Informed Consent Informed Consent atau Persetujuan Tindakan Medik (PTM) adalah suatu cara bagi pasien untuk menunjukkan preferensi atau pilihannya. Secara harifiah Informed Consent memiliki dua unsur yaitu: 1) Informed yang dapat diartikan informasi yang telah diberikan dokter. 2) Consent yang diartikan sebagai persetujuan oleh pasien setelah memahami informasi yang telah diberikan oleh seorang dokter. Pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk meneriman dan menolak informasi dari dokternya sebelum memberikan atau persetujuan medik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 585 tahun 1989 yang menterjemahkan Informed Consent sebagai persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Idris, Tjiptomartono, 2008). Dasar Hukum a. Pasal 45 ayat (1) UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang menyatakan “setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Idris, Tjiptomartono, 2008). b. Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindankan medis. Pasal 2: 1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. 2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan. 3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informai yang akurat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya. 4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tindakan pendidikan serta kondisi dan situasi pasien . Pasal 3: 1) Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani yang berhak memberikan persetujuan. 2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaskud dalam pasal ini tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan 3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata atau diam (Idris, Tjiptomartono, 2008). Pemberian Informasi Dalam pemberian informasi dokter diharapkan menjelaskan informasi yang sejelas-jelasnya, rinci, dan mudah difahami dan dimengeti oleh pasien. Informasi yang diberikan dokter sesuai pasal 45 ayat 3 UU no. 29 tahun 2004, harus mencakup: (a) diagnosis dan tata cara tindakan medis. (b) tujuan tindakan medis yang dilakukan. (c) alternatif tindakan lain dan resikonya. (d) resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi (e) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pemberian informasi idealnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medik, namun pada keadaan tertentu pemberian informasi kepada pasien dapat didelegasikan kepada orang lain. Dalam tatanan hukum Indonesia kewenangan memberikan informasi untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya hanya dapat didelegasikan pada dokter lain, sedangkan untuk tindakan bukan bedah atau bukan invasif, pemberian informasi dapat didelegasikan pada dokter lain atau perawat. Pemberian informasi yang didelegasikan ini harus atas petunjuk dokter yang melakukan tindakan medis dan tanggung jawabnya tetap berada pada dokter yang mendelegasikan (Idris, Tjiptomartono, 2008).. Penerima Informasi Dan Pengambil Keputusan Menurut pasal 433 KUH Perdata, pasal 9 dan 10 Permenkes 585 tahun 1989, penerima Informasi Dan Pengambil Keputusan pada suatu Informed Consent adalah pasien sendiri, bila pasien dianggap cakap hukum. Cakap hukum yang dimaksud adalah pasien adalah orang dewasa (21 tahun atau lebih, atau telah menikah) yang dalam keadaan sadar dan sehat mental. Pasien yang belum dewasa atau dianggap tidak cakap hukum, dapat ikut menerima informasi, namun dalam pengambilan keputusan dilakukan oleh ornag tua, wali atau kuratornya dengan mendengarkan pendapat pasien (Idris, Tjiptomartono, 2008).. Persetujuan dan Penolakan Tindakan Medis Pada dasarnya pasien memiliki hak untuk menolak dan menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadapnya. Dalam konsep hukum, persetujuan tindakan medik adalah bagian dari suatu kontrak terapetik antar dokter dan pasien. Persetujuan tindakan medik dilakukan sebelum dan sesudah pasien berikatan kontrak untuk pengobatan. Informasi yang diberikan dan persetujuan dari pasien merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu perikatan / kontrak. Sebagai bagian dari kontrak, maka agar dapat dianggap sah, Informed Consent juga harus memenuhi syarat perjanjian sah dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: adanya kesepakatn mengikat diri, kecakapan untuk membuat perikatan, hak tertentu dan sebab yang halal. Selain itu Suatu persetujuan dianggap sah apabila: Pasien telah diberi penjelasan / informasi, pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan / persetujuan, persetujuan harus diberikan secara sukarela (Idris, Tjiptomartono, 2008). Persetujuan tindakan medik secara praktis dalam praktik kedokteran dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu : 1. Implied comsent (persetujuan tersirat). Pasien menunjukkan tingkah laku yang berarti menyetujui. Contoh: pasien yang mengulurkan tangan saat akan diperiksa tekanan darahnya (Idris, Tjiptomartono, 2008). 2. Expressed consent (persetujuan yang tidak dinyatakan). Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tulisan. Menurut Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindankan medis. Pasal 2, poin 2: Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan (Idris, Tjiptomartono, 2008). Penolakan Tindakan Medik Penolakan tindakan medik elektif umumnya tidak menimbulkan konflik moral. Namun bila tindakan medik diperlukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, dokter dihadapkan pada konflik etik. Pasien yang kompeten dapat menolak pengobatan, bahkan bila pengobatan tadi akan berakibat timbulnya kecacatan atau kematian. Tindakan dokter untuk menuruti penolakan tindakan medik pasien dibenarkan baik secara etik dan hukum Indonesia. Penolakan didokumentasikan dalam bentuk tertulis yang memiliki unsur yang sama dengan persetujuan. Dengan penolakan ini, tanggung jawab atas memburuknya keadaan pasien yang lain terkait dengan tindakan medis yang ditolak, tidak dibebankan pada dokter (Idris, Tjiptomartono, 2008). Sanksi Sesuai dengan sifat hukum yang memaksa, jika Persetujuan Tindakan Medis tidak dilakukan dalam paraktik kedokteran maka akan dikenai sanksi berupa sanksi administratif berupa pencabutan SIP, sanksi perdata jika menimbulkan kerugian diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, dan sanksi pidana jika menimbulkan kerugian, karena kesengajaan, kelalaian hingga dapat dikenai delik, yang diatur dalam KUHP. Pelaksanaan sanksi yang satu tidak menghilangkan sanksi yang lain. Seseorang yang dikenai sanksi perdata dapat dikenai sanksi pidana dan administratif, apabila ia terbukti melakukan kesalahan pada bidang hukum yang bersangkutan (Idris, Tjiptomartono, 2008). Idris, Tjiptomartono. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto