BAB II DASAR TEORI 2.1 BATHYMETRI Bathymetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar laut dengan untuk menunjukan kontur kedalaman dasar laut diukur dari posisi 0.00 m LWS. Selain itu peta Bathymetri juga berfungsi untuk mengetahui kedalaman dasar laut sehingga dalam perencanaan dermaga, kapal dapat disediakan kedalaman yang cukup untuk beroperasi. Pengukurab Bathymetri dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain menggunakan Theodolit, EDM (Electronic Data Measurement) atau yang lebih teliti menggunakan GPS (Geographic Positioning System) sebagai alat ukut jarak jauh. Sedangkan alat ukur kedalaman menggunakan Echosounder beserta alat bantu lainnya. Secara singkat pelaksanaan survey bathymetri dapat dijelaskan sebagai berikut : Menempatkan patok-patok sepanjang pantai dengan tonggak kayu sejarak 1025m tergantung dari ketelitian yang diharapkan. Patok-patok ini berfungsi sebagai pedoman jalur pengukuran oleh kapal. Menempatkan masing-masing theodolit pada titik-titik di darat yang telah ditentukan koordinatnya. Kemudian kapal yang membawa echosounder bergerak dengan kecepatan konstan untuk melakukan pengukuran kedalaman. Pada setiap 10m perlu dibidik dan dibaca posisinya agar dapat diketahui posisi kapal dan kedalaman perairan pada posisi tersebut. (Gambar 2.1 ; 2.2) Jalur pengukuran perlu diusahakan selalu lurus terhadap terhadap titik patok di tepi pantai. Pada akhir survey dilakukan gerakan melintang dari posisi patok sebagai kontrol atas akurasi pembacaan. Hasil pengukuran diplot kedalam kertas A0 atau A1, dan dibuat peta bathymetri dengan skala tertentu (umumnya 1:1000 atau 1:500). Garis kontur pada pantai digambar untuk tiap interval -0.5 sampai -1.0 mLWS . II - 1 Theodolit b Theodolit a Kapal Survey Echosounding Gambar 2.1 – Metode pelaksanaan survey bathymetri 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m α β Theodolitt B Theodolitt A Ket : 20 m Pengukuran Awal Arah kapal utk pengontrol titik Theodolit ` Kapal Survey Titik pengukuran Gambar 2.2 – Sketsa Jalur pengukuran Bathymetri (Ginting 2003) 2.2 ANGIN Angin adalah udara yang bergerak dari daerah dengan tekanan udara tinggi ke daerah dengan tekanan udara rendah. Data angin berfungsi untuk mengetahui kecepatan angin tepat di rencana lokasi pelabuhan yang berguna untuk II - 2 mengetahui tekanan angin pada kapal. Data dapat diperoleh dari stasiun metereologi terdekat atau dari bandar udara terdekat. Atau bila diperlukan dilakukan pengukuran langsung dengan anemometer dan peralatan pendukungnya yang disurvey selama minimal setahun terus menerus. Analisa data dilakukan dengan membuat wind rose yaitu statistik distribusi kecepatan dan arah angin serta prosentasenya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan anemometer yang dipasang 10 meter diatas permukaan perairan dan recodernya di pasang di darat. Pengamatan dilakukan selama sepanjang tahun dengan penggantian kertas grafik dan asesoris lainnya tiap 1 bulan. 2.3 ARUS .Arus yang terjadi di sungai atau pantai terjadi oleh pengaruh yang sifatnya lokal seperti akibat pergerakan angin, perbedaaan kerapatan/densitas air, perbedaan suhu air, perbedaan pasang surut dan perbedaaan ketinggian muka tanah dasar Salah satu metode untuk mendapatkan kecepatan arus adalah dengan menggunakan alat Currentmeter. Pengambilan data dilakukan sedikitnya di tiga titik secara bersamaan, agar pola arus yang ada dapat terwakili. Setiap pengukuran dilakukan dalam tiga pengamatan, yaitu pada kedalaman 0.2d, 0.6d, dan 0.8d dimana d adalah kedalaman perairan pada posisi pengukuran. Analisa data yang dilakukan untuk data arus adalah dengan menganalisa hubungan diagram kecepatan arus dengan kedalaman. Selain itu juga dilakukan analisa untuk mengetahui kecepatan dan arah arus maksimum yang terjadi. Analisa data ini bertujuan untuk mengetahui tekanan arus serta kelayakannya untuk kapal berlabuh, dimana disyaratkan kecepatan maksimum arus sebesar 4 knot atau 2 m/dt 2.4 PASANG SURUT Pasang surut terjadi terutama karena pengaruh posisi bumi terhadap bulan dan matahari. Perubahan posisi ini dapat menyebabkan naiknya muka air laut II - 3 yang disebut pasang (High Water Spring = HWS) dan turunnya muka air laut yang disebut surut (Low Water Spring = LWS) Data pasang surut ini digunakan untuk mengetahui posisi muka air laut dan pola pasang surutnya. Selanjutnya posisi air surut terendah (LWS) berdasar pola pasang surut setempat digunakan sebagai acuan untuk penetapan elevasi kontur tanah dan elevasi seluruh bangunan, sehingga kondisi kedalaman perairan dan elevasi dari struktur dan wilayah darat dapat ditentukan. 2.5 DATA TANAH Penyelidikan tanah (survey tanah) dilakukan untuk perencanaan bangunan bawah dermaga, trestle dan reklamasi. Metode survey yang biasa digunakan adalah boring untuk pengambilan contoh tanah yang akan dikombinasikan dengan SPT untuk mengetahui daya dukung tanah tersebut. 2.6 EVALUASI STRUKTUR CAISSON Struktur yang ada pada dermaga eksisting ini adalah struktur caisson Pondasi caisson adalah jenis pondasi dalam yang berbentuk bagian-bagian elemen beton bertulang dengan penampang bulat atau persegi. (Untung ,2001) Evaluasi yang dilakukan pada tugas akhir ini hanya akan memeriksa stabilitas eksternal struktur caisson dermaga. Untuk pemeriksaan stabilitas internal struktur tidak dilakukan karena tidak tersedianya data yang lengkap Adapun kontrol stabilitas eksternal yang dilakukan adalah : kontrol geser, guling, setllement, sliding dan daya dukung. 2.6.1 KONTROL GESER Kontrol geser dilakukan dengan membandingkan antara besarnya gaya geser (horizontal) yang diakibatkan adanya tekanan tanah, tekanan air maupun komponen horizontal tanah akibat gempa dengan gaya gaya penahan. Kontrol geser dilakukan dengan rumusan : Gaya. penahan SF (1.5) Gaya.geser ……………..2.1 II - 4 Dimana : Gaya penahan = (Wtot x f) + tekanan tanah pasif(Pps) f = koefisien gesek antara beton dengan tanah = 0.7 Wtot = beban vertikal total pada pondasi dikurangi uplift Gaya geser = beban horisontal yang bekerja pada pondasi 2.6.2 KONTROL GULING Kontrol guling dilakukan dengan membandingkan momen guling terhadap titik guling dengan momen penahan. Dimana perbandingannya tidak boleh lebih dari 1.2 yang merupakan safety factor. Kontrol guling dilakukan dengan rumusan : Momen. penahan > SF (2)................................................2.2 Momen.guling 2.6.3 KONTROL SETTLEMENT Penambahan beban vertikal di atas permukaan tanah akan menyebabkan penurunan (settlement) dari tanah yang bersangkutan menyebabkan timbulnya regangan Besarnya penurunan yang terjadi pada lapisan tanah dasar akibat beban yang berada di atasnya adalah merupakan penjumlahan dari tiga komponen penurunan yaitu : S t S i S c S s …………………………………………………. 2.3 dimana: St = Total settlement Si = Immediate settlement Sc = Primary/consolidation settlement Ss = Secondary settlement (diabaikan) Pemampatan Segera (Immediate Settlement) Pemampatan segera untuk pondasi yang panjang dan tinggi lapisan tanah terbatas (H) menggunakan prinsip dasar teori dari Biarez dan Giroud. Persamaan untuk menghitung besarnya pemampatan segera adalah sebagai berikut: Si = P H 2 ap E ...................................................... 2.4 II - 5 dimana: H 2a = PH = harga yang diperoleh dari Gambar 2.3 q = beban terbagi rata dari struktur diatas E = modulus Young, dapat dilihat pada Tabel 2.1 = koefisien poisson, dapat dilihat pada Tabel 2.1 Gambar 2.3 – Harga Ph Tabel 2.1– Harga E dan (Braja. M. Das) Jenis Tanah Pasir lepas Pasir agak padat Pasir padat Pasir berlanau Lempung lembek Lempung agak kaku Lempung keras Modulus Young (kN/m2) 10350 – 27600 34500 – 69000 1380 – 3450 5865 – 13800 Koef. Poisson 0,2 – 0,4 0,25 – 0,4 0,3 – 0,45 0,2 – 0,4 0,15 – 0,25 0,2 – 0,5 - Sumber : Mekanika Tanah, Braja M. Das II - 6 Pemampatan Konsolidasi Primer (Primary Consolidation Settlement) Untuk menghitung besarnya settlement akibat konsolidasi terlebih dahulu harus diketahui jenis konsolidasi yang terjadi. Jenis konsolidasi yang terjadi ada 2, yaitu Normally Consolidation dan Over Consolidation. Penentuan suatu tanah dasar mengalami jenis konsolidasi yang terjadi adalah dengan melihat harga Over Consolidation Ratio (OCR), yaitu: OCR Pc' Po' Tanah mengalami normally consolidation: Sc Cc H P ' P log o 1 eo Po ' ............................................... 2.5 Tanah mengalami over consolidation: Untuk (P o ’ + P) P c ’ Sc Cs H P ' P ................................................. log o 1 eo Po ' 2.6 Untuk (P o ’ + P) > P c ’ Sc Cs H P ' P H P ' P Cc .......... log o log o 1 eo Po ' 1 eo Pc ' 2.7 dimana: Sc = penurunan total Cc = indeks kompresi Cs = indeks swelling H = tebal lapisan pasir eo = angka pori awal Po’ = tekanan efektif overburden P = penambahan tekanan vertikal c’ = tekanan efektif konsolidasi 2.6.4 KONTROL SLIDING Kontrol stabilitas terhadap sliding perlu dilakukan untuk mengetahui apakah struktur caisson dermaga aman terhadap kelongsoran. Dalam perhitungan II - 7 sliding digunakan program bantu XSTABLE dimana program ini akan memunculkan beberapa angka keamanan berdasarkan input data yang diprogram. 2.6.5 DAYA DUKUNG Pada perhitungan daya dukung ponasi caisson dapat digunakan : qult SF (3) t ……………………………………2.8 dimana : qult = daya dukung pondasi t = tegangan yang terjadi pada dasar pondasi akibat beban Perhitungan daya dukung berdasarkan rumusan menurut Terzaghi untuk pondasi dengan dasar segi empat (L x B). B B B q 1 0.2 ' N 1 0.2 C.Nc ' Df .Nq ……………..2.9 L 2 L Perhitungan tegangan yang terjadi pada dasar pondasi akibat beban, menggunakan rumus : t dimana : P M ……………………………………….2.10 A W P = Beban terpusat yang bekerja pada pondasi A = Luasan pondasi M = Momen yang bekerja pada pondasi W = 1/6 . B2.L 2.7 KRITERIA PEMBEBANAN DERMAGA Pembebanan dermaga terbagi atas dua yaitu beban vertikal dan beban horizontal. Berikut ini akan dijabarkan kedua pembebanan tersebut : 2.7.1 BEBAN VERTIKAL Beban vertikal pada struktur dermaga dan trestle terdiri dari : II - 8 2.7.1.1 Beban mati (beban sendiri) Beban mati (berat sendiri) merupakan beban-beban mati yang secara permanen membebani konstruksi yaitu beban pelat, balok memanjang dan melintang, serta poer. Untuk beban pelat, langkah yang akan diambil dalam menganalisanya adalah distribusi beban dengan menghitung beban ekivalennya yang akan membebani balok. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pelaksanaan analisa strukturnya. Pada balok, beban terbagi ratanya tergantung dari beban yang direncanakan, begitu juga dengan poer. Kemudian semua beban tersebut dijadikan satu dalam berat sendiri. Untuk sebagian besar beton bertulang, harga standard berat volume yang dipakai adalah 2.4 t/m3 . 2.7.1.1 Beban hidup merata akibat muatan Adalah beban merata yang diakibatkan oleh beban hidup yang ada diatas dermaga, diambil sebesar 3,0 t/m2. Sedangkan pada saat gempa besarnya beban hidup dihitung sebesar 1,5 t/m2. 2.7.1.2 Beban terpusat Beban terpusat termasuk ke dalam beban hidup, dimana beban terpusat ini merupakan beban roda-roda truk yang digunakan untuk pengangkutan barang dan penumpang yang digunakan atau memasuki areal dermaga dan trestle. Beban terpusat atau beban titik merupakan konfigurasi posisi dari roda. Besar dan letak konfigurasi roda tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5 II - 9 6t 6t 6t 6t 1.848 m Tampak Belakang 6t 6t 4.6 m Tampak Samping 0.5 m 0.2 m 0.5 m 0.2 m 1.848 m Tampak Depan 4.6 m Tampak Atas Gambar 2.4 – Posisi Beban pada Roda Truk 2.7.2 BEBAN HORISONTAL Beban horizontal yang bekerja pada dermaga terdiri dari : 2.7.2.1 Gaya fender Gaya fender merupakan gaya pukul kapal akibat kecepatan pada saat merapat serta pergoyangan kapal oleh gelombang dan angin. Gaya benturan kapal yang bekerja secara horizontal dapat dihitung berdasarkan energi benturan kapal. Hubungan antara gaya dan energi benturan tergantung pada tipe fender yang digunakan. Gaya akibat kapal merapat di dermaga (berthing energy) yang diterima oleh fender disebut juga gaya fender. Direncanakan dengan perumusan sebagai berikut : Ef = WV C E C H C S C C ...............................................2.11 2g dimana : Ef = total energi kinetik yang diserap fender (ton.m) II - 10 W = displacement tonnage (ton) merupakan berat total kapal dan muatannya pada saat kapal dimuati sampai garis draft. V = kecepatan merapat kapal, dipakai rekomendasi dari PIANC (m/dt) g = percepatan gravitasi = 9,8 m/s2 C E =koefisien untuk efek eccentricity, merupakan koefisien perbandingan antara energi yang tersisa akibat merapatnya kapal terhadap energi kinetik waktu merapat. CE 1 L ……………………………….2.12 ( L (l / r ) 2 ) dimana : L = jarak terpendek antara center of gravity (c.g) kapal sampai ke titik tumbuknya (titik sentuh pertama kapal) r = jari-jari perputaran dengan pusat c.g kapal, panjang jarijari dari c.g sampai titk tumbuk. r = 0,25 x LOA C C = efek bantalan air, efek ini timbul karena adanya massa air yan terjepit antara posisi kapal merapat dengan tambatan. = 0.8, apabila konstruksi wharf atau kade = 1, apabila konstruksi open pier C S = koefisien softness (0.9 – 1) = 1, bila kapal baja Cb = koefisien blok = 1+ C H = faktor Ws ……………………..2.13 D LPP B a hidrodinamika kapal, merupakan faktor untuk memperhitungkan besarnya massa air, yang bergerak sekeliling kapal dan massa air ini menambah besar massa kapal yang merapat. CH = 1 + D B dimana : D = tinggi draft kapal (m) B = lebar kapal (m) II - 11 2.7.2.2 Gaya Bolder Boulder merupakan gaya tarik atau tekan pada dermaga akibat pengikatan kapal ketika merapatkan kapal. Sudut yang terjadi akibat penambatan kapal menimbulkan gaya yang berbeda pada boulder. Dalam perencanaan ini diambil harga yang memberi nilai maksimum, dengan sudut yang mempunyai nilai sinus dan cosinus terbesar.Pada tabel 2.2 dapat dilihat besar gaya tarik pada boulder untuk beberapa jenis kapal tertentu. Tabel 2.2. Gaya Tarik pada Boulder Gross Tonnage Gaya Tarik pada Boulder (ton) 200 – 500 15 501 – 1.000 25 1.001 – 2.000 35 2.001 – 3.000 50 3.001 – 5.000 70 5.001 – 10.000 70 10.001 – 15.000 100 15.001 – 20.000 100 20.001 – 50.000 150 50.001 – 100.000 200 Sumber : Technical Standarts for Port and Harbour Facilities in Japan 2.7.2.3 Gaya angin dan arus 1. Tekanan Arus PC = C C . γ C . A C . V C 2 / 2g...............................................2.14 dimana : PC = tekanan arus pada kapal yang bertambat (ton) γC = berat jenis air laut (= 1.025 t/m3) AC = luasan kapal yang ada di bawah permukaan air (m2) VC = kecepatan arus (m/dt) CC = koefisien arus = 1 – 1.5, untuk perairan dalam II - 12 = 2, untuk kedalaman perairan = 2 x draft kapal = 3, untuk kedalaman perairan = 1.5 x draft kapal = 6, untuk kedalaman kapal yang mendekati draft kapal 2. Tekanan Angin Pw = C w . (A w .sin2ø + B w 2.cos2ø ) V w 2 / 2g………..2.15 dimana : Pw = tekanan angin pada kapal yang tertambat Cw = koefisien tekanan angin = 1.3, bila angin tegak lurus sumbu memanjang kapal = 0.9, bila angin melawan busur kapal = 0.8, bila angin melawan buritan kapal A w = luas proyeksi arah memanjang kapal diatas air (m2) Bw = luasan proyeksi arah muka kapal (m2) ø = sudut arah datangnya angin terhadap centerline V w = kecepatan angin (m/dt) 2.7.3 KAPAL RENCANA Pelabuhan baru yang akan dibangun di Terminal Mirah direncanakan menggunakan system Ro-Ro (Roll on-Roll off) dimana sistem pemindahan barang dilakukan secara horizontal . Untuk itu kapal yang akan beroperasi di pelabuhan ini merupakan jenis kapal Ro-Ro.(Gambar 2.6) Gambar 2.5 Kapal Ro-Ro II - 13 Sedangkan spesifikasi kapal yang akan beroperasi adalah sebagai berikut: Tabel 2.3 Spesifikasi Kapal Klasifikasi "Ro-Ro Ship" 15.000 DWT Strengthened for Heavy Cargo Equipped for Carriage of Containers SOLAS II-2, Reg. 54 Dimensi : 150 m 25.2 m 12.55 m 7 m Length o.a. Breadth Depth Draught, max. Kecepatan: (draught 7 m) 16.0 kts Stern Ramp/Pintu: MACOR, total breadth (up) 10.00 m Breadth(bottom) 6.50 m, clear height 6.20 m Drive way: Kapasitas Trailer di Ro\Ro deck 35 pcs. Trailer capacity: 2.7.4 BEBAN GEMPA Perhitungan gempa didasarkan pada SNI 03-1726-2002 dengan analisa beban statika equivalen : V =V C1 .I Wt ...............................................2.16 R dimana : V = beban geser gempa static ekuivalen (ton) Wt = berat total (ton) (kombinasi beban mati seluruhnya dan beban hidup yang direduksi sebesar 50 % untuk pelabuhan) Cd = factor respon ggempa II - 14 C = factor respon gempa (lihat SNI 03-1726-2002) tergantung daerah gempa, kondisi tanah dibawah bangunan, dan waktu getar alami (T). Untuk portal beton : T = 0.06 x H ¾ H = Zf + kedalaman dasar saluran Zf = point of fixity atau posisi titik jepit tanah terhadap sebuah tiang pondasi, Zf = 1.8 T T= 5 ( EI ) / nh I = factor keutamaan bangunan (lihat SNI03-1726-2002) R= factor reduksi gempa (lihat SNI 03-1726-2002 ) Tabel 2.4. Harga nh untuk cohesionless soil diperoleh dari Terzaghi Relative Density Loose Medium Dense Dense nh untuk dry atau moist soil MN/m3 2.5 7.5 20 Ton/ft3 7 21 56 MN/m3 1.4 5 12 Ton/ft3 4 14 34 nh untuk submerged soil Sumber :“Daya Dukung Pondasi Dalam” oleh Dr.Ir.Herman Wahyudi II - 15 Gambar 2.6 Respons Spektrum Gempa Rencana (Sumber : SNI 03-1726-2002) II - 16 Gambar 2.7 Wilayah Gempa Indonesia dengan Percepatan Puncak Batuan Dasar Perioda Ulang 500 Tahun (Sumber : SNI 03-1726-2002) II - 17 Tabel 2.5. Faktor Keutamaan (I) untuk Berbagai Kategori Gedung dan Bangunan Taraf kinerja struktur gedung Elastik penuh Daktail parsial Daktail penuh R 1.60 2.40 3.20 4.00 4.80 5.60 6.40 7.20 8.00 8.50 Sumber : SNI 03-1726-2002 Tabel 2.6. Parameter Daktilitas Suatu Struktur Gedung Kategori gedung Faktor Keutamaan I1 1.0 I2 1.0 I3 1.0 Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran 1.0 1.6 1.6 Monumen dan bangunan monumental 1.4 1.0 1.4 Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi 1.6 1.0 1.6 Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun 1.5 1.0 1.5 Cerobong, tangki di atas menara Catatan : Untuk semua struktur bangunan gedung yang ijin penggunaannya diterbitkan sebelum berlakunya Standar ini maka Faktor Keutamaan, I, dapat dikalikan 80%. Sumber : SNI 03-1726-2002 II- 18 Untuk penentuan Kh (komponen horisontal dari percepatan gempa) dan Kv (koefisien vertikal dari percepatan gempa) yang akan digunakan untuk mencari Koefisien tanah aktif akibat gempa maka digunakan : Kh = 0.1 x Ao x I (Sumber : SNI 03-1726-2002 Ps. 9.2.2) Kv = x Ao x I (Sumber : SNI 03-1726-2002 Ps. 4.8.2) Nilai koefisien Ao dan dapat ditentukan dari Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7. Nilai Koefisien Ao (Percepatan Puncak Muka Tanah) untuk Masing-masing Wilayah Gempa Indonesia Wilayah gempa Percepatan puncak muka tanah, Ao (‘g’) Percepatan puncak batuan Tanah Tanah Tanah Tanah keras dasar (‘g’) sedang lunak khusus 1 0.03 0.04 2 0.10 0.12 3 0.15 0.18 4 0.20 0.24 5 0.25 0.28 6 0.30 0.33 Sumber : Tabel 5 – SNI 03-1726-2002 0.05 0.15 0.23 0.28 0.32 0.36 0.08 0.20 0.30 0.34 0.36 0.38 Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi Tabel 2.8. Koefisien untuk Menghitung Faktor Respons Gempa Vertikal Kv Wilayah gempa 1 0.5 2 0.5 3 0.5 4 0.6 5 0.7 6 0.8 Sumber : Tabel 7 – SNI 03-1726-2002 II- 19 2.7.5 KOMBINASI PEMBEBANAN Standart Design Criteria For Port In Indonesia,1984 , mengatur tentang besarnya beban-beban yang bekerja, tetapi tidak mencantumkan adanya kombinasi pembebanan. Sedangkan dalam Standart Teknis Untuk Sarana-Sarana Pelabuhan di Jepang, 1995, disebutkan bahwa beban gempa, angin, dan gaya tarik boulder dianggap sebagai beban pada kondisi khusus,yaitu beban sementara. Pada dasarnya pembebanan struktur yang ada perlu dikombinasikan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya beberapa beban. Kombinasi beban ini lakukan untuk memperoleh kondisi pembebanan maksimum pada dermaga dan trestle.Dalam perencanaan ini dipergunakan kombinasi beban sebagai berikut : 1. DL + LL 2. DL + ML 3. DL + BL 4. DL + 50%LL + BL 5. DL + 50%LL + SL 6. DL + 50%LL + ML + SL Dimana : DL = Beban Mati LL = Beban Hidup TR = Beban Truk ML = Gaya Bolder BL = Gaya Fender SL = Beban Gempa II- 20 2.7.6 PERHITUNGAN KONSTRUKSI DERMAGA 2.7.6.1 Konstruksi Beton Perhitungan konstruksi beton dapat dilakukan dengan berdasarkan pada Peraturan Beton Indonesia (PBI) 1971 dan SK SNI 1991. dalam PBI 1971 perhitungan strukturnya berdasarkan teori elastis. Pada teori elastis, apabila terjadi beban lebih (overload) maka struktur tersebut masih bisa menahannya atau tidak mengalami retak. Sedangkan pada SK SNI 1991, perhitungan strukturnya berdasarkan teori kekuatan batas, dimana pada teori ini apabila terjadi beban lebih (overload) maka struktur akan mengalami retak. Pada perhitungan konstruksi dermaga Mirah ini dipilih berdasarkan PBI 1971 dengan pertimbangan : 1) Pada struktur di perairan, harus dihindarkan terjadinya retak agar tulangan struktur terhindar dari korosi. 2) Terjadinya beban lebih pada bangunan di perairan sering terjadi, baik akibat beban luar (arus, gelombang, dan pasang surut) maupun beban gempa. 2.7.6.2 Bangunan atas 1. Perencanaan Plat Dermaga dan Trestle a. Perhitungan Momen Plat Asumsi perhitungan-perhitungan yang dipakai adalah perletakan jepit elastis. - Perhitungan momen akibat beban terbagi rata : Mlx = Mtx = + 0.001 . q . lx2 . x ……………….2.17 Mly = Mty = + 0.001 . q . lx2 . x .………………2.18 dimana : Mlx, Mly = momen lentur plat per satuan panjang di lapangan arah bentang lx, ly (tm). Mtx, Mty = momen lentur plat per satuan panjang di tumpuan arah bentang lx, ly (tm). q = beban total terbagi rata pada plat (t/m1). II- 21 Lx = ukuran bentang terkecil plat, bentang yang memikul plat dalam satu arah (m). x - = koefisien pada tabel 13.3.2 PBI 1971 Perhitungan momen akibat beban terpusat bx a1x lx by + a2x ly + a3 ……………2.19 M= bx by lx + ly + a4 dimana : lx = bentang pendek plat ly = bentang panjang plat bx = ukuran beban w arah bentang pendek (m) by = ukuran beban w arah bentang panjang Mx = momen positif maksimum arah bentang pendek My = momen positif maksimum arah bentang panjang (m) w = beban terpusat (ton) a 1 , a 2 , a 3 , a 4 = koefisien yang tergantung dari lx/ly dan derajat jepit masing- masing sisi (Tabel VI KBI Ir. Sutami) Pada beban terpusat yang bergerak, penulangan didimensi berdasarkan momen maksimum yang didapat, diambil tetap sepanjang seluruh pelat (tepitepi). Lebar pembesian ini tidak tergantung pada tempat beban dan ditentukan dengan rumus-rumus sebagai berikut : II- 22 Sx (0.4 C1 0.4 bx by bx.by 0.2 0.3 .lx lx ly lx.ly …………………2.20 Sx = lebar jalur dimana pembesian menahan momen My harus dipasang Sy (0.4 C1 0.2 bx by bx.by 0.4 0.3 .lx lx ly lx.ly ………………….2.21 Sy = lebar jalur dimana pembesian menahan momen Mx harus dipasang Six (0.6 C2 0.1 bx by bx.by 0.1 0.1 .lx ……………………2.22 lx ly lx.ly Six = lebar jalur dimana pembesian menahan momen Miy harus dipasang Siy (0.6 C2 0.1 bx by bx.by 0.1 0.1 .lx …………..……….2.23 lx ly lx.ly Siy = lebar jalur dimana pembesian menahan momen Mix harus dipasang Dimana : C 1 dan C 2 = koefisien yang tergantung pada keadaan derajat jepit dan sisi plat C1 = 0 , jika kedua sisi sejajar lx ditumpu bebas C 1 = 0.1 , jika kedua sisi sejajar ly dijepit dan lainnya ditumpu bebas C2 = 0 , jika kedua sisi sejajar lx ditumpu bebas C 2 = 0.1 , jika kedua sisi sejajar ly dijepit dan lainnya ditumpu bebas c. Penulangan Plat Perhitungan tulangan pada plat berdasarkan PBI 1971 : Ca = h nxM bx ' b , ...............................................2.26 dengan : II- 23 o A min = a nx ' b 12 au dimana : M = momen lentur akibat beban kerja B = lebar penampang balok persegi, lebar badan penampang balok T H = tinggi manfaat penampang ( ht – selimut beton – Ф sengkang – ½ Ф tulangan ) n = angka ekivalen antara satuan luas dengan satuan luas beton ( PBI 1971 – Pasal 11.1.3 ) Eb = modulus elastisitas beton berdasarkan PBI 1971 pasal 11.1.1 ( 6400 'bk (kg/cm2)) ,untuk beban mati Ea = modulus elastisitas beton menurut PBI 1971 pasal 10.9.1 ( 2,1 x 106 (kg/cm2)) σ’ bk = mutu beton (kg/cm2), PBI 1971 tabel 4.2.1 σ’ a = tegangan tarik baja yang diijinkan, PBI 1971 tabel 10.4.1 ( σ’ a = 0.33 σ’ bk ) σ’ b = tegangan tarik baja yang diijinkan, PBI 1971 tabel 10.4.1 Apabila τ b + τ’ b > τ bm , maka ukuran penampang harus diperbesar sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan sebagai berikut : τ b + τ’ b < τ bm .. .............................................2.27 dengan : τb = D bx 7 xht 8 II- 24 τ’ b = 3 D , b xht 2 26 ht 0,45 b dimana : untuk ht > b D = gaya lintang Mt = momen puntirakibat beban kerja τb = tegangan lentur beton akibat beban kerja τ’ b = tegangan geser punter beton akibat beban kerja τ bm = tegangan geser beton yang diijinkan untuk balok dngan tulangan geser, menurut PBI 1971 tabel 10.4.2 Sebagai tulangan geser dipakai sengkang dengan luas efektif As dan jarak As dan tulangan miring dengan luas efektif Am. Perumusan yang digunakan untuk menghitung tulangan geser berdasarkan PBI 1971 (rumus 11.7.4). τ s + τ’ m > τ t s As a as b , m Am . a ( Sin Cos amb Dimana : τb = tegangan geser yang dapat dikerahkan oleh sengkang τm = tegangan geser yang dapat dikerahkan oleh miring Ф = sudut kemiringan tulangan miring terhadap sumbu memanjang Balok d. Kontrol Retak Lebar retak maksimum untuk beton di luar bangunan yang tidak terlindungi dari hujan dan terik matahari langsung, kontinu berhubungan air dan tanah atau berada dalam lingkungan agresif adalah 0,01 cm II- 25 Lebar retak pada pembebanan tetap akibat beban kerja, PBI 1971 pasal 10.7.3 dapat dihitung dengan rumus dibawah ini : W (C 3 .C C 4 dimana : D p ).( a C5 p ) x10 6 ……………………..2.28 w = lebat retak yang terjadi (cm) α = koefisien yang tergantung pada jenis batang tulangan 1,2 untuk batang polos ω p , C 3 , C 4 , C 5 = koefisien retak yang diambil dari table 10.7.3 PBI 1971 c = tebal penutup beton d = diameter batang polos, yang harus diganti dengan diameter pengenal d p menurut PBI 1971 pasal 3.7.4 apabila dipakai batang yang diprofilkan A= luas tulangan tarik(cm2) σ a = tegangan tarik baja yang bekerja ditempat retak (kg/cm2) h = tinggi manfaat (cm) bo = lebar balok persegi atau lebat balok T (cm) y = jarak garis netral terhadap tepi yang tertekan (cm) 2. Perencanaan Balok Dermaga Langkah – langkah perencanaan balok meliputi : 1) Seperti perencanaan plat lantai yang telah diuraikan diatas, penentuan lay out tipikal harus ditetapkan terlebih dahulu. 2) Dihitung pembebanan akibat distribusi beban plat pada balok. 3) Dengan bantuan program bantu SAP 2000, akan diperoleh besarnya momen pada balok tersebut 4) Perhitungan penulangan balok dilakukan setelah besarnya momen diperoleh dari langkah no.3, dilanjutkan dengan perhitungan kontrol dimensi balok, perencanaan tulangan geser dan kontrol retak balok tersebut. II- 26 3. Perencanaan Balok Fender Langkah – langkah perencanaan balok meliputi : 1) Seperti perencanaan plat lantai yang telah diuraikan diatas, penentuan lay out tipikal harus ditetapkan terlebih dahulu. 2) Analisa balok fender seperti perhitungan balok kantilever dengan gaya tumbukan kapal pada ujung balok fender sebagai kondisi paling kritis sebagai beban. 3) Pada perhitungan momen, posisi perletakan balok (e), diasumsikan berada pada bidang sejajar poer bagian atas karena diasumsikan tidak monolit dengan poer. 4) Perhitungan penulangan balok dilakukan setelah besarnya momen diperoleh dari langkah no.3, dilanjutkan dengan perhitungan tulangan utama dan geser serta kontrol retak balok tersebut. 2.7.4.1 Perencanaan bangunan bawah Pada bagian ini, perencanaan meliputi pemilihan tiang pancang, perhitungan daya dukung, kontrol kekuatan bahan dan kalendering. 1. Pemilihan Tiang Pancang Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan tiang pancang yang dipergunakan di struktur bangunan bawah dermaga dan trestle adalah Diusahakan dengan harga yang termurah Kemampuan menembus lapisan tanah keras tinggi, untuk menghindari terjadinya tekuk. Mampu menahan pemancangan / pemukulan yang keras, agar tidak hancur ketika pemancangan berlangsung. Dalam Tugas Akhir ini, jenis tiang pancang yang dipergunakan adalah tiang pancang beton. Dengan kriteria pemilihan sebagai berikut : II- 27 Tabel 2.9– Kriteria Pemilihan Tiang Pancang No Spesifikasi Tiang Pancang Baja Beton Kayu < 50 > 50 < 50 2 3 4 N-Nilai SPT maksimal yang dapat ditembus Ked. Pemancangan Berat Tiang Mobilisasi Terbatas Cukup ringan Mudah Bebas Lebih ringan Mudah 5 Pelaksanaan Relatif mudah Relatif mudah 6 Pengangkatan Tiang 7 Penyambungan 8 Harga tiang 9 Biaya transportasi Semakin panjang semakin sulit Relatig mudah dengan pengelasan Cukup murah Cukup mahal karena dihitung berdasar berat cukup murah Relatif mudah karena cukup ringan Relatig mudah dengan pengelasan mahal lebih murah karena dihitung berdasar volume mahal karena perlu proteksi anti karat kurang baik Hampir tidak ada Terbatas Ringan Mudah Relatif sulit karena terlalu bnyk sambungan Semakin panjang semakin sulit Relatif sulit yaitu dengan sambungan baut mahal Cukup mahal karena dihitung berdasar berat cukup murah 1 10 Biaya pemeliharaan 11 ketahanan thd korosi 12 Faktor kesalahan teknis Momen mak. Yang 13 mampu dipikul baik ada,yaitu ujung tiang retak pecah saat pemancangan Terbatas, dari data WIKA Piles bahwa ukuran maks. f 60 cm kelas C Mmaks 29 tm Relatif besar baik ada,yaitu ujung tiang retak pecah saat pemancangan terbatas Diambil dari : Tugas Akhir Iskandar M.G 2. Perhitungan Daya Dukung Tiang Perhitungan Daya Dukung Tanah dipergunakan perumusan dari Metode LUCIANO DECOURT (1982) : Ql = Qp + Qs ...............................................2.29 dimana : Q l = daya dukung tiang maksimum Q p = resistance ultimate di ujung tiang Q s = resistance ultimate akibat lekatan lateral II- 28 Qad QL SF QP q P . AP ( N P. K ). AP ...............................................2.30 QS q S . AS ( NS x1). AS ...............................................2.31 3 dimana : K = koefisien karateristik tanah (Tabel 2.6) Np = harga rata-rata SPT disekitar 4B diatas hingga 4B dibawah dasar pondasi qp = tegangan di ujung tiang AP = luas penampang di ujung tiang = ¼ π D2 AS = keliling tiang x panjang tiang yang terbenam (luas selimut tiang) = π.D.L NS = harga rata-rata sepanjang tiang yang tertanam, dengan batasan 3 < N < 50 qs = tegangan lateral lekatan lateral (t/m2) SF = angka keamanan Tabel 2.10 - Harga Koefisien Karateristik Tanah Harga koefisien Jenis Tanah (t/m2) 12 Tanah lempung 20 Tanah lanau berlempung 25 Tanah lanau berpasir 40 Tanah berpasir II- 29 3. Kontrol kekuatan Bahan Kontol bahan yang dilakukan meliputi kontrol terhadap tegangan, gaya horizontal, tekuk. Berdasarkan Buku “Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi” oleh Suyono Sosrodarsono, Perumusan yang dipergunakan sebagai berikut : o Kontrol Lendutan Hu (e zf )3 , untuk fixed-headed pile…………..2.32 12 EI y = dimana : Hu = gaya horizontal maksimum yang diterima tiang E = Elastic modulus dari material tiang pondasi I = momen inersia tiang pancang o Kontrol Tekuk Tekuk dapat terjadi pada tiang pancang saat tiang pancang mencapai tanah keras lapisan pertama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol tekuk terhadap tiang pancang dengan perumusan sebagai berikut : Hu = 2 x Mu / ( e + Zf) , untuk kondisi ujung tiang fixed……2.33 dengan : Mu = σ x z dimana : σ = Tegangan tiang z = Modulus Elastisitas tiang Zf = Kedalaman titik jepit tiang 4. Kalendering Berdasarkan Buku “Daya Dukung Pondasi Dalam” oleh Dr.Ir.Herman Wahyudi, Perumusan yang dipergunakan adalah formula dari Hiley sebagai berikut : Qu . W .H S c 2 x W n2 Wp W Wp , R 1 . Ru …………………2.34 sf dimana : Qu = Daya Dukung Ultimate (Ton) W = Berat Pemukul = 3,500 ton (K35) II- 30 H = Tinggi jatuh pada ram B = 177 cm S = Penurunan tiang rata-rata pada 3 set terakhir dengan 10 pukulan di setiap setnya (cm). α = efesiensi of hammer = 1 n = coefisien of restitution = 0,25 Wp = weight of pile C = Total temporary compression (C1 + C2 + C3) = 17 mm C1 = Temporary compression of cushion (pile head & cap) = 2,54 mm C2 = Temporary compression of pile = 12 mm C3 = Temporary compression of soil = 2,5 mm 2.8 PENGERUKAN (DREDGING) Pengerukan dilakukan untuk mendapatkan kedalaman kolam pelabuhan yang diinginkan. Pengerukan dilakukan dengan menggunakan kapal keruk (dredgers). Dredgers berfungsi untuk menggali, memindahkan atau menaikkan material secara vertikal, kemudian memindahkan secara horisontal dan membuangnya ke lokasi pembuangan. Fungsi tersebut bisa dilakukan secara mekanik, hidrolis atau kombinasi keduanya. Untuk kondisi material yang keras, seperti batu cadas dan pasir yang terkonsolidasi digunakan treatment secara kimia yaitu dengan bahan peledak (explosive). 2.8.1 DIMENSI PENGERUKAN Dimensi pengerukan sangat ditentukan oleh kebutuhan operasional pelabuhan, yaitu dimensi kolam pelabuhan, kolam putar dan dimensi alur pelayaran yang telah dibicarakan pada subbab sebelumnya. 2.8.2 PEMILIHAN PERALATAN Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dredgers yang cocok adalah: II- 31 1. Jenis tanah dasar laut Meterial dasar laut yang akan dikeruk diperhatikan respon pengerukannya dan kemudahan pengangkutannya (dredgeability). Dredgeability didapatkan dari nilai N (SPT) untuk tanah pasir, nilai tegangan tekan dan etterberg limits untuk tanah kohesif dan kekuatan hancur dan kecepatan gelombang elastis untuk material keras. Untuk pengangkutannya sangat tergantung ukuran butiran dan berat jenisnya. 2. Volume tanah kerukan dan umur konstruksi Digunakan untuk menentukan ukuran dan kapasitas dredger. Bila terdapat waktu yang cukup digunakan dredger yang lebih kecil untuk efisiensi biaya. Volume kerukan dari hasil perhitungan harus dikalikan 2 karena pelaksanaan pengerukan di lapangan adalah 70 % air dan 30 % material kerukan. 3. Kedalaman dan ketebalan pengerukan Setiap dredger mempunyai pengerukan maksimum yang sangat tergantung pada kemampuan mesinnya. Dredger hidrolis lebih sensitif terhadap kedalaman, meskipun dredger mekanis juga memiliki kelas–kelas tertentu menurut kedalaman pengerukannya. 4. Metode pembuangan tanah galian 5. Jarak dan rute pengangkutan menuju areal pembuangan Digunakan untuk menentukan peralatan pengangkutannya. 6. Pengaruh sedimen di dasar laut Polusi, pengeruhan dan pengrusakan kehidupan perairan merupakan issue penting yang harus diperhatikan dan berhubungan dengan regulasi lingkungan pengerukan. 7. Kondisi meterologi, oceanologi dan geometrik Penentuan jenis dredger harus memperhatikan kondisi cuaca dan penentuan: Gelombang, angin, arus dan pasang surut Hari dan jam kerja Kondisi anchoring II- 32 Dilihat dari segi teknis pengerukan, dikenal dua jenis peralatan keruk, yaitu: a. Kapal Keruk Hidrolis Hidrolis disini adalah jenis tanah yang dikeruk bercampur dengan air laut, yang kemudian campuran tersebut dihisap oleh pompa melalui pipa penghisap (suction pipe) untuk selanjutnya melalui pipa pembuang dialirkan ke daerah penimbunan. Karena sistemnya dihisap oleh pompa, maka material yang cocok untuk kapal jenis ini adalah lumpur. Berdasarkan kondisi di lapangan yang menunjukkan bahwa material kerukan yang dominant adalah pasir dan sedikit lempung, maka kapal keruk jenis ini tidak cocok untuk digunakan, sehingga alat keruk ini tidak dibahas lebih lanjut. b. Kapal Keruk Mekanis Kapal keruk jenis ini dapat dikatakan sederhana, yaitu mempunyai analogi dengan peralatan gali di darat. Macam – macam kapal keruk jenis ini adalah sebagai berikut: Clamshell Dredger Alat keruk jenis ini terdiri dari satu tongkang (barge) dan ditempatkan peralatan cakram (clamshell). Jenis ini biasanya digunakan untuk tanah lembek atau pada bagian – bagian kolam pelabuhan dalam. Alat keruk ini dapat dilihat pada Gambar 2.7 Dipper Dredger Alat keruk ini merupakan analogi dari alat gali tanah di darat yang dikenal shovel dozer. Alat ini mempunyai tenaga pengungkit dan desak yang besar, sehingga baik digunakan bagi pengerukan lapisan tanah keras dan tanah padat atau tanah berpasir. II- 33 Gambar 2.8– Clamshell Dredger Backhoe Dredger Alat keruk ini pada dasarnya adalah pontoon yang dipasangi alat pemindah tanah yang berupa backhoe.(Gambar 2.8 ; 2.9) Bucket penggali dari backhoe ini dalam operasinya bergerak kearah alat, lain halnya dengan shovel yang bucketnya bergerak ke arah luar. Alat keruk ini baik digunakan bagi pengerukan lapisan tanah padat atau pasir. Gambar 2.9 – Backhoe Dredger II- 34 Gambar 2.10 – Backhoe Dredger Bucket dredger Alat keruk ini merupakan jenis jenis kapal keruk dengan rantai ban yang tak berujung pangkal (endless belt) dan dilekati timba – timba pengeruk (bucket). Gerakan rantai ban dengan timbanya merupakan gerak berputar mengelilingi suatu rangka struktur utama. Kapal ini sangat cocok untuk perairan yang dalam dan kurang pas untuk perairan dangkal.Alat keruk ini dapat dilihat pada Gambar 2.10 II- 35 Gambar 2.11 – Bucket Dredger 2.8.3 DUMPING SITE Penentuan lokasi buangan atau dumping site dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan terutama menyangkut lokasi dumping, volume dumping dan lokasi penyebaran material dumping.Lokasi dumping dapat dilakukan di darat dan di laut yang pada dasarnya dibatasi oleh pertimbangan biaya dan lingkungan 2.8.4 PERHITUNGAN VOLUME PENGERUKAN Berdasarkan k8.ontur eksisting dan rencana kedalaman alur/kolam, pada areal keruk dibuat segmen-segmen dengan jarak terentu yang sama, sehingga dengan formula berikut dapat ditentukan volume keruk sebagai berikut: V= ( 0.5 A1 A 2 L ………………………………. n i 1 2.35 dimana: V : Volume total keruk A1 : Luas keruk untuk segmen ke-1 A2 : Luas keruk untuk segmen ke-(1+1) L : Jarak interval antara segmen ke-I dengan segmen ke-(1+1) n : Jumlah total segmen pada areal keruk yang direncanakan II- 36