karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif ayam

advertisement
KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF
AYAM WALIK DI SUMEDANG DAN BOGOR
SKRIPSI
RESTYMAYA TIRAMA TARIGAN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
i
RINGKASAN
Restymaya Tirama Tarigan. D14061739. 2010. Karakteristik Sifat Kualitatif dan
Kuantitatif Ayam Walik di Sumedang dan Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
: Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
: Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr.
Ayam Walik merupakan salah satu jenis ayam lokal langka yang terdapat di
Indonesia. Ciri khas ayam Walik yaitu bulu yang keriting. Informasi genetik ayam
Walik saat ini sangat terbatas. Informasi genetik diperlukan sebagai pedoman
melakukan pengembangan potensi dan upaya pelestarian ayam Walik di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi karakteristik sifat kualitatif
dan kuantitatif ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor. Karakteristik
sifat kualitatif dan kuantitatif ayam Walik tersebut dibandingkan dengan ayam
Kampung.
Penelitian dilakukan di Sumedang pada tanggal 15 Juli hingga 7 Agustus
2009 dan Bogor pada tanggal 20 Januari hingga 9 Februari 2010. Ayam Walik yang
digunakan sebanyak 36 ekor (15 jantan, 21 betina) berasal dari Sumedang dan
sebanyak 42 ekor (16 jantan, 26 betina) berasal dari Bogor, sedangkan ayam
Kampung sebanyak 58 ekor (17 jantan, 41 betina) berasal dari Sumedang serta 56
ekor (23 jantan, 33 betina) berasal dari Bogor. Sifat kualitatif yang diamati yaitu
warna bulu, pola bulu, kerlip bulu, corak bulu, warna shank, warna mata dan warna
cuping. Sifat kuantitaif yang diamati yaitu bobot badan, panjang shank, panjang
tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar
dada, lingkar dada dan lingkar tarsometatarsus.
Data sifat kualitatif dianalisis dengan cara menghitung proporsi dan
frekuensi gen, laju introgresi, dan
tingkat keaslian gen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ayam Walik yang terdapat di Sumedang maupun di Bogor
memiliki kesamaan karakteristik sifat kualitatif kecuali pada kerlip bulu. Kerlip bulu
ayam Walik di Sumedang adalah keemasan sedangkan kerlip ayam Walik di Bogor
keperakan. Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor
sebagian besar dipengaruhi oleh ayam Barred Plymouth Rock. Tingkat keaslian ayam
Walik yang berada di Sumedang lebih tinggi (50%) dibandingkan ayam Kampung di
Sumedang (33%), ayam Walik (21%) dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor
(39%).
Data sifat kuantitatif dianalisis dengan melakukan perbandingan rataan pada
setiap ukuran tubuh. Pengamatan karakteristik sifat kuantitatif menunjukkan bahwa
ukuran tubuh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan
Bogor secara umum tidak berbeda. Bobot badan ayam Walik dan ayam Kampung
yang terdapat di Sumedang dan Bogor memiliki tingkat keragaman yang tinggi
sedangkan ukuran tubuh lainnya (panjang shank, panjang tibia, panjang femur,
panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar dada,
lingkar tarsometatarsus) memiliki tingkat keragaman yang rendah.
Kata-kata kunci: ayam Walik, sifat kualitatif, sifat kuantitatif
ii
ABSTRACT
Qualitative and Quantitative Traits of Walik Chickens in Sumedang and Bogor
Tarigan, R.T., Jakaria and M. Ulfah
Walik chicken is one of local chickens in Indonesia owning a typical
character of curling up feather. This form facilitates Walik chickens for the better
regulation of body temperature, so that Walik chickens are more adaptive to the
tropical areas than the normal ones. Recently, the genetic information of Walik
chickens is very limited. Therefore, the study on genetic of Walik chickens is really
needed for developing their qualities and potencies of the chicken. The aim of this
study was to know qualitative and quantitative traits of Walik Chicken in Sumedang
and Bogor and compared to Kampung Chicken. The qualitative traits were analyzed
by proportion and frequency of genes, introgression rate and level of gen
authenticity. The quantitative traits were analyzed by comparison of the average of
body weight, length of shank, tibia, femur,wing, breast and back, width breast and
twist tarsometatarsus. Walik chickens in Sumedang and Bogor were different at flick
of feather. The introgression rate of Barred Plymouth Rock was very high both on
Walik and Kampung chickens in Sumedang and Bogor. Authenticity level of Walik
chickens in Sumedang was higher (50%) than Walik chickens in Bogor (21%). Walik
Chicken and Kampung Chicken in Sumedang and Bogor had high diversity of body
weight and low diversity of the other body size.
