Prof. Kacung Marijan, Tax Amnesty Stimulator Pertumbuhan Ekonomi UNAIR NEWS – Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menyehatkan keuangan negara dengan program tax amnesty (amnesti pajak) tak hanya sekali dilakukan. Menurut sejarah, pemerintah RI terhitung pernah tiga kali menerapkan amnesti pajak yakni pada tahun 1964, 1984, dan 2016. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk memaksimalkan penerimaan negara. Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia ingin mengembalikan dana revolusi ke kas negara melalui program amnesti pajak. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami krisis minyak. Sehingga pemerintah RI memutuskan untuk menggali pendapatan dari sektor non-migas, termasuk dari perpajakan. Pada tahun 2016, program amnesti pajak dilakukan untuk menutupi defisit keuangan negara. Pada tahun 2016, meski perhitungan keuangan amnesti pajak sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara – Perubahan 2016, kondisi keuangan masih mengalami defisit. Pada APBN – P 2016 saja, muncul defisit sebesar Rp296,723 triliun atau sekitar Rp2,35% dari produk domestik bruto. Guru Besar Ekonomi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Prof. Kacung Maridjan, Ph.D, mengatakan, kemampuan pemerintah untuk melakukan penarikan pajak mengalami penurunan. Sehingga, program ini diharapkan bisa menjadi stimulator bagi pertumbuhan ekonomi. “Ini bagian dari reformasi perpajakan, khususnya untuk mendata potensi wajib pajak kita. Karena sampai sekarang baru ada 18 juta penduduk Indonesia yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dan jumlah penduduk yang seharusnya memiliki NPWP. Kedua, untuk menarik dana yang di luar negeri (repatriasi) sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kita. Ketiga, negara mengalami defisit anggaran yang cukup besar,” tutur Prof. Kacung. “Dari orang yang mengikuti tax amnesty lumayan antusias, khususnya selama dua minggu terakhir. Dana yang sudah dideklarasikan hampir setengah dari target. Mungkin, bisa jadi akhir minggu ini bisa tembus Rp2.000 triliun. Yang agak kurang adalah repatriasi. Begitu pula dengan tebusan. Dari sini, saya sebut kebijakan ini masih separuh-separuh. Separuh gagal juga. Itu soal repatriasi yang masih 10%, dan tebusan masih sepertiga,” imbuh Prof. Kacung. Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, deklarasi pajak ditarget mencapai Rp4.000 triliun, sedangkan repatriasi mencapai Rp1.000 triliun. Untuk menutup defisit anggaran, target yang didapat adalah Rp165 triliun. Menurut data, sampai 26 September 2016, tren pelaporan kekayaan dari program amnesti pajak cenderung positif. Pada tanggal 11 September 2016, deklarasi pajak baru berkisar di angka Rp174 triliun, repatriasi Rp18,6 triliun, dan tebusan Rp8,53 triliun. Pada tanggal 26 September 2016, deklarasi pajak telah mencapai Rp1.849 triliun, repatriasi Rp94,5 triliun, dan tebusan mencapai Rp56,1 triliun. Bila angka defisit mencapai maksimal tiga persen dari PDB, maka presiden berisiko mengalami pemakzulan. Untuk menghindari itu, maka dua hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah memangkas anggaran yang sedang berjalan, dan melakukan utang luar negeri. “Bila defisit itu mencapai tiga persen dari PDB, politik akan gaduh karena presiden melanggar undang-undang. Presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden,” terang Prof. Kacung. Menurut Prof. Kacung, kebijakan amnesti pajak memang dirasa tidak mempertimbangkan asas keadilan. Karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai. “Iya, ini memang tidak adil. Artinya, orang yang nakal sama yang tidak menjadi sama kedudukannya. Hanya saja, akan lebih tidak adil lagi apabila negara secara terus menerus membiarkan orang yang mengemplang. Saya kira negara ini mengambil suatu posisi, kalau dilanjutkan terus, maka lebih tidak adil. Makanya harus ada kebijakan untuk memangkas pengemplang pajak. Akhirnya, ya sudah diampuni kan diskresi,” tutur Prof. Kacung. Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan