reformasi pembelajaran

advertisement
REFORMASI KEHIDUPAN AKADEMIK KAMPUS DI PERGURUAN TINGGI:
(studi di STIAMI)
Tukhas Shilul Imaroh
Abstract. Institutions of higher education and its graduates are faced with the challenge of
globalization phenomenon that impacts in every dimension of economic, politics and cultures.
Education is a process of activities undertaken by each individual to be better in accordance with the
potential. Educational process will foster the values, intelligence, aptitude, mental attitude is also
resilient and tough .
Education that focuses on development and realization of Human Capacity Development in
accordance with the various demands of exisitng qualification, it is necessary to inevitably face the
approaching challenges.
Educational reform and teaching, is largely determined by the quality of teachers in discharging the
mandate of learning. In this context, learning with monolithic systems can no longer be maintained, not
only the system was able to stem the rise of an idealistic ,critical , creativity and independence of
students, but also impressed the scientific arrogance of teachers to learners .
Keywords : Globalization , educational reform , and the Human Capacity Development
Abstrak. Lembaga pendidikan tinggi dan lulusannya dihadapkan pada tantangan fenomena globalisasi
yang dampaknya dapat dirasakan dalam setiap dimensi kehidupan ekonomi, politik maupun budaya.
Pendidikan merupakan proses aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu menuju kearah yang lebih
baik sesuai dengan potensi diri. Melalui proses pendidikan akan menumbuhkan nilai-nilai, kecerdasan,
kecakapan, juga sikap mental yang ulet dan tangguh.
Pendidikan yang berorientasi pada perkembangan dan keterwujudan Sumber Kemampuan Manusia
(Human Capacity Development) yang sesuai dengan berbagai tuntutan atas kualifikasiyang ada, hal ini
sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan yang semakin mendekat dan tidak bisa dihindarkan.
Reformasi pendidikan dan pengajaran, sangat ditentukan oleh seberapa besar kualitas pengajar dalam
menunaikan amanat pembelajaran. Dalam konteks ini, pembelajaran dengan sistem monolitik tidak
lagi bisa dipertahankan, selain sistem itu dapat membendung munculnya idealis, kritis, kreativitas dan
kemandirian mahasiswa, juga terkesan terjadinya arogansi keilmuan dari pengajar terhadap pebelajar.
Kata kunci: Globalisasi, Reformasi pendidikan, dan Human Capacity Development
Pendidikan tinggi yang mencakup akuntabilitas, kualitas,otonomi, evaluasi diri dan
akreditrasi pendidikan tinggi yang berkenaan
dengan kondisi yang dipersyaratkan masa depan,
menuntut aktualisasi keunggulan manusia secara
optimal merupakan persoalan yang dihadapi
lulusan Perguruan Tinggi. Pendidikan tidak
hanya sekedar mendidik menjadi tenaga siap
pakai di pasar kerja, namun diharapkan juga
membantu peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya. Dengan keterkaitan tersebut berarti
perlunya lembaga yang independen untuk
menilai akreditasi Perguruan Tinggi. Kondisi
akademik yang kondusif sangat menunjang
keberhasilan suatu Perguruan Tinggi dalam
menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Perkembangan era globalisasi yang banyak
memberikan informasi-informasi baru dan
menimbulkan “banjir informasi”. Hal ini tidak
terlepas atas keberadaan masyarakat transisi dari
tradisional ke masyarakat modern dengan tiga
peradaban yakni; agraris, industri dan informasi
secara bersamaan. Globalisasi yang menyuguhkan berbagai tantangan, telah memunculkan
berbagai kecenderungan peradaban, kemanusiaan, teknologi dan krisis nilai-nilai kemanusiaan.
Perubahan-perubahan besar di bidang sosial
terjadi ditandai oleh berbagai kekuatan pengubah
di antaranya; yaitu industrialisasi, urbanisasi dan
internasionalisasi yang terjadi bukan saja di
kota-kota, melainkan juga merambah ke desadesa atau di seluruh penjuru wilayah.
Kenyataan yang ada di Perguruan Tinggi output pendidikan telah membuktikan pengembangan sektor sumber daya manusia telah
menghasilkan sejumlah lulusan yang unadjusted,
dependent, dan kurang memiliki kreativitas
untuk bisa hidup secara mandiri. Hal ini sebagai
konsekwensi dari pendidikan kita yang
cenderung kurang memberdayakan potensi dalam
diri peserta didik secara optimal. Cita-cita
tentang peran pendidikan tinggi nampaknya
masih jauh dari kenyataan sebenarnya, sementara
lembaga pendidikan tinggi dan lulusannya
dihadapkan pada tantangan fenomena globalisasi
yang dampaknya dapat dirasakan dalam setiap
dimensi kehidupan ekonomi, politik maupun
budaya, menurut Conny Semiawan (2, 1998).
UNESCO meletakkan Indonesia dengan
Human Development Index (HDI) pada urutan
ke-112 di antara 174 negara yang diteliti.
Sedangkan, The Political dan Economics Risk
Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong
telah meletakkan sistem pendidikan di Indonesia
pada urutan ke-12 di antara 12 negara yang
diteliti ini. Kondisi tersebut menuntut pemikiran
bersama termasuk lembaga pendidikan secara
khusus, dan sebagai kunci perubahan adalah
Sumber daya manusianya.
Melihat kondisi yang ada berarti tantangan
masa depan masa depan Pendidikan Tinggi ini
sangat
berat,
sehingga
perlu
adanya
“REFORMASI KEHIDUPAN AKADEMIK
KAMPUS DI PERGURUAN TINGGI” sebagai
upaya mewujudkan cita-cita dari peran
pendidikan tinggi.
Sivitas akademika diharapkan mampu
bergerak bersama ke arah capaian tujuan
pendidikan dengan penyelenggaraan pendidikan
tinggi berbasis riset untuk mengembangkan ilmu,
teknologi, seni, dan budaya, serta mengupayakan
penerapannya untuk mengoptimalkan Sumber
Kemampuan Manusia.
Sumber Kemampuan Manusia (Human
Capacity Development)
Menghadapi permasalahan pendidikan yang
memerlukan pemikirian secara serius dalam
rangka mempersiapkan persaingan global saat
ini, diperlukan pendidikan yang berorientasi pada
perkembangan dan keterwujudan Sumber Kemampuan
Manusia
(Human
Capacity
Development) yang sesuai dengan berbagai
tuntutan atas kualifikasi itu.(9-14, 1998) HCD,
mempunyai orientasi pengembangan kemampuan
manusia yang bertolak dari dalam diri manusia
itu sendiri. Sedangkan Sumberdaya manusia
berorientasi pengembangan manusia yang
bertolak dari luar diri manusia. Orientasi
pengembangan
manusia melalui lembaga
pendidikan yang telah dan sedang berjalan hari
ini lebih menitik beratkan pada sektor HRD
ketimbang sektor HCD.
Sebagai proses transformasi penyiapan HCD
diperlukan manajemen pendidikan, perencanaan,
dan pembiayaan yang menjadi faktor dominan
lembaga pendidikan dalam menjalankan visi dan
misinya. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No. 30 tahun 1990, pasa 2 ayat 1 disebutkan
bahwa tujuan Pendidikan Tinggi adalah; (1)
menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan atau menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan atau kesenian, dan (2)
mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta
mengupayakan
penggunaannya
untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Peningkatan sumber kemampuan manusia
dalam rangka menciptakan kemandirian setiap
masyarakat ini juga merupakan harapan dari
pembangunan pemerintah melalui Repelita VI
yang menyatakan bahwa; Tujuan Repelita VI
adalah menumbuhkan sikap dan tekad
kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia
dalam rangka meningkatkan kualitas sumber
daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan
lahir dan batin yang lebih selaras, adil, dan
merata; serta meletakkan landasan pembangunan
yang mantap untuk tahap pembangunan
berikutnya. Sasaran umum adalah tumbuhnya
sikap kemandirian dalam diri manusia dan
masyarakat Indonesia melalui peningkatan peran
serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan
kesejahteraan lahir batin.
Upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dilakukan melalui empat kebijaksanaan, yaitu peningkatan kualitas hidup yang
meliputi baik kualitas manusianya seperti
jasmani, rohani, dan kejuangan maupun
kualitas kehidupannya; peningkatan kualitas
sumber daya manusia yang produktif dan upaya
penyebarannya; peningkatan kualitas sumber
daya manusia yang berkemampuan dalam
memanfaatkan,
mengembangkan,
dan
menguasai iptek yang berwawasan lingkungan;
serta pengembangan pranata yang meliputi
kelembagaan dan perangkat hukum yang
mendukung peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
Satu faktor determinan dalam mutu proses dan
produk pendidikan tinggi adalah kualitas SDM
yang dimiliki baik tenaga dosen maupun
karyawan. Hal ini menuntut lembaga kampus
terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan
dan keterampilan sumberdaya melalui kegiatan
pembelajaran ke jenjang lebih tinggi dan
beberapa kerjasama pelatihan dengan beberapa
pihak dari luar kampus.
Pengembangan
dilakukan berdasarkan kebutuhan, peta ini sangat
diperlukan
untuk
acuan
pengembangan
kelembagaan, dan arah orientasi pada
peningkatan mutu akademik, layanan dan produk
yang dihasilkan.
Peningkatan kualifikasi pada tenaga pengajar
berimplikasi pada tuntutan mutu pelayanan
administrasi. Staf administrasi perlu memiliki
kualifikasi profesional pada bidangnya, kalau
tidak akan berakibat pada kinerja staf yang
kurang memadai dalam memberikan layanan
proses belajar mengajar di lembaga pendidikan
tinggi tersebut. Bahkan sering kali menjadi
penghambat kelancaran layanan. Oleh karena itu,
upaya peningkatan kualifikasi pendidikan dan
keterampilan yang bersifat administratif bagi
seluruh staf administratif menjadi penting.
Pada prinsipnya pengembangan Sumberdaya
manusia dapat dilakukan dengan dua pendekatan
yang saling melengkapi Menurut Cony R.
Semiawan, (1994 : 14 – 15), yaitu pengembangan
sumber daya manusia dan pengembangan
kemampuan manusia. Pengembangan sumber
daya
manusia
atau
Human
Resource
Development (HRD), terutama terfokus pada
keterampilan sikap dan kemampuan produktif
ketenagakerjaan
sehingga
memperlakukan
manusia sebagai Sumber untuk dimanfaatkan
(sebagai objek), dalam mencapai tujuan
ekonomi, terutama dalam jangka waktu pendek.
Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam,
melainkan diatur dari atas sesuai dengan
kepentingan
lingkungannya.
Sebaiknya,
pendidikan ini teralihkan fokusnya kepada
perkembangan dan keterwujudan kemampuan
manusia atau Human Capacity Development
(HCD) sepanjang hayat. Yang berhak dan
mampu memiliki berbagai peran dalam meraih
berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota
masyarakat, orang tua, pekerja dan konsumen.
Human
Capacity
Development
(HCD)
menunjukkan konstelasi keterampilan, sikap dan
perilaku dalam melangsungkan hidup mencapai
kemandirian, sekaligus memiliki daya saing
tinggi dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi
dunia. Pendidikan Tinggi merupakan alat
mencapai keterwujudan manusia unggulan
menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas,
dan otonom sebagai manusia yang bermartabat.
Untuk itu dalam merancang pendidikan, tidaklah
tepat jika hanya memikirkan generasi sekarang,
melainkan dua generasi yang akan datang. Yang
harus dilakukan bukan hanya memperbaiki
kekurangan-kekurangan di masa lalu melainkan
harus dapat mengantisipasi segala tantangan dan
masalah di masa depan. Untuk itu pendidikan
harus mengantisipasi dampak dan tuntutan
globalisasi. Pendidikan tidak hanya sekedar
mendidik menjadi tenaga siap pakai di pasar
kerja, melainkan lebih daripada itu, yakni
membantu peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya. Dengan demikian perguruan tinggi
dituntut untuk meningkatkan kualitasnya demi
memenuhi kebutuhan tantangan jamannya.
Mutu Pendidikan
Kualitas perguruan tinggi sangat ditentukan
oleh kemampuan perguruan tinggi untuk
menjawab kebutuhan masyarakat yang terus
menerus berubah dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang tidak pernah berakhir. Untuk
itu penyelesaian masalah mutu pendidikan tidak
pernah tuntas, bahkan diindikasikan mutu
pendidikan semakin menurun. Menurunya mutu
pendidikan berimplikasi kepada rendahnya daya
saing kita dengan negara-negara lain, meskipun
pendidikan bukan satu-satunya indikator daya
saing, Ada beberapa perhatian yang ditumpukan
untuk memperbaiki mutu pendidikan ini
diantaranya adalah : Pertama, memperbaiki
layanan pendidikan kepada masyarakat melalui
proses standarisasi pelayanan. Sekarang ini telah
terjadi integrasi antara jasa dan output layanan
pendidikan dalam tuntutan pasar global. Perlu
segera menyesuaikan mutu layanan yang sesuai
dengan kecenderungan tuntutan pasar global.
Layanan pendidikan yang memperhatikan kaidah
‘total quality circle’. Kedua, memperhatikan
standarisasi proses belajar mengajar, proses
rekrutmen
mahasiswa,
proses
pelayanan
administrasi pendidikan. Standarisasi proses
dimulai dari hulu hingga ke hilir, dari proses
rekruitmen mahasiswa proses belajar mengajar,
proses interaksi akademik, proses pelayanan
mahasiswa hingga kebermanfaatanya dalam
dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian,
lulusan lembaga tinggi bukan hanya memiliki
kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja
(human resources development oriented), tetapi
juga dapat mengembangan kapasitas diri mereka
sendiri secara optimal dan fleksibel (human
capacity development oriented).
Upaya akan dapat dilakukan apabila ada
situasi yang kondisif untuk proses pelembagaan
tradisi dan kultur akademik, menghargai mutu
pada seluruh civitas akademika, baik itu dosen,
karyawan
maupun
mahasiswa.
Budaya
menghargai mutu berarti mengupayakan agar
kinerja dalam kehidupan kampus senantiasa
memperhatikan proses yang bermutu guna
menghasilkan produk yang bermutu juga. Proses
yang bermutu adalah kerja yang senantiasa
menghendaki tingkat presisi yang tinggi.
Pendidikan dalam Membentuk Sumber
Kemampuan Manusia
Sumber daya manusia sebagai pelaku
perubahan dalam segala bidang harus dimulai
dari proses pendidikan secara tepat. Berdasarkan
pendekatan “content analisis” yang di rujuk dari
buku
Conny, R. Semiawan yang berjudul
“Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan
Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin”,
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 1998.
Reformasi Pendidikan dan Pengajaran
Model pendidikan yang dikembangkan hari ini
yang lebih menekankan pada pengembangan
sumberdaya manusia ternyata telah menghasilkan
out-put perguruan tinggi yang cenderung tidak
siap bersaing. Di sisi lain pada aspek pengajaran
bidang studi yang ditawarkan sebagaimana
terangkum dalam kurikulum belum sepenuhnya
menjadi kontribusi bagi kebutuhan mahasiswa,
sehingga cenderung tidak menunjang bagi
pengembangan kemampuan sumber mahasiswa.
Dari aspek pembelajaran, masih sangat terpusat
pada dosen, sehingga mahasiswa lebih sebagai
pendengar yang setia, kemudian dijejali oleh
berbagai tugas yang cenderung tidak berorientasi
mengembangkan kreativitas. Dalam suasana
pembelajaran semacam ini hanya melahirkan
pebelajar yang penurut bukan yang kritis, yang
berani menampilkan pendapat yang berbeda dan
kontradiktif.
Kondisi seperti ini perlu dilakukan perubahan
(reformasi), mengingat tuntutan dan cita-cita dari
pendidikan tinggi yang harus dicapai. Secara
khusus STIAMI perlu melakukan adjusment
dengan lingkungannya. Dalam menghadapi
tantangan luar aspek pendidikan dan pengajaran
merupakan faktor yang pertama harus
diperhatikan. Pendidikan dan pengajaran yang
hanya menekankan aspek kognisi dengan
pemberdayaan belahan otak sebelah kiri seperti
saat ini, hanya mampu membangun sumberdaya
manusia yang anadjusted, dependent, dan jauh
dari kemandirian, sebagaimana yang diharapkan
tujuan pendidikan nasional. Pedidikan dan
pengajaran semacam itu, masih sangat
konvensional dan perlu adanya reformasi
(perbaikan).
Means
dkk.
menawarkan
reformasi
pembejalaran ini pada tujuh elemen, yang
diistilahkannya dengan reformasi pembelajarn
dari yang konvensional kepada pembelajaran
yang reformatif. Pertama, teacher-directied
kepada student exploration. Kedua, didactic
teaching kepada interactive modes of instruction.
Ketiga, short block of instruction on single
subject kepada extended blocks of authentic and
multidiciplinary work. Keempat, individual work
kepada collaborative work. Kelima, teacher as
knowledge dispenser kepada teacher as
facilitator. Keenam, ability gorupings kepada
heterogeneous groupings. Ketujuh, Assessment of
fact knowledge and discrete skills kepada
performance-based assessment. Karena reformasi
pembelajaran ini lebih berorientasi kepada
peserta didik, maka sudah barang tentu aspek
kreativitas mahasiswa akan lebih dirangsang
secara optimal, selain pendewasaan dan
pencerdasan emosional
seseorang, maka
pendekatan pembelajaran seperti ini lebih
mempersiapkan peserta
didik ke arah
kemandirian, independent, adjusted dan mampu
berkreasi, bukan menunggu hasil kreasi orang
lain. Jadi tidak hanya mengandalkan pada apa
yang
diberikan
oleh
dosen,
dengan
kecenderungan dosen sebagai sumber ilmu
pengetahuan serta mempunyai otoritas tinggi
dalam proses belajar mengajar. Tetapi dilakukan
dari kedua aspek yang berkaitan yaitu disamping
“teacher learning centre” atau proses belajar
mengajar yang berpusat pada dosen, juga
“student learning centre” atau proses belajar
mengajar berpusat pada siswa, sebagai pihak
yang berkepentingan langsung dalam kegiatan
pendidikan dan pengajaran ini.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran dapat
juga dilakukan dengan percepatan atau akselerasi
yang mempunyai tujuan, memberikan tantangan
pada siswa untuk memiliki kemampuan dan
prestasi yang baik dan dapat mengurangi jam
belajar siswa. Menurut Means, Barbara,dkk.
Penyelenggaraan akselerasi dalam belajar
dengan berbagai fase terkait, dapat mempercepat
pertumbuhan intelektual siswa. Upaya akselerasi
belajar seseorang menurut Stanley dalam Conny,
dapat dilakukan yaitu dengan menghadirkan
eskalasi (yaitu peningkatan kadar mental).
Meskipun akselerasi tidak selalu menghasilkan
eskalasi
berupa
transformasi
terhadap
kemampuan mental yang lebih tinggi, sebab
transformasi terjadi dalam berfikir kreatif
melalui prosedur latihan untuk berpikir elaboratif
dan berpikir original, yang memerlukan
bimbingan.
Percepatan belajar menurut Rose dan Nicholl
dikemukakan enam langkah sebagai kunci
tersebut yang disingkat dengan MASTER yakni;
(1) M = motivation, (2) A = acquiring, (3) S =
searching, (4) T = trigger, (5) E = exhibiting, dan
(6) R = reflecting). Selain untuk membuka kunci
dalam percepatan tujuan belajar Rose dan
Nicholl juga meyakinkan bahwa langkah
MASTER ini adalah sebagai blue print untuk
belajar secara efektif.
Dalam menggunakan MASTER ini mesti
menggunakan inteligensi yang jamak dengan
menggunakan seluruh kemampuan berpikir, dan
tidak bisa mengandalkan inteligensi yang
tunggal. Dalam hal ini Gardner dan Rose
menawarkan delapan macam inteligensi jamak
yakni; (1) inteligensi linguistik, (2) inteligensi
logis-matematis, (3) inteligensi visual-spatial,
(4) inteligensi musikal, (5) inteligensi kinestetis
badan, (6) inteligensi interpersonal (sosial), (7)
inteligensi intrapersonal dan, (8) inteligensi
naturalistik. Seluruh inteligensi ini harus
dikembangkan secara optimal, terlebih ketika
seseorang sedang berada di perguruan tinggi,
merupakan umur yang utama menuntut
penggunaan kemampuan otak secara optimal
melalui kombinasi unik semua inteligensi
tersebut. Selajutnya Gardner mengatakan,
pemahaman terhadap materi ajar yang tradisional
hanya berorientasi pada Single Chance Theory of
Education, dan sebaliknya. Sedangkan delapan
inteligensi mengandung Multiple Chanse untuk
memperoleh pemahaman.
Disisi lain upaya perbaikan dapat dilakukan
pada tenaga pengajar/ dosen untuk dapat
ditingkatkan kualitas pendidikannya dengan
melanjutkan pendidikannya.
Menurut Roger Hahn dalam Conny
menyebutkan bahwa sebagai perubahan penting
dari revolusi ilmu adalah adanya perubahan ciri
penelitian yang dampaknya terjadi pada
perubahan pola organisasi ilmiah dan
rekonstruksi pendidikan ilmiah (scientific
education). Dalam kondisi perekonomian yang
serba tidak menentu, dapat dilakukan juga
dengan kegiatan “joint studies” antara perguruan
tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta dalam
rangka memperkuat ketahanan menghadapi
tantangan yang berat ini. Diantaranya dengan
melakukan berbagai penelitian yang bersifat
fertilisasi silang (cros fertilization), untuk dapat
menambah”cohesiveness” dari berbagai pihak
yang terkait dalam pengembangan toknologi.
Bidang Penelitian
Aspek penelitian, para dosen perguruan tinggi
Indonesia tergolong rendah, demikian juga
keberadaan dosen-dosen yang berada dalam
kawasan STIAMI. Fenomena yang tercatat di
kalangan STIAMI ini antara lain disebabkan
oleh; (1) kurangnya minat dosen dalam menulis,
(2) masih relatif rendahnya minat baca, terutama
berkaitan dengan rumpun keilmuan masingmasing, (3) kecilnya pembiayaan yang tersedia
untuk setiap paket penelitian.
Di dalam Kerangka Pengembangan Jangka
Panjang Pendidikan Tinggi (KPJPPT,1996),
tercatat tujuh kendala yang dihadapi oleh bidang
penelitian di Perguruan Tinggi, Conny
menyimpulkan sebagai berikut: (1) sumberdaya
yang terbatas tidak memungkinkan perguruan
tinggi untuk mengikuti semua perkembangan
IPTEK yang melaju dengan cepat, (2)
Ketersediaan dana penelitian terbatas karena
tingkat pengembalian investasi dalam kegiatan
penelitian masih dipandang belum ekonomis, (3)
kemampuan meneliti sebagian besar staf
akademis masih terbatas, (4) akses ke sumber
informasi ilmiah masih terbatas, (5) belum
tumbuhnya
budaya
meneliti
dan
mempublikasikan hasilnya, (6) ketersediaan
sarana penelitian masih terbatas, dan (7)
pemanfaatan hasil penelitian masih kurang
sistimatis.
Bidang Pengabdian Masyarakat
Tri dharma perguruan tinggi terutama darma
ke tiga mengalami perkembangan yang dilematis.
Pengabdian masyarakat bagi sebuah perguruan
tinggi yang seyogyanya dilatarbelakangi filsafat
altruistis.
Orientasi
pengabdian
tentulah
merealisasikan
karya-karya
sosial
yang
berdimensi kemasyarakatan sosial, bukan
berbasis bisnis, akhirnya berubah
menjadi
kegiatan yang bertujuan menghasilakn uang dan
mencari keuntungan.
Roger Hahn dalam Conny mengatakan,
revolusi ilmiah (scientific revolution) adalah
transformasi sosial yang penting sekali (crucial)
yang menunjuk kepada kondisi ilmu yang lebih
matang (mature state), dan mengakibatkan
peningkatan (perbaikan) tingkat masyarakat
umum.
Mengingat saling terkaitnya antara
kepentingan riset ini dengan masyarakat maka,
dimensi penelitian yang lebih berorientasi pada
kesejahteraan dan peningkatan sosial masyarakat
perlu dioptimalkan. Sebagai titik tolak dalam
peningkatan ini, sangat tergantung pada aspek
manusianya yang memiliki kapasitas ilmiah.
Pengabdian mahasiswa, perlu berubah
orientasi dari aktivitas blu color job kepada white
color job, seiring dengan itu kesan pengabdian
masyarakat mahasiswa sebagai “pekerja social”
perlu diubah imagenya, menjadi “pekerja kuliah”
yang mendekatkan jarak antara mahasiswa
dengan dunia kerja dan masyarakat. Diharapkan,
seusai mahasiswa melakukan tugas belajarnya
sebagai pekerja kuliah, mereka telah bersentuhan
dengan dunia luar yang lebih menantang masa
depannya, sehingga akan tertantang bersikap
“Adversity Quotion” dalam cakupan yang luas.
Manajemen Kualitas Total di Perguruan Tinggi
Penyelenggara pendidikan dan pengambil
kebijakan pendidikan diharapkan dapat lebih
memperhatikan kualitas pendidikan secara
menyeluruh dan terpadu (total). Kata kunci
dalam memperhatikan kualitas pendidikan secara
total ini utamanya dipandang dari sudut HCD
adalah perlakuan terhadap manusia. Model
pendekatan yang lebih strategis dalam
pendekatan total ini adalah aspek-aspek
manajemen, yang subtansinya menekankan
accountability dan quality
Kualitas manajemen total dalam pendidikan
tinggi ini cukup luas, dengan demikian dituntut
pengetahuan dalam mencari kebenaran untuk
secara bersungguh-sungguh dan dapat diabdikan
kepada masyarakat hari ini. Khusus manajemen
total di peruruan tinggi paling tidak menuntut
adanya analisis dua jalur. Oleh Ramiszowky
(1986), dalam Conny pendekatan sistemnya
disebut two road analysis, yang mencakup tiga
komponen; pertama, target group analysis (siapa
mahasiswa yang kita hadapi). Kedua, content
analysis (apa sasaran program kita). Ketiga,
context analysis (apa relevansi program yang
terkait denga itu). Jadi taget group analysis,
context analysis dan content analysis, merupakan
kerangka analisa sistem tingkat dua. Dalam hal
terakhir berkenaan dengan content itulah perlu
dijaga curriculum yang menjadi area of interest
untuk dijaga koherensinya.
Reformasi pendidikan dan pengajaran, sangat
ditentukan oleh student learning centre sebagai
pihak yang langsung berkepentingan dan sebagai
pemunculan krativitas dari dalam diri individu
tersebut. Disamping itu perlu juga dilakukan
reformasi terhadap tenaga pengajarnya agar
ditingkatkan
kualitas
pendidikan
yang
dimilikinya. Dalam suasana dunia yang dibanjiri
oleh informasi seperti saat ini, boleh jadi muatan
informasi yang diterima mahasiswa tentang
sesuatu yang bersifat baru (some thing new)
melebihi kadar muatan yang diterima oleh sang
pengajar.
Pada aspek Penelitian, perlu dilakukan joint
dengan Perguruan tinggi negeri untuk
memperkuat dalam menghadapi tantangan yang
ada. Sedangkan dalam aspek pengabdian
masyarakat, karena kemajuan di bidang ilmiah
berkorelasi positif dengan tingkat kemajuan
sosial masyarakat. Selain itu, kemampuan HCD
dosen di bidang penelitian juga perlu menjadi
perhatian serius, karena rendahnya minat
meneliti, juga terkait dengan faktor kemampuan.
Seiring dengan itu peluang dan biaya yang
memadai untuk penelitian perlu dialokasikan
secara wajar, karena faktor itu juga memberikan
motivasi yang dominan tertarik tidaknya dosen
meneliti. Pengabdian masyarakat yang lebih
berorientasi bisnis, sudah harus ditinggalkan,
karena aktivitas tersebut selain menjauhkan visi
dan misi perguruan tinggi, juga tidak
mencerminkan sikap dan perilaku akademisi
yang syarat dengan muatan ilmiah, idelais dan
kritis.
Ketentuan tridharma perguruan tinggi
menunjuk Perguruan tinggi sebagai salah satu
lembaga
pendidikan tinggi yang akan
menghasilkan generasi penerus yang berkualitas.
Sistem pendidikan tinggi yang sehat ditandai
dengan kualitas perguruan tinggi yang semakin
berkualitas dan relevan. Di samping itu, terbuka
pula bagi kesetaraan akses dan meningkatnya
partisipasi masyarakat. Dengan otonomi yang
dimiliki, perguruan tinggi diharapkan mampu
memperlihatkan akuntabilitas yang baik dan
tanggung jawab sosial yang kuat.
Beberapa strategi dan upaya yang mengacu
pada fenomena yang terjadi di perguruan tinggi
dalam penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan
Tinggi sebagai berikut:
Strategi-1:
UpayaPengadaan/Melengkapi
Sarana Prasarana Perguruan Tinggi. (a)
Perguruan tinggi menyediakan perpustakaan,
ruang dosen, aula, musholla/ruang ibadah, ruang
pertemuan/ ruang sidang, ruang bagi kegiatan
kemahasiswaan, restroom, pantry, tempat parkir,
dan seterusnya. (b) Perguruan Tinggi membentuk
pusat pembelajaran (learning center) yang
berfungsi untuk mengembangkan kompetensi
dan kemampuan sivitas akademika. (c)
Perguruan Tinggi membangun sistem dan
perangkat knowledge management untuk
meningkatkan pengetahuan dan wawasan
pimpinan, struktural, staf, dosen, dan karyawan.
(d) Perguruan tinggi menyediakan sarana praktik
kerja untuk memenuhi kompetensi dasar melalui
kemampuan learning. (e)
Perguruan tinggi
memiliki database hasil penelitian dosen dan
mahasiswa, minimal 50% dari jumlah
masyarakat kampus. (f) Perguruan tinggi
memiliki akses jurnal ilmiah dan bahan pustaka
digital secara nasional, sehingga perlu dilakukan
pelatihan dan sosialisasi bagi para pustakawan
dan akademisi. (g) Perguruan tinggi melengkapi
kebutuhan
ruang
kelas
dan
peralatan
laboratorium, bengkel kerja, dan perpustakaan,
termasuk laboratorium hidup. (h) Perguruan
tinggi memiliki sistem pengelolaan sarana dan
prasarana yang efektif dan efisien dengan
memanfaatkan teknologi informasi, mencakup
system inventarisasi yang lengkap. Sistem
pengelolaan tersebut mencakup pula pola
pelaporan secara berkala dari unit pelaksana
kepada
pihak
manajemen
serta
dapat
dipergunakan sebagai informasi bagi para
pengguna (mahasiswa dan dosen).
Strategi-2: Upaya Meningkatkan Kinerja Tenaga
Pendidik dan Tenaga Kependidikan. (a)
Kementrian Pendidikan Nasional dan perguruan
tinggi serta unsur-unsur yang terkait lebih selektif
dalam rekrutmen tenaga pendidik dan tenaga
dengan
Standar
pendidik
dan
tenaga
kependidikan yang diperlukan yaitu memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai
agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. (b) Perguruan tinggi
dan unsur-unsur yang terkait menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan yang relevan
dengan
kebutuhasn tenaga pendidik dan kependidikan
agar memiliki kompetensi dan kemampuan
sesuai dengan bidang pekerjaannya sehingga
dapat meningkatkan kualitas kinerja tenaga
pendidik dan kependidikan agar memilki
kompetensi dan kemampuan sesuai dengan
bidang
pekerjaannya
sehingga
dapat
meningkatkan kualitas kinerja tenaga pendidik
dan kependidikan. (c) Perguruan tinggi dan
unsur-unsur terkait memberdayakan tenaga
pendidik dan kependidikan sesuai dengan
kompetensi dan kualifikasinya. (d) Perguruan
tinggi dan unsur-unsur terkait member bantuan
biaya studi lanjut bagi tenaga pendidik dan
kependidikan yang berprestasi dalam bekerja
namun secara ekonomi tidak mampu. (e)
Perguruan tinggi dan unsur-unsur terkait
memberikan penghargaan kepada tenaga
pendidik dan kependidikan yang berprestasi
dalam bekerja. (f) Perguruan tinggi memiliki
acuan
tolok
ukur
(benchmark)
dalam
menentukan kemampuan profesionalisme. (g)
Perguruan
tinggi
mengkaji
ulang
aturan/kebijakan yang lebih fleksibel agar dapat
mendorong tenaga pendidik dan kependidikan
dalam mengembangkan kreativitasnya.
Strategi-3:
Upaya
Penataan
Manajemen
Perguruan Tinggi. (a) Perguruan tinggi
mengefektifkan pengelolaan dan pendayagunaan
sarana dan prasarana kampus. (b) Perguruan
tinggi menyediakan dana pemeliharaan sarana
dan prasarana yang memadai. (c) Perguruan
tinggi memiliki kebijakan, pedoman, panduan,
dan peraturan yang jelas tentang keamanan dan
keselamatan penggunaan sarana dan prasarana di
tingkat institusi. Bukti pelaksanaan dari
kebijakan tersebut harus dapat dilacak dari
peraturan yang lebih rinci dan aplikatif serta
laporan berkala di tingkat laboratorium/
studio/perpustakaan dan tempat-tempat lain di
mana kegiatan dilaksanakan. (d) Perguruan tinggi
mengikuti perkembangan teknologi informasi
secara menyeluruh sehingga semua sivitas
akademika terampil dan cekatan dalam
menggunakan teknologi imformasi.
Strategi-4: Upaya Meningkatkan Kualitas
Lulusan Perguruan Tinggi (a) Perguruan tinggi
dan unsur-unsur yang terkait merampingkan dan
mensinergikan muatan kurikulum dengan
memperhatikan kepentingan dan keunggulan
komparatif daerah serta perkembangan iptek. (b)
Perguruan tinggi secara khusus menentukan
kurikulum muatan lokal sesuai keunggulan
komperatif dan pengembangan daerah. (c)
Perguruan tinggi mengembangkan program
kemahasiswaan yang diarahkan agar lulusannya
memiliki
jiwa kepemimpinan, berdedikasi
tinggi, memiliki ketahanan fisik dan mental serta
senantiasa menjadi makhluk yang mengabdi dan
berbakti kepada Tuhan Yang maha Esa. (d)
Perguruan tinggi menciptakan iklim akrab
teknologi informasi secara menyeluruh untuk
mendukung kemajuan dunia usaha dan dunia
industri. (e) Perguruan tinggi terus meningkatkan
dan mengembangkan reputasi dan daya saing
perguruan tinggi sebagai Center of Exellence di
kancah dunia pendidikan tinggi Indonesia juga
sampai ke manca negara. (f) Perguruan tinggi
meningkat kualitas proses pembelajaran agar
mahasiswa dan lulusan memiliki kompetensi dan
kemampuan knowledge & skill sehingga dapat
berkontribusi besar bagi pembangunan bangsa
dan negara. (g) Perguruan tinggi dalam
melaksanakan proses pembelajaran harus
membekali peserta didi tidak hanya aspek
kognitif saja, melainkan harus secara holistic
melengkapi dengan aspek moral, dan tanggung
jawab sosial.
SIMPULAN
Perguruan tinggi di Indonesia umumnya,
khususnya di STIAMI hingga saat ini
pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi
“Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat” masih berorientasi
pada pengembagan sumber daya manusia (HRD).
Pengembangan sumber daya manusia cenderung
tidak mengembangkan potensi manusia yang ada
dalam dirinya, baik menyangkut Intelektual,
emosional,
kreativitas
dan
kemandirian.
Kecenderungan yang telah berjalan selama
bertahun-tahun ini perlu dilakukan reformasi
dan reorientasi kepada pengembangan sumber
kemampuan manusia (HCD). Kecenderungan
HCD, lebih menekankan pemberdayaan dan
pengembangan seluruh potensi yang ada dalam
diri seseorang. Sehingga memungkinkan output
pendidikan memiliki keunggulan bersaing,
kreatif, mandiri, dan adjusted.
Reformasi pendidikan dan pengajaran, sangat
ditentukan oleh seberapa besar kualitas pengajar
dalam menunaikan amanat pembelajaran. Dalam
konteks ini, pembelajaran dengan sistem
monolitik tidak lagi bisa dipertahankan, selain
sistem itu dapat membendung munculnya idealis,
kritis, kreativitas dan kemandirian mahasiswa,
juga terkesan terjadinya arogansi keilmuan dari
pengajar terhadap pebelajar. Padahal dalam
suasana dunia yang dibanjiri oleh informasi
seperti saat ini, boleh jadi muatan informasi yang
diterima mahasiswa tentang sesuatu yang bersifat
baru (some thing new) melebihi kadar muatan
yang diterima oleh sang pengajar. Srategi yang
dapat dilakukan untuk mengantisipasi kenyataan
ini, mesti dibuka ruang bagi dosen untuk
melanjutkan jenjang pendidikan, dengan
berusaha menggali alokasi dana bagi biaya
pendidikan. Alokasi dana dapat dikerahkan dari
sumber SPP/DPP, Proyek dan atau dalam bentuk
pinjaman (loan) yang bersifat lunak, dan
pemberdayaan
sumber-sumber
pembiyaan
masyarakat.
Pada dimensi Penelitian, perlu dilakukan
secara
terintegrasi
dengan
pengabdian
masyarakat. Karena kemajuan di bidang ilmiah
berkorelasi positif dengan tingkat kemajuan
sosial masyarakat. Selain itu, kemampuan HCD
dosen di bidang penelitian juga perlu menjadi
perhatian serius, karena rendahnya minat
meneliti, juga terkait dengan faktor kemampuan.
Seiring dengan itu peluang dan biaya yang
memadai untuk penelitian perlu dialokasikan
secara wajar, karena faktor itu juga memberikan
motivasi yang dominan tertarik tidaknya dosen
meneliti.
Secara
spesipik,
menyangkut
pengabdian masyarakat yang lebih berorientasi
bisnis, sudah harus ditinggalkan, karena aktivitas
tersebut selain menjauhkan
visi dan misi
perguruan tinggi, juga tidak mencerminkan sikap
dan perilaku akademisi yang syarat dengan
muatan ilmiah, idelais dan kritis. Pengabdian
mahasiswa, yang terkesan mengambil porsi
sebagai pekerja sosial dengan menggeluti “blue
color job” perlu beralih kepada pekerja belajar
yang memberdayakan segenap kapasitasnya,
dengan menggeluti “white color job” yang
tentunya lebih pas dengan keberadaannya.
Transparansi di berbagai bidang seperti saat
ini, menuntut perguruan tinggi menyiapkan diri
melalui aktivitas Tri Dharmanya secara optimal.
Upaya ke arah itu sebagai “enty of point”, dapat
dilakukan melalui Total Quality Managment
(TQM) dalam pendidikan. Pendidikan tinggi
yang menekankan pendekatan TQM, akan
mendapatkan akreditasi secara nasional. Artinya
mereka telah memasuki wahana persaingan
global yang “Advantage competitive “ dimulai
dari penyiapan HCD, baik dari sudut ratio, sarana
dan prasarana yang marketable.
Sebagai kesimpulan dari pembahasan terakhir
dari implementasi Tri dharma Perguruan Tinggi
adalah peningkakatan Total Quality Managment
(TQM) dalam pendidikan. Pendidikan tinggi
yang menekankan pendekatan TQM, akan
mendapatkan akreditasi secara nasional. Bagi
Perguruan Tinggi yang telah menyiapkan TQMnya diharapkan mampu menghadapi tantangan
persaingan yang dihadapinya artinya mereka
akan mampu memasuki dunia persaingan global
yang “Advantage competitive “. Tentunya dalam
persaingan ini dimulai dengan mempersiapkan
HCD yang benar-benar berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Atkitson,
Rita. L, dkk. (1987).Pengantar
Psikologi. Batam Centre, Interaksa.
Benbow, Camilla Person (1996). Psychometric
and social Issues Intellectual Tallent. The
John Hopkinds Press Ltd., London.
Coony. R. Semiawan, 1999. Pendidikan Tinggi :
Peningkatan kemampuan Manusia, Penerbit
Grasindo, Jakarta.
H.A.R. Tilaar, 2001.Manajemen Pendidikan
Nasional. Penerbit PT Remaja Rosda Karya,
Bandung
Means, Barbara, dkk. (1993). Using Technology
to Support Education Reform. Washigton DC:
Association for Educational Communications
and Technology.
Soemarno Soedarsono, Membangun Kembali Jati
Diri Bangsa, Jakarta : Elex Media
Komputindo, 2006
UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam
Pendidikan, Grasindo, 2002.
Rosyada,Dede
Paradigma
Pendidikan
Demokratis: Sebuah Model
Pelibatan
Masyarakat
Dalam
Penyelenggaraan
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. 2004.
Download