VISI, MISI - BPK RI VISI BPK RI: Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar untuk berperan aktif dalam mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan. MISI BPK RI: 1. Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; 2. Memberikan pendapat untuk meningkatkan mutu pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; 3. Berperan aktif dalam mendeteksi dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara. 2 2- visi msi.indd 2 MARET 2012 Warta BPK 5/10/2012 3:50:28 PM KODE ETIK PEMERIKSA Kode Etik Pemeriksa BPK 1. Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib: a. bersikap netral dan tidak memihak. b. menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam melaksanakan kewajiban profesionalnya. c. menghindari hal-hal yang dapat mempengaruhi independensi. d. mempertimbangkan informasi, pandangan dan tanggapan dari pihak yang diperiksa dalam menyusun opini atau laporan pemeriksaan. e. bersikap tenang dan mampu mengendalikan diri. 2. Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang: a. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, badan-badanlain yang mengelola keuangan negara, dan perusahaan swasta nasional atau asing. b. menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat menyebabkan orang lainmeragukan independensinya. c. tunduk pada intimidasi atau tekanan orang lain. d. membocorkan informasi yang diperolehnya dari auditee. e. dipengaruhi oleh prasangka, interpretasi atau kepentingan tertentu, baik kepentingan pribadi Pemeriksa sendiri maupun pihak-pihak lainnya yangberkepentingan dengan hasil pemeriksaan. 3. Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib: a. bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan. b. bersikap tegas untuk mengemukakan dan/ atau melakukan hal-hal yangmenurut pertimbangan dan keyakinannya perlu dilakukan. c. bersikap jujur dan terus terang tanpa harus mengorbankan rahasia pihak yangdiperiksa. 4. Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang: a. menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsung maupun tidaklangsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugasdan wewenangnya. b. menyalahgunakan wewenangnya sebagai Pemeriksa guna memperkaya ataumenguntungkan diri sendiri atau pihak lain. 5. Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib: a. menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian dan kecermatan. b. menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan, rahasia pihak yang diperiksa danhanya mengemukakannya kepada pejabat yang berwenang. c. menghindari pemanfaatan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain. d. menghindari perbuatan di luar tugas dan kewenangannya. e. mempunyai komitmen tinggi untuk bekerja sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. f. memutakhirkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuanprofesionalnya dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan. g. menghormati dan mempercayai serta saling membantu diantara Pemeriksa sehingga dapat bekerjasama dengan baik dalam pelaksanaan tugas. h. saling berkomunikasi dan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalammenjalankan tugas pemeriksaan. i. menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif dan ekonomis. 6. Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang: a. menerima tugas yang bukan merupakan kompetensinya. b. mengungkapkan informasi yang terdapat dalam proses pemeriksaan kepadapihak lain, baik lisan maupun tertulis, kecuali untuk kepentingan peraturanperundang-undangan yang berlaku. c. mengungkapkan laporan hasil pemeriksaan atau substansi hasil pemeriksaankepada media massa kecuali atas ijin atau perintah Ketua atau Wakil Ketua atau Anggota BPK. d. mendiskusikan pekerjaannya dengan auditee diluar kantor BPK atau kantor auditee. (Peraturan BPK No. 2/2007 tentang Kode Etik BPK RI) Warta BPK 3 - kode etik.indd 3 MARET 2012 5/10/2012 3:13:03 PM dari kami Peran Internasional BPK P eran BPK dalam kancah pergaulan badan pemeriksa internasional tidak diragukan lagi. Pada awal-awal tahun ini setidaknya tiga event internasional dihadiri oleh delegasi BPK. Sejumlah pertemuan itu kami hadirkan di rubrik internasional. Pertemuan di Brunei, Kinabalu, dan Jaipur menegaskan peran BPK di manca negara. Selain itu, wawancara khusus dengan ketua BPK dari Filipina bisa menambah wawasan mengenai badan pemeriksa di luar negeri. Dalam beberapa hal negara ini memiliki kelebihan seperti menjadi audit eksternal bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam laporan utama, kami sajikan perkembangan mengenai sidang SKLN dan MK divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. BPK sebagai badan yang mengaudit transaksi itu menegaskan bahwa semua proses yang menggunakan dana negara harus mendapat persetujuan DPR lebih dulu. Yang menarik pada edisi kali ini, bisa diikuti pada Laporan Khusus yakni mengenai Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK Semester II Tahun 2011 (IHPS). BPK menemukan 12.612 kasus senilai Rp20,25 triliun. IHPS BPK ini merupakan rangkuman Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 1 Juli-31 Desember 2011 Pilkada Gubernur DKI yang tengah berlangsung tak luput dari pantauan redaksi. Profil para calon kami sajikan dalam rubrik umum secara lengkap. Kasus rekening gendut PNS ternyata juga menjalar ke kejaksaan agung. Korupsi agaknya tidak memandang instansi, di mana ada peluang, di situ ada kesempatan. Aksentuasi memuat integritas karyawan BPK. Disebutkan, bahwa BPK menjadi lembaga negara yang memiliki kewenangan besar dalam memeriksa keuangan negara. Badan pemeriksa ini harus memiliki auditor yang jujur dan pintar. ISI MAJALAH INI TIDAK BERARTI SAMA DENGAN PENDIRIAN ATAU PANDANGAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4 - dari kamii.indd 4 MARET 2012 PENGARAH : Hendar Ristriawan Daeng M. Nazier Nizam Burhanuddin PENANGGUNG JAWAB : Bahtiar Arif Redaksi menerima kiriman artikel, naskah, foto dan materi lain dalam bentuk softcopy atau via email sesuai dengan misi Warta BPK. Naskah diketik satu setengah spasi, huruf times new roman, 11 font maksimal 3 halaman kuarto. Redaksi berhak mengedit naskah sepanjang tidak mengubah isi naskah. 4 INDEPENDENSI - INTEGRITAS - PROFESIONALISME SUPERVISI PENERBITAN : Gunarwanto Yudi Ramdan KETUA DEWAN REDAKSI : Parwito STAF REDAKSI : Andy Akbar Krisnandy Bambang Dwi Bambang Widodo Dian Rustri Teguh Siswanto (Desain Grafis) KEPALA SEKRETARIAT : Sri Haryati STAF SEKRETARIAT : Sumunar Mahanani Sutriono Rianto Prawoto (fotografer) Indah Lestari Enda Nurhenti Werdiningsih ALAMAT REDAKSI: Gedung BPK-RI Jalan Gatot Subroto No. 31 Jakarta Telepon : 021-25549000 Pesawat 1188/1187 Faksimili : 021-57854096 E-mail : [email protected] Diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Majalah Warta BPK tidak pernah meminta sumbangan/sponsor dalam bentuk apapun yang mengatasnamakan Warta BPK Warta BPK 5/10/2012 3:13:26 PM daftar isi 16 - 23 6 - 15 Laporan Utama Sengketa Newmont Berlanjut ke MK AGENDA 24 - 25 Laporan KHUSUS BPK Menemukan 12.162 Kasus Senilai Rp20,25 Triliun Pada Semester II Tahun 2011 BPK Beri 1.078 Layanan Informasi 46 - 47 TEMPO DOELOE Dinamika Pegawai BPK Sejak Berdiri 48 - 49 ROAD TO WTP Tiga Kali Sandang Opini WTP 26 - 33 WAWANCARA “Kami Memiliki Tradisi Panjang Audit PBB’ 50 - 52 REFORMASI BIROKRASI Predikat A Dalam Akuntabilitas Kinerja 34 - 37 ANTAR LEMBAGA ‘Beri Sanksi Daerah yang Beropini Buruk’ 53 - 57 INTERNASIONAL Komite Eksekutif ASEANSAI Bertemu di Brunei 38 - 39 AKSENTUASI Auditor BPK Harus Jujur & Pintar 58 - 62 REFORMASI BIROKRASI Giliran Kejaksaan Terbelit Rekening Gendut 42 - 44 BPK DAERAH Kondisi Geografis & Cuaca Kerap Menyulitkan 63 - LINTAS PERISTIWA Ada Serangan Balik Koruptor 45 - PROFESI Tak Hanya diperpanjang Masa Magang Tapi juga Pensiun Notaris Warta BPK 5 -daftar isi.indd 5 MARET 2012 5 5/10/2012 5:20:31 PM istimewa LAPORAN UTAMA Sengketa Newmont Berlanjut ke MK Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggugat DPR dan BPK ke Mahkamah Konstitusi soal divestasi Newmont. Hal ini berpotensi terlanggarnya kewenangan konstitusional BPK dalam melaksanakan pemeriksaan. P erselisihan pemerintah, DPR, dan BPK soal divestasi Newmont berbuntut panjang. Kali ini giliran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membawa persoalan ini ke 6 MARET 2012 6 - 15 laporan utama.indd 6 ranah hukum. Melalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Menteri Keuangan Agus Martowardjojo, Presiden menggugat DPR dan BPK ke MK. Boleh jadi ini merupakan pertama kali Presiden berseteru secara hukum lewat Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di MK. Gugatan yang dilayangkan Presiden melalui SKLN lantaran DPR maupun BPK dianggap telah mengurangi dan menghalangi kekuasaan pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada akhir Februari, Sekjen Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin menganggap kebijakan Warta BPK 5/10/2012 3:15:03 PM LAPORAN UTAMA Warta BPK 6 - 15 laporan utama.indd 7 kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan negara. Pasalnya, menurut pemerintah, investasi atas pembelian saham 7% divestasi NNT itu ditujukan untuk memberikan manfaat yang seluasluasnya bagi rakyat Indonesia sesuai tujuan bernegara. Oleh karena itu dalam berkas permohonannya, pemohon meminta MK menyatakan pemohon memiliki kewenangan konstitusional sesuai Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 istimewa pemerintah untuk membeli 7% saham di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) merupakan kewenangan konstitusional pemerintah. Untuk memperkuat argumennya, Badaruddin menunjuk Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Berbekal ketentuan itu, Badaruddin menganggap investasi pemerintah lewat pembelian 7% saham NNT tanpa perlu meminta persetujuan DPR. Selain itu, dia juga mengungkapkan akibat persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR. Kalangan DPR menganggap, pemerintah hanya dapat membeli 7% saham divestasi NNT setelah mendapat persetujuan DPR. Hal ini tertuang dalam dalam dua surat pimpinan DPR pada 28 Oktober 2011. Di sana disebutkan, sebelum pemerintah membeli saham NNT, harus terlebih dahulu meminta persetujuan DPR. Akibatnya, menurut Badaruddin, kewenangan konstitusional pemohon telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan negara. Sejatinya akibat adanya perbedaan tersebut, sebelumnya DPR telah meminta BPK untuk mengaudit proses pembelian saham divestasi NNT itu. Hasilnya, laporan hasil audit pemeriksaan BPK menilai keputusan pemerintah untuk investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal di NNT ditetapkan oleh peraturan pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR. Sekalipun begitu, pemerintah tidak menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK ini sesuai yang diamanatkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945. Sebaliknya, pemeritah justru menganggap kewenangan konstitusional pemohon telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan sebagai pemegang Agus Martowardoyo berupa pembelian 7% divestasi NNT tanpa memerlukan persetujuan DPR. Selain itu, pemohon juga meminta hasil audit BPK dalam pembelian saham itu yang sebelumnya harus mendapatkan persetujuan DPR telah melampaui kewenangan konstitusional BPK. Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz dalam sidang lanjutan SKLN di MK, pada pertengahan Maret, mengungkapkan DPR tidak keliru dalam menafsirkan makna ‘persetujuan’ dalam Pasal 24 ayat (7) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menurut dia, dalam pasal itu dengan jelas menyatakan dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR. “Ketentuan ini harus dipahami dalam keadaan tertentu pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR,” katanya. Oleh karena itu, dia menganggap bahwa pembelian 7% saham itu sesuai kewenangan DPR yang diatur dalam Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara sudah tepat. Menurut dia, pembelian saham itu terkait dengan tindakan pemerintah dalam pengelolaan aset negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. “Ini masuk lingkup kewenangan DPR seperti diatur dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 yang menyangkut keuangan negara, tidak terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,” tutur Harry. Itu sebabnya, dia beranggapan kalau pemerintah telah membuat penafsiran yang keliru terhadap makna Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara yang menyatakan pembelian itu tidak perlu persetujuan DPR karena dilakukan dalam keadaan normal, bukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. “Tidak ada kewenangan konstitusional pemohon yang dikurangi , diambil, dan dihalangi,” tegas Harry. Dalam tanggapan tertulis yang disampaikan kepada MK, BPK berpandangan bila permohonan SKLN ini dikabulkan justru akan menimbulkan beberapa konsekuensi. Seperti terlanggarnya kewenangan konstitusional BPK dalam MARET 2012 7 5/10/2012 3:15:04 PM LAPORAN UTAMA melaksanakan pemeriksaan. Sebab, laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas proses pembelian 7% saham itu dianggap melanggar kewenangan konstitusional pemerintah. Selain itu, akibat gugatan itu juga bisa menimbulkan hilangnya fungsi check and balances antara pemohon, DPR, dan BPK dalam sistem pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara karena dianulirnya LHP BPK “Hilangnya kepercayaan masyarakat kepada BPK, dan LHP BPK berpotensi menjadi obyek SKLN. Wakil Ketua BPK Hasan Bisri Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan analisis yang dilakukan BPK guna mengetahui status proses pembelian saham NNT itu agar tidak menyimpang peraturan perundang-undangan. Menurut dia, mengacu pada surat Menkeu pada 23 Juni 2011, disebutkan jika pembelian saham oleh pemerintah ditujukan untuk mendapat return lebih tinggi melalui perolehan dividen atau nilai perusahaan. 8 MARET 2012 6 - 15 laporan utama.indd 8 Selain itu, lanjutnya, pembelian saham dimaksudkan untuk menjaga kepentingan nasional, mendukung kepatuhan perusahaan dan pajak maupun royalty, bina lingkungan, dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR), dan mendorong penjualan konsentrat dan nilai tambah nasional. “Sehingga pembelian divestasi saham Newmont tidak sematamata untuk tujuan ekonomis, tetapi pengendalian terhadap perusahaan dalam jangka panjang,” tuturnya. Intinya, lanjut Hasan, BPK ingin istimewa menegaskan bahwa pembelian saham NNT adalah bentuk penyertaan modal pemerintah, bukan investasi pada perusahaan yang bersifat terbuka. Dia mengkritik cara berpikir Menkeu yang mengatakan pembelian tidak perlu persetujuan DPR. Bila itu terjadi, katanya, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dengan kekuatan uang yang besar bisa melakukan investasi untuk mengakuisisi perusahaan mana saja, baik terbuka maupun tertutup. Langkah ini membuat PIP akan menjadi investor terbesar di Indonesia dan bisa melakukan investasi kemana saja tanpa persetujuan DPR. “Tidak bisa menggunakan cara berpikir seperti itu,” kata Hasan. Bisa Memperkuat BPK Menyinggung mengenai adanya gugatan sengketa kewenangan lembaga negara, Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin menilai bahwa semua pelaksanaan kewenangan lembaga negara, termasuk BPK, itu pasti ada kewenangan lembaga lain yang terganggu. Inilah konsekuensi yang konstitusionalisme, sistem pembatasan kekuasaan. BPK diberi tugas mengawasi pengelolaan keuangan negara, otomatis ada pelaksanaan kewenangan dari lembaga negara dan ada penilaian dari lembaga negara lain. “Dari penilaian itu bisa berbeda. Akibat berbeda menjadi terganggu. Namun tidak otomatis kemudian merugikan kewenangan konstituonal dari lembaga presiden itu. Ini konsekuensi dari prinsip konstitusionalisme,” kata Irman kepada Warta BPK. Dia menilai langkah presiden membawa persoalan ini ke MK masih dalam langkah konstitusional. Namun, yang harus diingatkan justru MK. “Jangan sampai MK terlalu jauh larut dalam perdebatan-perdebatan oleh pemerintah, justru akan semakin mendegradasi pelaksanaan sengketa kewenangan lembaga negara konstitusional. Akhirnya, semua perkara kewenangan lembaga negara yang dinilai oleh BPK masuk dalam kamar sengketa kewenangan lembaga negara. Sebab semua lembaga negara diaudit BPK. Akibatnya semua persoalan Warta BPK 5/10/2012 3:15:05 PM LAPORAN UTAMA keuangan negara bisa dibawa ke MK.” Sebaliknya, tambah Irman, dengan adanya sengketa kewenangan lembaga negara ini bisa menjadi pintu bagi MK untuk membingkai sengketa kewenangan lembaga negara khususnya dengan pengawasan pengelolaan keuanga negara. Selain itu, adanya gugatan sengketa kewenangan lembaga negara juga bisa menjadi preseden buruk. “Padahal persoalan ini adalah persoalan pelaksanaan kewenangan di masing-masing cabang kekuasaan. Sehingga kalau terjadi perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah,” katanya. Oleh karena itu, dia mengharapkan BPK agar tidak perlu terlalu panik dalam menghadapi persoalan ini. Sebab, dengan adanya gugatan sengketa kewenangan lembaga negara bisa menjadi penguatan bagi BPK dalam pelaksanaan pengawasan pengelolaan uang negara semakin konstitusional. “Artinya kalau BPK dimenangkan akan memperkuat kedudukan badan pemeriksa itu sendiri,” jelas Irman. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dalam keterangannya sebagai ahli di MK mengungkapkan justru yang menjadi persoalan adalah dari manakah sumber dana untuk membeli saham divestasi itu. Pasalnya, PIP sendiri bukanlah BUMN yang kekayaannya telah dipisahkan dari kekayaan negara karena didirikan dengan penyertaan modal pemerintah yang pembentukannya melalui Peraturan Pemerintah. Menurut Yusril, PIP adalah unit organisasi noneselon di bidang pengelolaan investasi pemerintah yang bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Dengan demikian, seluruh dana PIP adalah dana pemerintah yang sumbernya berasal dari APBN. Dengan demikian, tambahnya, Warta BPK 6 - 15 laporan utama.indd 9 jika PIP berencana akan membeli saham perusahaan manapun, diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Mekanismenya, mengacu Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Keuangan No 180/PMK.05/2008 dengan terlebih dahulu memasukkannya ke dalam Rencana Kerja Investasi (RKI). Rencana investasi pembelian saham ini juga harus dimasukkan dalam RKI sebagaimana diatur Frans Limahelu Pasal 4 ayat 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan No 135/PMK.05/2008. Namun, apabila keputusan pembelian 7% saham divestasi NNT alokasi dana investasinya belum tersedia dalam APBN tahun yang sedang berjalan, maka usul penambahan dana investasi dan penggunaan keuntungan PIP yang bukan merupakan kekayaaan negara yang dipisahkan itu harus diajukan pemerintah ketika membahas APBN Perubahan untuk lebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR. ”Presiden baru perlu meminta persetujuan DPR kalau pembelian saham tersebut belum dialokasikan dana investasinya dalam APBN,” kata Yusril. Audit Sudah Final Pakar Hukum Tata Negara Frans Limahelu mengungkapkan pada dasarnya hasil audit BPK sudah final. Artinya, tidak bisa disengketakan. Hal ini sama dengan putusan MK yang tidak bisa disengketakan. “Ini perlu dipahami secara mendalam oleh MK dan semua lembaga negara serta masyarakat,” katanya kepada Warta BPK. (warta bpk/rianto prawoto) Pasalnya, lanjutnya, lembaga negara yang memilki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara hanya BPK. “Dengan begitu bila BPK sudah memeriksa, yang diperiksa harus melaksanakannya. Artinya, audit BPK sudah final,” tegasnya. Dia berpendapat langkah presiden untuk membawa persoalan hasil audit BPK terhadap pembelian saham Newmont merupakan langkah politik, bukan masalah hukum. Selain itu, Frans juga melihat adanya gugatan ini menunjukkan kalau presiden dan menteri tidak mengerti BPK. “Yang perlu dimengerti mereka bahwa tugas BPK hanya memeriksa saja,” papar Frans. Sebaliknya, dia juga melihat adanya gugatan sengketa kewenangan ini dapat menimbulkan preseden buruk terhadap kewenangan BPK. Dia menghimbau agar BPK harus yakin terhadap kewenangan BPK. Justu yang penting dilakukan, kata Frans, yakni memberikan tekanan dan pemahaman mengenai kewenangan BPK. “Jadi tidak perlu khawatir dan jangan sampai terpengaruh,” tegasnya. bw/bd MARET 2012 9 5/10/2012 3:15:05 PM LAPORAN UTAMA “Pembelian Saham Newmont Harus Taat Aturan” (warta bpk/rianto prawoto) Pembelian saham PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont) merupakan penyertaan modal pemerintah jangka panjang dan pada perusahaan swasta yang tertutup. Sesuai dengan aturan yang berlaku pembelian itu harus izin DPR. Wakil Ketua BPK Hasan Bisri H asil audit BPK mengenai divestasi saham di Newmont sepertinya membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kelimpungan. Tak heran bila dalam gugatan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi, presiden menyeret BPK sebagai termohon kedua. Wakil ketua BPK Hasan Bisri dalam keterangannya di MK mengungkapkan pemeriksaan yang dilakukan BPK terhadap pembelian saham Newmont, bertujuan hanya menilai apakah pembelian itu sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku atau tidak. Pasalnya, menurut Hasan, sebagai negara hukum, semua pengelolaan keuangan negara harus taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan begitu, BPK bukan kapasitas sebagai lembaga menyetujui 10 MARET 2012 6 - 15 laporan utama.indd 10 atau tidak menyetujui transaksi itu. Namun, BPK memberikan pendapat sesuai hasil pemeriksaan. “BPK memberikan pendapat bahwa sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, kalau ingin membeli saham perusahaan swasta harus minta izin DPR terlebih dahulu,” tegasnya. Adapun untuk mengetahui apakah proses pembelian saham Newmont sudah mengikuti ketentuan yang berlaku atau tidak, BPK melakukan analisis terhadap status pembelian saham itu. Hal ini dilakukan karena dengan mengetahui status pembelian saham itu BPK bisa mencari peraturan yang sesuai mengenai bagaimana prosedur pembeliannya. “Untuk mengetahui status pembelian saham itu, BPK juga melihat tujuan pemerintah membeli saham Newmont,” kata Hasan. Dia menjelaskan Menteri Keuangan pada 23 Juni 2011, telah menyampaikan surat kepada BPK. Intinya dalam surat itu, Menteri Keuangan menjelaskan tujuan pemerintah membeli saham Newmont. Salah satunya, untuk memberikan return lebih baik melalui perolehan dividen, dan pertumbuhan nilai perusahaan. Pembelian saham itu juga bertujuan agar pemerintah dapat menjaga kepentingan nasional. Menteri Keuangan juga mengungkapkan tujuan lain pembelian saham Newmont yakni untuk mendukung dan memastikan kepatuhan perusahaan dalam pembayaran pajak, royalti , kewajiban CSR, bina lingkugan dan peningkatan transparansi dan akuntabilitas. Tujuan lain, yakni untuk mendukung penjualan konsentrat dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah dalam pendapatan nasional. Berdasarjan tujuan tersebut, lanjut Hasan Bisri, BPK berpendapat bahwa pembelian saham Newmont tidak semata untuk memperoleh keuntungan ekonomis, tetapi ingin berperan dalam pengendalian perusahaan. Adapun mengenai berapa lama pemerintah akan memegang saham Newmont, dalam perjanjian jual beli antara Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dengan penanam modal asing PT Newmont disebutkan, pemerintah menjamin dan berkomitmen untuk memiliki saham itu dalam jangka waktu minimal 5 tahun. “Dengan begitu artinya di sini adalah jangka panjang,” jelasnya. Selanjutnya, Hasan menyinggung mengenai proses jual beli saham itu. Dia menyebut ketentuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam ketentuan itu disebutkan, setelah perjanjian jual beli ini ditandatangani maka proses berikutnya adalah meminta izin kepada Kementerian ESDM. Hal ini dilakukan karena adanya Peraturan Menteri ESDM yang menyatakan bahwa setiap perubahan kepemilikan saham di bidang pertambangan harus mendapat persetujuan Kementerian ESDM. Persetujuan itu harus disampaikan kepada Badan Koordiansi Penanaman Modal (BKPM). “Artinya ada ketentuan bahwa semua perusahaan PMA bila terjadi perubahan kepemilikan saham harus dilaporakan ke BKPM. Sementara BKPM tidak bisa memberikan persetujuan kalau tidak ada rekomendasi dari kementerian ESDM,” kata Hasan. Dengan demikian, BPK berpendapat bahwa status pembelian saham Newmont oleh PIP ini adalah penyertaan modal pemerintah. Hal ini berbeda dengan Menteri Keuangan yang menganggap pembelian saham Newmont adalah investasi jangka panjang nonpermanen. Padahal, istilah investasi jangka panjang nonpermanen sebetulnya ada dalam Warta BPK 5/10/2012 3:15:05 PM LAPORAN UTAMA standar akuntansi. Artinya, standar itu mengatur mengenai bagaimana perlakuan akuntansi, bukan status hukum dari investasi itu. “Dengan begitu BPK berpendapat ini adalah penyertaan modal pemerintah,” jelas Hasan. Dia menjelaskan data yang diperoleh BPK bahwa sampai transaksi jual beli itu dilakukan, Newmont masih sebagai perusahaan tertutup. Dengan begitu, Newmont merupakan perusahaan swasta. Oleh karena itu, BPK berpendapat bahwa pembelian saham ini adalah penyertaan modal pemerintah bersifat jangka panjang dan pada perusahaan swasta yang tertutup. Anggaran Pembelian Hasan menambahkan BPK juga melakukan penelitian dan kajian mengenai anggaran untuk melakukan pembelian saham ini sudah tersedia dalam APBN atau belum. Pembelian saham akan dilakukan dengan dana PIP, yang diperoleh dari APBN. Untuk itu, BPK melihat dari alokasi dana APBN untuk PIP tidak ada satupun tertulis untuk pembelian saham Newmont. Pada awalnya, alokasi anggaran PIP untuk pembangunan infrastruktur. Namun, dalam 2 tahun terakhir hanya sebagai bahan investasi. Sementara pada berita acara rapat Badan Anggaran DPR dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, menyimpulkan bahwa penggunaan dana investasi harus lebih dahulu dibicarakan dengan komisi terkait. BPK, jelasnya, juga melakukan pemeriksaan terhadap kewenangan Menteri Keuangan dalam memutuskan melakukan penyertaan modal pemerintah pada perusahan swasta, dalam hal ini Newmont. Selama ini, Menteri Keuangan selalu mengatakan bahwa pembelian saham Newmont dilakukan oleh Menteri Keuangan dalam kapasitasnya sebagai bendahara umum negara. Hasan mengingatkan UU tentang Warta BPK 6 - 15 laporan utama.indd 11 Perbedaharaan Negara mengatakan Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara mempunyai wewenang antara lain menempatkan uang dan mengelola dan menatausahakan investasi. Penjelasan pasal itu mengatakan, bahwa yang dimaksud penempatan uang dalam konteks pengelolaan kas dan investasi yang dimaksud adalah investasi dalam bentuk surat utang negara. Jadi apabila kas yang dikelola Kementerian Keuangan berlebih bisa saja digunakan untuk membeli surat utang negara. Dengan begitu menteri keuangan tetap sebagai pemegang surat utang yang memperoleh bunga seperti halnya pemegang surat utang lainnya. Dengan begitu sesuai dengan UU No. 1 tahun 2004, investasi yang menjadi kewenangan Bendahara Umum Negara adalah invesasi dalam bentuk pembelian surat utang negara, bukan investasi dalam bentuk akuisisi perusahaan apalagi membeli saham perusahaan swasta. Sesuai amanat UU No 1 tahun 2004 pasal 41, pemerintah telah menetapkan peraturan pemeritah No. 1 tahun 2008 tentang investasi pemeritah. Ternyata, semua proses investasi termasuk penyertaan modal itu sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan tidak melibatkan pemerintah untuk setiap keputusaan penyertaan modal pemerintah. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan pedoman bagi Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang investasi pemerintah. Pada awalnya, Menteri Keuangan mengatur bahwa PIP hanya boleh melakukan investasi pada perusahaan yang bersifat terbuka. Hasan Bisri menyimpulkan bahwa pembelian saham Newmont adalah penyertaan modal pemerintah , bukan invesasi pada perusahaan saham terbuka seperti di bursa. “Oleh karena itu perusahaan swasta maka harus persetujuan DPR,” tuturnya. Justru dia mengkhawatirkan bila cara berpikir Menteri Keuangan BPK berpendapat bahwa pembelian saham Newmont tidak semata untuk memperoleh keuntungan ekonomis, tetapi ingin berperan dalam pengendalian perusahaan. Selanjutnya Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa pembelian saham Newmont didasarkan pada pasal 41 UU perbedaharaan negara. Padahal, dalam pandangan Hasan Bisri, pasal itu mengarahkan bahwa setiap penyertaan modal pemerintah pada perusahaan negara, perusahaan daerah, atau perusahaan swasta harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu, paparnya, BPK berpendapat bahwa pembelian saham Newmont bukan kewenangan pemerintah sebagai bendahara umum negara. Sebab, kewenangan Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara sangat terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No1 tahun 20014 tentang perbendaharaan negara. sekarang ini seperti itu, maka PIP dengan kekuatan uang yang sangat besar bisa melakukan investasi pembelian saham perusahaan mana saja, baik perusahaan terbuka maupun tertutup. Jika memang begitu, Hasan mempertanyakan kenapa tidak menggunakan BUMN. Menurut dia, esensi PIP sebagai BLU adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dan diberikan kewenangan langsung untuk menggunakan pendapatan guna melayani masyarakat. “Kalau seperti ini PIP menjadi investor terbesar dengan kemampuan dana yang sangat besar bisa investasi kemana saja tanpa persetujuan DPR. Ini yang kami khawatirkan,” kata Hasan Bisri. bw MARET 2012 11 5/10/2012 3:15:06 PM LAPORAN UTAMA T erjadinya gugatan Sengketa Kewengan Lembaga Negara ( SKLN) di Mahkamah Konstitusi (MK), disayangkan sejumlah kalangan. Salah satunya pengamat ekonomi Anggito Abimanyu. Menurut dia, dengan adanya sengketa kewenangan lembaga negara mengenai divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara mengakibatkan terganggunya kepercayaan para pelaku usaha. Selain itu, gugatan itu juga telah menimbulkan adanya ketidakpastian iklim investasi khususnya di sektor pertambangan. Anggito juga menyayangkan berlarutnya penyelesaian divestasi saham Newmont hingga lebih dari 1 tahun. Akibatnya Indonesia kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan negara, mensejahterakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, menciptakan nilai tambah, dan memperbaiki pengelolaan sektor pertambangan. Pangkal persoalan sengketa kewenangan ini sangat sederhana. Yakni mengenai perlu tidaknya Anggito Abimanyu 12 MARET 2012 6 - 15 laporan utama.indd 12 Persetujuan DPR Tak Hambat Divestasi pemerintah meminta persetujuan DPR untuk menggunakan dana investasi di Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan melaksanakan pembelian 7% saham Newmont. Di satu sisi, menurut Anggito, kementerian keuangan menganggap sudah mendapat izin melalui persetujuan APBN 2012. Namun, di sisi lain, DPR mengatakan bahwa meskipun anggaran PIP telah termuat dalam UU APBN 2011, tetapi belum cukup. Sehingga tetap diperlukan adanya persetujuan dari komisi teknis yakni Komisi XI DPR. Seharusnya sengketa kewenangan ini tidak perlu terjadi apabila kedua belah pihak, terutama kementerian keuangan dan DPR, memahami dengan baik mekanisme dan proses pembahasan APBN. Kewenangan komisi dan Badan Anggaran DPR dalam APBN termuat dalam UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD harus dimengerti dengan baik dan dipatuhi dengan seksama. Pengetahuan dan pemahaman mengenai siklus, proses, mekanisme pembahasan dan persetujuan APBN, diperlukan karena pemerintah menggunakan PIP yang berbadan hukum Badan Layanan Umum (BLU) untuk melakukan investasi. Sebagai BLU meneruskan bagian dari keuangan negara. Oleh sebab itu, rencana kerja dan anggaran harus istimewa mendapat persetujuan dari DPR dalam proses pembahasan APBN setiap tahunnya. Selain itu, sebagai bagian dari keuangan negara, BLU juga harus menyampaikan rencana bisnis dan rencana investasi serta rencana kerja dan anggaran untuk mendapatkan persetujuan dari komisi terkait dan disinkronisasikan oleh Badan Anggaran DPR dalam postur APBN. Ketidakpahaman inilah, menurut Anggito, yang menjadi pangkal terjadinya persengketaan yang menyeret para pihak dalam situasi saling tidak percaya. Padahal, proses persetujuan DPR baik di badan anggaran, komisi dan sidang paripurna sudah selalu dijalankan dan merupakan hal yang rutin dalam proses pembahasan APNBN setiap tahunnya. “Persetujuan tersebut harus diperoleh oleh setiap kementerian dan lembaga pemerintah sebagai pengguna anggaran termasuk BLU sebagai lembaga yang tidak terpisahkan dari keuangan negara,” katanya. Menurut dia, selama ini terjadi perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya persetujuan DPR. DPR mengatakan pemerintah harus meminta persetujuan DPR dengan menunjuk pada UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan UU No 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. Adapun, pemerintah mengatakan tidak perlu lagi persetujuan DPR. Argumen pemerintah ini merujuk pada pasal 8 huruf f, UU No. 17 tahun 2003 yang mengatakan pelaksanaan fungsi Bendahara Umum Negara dan Pasal 41 UU No 1 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2008 tentang landasan hukum Warta BPK 5/10/2012 3:15:06 PM LAPORAN UTAMA operasional PIP. Perbedaan pandangan lain juga terjadi pada pemahaman investasi pemerintah dan penyertaan modal pemerintah. Pemerintah berpendapat pembelian 7% saham divestasi Newmont merupakan investasi jangka panjang nonpermanen oleh menteri keuangan selaku BUN untuk melaksanakan investasi sesuai ketentuan pasal 41 ayat 1, 2 dan 3 dalam UU Perbendaharaan Negara. Sementara BPK berpendapat pembelian saham Newmont melalui PIP adalaah investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah dalam perusahaan swasta. Selain itu, perbedaan pendapat juga terjadi pada penggunaan dana PIP. Kalangan DPR berpendapat pembelian saham Newmont dengan menggunakan dana PIP tidak mencerminkan awal pembentukan PIP sebagai BLU khususnya di bidang infrastuktur. Sebaliknya pemerintah berpendapat bahwa dalam PP No 1 tahun 2008, investasi yang dilakukan PIP tidak dibatasi hanya bidang infrastuktur, tetapi bidang lain yang ditetapkan menteri keuangan. Mengenai alokasi dana pembelian saham, BPK berpendapat bahwa pemerintah belum mengalokasikan dana pembelian saham dalam APBN 2009 dan investasi dilakukan tanpa ada rincian serta penjelasan yang memadai sebagai amanat yang diatur dalam Pasal 15 ayat 5 UU Keuangan Negara. Pemerintah mengatakan alokasi anggaran PIP sebagai satuan kerja Kementerian Keuangan sudah rinci sampai unit organisasi, fungsi program, dan kegiatan dalam bagian anggaran Kementerian Keuangan. Selain itu, lanjut Anggito, keberadaan PIP sebagai BLU, BPK juga menyimpulkan bahwa kelembagaan PIP sebagai BLU tidak sesuai dengan semangat pembentukan PIP sendiri. BPK juga Warta BPK 6 - 15 laporan utama.indd 13 berpendapat, PIP tidak memberikan layanan langsung kepada masyarakat tetapi hanya bertujuan untuk memupuk keuntungan ekonomi. Pemerintah berpendapat PIP merupakan BLU yang mengelola keuangan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan pelayaan pada masyarakat. Menyinggung mengenai alokasi dana Investasi di Newmont oleh pemerintah, Anggito mengutip keterangan saksi ahli Yusril Ihza Mahendra di Mahkamah Konstitusi. Yusril mengungkapkan apabila alokasi dana investasi belum tersedia atau telah tersedia tetapi belum mencukupi, penyediaan dana itu harus dibahas lebih dahulu oleh DPR untuk disepakati bersama yang dituangkan dalam APBN atau APBN perubahan. Keterangan itu, kata Anggito, menyiratkan bahwa perlu persetujuan DPR sebelum dituangkan dalam APBN apabila mendorong tujuan dan kemanfaatan dari investasi yang dilakukan oleh pemerintah secara optimal. Menyinggung mengenai keberadaan PIP, Anggito mengungkapkan sebagai BLU setiap mata anggaran PIP merupakan bagian dari APBN. Dengan demikian pengunaannya harus mendapat persetujuan dari komisi terkait dan disinkronkan oleh badan anggaran DPR. Menurut dia, setiap investasi yang dilakukan PIP seharusnya sesuai dengan tujuan dan pembentukan PIP. Hal ini seperti tertera dalam pasal 1 PP No 23 tahun 2005 yang mengatakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Anggito menyarankan badan hukum PIP yang merupakan BLU perlu ditinjau kembali. Apabila sebagai BLU maka PIP harus Seharusnya sengketa kewenangan ini tidak perlu terjadi apabila kedua belah pihak, terutama kementerian keuangan dan DPR, memahami dengan baik mekanisme dan proses pembahasan APBN. dana investasi belum tersedia atau belum mencukupi. Anggito berpandangan proses pembelian saham Newmont oleh pemerintah masih memerlukan persetujuan dari Komisi XI DPR sebagai bagian kelengkapan persetujuan APBN 2011. Perlunya persetujuan komisi itu, hendaknya tidak dimaknai adanya upaya menghambat investasi saham itu. Pemerintah pusat harus dapat memastikan adanya kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam milik negara dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kepentingan nasional. Untuk itu, Anggito berpandangan proses pembahasan dengan komisi itu perlu dijalankan untuk tetap mengemban misi sebagai lembaga pelayanan masyarakat yang bersifat nirlaba. Dia juga memberikan alternatif bagi pemerintah untuk menggunakan BUMN untuk membeli saham divestasi Newmont. “Terlepas perlunya persetujuan DPR, pembelian saham itu oleh pemerintah perlu didukung untuk memanfaatkan SDA untuk kemakmuran rakyat,” kata Anggito. Dia menyarankan kepada MK untuk mengkonfirmasikan kembali prosedur, proses APBN yang telah dilalui oleh pemerintah dan DPR sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. “Artinya dalam sengketa ini tidak ada yang menang dan kalah,” kata Anggito. bw MARET 2012 13 5/10/2012 3:15:06 PM LAPORAN UTAMA Pembelian Saham Newmont Harus disetujui DPR P penerimaan negara. “Melalui akar Hukum Keuangan kedua hal tersebut pelaksanaan Negara Siswo Suyanto tujuan diwujudkan,” kata Siswo. mengatakan gugatan Hak lain bagi legislatif, antarlembaga negara lanjutnya, adalah hak untuk merupakan ruang lingkup meminta pertanggungjawaban hukum keuangan negara. kepada eksekutif dalam “Yakni kasus yang terjadi antara pelaksanaan rencana kerja lembaga legislatif dan eksekutif maupun rencana pembiayaan. dalam rangka penetapan UU Di pihak lain, lembaga APBN serta dalam rangka eksekutif adalah pelaksana pelaksanaan APBN,” katanya di dari keputusan yang telah Mahkamah Konstitusi, belum ditetapkan rakyat melalui lama ini. lembaga perwakilannya. Terkait Dia menjelaskan pengelolaan dengan peran lembaga eksekutif keuangan negara terbagi dalam tersebut semua kebijakan dua aspek, yakni politis dan yang disusun pemerintah administratif. Dalam kajian adalah kebijakan operasional hukum keuangan negara, aspek dalam rangka pelaksanaan politis keuangan negara ini kesepakatan. secara substansi mengatur Hak yang dimiliki eksekutif hubungan hukum antara dalam hal ini tidak lebih hanya lembaga legislatif dan eksekutif bentuk kewajiban. “Kewajiban dalam rangka penyusunan dan istimewa eksekutif adalah menyusun penetapan APBN. Siswo Suyanto pertangungjawaban yang “Secara kongkrit aspek politis mencakup kinerja eksekutif keuangan negara terkait dengan penuh kepada eksekutif untuk dan mewujudkan program kerja pelaksanaan yang terkandung dalam melaksanakan kegiatan dan yang telah direncanakan mencakup UUD. Amanah UUD itu diwujudkan kewenangan untuk membiayai pertanggujawaban keuangan, ” kata dalam bentuk kegiatan pengelolaan kegiatan tersebut. “Inilah yang . Siswo rumah tangga negara, baik dari disebut otorisasi parlementer atau Pembagian kekuasaan antara aspek kegiatan maupun dari hak budjet lembaga legislatif,” tandas legislatif dan eksekutif telah pembiayaan,” jelas Siswo. Siswo. melahirkan prinsip transparansi Dia menjelaskan dari aspek Hanya saja, kesepakatan antara anggaran yang menekankan pembiayaan bagaimana pemerintah kedua lembaga tersebut memiliki adanya kejelasan peran antara dapat membiayai kegiatan konsekuensi logis dalam bentuk hak yang menyusulkan dan pihak yang dalam rangka mewujudkan dan kewajiban bagi kedua belah memutuskan. Pada hakekatanya, penyelenggaraan pemerintahan dan pihak. Di pihak legislatif hak yang prinsip pengelolaan keuangan pemenuhan hak azasi warga negara. timbul akibat kesepakatan tersebut negara merupakan alat bagi Dengan demikian, APBN merupakan adalah hak untuk melakukan lembaga legislatif untuk dapat suatu bentuk kesepakatan antara pengawasan terhadap pelaksanaan melakukan pengawasan secara legislatif dan eksekutif yang tujuan yang telah dituangkan efektif dan efisien yang dilakukan berisi rencana kegiatan dan cara dalam bentuk produk perundanglembaga eksekutif. pembiayaannya. undangan. Hak pengawasan Dengan demikian, lanjut Dalam kesepakatan tersebut legislatif pada hakekatnya Siswo, tindakan pejabat publik legislatif memberikan kewenangan mencakup pengeluaran negara, dan 14 MARET 2012 6 - 15 laporan utama.indd 14 Warta BPK 5/10/2012 3:15:06 PM LAPORAN UTAMA dalam lingkup administratif hanya merupakan operasionalisasi keputusan politik. Yakni keputusan yang telah dituangkan dalam APBN. Tindakan kepala pemerintah selaku pimpinan lembaga eksekutif diwujdkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang dilaksanakan APBN. Selanjutnya dalam pelaksaan APBN tersebut diterbitkan berbagai surat keputusan yang dijadikan dasar pengeluarkan negara. Aspek politisi pengelolaan keuangan negara, menurut Siswo, tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Aspek administratifnya tertuang dalam UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam kedua UU itu diatur pengelolaan keuangan negara yang diterapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bukanlah mengatur hal yang sama dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Pada prinsipnya, UU No. 1 tahun 2004 mengatur operasionalisasi keputusan politis yang telah dituangkan dalam UU APBN. Dengan demikian UU No 1 tahun 2004 bukanlah merupakan lekspesialis terhadap UU Keuangan Negara,” kata Siswo. Menyinggung mengenai peran Menteri Keuangan, dia mengungkapkan selama ini berbagai pihak telah salah mengartikan peran Menteri Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara. Menteri Keuangan dalam pengelolan keuangan negara selalu diartikan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Padahal, dalam hal tertentu Menteri Keuangan bertindak selaku pembantu presiden yang menangani masalah keuangan negara. Dengan begitu menteri keuangan adalah menteri teknis sebagaimana menteri lainnya. Kedudukannya Warta BPK 6 - 15 laporan utama.indd 15 selaku BUN adalah bertindak selaku pejabat perbedaharaan saat berhadapan dengan menteri teknis selaku pengguna anggaran dalam pelaksanan APBN. Kekuasaan menteri keuangan selaku BUN bersifat limitatif. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU No 1 tahun 2004 tentang Pembedaharaan Negara. Peran BUN tidak berbeda dengan peran bendahara di berbagai kementerian . Hanya saja perannya memiliki cakupan tugas yang lebih luas meliputi pengelolaan uang, kekayaan, utang, dan piutang. Kewenangan bendahara umun Kewajiban eksekutif adalah menyusun pertangungjawaban yang mencakup kinerja eksekutif dan mewujudkan program kerja yang telah direncanakan mencakup pertanggujawaban keuangan. negara untuk menempatkan uang dan melakukan investasi sangat dibatasi karena merupakan tindakan dalam pengelolaan kas. Oleh sebab itu, UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menggunakan terminologi pemerintah dan kementerian keuangan. Mengenai Pusat Investasi Pemerintah (PIP), Siswo menilai PIP merupakan Badan Layanan Umum (BLU). Seharusnya bercirikan sebagai institusi pemerintah penyedia layanan publik yang tidak berorientasi pada profit. Namun, kenyataannya sebagai lembaga investasi, PIP merupakan institusi yang berorientasi kepada pemupukan keuntungan. Padahal, lanjut Siswo, diawal kelahirannya PIP bernama Badan Investasi Pemerintah yang bernaung di Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Namun, dalam perkembangannya PIP menfasilitasi pihak swasta dalam melakukan investasi, khsusunya dalam pembangunan dalam bidang infrastuktur. Pada saat itulah terjadi perubahan orientasi fungsi PIP. Sehingga PIP tidak layak di bawah Direktorat Jenderal Pembendaharaan. Selaku BUN, PIP di bawah Sekjen Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, PIP merupakan unit organisasi di bidang pengelolaan investasi pemerintah yang bertanggungjawab kepada menteri keuangan. Seluruh dana PIP merupakan kekayaan negara yang tidak bisa dipisahkan dan dikelola melalui sistem APBN. Dengan demikian, PIP berkewajiban menyusun rencana bisnis anggaran yang tidak bisa dipisahkan dari rencana kegiatan kementerian keuangan. Sebagai satuan kerja pemerintah pendananaaan kegiatan BLU dialokasikan di APBN yang memerlukan proses pembahasan dan penetapan di lembaga legislataif. Dengan demikian, Siswo mengungkapkan APBN merupakan kesepakatan antara legislatif dan eksekutif yang diputuskan dalam proses politik. Oleh karena itu dalam menetapkan APBN kedudukan legislatif lebih kuat dibandingakan dengan eksekutif. Pembelian 7% saham Newmont oleh pihak pemerintah melalui PIP harus dituangkan dalam rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU. Rencana bisnis itu harus dibahas dan disetujui oleh DPR. “Dengan demikian pembelian saham Newmont oleh pihak pemohon yang dilakukan PIP harus dibahas dan setujui oleh DPR sebelum dilaksanakan,” kata Siswo. bw MARET 2012 15 5/10/2012 3:15:06 PM LAPORAN KHUSUS (warta bpk/rianto prawoto) BPK Menemukan 12.162 Kasus Senilai Rp20,25 Triliun Pada Semester II Tahun 2011 Ketua BPK Hadi Poernomo tengah menyampaikan IHPS II di DPR D alam Sidang Paripurna DPR ke-23 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2011-2012, BPK menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2011. Ketua BPK Hadi Poernomo menyerahkan secara langsung kepada pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Priyo menyatakan bahwa IHPS Semester II Tahun 2011 ini akan diserahkan ke Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) untuk dipelajari dan ditindak lanjuti. IHPS BPK Semester II Tahun 2011 ini merupakan rangkuman Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 1 Juli-31 Desember 2011. Sebagai mandat 16 MARET 2012 16 - 23 laporan khusus .indd 16 UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait, mengamanatkan BPK untuk menyerahkan hasil pemeriksaan itu kepada rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR. Selain itu, BPK juga menyerahkan kepada pemerintah dan DPD. Total obyek pemeriksaan yang terangkum dalam IHPS BPK Semester II Tahun 2011 ini sebanyak 927 objek pemeriksaan. Sebanyak 166 obyek pemeriksaan di antaranya, merupakan obyek pemeriksaan keuangan, 143 obyek pemeriksaan kinerja, dan 618 obyek pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Keseluruhan obyek pemeriksaan meliputi semua entitas yang diperiksa, baik di tingkat Warta BPK 5/10/2012 5:21:06 PM LAPORAN KHUSUS Warta BPK 16 - 23 laporan khusus .indd 17 pendapatan negara/daerah sesuai ketentuan. 5.Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran. 6.Menarik dan menyetorkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan ke kas negara/daerah/ perusahaan. Pemeriksaan Terhadap LKPD Terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, pada semester II Tahun 2011, BPK telah melaksanakan pemeriksaan keuangan atas 158 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2010 serta delapan laporan keuangan BUMD dan badan lainnya. Selama 2011, BPK telah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan atas 516 LKPD Tahun 2010 dari 524 pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang wajib menyusun LKPD tahun 2010. Dari 516 LKPD tahun 2010 yang diperiksa pada tahun 2011, BPK telah memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 34 LKPD atau sekitar 7%. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) diberikan atas 341 LKPD atau sekitar 66%. Ada 26 LKPD yang diberikan Opini Tidak Wajar (TW) atau sekitar 5%. Dan, Opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) diberikan atas 115 LKPD atau 22%. Secara umum, opini BPK terhadap LKPD Tahun 2010 menunjukkan adanya peningkatan dalam perolehan opini WTP dan WDP atas LKPD dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini, menurut Ketua BPK Hadi Poernomo, mencerminkan (warta bpk/rianto prawoto) pusat maupun daerah. Sebanyak 12.612 kasus senilai Rp20,25 triliun ditemukan dalam pemeriksaan itu. Sebanyak 4.941 kasus dengan senilai Rp13,25 triliun di antaranya merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan. Sementara itu, sebanyak 1.056 kasus senilai Rp6,99 triliun merupakan temuan pemeriksaan berupa ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Adapun, sebanyak 6.615 kasus temuan dari penyimpangan administrasi dan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Dari temuan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp13,25 triliun, selama proses pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/ daerah/perusahaan senilai Rp81,71 miliar. Rinciannya, temuan kerugian senilai Rp35,99 miliar, potensi kerugian senilai Rp9,53 miliar, dan kekurangan penerimaan senilai Rp36,17 miliar. Secara garis besar, terhadap kasus-kasus yang terjadi pada pemeriksaan keuangan, BPK telah merekomendasikan kepada entitas agar melakukan langkah-langkah perbaikan yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Langkah-langkah perbaikan berdasarkan rekomendasi BPK tersebut, yaitu: 1. Agar menyusun dan menetapkan pedoman kerja sesuai ketentuan yang berlaku. 2.Menegur dan atau memberi sanksi kepada pejabat pelaksana yang tidak mentaati ketentuan perundang-undangan. 3.Meningkatkan pengawasan dan pengendalian. 4.Melaksanakan pemotongan/ pemungutan atas Ketua BPK Hadi Poernomo menyerahkan secara langsung kepada pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. MARET 2012 17 5/10/2012 5:21:07 PM LAPORAN KHUSUS adanya perbaikan terhadap sistem pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah, khususnya dalam pencatatan dan pelaporan keuangan daerah oleh pemerintah daerah. Walau ada peningkatan dalam perolehan opini WTP dan WDP, akan tetapi ada sekitar 27% LKPD masih diberi opini TW dan TMP. “Hal ini menunjukkan efektivitas SPI pemerintah daerah yang bersangkutan belum optimal,” ucap Hadi. Masih belum optimalnya SPI ini menunjukkan bahwa ada kelemahan SPI dalam pengelolaan keuangan daerah. Kelemahan SPI ini, pada umumnya, meliputi permasalahan kurang tertibnya penyusunan dan penerapan kebijakan, lemahnya pengendalian fisik atas aset, kelemahan pengelolaan dan pengendalian atas kas daerah, dan pencatatan transaksi yang kurang akurat dan tepat waktu. Kondisi ini senada dengan hasil 18 MARET 2012 16 - 23 laporan khusus .indd 18 pemeriksaan BPK terhadap 158 LKPD. BPK menemukan 1.796 kasus kelemahan SPI. Selain itu, ditemukan juga ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan sebanyak 2.585 kasus senilai Rp1,72 triliun. Dari temuan ketidakpatuhan tersebut, telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/daerah selama proses pemeriksaan sebesar Rp19,10 miliar. Dalam IHPS BPK Semester II Tahun 2011, ada pemeriksaan atas LKPD tahun 2010 yang belum diperiksa dan atau dilaporkan pada semester I Tahun 2011. Hal ini disebabkan LKPD yang bersangkutan belum diserahkan kepada BPK atau pemeriksaan BPK masih berlangsung. Pemeriksaan Kinerja Hadi Poernomo mengatakan pada semester II Tahun 2011, BPK memprioritaskan pada pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Ada 143 obyek pemeriksaan kinerja dan 618 obyek pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pada 143 obyek pemeriksaan kinerja, terdapat 30 obyek pemeriksaan di lingkungan pemerintah pusat, 56 obyek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah, 9 obyek pemeriksaan di lingkungan BUMN, 29 obyek pemeriksaan di lingkungan BUMD, dan 19 objek pemeriksaan di lingkungan Badan Layanan Umum (BLU). Tema pada objek pemeriksaan kinerja sendiri, di antaranya: 1. Pelayanan kesehatan rumah sakit dan dinas kesehatan (50 obyek pemeriksaan) 2. Pengelolaan PDAM (27 obyek pemeriksaan) 3. Pengelolaan pendidikan (17 obyek pemeriksaan) 4. Upaya pengendalian korupsi Warta BPK 5/10/2012 5:21:07 PM LAPORAN KHUSUS (4 obyek pemeriksaan) 5. Efektivitas pengendalian pertumbuhan penduduk (15 obyek pemeriksaan) 6. Penetapan formasi dan pengadaan PNS tahun 2009 dan 2010 (6 obyek pemeriksaan) 7. Efektivitas perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan monitoring dalam kegiatan bisnis perbankan (9 objek pemeriksaan). Ada hal menarik dalam beberapa obyek pemeriksaan kinerja tersebut. Pertama, terkait dengan pemeriksaan kinerja atas pelayanan kesehatan rumah sakit dan dinas kesehatan, BPK menyimpulkan bahwa pelayanan kesehatan rumah sakit dan dinas kesehatan secara umum kurang efektif. Hal itu ditunjukkan dengan masih ditemukan kelemahankelemahan yang mempengaruhi efektivitas pelayanan kesehatan, antara lain pelayanan kesehatan di ruang rawat inap kelas tiga belum sesuai standar dan adanya tambahan kenaikan harga obat yang dibebankan pada pasien. Kedua, pemeriksaan kinerja pada pengelolaan PDAM yang dilakukan terhadap 27 obyek pemeriksaan, BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan PDAM secara umum belum efektif. Hal itu ditunjukkan dengan masih ditemukan kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan PDAM, antara lain tingkat kehilangan air melebihi batas toleransi yang ditetapkan dan pencatatan pemakaian air pelanggan tidak akurat. Ketiga, pemeriksaan kinerja terkait pengelolaan pendidikan menunjukkan pengelolaan pendidikan secara umum belum efektif. Hal itu ditunjukkan antara lain entitas yang masih belum memiliki database kependidikan serta belum mampu memenuhi standar pelayanan minimal pemenuhan sarana dan prasarana serta tenaga Warta BPK 16 - 23 laporan khusus .indd 19 pendidik. Pemeriksaan kinerja lainnya, terkait konversi minyak tanah ke Liquid Petroleum Gas (LPG) dilakukan terhadap dua obyek pemeriksaan. Hasilnya menunjukkan pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian paket perdana tabung LPG 3 kg oleh Pertamina (Persero) cukup efektif. Selain itu, program konversi minyak tanah ke LPG dari 2007 sampai 2010 telah dapat menghemat subsidi pemerintah senilai Rp20,99 triliun. Namun, pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg kurang didasarkan perencanaan yang memadai. Sementara itu, pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dalam semester II tahun 2011, dilakukan atas 618 obyek pemeriksaan. Jumlah obyek pemeriksaan tersebut, terdiri dari: 1. 190 obyek pemeriksaan di lingkungan pemerintah pusat; 2. 363 obyek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah; 3. 28 obyek pemeriksaan di lingkungan BUMN; 4. 36 obyek pemeriksaan di lingkungan BUMD; dan 5. Satu obyek pemeriksaan di lingkungan BHMN/BLU/ Badan lainnya. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dikelompokkan dalam 10 tema pemeriksaan yaitu pengelolaan pendapatan, pelaksanaan belanja, pengelolaan barang milik negara/ daerah, penyertaan modal daerah, pelaksanaan kontrak kerjasama minyak dan gas bumi, pelaksanaan kewajiban pelayanan umum; reviu MARET 2012 19 5/10/2012 5:21:08 PM LAPORAN KHUSUS sistem pengendalian intern BUMN, operasional BUMN operasional RSUD/ RSKD, PDAM dan BUMD lainnya dan operasional bank daerah. Hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu tersebut mengungkapkan 2.309 kasus kelemahan SPI dan 5.744 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan senilai Rp18,32 triliun. Dari nilai temuan tersebut, yang merupakan temuan kerugian, potensi kerugian, kekurangan penerimaan sebanyak 3.507 kasus senilai Rp11,83 triliun. Selama proses pemeriksaan, temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan Sulitnya Menyusun IHPS 20 MARET 2012 16 - 23 laporan khusus .indd 20 (warta bpk/andy) K omponen masyarakat pemerhati keuangan negara maupun stakeholder terkait, tentu ingin mendapatkan hasil pemeriksaan BPK untuk mengetahui seberapa jauh pengelolaan keuangan negara berjalan. Berdasarkan amanat konstitusi, BPK menyerahkan menyerahkannya dua kali dalam setahun. Maka, sesuai kewenangan BPK dalam menjalankan tiga jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan laporan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK per semester atau dikenal dengan IHPS. Terlihat seperti hal yang biasa melihat alur kerja BPK. Namun, pada kenyataannya sungguh sulit. Pemeriksaan BPK banyak menyangkut besaran uang negara dan kinerja entitas. Salah sedikit akan sangat sensitif. Inilah mengapa penyusunan IHPS harus teliti dan cermat benar. Ada tiga satuan kerja yang begitu berperan dalam penyusunan IHPS ini. Satuan kerja pemeriksaan atau Auditorat Keuangan Negara (AKN) beserta BPK Perwakilan di setiap provinsi yang merupakan kepanjangan tangan dari BPK di daerah. Satu lagi, Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan Ditama Revbang BPK. Jika AKN dan BPK Perwakilan mengumpulkan data hasil dari tugas pemeriksaannya, Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan BPK ini meramu data itu dan disusun menjadi IHPS. Ketiganya berkolaborasi untuk menyusunnya. Awal dari penyusunan IHPS sendiri tentu saja dimulai dari pemeriksaan yang dilakukan AKN dan BPK Perwakilan. Setelah mendapatkan hasil dari pemeriksaan, disusunlah laporan hasil pemeriksaan dengan banyak penyaringan Ali AL Basyah Warta BPK 5/10/2012 5:21:11 PM LAPORAN KHUSUS kerugian, potensi kerugian, dan kekurang penerimaan telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/daerah senilai Rp61,04 miliar. Rekomendasi atas kasus tersebut adalah penyetoran sejumlah uang ke kas negara/daerah/perusahaan atau penyerahan aset. Selain temuan tersebut, terdapat temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, ketidakefektifan, kelemahan SPI, dan penyimpangan administrasi yang tidak memiliki implikasi nilai uang tetapi memerlukan perbaikan SPI dan/ atau tindakan administratif. and/dr dalam prosesnya sampai pada penyusunan matrik temuan pemeriksaan. Satu LHP aka nada satu matrik temuan pemeriksaan. Dari proses itulah Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan BPK mulai bekerja. Ada 13 langkah dalam pekerjaannya sampai IHPS jadi, yaitu: 1. Pengumpulan data dan informasi untuk IHPS; 2. Validasi matriks; 3. Penyusunan outline IHPS; 4. Pembahasan atau konsiyering matriks temuan LHP dengan auditorat/perwakilan; 5. Kompilasi matriks temuan berdasarkan tema atau genre pemeriksaan; 6. Penyusunan konsep IHPS; 7. Pembahasan konsep awal IHPS pada Sidang Badan; 8. Penyusunan konsep final IHPS beserta lampirannya; 9. Hard cetak; 10. Validasi kelangkapan softcopy LHP; 11. Pencetakan, penggandaan, pendistribusian; 12. Penyusunan konsep pidato penyampaian IHPS; dan 13. Penyampaian IHPS kepada DPR dan DPD. Dari ke-13 langkah tersebut, Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan BPK berkolaborasi dengan satuan-satuan kerja terkait. Namun, dalam menjalankan ke-13 tahapan tersebut itu tidak mudah. Banyak kesukaran yang terjadi dalam prosesnya. Mulai dari keterlambatan penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), ketidakakuratan angka atau penjumlahan, perbedaan persepsi soal jenis temuan pemeriksaan dan rekomendasinya, dan hal lainnya. Misalnya, dalam tahapan konsinyering saja, masih ada yang baru menyusun Konsep Hasil Pemeriksaan (KHP). Warta BPK 16 - 23 laporan khusus .indd 21 Padahal dalam tahapan itu, seharusnya sudah dalam bentuk LHP. Jika masih dalam tataran KHP, maka ada kemungkinan perubahan angka. “Kalau ada perubahan angka dalam IHPS itu akan terpengaruh semuanya. Mulai dari ringkasan eksekutif sampai lampiran akan berubah semuanya. Jika satu LHP yang berubah, satu angka saja, kita mengeceknya lumayan lama. Karena harus mengecek dari sumbernya dulu, dari lampirannya, matriknya. Kan satu LHP satu matrik,” ungkap Kepala Direktorat Evaluasi dan Pelaporan Pemeriksaan BPK Ali Al Basyah Dia menjelaskan kalau misalnya berubah yang tadinya 100.00 menjadi 100 juta, berarti ini harus dicari dari LHP-nya, dicari lagi pada rekapnya. “Rekapnya dicari lagi ke rekap per jenis pemeriksaannya. Di situ dicek lagi narasinya yang sudah menjadi buku, dimana yang menyingung angka itu harus dicari.” Dari ke-13 tahapan dalam penyusunan IHPS itu, banyak proses yang mengupayakan agar tidak ada kesalahan setelah menjadi IHPS. Bahkan, setelah IHPS telah dicetak pun kembali dicek apakah ada kesalahan dalam paparan maupun angkanya dengan mengambil sampel IHPS yang sudah tercetak menjadi buku. Namun, manusia tetaplah manusia. Adakalanya dengan berbagai penyaringan yang sedemikian ketat, untuk menjaga kualitas IHPS, ada waktunya kesalahan terjadi. Seperti kesalahan angka di LHP, sementara buku IHPS sendiri telah dibagikan kepada entitas. “Ada yang LHP-nya itu salah pada angka penjumlahannya. Kalau LHP itu belum disampaikan ke entitas masih bisa diperbaiki, terus bisa disampaikan lagi. Tapi, ada juga yang sudah lama disampaikan ke entitas sehingga dia perlu ralat. Namun demikian, juknis untuk ralat itu belum ada, kami sedang siapkan untuk bagaimana caranya meralat LHP yang sudah disampaikan ke entitas,” ujar Ali. and MARET 2012 21 5/10/2012 5:21:11 PM LAPORAN KHUSUS Entitas Wajib Menindaklanjuti Rekomendasi BPK 22 MARET 2012 16 - 23 laporan khusus .indd 22 (warta bpk/rianto prawoto) K etua BPK Hadi Poernomo menegaskan hasil pemeriksaan BPK wajib ditindaklanjuti oleh entitas. Tidak boleh tidak. Sebab, hal itu mengacu pada UUD 1945 Pasal 23E ayat 3 yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan itu ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan UU. “Karena saya mengatakan apa kata UUD 1945. Pasal 1 angka 3 UUD 1945 dengan tegas mengatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Jadi, kita harus patuh hukum. Dan, Pasal 23E ayat 3 mengatakan hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan. Saya merujuk pada undang-undang dasar, siapa yang berani melawan UUD,” ujar Hadi. Terkait entitas yang belum melakukan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan BPK, Hadi mengatakan bahwa mereka selalu memberikan tanggapannya walaupun tindak lanjutnya dalam proses. Walau begitu, BPK maupun BAKN DPR tetap memonitor. Namun, yang jelas LHP BPK bersifat final, sehingga mempunyai kekuatan hukum. Jika tidak menindaklanjutinya, akan ada sanksi seperti yang diamanatkan UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam Pasal 26 angka 2 UU No. 15 Tahun 2004 dinyatakan : Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Ketua BPK Hadi Poernomo bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dalam IHPS BPK Semester II Tahun 2011 ini, terangkum bagaimana tindak lanjut rekomendasi BPK berjalan. Ditarik rentang waktu dari 2005 sampai 2011. Dalam rentang waktu itu, secara keseluruhan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BHMN, KKKS, dan badan usaha lainnya, terdapat 216.122 rekomendasi senilai Rp121,34 triliun. Secara kumulatif rekomendasi BPK yang berhasil ditindaklanjuti dengan penyerahan aset dan penyetoran uang ke kas negara/ daerah/perusahaan senilai Rp30,33 triliun. Rincian setorannya adalah dari pemerintah pusat senilai Rp14,83 triliun, pemerintah daerah Rp,47 triliun, serta BUMN (induk dan anak perusahaan) Rp8,02 triliun. Selama Semester II Tahun 2011, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan penyetoran sejumlah uang ke kas negara/daerah/perusahaan dan/atau penyerahan aset senilai Rp4,76 triliun. Jumlah ini sudah termasuk penyetoran sejumlah uang/ penyerahan aset yang dilakukan selama proses pemeriksaan senilai Rp81,71 miliar. Jika dibandingkan data Semester I Tahun 2011, rekomendasi yang telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi pada Semester I Tahun 2011 sebanyak 106.058 (55,31%) dan pada Semester II Tahun 2011 meningkat menjadi 127.310 (58,91%). Demikian juga rekomendasi yang masih dalam proses tindak lanjut meningkat dari 40.841 atau 21,30% (Semester I Tahun 2011) menjadi 47.094 atau 21,79% (Semester II Tahun 2011). Peningkatan ini seiring dengan penurunan pada rekomendasi yang belum ditindaklanjuti yaitu dari 44.858 atau 23,39% (Semester I Tahun 2011) menjadi 41.718 atau 19,30% (Semester II Tahun 2011). Di sisi lain, hasil pemantauan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi di lingkungan pemerintah pusat mengungkapkan bahwa dalam periode Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2011 secara keseluruhan dari 87 kementerian/ lembaga terdapat 26.167 rekomendasi senilai Rp46,40 triliun. Jumlah rekomendasi yang telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi sebanyak 17.323 atau 66,20%, sedangkan sebanyak 5.092 rekomendasi atau 19,46% belum sesuai rekomendasi dan dalam proses tindak lanjut, dan sebanyak 3.752 rekomendasi atau 14,34% belum ditindaklanjuti. Termasuk sebanyak 44 di antaranya adalah rekomendasi yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan yang sah. Dari 17.323 rekomendasi senilai Rp16,75 triliun yang ditindaklanjuti sesuai rekomendasi, di antaranya telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/penyerahan aset ke negara senilai Rp14,83 triliun. and Warta BPK 5/10/2012 5:21:12 PM LAPORAN KHUSUS (warta bpk/rianto prawoto) “Konversi Minyak Tanah ke LPG Kurangi Beban APBN” Anggota BPK Ali Masykur Musa A nggota IV BPK Ali Masykur Musa, yang merupakan penanggung jawab pemeriksaan kinerja tentang program konversi minyak tanah ke LPG, menyimpulkan bahwa secara umum ada keberhasilan dilihat dari dua hal. Pertama, kesadaran masyarakat tidak lagi menggunakan minyak tanah sebagai alat untuk kebutuhan sehari-hari. Kedua, dari sisi pengelolaan anggaran, telah mampu menekan beban subsidi negara terhadap minyak tanah ini sebesar Rp20,99 triliun. Walau begitu, tetap ada temuan-temuan BPK yang mengindikasikan adanya kerugian keuangan negara dan hal-hal lainnya. Ali Masykur Musa meminta pemerintah, dalam hal ini Pertamina dan Kementerian ESDM, menindaklanjuti temuan-temuan BPK tersebut. Disamping itu, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK yang dituangkan dalam IHPS BPK Semester II 2011, dia menyatakan bahwa pemerintah bisa mengambil kebijakan dengan mengambil model program konversi minyak tanah ke LPG. Dengan kata lain, penggunaan Warta BPK 16 - 23 laporan khusus .indd 23 BBM bersubsidi, yang membuat beban anggaran negara, seharusnya bisa diminimalisir dengan mengalihkannya ke energi gas. Menurut dia, penggunaan BBM bersubsidi pada mobil angkutan umum, mobil angkutan barang dan mobil dinas yang ada di Indonesia jumlahnya sebesar 15% dari total konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia, yang beban biaya totalnya sekitar Rp125 triliunan. “Karena itu, saya mengusulkan agar mobil angkutan umum, mobil angkutan barang dan mobil dinas, agar segera dialihkan penggunaannya dari BBM ke gas. Dengan syarat, seluruh peralatan convertergatenya itu dianggarkan pemerintah sesegera mungkin,” ujarnya. Menurut perhitungannya, jika 15% penggunaan BBM bersubsidi ini dialihkan ke penggunaan gas, berarti akan mengurangi beban subsidi sebesar 15% dari total jumlah beban subsidi BBM ini. Jika dikalkulasikan, akan menghemat sekitar Rp18,75 triliun. Apa yang disampaikan Ali tersebut berdasarkan dari model yang sama pada konversi minyak tanah ke LPG yang diperiksa BPK itu. “Ini kita ambil model dari program konversi minyak tanah ke LPG, yaitu kompor, selang dan tabung disediakan pemerintah maka telah terbukti mengefisienkan Rp20,99 triliun. Dengan model yang sama juga akan mengefisienkan sekitar Rp18,75 triliun, secara langsung,” tegasnya. Dengan konversi BBM bersubsidi ke penggunaan gas, diharapkan akan ada dampak turunannya. “Karena biaya transportasi murah, karena penggunaan gas itu pasti lebih murah, maka penggunaan kendaraan sepada motor, yang jumlahnya 40% dari total konsumsi BBM bersubsidi, itu pasti berkurang. Sehingga ada beban biaya yang bisa dihemat pula. Jumlahnya tentu lebih besar, sekitar 40% itulah penghematannya.” Dampak lainnya yang diharapkan adalah inefisiensi energi primer di dalam PLN. Kalau PLN ini juga masih menggunakan juga BBM bersubsidi, yang jumlah subsidi BBM-nya sebesar Rp27 triliun, beban subsidi BBM ini akan kembali berkurang. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil kebijakan dengan mengambil model konversi dari minyak tanah ke LPG dalam menghadapi dilema besarnya subsidi BBM ini. and MARET 2012 23 5/10/2012 5:21:13 PM