sistem pengelolaan sarana dan prasarana yang efektif dan efisien dengan memanfaatkan teknologi informasi, mencakup system inventarisasi yang lengkap. Sistem pengelolaan tersebut mencakup pula pola pelaporan secara berkala dari unit pelaksana kepada pihak manajemen serta dapat dipergunakan sebagai informasi bagi para pengguna (mahasiswa dan dosen). Strategi-2: Upaya Meningkatkan Kinerja Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan. (a) Kementrian Pendidikan Nasional dan perguruan tinggi serta unsur-unsur yang terkait lebih selektif dalam rekrutmen tenaga pendidik dan tenaga dengan Standar pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan yaitu memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (b) Perguruan tinggi dan unsur-unsur yang terkait menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang relevan dengan kebutuhasn tenaga pendidik dan kependidikan agar memiliki kompetensi dan kemampuan sesuai dengan bidang pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan kualitas kinerja tenaga pendidik dan kependidikan agar memilki kompetensi dan kemampuan sesuai dengan bidang pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan kualitas kinerja tenaga pendidik dan kependidikan. (c) Perguruan tinggi dan unsur-unsur terkait memberdayakan tenaga pendidik dan kependidikan sesuai dengan kompetensi dan kualifikasinya. (d) Perguruan tinggi dan unsur-unsur terkait member bantuan biaya studi lanjut bagi tenaga pendidik dan kependidikan yang berprestasi dalam bekerja namun secara ekonomi tidak mampu. (e) Perguruan tinggi dan unsur-unsur terkait memberikan penghargaan kepada tenaga pendidik dan kependidikan yang berprestasi dalam bekerja. (f) Perguruan tinggi memiliki acuan tolok ukur (benchmark) dalam menentukan kemampuan profesionalisme. (g) Perguruan tinggi mengkaji ulang aturan/kebijakan yang lebih fleksibel agar dapat mendorong tenaga pendidik dan kependidikan dalam mengembangkan kreativitasnya. Strategi-3: Upaya Penataan Manajemen Perguruan Tinggi. (a) Perguruan tinggi mengefektifkan pengelolaan dan pendayagunaan sarana dan prasarana kampus. (b) Perguruan tinggi menyediakan dana pemeliharaan sarana dan prasarana yang memadai. (c) Perguruan tinggi memiliki kebijakan, pedoman, panduan, dan peraturan yang jelas tentang keamanan dan keselamatan penggunaan sarana dan prasarana di tingkat institusi. Bukti pelaksanaan dari kebijakan tersebut harus dapat dilacak dari peraturan yang lebih rinci dan aplikatif serta laporan berkala di tingkat laboratorium/ studio/perpustakaan dan tempat-tempat lain di mana kegiatan dilaksanakan. (d) Perguruan tinggi mengikuti perkembangan teknologi informasi secara menyeluruh sehingga semua sivitas akademika terampil dan cekatan dalam menggunakan teknologi imformasi. Strategi-4: Upaya Meningkatkan Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi (a) Perguruan tinggi dan unsur-unsur yang terkait merampingkan dan mensinergikan muatan kurikulum dengan memperhatikan kepentingan dan keunggulan komparatif daerah serta perkembangan iptek. (b) Perguruan tinggi secara khusus menentukan kurikulum muatan lokal sesuai keunggulan komperatif dan pengembangan daerah. (c) Perguruan tinggi mengembangkan program kemahasiswaan yang diarahkan agar lulusannya memiliki jiwa kepemimpinan, berdedikasi tinggi, memiliki ketahanan fisik dan mental serta senantiasa menjadi makhluk yang mengabdi dan berbakti kepada Tuhan Yang maha Esa. (d) Perguruan tinggi menciptakan iklim akrab teknologi informasi secara menyeluruh untuk mendukung kemajuan dunia usaha dan dunia industri. (e) Perguruan tinggi terus meningkatkan dan mengembangkan reputasi dan daya saing perguruan tinggi sebagai Center of Exellence di kancah dunia pendidikan tinggi Indonesia juga sampai ke manca negara. (f) Perguruan tinggi meningkat kualitas proses pembelajaran agar mahasiswa dan lulusan memiliki kompetensi dan kemampuan knowledge & skill sehingga dapat berkontribusi besar bagi pembangunan bangsa dan negara. (g) Perguruan tinggi dalam melaksanakan proses pembelajaran harus membekali peserta didi tidak hanya aspek kognitif saja, melainkan harus secara holistic melengkapi dengan aspek moral, dan tanggung jawab sosial. SIMPULAN Perguruan tinggi di Indonesia umumnya, khususnya di STIAMI hingga saat ini pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi “Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat” masih berorientasi pada pengembagan sumber daya manusia (HRD). Pengembangan sumber daya manusia cenderung tidak mengembangkan potensi manusia yang ada dalam dirinya, baik menyangkut Intelektual, emosional, kreativitas dan kemandirian. Kecenderungan yang telah berjalan selama bertahun-tahun ini perlu dilakukan reformasi dan reorientasi kepada pengembangan sumber kemampuan manusia (HCD). Kecenderungan HCD, lebih menekankan pemberdayaan dan pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri seseorang. Sehingga memungkinkan output pendidikan memiliki keunggulan bersaing, kreatif, mandiri, dan adjusted. Reformasi pendidikan dan pengajaran, sangat ditentukan oleh seberapa besar kualitas pengajar dalam menunaikan amanat pembelajaran. Dalam konteks ini, pembelajaran dengan sistem monolitik tidak lagi bisa dipertahankan, selain sistem itu dapat membendung munculnya idealis, kritis, kreativitas dan kemandirian mahasiswa, juga terkesan terjadinya arogansi keilmuan dari pengajar terhadap pebelajar. Padahal dalam suasana dunia yang dibanjiri oleh informasi seperti saat ini, boleh jadi muatan informasi yang diterima mahasiswa tentang sesuatu yang bersifat baru (some thing new) melebihi kadar muatan yang diterima oleh sang pengajar. Srategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kenyataan ini, mesti dibuka ruang bagi dosen untuk melanjutkan jenjang pendidikan, dengan berusaha menggali alokasi dana bagi biaya pendidikan. Alokasi dana dapat dikerahkan dari sumber SPP/DPP, Proyek dan atau dalam bentuk pinjaman (loan) yang bersifat lunak, dan pemberdayaan sumber-sumber pembiyaan masyarakat. Pada dimensi Penelitian, perlu dilakukan secara terintegrasi dengan pengabdian masyarakat. Karena kemajuan di bidang ilmiah berkorelasi positif dengan tingkat kemajuan sosial masyarakat. Selain itu, kemampuan HCD dosen di bidang penelitian juga perlu menjadi perhatian serius, karena rendahnya minat meneliti, juga terkait dengan faktor kemampuan. Seiring dengan itu peluang dan biaya yang memadai untuk penelitian perlu dialokasikan secara wajar, karena faktor itu juga memberikan motivasi yang dominan tertarik tidaknya dosen meneliti. Secara spesipik, menyangkut pengabdian masyarakat yang lebih berorientasi bisnis, sudah harus ditinggalkan, karena aktivitas tersebut selain menjauhkan visi dan misi perguruan tinggi, juga tidak mencerminkan sikap dan perilaku akademisi yang syarat dengan muatan ilmiah, idelais dan kritis. Pengabdian mahasiswa, yang terkesan mengambil porsi sebagai pekerja sosial dengan menggeluti “blue color job” perlu beralih kepada pekerja belajar yang memberdayakan segenap kapasitasnya, dengan menggeluti “white color job” yang tentunya lebih pas dengan keberadaannya. Transparansi di berbagai bidang seperti saat ini, menuntut perguruan tinggi menyiapkan diri melalui aktivitas Tri Dharmanya secara optimal. Upaya ke arah itu sebagai “enty of point”, dapat dilakukan melalui Total Quality Managment (TQM) dalam pendidikan. Pendidikan tinggi yang menekankan pendekatan TQM, akan mendapatkan akreditasi secara nasional. Artinya mereka telah memasuki wahana persaingan global yang “Advantage competitive “ dimulai dari penyiapan HCD, baik dari sudut ratio, sarana dan prasarana yang marketable. Sebagai kesimpulan dari pembahasan terakhir dari implementasi Tri dharma Perguruan Tinggi adalah peningkakatan Total Quality Managment (TQM) dalam pendidikan. Pendidikan tinggi yang menekankan pendekatan TQM, akan mendapatkan akreditasi secara nasional. Bagi Perguruan Tinggi yang telah menyiapkan TQMnya diharapkan mampu menghadapi tantangan persaingan yang dihadapinya artinya mereka akan mampu memasuki dunia persaingan global yang “Advantage competitive “. Tentunya dalam persaingan ini dimulai dengan mempersiapkan HCD yang benar-benar berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Atkitson, Rita. L, dkk. (1987).Pengantar Psikologi. Batam Centre, Interaksa. Benbow, Camilla Person (1996). Psychometric and social Issues Intellectual Tallent. The John Hopkinds Press Ltd., London. Coony. R. Semiawan, 1999. Pendidikan Tinggi : Peningkatan kemampuan Manusia, Penerbit Grasindo, Jakarta. H.A.R. Tilaar, 2001.Manajemen Pendidikan Nasional. Penerbit PT Remaja Rosda Karya, Bandung Means, Barbara, dkk. (1993). Using Technology to Support Education Reform. Washigton DC: Association for Educational Communications and Technology. Soemarno Soedarsono, Membangun Kembali Jati Diri Bangsa, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2006 UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Grasindo, 2002. Rosyada,Dede Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. 2004.