97 ISLAM AGAMA RAHMAT Allah SWT. berfirman: َ ََِْ ِ ً َ ْك ِإ َر َ َْ َ َْوَ َأر “Tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) selain sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya: 107). Syaikh An-Nawawi Al-Jawi dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menyatakan, ”Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan (bisyarâi’) selain sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga sebagai rahmat Kami bagi seluruh alam dalam urusan agama ataupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan”. Oleh sebab itu, Allah SWT. mengutus Muhammad SAW. untuk menjelaskan jalan menuju Allah SWT., menampilkan dan memenangkan hukumhukum syariat Islam, serta membedakan halal dan haram. Inilah umumnya tafsiran para mufasir. Jelaslah, bahwa rahmat Allah SWT. ini bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad SAW. sebagai manusia, tapi beliau sebagai Rasul yang diutus dengan membawa syariat yang unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama lain, sebagaimana firman-Nya: ! ًِا َ " ِ ِ# $َ% آُ ( ِ' َو َآ ِ )( ا$َ * َ ُ+,َ ِ ْ-ُِ (./ َ ْ ا ِ )ِِْ َُى َود# ُ'َُ َر2َ َ ْهُ َ اِي َأر “Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, agar Dia menangkan agama itu atas semua agama-agama lainnya. Cukuplah Allah sebagai saksi” (QS Al-Fath: 28). 97 Dalam tafsir Shofwatut Tafaasir Juz II/253, Muhammad Ali ash-Shabuniy memberikan catatan: Allah SWT. tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi lil ‘alamin, sebab Allah SWT. menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad SAW. Mengapa demikian? Sebab, beliau SAW. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan, keselamatan dari kesengsaraan; serta mereka mendapatkan dari tangan beliau kebaikan yang banyak dunia dan akhirat. Jadi, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah SAW. mengimplementasikan seluruh risalah yang dibawanya sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu, bagaimana jika Rasul SAW. telah wafat? Rahmat bagi seluruh alam itu akan tetap muncul manakala kaum muslim mengimplementasikan segala hal yang telah beliau bawa, yakni risalah syariat Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada al-Quran dan AsSunnah. Tetapi jika, umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut dan hilang pemahamannya terhadap syariat Islam, umat ini menjadi tidak menjadi rahmat bagi seluruh alam. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad Penerapan Syariat Islam (Maqâshid asy-Syar’iy) Untuk melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, kita perlu mengkaji tujuan luhur penerapan syariat Islam dalam memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting. Paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syariat Islam, yaitu: 1. Memelihara keturunan, yakni dengan disyariatkan nikah dan diharamkan perzinaan, serta ditetapkannya berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum dera (jilid) maupun rajam. Dengan hal itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat QS an-Nisa’[4]: 1; QS arRuum [30]: 21; QS an-Nuur [24]: 2). Bandingkan dengan sistem sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari wilayah HAM. Semua itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS. Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh umat manusia. Sebaliknya, dengan Islam, hal tersebut ditiadakan dalam pola kehidupan. Keuntungannya akan dirasakan oleh setiap manusia, baik muslim maupun nonmuslim. 2. Memelihara akal, yakni pencegahan dan larangan dengan tegas segala perkara yang merusak akal, seperti minuman keras (muskir), narkoba (muftir), dan ditetapkannya sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia, serta memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat QS al-Maa-idah [5]: 90-91; QS az-Zumar [39]: 9; QS al-Mujaadilah [58]: 11). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang tanpa memandang agamanya apa. Jika demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan oleh semua manusia, muslim dan nonmuslim. Secara kolektif, hal ini akan meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat manusia. Bandingkan dengan cara-cara penanganan sekuler yang selalu bersikap kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilIar dolar tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol, tetapi tidak menutup pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang sangat merusak generasi anak manusia. 3. Memelihara kehormatan, yaitu dengan larangan agar orang tidak menuduh zina (khadzaf) a, mengolok-olok, mengghibah, atau melakukan tindakan mata-mata, serta ditetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat QS an-Nuur [24]: 4; QS al-Hujuraat [49]: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia. Bandingkan dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan HAM dan demokrasi. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati 98 99 99 sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati suaminya, bahkan manusia tidak menghormati Tuhannya. Tuhan dan ibadah jadi bahan ejekan. 4. Memelihara jiwa manusia, yakni dengan ditetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak dan hikmah hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat QS al-Baqarah [2]: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarkan diat ini, keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor unta atau 200 ekor sapi (lihat Abdurrahman al- Maliki, Nizham Uqubat, Dâr al-Ummah, 87 - 121). Dengan syariat Islam, jiwa setiap orang muslim dan nonmuslim terjaga, mulai janin hingga orang dewasa. Dengan syariat Islam, setiap warga negara apa pun suku, ras, serta agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya. Bandingkan dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang menganut sistem sekuler dan sistem hukum pidana Barat. 5. Memelihara harta, yakni dengan ditetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. Perhatikan QS al-Maa-idah [5]: 38. Demikian pula peraturan pengampunan (hijr), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat QS an-Nisaa [4] 5; QS al-Baqarah [2]: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram (Lihat QS al-Israa’ [17]: 29; QS al-An’am [6]: 141; QS al-Israa’ [17]: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga masyarakat, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapa pun orang yang hidup dalam naungan syariat Islam akan terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk menjalankan usaha. Bandingkan dengan sistem sekuler yang memberikan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian, penjebolan bank melalui internet, atau apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal biasa. Hukuman penjara bukanlah penyelesaian. 6. Memelihara agama, yakni dengan dilarang muslim untuk murtad serta ditetapkan sanksi hukuman death penalty bagi pelakunya jika tidak mau bertobat dan kembali kepangkuan Islam (Lihat QS al-Baqarah [2]: 217 dan Hadis Nabi SAW.). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (Lihat QS al-Baqarah [2]: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agamanya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapa pun. Negara menjaminnya dan masyarakat Islam memberikannya hak. 7. Memelihara keamanan, yakni dengan ditetapkan hukuman sangat berat bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan pemberian sanksi hukum potong tangan dan kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat QS al-Maa-idah [5]: 33). Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga masyarakat, baik muslim atau nonmuslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapa pun yang mendalami syariat Islam . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif warga yang dijamin. 8. Memelihara negara, yakni dengan adanya penjagaan kesatuan negara dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (Lihat QS al-Maa-idah [5]: 33 dan Hadis Nabi SAW.). Juga hadis Nabi Muhammad SAW:, “Siapa yang datang kepada kalian di mana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia berusaha memecah belah jamaah kalian, maka potonglah leher orang itu” (Lihat An-Nabhani, Nidzamul Hukmi fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat manusia, bukan memecah-belahnya. Jadi, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan kehidupan manusia yang maslahat, muslim dan nonmuslim. Dengan demikian, melalui penerapan syariat Islam secara total, kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia. Islam benar-benar merupakan rahmatan lil ‘âlamîn. Beberapa Contoh Pelaksanaan Syariat Islam Banyak sekali contoh hukum syariat yang menunjukkan keberpihakkannya pada siapa pun (muslim atau nonmuslim) yang mendukung syariat Islam. Di antaranya adalah seperti berikut. Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam memandang bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat dan pemenuhan kebutuhan masyarakat bukanlah pemenuhan total kebutuhan, tapi merupakan pemenuhan per individu secara menyeluruh. Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama: negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individu. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki ataupun disewa). Nabi SAW. bersabda, “Penduduk mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadis lain, beliau SAW. bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur nyenyak di malam hari, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam hal ini, negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, serta menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua, negara memberi peluang seluasluasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini, negara memberi fasilitas seluas-luasnya, termasuk membebaskan biaya administrasi untuk usaha masyarakat dalam mengembangkan modalnya, tanpa membedakan muslim dan non mujslim. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Apabila terjadi ketidakseimbangan ekonomi di antara warga negara karena kemampuan yang berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah (fakir miskin) agar mampu bangkit sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT. berfirman, “Agar jangan harta itu hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS al-Hasyr [59]: 7). Kedua, jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga masyarakat. Islam memerintahkan negara untuk menjamin 100 101 kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya ataupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat, dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadipribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada perintah dan larangan Allah SWT., memiliki kecerdasan, kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki kemampuan keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan dengan negara menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah, universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah SAW. menerima tebusan tawanan perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslim di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Lihat Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam). Ketiga, politik keuangan. Islam menetapkan emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diat misalnya, 1000 dinar. Fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena inflasi dan tidak akan terguncang nilainya oleh perubahan sosial politik. Islam juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu harus produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam firman-Nya: ;َ ِر:ِ9 َ ْ َ* َ $َْ/ُ) َ)ْ َم4ِب َأ ٍ ََا#ِ ْ4ُْه,(78َ 9َ " ِ ا2ِ ِ8 َ :ِ9 َ ;َ ُ<%ِ ُْ) َ = َ َو%ِ ْ> وَا َ ن ا َه َ ِْ@ُوA)َ َ )ِوَا ن َ ْ ِ@ُوADَ ْ4ُCُُْا َ آEُو9َ ْ4ُAF ِ ُ%ْ;Gَ ِ ْ4ُDْ@َ ْ َهَا َ َآ4ُُ ُرُهHْ َو4ُ ُ#ُُBْ َو4ُ َُه8B ِ َ #ِ َْىAُC9َ 4َ َ B َ “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu” (QS at-Taubah : 34-35). Juga, Islam menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak boleh diputar dalam bisnis nonriil, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan ribanya (bunga atau interest). Jelas, Allah SWT. menyifati bisnis riba ini sebagai bisnis yang tidak (akan) stabil. Allah mengumpamakan orang-orang yang makan riba bagaikan orang yang sempoyongan kemasukan setan. Dia berfirman: ُLْ8َ َُْا ِإ;َ اE ْ4ُ ;Kَ#ِ M َ ِ( َذOَ ْ ا َ ِ َُنIْ7ُ'ُ اI8J َ Cَ )َ ن ِإ َآَ َ)<ُمُ اِي َ ُُ<)َ َ َ#(,ن ا َ ُ ُْآK)َ َ )ِا َ#(, َم ا, َ َوLَ ْ8َ ْ ا"ُ ا2 َ َ َوَأ#(,ُ ا2ْPِ 101 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri selain seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan demikian disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… .” (QS al-Baqarah : 275). . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad