PERILAKU THAHARAH (BERSUCI)

advertisement
PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT KEMUNING
LAMPUNG UTARA “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh:
Khoirunnisa’
106043101305
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 H
PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKA BUKIT KEMUNING
LAMPUNG UTARA “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoler
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh:
Khoirunnisa’
106043101305
Di bawah bimbingan
Pembimbing
Drs. Noryamin Aini, MA.
NIP 19630351 99103002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2010 H
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan..……………….… 33
Tabel 3.2
Jumlah penduduk berdasarkan KK…………………………………. 34
Tabel 3.3
Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia………………………... 35
Tabel 3.4
Jumlah penduduk menurut agama………………...……….……….. 36
Tabel 3.5
Jumlah sarana peribadatan……………………………………….…. 37
Tabel 3.6
Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan………………….……. 39
Tabel 3.7
Jumlah sarana pendidikan……………………………..……………. 40
Tabel 4.1
Distribusi narasumber berdasarkan usia…………..…………...…... 42
Tabel 4.2
Distribusi narasumber berdasarkan jenis pendidikan……..….…..… 43
Tabel 4.3
Distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan…….…..…... 45
Tabel 4.4
Data narasumber berpengalaman mengikuti pendidikan agama..….. 46
Tabel 4.5
Distribusi narasumber dalam peran sosial keagamaan………...….…48
Tabel 4.6
Distribusi narasumber berdasarkan pemahaman thaharah……......... 50
Tabel 4.7
Data narasumber sumber pengetahuan tentang thaharah…………… 65
vi ­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
¯2lµƒo
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulias panjatkan atas
segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini Shalawat serta Salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepasa kita semua
dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi
berjudul
“PERILAKU
THAHARAH
(BERSUCI)
DI
MASYARAKAT BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA “TINJAUAN
SOSIOLOGI HUKUM” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar Serjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
i 1. Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH., MH., MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. A. Mukri Adji, MA dan Dr. Muhammad Taufiqi, M.Ag. Ketua
dan Seketaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Terimakasih atas waktu
nasehat dan solusinya selama ini.
3. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA. Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar
membimbing penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan harapan
dan ketentuan.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang penuh keiklasan mencurahkan ilmu pengetahuannya, bimbingan serta
motivasi kepada penulis selama masa studi.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas
kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.
6. Kepada Masyarakat Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara yang telah
membantu memberikan data, informasi dan literatur yang relevan dengan
penulisan skripsi ini
7. Keluarga tercinta, penulis haturkan terimakasih kepada ayahanda H. Suandi
dan Ibunda Hj. Rohani dan adinda Muhammad Shidiq Akbar dan Herlina
ii yang telah memberikan dukungan, do’a dan kasih sayangnya tanpa batas,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada shahabat, penulis haturkan terimakasih kepada Roni dan Fadilah yang
telah memberikan kontribusinya dalam penulisan skripsi ini, dan
9. Rekan-rekan jurusan PMH angkatan 2006 yang telah membantu dan
menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Dan Teman-teman Kosan
Ucha, Liana, Apriyanti, yang slalu memberikan support kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
Mudah-mudahan segala jasa dan pengorbanan akan mendapat balasan dari
Allah SWT. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi
berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Jakarta,
10 Muharrom 1432 H
16 Desember 2010 M
Penulis
iii DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...... iv
DAFTAR TABEL………………………………………………………………...... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………....... 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah……………………………………...... 3
C. Tujuan Penelitian………………………………………………….....….. 4
D. Review Studi Terdahulu……………………………………….....……... 5
E. Metode Penelitian………………………………………….....…………. 7
F. Sistematika Penelitian………………………………….....…………….. 8
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM
A. Signifikasi Thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan
lingkungan……………………………………………………………… 11
B. Kerangka Thaharah
1. Pengertian Thaharah………………………………...……………… 14
2. Jenis-jenis Thaharah.................…………..…………..............……. 15
3. Cara membersihkan najis.………......……………………………… 17
4. Standar suci…………………………………………………........... 20
C. Memahami Perilaku Hukum
1. Faktor dan Motif Tingkah laku seseorang…………………………. 21
2. Kesadaran Hukum………………………………………………..... 26
3. Kepatuhan dan ketaatan hukum…………………………..……...... 29
4. Budaya Hukum……………………………………………………. 30
iv
BAB III KOMUNITAS DESA BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA
A. Keadaan Geografis………………………………………………..…… 32
B. Keadaan Demografis…………………………………………………... 33
C. Keadaan Sosiologis………………………………………….…………. 35
1. Peran Keagamaan………………………………………….……….. 36
2. Peran Pendidikan………………………………………….……….. 48
BAB IV ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH
MASYARAKAT BUKIT KEMUNING
A. Identitas Sumber Data…………………………………..……………… 41
B. Pemahaman Masyarakat Tentang Thaharah……………………………. 48
C. Perilaku Bersuci Masyarakat…………………………………………… 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 71
B. Saran-saran…………………………………………………………….. 72
DAFTAR PUSKATA
73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu membahas thaharah pada awal
bab. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam.
Seseorang tidak memenuhi syarat untuk beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun
tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya
peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam penegakan tiang-tiang diin ini,
Rasulullah Saw. bersabda tentang thaharah, “ath-Thahuur (suci) itu sebagian dari
Iman”. (HR. Muslim)1
Thaharah memiliki urgensi yang sangat besar dalam Islam, baik yang hakiki,
seperti kesucian pakaian, tubuh, dan tempat shalat dari najis, maupun yang hukmi,
yaitu sucinya anggota wudhu dari hadats dan seluruh badan dari janabat. Hal ini
dikarenakan thaharah merupakan syarat yang harus senantiasa terwujud demi
kesahihan shalat yang minimal dilaksanakan lima kali sehari semalam. Disamping itu
mengingat mendirikan shalat berarti berdiri dihadapan Allah SWT, maka melakukan
thaharah berarti mengagungkan-Nya. Dengan demikian, melakukan thaharah berarti
menyucikan ruh dan jasad sekaligus. Islam menempatkan kebersihan atau kesucian
1
Al-Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, Jilid 1, (Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H)
1
2
sebagai sesuatu yang sangat penting, umpamanya saja kesahihan shalat ditentukan
oleh kesucian.
Ungkapan “Bersih Pangkal sehat” mengandung arti betapa pentingnya
kebersihan bagi kesehatan manusia, baik perorangan, keluarga, masyarakat maupun
lingkungan. Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingga orang yang
membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT.
Ajaran kebersihan dalam Agama Islam berpangkal atau merupakan konsekusensi dari
iman kepada Allah, berupaya menjadikan dirinya suci/bersih supaya berpeluang
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian kebersihan dalam Islam
mempunyai aspek ibadah dan aspek moral.
Disamping itu, thaharah dapat melindungi lingkungan dan masyarakat dari
penjalaran penyakit, kelemahan, dan kelumpuhan, karena ia mencuci anggota badan
yang lahir dan senantiasa akrab dengan debu, tanah dan kuman-kuman sepanjang
hari. Kemudian memandikan seluruh badan setiap sehabis janabah juga cukup
penting untuk melindungi badan dari berbagai kotoran, dan secara medis dapat
dibuktikan bahwa upaya pencegahan berbagai penyakit adalah kebersihan.
Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.
Thaharah merupakan hal yang sangat penting, tetapi dalam pelaksanaannya di
masyarakat urgensi thaharah cenderung diabaikan. Misalnya, dalam hal pemahaman
najis dan cara membersihkannya. Masih ada masyarakat yang mengangap sama
antara air kencing bayi laki-laki maupun perempuan. Ada juga yang beranggapan
3
bahwa air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan bukan termasuk najis. Padahal
dalam pembahasan kitab fiqh jelas disebutkan bahwa kencing bayi laki-laki dan
perempuan termasuk najis, serta berbeda tingkatan najis antara keduanya dan cara
membersihkannya pun harus sesuai tingkatan najis tersebut.
Melihat thaharah itu penting dan cenderung diabaikan dan bertentangan
dengan signifikasi thaharah itu dalam pembahasan kitab kuning, penulis mau melihat
seperti apa thaharah itu dipraktekkan oleh masyarakat. Maka pada skripsi ini, penulis
akan membahas bagaimana pemahaman masyarakat tentang thaharah, dan bagaimana
masyarakat menyikapi dan melaksanakannya. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk
mengangkat tema thaharah dalam pembahasan sosiologi hukum .
Berdasarkan pemikiran dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis,
maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut problematika tersebut dan
mengadakan penelitian dengan judul “Perilaku Thaharah (Bersuci) Masyarakat
Bukit Kemuning Lampung Utara “Tinjauan Sosiologi Hukum)”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, pembahasan mengenai thaharah
mempunyai cakupan yang cukup luas yaitu mengenai hadats dan najis. Tetapi dalam
penelitian ini, pembahasan hanya dibatasi pada masalah membersihkan najis.
Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang thaharah (bersuci)?
4
2. Bagaimana perilaku bersuci masyarakat dalam kerangka sosiologi hukum?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulis
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a.
Untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Bukit Kemuning
mengenai thaharah.
b.
Untuk mengetahui perilaku masyarakat dalam kerangka sosiologi
hukum.
2. Manfaat penelitian:
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:
a.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fiqh di
masyarakat dalam masalah thaharah.
b.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan
dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam
rangka mengembangkan pemikiran dan khazanah hukum Islam
khususnya dalam ilmu fiqh.
5
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Sejauh pengamatan penulis, judul Perilaku Thaharah (bersuci) di Mayarakat
ini belum disentuh oleh para penulis.
Ada beberapa skripsi yang telah membahas tema yang berkaitan dengan
thaharah dalam kaitannya dengan kajian hukum. Namun penulis belum menemukan
karya mirip dengan judul yang diangkat penulis. Adapun beberapa karya yang
mempunyai korelasi dengan permasalahan yang akan diangkat oleh penulis antara
lain:
1. Skripsi Muhson (0043119151) Tahun 2005 dengan judul “Studi Comparatif
tentang Najis yang dimaafkan menurut Empat Madzhab (Madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali)”. Jurusan: PMH/
Syari’ah dan Hukum/ 2005 M. Skripsi ini membahas tentang thaharah secara
umumnya, serta secara khusus mengenai najis yang dimaafkan menurut
madzhab empat. Keempat madzhab itu mewajibkan bersuci dari najis jika
seseorang hendak melaksanakan ibadah ritual. Tetapi mereka semua
mengakui akan adanya pengecualian-pengecualian yaitu adanya kemaafan
dari najis-najis yang sekalipun hukumnya tetap najis tetapi tidak diharuskan
untuk dibersihkan dengan adanya alasan-alasan tertentu.
2. Skripsi Abula’la al-Maududi (204043203066) Tahun 2010 dengan judul
“Tinjauan Medis dan Sosiologis terhadap Pembedaan Jenis Najis pada Air
6
Kencing Bayi”. Jurusan: PMH/ Syari’ah dan Hukum/ 2010 M. Skripsi ini
membahas tentang adanya perbedaan antara kencing bayi perempuan dan bayi
laki-laki di tinjau dari medis. Perbedaannnya adalah bayi laki-laki dan bayi
perempuan usia dibawah dua tahun, pada jumlah leukosit, epitel dan bakteri
dimana jumlahnya lebih dominan pada bayi perempuan dibandingkan bayi
laki-laki. Kencing bayi laki-laki lebih cair (tidak pekat) daripada kencing bayi
perempuan. Sedangkan ditinjau dari aspek sosiologisnya adalah najis pada
bayi perempuan bukan disebabkan oleh perbedaan gender laki-laki dan
perempuan atau dalam hal status sosiologis, akan tetapi lebih disebabkan oleh
kualitas urin yang berbeda karena anatomi/bentuk organ.
Karya-karya ilmiah di atas membahas tentang thaharah. Namun, masalah
tersebut dikaji dalam bentuk kajian pustaka. Skripsi pertama merupakan kajian
pustaka dengan membandingkan pendapat empat mazhab mengenai najis yang
dimaafkan. Sedangkan skripsi yang kedua membahas mengenai pembedaan najis
pada air kencing bayi dalam tinjauan medis dan sosiologis. Tentunya kedua skripsi
tersebut sangat berbeda dengan skripsi yang sedang penulis susun. Penulis
menggunakan kajian empiris tentang aspek thaharah yang berkembang di masyarakat.
Skripsi yang dibahas oleh penulis sendiri adalah skripsi yang berhubungan dengan
keadaan sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, penulis
mengkajinya
dengan
menggunakan
perspektif
sosiologi
hukum.
Dengan
menggunakan teori perilaku masyarakat, dari studi ini diharapkan didapat gambaran
7
yang obyektif tentang peranan-peranan yang berlaku dalam masyarakat tersebut,
sehingga dalam menilai perilaku tersebut dari segi hukum akan terlihat akurat.
E. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini studi kasus (case
study) yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci
masalah spesifik yang dihadapi.
1.
Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini adalah dilakukan dengan cara berikut:
a. Interview (wawancara)
Dilakukan oleh penulis kepada sejumlah narasumber sebanyak 25 orang dari
masyarakat desa tersebut, mereka terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan masyarakat biasa. Dalam hal ini penulis menggunakan metode interview
terpimpin dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide)
sebagai acuan agar proses interview terfokus pada permasalahan yang
dimaksud.
b. Tehnik Observasi
Dilakukan guna memperoleh data dari obyek perilaku masyarakat tentang
thaharah. Pengamatan secara sistematis dilakukan untuk memenuhi perilaku
individu/kelompok masyarakat dan kehidupannya dalam konteks thaharah.
8
Dengan hal ini penulis mengunakan metode observasi partisipan dan
observasi tak terstruktur (metode penelitian sosiologis). Observasi ini
dilakukan selama 2 Bulan, mulai bulan September hingga bulan Oktober
Tahun 2010. Selain itu, penulis juga adalah bagian dari masyarakat yang
diteliti.
2.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data yang
primer.
a. Sumber data yang primer adalah:
i. Narasumber, yakni orang atau keluarga yang dijadikan subyek penulisan,
dalam hal ini adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama, yang dianggap relevan dimintai keterangan.
ii. Informan, yakni orang memberikan informasi mengenai situasi dan
kondisi obyektif wilayah daerah yang diteliti masyarakat setempat dan
sebagiannya.
Selanjutnya penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan
skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri
atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan sebagai berikut:
9
BABI PENDAHULUAN
Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM
Bab ini terdiri atas: Signifikasi Thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan
keindahan lingkungan. Kerangka Thaharah (Pengertian Thaharah, jenis-jenis
thaharah, cara membersihkan najis, dan standar suci) dan Memahami Perilaku
Hukum (faktor dan motif tingkah laku seseorang, kesadaran hukum,
kepatuhan dan ketaatan hukum, dan budaya hukum).
BAB III KOMUNITAS MASYARAKAT BUKIT KEMUNING KABUPATEN
LAMPUNG UTARA
Bab ini meliputi Keadaan Geografis, Keadaan Demografis, dan Keadaan
Sosiologis (peran pendidikan dan peran keagamaan)
BAB IV ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH
MASYARAKAT BUKIT KEMUNING
Bab ini berisikan Identitas narasumber, Pemahaman Masyarakat tentang
Thaharah, dan Perilaku Bersuci Masyarakat.
10
BAB V PENUTUP
Terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM
Bab II ini akan membahas beberapa persoalan. Ada tiga hal yang dibahas.
Pertama signifikansi thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan
lingkungan. Kedua yaitu kerangka teori thaharah yang mencakup pengertian
thaharah, jenis-jenis thaharah, cara membersihkan najis dan standar suci. Adapun
ketiga yaitu memahami perilaku hukum, mencakup motif dan tingkah laku seseorang,
kesadaran hukum, kepatuhan dan ketaatan hukum, dan budaya hukum.
A. Signifikansi Thaharah terhadap Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan
Lingkungan
Kata bersih sering diungkapkan untuk menyatakan keadaan lahiriyah suatu
benda, seperti air bersih, lingkungan bersih, tangan bersih dan sebagiannya.
Terkadang kata bersih memberikan pengertian suci, seperti air suci. Tetapi biasanya
kata suci digunakan untuk ungkapan sifat batiniyah, seperti jiwa suci. Dalam hukum
Islam setidaknya ada tiga ungkapan yang menyatakan “kebersihan” yaitu1,
1. Nazhâfah dan Nazîf,
yaitu meliputi bersih dari kotoran dan noda secara
lahiriyah, dengan alat pembersihnya benda yang bersih seperti air.
1
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah )Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997(, h.
52.
11
12
2. Thahârah, yaitu mengandung pengertian yang lebih luas meliputi kebersihan
lahiriyah dan batiniyah.
3. Tazkiyah (penyucian)2, mengandung arti ganda yaitu membersihkan diri dari
sifat atau perbuatan tercela dan menumbuhkan atau memperbaiki jiwa dengan
sifat-sifat yang terpuji.
Dalam syariat Islam, pelaksanaan thaharah dapat membawa kebersihan lahir
dan batin. Orang yang bersih secara syara‟ akan hidup dalam kondisi sehat. Karena
hubungan antara kebersihan dan kesehatan sangat erat. Dalam suatu pepatah
dikatakan “kebersihan pangkal kesehatan”. Di samping itu, thaharah juga dapat
melindungi lingkungan dan masyarakat dari penularan penyakit, kelemahan, dan
kelumpuhan, karena thaharah mencuci anggota badan yang lahir dan senantiasa akrab
dengan debu, tanah, dan kuman-kuman sepanjang hari. Begitu pentingnya kebersihan
menurut Islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan
kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :
)٢٢٢:٢/‫ (انبقرة‬     
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”. (Al-Baqarah/2: 222)
Syariat Islam mengajarkan beragam thaharah. Umat Islam dalam thaharah
disyariatkan beristinja‟, berkumur-kumur, memasukan air ke hidung, menggosok gigi
(siwak), mencukur rambut dan lain-lain sebagainya. Seluruh kegiatan ini
2
Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu at-thaharah, Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2004), h. 13
13
mewujudkan kebersihan lahiriyah sekaligus mengantisipasi kedatangan penyakit.
Kemudian, untuk melaksanakan shalat, dan ibadah ghairu mahdhah lainnya, orang
Islam diwajibkan berwudhu. Wudhu di samping membersihkan lahiriyah juga
membersihkan diri secara batiniyah, karena shalat merupakan pendekatan diri kepada
Allah SWT yang menuntut kebersihan lahir dan batin.
Selain itu, thaharah mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan.
Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan alam,
lingkungan manusia dan lingkungan keluarga. Lingkungan alam adalah alam yang
berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang melakukan
interaksi dengan kita baik langsung maupun tidak langsung, dan dalam skala lebih
kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang terutama pada masa-masa awal kehidupannya3.
Dalam hubungan dengan hukum Islam, kebersihan dan keindahan lingkungan
ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah. Sebagai contoh, menurut syara‟
seseorang dilarang melakukan buang air besar atau kecil di tempat-tempat tertentu,
seperti di bawah pohon tempat orang berteduh, di dalam saluran air dan di tengah
jalan. Hal tersebut bertujuan untuk menyelamatkan kenyamanan dan kebersihan
lingkungan.
3
A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, h. 26
14
B. Kerangka Thaharah
1. Pengertian Thaharah
Secara etimologi kata “thahârah/ ‫ارة‬
َ َ‫ ”طَه‬adalah masdar atau kata benda yang
diambil dari kata kerja ‫ طَهَ َر – يَطٌهُ ُر‬yang berarti bersuci4. Sedangkan menurut istilah
thahârah mempunyai banyak definisi sebagaimana dikemukakan oleh para imam
mazhab5 berikut ini:
a. Hanafiyyah: thaharah adalah membersihkan hadats dan khobats.
b. Malikiyyah: thaharah adalah sifat hukum yang diwajibkan sifat itu agar
bisa melaksanakan shalat, dengan pakaian yang membawanya untuk
melaksanakan shalat, dan pada tempat untuk melaksanakan shalat.
c. Syafi‟iyyah: thaharah adalah suatu perbuatan yang mengarah untuk
memperbolehkan shalat dari berupa wudhu, membasuh, tayamum, dan
menghilangkan najis.
d. Hanabilah: thahaharah adalah menghilangkan hadats dan apa-apa yang
semacamnya, dan menghilangkan najis.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa thaharah ada dua macam yaitu
bersuci dari hadats yang khusus pada tubuh secara hukum dan bersuci dari najis pada
tubuh, pakaian dan tempat. Bersuci dari hadats itu ada tiga macam, yaitu thaharah
kubra (mandi), thaharah shugra (wudhu), dan pengganti keduanya manakala
4
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 868
5
Abdurrahmn al-Jaziry, Kitabul al-Fiqhul ala Madzhib al ar-ba’ah, Jilid 1, (Cairo: atTijariyah al Kubro, T.th), h. 1-4
15
keduanya tidak dapat dilakukan (tayammum). Sedang bersuci dari najis juga ada tiga
macam, membersihkan diri, menyapu dan memercikkan air.6
2. Jenis-jenis Thaharah
Berdasarkan dalil qathi yang telah disepakati bahwa thaharah itu wajib
menurut syara‟. Salah satu dalilnya adalah perintah wudhu dan mandi jinabah
sebagaimana tercantum dalam QS. al-Maidah (5): 6 berikut ini:
            
)٦: ۵/‫ (انمآئذه‬         
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub Maka mandilah”. (QS. al-Maidah/5 : 6)
Thaharah yang wajib itu adalah wudhu, mandi janabah, mandi haid, mandi
nifas, (bersuci dengan air), tayamum sebagai penggantinya (bersuci dengan tanah)
manakala tidak ada air atau seseorang berhalangan menggunakannya, atau
menghilangkan najis.
Adapun sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat
dipergunakan untuk berwudhu atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk
bertayamum, sebagaimana ganti dari wudhu atau mandi. Kedua sarana ini digunakan
untuk bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Para fuqaha sepakat tentang
6
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu. Penerjemah Masdar Hilmy Jilid 1,
(Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004), h. 5
16
kebolehan bersuci dengan air yang suci atau air mutlak, yaitu air yang hanya disebut
“air” tanpa embel-embel sifat, seperti air musta’mal atau embel-embel nisbah, seperti
air mawar.
Adapun air sebagai sarana thahârah terdapat beberapa macam7:
a. Air Mutlak, ialah air suci lagi mensucikan. Air mutlak ini terdapat beberapa
definisi. Sebagian pendapat menyatakan bahwa air mutlak ialah air yang
dalam penyebutannya lepas dari segala ikatan apapun yang sifatnya tetap.8
Kemudian menurut definisi yang lain, bahwa air mutlak ialah air yang tetap
menurut keadaan aslinya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air
hujan, salju, air embun, air mata air, air sumur, air sungai dan air laut.
b. Air Musyammas, yaitu air yang terkena langsung panas matahari. Air tersebut
adalah suci, karena ia tidak terkena najis dan mensucikan, yakni dapat
menghilangkan hadas dan najis karena ia masih tetap disebut air mutlak.
Namun terdapat perbedaan di kalangan ulama‟ dalam menggunakan air yang
panas karena matahari dapat menimbulkan penyakit belang. Air seperti ini
dihukumi makruh.
c. Air Musta‟mal, yaitu air suci namun tidak menyucikan. Ia adalah air yang
sudah dipakai untuk mengangkat hadats atau bentuk ibadah lainnya seperti
7
8
A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, h. 20
Al-Iman Taqiyuddin Abubakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, Jilid 1, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu Offset, 1997), h, 11
17
memperbarui wudhu. Air yang jenis ini makruh dipakai untuk mengangkat
hadats akan tetapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis.9
d. Air Mutanajis. Air ini terdapat dua keadaan yaitu: pertama bila najis itu
mengubah salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Dalam keadaan ini
para ulama‟ sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci. Kedua
bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara ketiga
sifatnya tadi tidak berubah. Hukum air seperti ini suci dan menyucikan.10
Di samping empat air yang disebut di atas, para ulama sepakat tentang
kebolehan bersuci dengan daun dan batu ketika beristinja yaitu ketika luarnya, baik
air kencing maupun faces11, selagi najisnya wajar. Demikian halnya mereka juga
sepakat atas disyaratkannya bersuci dengan tanah sebagai thaharah hukmiyah dan
atas sucinya khamar menjadi cuka.
3. Cara menghilangkan najis
Najis adalah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikannya, dan
menyucikan apa yang dikenainya.12
9
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salâm, jilid I, (Bandung: Maktabah Dahlan,
t.t.h), h. 30
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Mahyuddin Syaf, Jilid 1, (Bandung: PT.
Alma‟arif, 2003), h, 34
11
12
Faces (Biologi): kotoran manusia
Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008), h. 33
18
Allah SWT berfirman:
)٧:٤٧/‫ (امذثر‬ 
Artinya: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Mudatstsir/74: 4).
Najis dibagi ke dalam tiga tingkat yaitu Najis Mughallazhah (tebal, berat),
Najis Mukhaffafah (ringan/enteng) yaitu air kencing laki-laki yang belum memakan
suatu makanan apapun selain air susu ibunya, dan Najis Mutawassithah
(pertengahan/sedang). Adapun najis sedang ini dibagi menjadi dua bagian yaitu13:
a. Najis „Ainiyyah, yaitu najis yang bendanya berwujud, seperti darah,
nanah, air kencing dan sebagainya.
b. Najis Hukmiyyah, yaitu najis yang bendanya tidak berwujud, seperti
bekas kencing, arak yang sudah kering.
Dalam hal ini, terdapat dua macam benda najis yang menjadi suci dengan
sebab peralihan sifat, yaitu najis yang disamak dan khamar dengan beralih menjadi
cuka. Selain kedua macam ini, tidak ada zat najis yang menjadi suci atau disucikan.
Namun, sesuatu yang dikenai najis dapat dibersihkan kembali dengan cara tertentu
sesuai dengan jenis najis yang mengenainya. Dalam hal ini, ada tiga macam cara
membersihkan najis yaitu14:
1) Menurut jumhur ulama, jika suatu benda terkena najis yang berasal dari anjing
dan babi, seperti kotorannya, air liurnya dan lain-lain, maka cara
13
Moh. Rifa‟I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h, 49.
14
Lahmuddin Nasution, Fidh 1, (Jakarta: Purtaka Setia, 2001), h. 51.
19
menyucikannya ialah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh kali, satu
kali di antaranya dicampurkan debu/tanah. Adapun salah satu di antaranya
dicampur dengan tanah berdasarkan hadits Rasul SAW:
15
)‫ ثُ َّم ْنيَ ْغ ِس ْههُ َس ْب َع ِم َرار (رواه مسهم‬: ُ‫إِ َرا َونَ َغ ْان َك ْهبُ فِي إِنَا ِء أَ َح ِذ ُك ْم فَ ْهي ُِر ْقه‬
Artinya:“Apabila ada anjing menjilat kedalam menjana dari kalian, maka
bersihkanlah dengan tanah, kemudian membasuhnya tujuh kali".
(HR. Muslim)
2) Khusus untuk membersihkan sesuatu yang terkena kencing anak laki-laki
yang belum memakan makanan cukup dipercikan dengan air. Cara ini
sesuai dengan hadits A‟isyah ra. Bahwa seorang anak yang masih
menyusu dibawa kepada Rasulullah saw. Lalu anak itu kencing
dipangkuan beliau, Rasulullah saw, meminta air, kemudian beliau
menyiraminya, tetapi tidak sampai membasuhnya16. Ulama juga
membedakan cara membersihkan antara kencing bayi laki-laki dan
kencing bayi perempuan itu berdasarkan hadits sebagai berikut:
17
)‫صبِ ِّي (رواه انبخاري و أبى داود‬
َّ ‫اريَ ِت َوي َُرشُّ بَىْ ُل ان‬
ِ ‫يُ ْغ َس ُم بَىْ ُل ْان َج‬
Artinya:“Kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram, dan
kencing bayi laki-laki diciprati air”. (HR. Bukhari dan Abu
Dawud)
15
Al-Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, Jilid 1, (Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H), h. 131
16
Ibn Rušyd al-Qurţubi, Bidāyat al-Mujtahid wan Nihāyat al-Muqtaşid, Jilid 1, (Bairut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007), h, 84
17
Al-Iman Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim ibnu al-Mughiroh al-Bukhori,
Shohih al-Bukhori,Jilid 1, (Bairut: Dar al-Fikri, 1994M/1414H), h. 70
20
Menurut para ulama, hukum kencing bayi laki-laki dibedakan dari
bayi perempuan karena air kencing bayi perempuan lebih bau dan lebih
kotor daripada kencing bayi laki-laki.18
3) Cara membersihkan najis lainnya, dibedakan berdasarkan keadaannya
yaitu najis „ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya) atau hukmiy (yang zat
dan sifat-sifatnya tidak ada lagi), seperti kencing yang telah kering.
a) Najis „ainiy adalah najis yang bendanya berwujud, seperti darah,
nanah, air kencing dan sebagainya. Cara mennyucikannya dengan
menghilangkan zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau dan
warnanya, kemudian menyiram dengan air sampai bersih lalu
dikeringkan. Bau dan warna yang sangat sukar hilangnya dapat
dimaafkan.19
b) Sedangkan najis hukmiy Cara menyucikannya cukup dengan
mengalirkan air pada bekas najis itu.
4. Standar Thaharah
Di dalam kamus ilmiah, kata standar berarti alat penopang atau yang dipakai
untuk menjadi patokan.20 Adapun disebut standar thaharah yaitu patokan atau ukuran
18
Yusuf Qardhawi, Fiqhu at-thaharah, h. 59.
19
Khatib al-Syarbaini, Al-Iqnâ’filhall Alfâzi Abî Syujâ’i, (Bandung: Al-Ma‟arif, T.th), h, 77.
20
Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer lengkap, (Yogyakarta: Absolut, 2004), h. 486.
21
sesuatu di katakan suci/bersih. Dalam hal ini, kajian-kajian fiqh khususnya dalam bab
thaharah tidak menjelaskan secara konkrit apa yang disebut dengan standar thaharah.
Adapun disebut standar thaharah atau yang menjadi tolak ukuran sesuatu itu
dikatakan suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu:
a. Warna. Apabila wujud najis itu sudah tidak terlihat lagi oleh pancaindra;
b. Bau. Apabila aroma bau yang terdapat dalam najis sudah tidak tercium;
c. Bentuk atau wujudnya.
Maka dari itu, tiga sifat tersebut harus terpenuhi jika seseorang akan membersihkan
najis yang merupakan suatu tolak ukur dikatakan suci/bersih.
C. Memahami Perilaku Hukum
1. Faktor dan Motif Tingkah Laku Seseorang
Motivasi dapat diartikan suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri
manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan organnya.
Sedangkan kata motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang
berbuat sesuatu/melakukan tindakan tertentu. Dalam suatu motif umumnya terdapat
dua unsur pokok, yaitu unsur dorongan/kebutuhan dan unsur tujuan. Proses interaksi
timbal balik antara kedua unsur di atas terjadi di dalam diri manusia, namun ia dapat
dipengaruhi hal-hal di luar diri manusia, misalnya keadaan cuaca, kondisi lingkungan
dan sebagainya. Oleh karena itu dapat saja terjadi suatu perubahan motivasi dalam
22
waktu yang relatif singkat, jika terjadi motivasi yang pertama mendapat hambatan
atau tidak mungkin dipenuhi.21
Adapun pengertian perilaku dalam kamus ilmiah adalah tindakan, perbuatan,
atau sikap.22 Oleh sebab itu setiap manusia memiliki apa yang dinamakan perilaku
(behavior), yaitu suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari
manusia. Salah satu unsur perilaku adalah gerak sosial (social action), yakni suatu
gerak yang terikat dalam empat syarat,23 yaitu:
a. Diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
b. Terjadi pada situasi tertentu,
c. Diatur oleh kaedah-kaedah tertentu,
d. Terdorong oleh motivasi tertentu
Adapun beberapa teori yang menjelaskan tentang motivasi dan perilaku
sebagai berikut.24
1) Teori Kognitif
Manusia adalah makhluk rasional. Berdasarkan rasionya manusia bebas
memilih dan menentukan apa yang akan dia perbuat, entah baik maupun buruk.
Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya.
21
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, (Yogyakarta: Kanisus, 1992), h.
22
Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer lengkap, h. 394
10.
23
Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta:Rajawali
Pers,1983), h. 6.
24
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 11.
23
Makin intelegen dan berpendidikan, seseorang otomatis akan semakin lebih baik
perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatanperbuatan untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Dalam teori ini, tingkah
laku tidak digerakkan oleh motivasi, melainkan oleh rasio. Setiap perbuatan yang
dilakukannya sudah dipikirkan alasan-alasannya. Oleh karena itu setiap orang
sungguh-sungguh bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
2) Teori Hedonistis
Bila di dalam teori kognitif sangat ditekankan soal rasio dan kehendak, di
dalam teori hedonistis hal itu justru tidak dihiraukan. Teori ini mengatakan bahwa
segala perbuatan manusia, baik disadari maupun tidak baik itu timbul dari
kekuatan luar maupun dari kekuatan dalam, pada dasarnya mempunyai tujuan
tunggal yaitu mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang
menyakitkan.
Di dalam teori ini tingkah laku seseorang itu dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu tingkah laku mendekati rangsangan yang dirasa akan membawa kenikmatan
dan tingkah laku menjauhi rangsang yang dirasa akan membawa rasa tidak enak.
Unsur pokok motivasi adalah antisipasi. Teori hedonistis ini menggunakan
“affective arousal model” yang intinya mengatakan bahwa setiap rangsang pada
24
hakikatnya telah membawa keadaan yang menimbulkan rasa enak atau tidak
enak.25
3) Teori Insting
Setiap orang telah membawa “kekuatan biologis” sejak lahirnya. Kekuatan
biologis ini membawa seseorang bertindak menurut cara tertentu. Demikianlah
dasar pemikiran naluri. Kekuatan naluriah yang seolah-olah memaksa seseorang
untuk berbuat dengan cara tertentu, untuk mengadakan pendekatan kepada
rangsang dengan jalan tertentu. Kesadaran nurani, disebut dengan nilai-nilai
batiniyah dan sikap-sikap yang terkait, pemahaman mengenai apa yang sah dan
yang tidak dan apa yang layak dan tidak pantas dipatuhi.26
4) Teori Keseimbangan
Teori keseimbangan (homeostasis) berpendapat bahwa tingkah laku manusia
terjadi karena adanya ketidakseimbangan di dalam diri manusia. Teori ini sangat
erat hubungannya dengan teori dorongan yang akan dibahas kemudian. Bila digali
lebih jauh teori keseimbangan ini menghasilkan dua bentuk tingkah laku yaitu
tingkah laku mendekat untuk mencari keseimbangan, dan tingkah laku menjauh
untuk menghindari terjadinya keadaan tidak seimbang. Misalnya seorang yang
terkena panas sinar matahari, akan pergi ketempat teduh untuk menghindari
25
26
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 12
Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim
(Bandung: Nusa Media.2009), h.80
25
panasnya matahari, (menjauh), tetapi sekaligus mencari keseimbangan baru
(mendekat).
5). Teori Dorongan
Teori dorongan ini diperkenalkan oleh Robert Woodworth pada tahun 1918.
Pada waktu itu Woodworth mengartikan dorongan sebagai suatu tenaga dari
dalam diri kita yang menyebabkan kita berbuat sesuatu. Oleh karena itu kata
motif juga mempunyai arti dorongan yang menimbulkan dan mengarahkan
tingkah laku manusia.
Pada penjelasan di atas, proses terjadinya tingkah laku, dan juga peran motif
di dalam menggerakkan tingkah laku manusia, secara singkat dapat dikatakan bahwa
kejadian tingkah laku dapat disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh
individu. Individu bertingkah laku, karena dia ingin memuaskan kebutuhan yang
dirasakannya. Kebutuhan yang dirasakan individu ditimbulkan oleh suatu dorongan
tertentu, dan kebutuhan yang terdapat dalam diri individu tersebut menimbulkan
motif untuk berbuat memenuhi kebutuhan. Motif diarahkan pada suatu tujuan konkrit
yang diduga dapat memuaskan kebutuhan yang dirasakan, maka individu berbuat
sesuatu untuk mencapai tujuan konkrit itu. Dengan demikian dapatlah dibuat skema
proses terjadinya tingkah laku27.
27
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 51
26
Diagram: Skema Alur Prilaku
KEBUTUHAN
MOTIF
PERBUATAN
TUJUAN
DORONGAN
MOTIVASI
2. Kesadaran Hukum
Kesadaran artinya keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani dalam
mengakui dan mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntunan yang terdapat di
dalamnya. Kesadaran hukum artinya tindakan dan perasaan yang tumbuh dari hati
nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu atau masyarakat untuk
melaksanakan pesan-pesan yang terdapat dalam hukum. Kesadaran hukum dapat
diartikan sebagai proses imanasi normatif, yakni kesatuan transendental antara
kehidupan manusia yang isoterik dengan peraturan dan hukum yang membawa
kehidupan pribadi dan sosialnya.28
Banyak ahli sosiologi memberikan definisi tentang kesadaran dan definisi
merekapun cukup beragam, umpamanya yang dikemukakan oleh AW.Widjaja.29 Dia
menjelaskan bahwa kesadaran dapat berjalan seimbang, selaras dan serasi dan sesuai
dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia dan masyarakat jika peraturan tersebut
sesuai dengan kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat. Dalam buku Kesadaran
28
29
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung: Putaka Setia, 2007), h, 197
AW. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, (Jakarta:CV. Era
Swasta, 1984), h.52
27
Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila ini terdapat dua penjelasan kesadaran,
yaitu:
a. Kesadaran kehendak yang berupa tindakan, perbuatan, sikap dan perilaku
manusia yang bersifat rohaniah dan batiniah yang bersumber pada adat,
kebiasaan berupa kesadaran moral dan etika dan tanggung jawab.
b. Kesadaran hukum berupa tindakan, perbuatan, sikap dan perilaku manusia
sebagai anggota masyarakat bersifat jasmaniah/ lahiriah yang bersumber pada
ketentuan dan peraturan berupa kesadaran hukum disertai dengan tanggung
jawab.
Oleh karena itu, baik kesadaran kehendak (dinamis) dan kesadaran hukum
(statis) itu bersifat manusiawi, tidak sebagai robot yang selalu dipaksakan. 30 Adapun
yang dimaksud dengan kesadaran hukum juga mempunyai arti keadaan masyarakat
yang tahu, mengerti dan merasa akan perintah-perintah dan larangan-larangan hukum,
dan mau meninggalkan larangan tersebut dengan tanpa adanya paksaan atau tekanan,
baik fisik maupun psikis, dan dari manapun datangnya31.
Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan
satu tahapan bagi tahapan berikutnya.32 Yaitu:
30
AW. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, h.16.
31
Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum. (Jakarta:
Proyek Pembinaan Kemahasiswaan, 1985), h. 1.
32
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Alumni,
1993), h.40.
28
1) Pengetahuan hukum merupakan pengetahuan seseorang mengenai beberapa
perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Maksud disini adalah pengetahuan
seseorang terhadap hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis, serta
menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum atau perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum.
2) Pemahaman hukum
dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang
dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Artinya
seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman
mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dalam segi isinya. Pengetahuan
hukum dan kesadaran/ketaatan hukum, secara teoritis bukan merupakan dua
indikator saling bergantung, akan tetapi seseorang yang berperilaku sesuai
dengan aturan norma mungkin tidak menyadari apakah perilaku tersebut
sesuai dengan pengetahuan hukum atau tidak.
3) Sikap terhadap peraturan hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima
hukum karena adanya suatu penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu
yang dimanfaatkan atau yang menguntungkan jika hukum itu ditaati. Artinya
seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu
terhadap hukum yang ditaati.
4) Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum,
karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat. Dengan demikian sampai sejauh mana kesadaran hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.
29
3. Kepatuhan dan Ketaatan terhadap Hukum
Kesadaran
hukum
berkaitan
dengan
kepatuhan
hukum.
Hal
yang
membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi. Hal ini
merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah
dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang
ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Indikator kesadaran hukum adalah
pengetahuan hukum, pemahaman hukum dan sikap hukum. Adapun pola perilaku
hukum adalah kepatuhan. Ada sanksi positif dan negatif. Ketaatan merupakan
variabel tergantung. Ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh
dengan dukungan sosial. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
mematuhi hukum.33 Yaitu:
a. Compliance: kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan
usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan
apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang
ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
b. Identification: terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena
nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta
ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan
kaidah kaidah hukum tersebut.
33
328
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h,
30
c. Internalization: Seseorang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan
secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai
nilainya dari pribadi yang bersangkutan. Dan kepentingan kepentingan para
warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada.
4. Budaya Hukum
Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat
menghindarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan
budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Sementara itu L.M.
Friedmann34 mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen
dimaksud adalah: struktur, substansi, dan kultur atau budaya.
Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai kultur atau budaya hukum, yaitu
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Selanjutnya Friedmann merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum.35 Berikut
sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif
kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau
ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum.
34
Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 17
35
Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 18
31
Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh
tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa hal yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan
sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan
menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Friedmann juga membedakan budaya hukum menjadi external and
internal legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu36 mengelaborasi hal ini lebih lanjut
yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda
dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan
pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat
merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang.
Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang
terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa,
“penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan
masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah
karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem
hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu
sendiri”.
36
Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Hukum
UNDIP Semarang, 2001,. h, 11
BAB III
KOMUNITAS DESA BUKIT KEMUNING KABUPATEN LAMPUNG UTARA
A. Letak Geografis
Secara Georgrafis Kelurahan Bukit Kemuning merupakan bagian dari wilayah
Kecamatan Bukit Kemuning Lampung Utara yang terletak di jalur lintas Sumatera
dengan posisi 1400 bujur Timur dan 4450 lintang Selatan. Luas wilayah
+
17.000
hektare, dengan batas-batas:
o Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Desa Muara Aman
o Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sukamenanti
o Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tanjung baru Timur
o Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Way Kanan
Penduduk Desa Bukit Kemuning terdiri dari berbagai macam suku yaitu Suku
Semendo, Ogan, Jawa, Sunda, Padang, Lampung dan Batak. Mata pencarian
penduduk mayoritas pada sektor pertanian dan perdagangan. Secara topografis,
wilayah Kelurahan Bukit Kemuning sebagian besar daerahnya merupakan daerah
tinggi. Iklim Kelurahan Bukit Kemuning dapat dikategorikan iklim sejuk.1
Adapun luas wilayah Kecamatan Bukit Kemuning terbagi dalam 14
lingkungan dengan masing-masing luas wilayah Kelurahan Bukit Kemuning sebagai
berikut:
1
Buku Monografi Kecamatan Bukit Kemuning, 2005, h. 5
32
33
Tabel 3.1
Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan
No
Lingkungan
Luas wilayah
1
Luas wilayah I
1.57 KM2
2
Luas wilayah II
1.48 KM2
3
Luas wilayah III
1.37 KM2
4
Luas wilayah IV
1.19 KM2
5
Luas wilayah V
1.05 KM2
6
Luas wilayah VI
1.26 KM2
7
Luas wilayah VII
1.05 KM2
8
Luas wilayah VIII
0.98 KM2
9
Luas wilayah IX
1.06 KM2
10
Luas wilayah X
1.15 KM2
11
Luas wilayah XI
1.07 KM2
12
Luas wilayah XII
1.68 KM2
13
Luas wilayah XIII
1.47 KM2
14
Luas wilayah XIV
0.52 KM2
JUMLAH
17.0 KM2
Sumber: Data Lapangan 2010
B. Keadaan Demografis Kelurahan Bukit Kemuning
Berdasarkan data monografis kelurahan Bukit Kemuning bulan Juni 2010
tercatat ada 18.129 jiwa yang mendiami kelurahan Bukit Kemuning dengan
persentase antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan relatif seimbang.
34
Kelurahan Bukit Kemuning mempunyai jumlah penduduk per tahun 2010
sebanyak 18.129 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki 9.163 jiwa dan perempuan 8.966
jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) 4.157 KK dengan perincian data sebagai berikut:
Tabel 3.2
Jumlah penduduk berdasarkan KK
Jumlah Jiwa
NO
Lingkungan
KK
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
I
338
827
780
1.607
2
II
452
903
901
1.804
3
III
433
905
894
1.799
4
IV
362
862
829
1.691
5
V
261
738
728
1.466
6
VI
469
935
953
1.888
7
VII
325
773
782
1.555
8
VIII
443
928
925
1.853
9
IX
246
699
680
1.379
10
X
167
397
382
779
11
XI
133
259
254
513
12
XII
141
277
258
535
13
XIII
223
362
346
708
14
XIV
164
298
254
552
4.157
9.163
8.966
18.129
Jumlah
Sumber Laporan : Kelurahan Bukit Kemuning Tahun 2010
35
Berikut ini adalah tabel data mengenai jumlah jiwa berdasarkan klasifikasi
usia, yaitu:
Table 3.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Usia
No
Klasifikasi Usia
Jumlah Jiwa
%
1
0-4
1.707
9
2
5-9
1.693
9
3
10-14
1.617
9
4
15-19
2.026
11
5
20-24
1.922
11
6
25-29
2.394
13
7
30-39
2.699
15
8
40-49
2.363
13
9
50-59
1.132
6
10
60+
576
3
18.129
100
Jumlah
Sumber: Data Lapangan 2010
C. Keadaan Sosiologis
Masyarakat (warga) yang mendiami Kelurahan Bukit Kemuning, umumnya,
adalah masyarakat transmigran seperti halnya masyarakat kota yang heterogen yang
mana didalamnya terdiri dari berbagai macam suku. Suku yang mayoritas
mendomisili adalah Suku Sunda mereka berasal dari daerah Jawa Barat dan Suku
Semendo berasal dari daerah Sumatra Selatan. Adapun suku-suku yang minoritas
36
adalah Ogan, Jawa, Padang, Lampung dan Batak. Kesukuan yang beragam tetap
menjadikan faktor utama yang menyediakan pola hidup masyarakat di Kelurahan
Bukit Kemuning dalam lingkungan kebersamaan, aman, damai, dan dapat
menghilangkan perbedaan. Berikut penjelasan keadaan sosiologis Kelurahan Bukit
Kemuning:
1. Bidang Keagamaan
Masyarakat Kelurahan Bukit Kemuning mayoritas beragama Islam.
Agama Islam menjadi nilai-nilai tersendiri dalam tata kehidupan bermasyarakat,
yang mana dengan agama akan terasa lebih mudah untuk mencapai suatu
keinginan bersama. Sebab agama menjadi faktor pemersatu masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan sosial. Adapun jumlah penduduk Kelurahan Bukit Kemuning
yang beragama Islam sebanyak 18129 jiwa dan pemeluk agama lain yang ada di
Kelurahan Bukit Kemuning di antaranya Kristen 64 jiwa, agama Hindu 2 jiwa,
dan agama Budha berjumlah 23 jiwa.
Tabel 3.4
Jumlah Penduduk menurut Agama
No
1
2
3
4
5
Agama
Islam
Kristen
Hindu
Budha
Aliran Kepercayaan lainya
Jumlah
Sumber : Monografi 2010.
Jiwa
18.040
64
2
23
18.129
37
Adapun dalam ibadah dibutuhkan yang namanya tempat/sarana ibadah
agar terjalinnya suatu masyarakat yang dinamis. Sarana peribadatan bagi
masyarakat setempat cukup memadai. Terdapat Masjid 19 buah dan mushalla 15
buah. Sedangkan bagi mereka yang beragama lain selain Islam tidak memiliki
tempat ibadah dan mereka melakukan peribadatannya di rumah mereka sendiri.
Sarana tempat ibadah di Bukit Kemuning dapat dilihat di tabel berikut:
Tabel 3.5
Jumlah sarana pribadatan
No
Sarana kepribadatan
Jumlah
1
Masjid
19
2
Mushalla
15
3
Gereja
-
4
Vihara
-
5
Pura
-
Sumber : Monografi 2010
Adapun tempat/sarana ibadah untuk agama Kristen yang disebut dengan
gereja itu terdapat satu tempat. Sebagai gantinya, ada satu rumah kosong yang
dijadikan tempat berkumpulnya kelompok penganut agama Kristen. Kelompok
penganut agama Kristen menganggap rumah itu gereja. Namun, di
pemerintahan daerah, tempat tersebut tidak diakui atau disebut ilegal.
Berbeda halnya dengan sarana agama Kristen, agama Islam memiliki
tempat yang begitu memadai. Namun, uniknya tempat ibadah atau masjid yang
38
berada di lingkungan masyarakat Bukit Kemuning tergolong berkelompokkelompok. Dikatakan berkelompok, mengingat bahwa masyarakat Bukit
Kemuning adalah masyarakat transmigran yang di dalamnya terdapat berbagai
macam suku.2
Masjid merupakan tempat ibadah, tempat masyarakat berbagi dalam
ilmu agama dan tempat perkumpulan pengajian-pengajian. Ini menunjukkan
bahwa masjid merupakan salah satu tempat perkumpulan umat Islam. Bedanya
di daerah Bukit Kemuning ini, terlaksananya kegiatan yang ada di masjid
tergantung kepada lingkungan rumah yang berada di sekitarnya.
2. Bidang Pendidikan
Masyarakat
di
Kelurahan
Bukit
Kemuning
pada
umumnya
berpendidikan sekolah dasar (SD), SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Namun
ada juga masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan, yakni,
sebanyak 1832 jiwa. Ini menunjukkan bahwa terdapat bermacam ragam
pendidikan di masyarakat Bukit Kemuning. Hal ini dapat dilihat di tabel 3.6
sebagai berikut:
2
Wawancara pribadi dengan aparat desa senen, 4 Oktober 2010
39
Tabel 3.6
Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan
No
Tingkat Pendidikan
Jiwa
1
Tidak sekolah
1.832
2
Taman kanak-kanak
2.930
3
SD/Sederajat
5.102
4
SMP/MTS
4.420
5
SMA/MA
3.531
6
D3
219
7
S1
95
Sumber : Monografi 2010.
Berdasarkan tabel di atas mayoritas masyarakat Bukit Kemuning
mengenyam bangku pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Bukit
Kemuning sudah memilki perhatian yang cukup baik terhadap pendidikan.
Tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada keilmuan yang
mereka dapatkan, yakni keterkaitan ilmu keagamaan dalam memahami ilmuilmi fiqh khususnya di bidang thaharah. Contoh masyarakrat yang bersekolah di
tingkat SMP mereka dalam memahami ilmu agama masih kurang baik. Berbeda
dengan masyarakat yang mendapat pendidikan agama seperti di sekolah MTs
dan MA.
Dalam hal tingkat pendidikan, dan adanya kegiatan belajar mengajar ini
disukseskan dengan adanya sarana pendidikan yang memadai dengan kualitas
yang cukup baik. Adapun sarana pendidikan tersebut adalah:
40
Tabel. 3.7
Jumlah sarana pendidikan
No
Sarana pendidikan
Jumlah
1
SD
10
2
Ibtidaiyah
3
3
SMP
2
4
MTs
2
5
SMA
1
6
MA
2
7
STAI
1
Jumlah
17
Sumber: data monografi 2010
Berdasarkan tabel di atas, sarana pendidikan di daerah ini cukup
memadai. Adapun untuk pendidikan keagaman di wilayah Kecamatan Bukit
Kemuning di samping madrasah-madrasah juga terdapat satu pondok pesantren
dan majlis ta’lim sebanyak 6 buah. Selain itu, banyak dilaksanakan pengajianpengajian setiap minggu.
BAB IV
ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH
MASYARAKAT BUKIT KEMUNING
A. Identitas Sumber Data
Data penelitian dalam skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara dengan 25
narasumber, yang terdiri dari 23 orang dari masing-masing keluarga yang terpilih
menjadi narasumber, dan 2 orang tokoh agama. Data yang diperoleh penulis
berdasarkan narasumber yang ada pada Kelurahan Bukit Kemuning, yang secara
langsung diberikan oleh pihak kelurahan setempat.
Pada bagian pertama ini, terlebih dahulu penulis kemukakan mengenai
identitas sumber data yang terdiri dari usia, pendidikan (tingkat pendidikan dan jenis
pendidikan), pengetahuan agama dan peran sosial keagamaan. Pengetahuan tentang
identitas sumber data diharapkan dapat menjadi satu bahan pertimbangan dalam
membuat kesimpulan nanti karena pengetahuan identitas sumber data dapat
mempermudah penulis dalam menganalisis permasalahan yang terjadi. Misalnya:
pendidikan akan berpengaruh terhadap pemahaman narasumber mengenai pemaknaan
dan peralaksanaan tentang thaharah.
1. Data narasumber berdasarkan usia.
Faktor usia dapat menentukan pola fikir dan skala kematangan seseorang
dalam berfikir dan mengambil sikap. Oleh karena itu, menjadi penting untuk
41
42
diketahui usia narasumber. Pemahaman mengenai thaharah mereka bisa diperoleh
melalui pendidikan formal keagamaan, kebiasaan yang mereka lakukan dalam
bersuci, juga dari pemahaman yang berkembang di lingkungannya. Pengalaman
mereka dalam pelaksanaan thaharah bisa didapat dari proses melihat dan meniru, atau
dari pengetahuan mengenai aturan yang ada pada kitab fiqih.
Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan usia.
Tabel 4.1
No
Usia
f
%
1
15-25 Tahun
3
12
2
26-35 Tahun
10
40
3
36-50 Tahun
8
32
4
Diatas 50 Tahun
4
16
25
100
Jumlah
Sumber: Diolah dari data lapangan tahun 2010
Dari tabel di atas terlihat bahwa usia narasumber beragam. Namun demikian,
umumnya yang menjadi narasumber adalah antara usia 26 – 50 tahun.
2. Data narasumber berdasarkan latar belakang pendidikan
Jenis pendidikan dapat menentukan pada pemahaman seseorang mengenai
wawasan, pengetahuan dan keilmuan yang dimilikinya.
Masyarakat
yang
mendapatkan pendidikan umum yang formal, mendapatkan pembelajaran mengenai
thaharah tidak secara mendetail. Pengalaman ini berbeda dengan masyarakat yang
43
mendapatkan pendidikan agama, dimana mereka mempelajari thaharah secara lebih
mendetail. Keragaman pengalaman pendidikan memberikan pemaknaan thaharah
yang berbeda. Jenis pendidikan ini juga berpengaruh pada pola perilaku narasumber
dalam bersuci atau tata cara dalam membersihkan najis. Orang yang pernah
mempelajari dan mengikuti pendidikan agama akan lebih memahami mengenai
hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah dibandingkan dengan orang yang tidak
pernah mengikuti pendidikan agama.
Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan latar belakang pendidikan.
Tabel 4.2.
Distribusi narasumber Berdasarkan Pendidikan (jenis pendidikan)
No
Jenis Pendidikan
f
%
1
Agama
6
24
2
Umum
19
76
25
100
Jumalah
Sumber: diolah dari data Lapangan tahun 2010
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber mempunyai latar belakang
pendidikan umum sehingga hal ini tentunya akan berpengaruh pada tingkat
pemahaman mengenai thaharah. Orang yang tidak memiliki latar belakang
pendidikan keagamaan cenderung tidak memahami makna dan tata cara thaharah.
44
3. Data narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses
penalaran suatu fenomena keilmuan sebagaimana diuraikan dalam teori kognitif
bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya.
Makin inteligen dan berpendidikan, seseorang otomatis akan semakin baik
perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan
untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Penalaran ini akan berpengaruh
terhadap pemaknaan sebuah fenomena, yang dalam hal ini thaharah.
Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan memaknai
thaharah lebih sederhana, pemaknaan tersebut bisa diperoleh dari proses meniru dari
orang tua atau orang-orang sekitarnya. Tetapi makin tinggi tingkat pendidikannya
maka makin kompleks pula pemahamannya tentang thaharah, karena proses
pembelajarannya tidak hanya dari proses melihat dan meniru, tetapi juga dari proses
pembelajaran secara formal atau khusus sehingga pemaknaan thaharah akan lebih
sesuai dengan apa yang dijelaskan di kitab-kitab fiqih. Berikut ini adalah tabel
distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.
45
Tabel 4.3
Distribusi narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan)
No
Tingkat pendidikan
f
%
1
SD/MI
8
32
2
SMP/MTS
5
20
3
SMA
6
24
4
Aliyah
3
12
5
S1
3
12
Jumlah
25
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2010
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat tingkat pendidikan narasumber yang
diwawancarai. Mayoritas narasumber hanya mengenyam pendidikan sampai bangku
Sekolah Dasar (SD).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan narasumber dominan
dari pendidikan umum, dengan tingkat pendidikan yang dominan yaitu pendidikan
dasar (SD). Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat tentang thaharah
yang akan di bahas dalam sub bab berikutnya.
4. Data narasumber berdasarkan pengetahuan agama
Pengetahuan masyarakat dalam hal agama yakni pengetahuan yang diperoleh
dari mengikuti pendidikan keagamaan melalui pengajian rutin di surau, majelis
taklim, masjid, pengajian umum mengenai thaharah dan pendidikan agama cepat
46
seperti pesantren kilat. Pengetahuan agama ini akan berpengaruh terhadap
pengetahuan narasumber mengenai thaharah secara keilmuan. Sehingga narasumber
mampu memahami dengan baik istilah serta makna thaharah.
Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan pengetahuan
agama:
Tabel 4.4
No
Pengetahuan Agama
f
%
1
Ya
10
40
2
Tidak
15
60
25
100
Jumlah
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010
Mengenai pengetahuan agama narasumber yang pernah mengikuti pendidikan
agama secara khusus, yaitu sebanyak 10 narasumber, sedangkan sebanyak 15
narasumber atau 60%, tidak memiliki pengalaman atau tidak pernah
mengikuti
pendidikan agama secara khusus.
5. Narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat.
Peran narasumber dalam masyarakat dapat berpengaruh dalam tingkat
pemahaman mengenai thaharah. Peran sosial di sini terbagi pada dua kategori yaitu,
kelompok masyarakat biasa dan kelompok tokoh agama. Kelompok masyarakat biasa
adalah masyarakat yang awam terhadap ilmu agama. Sedangkan tokoh agama adalah
masyarakat yang dijadikan panutan oleh warga masyarakat lainnya dalam bidang
47
keagamaan. Peran kedua kelompok masyarakat ini akan berpengaruh pada pola
perilaku bersuci, pemahaman istilah, makna serta urgensi thaharah dalam pandangan
mereka. Kelompok masyarakat biasa pemahamannya terhadap thaharah diyakini
cenderung lebih sederhana, sebatas pengetahuan mengenai fungsi thaharah sebagai
syarat dalam melakukan ibadah. Hal ini dimungkinkan karena dalam kesehariannya
mereka tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan secara intensif dalam
lingkungan bermasyarakat.
Berbeda dengan kelompok masyarakat biasa, tokoh agama memahami
thaharah lebih sesuai dengan literatur fiqih. Hal ini dimungkinkan karena tokoh
agama dalam kesehariannya mereka berkecimpung secara intensif dalam hal
keagamaan di lingkungan masyarakat bahkan terkadang mereka menjadi tempat
rujukan untuk bertanya seputar masalah keagamaan sehingga mereka harus mampu
memiliki pemahaman yang lebih baik dari masyarakat biasa. Lebih jelasnya akan
tergambar dalam analisis yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.
Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan peran sosial di
masyarakat
Tabel 4.5
No
Peran sosial
f
%
1
Biasa
23
92
2
Tokoh agama
2
8
Jumlah
25
100
Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010
48
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber adalah masyarakat biasa,
sedangkan tokoh agama hanya 2 orang. Di sini penulis ingin mengetahui perilaku
thaharah masyarakat awam.
B. Pemahaman Masyarakat tentang Thaharah
Pada bagian kedua ini, penulis mendeskripsikan jawaban narasumber tentang
pemahaman mengenai thaharah. Hal ini meliputi pemaknaan istilah thaharah, faktor
yang terkait dengan pemaknaan thaharah, analisis makna menurut narasumber, dan
kebermaknaan /kegunaan thaharah dalam ibadah.
1. Pemahaman tentang istilah dan makna thaharah
Thaharah adalah aktivitas menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi
shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya
(hadas dan najis) dengan tanah. Dari pengertian tersebut dapat dilihat urgensi dari
thaharah, yaitu sebagai satu sarana atau media untuk kesahihan ibadah sebagai proses
dalam memperoleh pahala dan ridho Allah yang menjadi tujuan akhir dari ibadah.
Thaharah tidak hanya bertujuan untuk memenuhi syarat atau prosedur yang
ditetapkan dalam beribadah tetapi lebih dari itu, thaharah juga bertujuan untuk
menciptakan kebersihan, keindahan dan kenyamanan dalam hubungannya dengan
kita sebagai manusia dalam lingkungan masyarakat.
49
Secara umum, masyarakat Kelurahan Bukit Kemuning dapat dikatakan kurang
memahami konsep thaharah secara detail. Mereka lebih memahami istilah thaharah
dengan istilah bersuci. Hal ini seperti diungkapkan oleh narasumber pertama Ibu
Mediana (umur 26 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP dan kurang
memiliki pengetahuan agama mencoba memahami thaharah sebagai berikut:
Saya kurang memahami istilah thaharah. Tetapi saya lebih paham dengan
menggunakan istilah bersuci. Karena istilah bersuci sudah dikenalkan sejak
saya sekolah SMP oleh guru agama dan istilah thaharah juga tidak begitu
dipahami oleh masyarakat khususnya orang awam seperti saya ini.1
Pemahaman istilah bersuci lebih dikenal oleh masyarakat, karena bersuci merupakan
istilah yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran narasumber
tentang pemahaman terhadap istilah thaharah dapat di lihat pada tabel 4.6 berikut:
Tabel 4.6
Distribusi narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah
No
Alternatif Jawaban
f
%
1
Sangat paham
4
16
2
Paham
8
32
3
Kurang paham
11
44
4
Tidak paham
2
8
Jumlah
25
100
Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010
Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.6, dapat disimpulkan bahwa
tingkat pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah masih kurang. Hal ini
1
Wawancara pribadi dengan ibu Maediana, rabu 22 September 2010 pukul 15.00 WIB
50
dapat kita lihat pada data tabel 4.6 di atas, sebanyak 44% narasumber kurang
memahami istilah thaharah. Pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor pendidikan. Pengetahuan
mengenai istilah thaharah ini didapatkan melalui proses belajar dalam pendidikan
agama secara formal, atau secara khusus pernah mengikuti pembahasan thaharah dari
pengajian atau dari pendidikan agama non-formal.
Adapun pemahaman masyarakat mengenai makna thaharah (bersuci) terdapat
perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh peran masing-masing di
dalam lingkungan masyarakat. Kelompok masyarakat biasa, memaknai thaharah atau
bersuci sebagai upaya membersihkan diri dari hadats dan najis yang dapat
menghalangi dalam melakukan ibadah shalat maupun ibadah-ibadah lainnya. Dalam
pandangan mereka, thaharah dimaknai sebagai proses pemenuhan syarat untuk
beribadah.
Implikasi dari pemaknaan tersebut, banyak di antara mereka dalam tata cara
membersihkan najis tidak sesuai dengan tata cara yang disebutkan dalam kitab-kitab
fiqh. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat biasa ini dipengaruhi oleh
pemahaman mereka terhadap najis, serta proses sosialisasi ilmu yang didapatkan oleh
masyarakat. Kedua hal tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya.
Berbeda dengan kelompok masyarakat awam, kelompok kedua yaitu tokoh
agama memahami thaharah lebih mendalam. Mereka memahami thaharah tidak
51
hanya sebatas proses pemenuhan syarat formal dalam beribadah mahdhoh saja, tetapi
juga melihatnya dari aspek-aspek kebersihan, kesehatan, kesopanan dan kenyamanan
dalam sudut pandang manusia2. Seseorang dikatakan bersih tidak hanya bersih dari
kotoran yang termasuk dalam kategori najis, tetapi juga dari hal-hal yang dipandang
kotor oleh manusia. Umpamanya saja, seorang petani setelah melakukan aktivitasnya
di sawah badannya masih terlihat kotor oleh lumpur sawah kemudian dia shalat.
Secara hukum petani tersebut sah dalam melakukan ibadah shalat. Tetapi jika dilihat
dari sudut pandang kebersihan dan kesopanan manusia, maka petani tersebut harus
membersihkan semua kotoran yang melekat di badannya baik yang bersifat najis atau
tidak.
Aspek kesehatan dan kenyamanan juga penting sebagai salah satu fungsi dari
thaharah menurut kelompok agamawan, karena seperti diungkapkan dalam pepatah
“di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Apabila seseorang senantiasa
menjaga kebersihan badan dan lingkungannya, maka badan dan lingkungannya
tersebut akan terpelihara juga kesehatannya. Apabila tubuh dan lingkungan seseorang
terjaga kesehatannya maka dia senantiasa memiliki jiwa yang kuat, tentunya untuk
beribadah, serta senantiasa memiliki keteraturan baik dalam beribadah maupun dalam
mejaga lingkunganya. Sehingga tercipta lingkungan yang sehat, bersih yang
implikasinya memberikan kenyamanan bagi siapapun untuk beribadah dan
bermuamalah.
2
Wawancara pribadi dengan tokoh agama, Jumat 1 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB
52
2. Pemahaman masyarakat mengenai najis
Thaharah merupakan kegiatan yang harus diperhatikan sebelum kita
melaksanakan ibadah apapun. Tanpa berthaharah maka ibadah yang dilaksanakan
menjadi rusak atau mengurangi nilai pahala yang didapatkan. Adapun bersuci dari
najis adalah bagian dari thaharah, yakni bersihnya tubuh, pakaian, dan tempat dari
kotoran yang memiliki unsur-unsur najis baik dari sifatnya maupun dari hukumnya.
Dalam teori yang diungkapkan dalam berbagai literatur kitab fiqih, najis
diartikan sebagai kotoran yang wajib bagi semua umat islam untuk menyucikannya
dan menyucikan apa yang dikenainya. Benda yang termasuk najis seperti kencing,
faces, mazi, wadhi, muntah, darah, mani hewan selain manusia, nanah, cairan luka
yang membusuk, (ma’al-quruh), „alaqah, bangkai, khamr, anjing, babi dan anak
keduanya, susu binatang yang tidak halal dimakan dan cairan kemaluan wanita3.
Pemahaman masyarakat Bukit Kemuning dalam hal najis masih beragam, ada
yang memahami secara detail, tetapi lebih banyak yang memahaminya sekelumit
saja. Masyarakat yang memahami najis secara mendetail adalah dari kelompok tokoh
agama. Mereka memahami najis bukan hanya mengetahui jenis-jenis bendanya, tetapi
juga dari hukum-hukumnya seperti jenis najis menurut tingkatannya, serta tata cara
membersihkannya.
Tetapi lebih banyak masyarakat yang memahami najis sekelumit saja.
Kebanyakan mereka merupakan masyarakat biasa yang memang tidak berkecimpung
3
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1 (Jakarta: Purtaka Setia, 2001) , h. .45
53
dalam masalah keagamaan. Penjelasan mengenai najis ini pun masih kurang
mendalam. Pembahasan yang mereka ungkapkan hanya sebatas jenis-jenis najis tidak
sampai pada hukum dan tata cara membersihkan yang sesuai dengan kitab fiqih.
Mereka mengetahui jenis najis sebatas pada sesuatu yang sering mereka jumpai
dalam kehidupan sehari-hari seperti yang diungkapkan oleh bapak Heru (umur 40
Tahun) yang latar belakang pendidikannya SMA yang hanya mendapatkan
pendidikan agama dibangku sekolah saja menjadi salah satu narasumber. Menurutnya
najis itu adalah segala macam kotoran seperti kencing, anjing, bangkai, darah, dan
nanah.4
Dalam pemahaman jenis najis serta tingkatannya secara umum masyarakat di
Bukit Kemuning masih belum memahaminya dengan jelas. Masih banyak di antara
mereka yang memandang suatu najis dari pemahaman sendiri dan tidak sesuai dengan
penjelasan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, misalnya, dalam masalah najis dari
kencing bayi. Banyak di antara mereka yang memahaminya tidak sesuai dengan
penjelasan dalam kitab fiqih. Hal tersebut dapat tergambar dari pendapat beberapa
narasumber mengenai air kencing bayi sebagai berikut:
a. Kencing bayi perempuan yang masih berumur 3 bulan dan belum makan
apa-apa maka belum dihukumi najis begitu juga bayi laki-laki.5
4
Wawancara pribadi dengan bapak Heru, Jumat 24 September 2010 pukul 15.00 WIB
5
Wawancara pribadi dengan ibu Sarina (umur 26Tahun) yang latar belakang pendidikannya
SD dan mendapatkan pendidikan agama dari orang tua. Senin 4 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB
54
b. Kencing anak bayi perempuan maupun bayi laki-laki sama saja asalkan
belum makan apa-apa selain ASI ibunya maka belum dikatakan najis6
c. Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan. Kencing bayi
laki-laki termasuk najis berat (mughaladzah). Sedangkan kencing bayi
perempuan najisnya ringan (mukhafaffah)7.
d. Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan. Kencing bayi
laki-laki yang berumur di bawah 2 Tahun dan belum makan apapun selain
minun Asi termasuk najis mukhaffah. Sedangkan kencing bayi perempuan
dari bayi pun sudah dikatakan najis.8
Dari keempat pendapat tersebut hanya jawaban keempat yang dapat dikatakan
sesuai dengan kitab fiqih. Kebanyakan masyarakat menjawab pada tiga jawaban
pertama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat Bukit
Kemuning masih sangat kurang. Pemahaman mereka masih didasarkan atas
pengetahuan sendiri, bukan dari pemahaman literatur fiqih. Berdasarkan hasil
observasi yang penulis lakukan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
keterbatasan pemahaman masyarakat Bukit Kemuning mengenai najis karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, dan pengalaman. Serta proses
6
Wawancara pribadi dengan ibu Yuni (umur 31tahun) latar belakang pendidikannya SLTA
dan mendapatkan pendidikan agam dari sekolah, Senin 11 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB
7
Wawancara pribadi dengan bapak Pidiyan (umur 25 Tahun) latar belakang pendidikan
MAN dan mendapatkan pendidikan agama dari sekolah. Sabtu, 2 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB
8
Wawancara pribadi dengan ibu Linda(umur 33tahun) latar belakang pendidikan S1 dan
memiliki pengetahuan agama. Sabtu 2 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB
55
sosialisasi dari pemahaman mereka mengenai najis, apakah pemahaman mereka ini
didapatkan melalui proses pembelajaran dari pendidikan formal atau keagamaan,
ataukah hanya dari proses melihat atau mencontoh orang tua tanpa ada penjelasan.
Pemahaman ini akan berimplikasi pada pelaksanaan thaharah yang keliru.
Hukum mengenai air kencing bayi sendiri dalam kitab-kitab fiqih dibedakan.
Air kencing bayi laki-laki berbeda dengan air kencing bayi perempuan karena
kecenderungan air kencing bayi laki-laki lebih encer dari pada air kencing
perempuan, sehingga kekuatan air kencing bayi laki-laki untuk melekat pada tempat
yang dikenainya tidak sebesar kekuatan air kencing bayi perempuan. Sehingga air
kencing bayi laki-laki dihukumi najis mukhfaffah dan cara membersihkannya cukup
dengan diperciki air. Sedangkan air kencing anak perempuan dihukumi sama seperti
air kencing orang dewasa, sehingga cara membersihkannya harus dengan dibasuh.
3. Urgensi thaharah dalam ibadah
Thaharah merupakan proses awal dari rangkaian kegiatan dalam proses
pencapaian ridho Allah. Hal yang umum dipahami di masyarakat, manifestasi dari
ridho Allah yaitu berupa surga yang telah dijanjikan-Nya. Dalam memperoleh surga
seseorang tentunya harus memiliki bekal amal baik yang cukup berupa pahala. Pahala
tersebut diperoleh melalui kegiatan ibadah yang dilakukan selama di dunia, misalnya
shalat, zakat, puasa, infak, shadaqoh dan lain sebagainya. Dalam melakukan ibadah
tentunya harus sesuai dengan rukun dan syaratnya, agar ibadah tersebut dianggap sah
dan memiliki nilai pahala. Rukun dan syarat tersebut merupakan prosedur yang harus
56
dipenuhi oleh setiap orang yang akan beribadah, dan thaharah merupakan proses awal
dari prosedur yang ditetapkan sebagai syarat dari sahnya ibadah baik shalat ataupun
ibadah lain yang disyaratkan untuk bersuci.
Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa thaharah merupakan hal yang sangat
penting dalam pencapaian ridho Allah. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan
thaharah harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para fuqaha
dalam kitab-kitab fiqh. Jika kita melaksanakan thaharah dengan sekehendak hati saja,
maka hal itu dapat merusak ibadah kita, bahkan dapat menghilangkan pahala yang
seharusnya didapatkan.
Dalam pelaksanaannya, di masyarakat Bukit Kemuning, masih banyak orang
yang memandang thaharah hanya sebagai prosesi untuk melakukan ibadah saja dan
menyucikan diri dari sudut pandang jasmaniah. Mereka tidak mengemukakan ujung
pangkal dari tujuan thaharah yaitu ridho Allah. Hal ini tergambar dalam pemaknaan
thaharah yang dibahas sebelumnya. Banyak yang memaknai thaharah hanya sebatas
membersihkan diri dari najis guna melakukan ibadah. Namum mereka sepakat bahwa
pelaksanaan thaharah memiliki posisi yang sangat penting baik dari sudut pandang
teologis maupun kemanusiaan. Hal ini terungkap dalam jawaban yang dikemukakan
oleh beberapa narasumber berikut:
Thaharah sangat bermanfaat untuk ibadah karena wajib bagi kita
berthaharah sebelum kita beribadah. Jangankan kita menghadap/
bertemu dengan Allah, ketika kita bertemu dengan orang penting saja
57
kita harus rapi dan bersih apalagi ketika kita ketemu dengan Allah
sudah pasti kita harus bersih dan suci.9
Hal senada juga, diungkapkan oleh narasumber selanjutnya. yakni, bersuci
disini sangat berfungsi sekali dalam kehidupan yaitu:
Bersuci dapat meningkatkan kesadaran manusia untuk beribadah dan
keimanan kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama dan juga
dapat meningkatkan kesehatan jasmani dan Rohani.10
Dari jawaban tersebut tergambar masyarakat menilai bahwa thaharah
memiliki tempat yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Thaharah dipandang
penting baik dari segi ketuhanan maupun dari segi kebersihan, kesehatan dan
kesopanan dalam kaitannya dengan penilaian dari manusia. Dalam beribadah tidak
hanya harus terpenuhi ketentuan thaharah, tetapi juga aspek pendukung yang juga
sangat penting yaitu kerapian dan kesopanan. Fungsi thaharah tidak hanya untuk
bersuci dalam pemenuhan kesahihan ibadah tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai
pembersih diri dari hal-hal yang mengotori hati.
4. Faktor yang terkait dengan pemaknaan thaharah
Sebagaimana telah disebutkan dalam uraian sebelumnya, bahwa perbedaan
pemahaman masyarakat Bukit Kemuning mengenai thaharah atau bersuci
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :
9
Wawancara pribadi dengan ibu Apri (umur 23 Tahun) latar belakang pendidkan pendidikan
terakhir S1 dan memiliki pengetahuan agama, Selas, 5 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB
10
Wawancara pribadi dengan ibu Rohani (umur 43 tahun), latar belakang pendidikan SD
dan memiliki pengetahuan agama. Minggu, 3 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB
58
a. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi nilai dari orang dewasa
terhadap anak-anak atau proses sosialisasi ilmu yang turunkan oleh orang
dewasa kepada yang belum dewasa. Ringkasnya pendidikan adalah segala
usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Pendidikan dalam
kaitannya dengan pembahasan thaharah ini dibedakan menurut jenis dan
tingkatannya. Jenis pendidikan menentukan proses pembelajaran mengenai
thaharah dari segi keilmuan dan tingkat pendidikan mempengaruhi proses
penalaran terhadap suatu fenomena keilmuan.
Dilihat dari jenisnya, pendidikan terbagi dalam dua kategori, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan umum. Orang yang memiliki latar belakang
pendidikan agama cenderung lebih tepat dalam memaknai thaharah. Mereka
lebih banyak mendapatkan pembelajaran teori tentang thaharah. Pembelajaran
tersebut memiliki implikasi pada pemahaman terhadap thaharah dan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi pengertian,
pemahaman teori yang cukup membuat mereka mampu memberikan
pengertian yang lebih sesuai dengan penjelasan dalam kitab fiqih. Mereka
juga lebih memahami dari segi tujuan dan hal-hal yang berkenaan dengan
thaharah serta dari segi konsekuensi hukumnya.
59
Berbeda dengan masyarakat dengan latar belakang pendidikan agama,
masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan umum, memperoleh
pembelajaran teori mengenai thaharah hanya sekelumit saja. Pembelajaran
yang didapat hanya dari mata pelajaran agama islam yang diajarkan pada
sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah. Pembelajaran yang didapatkan
hanya sebatas pengertian harfiah jenis dan macamnya saja. Hal tersebut
berpengaruh pada implementasi dari pelaksanaan thaharah yang terkadang
masih didapat dari pengalaman dari orang tua atau dari lingkungan. Sehingga
mereka memberikan pengertian dan makna thaharah sebatas dari yang pernah
dipelajarinya pada saat sekolah.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh ibu Hartini (umur 36 tahun)
latar belakang pendidikan SMA yang hanya mendapatkan pendidikan agama
di bangku sekolah,11 “saya kurang faham mengenai thaharah, yang saya tahu
hanya membersihkan sesuatu benda dari najis atau kotoran. Cara-cara
membersihkan benda yang terkena najis, saya dapatkan dari orang tua. Saya
melihat bagaimana orang tua saya melakukannya.”
Keterbatasan pemahaman masyarakat Bukit Kemuning mengenai
thaharah atau bersuci karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan
mereka yang umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan agama. Hal
11
Wawancara pribadi dengan ibu Hartini Senin 4 Oktober 2010, pukul 13.00 WIB
60
ini dapat dilihat dari uraian sebelumnya yakni sebanyak 76 % narasumber
tidak memiliki latar belakang pendidikan agama.
Selain dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, yang umumnya
hanya memiliki latar pendidikan umum, kurangnya pemahaman mereka
mengenai thaharah atau bersuci juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
yang mereka alami yang mayoritas hanya lulusan SD/MI dan SMP/MTS
yakni sebanyak 52 %.
Pengaruh pendidikan menurut tingkatannya adalah pada proses
penalaran dalam memahami suatu fenomena ilmu. Makin tinggi tingkat
pendidikan seseorang makin baik penalarannya dalam memahami makna
thaharah. Orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi
cenderung memandang fungsi thaharah tidak hanya sebagai syarat dalam
beribadah, tetapi juga memenuhi aspek kebersihan, kesehatan dan kesopanan
dari sudut pandang manusia secara umum.
b. Pengetahuan Agama
Faktor pengetahuan agama juga memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam pemahaman makna thaharah di masyarakat. pengetahuan agama ini
dapat diperoleh dari mengikuti pengajian sewaktu belajar mengaji di surau
atau guru ngaji, mengikuti pengajian di majelis taklim, mengikuti pesantren
kilat dan mengikuti pengajian umum di masyarakat maupun di tempat kerja.
61
Pengaruh dari pengetahuan agama ini dapat digambarkan dari jawaban
narasumber yang diwawancarai ketika ditanya mengenai makna thaharah dan
makna najis serta tata cara pembersihan najis. Umumnya mereka
mengemukakan argumentasi dari pendapatnya dengan mengatakan bahwa
jawaban mereka itu didasarkan pada pelajaran yang mereka dapat sewaktu
belajar mengaji atau sewaktu mengikuti pengajian baik di majelis taklim
ataupun pengajian umum. Misalnya jawaban yang disampaikan oleh ibu
Yustini (umur 35 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP sebagai
berikut:
Kata ustadz di tempat saya mengaji, najis itu adalah kotoran buang air
besar dan kecil, bangkai, darah, nanah, dan lain-lain.12
Hal senada juga disampaikan oleh ibu Linda yang aktif mengikuti
kegiatan pengajian di beberapa majlis ta‟lim,
Dalam mencuci pakaian harus dipisahkan dulu, pakaian yang terkena
najis dan yang tidak, baik menyucinya dengan tangan ataupun mesin
cuci. Karena supaya kotoran atau najisnya tidak bercampur.13
C. Perilaku bersuci masyarakat
1. Tatacara bersuci
Tata cara bersuci didasarkan pada jenis najis, tingkatan dan macammacamnya. Dalam kitab-kitab fiqih telah dibahas secara terperinci tata cara bersuci,
12
Wawancara pribadi dengan ibu Yustini. Senen, 27 September 2010, Pukul 10.30 WIB
13
Wawancara pribadi dengan ibu Linda, Sabtu 2 Oktober 2010 pukul 14.30 WIB
62
meskipun dalam pembahasannya terkadang terdapat perbedaan pendapat dalam
pembahasan cara menyucikan jenis najis tertentu. Dari setiap tingkatan najis pun cara
membersihkannya belum tentu sama. Hal itu tergantung dari kotoran najis apa yang
mengenainya.
Dalam pelaksanaanya di masyarakat Bukit Kemuning, pembahasan mengenai
pelaksanaan bersuci masih berkisar pada jenis-jenis najis yang biasa mereka hadapi
sehari-hari. Pembahasan tata cara bersuci tidak diungkapkan secara detail. Sehingga
pembahasan tata cara bersuci masih berkisar pada masalah najis atau kotoran yang
diakibatkan oleh air kencing, serta kotoran lain yang sering mereka hadapi. Dari hasil
wawancara, narasumber secara umum tidak membahas tata cara menyucikan najis
berdasarkan tingkatan najisnya. Sehingga pembahasan cara menyucikan najis tidak
mengungkapkan cara menyucikan najis dari tiap-tiap jenis benda yang dihukumi
najis.
Tata cara bersuci di masyarakat Bukit Kemuning didasarkan pada pemahaman
mereka tentang thaharah, serta pemahaman mereka tentang najis. Contoh yang paling
sering diungkapkan oleh narasumber seperti dalam pembahasan air kencing bayi di
atas. Perbedaan pendapat mereka mengenai hukum najis dari bayi laki-laki dengan
bayi perempuan, menyebabkan perbedaan dalam hal menyucikannya.
Ada yang menganggap air kencing bayi perempuan dan laki-laki tidak
dihukumi najis, sehingga tidak dilakukan cara membersihkan secara khusus. Ada pula
yang memiliki pendapat terbalik yaitu menganggap air kencing anak laki-laki lebih
berat dibanding anak perempuan, sehingga tata cara bersucinya pun terbalik dari yang
63
seharusnya, yaitu jika pakaian terkena air kencing laki-laki maka harus dibasuh
dengan air, sedangkan jika terkena air kencing perempuan cukup dengan dipercikkan
air saja.
Dalam membersihkan najis terdapat berbagai macam cara yang dilakukan
oleh narasumber tergantung najis apa yang akan dibersihkan. Seperti contoh yang
diungkapkan oleh narasumber ibu Amnah, menurut cara membersihkan najis kencing
bayi yang menempel di sofa/kursi busah. Ibu Amnah dalam membersihkannya
terlebih dahulu diusap dengan kain basah lalu kursinya langsung dijemur biar tidak
tercium baunya. Dalam hal membersihkan najis, hal yang menjadi patokan ibu
Amnah, dikatakan sofa itu sudah suci adalah jika tidak adanya lagi bau pesing dan
warna yang menempel pada kursi/sofa tersebut.14
Membersihkan najis merupakan suatu pekerjaan yang harus dilakukan
dengan hati-hati. Karena jika tidak hati-hati, alih-alih najis itu bukannya hilang malah
mengotori pakaian yang lain. Dalam membersihkan najis pakaian atau suatu benda
lain yang terkena najis, hendaknya dipisahkan antara pakaian atau benda lain yang
suci atau tidak terkena kotoran najis. Tetapi pada pelaksanaannya di masyarakat,
terkadang hal tersebut diabaikan dengan berbagai alasan yang mereka kemukakan,
seperti pernyataan dari salah satu narasumber berikut:
“Saya mempunyai anak bayi perempuan berumur 1 ½ tahun dan anak
laki-laki 3 Tahun. Pakaian yang sudah dipergunakan sehari-hari dan
14
Wawancara pribadi dengan ibu Amnah (umur 37 tahun) latar belakang pendidikan SLTA
dan memiliki pengetahuan agama dari orangtua dan mengikuti pengajian agama. Selasa 12 Oktober
2010 pukul 15.00 WIB
64
pakaian yang terkena ngompol saya campurkan saja ketika mencuci
pakaian anak-anak saya. Dalam hal ini menyuci pakaian saya
menggunakan mesin cuci baju. Namun, yang menjadi kendala saya
adalah keterbatasan air yang membuat saya untuk berhemat”. 15
Hal yang sama dengan pernyataan di atas, diungkapkan oleh ibu Mayang
(umur 39 tahun) latar belakang pendidikan SLTP hanya mendapatkan pendidikan
agama dari sekolah. Dalam menyuci, ibu Mayang tidak memisahkan pakaian yang
terkena najis dengan pakaian yang tidak terkena najis. Ibu Mayang mengungkapkan
bahwa sebenarnya beliau menyadari apa yang dia lakukan itu salah, namun apa boleh
buat karena keterbatasan air dapat membuat keluarga ini tidak melaksanakan perintah
ajaran agama yang sesungguhnya.
2. Sumber Pengetahuan
Dari berbagai macam pendapat dalam pemaknaan thaharah maupun kegunaan
thaharah tersebut dalam ibadah, dapat dilihat darimana mereka mendapatkan
pengetahuan tersebut. Terdapat beberapa sumber darimana asal mula mereka
mengetahui dan mempelajarinya. Berikut adalah tabel hasil penelitian penulis
dapatkan tentang suatu pemahaman mengenai thaharah
15
Wawancara pribadi dengan ibu Desi (umur 24 tahun) latar belakang pendidikan SLTP
mendapatkan pengetahuan agama dari bangku sekolah, Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB
65
Table 4.8
Data narasumber dalam mendapatkan pengetahuan tentang thaharah
NO
Alternatif Jawaban
f
%
1
Diajarkan Orangtua
8
32
2
Pelajaran Agama di Sekolah
11
44
3
Mengikuti Pengajian
5
20
4
Buku-buku Agama
1
4
25
100
Jumlah
Sumber: Data Lapangan
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas narasumber mempelajari
thaharah dari pelajaran agama di sekolah karena pelajaran agama merupakan
kurikulum pendidikan yang wajib diikuti oleh semua siswa.
3. Perilaku dan kesadaran hukum
Berbicara masalah pelaksanaan thaharah, tidak terlepas dari aspek pemenuhan
hukum dalam syariat islam. Pelaksanaan bersuci yang sesuai dengan penjelasan
fuqaha dalam kitab fikih menjamin kesempurnaan dalam beribadah. Hukum syariat
yang dijelaskan dalam kitab fiqih bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam
beribadah dan bermuamalah. Sehingga tercipta suatu keharmonisan antara
kenyamanan beribadah dengan kenyamanan dalam berinteraksi sosial.
Kesadaran masyarakat akan hukum syariat mempunyai posisi yang sangat
penting dalam menciptakan keteraturan. Hal tersebut tidak hanya berimplikasi pada
lingkungannya saja, tetapi secara individual ketaatan terhadap hukum-hukum yang
66
ditetapkan dalam syariat dapat menjamin keshahihan dalam beribadah. Karena jika
seseorang mengabaikan aturan hukum yang berlaku dalam beribadah, maka dia
berpotensi rusak atau bahkan hilang nilai pahala dari ibadah yang dilakukannya.
Namun demikian, kesadaran hukum ini belum tercipta secara optimal dalam
masyarakat Bukit Kemuning. Masih ada masyarakat yang mengabaikan hukum yang
telah ditetapkan. Sebagai contoh adalah cara membersihkan sofa yang terkena air
kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Dari satu permasalahan tersebut
terdapat tiga jawaban yang berbeda berdasarkan wawancara penulis dengan tiga
narasumber sebagai berikut:
a. Ibu Juwarita16: “saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa
dengan cara dilap saja dengan kain basah, karena dengan cara itu juga
sudah cukup. Yang penting sudah tidak ada bekas kencingnya lagi”.
b. Ibu Imah17: “kalau anak saya kencing di sofa, saya biarkan saja yang
penting sudah dilap dengan celananya tadi yang bekas kencing. Kenapa
tidak saya bersihkan lagi karena serapan air kencing ke sofa sudah cepat
masuk ke busa sofa tersebut. Jadi buat apa dibersihkan lagi. Lagian juga
kalau mau dijemur terlalu berat diangkat sofanya”.
16
Wawancara pribadi, dengan ibu Juwarita (umur 29 tahun) latar belakang pendidikan SLTP,
dan mendapatkan pengetahuan agama dari orang tua. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB.
17
Wawancara pribadi dengan ibu Imah (umur 37 tahun) latar belakang pendidikannya SD.
Minggu, 9 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB.
67
c. Ibu Mutmainah18: “saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa
dengan cara dialirkan air sedikit lalu dilap dengan kain basah, kalau
baunya juga masih belum hilang maka sofa tersebut saya jemur”.
Dari ketiga jawaban di atas, jawaban yang sesuai dengan ketentuan fiqh
adalah jawaban yang diutarakan oleh ibu Mutmainah. Apa yang telah dilakukan ibu
Mutmainah dalam cara membersihkan najis sudah memenuhi standar thaharah
sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II bahwa ukuran sesuatu itu dikatakan
suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu: warnanya sudah tidak terlihat, baunya
sudah tidak tercium dan wujudnya sudah tidak Nampak lagi.
Ketidaksesuaian pelaksanaan thaharah dan konsep normatif bisa disebabkan
oleh faktor ketidak mengertian. Namun demikian, faktor kelalaian juga menjadi
persoalan penting. Sebagaimana saja alasan yang diungkapkan oleh ibu Mayang
(umur 39 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP, sebagai berikut:
Sebenarnya saya tahu kalau membersihkan najis itu harus dilakukan
dengan hati-hati dan teliti, tetapi hal tersebut membuat rumit, yang
terpenting bagi saya adalah saya sudah membersihkannya dengan caracara yang saya mau.
Dalam ketaatan terhadap hukum syariat tentang pembahasan thaharah,
masyarakat Bukit Kemuning masih banyak yang tidak melaksanakannya dengan
semestinya. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan ditemukan
banyak di antara mereka yang melakukan pelaksanaan thaharah tidak sesuai dengan
18
Wawancara pribadi dengan ibu Mutmainah (31 tahun) latar melakang pendidikanya MA,
Kamis, 30 September 2010, pukul 14.00 WIB
68
apa yang dijelaskan dalam kitab fiqih. Terkadang mereka melakukan kekeliruan
tersebut secara sadar, namun dengan alasan keterbatasan sumber daya, mereka tetap
melakukan kekeliruan tersebut. Sebagaimana terlihat dalam sebuah peristiwa yang
terobservasi dalam sebuah kasus ibu Mawar yang latar belakang pendidikan umum
yang hanya lulus dibangku SMP, dalam membersihkan najis kencing anak bayi
perempuannya yang berumur 1 tahun. Tetapi pada saat si kecil kencing ibu Mawar
melepaskan celana anaknya yang terkena air kencing lalu kemudian melapkan yang
sudah kotor itu kedalam air kencing, tanpa kemudian menyiram air kencing itu. Kasus
yang sama terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh ibu Mawar19.
Contoh lainnya adalah perilaku thaharah yang dilakukan keluarga bapak
Waskito dan ibu Eka20. Melihat dari latar belakang pendidikan mereka bapak Waskito
merupakan lulusan Sekolah Dasar umum dan yang tidak terbiasa
mengikuti
pengajian-pengajian agama di karenakan sibuknya bekerja, dan ibu Eka lulusan
Aliyah yang memiliki latar belakang pendidikan agama dari pondok pesantren, dan
mereka mempunyai anak bayi yang berumur 8 bulan.
Mengingat keluarga bapak waskito dan istrinya merupakan pasangan muda,
yang baru mempunyai anak bayi pertama kalinya. Maka pekerjaan rumah tangga
dilakukan secara bergantian salah satunya adalah mencuci pakaian bayi mereka.
Dalam hal ini, ketika penulis berkunjung kerumah mereka. Penulis melihat ibu Eka
19
Observasi dilakukan pada hari Jum‟at, 17 September 2010, pukul 10.00 WIB.
20
Observasi dilakukan pada hari Senin, 20 september 2010, pukul 13.00 WIB.
69
dalam membersihkan pakaian bayinya yang terkena najis dengan cara menghilangkan
dulu kotoran yang menempel atau bekas kencingnya, setelah itu pakaian tersebut di
rendam kemudian dicampur dengan pakaian yang lain. Fenomena yang berbeda,
terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh bapak Waskito dalam mencuci
pakaian bayi mereka, dalam hal ini bapak Waskito melakukannya dengan cara yang
berbeda yakni dengan cara mencampurkan semua pakaian yang terkena najis maupun
yang tidak ke dalam mesin cuci. Pada waktu yang bersamaan ibu Eka pun melihat apa
yang dilakukan suaminya. Namun hal tersebut dibiarkan saja oleh ibu Eka.
Hal ini bisa disebabkan oleh proses sosialisasi ilmu yang kurang sempurna.
Pemahaman mereka yang hanya sekelumit tentang thaharah baik dari proses belajar
di sekolah maupun dari proses pembelajaran orang tua, menyebabkan penanaman
hukum hanya sebatas meniru dari apa yang dilihat pada saat terjadi proses sosialisasi.
Pemahaman thaharah secara tidak menyeluruh menyebabkan adanya
kesenjangan antara teori yang terdapat dalam literatur fiqih, dengan pelaksanaan
thaharah di masyarakat. Sebenarnya masyarakat memandang thaharah itu sebagai
suatu kegiatan yang sangat penting dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi dalam
pelaksanaanya, mereka masih saja melakukan kekeliruan yang terkadang dengan
sadar mereka lakukan. Hal ini menunjukan bahwa proses sosialisasi hukum syariat ini
hanya bersifat taklid, atau hanya mengikuti tanpa ada penjelasan bukan dari proses
penurunan ilmu yang rasional.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian dalam skripsi ini dapat penulis ambil beberapa
kesimpulan, diantaranya yaitu:
1. Masyarakat Bukit Kemuning Lampung Utara memiliki pemahaman
tentang thaharah yang sama namun, dalam hal menyikapi najis
khususnya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan umumnya mereka tidak
memiliki latar belakang pendidikan agama dan tingkat pendidikan
yang rendah. Kedua faktor tersebut merupakan faktor utama di
samping faktor lainnya yang mempengaruhi pemahaman mereka
tentang thaharah.
2. Tata cara bersuci masyarakat Bukit Kemuning didasarkan pada
pemahaman yang didapatkan dari meniru kebiasaan orang tua
terdahulu dan dari proses belajar yang dilakukan di sekolah. Namun
demikian, penulis mendapatkan adanya ketidaksesuaian antara teori
dan prakteknya di masyarakat. Misalnya dalam membersihkan najis
air kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Syari’at islam
menetapkan bahwa cara mennyucikannya dengan menghilangkan
zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau dan warnanya,
kemudian menyiram dengan air sampai bersih lalu dikeringkan.
Sedangkan yang terjadi masyarakat Bukit Kemuning, mereka
71
72
cenderung tidak memperhatikan ketentuan yang ada. Mereka
melakukannya berdasarkan apa yang mereka anggap mudah, misal
hanya dilap saja.
B. Saran-Saran
1. Diharapkan kepada para tokoh agama (ustadz/ ustadzah) untuk
menyampaikan pembahasan-pembahasan seputar thaharah secara
detail sesuai dengan yang disyari’atkan agama.
2. Mengadakan kegiatan pengajian mulai dari anak-anak, remaja dan
orang tua untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang wacana
keagamaan.
3. Kepada masyarakat, untuk lebih mentaati hukum yang berlaku dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Bukhori, Al, Iman Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim ibnu alMughiroh. Jilid 1. Shohih al-Bukhori. Bairut: Dar al-Fikri, 1994M/1414H.
Buku Monografi Kecamatan Bukit Kemuning, 2005
Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Penerjemah M.
Khozim. Bandung: Nusamedia, 2009.
Handoko, Martin. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakartra: Kanisus,
1992.
Husaini, Al. Iman Taqiyuddin Abubakar. Kifayatul Akhyar. Jilid 1. Surabaya: PT.
Bina Ilmu Offset, 1997.
Jaziry, Al, Abdurrahmn. Kitabul al-Fiqhul ala Madzhib al ar-ba’ah. Jilid 1. Cairo: atTijariyah al kubro, tth.
Kahlani, Al, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam. jilid I. Bandung: Maktabah
Dahlan, T.t.h).
Maulana, Achmad. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta: Absolut, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Naisaburi, Al, Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Jilid
1. Shahih Muslim. Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H.
Nasution, Lahmuddin. Fidh 1. Jakarta: Purtaka Setia, 2001
73
Noor, Ahmad Manshur. Peranan Moral dalam Membina Kesadaran Hukum. Jakarta:
Proyek Pembinaan Kemahasiswaan, 1985.
Observasi dilakukan pada hari Senin, 20 september 2010, pukul 13.00 WIB.
Observasi dilakukan pada hari Jum’at, 17 September 2010, pukul 10.00 WIB.
Qardhawi, Al, Yusuf. Fiqhu at-Thaharah. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2004.
Qurţubi, Al, Ibnu Rusyd. Bidāyat al-Mujtahid wan Nihāyat al-Muqtaşid. Jilid 1.
Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007.
Ritonga, A. Rahman dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Penerjemah Mahyuddin Syaf. Jilid 1. Bandung: PT.
Alma’arif, 2003.
Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung:
Alumni, 1993.
Syarbaini, Al, Khatib. Al-Iqnâ’fil hall Alfâzi Abî Syujâ’i. Bandung: Al-Ma’arif, t.th.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
---------------------- dan Soleman B.Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali
Pers,1983.
Warassih, Esmi, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum
(Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan
Guru Besar. Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 2001.
74
Wawancara pribadi dengan aparat desa. Senen, 4 Oktober 2010, pukul 10.30 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Maediana. Rabu 22 September 2010 pukul 15.00.
Wawancara pribadi dengan tokoh agama, Jumat 1 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan bapak Nanang, Jumat 24 September 2010 pukul 15.00
Wawancara pribadi dengan ibu Sarina. Senin 4 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Yuni. Senin 11 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB
Wawancara pribadi dengan bapak Pidiyan. Sabtu, 2 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Linda. Sabtu 2 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Apri. Selas, 5 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB
Wawancara pribadi dengan ibu Rohani.Minggu, 3 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Hartini. Senin 4 Oktober 2010, pukul 13.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Tutik Senen, 27 September 2010, pukul 10.30 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Amnah. Selasa 12 Oktober 2010 pukul 15.00 WIB
Wawancara pribadi dengan ibu Desi. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB.
Wawancara pribadi, dengan ibu Juwarita. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan ibu Mutmainah. Kamis, 30 September 2010, pukul 14.00
WIB.
Widjaja, AW. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. (Jakarta: CV.
Era Swasta, 1984.
Zuhaily, Al,Wahbah. Al-Fiqhul Isalamy wa Adillatuhu. Penerjemah Masdar Hilmy.
Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004.
Z, Zurinal dan Aminuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008
75
Tabel 3.2
Tabel 3.1
Jumlah penduduk berdasarkan KK
Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan
Jumlah Jiwa
NO Lingkungan
No
Lingkungan
KK
Luas wilayah
Laki-laki
PR
Jumlah
1
Luas wilayah I
1.57 KM2
1
I
338
827
780
1.607
2
Luas wilayah II
1.48 KM2
2
II
452
903
901
1.804
3
Luas wilayah III
1.37 KM2
3
III
433
905
894
1.799
4
Luas wilayah IV
1.19 KM2
4
IV
362
862
829
1.691
5
Luas wilayah V
1.05 KM2
5
V
261
738
728
1.466
6
Luas wilayah VI
1.26 KM2
6
VI
469
935
953
1.888
7
Luas wilayah VII
1.05 KM2
7
VII
325
773
782
1.555
8
Luas wilayah VIII
0.98 KM2
8
VIII
443
928
925
1.853
9
Luas wilayah IX
1.06 KM2
9
IX
246
699
680
1.379
10
Luas wilayah X
1.15 KM2
10
X
167
397
382
779
11
Luas wilayah XI
1.07 KM2
11
XI
133
259
254
513
12
Luas wilayah XII
1.68 KM2
12
XII
141
277
258
535
13
Luas wilayah XIII
1.47 KM2
13
XIII
223
362
346
708
14
Luas wilayah XIV
0.52 KM2
14
XIV
164
298
254
552
4.157
9.163
8.966
18.129
Jumlah
17.0 KM2
Sumber: Data Lapangan 2010.
Jumlah
Sumber: Kelurahan Bukit Kemuning Tahun 2010
Table 3.3
Tabel 3.4
Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Usia
Jumlah Penduduk menurut Agama
No
Klasifikasi Usia
Jumlah Jiwa
%
No
Agama
Jiwa
1
0-4
1.707
9
1
Islam
18.040
2
5-9
1.693
9
2
Kristen
64
3
10-14
1.617
9
3
Hindu
2
4
15-19
2.026
11
4
Budha
23
5
20-24
1.922
11
5
Aliran Kepercayaan lainya
-
6
25-29
2.394
13
7
30-39
2.699
15
8
40-49
2.363
13
9
50-59
1.132
6
10
60+
576
3
18.129
100
Jumlah
Sumber: Data Lapangan 2010.
Jumlah
18.129
Sumber : Monografi 2010.
Tabel 3.5
Jumlah sarana pribadatan
No
Sarana kepribadatan
Jumlah
1
Masjid
19
2
Mushalla
15
3
Gereja
-
4
Vihara
-
5
Pura
-
Sumber : Monografi 2010.
Tabel 3.6
Tabel 4.1
Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan
distribusi narasumber berdasarkan usia
No
Tingkat Pendidikan
Jiwa
1
Tidak sekolah
1.832
2
Taman kanak-kanak
2.930
3
SD/Sederajat
5.102
4
SMP/MTS
4.420
5
SMA/MA
3.531
6
D3
219
7
S1
Sumber : Monografi 2010
No
Usia
f
%
1
15-25 Tahun
3
12
2
26-35 Tahun
10
40
3
36-50 Tahun
8
32
4
Diatas 50 Tahun
4
16
25
100
95
Jumlah
Sumber: Diolah dari data lapangan tahun 2010.
Tabel. 3.7
Jumlah sarana pendidikan
No
Sarana pendidikan
Jumlah
Tabel 4.2.
1
SD
10
Distribusi narasumber Berdasarkan Pendidikan
2
Ibtidaiyah
3
(jenis pendidikan)
3
SMP
2
4
MTs
2
5
SMA
6
7
No
Jenis Pendidikan
f
%
1
1
Agama
6
24
MA
2
2
Umum
19
76
STAI
1
25
100
Jumlah
Sumber: data monografi 2010
17
Jumalah
Sumber: Diolah dari data Lapangan tahun 2010
Tabel 4.5
Tabel 4.3
Distribusi narasumber berdasarkan pendidikan
(tingkat pendidikan)
Distribusi narasumber menurut peran sosial keagamaan
No
Peran sosial
f
%
1
Biasa
23
92
2
Tokoh agama
2
8
Jumlah
25
100
No
Tingkat pendidikan
f
%
1
SD/MI
8
32
2
SMP/MTS
5
20
3
SMA
6
24
4
Aliyah
3
12
5
S1
3
12
Tabel 4.6
Jumlah
25
100
Narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah
Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010.
Sumber: diolah dari data lapangan 2010.
No
Alternatif Jawaban
f
%
Tabel 4.4
1
Sangat paham
4
16
Narasumber berpengalaman mengikuti agama khusus
2
Paham
8
32
No
Pengalaman Khusus
f
%
3
Kurang paham
11
44
1
Ya
10
40
4
Tidak paham
2
8
Tidak
15
60
Jumlah
25
100
2
25
100
Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010
Jumlah
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010
Table 4.8.
Data narasumber dalam mendapatkan pengetahuan
tentang thaharah
NO
Alternatif Jawaban
f
%
1
Diajarkan Orangtua
8
32
2
Pelajaran Agama di Sekolah
11
44
3
Mengikuti Pengajian
5
20
4
Buku-buku Agama
1
4
25
100
Jumlah
Sumber: Data Lapangan
PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) DI MASYARAKAT BUKIT
KEMUNING KABUPATEN LAMPUNG UTARA
PEDOMAN WAWANCARA KEPADA KELUARGA MASYARAKAT
1. Siapa nama anda?
2. Berapa usia anda?
3. Siapa nama anak kecil anda?
4. Berapa usianya?
5. Apa pendidikan terakhir anda?
6. Apa yang ibu pahami selama ini tentang thaharah?
7. Apakah ada kata lain yang semakna dengan thaharah?
8. Apa kegunaan thaharah dari ajaran islam terutama dalam ibadah?
9. Bagaimana asal mula anda mengetahui thaharah itu?
10. Apakah ada guru/kiyai yang mengajarkan tentang thaharah?
11. Apa yang bapak ketahui tentang najis dan apasaja yang disebut najis?
12. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang pembagian najis?
13. Bagaimana cara anda membersihkan najis tahi kotok yang menempel dirumah
anda?
14. Apakah ada perbedaan antara air kencing bayi laki-laki dan air kencing bayi
perempuan?
15. Jika ada, jelaskan perbedaannya?
16. Bagaimana cara ibu membersihkan najis kencing bayi perempuan yang
menempel di sofa/kursi busa?
17. Bagaimana cara ibu membersihkan pakaian bayi anda yang sudah terkena
najis?
18. Dalam membersihkan najis standar/patokan dikatakan bersih itu seperti apa?
HASIL WAWANCARA DENGAN BEBERAPA NARASUMBER
1. Apa yang ibu/bapak pahami selama ini tentang thaharah?
Jawaban
a. Ibu Mediana 1 : Saya kurang memahami istilah thaharah. Tetapi saya lebih
paham
dengan menggunakan istilah bersuci. Karena istilah bersuci sudah
dikenalkan sejak saya sekolah SMP oleh guru agama dan istilah thaharah juga
tidak begitu dipahami oleh masyarakat khususnya orang awam seperti saya ini.
b. Ibu Sarina 2 : menurut saya bersuci adalah membersihkan diri dari hadats
dan najis yang dapat menghalangi dalam melakukan ibadah shalat maupun
ibadah-ibadah lainnya.
2. Apakah ada kata lain yang semakna dengan thaharah?
Jawab
a. Tokoh agama: thaharah bukan hanya mempunyai arti bersuci dari hadats
dan najis tetapi juga melihatnya dari aspek-aspek kebersihan, kesehatan,
kesopanan dan kenyamanan dalam sudut pandang manusia.
3. Apakah kegunaan thaharah dari ajaran Islam terutama dalam ibadah?
jawab
1
Ibu Mediana (umur 26 tahun) yang latar belakang pendidikannya umum Sekolah Dasar dan
tidak biasa dipengajian dan tidak ada ikut kursus secara khusus .
2
ibu Sarina (26 tahun) yang latar belakang pendidikannya Sekolah Dasar dan mendapat
pengajaran agama dari orangtua. a. Ibu Apri 3 : Thaharah sangat bermanfaat untuk ibadah karena wajib bagi
kita berthaharah sebelum kita beribadah. Jangankan kita menghadap/
bertemu dengan Allah, ketika kita bertemu dengan orang penting saja kita
harus rapi dan bersih apalagi ketika kita ketemu dengan Allah sudah pasti
kita harus bersih dan suci.
b. Ibu Rohani 4 : menurut saya sangat penting dalam ibadah karena Bersuci
dapat meningkatkan kesadaran manusia untuk beribadah dan keimanan
kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama dan juga dapat
meningkatkan kesehatan jasmani dan Rohani
4. Bagaimana asal mula anda mengetahui thaharah?
Jawab:
a. Ibu Imah 5 : saya mengetahui bersuci pertama kali diajarkan oleh orang tua
saya, karena dari orangtualah saya banyak mendapatkan pengetahuan
tentang agama salah satunya mengenai bersuci.
5. Apakah ada kiyai/guru yang mengajarkan tentang thaharah?
3
Ibu Apri (umur 23 Tahun) latar belankang pendidkan terakhir S1 dan berpengalaman
mengikuti pendidikan agama).
4
ibu Rohani (umur 43, SD tahun), dan berpengalaman dalam mengikuti pengajian ibu-ibu.
5
Ibu Imah (umur 40 tahun), latar belakang pendidikan SD, mengetahui agama di ajarkan oleh
orangtua. a. Ibu Linda 6 : saya mengenal thaharah pertamakali diajarkan oleh orangtua
tetapi setelah menginjak remaja saya lebih banyak mengikuti pengajianpengajian.
b. Ibu tutik 7 : saya mengetahui thaharah sewaktu saya sekeloh umum, itu pun
saya dapatkan ketika ada pelajaran agama yang secara khusus diajarkan
oleh guru agama di sekolahan.
6. Apa yang bapak ketahui tentang najis dan apasaja yang disebut najis?
Jawab
a. Bapak Heru 8 : najis itu adalah segala macam kotoran seperti kencing,
anjing, bangkai, darah, dan nanah.
7. Apa yang bapak ketahui tentang pembagian najis?
Jawab
a. Tokoh agama: najis itu terbagi menjadi tiga Najis Mughallazhah (berat),
Najis Mukhaffafah (ringan), dan Najis Mutawassithah (pertengahan).
8. Apakah ada perbedaan antara air kencing bayi laki-laki dan air kencing
bayi perempuan?
Jawab
6
Ibu Linda (umur 33 tahun) latar belakang pendidikan S1 dan sering mengikuti pengajian-
pengajian.
7
Ibu Tutik (umur 34 tahun) latar belakang pendidikan SMA sekolah umum.
8
Bapak Heru (umur 40 Tahun) yang latar belakang pendidikannya SMA yang hanya
mendapatkan pendidikan agama hanya dibangku sekolah.
a. Ibu Sariana 9 : Tidak ada perbedaan, kencing bayi perempuan yang masih
berumur 3 bulan dan belum makan apa-apa maka belum dihukumi najis
begitu juga bayi laki-laki.
b. Ibu Linda: Ada perbedaan, yaitu Kencing bayi laki-laki berbeda dengan
bayi perempuan. Kencing bayi laki-laki yang berumur di bawah 2 Tahun
dan belum makan apapun selain minun Asi termasuk najis mukhaffah.
Sedangkan kencing bayi perempuan dari bayi pun sudah dikatakan najis.
9. Bagaimana cara ibu membersihkan najis kencing bayi perempuan yang
menempel di sofa/kursi busa?
Jawab
a. Ibu Amnah 10 : saya membersihkannya terlebih dahulu diusap dengan kain
basah lalu kursinya langsung dijemur biar tidak tercium baunya. yang
menjadi patokan saya dikatakan sofa itu sudah suci adalah jika tidak
adanya lagi bau pesing dan warna yang menempel pada kursi/sofa
tersebut.
9
Ibu Sarina (umur 26Tahun) yang latar belakang pendidikannya SD dan mendapatkan
pendidikan agama dari orang tua.
10
Ibu Amnah (umur 37 tahun) latar belakang pendidikan SLTA dan perna belajar secara
khusus tentang agama. b. Ibu Juwarita 11 : saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa
dengan cara dilap saja dengan kain basah, karena dengan cara itu juga
sudah cukup. Yang penting sudah tidak ada bekas kencingnya lagi.
10. Bagaimana cara ibu membersihkan pakaian bayi anda yang sudah
terkena najis?
Jawab
a. Ibu Desi 12 : saya mempunyai anak bayi perempuan berumur 1 ½ tahun
dan anak laki-laki 3 Tahun. Pakaian yang sudah dipergunakan sehari-hari
dan pakaian yang terkena ngompol saya campurkan saja ketika mencuci
pakaian anak-anak saya. Dalam hal ini menyuci pakaian saya
menggunakan mesin cuci baju. Namun, yang menjadi kendala saya adalah
keterbatasan air yang membuat saya untuk berhemat.
11. Dalam membersihkan najis standar/patokan dikatakan bersih itu seperti
apa?
Jawab
a. Ibu Amnah: yang menjadi patokan saya dikatakan sofa yang terkena najis
itu sudah suci adalah jika tidak adanya lagi bau pesing dan warna yang
menempel pada kursi/sofa tersebut.
11
Ibu Juwarita (umur 29 tahun) latar belakang pendidikan SLTP, dan mendapatkan
pendidikan agama dari orang tua.
12
Ibu Desi (umur 24 tahun) latar belakang pendidikan SLTP mendapatkan pendidikan agama
dari bangku sekolah 
Download