VISI BPK RI: MISI BPK RI:

advertisement
VISI, MISI - BPK RI
VISI BPK RI:
Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara
yang kredibel dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai dasar untuk berperan aktif dalam
mendorong terwujudnya tata kelola keuangan
negara yang akuntabel dan transparan.
MISI BPK RI:
1. Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
2. Memberikan pendapat untuk meningkatkan mutu pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
3. Berperan aktif dalam mendeteksi dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara.
2
2- visi msi.indd 2
MARET 2012
Warta BPK
5/10/2012 3:50:28 PM
KODE ETIK PEMERIKSA
Kode Etik Pemeriksa BPK
1. Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib:
a. bersikap netral dan tidak memihak.
b. menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam melaksanakan kewajiban profesionalnya.
c. menghindari hal-hal yang dapat mempengaruhi independensi.
d. mempertimbangkan informasi, pandangan dan tanggapan dari pihak yang diperiksa dalam
menyusun opini atau laporan pemeriksaan.
e. bersikap tenang dan mampu mengendalikan diri.
2. Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang:
a. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, badan-badanlain yang mengelola
keuangan negara, dan perusahaan swasta nasional atau asing.
b. menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat menyebabkan orang lainmeragukan independensinya.
c. tunduk pada intimidasi atau tekanan orang lain.
d. membocorkan informasi yang diperolehnya dari auditee.
e. dipengaruhi oleh prasangka, interpretasi atau kepentingan tertentu, baik kepentingan pribadi
Pemeriksa sendiri maupun pihak-pihak lainnya yangberkepentingan dengan hasil pemeriksaan.
3. Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib:
a. bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan.
b. bersikap tegas untuk mengemukakan dan/ atau melakukan hal-hal yangmenurut pertimbangan dan
keyakinannya perlu dilakukan.
c. bersikap jujur dan terus terang tanpa harus mengorbankan rahasia pihak yangdiperiksa.
4. Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang:
a. menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsung maupun tidaklangsung yang diduga atau
patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugasdan wewenangnya.
b. menyalahgunakan wewenangnya sebagai Pemeriksa guna memperkaya ataumenguntungkan diri
sendiri atau pihak lain.
5. Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa wajib:
a. menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian dan kecermatan.
b. menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan, rahasia pihak yang diperiksa danhanya
mengemukakannya kepada pejabat yang berwenang.
c. menghindari pemanfaatan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan atau jabatannya untuk
kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
d. menghindari perbuatan di luar tugas dan kewenangannya.
e. mempunyai komitmen tinggi untuk bekerja sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
f. memutakhirkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuanprofesionalnya dalam rangka
melaksanakan tugas pemeriksaan.
g. menghormati dan mempercayai serta saling membantu diantara Pemeriksa sehingga dapat
bekerjasama dengan baik dalam pelaksanaan tugas.
h. saling berkomunikasi dan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalammenjalankan tugas
pemeriksaan.
i. menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif dan ekonomis.
6. Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pemeriksa dilarang:
a. menerima tugas yang bukan merupakan kompetensinya.
b. mengungkapkan informasi yang terdapat dalam proses pemeriksaan kepadapihak lain, baik lisan
maupun tertulis, kecuali untuk kepentingan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
c. mengungkapkan laporan hasil pemeriksaan atau substansi hasil pemeriksaankepada media massa
kecuali atas ijin atau perintah Ketua atau Wakil Ketua atau Anggota BPK.
d. mendiskusikan pekerjaannya dengan auditee diluar kantor BPK atau kantor auditee.
(Peraturan BPK No. 2/2007 tentang Kode Etik BPK RI)
Warta BPK
3 - kode etik.indd 3
MARET 2012
5/10/2012 3:13:03 PM
dari kami
Peran Internasional
BPK
P
eran BPK dalam kancah
pergaulan badan
pemeriksa internasional
tidak diragukan lagi. Pada
awal-awal tahun ini setidaknya tiga
event internasional dihadiri oleh
delegasi BPK. Sejumlah pertemuan
itu kami hadirkan di rubrik
internasional. Pertemuan di Brunei,
Kinabalu, dan Jaipur menegaskan
peran BPK di manca negara.
Selain itu, wawancara khusus
dengan ketua BPK dari Filipina bisa
menambah wawasan mengenai
badan pemeriksa di luar negeri.
Dalam beberapa hal negara ini
memiliki kelebihan seperti menjadi
audit eksternal bagi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam laporan utama, kami
sajikan perkembangan mengenai
sidang SKLN dan MK divestasi saham
PT Newmont Nusa Tenggara. BPK
sebagai badan yang mengaudit
transaksi itu menegaskan bahwa
semua proses yang menggunakan
dana negara harus mendapat
persetujuan DPR lebih dulu.
Yang menarik pada edisi kali ini,
bisa diikuti pada Laporan Khusus
yakni mengenai Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK
Semester II Tahun 2011 (IHPS).
BPK menemukan 12.612 kasus
senilai Rp20,25 triliun. IHPS
BPK ini merupakan rangkuman
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK
dalam kurun waktu 1 Juli-31
Desember 2011
Pilkada Gubernur DKI yang
tengah berlangsung tak luput
dari pantauan redaksi. Profil
para calon kami sajikan dalam
rubrik umum secara lengkap.
Kasus rekening gendut PNS ternyata
juga menjalar ke kejaksaan agung.
Korupsi agaknya tidak memandang
instansi, di mana ada peluang, di situ
ada kesempatan.
Aksentuasi memuat integritas
karyawan BPK. Disebutkan, bahwa
BPK menjadi lembaga negara yang
memiliki kewenangan besar dalam
memeriksa keuangan negara. Badan
pemeriksa ini harus memiliki auditor
yang jujur dan pintar.
ISI MAJALAH INI TIDAK BERARTI SAMA DENGAN PENDIRIAN ATAU PANDANGAN
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
4 - dari kamii.indd 4
MARET 2012
PENGARAH :
Hendar Ristriawan Daeng M. Nazier
Nizam Burhanuddin
PENANGGUNG JAWAB :
Bahtiar Arif
Redaksi menerima kiriman artikel, naskah, foto dan materi lain dalam bentuk
softcopy atau via email sesuai dengan misi Warta BPK. Naskah diketik satu
setengah spasi, huruf times new roman, 11 font maksimal 3 halaman kuarto.
Redaksi berhak mengedit naskah sepanjang tidak mengubah isi naskah.
4
INDEPENDENSI - INTEGRITAS - PROFESIONALISME
SUPERVISI PENERBITAN :
Gunarwanto
Yudi Ramdan
KETUA DEWAN REDAKSI :
Parwito
STAF REDAKSI :
Andy Akbar Krisnandy
Bambang Dwi
Bambang Widodo
Dian Rustri
Teguh Siswanto (Desain Grafis)
KEPALA SEKRETARIAT :
Sri Haryati
STAF SEKRETARIAT :
Sumunar Mahanani
Sutriono
Rianto Prawoto (fotografer)
Indah Lestari
Enda Nurhenti
Werdiningsih
ALAMAT REDAKSI:
Gedung BPK-RI
Jalan Gatot Subroto No. 31 Jakarta
Telepon :
021-25549000
Pesawat 1188/1187
Faksimili :
021-57854096
E-mail :
[email protected]
Diterbitkan oleh:
Sekretariat Jenderal
Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia
Majalah Warta BPK
tidak pernah meminta
sumbangan/sponsor
dalam bentuk apapun yang
mengatasnamakan
Warta BPK
Warta BPK
5/10/2012 3:13:26 PM
daftar isi
16 - 23
6 - 15
Laporan Utama
Sengketa Newmont
Berlanjut ke MK
AGENDA
24 - 25
Laporan KHUSUS
BPK Menemukan 12.162 Kasus
Senilai Rp20,25 Triliun
Pada Semester II Tahun 2011
BPK Beri 1.078
Layanan Informasi
46 - 47 TEMPO DOELOE
Dinamika Pegawai BPK Sejak Berdiri
48 - 49 ROAD TO WTP
Tiga Kali Sandang Opini WTP
26 - 33 WAWANCARA
“Kami Memiliki Tradisi Panjang Audit PBB’
50 - 52 REFORMASI BIROKRASI
Predikat A Dalam Akuntabilitas Kinerja
34 - 37 ANTAR LEMBAGA
‘Beri Sanksi Daerah yang Beropini Buruk’
53 - 57 INTERNASIONAL
Komite Eksekutif ASEANSAI Bertemu di Brunei
38 - 39 AKSENTUASI
Auditor BPK Harus Jujur & Pintar
58 - 62 REFORMASI BIROKRASI
Giliran Kejaksaan Terbelit Rekening Gendut
42 - 44 BPK DAERAH
Kondisi Geografis & Cuaca Kerap
Menyulitkan
63 - LINTAS PERISTIWA
Ada Serangan Balik Koruptor
45 - PROFESI
Tak Hanya diperpanjang Masa Magang
Tapi juga Pensiun Notaris
Warta BPK
5 -daftar isi.indd 5
MARET 2012
5
5/10/2012 5:20:31 PM
istimewa
LAPORAN UTAMA
Sengketa Newmont
Berlanjut ke MK
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggugat DPR dan
BPK ke Mahkamah Konstitusi soal divestasi Newmont. Hal ini
berpotensi terlanggarnya kewenangan konstitusional BPK
dalam melaksanakan pemeriksaan.
P
erselisihan pemerintah,
DPR, dan BPK soal divestasi
Newmont berbuntut
panjang. Kali ini giliran
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang membawa persoalan ini ke
6
MARET 2012
6 - 15 laporan utama.indd 6
ranah hukum. Melalui Menteri
Hukum dan HAM Amir Syamsuddin
dan Menteri Keuangan Agus
Martowardjojo, Presiden menggugat
DPR dan BPK ke MK. Boleh jadi ini
merupakan pertama kali Presiden
berseteru secara hukum lewat
Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara (SKLN) di MK. Gugatan yang
dilayangkan Presiden melalui SKLN
lantaran DPR maupun BPK dianggap
telah mengurangi dan menghalangi
kekuasaan pemerintah dalam
pengelolaan keuangan negara.
Dalam sidang pemeriksaan
pendahuluan di MK pada akhir
Februari, Sekjen Kementerian
Keuangan Kiagus Ahmad
Badaruddin menganggap kebijakan
Warta BPK
5/10/2012 3:15:03 PM
LAPORAN UTAMA
Warta BPK
6 - 15 laporan utama.indd 7
kekuasaan pemerintahan dalam
hal pengelolaan keuangan negara.
Pasalnya, menurut pemerintah,
investasi atas pembelian saham 7%
divestasi NNT itu ditujukan untuk
memberikan manfaat yang seluasluasnya bagi rakyat Indonesia sesuai
tujuan bernegara.
Oleh karena itu dalam berkas
permohonannya, pemohon meminta
MK menyatakan pemohon memiliki
kewenangan konstitusional sesuai
Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal
23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
istimewa
pemerintah untuk membeli 7%
saham di PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT) merupakan
kewenangan konstitusional
pemerintah. Untuk memperkuat
argumennya, Badaruddin menunjuk
Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 23C,
dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Berbekal ketentuan itu, Badaruddin
menganggap investasi pemerintah
lewat pembelian 7% saham NNT
tanpa perlu meminta persetujuan
DPR.
Selain itu, dia juga
mengungkapkan akibat persoalan
ini menimbulkan perbedaan
pendapat antara pemerintah dan
DPR. Kalangan DPR menganggap,
pemerintah hanya dapat membeli
7% saham divestasi NNT setelah
mendapat persetujuan DPR. Hal
ini tertuang dalam dalam dua surat
pimpinan DPR pada 28 Oktober
2011. Di sana disebutkan, sebelum
pemerintah membeli saham NNT,
harus terlebih dahulu meminta
persetujuan DPR. Akibatnya,
menurut Badaruddin, kewenangan
konstitusional pemohon telah
diambil, dikurangi, dihalangi,
diabaikan sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan dalam hal
pengelolaan keuangan negara.
Sejatinya akibat adanya
perbedaan tersebut, sebelumnya
DPR telah meminta BPK untuk
mengaudit proses pembelian
saham divestasi NNT itu. Hasilnya,
laporan hasil audit pemeriksaan
BPK menilai keputusan pemerintah
untuk investasi jangka panjang
dalam bentuk penyertaan modal
di NNT ditetapkan oleh peraturan
pemerintah setelah mendapatkan
persetujuan DPR.
Sekalipun begitu, pemerintah
tidak menindaklanjuti laporan
hasil pemeriksaan BPK ini sesuai
yang diamanatkan Pasal 23 ayat (3)
UUD 1945. Sebaliknya, pemeritah
justru menganggap kewenangan
konstitusional pemohon telah
diambil, dikurangi, dihalangi,
diabaikan sebagai pemegang
Agus Martowardoyo
berupa pembelian 7% divestasi NNT
tanpa memerlukan persetujuan DPR.
Selain itu, pemohon juga meminta
hasil audit BPK dalam pembelian
saham itu yang sebelumnya harus
mendapatkan persetujuan DPR
telah melampaui kewenangan
konstitusional BPK.
Wakil Ketua Komisi XI Harry
Azhar Aziz dalam sidang lanjutan
SKLN di MK, pada pertengahan
Maret, mengungkapkan DPR tidak
keliru dalam menafsirkan makna
‘persetujuan’ dalam Pasal 24 ayat
(7) UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Menurut dia, dalam pasal
itu dengan jelas menyatakan
dalam keadaan tertentu untuk
penyelamatan perekonomian
nasional pemerintah pusat dapat
memberikan pinjaman dan
atau penyertaan modal kepada
perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR.
“Ketentuan ini harus dipahami
dalam keadaan tertentu pemerintah
pusat dapat memberikan pinjaman
dan atau penyertaan modal kepada
perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR,” katanya.
Oleh karena itu, dia menganggap
bahwa pembelian 7% saham itu
sesuai kewenangan DPR yang diatur
dalam Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan
Negara sudah tepat.
Menurut dia, pembelian
saham itu terkait dengan tindakan
pemerintah dalam pengelolaan
aset negara dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan
negara.
“Ini masuk lingkup kewenangan
DPR seperti diatur dalam Pasal 23
ayat (3) UUD 1945 yang menyangkut
keuangan negara, tidak terkait
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,”
tutur Harry.
Itu sebabnya, dia beranggapan
kalau pemerintah telah membuat
penafsiran yang keliru terhadap
makna Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan
Negara yang menyatakan pembelian
itu tidak perlu persetujuan DPR
karena dilakukan dalam keadaan
normal, bukan dalam rangka
penyelamatan perekonomian
nasional. “Tidak ada kewenangan
konstitusional pemohon yang
dikurangi , diambil, dan dihalangi,”
tegas Harry.
Dalam tanggapan tertulis yang
disampaikan kepada MK, BPK
berpandangan bila permohonan
SKLN ini dikabulkan justru akan
menimbulkan beberapa konsekuensi.
Seperti terlanggarnya kewenangan
konstitusional BPK dalam
MARET 2012
7
5/10/2012 3:15:04 PM
LAPORAN UTAMA
melaksanakan pemeriksaan. Sebab,
laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK
atas proses pembelian 7% saham itu
dianggap melanggar kewenangan
konstitusional pemerintah.
Selain itu, akibat gugatan itu
juga bisa menimbulkan hilangnya
fungsi check and balances antara
pemohon, DPR, dan BPK dalam
sistem pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara karena
dianulirnya LHP BPK “Hilangnya
kepercayaan masyarakat kepada BPK,
dan LHP BPK berpotensi menjadi
obyek SKLN.
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri
Yusril Ihza Mahendra
mengungkapkan analisis yang
dilakukan BPK guna mengetahui
status proses pembelian saham NNT
itu agar tidak menyimpang peraturan
perundang-undangan. Menurut dia,
mengacu pada surat Menkeu pada 23
Juni 2011, disebutkan jika pembelian
saham oleh pemerintah ditujukan
untuk mendapat return lebih tinggi
melalui perolehan dividen atau nilai
perusahaan.
8
MARET 2012
6 - 15 laporan utama.indd 8
Selain itu, lanjutnya, pembelian
saham dimaksudkan untuk
menjaga kepentingan nasional,
mendukung kepatuhan perusahaan
dan pajak maupun royalty, bina
lingkungan, dan tanggung jawab
sosial perusahaan (corporate social
responsibility-CSR), dan mendorong
penjualan konsentrat dan nilai
tambah nasional.
“Sehingga pembelian divestasi
saham Newmont tidak sematamata untuk tujuan ekonomis, tetapi
pengendalian terhadap perusahaan
dalam jangka panjang,” tuturnya.
Intinya, lanjut Hasan, BPK ingin
istimewa
menegaskan bahwa pembelian
saham NNT adalah bentuk
penyertaan modal pemerintah,
bukan investasi pada perusahaan
yang bersifat terbuka.
Dia mengkritik cara berpikir
Menkeu yang mengatakan
pembelian tidak perlu persetujuan
DPR. Bila itu terjadi, katanya,
Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
dengan kekuatan uang yang
besar bisa melakukan investasi
untuk mengakuisisi perusahaan
mana saja, baik terbuka maupun
tertutup. Langkah ini membuat
PIP akan menjadi investor terbesar
di Indonesia dan bisa melakukan
investasi kemana saja tanpa
persetujuan DPR. “Tidak bisa
menggunakan cara berpikir seperti
itu,” kata Hasan.
Bisa Memperkuat BPK
Menyinggung mengenai adanya
gugatan sengketa kewenangan
lembaga negara, Pakar Hukum
Tata Negara Irmanputra Sidin
menilai bahwa semua pelaksanaan
kewenangan lembaga negara,
termasuk BPK, itu pasti ada
kewenangan lembaga lain yang
terganggu. Inilah konsekuensi
yang konstitusionalisme, sistem
pembatasan kekuasaan.
BPK diberi tugas mengawasi
pengelolaan keuangan negara,
otomatis ada pelaksanaan
kewenangan dari lembaga negara
dan ada penilaian dari lembaga
negara lain.
“Dari penilaian itu bisa
berbeda. Akibat berbeda menjadi
terganggu. Namun tidak otomatis
kemudian merugikan kewenangan
konstituonal dari lembaga presiden
itu. Ini konsekuensi dari prinsip
konstitusionalisme,” kata Irman
kepada Warta BPK.
Dia menilai langkah presiden
membawa persoalan ini ke MK
masih dalam langkah konstitusional.
Namun, yang harus diingatkan justru
MK.
“Jangan sampai MK terlalu jauh
larut dalam perdebatan-perdebatan
oleh pemerintah, justru akan
semakin mendegradasi pelaksanaan
sengketa kewenangan lembaga
negara konstitusional. Akhirnya,
semua perkara kewenangan
lembaga negara yang dinilai oleh
BPK masuk dalam kamar sengketa
kewenangan lembaga negara. Sebab
semua lembaga negara diaudit
BPK. Akibatnya semua persoalan
Warta BPK
5/10/2012 3:15:05 PM
LAPORAN UTAMA
keuangan negara bisa dibawa ke MK.”
Sebaliknya, tambah Irman,
dengan adanya sengketa
kewenangan lembaga negara ini
bisa menjadi pintu bagi MK untuk
membingkai sengketa kewenangan
lembaga negara khususnya dengan
pengawasan pengelolaan keuanga
negara.
Selain itu, adanya gugatan
sengketa kewenangan lembaga
negara juga bisa menjadi preseden
buruk. “Padahal persoalan ini adalah
persoalan pelaksanaan kewenangan
di masing-masing cabang kekuasaan.
Sehingga kalau terjadi perbedaan
pendapat merupakan hal yang
lumrah,” katanya.
Oleh karena itu, dia
mengharapkan BPK agar tidak
perlu terlalu panik dalam
menghadapi persoalan ini. Sebab,
dengan adanya gugatan sengketa
kewenangan lembaga negara
bisa menjadi penguatan bagi BPK
dalam pelaksanaan pengawasan
pengelolaan uang negara semakin
konstitusional. “Artinya kalau BPK
dimenangkan akan memperkuat
kedudukan badan pemeriksa itu
sendiri,” jelas Irman.
Pakar Hukum Tata Negara
Yusril Ihza Mahendra dalam
keterangannya sebagai ahli di
MK mengungkapkan justru yang
menjadi persoalan adalah dari
manakah sumber dana untuk
membeli saham divestasi itu.
Pasalnya, PIP sendiri bukanlah
BUMN yang kekayaannya
telah dipisahkan dari kekayaan
negara karena didirikan dengan
penyertaan modal pemerintah yang
pembentukannya melalui Peraturan
Pemerintah.
Menurut Yusril, PIP adalah unit
organisasi noneselon di bidang
pengelolaan investasi pemerintah
yang bertanggung jawab kepada
Menteri Keuangan. Dengan
demikian, seluruh dana PIP adalah
dana pemerintah yang sumbernya
berasal dari APBN.
Dengan demikian, tambahnya,
Warta BPK
6 - 15 laporan utama.indd 9
jika PIP berencana
akan membeli saham
perusahaan manapun,
diatur dalam Pasal 41
ayat (1) dan (2) UU No
1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
Negara. Mekanismenya,
mengacu Pasal 1
angka 10 Peraturan
Menteri Keuangan
No 180/PMK.05/2008
dengan terlebih dahulu
memasukkannya ke
dalam Rencana Kerja
Investasi (RKI). Rencana
investasi pembelian
saham ini juga harus
dimasukkan dalam RKI
sebagaimana diatur
Frans Limahelu
Pasal 4 ayat 2 huruf
a Peraturan Menteri
Keuangan No 135/PMK.05/2008.
Namun, apabila keputusan
pembelian 7% saham divestasi
NNT alokasi dana investasinya
belum tersedia dalam APBN tahun
yang sedang berjalan, maka usul
penambahan dana investasi dan
penggunaan keuntungan PIP yang
bukan merupakan kekayaaan
negara yang dipisahkan itu
harus diajukan pemerintah ketika
membahas APBN Perubahan
untuk lebih dahulu mendapatkan
persetujuan DPR.
”Presiden baru perlu meminta
persetujuan DPR kalau pembelian
saham tersebut belum dialokasikan
dana investasinya dalam APBN,” kata
Yusril.
Audit Sudah Final
Pakar Hukum Tata Negara Frans
Limahelu mengungkapkan pada
dasarnya hasil audit BPK sudah final.
Artinya, tidak bisa disengketakan. Hal
ini sama dengan putusan MK yang
tidak bisa disengketakan.
“Ini perlu dipahami secara
mendalam oleh MK dan semua
lembaga negara serta masyarakat,”
katanya kepada Warta BPK.
(warta bpk/rianto prawoto)
Pasalnya, lanjutnya, lembaga
negara yang memilki kewenangan
untuk memeriksa pengelolaan
keuangan negara hanya BPK.
“Dengan begitu bila BPK sudah
memeriksa, yang diperiksa harus
melaksanakannya. Artinya, audit BPK
sudah final,” tegasnya.
Dia berpendapat langkah
presiden untuk membawa persoalan
hasil audit BPK terhadap pembelian
saham Newmont merupakan langkah
politik, bukan masalah hukum.
Selain itu, Frans juga melihat adanya
gugatan ini menunjukkan kalau
presiden dan menteri tidak mengerti
BPK. “Yang perlu dimengerti mereka
bahwa tugas BPK hanya memeriksa
saja,” papar Frans.
Sebaliknya, dia juga melihat
adanya gugatan sengketa
kewenangan ini dapat menimbulkan
preseden buruk terhadap
kewenangan BPK. Dia menghimbau
agar BPK harus yakin terhadap
kewenangan BPK.
Justu yang penting dilakukan,
kata Frans, yakni memberikan
tekanan dan pemahaman mengenai
kewenangan BPK. “Jadi tidak
perlu khawatir dan jangan sampai
terpengaruh,” tegasnya. bw/bd
MARET 2012
9
5/10/2012 3:15:05 PM
LAPORAN UTAMA
“Pembelian Saham Newmont
Harus Taat Aturan”
(warta bpk/rianto prawoto)
Pembelian saham PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont)
merupakan penyertaan modal pemerintah jangka panjang
dan pada perusahaan swasta yang tertutup. Sesuai dengan
aturan yang berlaku pembelian itu harus izin DPR.
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri
H
asil audit BPK mengenai
divestasi saham di
Newmont sepertinya
membuat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono kelimpungan.
Tak heran bila dalam gugatan
Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara (SKLN) yang dimohonkan
ke Mahkamah Konstitusi, presiden
menyeret BPK sebagai termohon
kedua. Wakil ketua BPK Hasan
Bisri dalam keterangannya di MK
mengungkapkan pemeriksaan yang
dilakukan BPK terhadap pembelian
saham Newmont, bertujuan hanya
menilai apakah pembelian itu sesuai
dengan ketentuan perundangan yang
berlaku atau tidak.
Pasalnya, menurut Hasan, sebagai
negara hukum, semua pengelolaan
keuangan negara harus taat kepada
peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan begitu, BPK bukan
kapasitas sebagai lembaga menyetujui
10
MARET 2012
6 - 15 laporan utama.indd 10
atau tidak menyetujui transaksi itu.
Namun, BPK memberikan pendapat
sesuai hasil pemeriksaan.
“BPK memberikan pendapat
bahwa sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan, kalau ingin
membeli saham perusahaan swasta
harus minta izin DPR terlebih dahulu,”
tegasnya.
Adapun untuk mengetahui
apakah proses pembelian saham
Newmont sudah mengikuti
ketentuan yang berlaku atau tidak,
BPK melakukan analisis terhadap
status pembelian saham itu. Hal ini
dilakukan karena dengan mengetahui
status pembelian saham itu BPK
bisa mencari peraturan yang sesuai
mengenai bagaimana prosedur
pembeliannya. “Untuk mengetahui
status pembelian saham itu, BPK juga
melihat tujuan pemerintah membeli
saham Newmont,” kata Hasan.
Dia menjelaskan Menteri
Keuangan pada 23 Juni 2011, telah
menyampaikan surat kepada BPK.
Intinya dalam surat itu, Menteri
Keuangan menjelaskan tujuan
pemerintah membeli saham
Newmont. Salah satunya, untuk
memberikan return lebih baik melalui
perolehan dividen, dan pertumbuhan
nilai perusahaan. Pembelian saham itu
juga bertujuan agar pemerintah dapat
menjaga kepentingan nasional.
Menteri Keuangan juga
mengungkapkan tujuan lain
pembelian saham Newmont yakni
untuk mendukung dan memastikan
kepatuhan perusahaan dalam
pembayaran pajak, royalti , kewajiban
CSR, bina lingkugan dan peningkatan
transparansi dan akuntabilitas.
Tujuan lain, yakni untuk mendukung
penjualan konsentrat dalam negeri
dan meningkatkan nilai tambah dalam
pendapatan nasional.
Berdasarjan tujuan tersebut, lanjut
Hasan Bisri, BPK berpendapat bahwa
pembelian saham Newmont tidak
semata untuk memperoleh keuntungan
ekonomis, tetapi ingin berperan dalam
pengendalian perusahaan. Adapun
mengenai berapa lama pemerintah
akan memegang saham Newmont,
dalam perjanjian jual beli antara Pusat
Investasi Pemerintah (PIP) dengan
penanam modal asing PT Newmont
disebutkan, pemerintah menjamin dan
berkomitmen untuk memiliki saham itu
dalam jangka waktu minimal 5 tahun.
“Dengan begitu artinya di sini adalah
jangka panjang,” jelasnya.
Selanjutnya, Hasan menyinggung
mengenai proses jual beli saham itu.
Dia menyebut ketentuan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam ketentuan itu disebutkan, setelah
perjanjian jual beli ini ditandatangani
maka proses berikutnya adalah meminta
izin kepada Kementerian ESDM. Hal
ini dilakukan karena adanya Peraturan
Menteri ESDM yang menyatakan bahwa
setiap perubahan kepemilikan saham di
bidang pertambangan harus mendapat
persetujuan Kementerian ESDM.
Persetujuan itu harus disampaikan
kepada Badan Koordiansi Penanaman
Modal (BKPM).
“Artinya ada ketentuan bahwa semua
perusahaan PMA bila terjadi perubahan
kepemilikan saham harus dilaporakan
ke BKPM. Sementara BKPM tidak bisa
memberikan persetujuan kalau tidak ada
rekomendasi dari kementerian ESDM,”
kata Hasan.
Dengan demikian, BPK
berpendapat bahwa status pembelian
saham Newmont oleh PIP ini adalah
penyertaan modal pemerintah. Hal ini
berbeda dengan Menteri Keuangan
yang menganggap pembelian saham
Newmont adalah investasi jangka
panjang nonpermanen. Padahal,
istilah investasi jangka panjang
nonpermanen sebetulnya ada dalam
Warta BPK
5/10/2012 3:15:05 PM
LAPORAN UTAMA
standar akuntansi. Artinya, standar
itu mengatur mengenai bagaimana
perlakuan akuntansi, bukan status
hukum dari investasi itu. “Dengan
begitu BPK berpendapat ini adalah
penyertaan modal pemerintah,” jelas
Hasan.
Dia menjelaskan data yang
diperoleh BPK bahwa sampai transaksi
jual beli itu dilakukan, Newmont
masih sebagai perusahaan tertutup.
Dengan begitu, Newmont merupakan
perusahaan swasta. Oleh karena itu,
BPK berpendapat bahwa pembelian
saham ini adalah penyertaan modal
pemerintah bersifat jangka panjang
dan pada perusahaan swasta yang
tertutup.
Anggaran Pembelian
Hasan menambahkan BPK juga
melakukan penelitian dan kajian
mengenai anggaran untuk melakukan
pembelian saham ini sudah tersedia
dalam APBN atau belum. Pembelian
saham akan dilakukan dengan dana
PIP, yang diperoleh dari APBN. Untuk
itu, BPK melihat dari alokasi dana
APBN untuk PIP tidak ada satupun
tertulis untuk pembelian saham
Newmont.
Pada awalnya, alokasi anggaran
PIP untuk pembangunan infrastruktur.
Namun, dalam 2 tahun terakhir hanya
sebagai bahan investasi. Sementara
pada berita acara rapat Badan
Anggaran DPR dengan pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Keuangan
dan Gubernur Bank Indonesia,
menyimpulkan bahwa penggunaan
dana investasi harus lebih dahulu
dibicarakan dengan komisi terkait.
BPK, jelasnya, juga melakukan
pemeriksaan terhadap kewenangan
Menteri Keuangan dalam
memutuskan melakukan penyertaan
modal pemerintah pada perusahan
swasta, dalam hal ini Newmont.
Selama ini, Menteri Keuangan selalu
mengatakan bahwa pembelian saham
Newmont dilakukan oleh Menteri
Keuangan dalam kapasitasnya sebagai
bendahara umum negara.
Hasan mengingatkan UU tentang
Warta BPK
6 - 15 laporan utama.indd 11
Perbedaharaan Negara mengatakan
Menteri Keuangan sebagai bendahara
umum negara mempunyai wewenang
antara lain menempatkan uang dan
mengelola dan menatausahakan
investasi. Penjelasan pasal itu
mengatakan, bahwa yang dimaksud
penempatan uang dalam konteks
pengelolaan kas dan investasi yang
dimaksud adalah investasi dalam
bentuk surat utang negara.
Jadi apabila kas yang dikelola
Kementerian Keuangan berlebih bisa
saja digunakan untuk membeli surat
utang negara. Dengan begitu menteri
keuangan tetap sebagai pemegang
surat utang yang memperoleh bunga
seperti halnya pemegang surat utang
lainnya.
Dengan begitu sesuai dengan UU
No. 1 tahun 2004, investasi yang menjadi
kewenangan Bendahara Umum Negara
adalah invesasi dalam bentuk pembelian
surat utang negara, bukan investasi
dalam bentuk akuisisi perusahaan
apalagi membeli saham perusahaan
swasta.
Sesuai amanat UU No 1 tahun 2004
pasal 41, pemerintah telah menetapkan
peraturan pemeritah No. 1 tahun 2008
tentang investasi pemeritah. Ternyata,
semua proses investasi termasuk
penyertaan modal itu sepenuhnya
menjadi kewenangan Menteri
Keuangan tidak melibatkan pemerintah
untuk setiap keputusaan penyertaan
modal pemerintah. Peraturan inilah
yang kemudian dijadikan pedoman bagi
Menteri Keuangan untuk menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang
investasi pemerintah.
Pada awalnya, Menteri Keuangan
mengatur bahwa PIP hanya boleh
melakukan investasi pada perusahaan
yang bersifat terbuka.
Hasan Bisri menyimpulkan bahwa
pembelian saham Newmont adalah
penyertaan modal pemerintah , bukan
invesasi pada perusahaan saham
terbuka seperti di bursa. “Oleh karena
itu perusahaan swasta maka harus
persetujuan DPR,” tuturnya.
Justru dia mengkhawatirkan
bila cara berpikir Menteri Keuangan
BPK berpendapat bahwa pembelian saham
Newmont tidak semata untuk memperoleh
keuntungan ekonomis, tetapi ingin berperan
dalam pengendalian perusahaan.
Selanjutnya Menteri Keuangan
mengungkapkan bahwa pembelian
saham Newmont didasarkan pada pasal
41 UU perbedaharaan negara. Padahal,
dalam pandangan Hasan Bisri, pasal itu
mengarahkan bahwa setiap penyertaan
modal pemerintah pada perusahaan
negara, perusahaan daerah, atau
perusahaan swasta harus ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Oleh karena itu, paparnya, BPK
berpendapat bahwa pembelian
saham Newmont bukan kewenangan
pemerintah sebagai bendahara umum
negara. Sebab, kewenangan Menteri
Keuangan sebagai bendahara umum
negara sangat terbatas sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 UU No1 tahun
20014 tentang perbendaharaan negara.
sekarang ini seperti itu, maka PIP
dengan kekuatan uang yang sangat
besar bisa melakukan investasi
pembelian saham perusahaan mana
saja, baik perusahaan terbuka maupun
tertutup. Jika memang begitu, Hasan
mempertanyakan kenapa tidak
menggunakan BUMN.
Menurut dia, esensi PIP sebagai BLU
adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan diberikan kewenangan
langsung untuk menggunakan
pendapatan guna melayani masyarakat.
“Kalau seperti ini PIP menjadi
investor terbesar dengan kemampuan
dana yang sangat besar bisa investasi
kemana saja tanpa persetujuan DPR. Ini
yang kami khawatirkan,” kata Hasan Bisri.
bw
MARET 2012
11
5/10/2012 3:15:06 PM
LAPORAN UTAMA
T
erjadinya gugatan Sengketa
Kewengan Lembaga Negara
( SKLN) di Mahkamah
Konstitusi (MK), disayangkan
sejumlah kalangan. Salah satunya
pengamat ekonomi Anggito
Abimanyu.
Menurut dia, dengan adanya
sengketa kewenangan lembaga
negara mengenai divestasi saham
PT Newmont Nusa Tenggara
mengakibatkan terganggunya
kepercayaan para pelaku usaha.
Selain itu, gugatan itu juga telah
menimbulkan adanya ketidakpastian
iklim investasi khususnya di sektor
pertambangan.
Anggito juga menyayangkan
berlarutnya penyelesaian divestasi
saham Newmont hingga lebih
dari 1 tahun. Akibatnya Indonesia
kehilangan kesempatan untuk
memperoleh pendapatan negara,
mensejahterakan Provinsi Nusa
Tenggara Barat, menciptakan
nilai tambah, dan memperbaiki
pengelolaan sektor pertambangan.
Pangkal persoalan sengketa
kewenangan ini sangat sederhana.
Yakni mengenai perlu tidaknya
Anggito Abimanyu
12
MARET 2012
6 - 15 laporan utama.indd 12
Persetujuan DPR
Tak Hambat Divestasi
pemerintah meminta persetujuan
DPR untuk menggunakan dana
investasi di Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) dan melaksanakan
pembelian 7% saham Newmont.
Di satu sisi, menurut Anggito,
kementerian keuangan
menganggap sudah mendapat izin
melalui persetujuan APBN 2012.
Namun, di sisi lain, DPR mengatakan
bahwa meskipun anggaran PIP
telah termuat dalam UU APBN 2011,
tetapi belum cukup. Sehingga tetap
diperlukan adanya persetujuan dari
komisi teknis yakni Komisi XI DPR.
Seharusnya sengketa
kewenangan ini tidak perlu terjadi
apabila kedua belah pihak, terutama
kementerian keuangan dan DPR,
memahami dengan baik mekanisme
dan proses pembahasan APBN.
Kewenangan komisi dan Badan
Anggaran DPR dalam
APBN termuat dalam UU
No 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU
No 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, dan DPRD harus
dimengerti dengan baik dan
dipatuhi dengan seksama.
Pengetahuan dan
pemahaman mengenai
siklus, proses, mekanisme
pembahasan dan
persetujuan APBN,
diperlukan karena
pemerintah menggunakan
PIP yang berbadan hukum
Badan Layanan Umum (BLU)
untuk melakukan investasi.
Sebagai BLU meneruskan
bagian dari keuangan
negara.
Oleh sebab itu, rencana
kerja dan anggaran harus
istimewa
mendapat persetujuan dari
DPR dalam proses pembahasan APBN
setiap tahunnya. Selain itu, sebagai
bagian dari keuangan negara, BLU
juga harus menyampaikan rencana
bisnis dan rencana investasi serta
rencana kerja dan anggaran untuk
mendapatkan persetujuan dari
komisi terkait dan disinkronisasikan
oleh Badan Anggaran DPR dalam
postur APBN.
Ketidakpahaman inilah, menurut
Anggito, yang menjadi pangkal
terjadinya persengketaan yang
menyeret para pihak dalam situasi
saling tidak percaya. Padahal,
proses persetujuan DPR baik di
badan anggaran, komisi dan sidang
paripurna sudah selalu dijalankan
dan merupakan hal yang rutin dalam
proses pembahasan APNBN setiap
tahunnya.
“Persetujuan tersebut harus
diperoleh oleh setiap kementerian
dan lembaga pemerintah sebagai
pengguna anggaran termasuk
BLU sebagai lembaga yang tidak
terpisahkan dari keuangan negara,”
katanya.
Menurut dia, selama ini terjadi
perbedaan pendapat mengenai
perlu tidaknya persetujuan DPR.
DPR mengatakan pemerintah harus
meminta persetujuan DPR dengan
menunjuk pada UU No 17 tahun
2003 tentang keuangan negara
dan UU No 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara. Adapun,
pemerintah mengatakan tidak perlu
lagi persetujuan DPR. Argumen
pemerintah ini merujuk pada pasal
8 huruf f, UU No. 17 tahun 2003
yang mengatakan pelaksanaan
fungsi Bendahara Umum Negara
dan Pasal 41 UU No 1 tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah No. 1
tahun 2008 tentang landasan hukum
Warta BPK
5/10/2012 3:15:06 PM
LAPORAN UTAMA
operasional PIP.
Perbedaan pandangan lain
juga terjadi pada pemahaman
investasi pemerintah dan
penyertaan modal pemerintah.
Pemerintah berpendapat pembelian
7% saham divestasi Newmont
merupakan investasi jangka
panjang nonpermanen oleh menteri
keuangan selaku BUN untuk
melaksanakan investasi sesuai
ketentuan pasal 41 ayat 1, 2 dan 3
dalam UU Perbendaharaan Negara.
Sementara BPK berpendapat
pembelian saham Newmont melalui
PIP adalaah investasi jangka panjang
dalam bentuk penyertaan modal
pemerintah dalam perusahaan
swasta. Selain itu, perbedaan
pendapat juga terjadi pada
penggunaan dana PIP. Kalangan
DPR berpendapat pembelian saham
Newmont dengan menggunakan
dana PIP tidak mencerminkan awal
pembentukan PIP sebagai BLU
khususnya di bidang infrastuktur.
Sebaliknya pemerintah
berpendapat bahwa dalam PP
No 1 tahun 2008, investasi yang
dilakukan PIP tidak dibatasi hanya
bidang infrastuktur, tetapi bidang
lain yang ditetapkan menteri
keuangan.
Mengenai alokasi dana pembelian
saham, BPK berpendapat bahwa
pemerintah belum mengalokasikan
dana pembelian saham dalam APBN
2009 dan investasi dilakukan tanpa
ada rincian serta penjelasan yang
memadai sebagai amanat yang
diatur dalam Pasal 15 ayat 5 UU
Keuangan Negara.
Pemerintah mengatakan alokasi
anggaran PIP sebagai satuan kerja
Kementerian Keuangan sudah
rinci sampai unit organisasi, fungsi
program, dan kegiatan dalam bagian
anggaran Kementerian Keuangan.
Selain itu, lanjut Anggito,
keberadaan PIP sebagai BLU,
BPK juga menyimpulkan bahwa
kelembagaan PIP sebagai BLU
tidak sesuai dengan semangat
pembentukan PIP sendiri. BPK juga
Warta BPK
6 - 15 laporan utama.indd 13
berpendapat, PIP tidak memberikan
layanan langsung kepada
masyarakat tetapi hanya bertujuan
untuk memupuk keuntungan
ekonomi. Pemerintah berpendapat
PIP merupakan BLU yang mengelola
keuangan dana khusus dalam
rangka meningkatkan ekonomi dan
pelayaan pada masyarakat.
Menyinggung mengenai alokasi
dana Investasi di Newmont oleh
pemerintah, Anggito mengutip
keterangan saksi ahli Yusril Ihza
Mahendra di Mahkamah Konstitusi.
Yusril mengungkapkan apabila
alokasi dana investasi belum tersedia
atau telah tersedia tetapi belum
mencukupi, penyediaan dana itu
harus dibahas lebih dahulu oleh
DPR untuk disepakati bersama
yang dituangkan dalam APBN atau
APBN perubahan. Keterangan itu,
kata Anggito, menyiratkan bahwa
perlu persetujuan DPR sebelum
dituangkan dalam APBN apabila
mendorong tujuan dan kemanfaatan
dari investasi yang dilakukan oleh
pemerintah secara optimal.
Menyinggung mengenai
keberadaan PIP, Anggito
mengungkapkan sebagai BLU setiap
mata anggaran PIP merupakan
bagian dari APBN. Dengan demikian
pengunaannya harus mendapat
persetujuan dari komisi terkait dan
disinkronkan oleh badan anggaran
DPR.
Menurut dia, setiap investasi
yang dilakukan PIP seharusnya sesuai
dengan tujuan dan pembentukan
PIP. Hal ini seperti tertera dalam
pasal 1 PP No 23 tahun 2005 yang
mengatakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat
tanpa mengutamakan mencari
keuntungan.
Anggito menyarankan badan
hukum PIP yang merupakan BLU
perlu ditinjau kembali. Apabila
sebagai BLU maka PIP harus
Seharusnya sengketa kewenangan ini tidak
perlu terjadi apabila kedua belah pihak,
terutama kementerian keuangan dan DPR,
memahami dengan baik mekanisme dan proses
pembahasan APBN.
dana investasi belum tersedia atau
belum mencukupi.
Anggito berpandangan proses
pembelian saham Newmont oleh
pemerintah masih memerlukan
persetujuan dari Komisi XI DPR
sebagai bagian kelengkapan
persetujuan APBN 2011.
Perlunya persetujuan komisi itu,
hendaknya tidak dimaknai adanya
upaya menghambat investasi saham
itu. Pemerintah pusat harus dapat
memastikan adanya kepentingan
publik dalam pemanfaatan
sumber daya alam milik negara
dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kepentingan nasional.
Untuk itu, Anggito berpandangan
proses pembahasan dengan komisi
itu perlu dijalankan untuk tetap
mengemban misi sebagai lembaga
pelayanan masyarakat yang bersifat
nirlaba. Dia juga memberikan
alternatif bagi pemerintah untuk
menggunakan BUMN untuk
membeli saham divestasi Newmont.
“Terlepas perlunya persetujuan
DPR, pembelian saham itu oleh
pemerintah perlu didukung
untuk memanfaatkan SDA untuk
kemakmuran rakyat,” kata Anggito.
Dia menyarankan kepada
MK untuk mengkonfirmasikan
kembali prosedur, proses APBN
yang telah dilalui oleh pemerintah
dan DPR sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku.
“Artinya dalam sengketa ini tidak
ada yang menang dan kalah,” kata
Anggito. bw
MARET 2012
13
5/10/2012 3:15:06 PM
LAPORAN UTAMA
Pembelian Saham Newmont
Harus disetujui DPR
P
penerimaan negara. “Melalui
akar Hukum Keuangan
kedua hal tersebut pelaksanaan
Negara Siswo Suyanto
tujuan diwujudkan,” kata Siswo.
mengatakan gugatan
Hak lain bagi legislatif,
antarlembaga negara
lanjutnya, adalah hak untuk
merupakan ruang lingkup
meminta pertanggungjawaban
hukum keuangan negara.
kepada eksekutif dalam
“Yakni kasus yang terjadi antara
pelaksanaan rencana kerja
lembaga legislatif dan eksekutif
maupun rencana pembiayaan.
dalam rangka penetapan UU
Di pihak lain, lembaga
APBN serta dalam rangka
eksekutif adalah pelaksana
pelaksanaan APBN,” katanya di
dari keputusan yang telah
Mahkamah Konstitusi, belum
ditetapkan rakyat melalui
lama ini.
lembaga perwakilannya. Terkait
Dia menjelaskan pengelolaan
dengan peran lembaga eksekutif
keuangan negara terbagi dalam
tersebut semua kebijakan
dua aspek, yakni politis dan
yang disusun pemerintah
administratif. Dalam kajian
adalah kebijakan operasional
hukum keuangan negara, aspek
dalam rangka pelaksanaan
politis keuangan negara ini
kesepakatan.
secara substansi mengatur
Hak yang dimiliki eksekutif
hubungan hukum antara
dalam hal ini tidak lebih hanya
lembaga legislatif dan eksekutif
bentuk kewajiban. “Kewajiban
dalam rangka penyusunan dan
istimewa
eksekutif adalah menyusun
penetapan APBN.
Siswo Suyanto
pertangungjawaban yang
“Secara kongkrit aspek politis
mencakup kinerja eksekutif
keuangan negara terkait dengan
penuh kepada eksekutif untuk
dan
mewujudkan
program kerja
pelaksanaan yang terkandung dalam
melaksanakan kegiatan dan
yang
telah
direncanakan
mencakup
UUD. Amanah UUD itu diwujudkan
kewenangan untuk membiayai
pertanggujawaban
keuangan,
” kata
dalam bentuk kegiatan pengelolaan
kegiatan tersebut. “Inilah yang
.
Siswo
rumah tangga negara, baik dari
disebut otorisasi parlementer atau
Pembagian kekuasaan antara
aspek kegiatan maupun dari
hak budjet lembaga legislatif,” tandas
legislatif
dan eksekutif telah
pembiayaan,” jelas Siswo.
Siswo.
melahirkan
prinsip transparansi
Dia menjelaskan dari aspek
Hanya saja, kesepakatan antara
anggaran
yang
menekankan
pembiayaan bagaimana pemerintah
kedua lembaga tersebut memiliki
adanya
kejelasan
peran antara
dapat membiayai kegiatan
konsekuensi logis dalam bentuk hak
yang
menyusulkan
dan pihak yang
dalam rangka mewujudkan
dan kewajiban bagi kedua belah
memutuskan.
Pada
hakekatanya,
penyelenggaraan pemerintahan dan
pihak. Di pihak legislatif hak yang
prinsip
pengelolaan
keuangan
pemenuhan hak azasi warga negara.
timbul akibat kesepakatan tersebut
negara
merupakan
alat
bagi
Dengan demikian, APBN merupakan
adalah hak untuk melakukan
lembaga
legislatif
untuk
dapat
suatu bentuk kesepakatan antara
pengawasan terhadap pelaksanaan
melakukan pengawasan secara
legislatif dan eksekutif yang
tujuan yang telah dituangkan
efektif dan efisien yang dilakukan
berisi rencana kegiatan dan cara
dalam bentuk produk perundanglembaga eksekutif.
pembiayaannya.
undangan. Hak pengawasan
Dengan demikian, lanjut
Dalam kesepakatan tersebut
legislatif pada hakekatnya
Siswo,
tindakan pejabat publik
legislatif memberikan kewenangan
mencakup pengeluaran negara, dan
14
MARET 2012
6 - 15 laporan utama.indd 14
Warta BPK
5/10/2012 3:15:06 PM
LAPORAN UTAMA
dalam lingkup administratif hanya
merupakan operasionalisasi
keputusan politik. Yakni keputusan
yang telah dituangkan dalam
APBN. Tindakan kepala pemerintah
selaku pimpinan lembaga eksekutif
diwujdkan dalam dokumen
pelaksanaan anggaran yang
dilaksanakan APBN. Selanjutnya
dalam pelaksaan APBN tersebut
diterbitkan berbagai surat keputusan
yang dijadikan dasar pengeluarkan
negara.
Aspek politisi pengelolaan
keuangan negara, menurut Siswo,
tertuang dalam UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
Aspek administratifnya tertuang
dalam UU No 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Dalam kedua UU itu diatur
pengelolaan keuangan negara yang
diterapkan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Oleh karena
itu, UU No 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara bukanlah
mengatur hal yang sama dengan UU
No 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
“Pada prinsipnya, UU No. 1 tahun
2004 mengatur operasionalisasi
keputusan politis yang telah
dituangkan dalam UU APBN. Dengan
demikian UU No 1 tahun 2004
bukanlah merupakan lekspesialis
terhadap UU Keuangan Negara,” kata
Siswo.
Menyinggung mengenai
peran Menteri Keuangan, dia
mengungkapkan selama ini berbagai
pihak telah salah mengartikan
peran Menteri Keuangan dalam
pengelolaan keuangan negara.
Menteri Keuangan dalam
pengelolan keuangan negara selalu
diartikan sebagai Bendahara Umum
Negara (BUN). Padahal, dalam
hal tertentu Menteri Keuangan
bertindak selaku pembantu
presiden yang menangani masalah
keuangan negara.
Dengan begitu menteri keuangan
adalah menteri teknis sebagaimana
menteri lainnya. Kedudukannya
Warta BPK
6 - 15 laporan utama.indd 15
selaku BUN adalah bertindak
selaku pejabat perbedaharaan saat
berhadapan dengan menteri teknis
selaku pengguna anggaran dalam
pelaksanan APBN.
Kekuasaan menteri keuangan
selaku BUN bersifat limitatif. Hal
ini sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 7 UU No 1 tahun 2004
tentang Pembedaharaan Negara.
Peran BUN tidak berbeda dengan
peran bendahara di berbagai
kementerian . Hanya saja perannya
memiliki cakupan tugas yang lebih
luas meliputi pengelolaan uang,
kekayaan, utang, dan piutang.
Kewenangan bendahara umun
Kewajiban eksekutif
adalah menyusun
pertangungjawaban
yang mencakup
kinerja eksekutif
dan mewujudkan
program kerja yang
telah direncanakan
mencakup
pertanggujawaban
keuangan.
negara untuk menempatkan uang
dan melakukan investasi sangat
dibatasi karena merupakan tindakan
dalam pengelolaan kas. Oleh sebab
itu, UU No 17 tahun 2003 tentang
keuangan negara dan UU No 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara menggunakan terminologi
pemerintah dan kementerian
keuangan.
Mengenai Pusat Investasi
Pemerintah (PIP), Siswo menilai
PIP merupakan Badan Layanan
Umum (BLU). Seharusnya bercirikan
sebagai institusi pemerintah
penyedia layanan publik yang
tidak berorientasi pada profit.
Namun, kenyataannya sebagai
lembaga investasi, PIP merupakan
institusi yang berorientasi kepada
pemupukan keuntungan.
Padahal, lanjut Siswo, diawal
kelahirannya PIP bernama
Badan Investasi Pemerintah
yang bernaung di Direktorat
Jenderal Perbendaharaan. Namun,
dalam perkembangannya PIP
menfasilitasi pihak swasta dalam
melakukan investasi, khsusunya
dalam pembangunan dalam
bidang infrastuktur. Pada saat
itulah terjadi perubahan orientasi
fungsi PIP. Sehingga PIP tidak
layak di bawah Direktorat Jenderal
Pembendaharaan. Selaku BUN,
PIP di bawah Sekjen Kementerian
Keuangan. Oleh karena itu, PIP
merupakan unit organisasi di bidang
pengelolaan investasi pemerintah
yang bertanggungjawab kepada
menteri keuangan.
Seluruh dana PIP merupakan
kekayaan negara yang tidak bisa
dipisahkan dan dikelola melalui
sistem APBN. Dengan demikian,
PIP berkewajiban menyusun
rencana bisnis anggaran yang
tidak bisa dipisahkan dari rencana
kegiatan kementerian keuangan.
Sebagai satuan kerja pemerintah
pendananaaan kegiatan BLU
dialokasikan di APBN yang
memerlukan proses pembahasan
dan penetapan di lembaga legislataif.
Dengan demikian, Siswo
mengungkapkan APBN merupakan
kesepakatan antara legislatif dan
eksekutif yang diputuskan dalam
proses politik. Oleh karena itu dalam
menetapkan APBN kedudukan
legislatif lebih kuat dibandingakan
dengan eksekutif.
Pembelian 7% saham Newmont
oleh pihak pemerintah melalui PIP
harus dituangkan dalam rencana
bisnis dan anggaran PIP selaku BLU.
Rencana bisnis itu harus dibahas dan
disetujui oleh DPR.
“Dengan demikian pembelian
saham Newmont oleh pihak
pemohon yang dilakukan PIP harus
dibahas dan setujui oleh DPR
sebelum dilaksanakan,” kata Siswo.
bw
MARET 2012
15
5/10/2012 3:15:06 PM
LAPORAN KHUSUS
(warta bpk/rianto prawoto)
BPK Menemukan 12.162 Kasus
Senilai Rp20,25 Triliun
Pada Semester II Tahun 2011
Ketua BPK Hadi Poernomo tengah menyampaikan IHPS II di DPR
D
alam Sidang Paripurna DPR ke-23 Masa
Persidangan III Tahun Sidang 2011-2012,
BPK menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
Semester (IHPS) II Tahun 2011. Ketua BPK
Hadi Poernomo menyerahkan secara langsung kepada
pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.
Priyo menyatakan bahwa IHPS Semester II Tahun 2011
ini akan diserahkan ke Badan Akuntabilitas Keuangan
Negara (BAKN) untuk dipelajari dan ditindak lanjuti.
IHPS BPK Semester II Tahun 2011 ini merupakan
rangkuman Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dalam
kurun waktu 1 Juli-31 Desember 2011. Sebagai mandat
16
MARET 2012
16 - 23 laporan khusus .indd 16
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
terkait, mengamanatkan BPK untuk menyerahkan hasil
pemeriksaan itu kepada rakyat melalui wakil-wakilnya
di DPR. Selain itu, BPK juga menyerahkan kepada
pemerintah dan DPD.
Total obyek pemeriksaan yang terangkum dalam
IHPS BPK Semester II Tahun 2011 ini sebanyak 927 objek
pemeriksaan. Sebanyak 166 obyek pemeriksaan di
antaranya, merupakan obyek pemeriksaan keuangan, 143
obyek pemeriksaan kinerja, dan 618 obyek pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Keseluruhan obyek pemeriksaan
meliputi semua entitas yang diperiksa, baik di tingkat
Warta BPK
5/10/2012 5:21:06 PM
LAPORAN KHUSUS
Warta BPK
16 - 23 laporan khusus .indd 17
pendapatan negara/daerah
sesuai ketentuan.
5.Mempertanggungjawabkan
penggunaan anggaran.
6.Menarik dan menyetorkan
kerugian, potensi kerugian,
dan kekurangan penerimaan
ke kas negara/daerah/
perusahaan.
Pemeriksaan Terhadap LKPD
Terkait dengan pengelolaan
keuangan daerah, pada semester II
Tahun 2011, BPK telah melaksanakan
pemeriksaan keuangan atas 158
Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) Tahun 2010 serta
delapan laporan keuangan BUMD
dan badan lainnya.
Selama 2011, BPK telah
menyelesaikan laporan hasil
pemeriksaan atas 516 LKPD Tahun
2010 dari 524 pemerintah daerah
di seluruh Indonesia yang wajib
menyusun LKPD tahun 2010.
Dari 516 LKPD tahun 2010 yang
diperiksa pada tahun 2011, BPK
telah memberikan Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) atas 34 LKPD
atau sekitar 7%. Opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP) diberikan atas
341 LKPD atau sekitar 66%. Ada 26
LKPD yang diberikan Opini Tidak
Wajar (TW) atau sekitar 5%. Dan,
Opini Tidak Menyatakan Pendapat
(TMP) diberikan atas 115 LKPD atau
22%.
Secara umum, opini BPK terhadap
LKPD Tahun 2010 menunjukkan
adanya peningkatan dalam
perolehan opini WTP dan WDP atas
LKPD dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hal ini, menurut Ketua
BPK Hadi Poernomo, mencerminkan
(warta bpk/rianto prawoto)
pusat maupun daerah.
Sebanyak 12.612 kasus senilai
Rp20,25 triliun ditemukan dalam
pemeriksaan itu. Sebanyak 4.941
kasus dengan senilai Rp13,25 triliun
di antaranya merupakan temuan
ketidakpatuhan yang mengakibatkan
kerugian, potensi kerugian, dan
kekurangan penerimaan.
Sementara itu, sebanyak
1.056 kasus senilai Rp6,99
triliun merupakan temuan
pemeriksaan berupa
ketidakhematan, ketidakefisienan,
dan ketidakefektifan. Adapun,
sebanyak 6.615 kasus temuan dari
penyimpangan administrasi dan
kelemahan sistem pengendalian
intern (SPI).
Dari temuan kerugian, potensi
kerugian, dan kekurangan
penerimaan senilai Rp13,25 triliun,
selama proses pemeriksaan, entitas
yang diperiksa telah menindaklanjuti
dengan penyetoran ke kas negara/
daerah/perusahaan senilai Rp81,71
miliar. Rinciannya, temuan kerugian
senilai Rp35,99 miliar, potensi
kerugian senilai Rp9,53 miliar, dan
kekurangan penerimaan senilai
Rp36,17 miliar.
Secara garis besar, terhadap
kasus-kasus yang terjadi pada
pemeriksaan keuangan, BPK telah
merekomendasikan kepada entitas
agar melakukan langkah-langkah
perbaikan yang dimuat dalam
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
Langkah-langkah perbaikan
berdasarkan rekomendasi BPK
tersebut, yaitu:
1. Agar menyusun dan
menetapkan pedoman
kerja sesuai ketentuan yang
berlaku.
2.Menegur dan atau
memberi sanksi kepada
pejabat pelaksana yang
tidak mentaati ketentuan
perundang-undangan.
3.Meningkatkan pengawasan
dan pengendalian.
4.Melaksanakan pemotongan/
pemungutan atas
Ketua BPK Hadi Poernomo menyerahkan secara langsung kepada pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR
Priyo Budi Santoso.
MARET 2012
17
5/10/2012 5:21:07 PM
LAPORAN KHUSUS
adanya perbaikan terhadap sistem
pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan daerah, khususnya dalam
pencatatan dan pelaporan keuangan
daerah oleh pemerintah daerah.
Walau ada peningkatan dalam
perolehan opini WTP dan WDP,
akan tetapi ada sekitar 27% LKPD
masih diberi opini TW dan TMP.
“Hal ini menunjukkan efektivitas
SPI pemerintah daerah yang
bersangkutan belum optimal,” ucap
Hadi.
Masih belum optimalnya SPI ini
menunjukkan bahwa ada kelemahan
SPI dalam pengelolaan keuangan
daerah. Kelemahan SPI ini, pada
umumnya, meliputi permasalahan
kurang tertibnya penyusunan dan
penerapan kebijakan, lemahnya
pengendalian fisik atas aset,
kelemahan pengelolaan dan
pengendalian atas kas daerah, dan
pencatatan transaksi yang kurang
akurat dan tepat waktu.
Kondisi ini senada dengan hasil
18
MARET 2012
16 - 23 laporan khusus .indd 18
pemeriksaan BPK terhadap 158
LKPD. BPK menemukan 1.796 kasus
kelemahan SPI. Selain itu, ditemukan
juga ketidakpatuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan
yang mengakibatkan kerugian,
potensi kerugian, dan kekurangan
penerimaan sebanyak 2.585 kasus
senilai Rp1,72 triliun. Dari temuan
ketidakpatuhan tersebut, telah
ditindaklanjuti dengan penyetoran
ke kas negara/daerah selama proses
pemeriksaan sebesar Rp19,10 miliar.
Dalam IHPS BPK Semester II Tahun
2011, ada pemeriksaan atas LKPD
tahun 2010 yang belum diperiksa
dan atau dilaporkan pada semester
I Tahun 2011. Hal ini disebabkan
LKPD yang bersangkutan belum
diserahkan kepada BPK atau
pemeriksaan BPK masih berlangsung.
Pemeriksaan Kinerja
Hadi Poernomo mengatakan
pada semester II Tahun 2011, BPK
memprioritaskan pada pemeriksaan
kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu (PDTT). Ada 143
obyek pemeriksaan kinerja dan 618
obyek pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.
Pada 143 obyek pemeriksaan
kinerja, terdapat 30 obyek
pemeriksaan di lingkungan
pemerintah pusat, 56 obyek
pemeriksaan di lingkungan
pemerintah daerah, 9 obyek
pemeriksaan di lingkungan BUMN,
29 obyek pemeriksaan di lingkungan
BUMD, dan 19 objek pemeriksaan di
lingkungan Badan Layanan Umum
(BLU).
Tema pada objek pemeriksaan
kinerja sendiri, di antaranya:
1. Pelayanan kesehatan rumah
sakit dan dinas kesehatan (50
obyek pemeriksaan)
2. Pengelolaan PDAM (27 obyek
pemeriksaan)
3. Pengelolaan pendidikan (17
obyek pemeriksaan)
4. Upaya pengendalian korupsi
Warta BPK
5/10/2012 5:21:07 PM
LAPORAN KHUSUS
(4 obyek pemeriksaan)
5. Efektivitas pengendalian
pertumbuhan penduduk (15
obyek pemeriksaan)
6. Penetapan formasi dan
pengadaan PNS tahun
2009 dan 2010 (6 obyek
pemeriksaan)
7. Efektivitas perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, dan
monitoring dalam kegiatan
bisnis perbankan (9 objek
pemeriksaan).
Ada hal menarik dalam beberapa
obyek pemeriksaan kinerja tersebut.
Pertama, terkait dengan pemeriksaan
kinerja atas pelayanan kesehatan
rumah sakit dan dinas kesehatan, BPK
menyimpulkan bahwa pelayanan
kesehatan rumah sakit dan dinas
kesehatan secara umum kurang
efektif. Hal itu ditunjukkan dengan
masih ditemukan kelemahankelemahan yang mempengaruhi
efektivitas pelayanan kesehatan,
antara lain pelayanan kesehatan
di ruang rawat inap kelas tiga
belum sesuai standar dan adanya
tambahan kenaikan harga obat yang
dibebankan pada pasien.
Kedua, pemeriksaan kinerja pada
pengelolaan PDAM yang dilakukan
terhadap 27 obyek pemeriksaan, BPK
menyimpulkan bahwa pengelolaan
PDAM secara umum belum efektif.
Hal itu ditunjukkan dengan masih
ditemukan kelemahan-kelemahan
yang mempengaruhi efektivitas
pengelolaan PDAM, antara lain
tingkat kehilangan air melebihi
batas toleransi yang ditetapkan dan
pencatatan pemakaian air pelanggan
tidak akurat.
Ketiga, pemeriksaan kinerja
terkait pengelolaan pendidikan
menunjukkan pengelolaan
pendidikan secara umum belum
efektif. Hal itu ditunjukkan antara lain
entitas yang masih belum memiliki
database kependidikan serta
belum mampu memenuhi standar
pelayanan minimal pemenuhan
sarana dan prasarana serta tenaga
Warta BPK
16 - 23 laporan khusus .indd 19
pendidik.
Pemeriksaan kinerja lainnya,
terkait konversi minyak tanah ke
Liquid Petroleum Gas (LPG) dilakukan
terhadap dua obyek pemeriksaan.
Hasilnya menunjukkan pelaksanaan
pengadaan dan pendistribusian
paket perdana tabung LPG 3 kg oleh
Pertamina (Persero) cukup efektif.
Selain itu, program konversi
minyak tanah ke LPG dari 2007
sampai 2010 telah dapat menghemat
subsidi pemerintah senilai Rp20,99
triliun. Namun, pelaksanaan program
konversi minyak tanah ke LPG 3 kg
kurang didasarkan perencanaan yang
memadai.
Sementara itu, pemeriksaan
dengan tujuan tertentu, dalam
semester II tahun 2011, dilakukan
atas 618 obyek pemeriksaan. Jumlah
obyek pemeriksaan tersebut, terdiri
dari:
1. 190 obyek pemeriksaan di
lingkungan pemerintah
pusat;
2. 363 obyek pemeriksaan di
lingkungan pemerintah
daerah;
3. 28 obyek pemeriksaan di
lingkungan BUMN;
4. 36 obyek pemeriksaan di
lingkungan BUMD; dan
5. Satu obyek pemeriksaan
di lingkungan BHMN/BLU/
Badan lainnya.
Pemeriksaan dengan tujuan
tertentu ini dikelompokkan dalam 10
tema pemeriksaan yaitu pengelolaan
pendapatan, pelaksanaan belanja,
pengelolaan barang milik negara/
daerah, penyertaan modal daerah,
pelaksanaan kontrak kerjasama
minyak dan gas bumi, pelaksanaan
kewajiban pelayanan umum; reviu
MARET 2012
19
5/10/2012 5:21:08 PM
LAPORAN KHUSUS
sistem pengendalian intern BUMN,
operasional BUMN operasional RSUD/
RSKD, PDAM dan BUMD lainnya dan
operasional bank daerah.
Hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu tersebut mengungkapkan
2.309 kasus kelemahan SPI dan 5.744
kasus ketidakpatuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan
senilai Rp18,32 triliun. Dari nilai
temuan tersebut, yang merupakan
temuan kerugian, potensi kerugian,
kekurangan penerimaan sebanyak
3.507 kasus senilai Rp11,83 triliun.
Selama proses pemeriksaan, temuan
ketidakpatuhan yang mengakibatkan
Sulitnya Menyusun IHPS
20
MARET 2012
16 - 23 laporan khusus .indd 20
(warta bpk/andy)
K
omponen masyarakat pemerhati keuangan
negara maupun stakeholder terkait, tentu ingin
mendapatkan hasil pemeriksaan BPK untuk
mengetahui seberapa jauh pengelolaan keuangan
negara berjalan. Berdasarkan amanat konstitusi, BPK
menyerahkan menyerahkannya dua kali dalam setahun.
Maka, sesuai kewenangan BPK dalam menjalankan tiga
jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan laporan keuangan,
kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT),
dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK per
semester atau dikenal dengan IHPS.
Terlihat seperti hal yang biasa melihat alur kerja BPK.
Namun, pada kenyataannya sungguh sulit. Pemeriksaan
BPK banyak menyangkut besaran uang negara dan kinerja
entitas. Salah sedikit akan sangat sensitif. Inilah mengapa
penyusunan IHPS harus teliti dan cermat benar.
Ada tiga satuan kerja yang begitu berperan dalam
penyusunan IHPS ini. Satuan kerja pemeriksaan atau
Auditorat Keuangan Negara (AKN) beserta BPK Perwakilan
di setiap provinsi yang merupakan kepanjangan tangan
dari BPK di daerah. Satu lagi, Direktorat Evaluasi dan
Pelaporan Pemeriksaan Ditama Revbang BPK.
Jika AKN dan BPK Perwakilan mengumpulkan data
hasil dari tugas pemeriksaannya, Direktorat Evaluasi dan
Pelaporan Pemeriksaan BPK ini meramu data itu dan
disusun menjadi IHPS. Ketiganya berkolaborasi untuk
menyusunnya.
Awal dari penyusunan IHPS sendiri tentu saja dimulai
dari pemeriksaan yang dilakukan AKN dan BPK Perwakilan.
Setelah mendapatkan hasil dari pemeriksaan, disusunlah
laporan hasil pemeriksaan dengan banyak penyaringan
Ali AL Basyah
Warta BPK
5/10/2012 5:21:11 PM
LAPORAN KHUSUS
kerugian, potensi kerugian, dan
kekurang penerimaan telah
ditindaklanjuti dengan penyetoran
ke kas negara/daerah senilai Rp61,04
miliar.
Rekomendasi atas kasus tersebut
adalah penyetoran sejumlah uang
ke kas negara/daerah/perusahaan
atau penyerahan aset. Selain
temuan tersebut, terdapat temuan
ketidakhematan, ketidakefisienan,
ketidakefektifan, kelemahan SPI, dan
penyimpangan administrasi yang
tidak memiliki implikasi nilai uang
tetapi memerlukan perbaikan SPI dan/
atau tindakan administratif. and/dr
dalam prosesnya sampai pada penyusunan matrik
temuan pemeriksaan. Satu LHP aka nada satu matrik
temuan pemeriksaan.
Dari proses itulah Direktorat Evaluasi dan Pelaporan
Pemeriksaan BPK mulai bekerja. Ada 13 langkah dalam
pekerjaannya sampai IHPS jadi, yaitu:
1. Pengumpulan data dan informasi untuk IHPS;
2. Validasi matriks;
3. Penyusunan outline IHPS;
4. Pembahasan atau konsiyering matriks temuan
LHP dengan auditorat/perwakilan;
5. Kompilasi matriks temuan berdasarkan tema
atau genre pemeriksaan;
6. Penyusunan konsep IHPS;
7. Pembahasan konsep awal IHPS pada Sidang
Badan;
8. Penyusunan konsep final IHPS beserta
lampirannya;
9. Hard cetak;
10. Validasi kelangkapan softcopy LHP;
11. Pencetakan, penggandaan, pendistribusian;
12. Penyusunan konsep pidato penyampaian IHPS;
dan
13. Penyampaian IHPS kepada DPR dan DPD.
Dari ke-13 langkah tersebut, Direktorat Evaluasi
dan Pelaporan Pemeriksaan BPK berkolaborasi dengan
satuan-satuan kerja terkait. Namun, dalam menjalankan
ke-13 tahapan tersebut itu tidak mudah. Banyak
kesukaran yang terjadi dalam prosesnya. Mulai dari
keterlambatan penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP), ketidakakuratan angka atau penjumlahan,
perbedaan persepsi soal jenis temuan pemeriksaan dan
rekomendasinya, dan hal lainnya.
Misalnya, dalam tahapan konsinyering saja, masih ada
yang baru menyusun Konsep Hasil Pemeriksaan (KHP).
Warta BPK
16 - 23 laporan khusus .indd 21
Padahal dalam tahapan itu, seharusnya sudah dalam
bentuk LHP. Jika masih dalam tataran KHP, maka ada
kemungkinan perubahan angka.
“Kalau ada perubahan angka dalam IHPS itu akan
terpengaruh semuanya. Mulai dari ringkasan eksekutif
sampai lampiran akan berubah semuanya. Jika satu
LHP yang berubah, satu angka saja, kita mengeceknya
lumayan lama. Karena harus mengecek dari sumbernya
dulu, dari lampirannya, matriknya. Kan satu LHP satu
matrik,” ungkap Kepala Direktorat Evaluasi dan Pelaporan
Pemeriksaan BPK Ali Al Basyah
Dia menjelaskan kalau misalnya berubah yang
tadinya 100.00 menjadi 100 juta, berarti ini harus dicari
dari LHP-nya, dicari lagi pada rekapnya. “Rekapnya dicari
lagi ke rekap per jenis pemeriksaannya. Di situ dicek
lagi narasinya yang sudah menjadi buku, dimana yang
menyingung angka itu harus dicari.”
Dari ke-13 tahapan dalam penyusunan IHPS itu,
banyak proses yang mengupayakan agar tidak ada
kesalahan setelah menjadi IHPS. Bahkan, setelah IHPS
telah dicetak pun kembali dicek apakah ada kesalahan
dalam paparan maupun angkanya dengan mengambil
sampel IHPS yang sudah tercetak menjadi buku.
Namun, manusia tetaplah manusia. Adakalanya
dengan berbagai penyaringan yang sedemikian ketat,
untuk menjaga kualitas IHPS, ada waktunya kesalahan
terjadi. Seperti kesalahan angka di LHP, sementara buku
IHPS sendiri telah dibagikan kepada entitas.
“Ada yang LHP-nya itu salah pada angka
penjumlahannya. Kalau LHP itu belum disampaikan ke
entitas masih bisa diperbaiki, terus bisa disampaikan
lagi. Tapi, ada juga yang sudah lama disampaikan ke
entitas sehingga dia perlu ralat. Namun demikian, juknis
untuk ralat itu belum ada, kami sedang siapkan untuk
bagaimana caranya meralat LHP yang sudah disampaikan
ke entitas,” ujar Ali. and
MARET 2012
21
5/10/2012 5:21:11 PM
LAPORAN KHUSUS
Entitas Wajib
Menindaklanjuti
Rekomendasi BPK
22
MARET 2012
16 - 23 laporan khusus .indd 22
(warta bpk/rianto prawoto)
K
etua BPK Hadi Poernomo
menegaskan hasil
pemeriksaan BPK wajib
ditindaklanjuti oleh entitas.
Tidak boleh tidak. Sebab, hal itu
mengacu pada UUD 1945 Pasal 23E
ayat 3 yang menyatakan bahwa hasil
pemeriksaan itu ditindaklanjuti oleh
lembaga perwakilan dan/atau badan
sesuai dengan UU.
“Karena saya mengatakan apa
kata UUD 1945. Pasal 1 angka 3 UUD
1945 dengan tegas mengatakan
negara Indonesia adalah negara
hukum. Jadi, kita harus patuh hukum.
Dan, Pasal 23E ayat 3 mengatakan
hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti
oleh lembaga perwakilan. Saya
merujuk pada undang-undang dasar,
siapa yang berani melawan UUD,” ujar
Hadi.
Terkait entitas yang belum
melakukan tindak lanjut atas hasil
pemeriksaan BPK, Hadi mengatakan
bahwa mereka selalu memberikan
tanggapannya walaupun tindak
lanjutnya dalam proses. Walau
begitu, BPK maupun BAKN DPR
tetap memonitor. Namun, yang jelas
LHP BPK bersifat final, sehingga
mempunyai kekuatan hukum.
Jika tidak menindaklanjutinya,
akan ada sanksi seperti yang
diamanatkan UU No. 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara. Dalam Pasal 26 angka 2 UU
No. 15 Tahun 2004 dinyatakan :
Setiap orang yang tidak memenuhi
kewajiban untuk menindaklanjuti
rekomendasi yang disampaikan
dalam laporan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam)
Ketua BPK Hadi Poernomo
bulan dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Dalam IHPS BPK Semester II Tahun
2011 ini, terangkum bagaimana
tindak lanjut rekomendasi BPK
berjalan. Ditarik rentang waktu dari
2005 sampai 2011. Dalam rentang
waktu itu, secara keseluruhan dari
pemerintah pusat, pemerintah
daerah, BUMN, BHMN, KKKS, dan
badan usaha lainnya, terdapat
216.122 rekomendasi senilai
Rp121,34 triliun.
Secara kumulatif rekomendasi
BPK yang berhasil ditindaklanjuti
dengan penyerahan aset dan
penyetoran uang ke kas negara/
daerah/perusahaan senilai Rp30,33
triliun. Rincian setorannya adalah dari
pemerintah pusat senilai Rp14,83
triliun, pemerintah daerah Rp,47
triliun, serta BUMN (induk dan anak
perusahaan) Rp8,02 triliun.
Selama Semester II Tahun
2011, entitas yang diperiksa telah
menindaklanjuti rekomendasi BPK
dengan penyetoran sejumlah uang
ke kas negara/daerah/perusahaan
dan/atau penyerahan aset senilai
Rp4,76 triliun. Jumlah ini sudah
termasuk penyetoran sejumlah uang/
penyerahan aset yang dilakukan
selama proses pemeriksaan senilai
Rp81,71 miliar.
Jika dibandingkan data Semester
I Tahun 2011, rekomendasi yang
telah ditindaklanjuti sesuai dengan
rekomendasi pada Semester I Tahun
2011 sebanyak 106.058 (55,31%)
dan pada Semester II Tahun 2011
meningkat menjadi 127.310 (58,91%).
Demikian juga rekomendasi yang
masih dalam proses tindak lanjut
meningkat dari 40.841 atau 21,30%
(Semester I Tahun 2011) menjadi
47.094 atau 21,79% (Semester
II Tahun 2011). Peningkatan
ini seiring dengan penurunan
pada rekomendasi yang belum
ditindaklanjuti yaitu dari 44.858
atau 23,39% (Semester I Tahun
2011) menjadi 41.718 atau 19,30%
(Semester II Tahun 2011).
Di sisi lain, hasil pemantauan
pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi di lingkungan
pemerintah pusat mengungkapkan
bahwa dalam periode Tahun 2005
sampai dengan Tahun 2011 secara
keseluruhan dari 87 kementerian/
lembaga terdapat 26.167
rekomendasi senilai Rp46,40 triliun.
Jumlah rekomendasi yang
telah ditindaklanjuti sesuai dengan
rekomendasi sebanyak 17.323 atau
66,20%, sedangkan sebanyak 5.092
rekomendasi atau 19,46% belum
sesuai rekomendasi dan dalam proses
tindak lanjut, dan sebanyak 3.752
rekomendasi atau 14,34% belum
ditindaklanjuti. Termasuk sebanyak
44 di antaranya adalah rekomendasi
yang tidak dapat ditindaklanjuti
dengan alasan yang sah. Dari
17.323 rekomendasi senilai Rp16,75
triliun yang ditindaklanjuti sesuai
rekomendasi, di antaranya telah
ditindaklanjuti dengan penyetoran
ke kas negara/penyerahan aset ke
negara senilai Rp14,83 triliun. and
Warta BPK
5/10/2012 5:21:12 PM
LAPORAN KHUSUS
(warta bpk/rianto prawoto)
“Konversi Minyak Tanah
ke LPG Kurangi Beban APBN”
Anggota BPK Ali Masykur Musa
A
nggota IV BPK Ali Masykur Musa, yang
merupakan penanggung jawab pemeriksaan
kinerja tentang program konversi minyak
tanah ke LPG, menyimpulkan bahwa secara
umum ada keberhasilan dilihat dari dua hal.
Pertama, kesadaran masyarakat tidak lagi
menggunakan minyak tanah sebagai alat untuk
kebutuhan sehari-hari. Kedua, dari sisi pengelolaan
anggaran, telah mampu menekan beban subsidi
negara terhadap minyak tanah ini sebesar Rp20,99
triliun.
Walau begitu, tetap ada temuan-temuan BPK
yang mengindikasikan adanya kerugian keuangan
negara dan hal-hal lainnya. Ali Masykur Musa meminta
pemerintah, dalam hal ini Pertamina dan Kementerian
ESDM, menindaklanjuti temuan-temuan BPK tersebut.
Disamping itu, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK
yang dituangkan dalam IHPS BPK Semester II 2011,
dia menyatakan bahwa pemerintah bisa mengambil
kebijakan dengan mengambil model program konversi
minyak tanah ke LPG. Dengan kata lain, penggunaan
Warta BPK
16 - 23 laporan khusus .indd 23
BBM bersubsidi, yang membuat beban anggaran
negara, seharusnya bisa diminimalisir dengan
mengalihkannya ke energi gas.
Menurut dia, penggunaan BBM bersubsidi pada
mobil angkutan umum, mobil angkutan barang dan
mobil dinas yang ada di Indonesia jumlahnya sebesar
15% dari total konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia,
yang beban biaya totalnya sekitar Rp125 triliunan.
“Karena itu, saya mengusulkan agar mobil
angkutan umum, mobil angkutan barang dan mobil
dinas, agar segera dialihkan penggunaannya dari BBM
ke gas. Dengan syarat, seluruh peralatan convertergatenya itu dianggarkan pemerintah sesegera mungkin,”
ujarnya.
Menurut perhitungannya, jika 15% penggunaan
BBM bersubsidi ini dialihkan ke penggunaan gas,
berarti akan mengurangi beban subsidi sebesar
15% dari total jumlah beban subsidi BBM ini. Jika
dikalkulasikan, akan menghemat sekitar Rp18,75
triliun.
Apa yang disampaikan Ali tersebut berdasarkan
dari model yang sama pada konversi minyak tanah ke
LPG yang diperiksa BPK itu. “Ini kita ambil model dari
program konversi minyak tanah ke LPG, yaitu kompor,
selang dan tabung disediakan pemerintah maka telah
terbukti mengefisienkan Rp20,99 triliun. Dengan
model yang sama juga akan mengefisienkan sekitar
Rp18,75 triliun, secara langsung,” tegasnya.
Dengan konversi BBM bersubsidi ke penggunaan
gas, diharapkan akan ada dampak turunannya.
“Karena biaya transportasi murah, karena penggunaan
gas itu pasti lebih murah, maka penggunaan
kendaraan sepada motor, yang jumlahnya 40% dari
total konsumsi BBM bersubsidi, itu pasti berkurang.
Sehingga ada beban biaya yang bisa dihemat pula.
Jumlahnya tentu lebih besar, sekitar 40% itulah
penghematannya.”
Dampak lainnya yang diharapkan adalah inefisiensi
energi primer di dalam PLN. Kalau PLN ini juga masih
menggunakan juga BBM bersubsidi, yang jumlah
subsidi BBM-nya sebesar Rp27 triliun, beban subsidi
BBM ini akan kembali berkurang. Oleh karena itu,
pemerintah harus segera mengambil kebijakan
dengan mengambil model konversi dari minyak tanah
ke LPG dalam menghadapi dilema besarnya subsidi
BBM ini. and
MARET 2012
23
5/10/2012 5:21:13 PM
Download