IL TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang & buat atas nama suatu kelompok sosial, yang memiliki implikasi yang kompleks, dan yang bermaksud m e m p e n g d anggota kelompok dengan penetapan sangsi-sangsi (Mayer, at all., 1982). Willian dolam Islami (1997) mendefinisikan bahwa "suatu keputusan adalah suatu pilihan terltadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai suatu hay. Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta buktibukti yang sulit di:;impulkan. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila rnenggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanal-an mengenai aspek-aspek terpilih dari suatu situasi problematis yang disusun unhk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu rnodel deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif Dari sekiiui model yang di kenal dalam perumusan kebijakan tidak ada satupun model yang dianggap baik, karena masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Fosrester dalam Dunn, (1998) ~ersoalankebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model tetapi terletak pada pemil ihan di antara berbagai altematif. Sedangkan analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan p:lbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan irformasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga &pat dlmanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn. 1998). Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif dan informasi yang nyata (faktual) mengenai sebab dan akibat kebijakan sangat penting ur~tukmemahami masalah-masalah kebijakan. Disebutksln juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian toeri deskriptif mum maupun teori-teori ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teon semacam ini seringkali gaga1 untuk memberikan i n f o m i yang memunglunkan para pengambil kebijakan menge:ndalikan dan memanipulasi proses-proses kebijakan, akan tetapi analisis kebijakan menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimlfaatkan untuk memecabkan masalah, juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi baik evaluasi maupun anjuran kebijakan. Quade dalam Dunn, (1998) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis kebijilkan yang menghasilkan dan menyajikan informasi, sehingga &pat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata "analisa" digunakan &lam pengertian yang paling umm yang secara tidak langsung menunjukkan pe~lggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas altematif-alternatif baru. Sebagai proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisa umum yang bias1 dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu : Deskripsi, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi waktu &lam hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, dig- sebelum tindakan diambil; sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan tejadi. Dalam kitannya dengan analisis kebijakan pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya maka model kebijakan yang paling mendekati adalah model prosedural. Model prosedwal ini menggunakan serangkam prosedur sederhana untuk menunjukkan dinamika hubungan di antara variabel-variabel yang dipercaya memberi ciri pada masalah kebijakan. Prediksi dan pemecahan optimal dicapai melalui simulasi penelusuran kendala satuan-satuan yang munglan. Salah satu bentuk yang paling sederhana dari model prosedural adalah "pohon keputwm" pohon keputusan berguna untuk membandingkan estimasi subjektif mengalai akibat-akibat yang munglan dari pelbagai pilihan kebijakan dimana ada korldisi terdapatnya kesulitan untuk memperhitungkan resiko dan ketidakpastian dengan data yang ada. Analisis llierarki adalah salah satu teknik pendekatan bag model yang kompleks dan kctidakpastian dengan data yang a&. Analisis Hierarchy Process (AHP) dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya &pat diterapkan pada "Analisis Manfaat Biaya" yaitu suatu alat tradisional untuk pengalokasian sumberdaya (Saaty, 1993). Menerapkan Analisis Hierarki Proses pada analasis manfaathiaya &]>at memperbaiki alat pengambilan keputusan tradisonal tersebut yaitu dengan cara setelah menstruktur persoalan manfaat dan biaya &lam suatu hierarki analisis, selanjutnya dapat menggunakan skala banding elemen berpasangan untuk mengkuan tifikasi faktor intangible (tidak dapat diukur) dm elemen-elemen non ekonomi yang sejauh ini belum terintegrasi secara efektif &lam pengambilan keputusan. 2.2. Kebijakan I'engelolaan Hutan Pembangnnan bidang kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional sehingga menjadi jelas bahwa pembangunan bidang kehutanan merupakan tanggung jawab bersama, oleh karenanya hams dilaksanakan secara bertanggw~gjawab dan transparan untuk memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan harus tetap memperttatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya sehingga pemanfaatan slunberdaya hutan tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekoaxni semata tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsi sumberdaya hutan itu sendiri untuk menopang kehidupan manusia antar generasi. Sebagaimrm telah diketahui bersama bahwa dunia kehutanan pernah inengalami masa suram, yakni pada saat sumberdaya hutan dikelola secara sentralistik dan di~xjukanuntuk menghasilkan devisa negara &lam rangka perbaikan ekonomi. Keadaan ini teqadi pada awal kekuasaan orde baru, yang diawali dengan dikeluarakannya IN No. 5 Tahun 1967. Dampak positif dari kebijakan tersebut adalah sektor kehutanan mampu menduduki ranking kedua setelah migas sebagai penghasil devisa negara. Tetapi di balik semua itu telah tejadi degradasi dan kerusakan sumbr:rdaya hutan secara besar-besaran, dan semakin tajamnya konflik sosial antara penl:elola (HPH) dengan masyarakat sekitar hutan, disamping itu juga terjadinya ketegangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat akibat sharing benefir yang tidak adil (Wiyono, 2002). Permasalahan-permasalahan pengelolaan hutan yang selama ini terjadi perlu dievaluasi, terutama terhadap relevansi kebijakan pengelolaan hutan maupun landasan sebagai tdasar pembaharuan kebijakan. Hal ini berkaitan dengan munculnya pemahaman tenlang pengelolaan hutan yang h a m memperhatikan aspek kelestariannya &I kesejahteraan rakyat. Konsep ini &pat mengacu pada rumusan keberlanjutan yang disusun oleh International Timber Trade Organization (ITTO) dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup) (Munggoro, 200 1). Dokumen ini menggunakan definisi pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan yaih "sebagai serangkaian tujuan, keinginan dan hasil yang bertumpu pada usaha mem;wrtahankan atau meningkatkan integritas ekosistem hutan dan kesejahtraan rakyat baik sekarang maupun di masa yang akan &tanggg.Difinisi umum ini mewakili pengertian-pengertian pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan darl diacu oleh banyak lembaga pemerintah maupun non pemerintah (Munggoro, 2001). Seiring dengan semangat reformasi di segala bidang maka pada tahun 1999 pemerintah telah ~nenerbitkanbeberapa kebijakan yang diharapkan mampu untuk mengatasi perma!;alahan-permasalahan tersebut. Peraturan perundangan yang dimaksud antara lain UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pe~nerintahanDaerah, UU No. 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Yang perlu dicatat adalah bahwa keempat kebijakan tersebut dikeluarkan untck merespon tuntutan reformasi sehingga didalamnya dijiwai oleh semangat desenbalisasi dan otonorni daerah yang sangat kuat 2.3. Hutan Kem~~syarakatan (HKm) di Taman Hutan Raya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31IKpts-LU2001, tentang "Hutan Kemasyarakatan (HKrn)". Dalam Bab I dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyari~katanadalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Menurut .Munggoro (2001), Kebijaksanaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada hakekatnya adalah penyerahan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat setempat &lam mengelola kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan, pencapaian kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi, pengembangan akuntabilitas publik dan kepastian hukum. HKm disini merupakan penvujudan dari berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikim kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas. Dalam tataran praktek, HKm itu dikenal dengan istilah social forestry, agro-forestry, community based,brest management. Sebagai s~latubentuk pengelolaan, konsepkonsep di atas tentunya memiliki variasi-vasiasi dalam penerapannya di lapangan, namun memiliki format yang relatif sama. Konsepkonsep tersebut berangkat dari semangat untuk mengakomodasikan (1) Partisipasi masyarakat lokal seluas-luasnya; (2) Keunggulankekuatan pengetahuan da11 kearifan masyarakat lokal. Penerapan gagasan tersebut membutuhkan rc:vitalisasi kelembaggaan, khususnya kelembagaan pemerintah (birokrasi), antata lain berupa : (1) desentralisasi, yaitu penyerahan m a n pemerintahan kepada pemerintah l o w , (2) devolusi, yaitu penyerahan kewenangan (dalam pembuatar;.regulasi dan pengambilan keputusan) kepada pemerintah lokal; (3) perubahan paradi;gna pemerintah dari status sebagai "polisi" menjadi fasilitator dengan segala im~~likasinya. Dalam tataran praktek pengelolaan sumberdaya hutan, konsep di atas menghasilkan sw.tu bentuk manajemen yang unik. Para pelaku utama terlibat langsung sebagai riubyek yang melakukan pengelolaan hutan. Yang paling menonjol adalah pembahan posisi masyarakat yang semula mempakan ekstemalitas menjadi suatu bagian inteinal dari sistem manajemen yang bersangkutan. Pola tersebut temyata efektif, minya kepentingan setiap pelaku dapat diakomodasikan dengan baik tanpa mengabaikar~tujuan-tujuan pelestarian (Muhshi, 2001). Untuk kebr~tuhanpemahaman dan penilaian hutan kemasyarakatan, dokumen ini memilih definisi umurn pengelolaan hutan berkelanjutan menjadi dua syarat utama yang senantiasa dipertimbangkan, yakni : (Munggoro, 2001). 1. Mempertahankim dan meningkatkan integritas ekosistem 2. Mempertahankim dan meningkatkan kesejahtraan rakyat. Syarat-syarat tersebut adalah representasi elemenelemen biofisik, sosial dan pembahan dalam menilai keadilan dan kelestarian suatu sistem pengelolaan sumberdaya huian. Keseimbanagan antara syarat keadilan dan syarat kelestarian dalam pengelolim sumberdaya hutan jarang dijumpai berlangsung lama di suatu lokasi tertentu. - Dengan mencermati syarat-syarat di atas maka suatu unit kelola hutan kemasyarakatan didefinisikan sebagai suatu kawasan yang fonnasinya multistrata, tata batasnya yang jelas, dan dikelola berdasarkan sejumlah tujuan yang beragam, eksplisit dan rencana pengelolaan jangka panjang. Suatu unit kelola hutan kemasyarakatan mencakup wilayah yang tidak terlampau luas namun cukup memadai dalam memenuhi kebutuhan fisik minimum keluarga-keluarga pemegang ijin dan kontrak hutan kt:masyarakatan. Suatu unit kelola hutan mempunyai tata batas yang jelas di lapangan dan dilengkapi dengan peta partisipatif yang sederhana (Munggoro, 200 1 ). Berdasarkan tujuan m u m yang berlaku bagi kesatuan pemangkuan hutan, ada kemun&nan ballwa unit kelola hutan kemasyarakatan adalah sub-unit pemangkuan hutan tertentu yang dikelola berdasarkan rezim pengelolaan hutan yang khas dan inklusif dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat. Pengelolam unit kelola hutan kemasyarakatan dipastikan berdampak signifikan bagi n~asyarakatyang bergantung kepada sumberdaya hutan dan diduga kurang signifikan bagi masyarakat urnurn (Munggoro, 2001). Masyarakat setempat yang terlibat dalan hutan kemasyarakatan berdiam di dalam atau d~ luar batas fisik kesatuan pemangkuan hutan tertentu. fimpunan unit-unit kelola hutan kemasyarakatan pada suatu wisalayah tertentu dapat merimbulkan dampak lingkungan dan dampak sosial bagi masyarakat luas yang tinggal cli luar kawasm hutan (Munggoro, 2001). Sebagai wntoh, penerapan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Taman Nasional Meru Betiri telah tlirintis sejak tahun 1995. Inisiatif HKm itu merupakan kolaborasi antara masyarakai: yang bermukim dr desadesa sekitar TN Meru Betiri (desa Andongrejo, Curahnongko, Sane~ejo,dan Wonosari), LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia:~,Fakultas Kehutanan IPB dan Pengelola TN Meru Betiri. Kegiatan utama yang dilhmakan adalah rehabilitasi lahan dr zona rehabilitasi seluas 1.300 ha dengan berbagai jtnis tumbuhan yang berasal dari &lam kawasan TN Meru Betiri, dengan melibatkm 2.500 KK.Wujud HKm yang ada di TN Meru Betiri merupakan proses yang telah dimulai dari lahan demplot (demontmi plot) seluas 7 ha. Wujud HKm di kawasan TN Meru Betiri tidak hanya bisa dilihat dari penampalran biofisik sernata. Budaya hutan yang terbangun, kebijakan pengelolaan TN Meru Betiri, dim aspek sosial ekonomi masyarakat juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dm!HKm. Lahan seluits 7 hektar menjadi cikal bakal HKm di TN Meru Betiri dan sekarang sudah di:Jadati oleh berbagai pohon yang berguna sebagai bahan obat. Keragaman jenis (Ian bentuk tumbuhan yang ditanam telah membentuk lapisanlapisan vegetasi. Para petani tidak hanya memperoleh hasil dari tanaman pokok namun memperoleh hasil dari tanaman palawija yang ditanam secara tumpang sari. 2.4. Wits Alaon Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konsewasi sumberdaya alarr~dan ekosistemnya, Taman Hutan Raya didefinisikan sebagai kawasan pelestariim untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa alami atau buatan, jenis asli atau b~lkanasli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Dengan melihat filngsi dari taman hutan raya, wisata yang berbasis alam (ekoturisme) adalah pilihan yang t e p t untuk dikembangkan di kawasan tersebut. Wisata alam &pat diartikan sebagai bentuk rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan patensi sumberdaya alam dan ekosistemnya, baik dalam bentuk asli maupun setelah adanya perpaduan dengan daya cipta manusia. Sedangkan obyek wisata alam adalali alam dan ekosistemnya, baik asli maupun setelah ada perpaduan dengan daya cipta manusia serta mempunyai daya tarik untuk dilihat dan dikunjungi wisatawan (Sumanlja, 1988 dalam Pakpahan, 1998). Wisata alam atau yang di kenal sebagai ekoturisme, belakangan ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, khususnya ke wilayah-wilayah tropika, karena wisatawan ingin mencari pengalaman yang bersifat petualangan dan tejadinya peningkatan apresiasi terhadap alam. Wisata alam, berdasarkan pengelompokan minat dibagi atas lima macam, yaitu (a) wisata petualangan, (b) wisata olah raga, (c) wisata ilmiah, (d) wisata budaya, dan (e) wisata rekreasi. Ekoturisme membuat manusia berhubunl:an/berkomunikasi dengan obyek wisatanya, yaitu alam dan atau kebudayaan manusia. Berdasarkan hubungan tersebut, ekoturisme akan bermanfaat dalam (1) menamhah pengetahuan akan alamhudaya, (2) menimbulkan apresiasi terhadap alam/~udaya,(3) melestarikan dam/budaya, (4) relaksasi, (5) penyediaan kesempatan kr:ja, (6) penyediaan kesempatan berusaha dan (7) peningkatan penghasilan ne,gara. Beberapa segi yang krpengamh atau menentukan &lam menimbulkan claya tarik wisatawan adalah obyek wisata (keaslian dan keunikan), pelayanan dan barga (Saleh, 1995). Menurut Heriawan (1998), sektor pariwisata dipercaya akan menjadi sektor potensid dalam pembangunan ekonomi masa depan yang berkaitan dengan persaingan globid. Ada empat pusat perhatian dalam pengembangan sektor ini, yaitu : (a) perluasan diui obyek dan tujuan wisata dengan mempertimbangkan kekayaan alam dan beragmnya budaya bangsa. (b) pengembangan berbagai fasiitas terkait seperti hotel, restoran, transportasi terrnw.uk program pengembangan SDM, (c) peningkatan j~romosidan pemasaran terutama pada negara-negara berpotensi serta pengembangan psar wisata potensial, (d) perbaikan kualitas jasa pelayanan yang terkait dengan puiwisata clan (e) karena bersifat multidimensional maka diperlukan keterpaduan pembangunan lintas sektoral. Wisata slim (ekoturisme) sebagai sarana penunjang dan penyedia dana untuk konsewasi, per111 dievaluasi secara hati-hati sesuai dengan kondisi setempat dan pembatas-pembatasnya. Para perencana, peserta terkait dan industri pariwisata haruslah mempertimbangkan kemungkinan Ifeasibilityl dimensi sosial-budaya, dimensi ekologi dan lingkungan hidup serta ekonomi jangka panjang sebelum sampai phda kesirnpulan tentang kecocokan pembangunan atau pengembangan wisata alam pada suatu daerzh (Agandy, 1995). Beberapa dampak sosial yang ditimbulkan kegiatan pariwislta, antara lain dialihkannya penduduk suatu daerah dan terganggunya kt:giatan ekonomi penduduk tersebut, inflasi dan berubahnya corak kehidupan masj~arakatsetempat atau terganggunya budaya setempat; sedangkan kerusakan pada lingkungan adalah diakibatkan buruknya perencanaan untuk menampung wi:%itawan dan buruknya perencanam wisatawan merusak banyak pesisir pantai, xmentara para wisatawan memadati jalan-jalan kota kecil tempat bersejarah serta daerah-daerah pinggiran dengan meninggalkan sampah, erosi dan kebakaran hutan di beberapa tempat. Dalam eng gem bang an dan penggalakan wisata dam perlu dilakukan kerjasama antar instansi yang t e r h t , keamanan yang terjamin, keselamatan wisatawan hams diutamakan dan peran serta masyarakat setempat. Seiring dengan meningkatnya k~:sadaran lingkungan, maka langkah-langkah yang menunjukkan perhatian akan pelestarian lingkungan akan memperoleh apresiasi dari para wisatawan. Oleh karena itu, obyek wisata yang bersangkutan perlu dilengkapi tempat-tempt sampah, tanda-tanda larangan untuk tidak mengganggu lingkungan, pohon-pohon, sztwa dan sebagainya. Apresiasi wisatawan dapat berdampak bertambahnya wi!;atawan yang tertarik dm datang (Saleh, 1995). 2.5. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Sup~rahardjo,2000). Lebih lanjut dikatakan konflik dapat timbul di antara individu yrlng satu dengan yang lainnya (antar individu) dan antar kelompok individu. Menurut Suporahardjo (2000), konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang paling sering terlihat (meskipun banyak yang tak terlihat) adalah konflik yang tejadi antara masyarakat di dalarn clan di tepian hutan, dengan berbagai pihak di luamya yang dianggap memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan, konflik yang demikian disebut sebagai konflik vertical. Sedangkan konflik yang terjadi antar kalangan masyarakat itu sendiri, disebut sebagai konflik horizontal. Menurut Moore (1986) d a r n Makchul (1999), ada lima pemacu konflik yaitu : Periama, konflik hubungan (relation conflict) adalah konflik tejadi karena adanya hubungan disharmonis yang disebabkan oleh beberapa faktor, sepetti : salah paham, tidak ada komunikasi, perilaku emosional dan stereotypes; Kedua, konflik data (data conflict) adalah suatu kedaan dimana pihak-pihak yang bersangkutan tidak mempunyai data dan informasi tentang perihal yang dipertentangkan yang &pat diterima pihak-pihak yang bersengketa; Ketiga, konflik nilai (value conflict) adalah suatu kondisi di mana pihak-pihak yang berurusan menpunyai nilai-nilai yang berbeda yang melandasi tingkah lakunya masing-masing dan tidak diakui kebenarannya oleh pihak lain; Keempat, konflik kepentingan (interest conflict) adalah pertentangan mengenai substansi atau pokok pennasalahan yang diperkarakan, kepentingan proseduren dan psikologis; dan Kelima, konflik struktural (structural conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau suatu keadaan di luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak berimbang. Penanganan konflik menurut Mastenbroek (1985) dalam Makchul (1999), adalah perlunya pembagian tugas dan wewenang yang jelas, penentuan prioritas serta pengenalan prosedur yang lebih baik dari yang sebelumnya. Sedangkan konflik kepentingan, umumnya yang dipermasalahkan adalah pembagian baran8/sumberdaya yang langka. Metode penanganan konflik yang dapat digunakan antara lain adalah menyerabkan persoalan kepada lembagake1ompoWorang yang lebih tinggi tingkatan hirarkinya serta menciptakan kesadaran dan pengertian pihak yang terlibat -bahwa sumberdaya tersebut untuk kepentingan bersama. Konflik antar pelaku yang berkepentingan, pada derajat tertentu akan merusak kesehatan interaksi antar pelaku yang bersangkutan. Dalam hampir semua kasus, ha1 ini bermuara pada pembagian terhadap aspek pelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan. Karena itu, pengadaptasian praktek manajemen kolaboratif merupakan bentuk yang perlu dikembangkan (Tadjudiq 2000). Pemerintah dan masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Keduanya menginginkan produktifitas, kelestarian dan tidak ingin konflik. Kepentingan produksi dan ketidakmauan konflik itu lazimnya mencuat secara terbuka. Sebaliknya, kepentingan pelestarian relatif tersembunyi. Pada pihak pemerintah, ha1 ini tersernbunyi dalam konsep-konsep retorikanya, sedangkan pa& pihak rnasyarakat lokal tersembunyi dalam pengetahuan dan kearifan lokalnya. 2.6. Pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP) Analitical Hierarchy Process (AHP) dalarn bahasa Indonesia di kenal dengan istilah Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analisis Jenjang Keputusan (AJK), pertarna kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. AHP didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan pernasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang didesaian untuk sampai pa& suatu skala preferensi di antara berbagai set altematif. Analisis ini merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur (Kuanfifatij), maupun masalahmasalah yang memerlukan pendapat Qudgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pa& situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman maupun intuisi. Selain itu AHP juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan proritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain &lam situasi konflik (Saaty, 1993). AHP merupakan analisis yang digunakan &lam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengarnbil keputusan. Dalam penerapnya, Saaty (1993) menyarankan sedapat mungkin menhndari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan &pat diperoleh model yang kuantitatif. Dalam penyelesaian persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain : a. Decomposisi, setelah didefinisikan maka perlu dilakukan decomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsumya. Jika menginginkan hasil yang akurat maka dilakukan pemecahan unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecah lag sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. b. ComparutifJudgement, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. - Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk perbandingan berpasangan (pairwise cornparution). c. Synthesis of Priority, dari setiap matrik pairwise cornparution kemudian dicari eigen vektornya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matrik painuise cornpaparution terdapat suatu tingkat maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hierarki. Pengurutan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakanpriorify setting. d. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, makna pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Pendekatan AHP menggunakan metode skala Saaty mulai d m bobot 1 sampai 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting (maksudnya untuk atribut yang sama skalanya selalu nilai bobotnya I), sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang "penting absolut" dibandingkan dengan yang lainnya. Menurut Suryadi (2000), kelebihan AHP dibandingkan dengan yang laimya adalah : 1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi clan kriteria yang dipilih, pada subkriteria yang paling dalam. 2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan autput analisis sensitivitas pengambilan keputusan. 4. Mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objelctif dan multi-laiteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hierarki. Tahap paling penting dari AHP adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar faktor pada suatu tingkat hierarki. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan bobot numerik atau verbal berdasarkan perbandingan berpasangan antar faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Selanjutnya melakukan analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas di mana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh melalui partisipan yang akan mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang menyatakan kepentingan faktor tersebd pada tingkat yang lebih tinggi pada hierarki yang dibentuk. Keberhasilan penggunaan AHP tergantung pada bagaimana penggunaan hierarki yangtepat dan problema yang tidak teratur untuk sampai pada pengambilan keputusan, karena AHP mampu menkonversi faktor-faktor yang infungible (tak dapat diukur) ke dalam aturan yang biasa dibandingkan. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala AHP yang disarankan oleh Saaty seperti (1993) pada Tabel 1 Tabel 1. Skala Banding Secara Berpasangan Model Saaty (1993). Tingkat . - Penjelasan Definisi Kepentingan 1 2,4,6,8 Kedua elemennya sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain Pengalaman dan petimbangan sedikit menyokong satu elemen atas lainnya Elemen yang satu esensial atau sifat lebih pentingnya menonjol dibanding elemen yang lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting dari elemen laimya (sifat sangat penting yang menonjol) Satu elemen dengan kuat sokong, dominansinya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang munekin menrmatkan Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan Nilai Kebalikan dengan aktifitasj, makaj mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan nialai I Sumber : Saaty, (1993) 2.6.1. Pendekatan AHP dalam Kerangka Manfaat dan Biaya Taman Hutan Raya Sesaot mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan menjadi obyek wisata, tapi akhir-akhir ini telah mengalami perambahan maupun pencurian kayu yang menyebabkan sebagian besar kawasan tersebut rusak. Pada kawasan yang rusak tersebut masyarakat menginginkan diterapkannya Hutan Kemasayarakatan (HKm), sedangkan pemerintah menginginkan dikembangkan menjadi kawasan pelestarian dam, seperti yang tersirat dalam fungsi dari Taman Hutan Raya. Untuk dapat mengakomodir keinginan masyarakat dan pemerintah maka perlu dinilai secara ekonomis hal-ha1 yang ingin diterapkan tersebut. Alat ekonomi yang tepat untuk melakukan penilaian ini adalah "Benefit Cost Analysis" yang merupakan suatu penilaian altematif tradisional aloksi sumberdaya, dengan tujuan untuk mendapatkan pilihan terbaik dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Benefit Cost analysis (BCA) merupakan metode praktis dalam menganalisa sumberdaya dengan beberapa tujuan, antara lain : a. Pengambilan keputusan dalam suatu kegiatan, apakah dilaksankan atau tidak, b. Pemilihan kegiatan yang paling produktif dengan ratio manfaatbiaya yang tinggi, c. Memaksimumkan total benefit dalam berbagai masalah, d. Peninjauan kembali keadaan set proyek pada suatu saat untuk melakukan kemungkinan eleminasi atau realokasi sumberdaya. Menurut Saaty (1993), ada beberapa konsep dari AHP dalarn kerangka manfaat dan biaya, yaitu : 1. AHP berbeda dengan BCA yang konvensional, karena AHP mampu menkonversi faktor-faktor yang tidak terukur ke dalam a t m yang biasa yang memungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi, 2 . AHP dapat juga digunakan untuk memecahkan dalam pengambilan keputusan manfaathiaya yang kompleks dan pengalokasian yang melibatkan sumberdaya dan aMivitas campuran, 3. Tujuan AHP &lam pengalokasian sumberdaya adalah untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan evaluasi manfaat dari berbagai altematif, dan untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan biaya. '