TINJAUAN PUSTAKA Pertelaan Tanaman Akasia Tanaman akasia (Acacia sp.) termasuk tanaman legum berkayu yang merupakan tanaman indigenus untuk Australia, Papua New Guinea, dan Indonesia (Eldoma dan Awang 1999). Klasifikasi tanaman akasia berdasarkan data dari GRIN (2005) dan Caine (2005) sebagai berikut: Ordo : Acacieae (atau Mimosaceae) Subfamili : Mimosoideae Famili : Fabaceae (atau Leguminosae) Genus : Acacia Di dunia ada kurang lebih 1500 spesies tanaman akasia yang dikenal dan 1200 spesies diantaranya endemik bagi Australia. Kebanyakan spesies ini merupakan tanaman pionir di lingkungannya dan ukurannya sangat bervariasi dari semak kecil sampai tanaman hutan yang besar (Old et al. 1999). Kebanyakan tanaman akasia memiliki biji yang dapat bertahan sangat lama, memiliki ketahanan terhadap kebakaran dan tetap hidup dalam kurun waktu yang lama dalam tanah pada kondisi di bawah pertanaman akasia atau lingkungan alaminya (Old et al. 1999). Acacia crassicarpa contohnya, crassicarpa berasal dari bahasa latin yaitu crassus yang artinya tebal dan carpus yang artinya buah (Doran dan Turnbull 1997). Jadi Acacia crassicarpa memiliki buah yang tebal dan bijinya juga sangat tebal dan keras. Untuk pembenihan, sebelum ditanam biasanya biji diperlakukan dahulu dengan menggunakan air panas atau asam (Old et al. 1999). Sejak tahun 1984 Pemerintah Indonesia mencanangkan program pengembangan perkebunan kayu skala besar di luar pulau Jawa. Setiap tahunnya direncanakan akan dilakukan penanaman sebanyak 300.000 ha (Hadi et al. 1996). Untuk tujuan ini maka dibutuhkan tanaman yang tumbuh cepat dan tetap memberi keuntungan secara ekonomi dan lingkungan. Salah satu tanaman cepat tumbuh yang dikembangkan secara intensif dalam skala besar adalah Acacia spp. 9 Tanaman akasia memberikan keuntungan yang luas baik secara ekonomi maupun untuk lingkungan. Secara ekonomi tanaman akasia menguntungkan karena dapat diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp), kertas, dan bahan bakar (fuel) yang potensial untuk produksi charcoal. Menguntungkan bagi lingkungan karena dapat berfungsi untuk memperbaiki tanah (soil improver), potensial untuk mengontrol erosi, dan sebagai revegetator (Eldoma dan Awang 1999; GRIN 2005). Di Indonesia ada 4 spesies tanaman akasia yang ditanam secara luas yaitu Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah dan Gales 1996; Hadi dan Nuhamara 1996). Diantara keempat spesies ini A. crassicarpa merupakan spesies tanaman yang paling produktif dibandingkan yang lain (Lau 1999). Penelitian Jayusman et al. (1992) dalam Andes (1998) menyebutkan bahwa dari 12 spesies tanaman yang cepat tumbuh yang diuji didapatkan bahwa A. crassicarpa mempunyai persentase hidup, pertambahan tinggi dan diameter batang terbaik. Hasil penelitian Roongrattanakul et al. (2005) menunjukkan bahwa A. crassicarpa pertumbuhannya paling cepat dan A. oraria pertumbuhannya paling lambat. Secara umum A. crassicarpa dapat tumbuh pada ketinggian antara 0- 700 m dpl. Daya adaptasinya tinggi, dapat dijumpai baik pada ekosistem sangat basah ataupun sangat kering. Pada habitat alaminya, curah hujan tahunan yang dibutuhkan A. crassicarpa bervariasi antara 900-4000 mm, namun di Australia bagian utara, A. crassicarpa dapat dijumpai pada daerah dengan curah hujan tahunan hanya 500 mm (Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999). Di Irian Jaya dan Papua New Guinea, A. crassicarpa dapat tumbuh pada tanah yang agak bergelombang dan berdrainase baik atau kurang baik, tanah yang tergenang waktu hujan dan kering pada musim kemarau, pada tanah sangat masam, tanah latosol, dan tanah yang kesuburannya rendah (Rettob 1994). Tanaman akasia seperti tanaman legum lainnya dapat berasosiasi simbiosis dengan bakteri tanah untuk memfiksasi nitrogen. Hal ini menyebabkan tanaman akasia mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kualitas haranya rendah (Old et al. 1999). 10 Tanaman A. crassicarpa pada tempat asalnya di North Queensland dan Papua New Guinea dapat mencapai tinggi 30 m (Midgley 2000). Tanaman A. crassicarpa dapat mencapai tinggi 30 m dengan batang yang besar dan diameter mencapai 50 cm pada hutan terbuka, sedangkan pada hutan tertutup tingginya berkisar antara 5-20 m dan berbatang lurus. Pada lahan yang terbuka A. crassicarpa banyak bercabang dan membentuk naungan (Rettob 1994). Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Fisiologi dan Morfologi Bakteri patogen tumbuhan dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik fisiologinya. Secara umum, karakteristik fisiologi yang diamati terhadap koloni bakteri hasil dari isolasi adalah uji metabolisme senyawa-senyawa tertentu dan beberapa karakteristik kultur misalnya bentuk dan ukuran sel, warna koloni, diameter koloni, dan flagela (Hayward 1983a). Beberapa uji fisiologis yang dilakukan untuk membedakan genera dari prokaryot patogenik tumbuhan adalah uji oksidase, urease, oksidatif/fermentatif, pigmen fluoresen, reaksi gram, dan sebagainya (Hayward 1983a; Schaad 2001). Secara sederhana beberapa genus prokariot yang dapat menyebabkan penyakit tumbuhan dapat dibedakan. Cara tersebut adalah menggunakan metode Schaad (2001): (1) mengisolasi bakteri patogen tumbuhan dengan media umum NA, jika bakteri dapat tumbuh maka dilanjutkan dengan uji pewarnaan Gram; (2) melakukan pewarnaan Gram, jika bersifat gram positif maka kemungkinan bakteri tersebut termasuk genus Coryneform, Bacillus, Clostridium, atau Streptomyces, sedangkan jika menunjukkan gram negatif maka kemungkinan termasuk genus Erwinia, Pantoea, Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Pseudomonas, Xanthomonas, atau Agrobacterium; (3) untuk bakteri gram negatif dilanjutkan dengan uji pertumbuhan anaerobik, jika positif maka kemungkinan masuk genus Pantoea atau Erwinia, sedangkan jika negatif termasuk genus Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Pseudomonas, Xanthomonas, atau Agrobacterium; (4) untuk membedakan genus Erwinia dan Pantoea dapat ditumbuhkan pada media YDC, jika koloni kuning termasuk genus Pantoea dan jika tidak kuning termasuk Erwinia; (5) uji pigmen fluoresen pada KB, jika positif 11 maka kemungkinan termasuk genus Pseudomonas, sedangkan jika negatif termasuk genus Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Xanthomonas, atau Agrobacterium; (6) dilanjutkan dengan menumbuhkan pada media YDC/NA, jika koloni berwarna kuning kemungkinan masuk genus Xylophilus atau Xanthomonas, sedangkan jika koloni tidak kuning termasuk genus , Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, atau Agrobacterium; (7) genus Xylophilus atau Xanthomonas dapat dibedakan dengan uji urease atau menumbuhkan pada media YDC pada suhu 33oC, jika urease negatif dan dapat tumbuh pada 33oC maka termasuk genus Xanthomonas dan jika urease positif dan tidak tumbuh pada 33oC maka masuk Genus Xylophilus; (8) ke empat genus yang lain ditumbuhkan pada media D1M agar, jika tumbuh maka termasuk genus Agrobacterium sedangkan jika tidak tumbuh kemungkinan masuk genus Acidovorax, Burkholderia, atau Ralstonia; (9) ke tiga genus diuji lebih lanjut dengan bisa atau tidak menggunakan arginin dan betaine, jika positif masuk genus Burkholderia sedangkan jika negatif masuk genus Acidovorax atau Ralstonia; (10) uji dilanjutkan dengan menumbuhkan pada suhu 40oC, jika tumbuh masuk genus Acidovorax dan jika tidak tumbuh masuk genus Ralstonia. Bakteri gram positif dapat dibedakan genusnya dengan cara Schaad (2001): (1) uji pembentukan endospora, jika membentuk endospora kemungkinan termasuk genus Bacillus atau Clostridium, sedangkan jika tidak membentuk endospora termasuk genus Coryneform atau Streptomyces; (2) genus Bacillus atau Clostridium dapat dibedakan dengan uji pertumbuhan anaerobik, jika positif masuk genus Clostridium dan jika negatif masuk genus Bacillus ; (3) genus Coryneform atau Streptomyces dapat dibedakan dengan uji pembentukan miselium aerial, jika membentuk miselium aerial masuk genus Streptomyces dan jika tidak membentuk miselium aerial masuk genus Coryneform. Cara membedakan beberapa genus prokariot yang dapat menyebabkan penyakit tumbuhan dapat juga dilakukan sebagai berikut (Sinaga 2003) : (1) mengisolasi bakteri patogen tumbuhan dengan media umum NA, jika bakteri dapat tumbuh maka dilanjutkan dengan uji pewarnaan gram, jika tidak tumbuh maka kemungkinan bakteri tersebut adalah Spiroplasma, Fitoplasma, Actinomycetes, atau Rickettsia; (2) melakukan pewarnaan gram, jika bersifat gram 12 positif maka termasuk genus Corynebacterium dan jika bersifat gram negatif maka kemungkinan termasuk genus Erwinia, Xanthomonas, Pseudomonas, atau Agrobacterium; (3) menumbuhkan bakteri pada media YDC agar, jika koloni berwarna kuning maka termasuk genus Erwinia atau Xanthomonas; sedangkan jika tidak berwarna kuning kemungkinan termasuk genus Pseudomonas, atau Agrobacterium; (4) menumbuhkan pada media MS agar atau CVP agar, jika tumbuh maka termasuk genus Erwinia dan jika tidak tumbuh maka termasuk genus Xanthomonas; (5) menumbuhkan pada media D-t, jika tumbuh termasuk genus Agrobacterium dan jika tidak tumbuh termasuk genus Pseudomonas. Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Molekuler Identifikasi bakteri patogen tumbuhan selain dengan cara analisis fenotipik, dapat juga dilakukan dengan menggunakan analisis genotipik secara molekuler. Menurut Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologis atau biokimia sering sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel itu sendiri. Metoda molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur, atau sifat fisiologi dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang diekstraksi (Louws dan Cuppels 2001). Salah satu teknik standar yang digunakan untuk identifikasi bakteri yang belum diketahui spesiesnya (unknown bacteria) adalah menggunakan sekuensing gen 16S rRNA. Kreuze et al. (1999) menyebutkan bahwa sekuen gen 16S-rRNA merupakan kriteria penting dalam taksonomi mikrobia. Semua organisme memiliki ribosomal RNA dan merupakan molekul target yang baik. Hal ini karena sekuen gen 16S rRNA sering spesifik spesies dan memiliki copy ganda dalam genom mikrob (Dickstein et al. 2001). Gutell et al. (1994) menambahkan bahwa molekul RNA merupakan kerangka dari ribosomal yang sangat berperan dalam proses translasi. Peran fungsional semua rRNA identik yakni berperan dalam produksi protein, namun ada bagian tertentu dari sekuen tersebut terus berevolusi dan mengalami perubahan pada tingkat struktur primer sambil terus mempertahankan struktur sekunder dan tersier yang homologus. 13 Gen 16S rRNA pada bakteri sangat konserf dengan variasi sangat kecil. Adapula beberapa segmen RNA sangat lambat evolusinya sehingga filogeni dari taksa yang berdekatan dapat dikonstruksi kembali. Dengan demikian, kombinasi dari persamaan dan sekuen yang bervariasi ini sangat berguna dalam identifikasi genus dan spesies bakteri (Alizadeh et al. 1997). Sekuensing gen 16S-rRNA dapat dilakukan pertama-tama dengan mengamplifikasi bagian 16S-rRNA dari DNA dengan menggunakan teknik PCR (polymerase chain reaction) dan primer universal untuk prokaryot. Teknik PCR merupakan teknik yang dapat mengamplifikasi DNA secara in vitro dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (Mullis et al. 1986). Setiap siklus pada amplifikasi DNA secara in vitro ini terdiri dari 3 tahap yaitu denaturasi, pelekatan (annealing), dan pemanjangan (elongation). Tahap denaturasi merupakan pembentukan DNA utas tunggal dari DNA utas ganda yang umumnya terjadi pada suhu lebih besar atau sama dengan 95oC. Selanjutnya diikuti tahapan pelekatan primer pada DNA yang biasanya berlangsung pada suhu 35-65oC tergantung pada panjang pendeknya oligonukleotida primer yang digunakan. Tahap pemanjangan primer biasanya terjadi pada suhu 72oC yang merupakan hasil polimerisasi dengan bantuan dari kerja enzim Taq DNA polimerase. Ketiga tahap ini akan berlangsung secara terus menerus sampai beberapa siklus (Madigan et al. 1997). Berhasil tidaknya amplifikasi gen 16S-rRNA yang telah dilakukan dapat divisualisasikan dengan elektroforesis gel. Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul bermuatan dalam medan listrik. Penggunaan teknik elektroforesis gel dapat digunakan untuk memisahkan dan menentukan ukuran fragmen DNA (Agus 2002). Elektroforesis dapat menggunakan dua macam gel yaitu gel agarosa (memisahkan fragmen DNA dengan ukuran 0,1-2 kb) dan gel poliakrilamida (memisahkan fragmen DNA dengan ukuran 0,006-0,1 kb) (Agus 2002). Menurut Hoy (1994) dan Agus (2002) mobilitas DNA dalam gel tergantung pada ukuran fragmen, arus yang diberikan, komposisi buffer elektroforesis, konformasi DNA, konsentrasi gel, komposisisi basa dan suhu, dan keberadaan senyawa intercalating. 14 Produk amplifikasi PCR dapat langsung disekuen atau dipurifikasi dahulu dan diligasikan ke dalam vektor. Sel E. coli ditransformasikan dengan plasmid yang berisi insersinya. Sel ini kemudian ditumbuhkan pada kultur cair dan selanjutnya plasmid diisolasi dan dipurifikasi kembali. Hasil klon atau produk amplifikasi dapat disekuensing menggunakan kit sekuensing yang tersedia secara komersial atau menggunakan sistim sekuensing otomatis. Primer universal dapat digunakan untuk PCR maupun sekuensing. Hasil sekuensing dapat dianalisis dengan menggunakan database internet dengan menggunakan fasilitas program BLAST. Program BLAST ini disediakan oleh NCBI (National Center for Biotechnology Information) (Dickstein et al. 2001). Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Epidemiologi penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari tentang epidemi penyakit tumbuhan. Dalam hal ini epidemiologi merupakan analisis komprehensif dari interaksi antara tiga komponen segitiga penyakit yaitu inang, patogen, dan lingkungan (Jones 1998). Beberapa definisi telah diberikan oleh para pakar mengenai epidemiologi penyakit tumbuhan. Van der Plank (1963) menyebutkan bahwa epidemik adalah peningkatan per luasan terjadinya penyakit (disease incidence) dalam suatu populasi tumbuhan per satuan waktu per satuan luas atau secara singkat dikatakan epidemiologi adalah ilmu tentang penyakit dalam populasi. Sedangkan Zadock dan Schein (1979) menyebutkan bahwa epidemi merupakan pertambahan penyakit dalam suatu populasi tumbuhan per satuan waktu per satuan luas. Dengan demikian, dalam epidemiologi dibahas mengenai cara-cara penyebaran penyebab penyakit, berbagai faktor yang mempengaruhi patogen maupun populasi tumbuhan, dan juga dipelajari faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi antara populasi patogen dengan populasi tumbuhan (Semangun 1996). Ada tiga faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya epidemi penyakit tumbuhan dan ketiga faktor tersebut harus terjadi secara bersamaan. Ketiga faktor tersebut adalah: inang harus berada dalam fase rentan, populasi patogen harus dalam tingkat tertentu dan inokulum patogennya harus virulen, dan 15 kondisi lingkungan harus sesuai untuk reproduksi, penyebaran, dan infeksi patogen, terutama faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, pH, angin, vektor, dan keberadaan agen antagonis yang bersifat mematikan atau menyebabkan statis (Sinaga 2003). Inang sebagai salah satu faktor dalam terjadinya epidemi sangat dipengaruhi oleh keadaan internal maupun eksternal dari inang itu sendiri. Beberapa faktor internal dari inang antara lain tingkat ketahanan atau kerentanan inang, tipe tanaman, keragaman genetik inang, umur tanaman, kandungan nutrisi, dan sebagainya. Jika tanaman inang yang memiliki tingkat keragaman genetik tinggi dan memiliki gen ketahanan terhadap penyakit ditanam pada suatu areal, maka epidemi penyakit dapat terjadi jika ada ras atau strain baru patogen yang dapat mematahkan ketahanan inang tersebut (Sinaga 2003). Epidemi penyakit akan mudah juga terjadi jika tanaman rentan ditanam secara luas dan monokultur (Semangun 1996). Umumnya, epidemik penyakit lebih cepat terjadi pada tanaman semusim dibandingkan dengan tanaman tahunan. Dalam hubungannya dengan umur tanaman, epidemik penyakit dapat terjadi pada berbagai fase tanaman antara lain pada fase awal pertumbuhan, pada fase pematangan dan pengusangan, dan pada fase masih sangat muda dan setelah mencapai fase pematangan (Sinaga 2003). Perkembangan epidemi juga sangat dipengaruhi oleh faktor patogen. Faktor tersebut antara lain tingkat virulensi, jumlah inokulum di sekitar inang, tipe reproduksi patogen, ekologi patogen, dan tipe penyebaran patogen. Kondisi inokulum yang dapat mendukung terjadinya perkembangan epidemi penyakit adalah: inokulum ada dalam jumlah yang banyak, ada dalam fase yang dapat berkembang biak dengan cepat, dalam kondisi sangat vigor, dapat menyebar dengan efisien dan dapat kontak dengan inang yang rentan (Sinaga 2003). Penyebaran inokulum yang efisien sangat mempengaruhi perkembangan epidemi penyakit. Angin dapat menyebarkan patogen dalam jarak yang sangat jauh namun belum tentu efisien karena bisa saja inokulum diendapkan di laut, di padang pasir, pada tanaman atau bagian tanaman yang tidak rentan. Meskipun air kurang penting dalam penyebaran patogen, beberapa penyakit sangat dipengaruhi oleh percikan air hujan maupun air irigasi untuk penyebarannya. Selain angin dan air, 16 serangga juga memerankan peranan yang penting dalam penyebaran, penularan, pembiakan, dan pertahanan patogen. Semakin efisien serangga sebagai vektor penularan dan penyebaran patogen maka semakin besar kemungkinan terjadinya epidemi. Selain ketiga faktor yang membantu penyebaran patogen, manusia merupakan agen penyebaran patogen yang paling efektif dibandingkan yang lain. Hal ini karena manusia dapat mengatasi barier alam yang membatasi agen penyebaran yang lain (Semangun 1996). Manusia selain efektif sebagai pengintroduksi patogen baru, beberapa aktivitas manusia secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Aktivitas tersebut antara lain: seleksi lokasi dan persiapan, seleksi bahan tanaman, teknik budidaya, dan teknik pengendalian penyakit (Sinaga 2003). Faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit selain inang dan patogen adalah faktor lingkungan. Komponen faktor lingkungan yang dapat membantu terjadinya epidemi penyakit adalah: kelembaban yang tinggi (biasanya di atas 85%), temperatur yang tinggi, faktor lingkungan yang membantu penyebaran patogen, dan faktor lingkungan biotik misalnya adanya agen antagonis yang mematikan atau menyebabkan statis (Sinaga 2003).