Keywords : Walik chicken, qualitative traits, quantitative traits
iii
KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF
AYAM WALIK DI SUMEDANG DAN BOGOR
RESTYMAYA TIRAMA TARIGAN
D14061739
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
iv
Judul Skripsi : Karakteristik Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Ayam Walik di
Sumedang dan Bogor
Nama
: Restymaya Tirama Tarigan
NIM
: D14061739
Menyetujui,
Pembimbing Utama
(Dr. Jakaria S.Pt., M.Si.)
NIP 19660105 199303 1001
Pembimbing Anggota
(Maria Ulfah S.Pt., M.Sc.Agr.)
NIP. 19761101 199903 2 001
Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 6 Agustus 2010
Tanggal Lulus:
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1989 di Muara Tembesi, Jambi.
Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Setia Putra
Tarigan dan Ibu Helmiati.
Penulis memulai pendidikan dasar pada tahun 1994 di SD Negeri 102 Muara
Tembesi dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama
dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP 6 Batanghari,
Muara Tembesi. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri
1 Batanghari dan diselesaikan pada tahun 2006.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif dalam
organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) periode 20072008 sebagai staf Divisi Kewirausahaan. Penulis juga aktif dalam Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) seni Sunda Gentra Kaheman dalam Divisi Upaca Adat periode
2006-2007. Penulis pernah mengikuti magang di Balai Inseminasi Buatan, Lembang
pada tahun 2008. Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah
Teknologi Pengolahan Daging pada tahun 2009.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan atas kehadiran
Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, kasih sayang dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Karakteristik Sifat Kualitatif
dan Kuantitatif Ayam Walik di Sumedang dan Bogor” yang merupakan salah satu
syarat mendapatkan gelar Sarjana Peternakan.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Sumedang
pada bulan Juli-Agustus 2009 dan di Bogor pada bulan Januari-Februari 2010.
Penelitian dilakukan dengan pengamatan secara langsung terhadap karakteristik sifat
kualitatif dan kuantitatif pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor.
Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ayam lokal khususnya ayam Walik yang merupakan salah satu ayam
lokal langka Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam
pengembangan ayam Walik di Indonesia.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru, dan
dapat memberi manfaat bagi pembaca. Semoga Allah SWT meridhoi karya ini.
Amin.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN .......................................................................................
Halaman
i
ABSTRACT ..........................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................
v
KATA PENGANTAR ..........................................................................
vi
DAFTAR ISI .........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
ix
PENDAHULUAN ................................................................................
1
Latar Belakang ..........................................................................
Tujuan .......................................................................................
1
1
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
3
Ayam Lokal Indonesia ..............................................................
Ayam Walik .............................................................................
Ayam Kampung .......................................................................
Sifat Kualitatif ...........................................................................
Karakteristik Warna Bulu dan Pola Bulu ...................
Karaktersitik Bentuk Jengger ......................................
Karakteristik Warna Shank .........................................
Karakteristik Warna Cuping .......................................
Karakteristik Warna Mata ...........................................
Sifat Kuantitatif .........................................................................
Karakteristik Ayam Ras Unggul Asing .....................................
Frekuensi Gen, Introgresi Gen Asing dan Keaslian Gen
Ayam Lokal Indonesia ..............................................................
Keragaman Fenotipe .................................................................
3
3
5
6
7
8
8
9
9
10
11
11
13
METODE PENELITIAN ......................................................................
14
Lokasi dan Waktu ......................................................................
Materi ........................................................................................
Prosedur .....................................................................................
Penentuan Lokasi ........................................................
Pengumpulan Data ......................................................
Peubah yang Diamati ..................................................
Analisis Data .............................................................................
Sifat Kualitatif .............................................................
Sifat Kuantitatif ...........................................................
14
14
14
14
15
15
19
19
22
viii
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
Karakteristik Sifat Kualitatif Ayam Walik ..............................
Proporsi Sifat Kualitatif ................................................
Frekuensi Gen Ayam Walik dan Ayam Kampung ........
Laju Introgresi Gen Asing dan Kandungan Gen Asli
Pada Ayam Walik dan Ayam Kampung .......................
Karakteristik Sifat Kuantitatif Ayam Walik dan Ayam Kampung
24
24
24
33
35
38
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
42
Kesimpulan ................................................................................
Saran ..........................................................................................
42
42
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
44
LAMPIRAN ..........................................................................................
47
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Halaman
Rata-rata Bobot Badan, Efisiensi Pakan, Berat Telur,
Produksi Telur Ayam Berbulu Normal dan Ayam Walik
dalam Tiga Generasi ………………………………………………
5
Performa Produksi Ayam Kampung dengan Tiga Sistem
Pemeliharaan yang Berbeda (Ekstensif, Semi Intensif dan Intensif)
6
Ukuran Tubuh Ayam Kampung (mm) dan Koefisien Keragaman
Ukuran Tubuh (%) .........................................................................
6
Proporsi Sifat Kualitatif pada Ayam Walik di Sumedang dan
di Bogor .........................................................................................
24
Frekuensi Gen Ayam Walik dan Ayam Kampung di Sumedang
dan Bogor .......................................................................................
33
Laju Introgresi Gen Asing dan Besaran Gen Asli yang Terdapat
pada Ayam Walik dan Ayam Kampung di Sumedang dan Bogor
36
Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman dan
Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung
di Sumedang ..................................................................................
39
Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman dan
Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung
di Bogor .........................................................................................
40
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Halaman
Ayam Walik (a) Jantan Cuckoo, (b) Jantan Hitam, dan
(c) Betina Putih ..............................................................................
4
2.
Ayam Kampung Jantan (a) dan Betina (b) .....................................
5
3.
Variasi Warna Shank pada Ayam: (a) Shank Putih (b) Shank
Hijau dan Abu-abu (c) Shank Hitam (d) Shank Kuning ................
16
Variasi Bentuk Jengger pada Ayam: (a) Tunggal, (b) Pea, dan
(c) Ros ...........................................................................................
17
Variasi Warna Cuping pada Ayam: (a) Merah, (b) Putih, dan
(c) Merah-Putih .............................................................................
17
Variasi Warna Mata pada Ayam: (a) Oranye, (b) Cokelat, dan
(c) Kuning .....................................................................................
17
7.
Bagan Bagian-bagian Tubuh Ayam ..............................................
19
8.
Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Hitam,
(2) Hitam-cokelat, (3) Cokelat, (4) Hitam-putih ............................
25
Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam,
(2) Putih, (3) Hitam-Cokelat dan (4) Cokelat ................................
25
Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Polos
(Jantan), (2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan
(4) Lurik (Betina) ………………………………………………..
26
Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) ) Polos
(jantan), (2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan
(4) Lurik (Betina) ………………………………………………..
26
Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Perak
(Jantan), (2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan
(4) Emas (Betina) ………………………………………………..
27
Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Perak
(Jantan), (2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas
(Betina) …………………………………………………………..
27
Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Liar
(2) Liar, (3) Hitam dan (4) Hitam ……………………………….
28
Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam,
(2) Kolumbian, (3) dan (4) Liar ....................................................
28
Warna Shank Ayam Walik di Sumedang (a) dan di Bogor (b):
(1) Hitam, (2) Hijau, (3) Kuning dan (4) Putih .............................
29
4.
5.
6.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
xi
17.
18.
19.
20.
Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Sumedang:
(1) Tunggal (Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina)
dan (4) Kapri (Betina) ……………………………………………
30
Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Bogor:
(1) Tunggal (Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina)
dan (4) Kapri (Betina) ……………………………………………
31
Warna Mata Ayam Walik: (1) dan (2) Kuning, (3) Cokelat dan
(4) Oranye ......................................................................................
32
Warna Cuping Ayam Walik: (1) dan (2) Merah, (3) dan
(4) Merah-Putih .............................................................................
32
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam lokal di Indonesia secara turun temurun telah dipelihara oleh
masyarakat, umumnya yang terdapat di pedesaan baik sebagai hewan piaraan,
penghias halaman, hewan aduan, keperluan ritual maupun tabungan keluarga. Ayam
Walik merupakan salah satu jenis ayam lokal langka yang terdapat di Indonesia.
Ayam Walik di daerah Jawa Barat dikenal dengan ayam Rintit.
Ciri khas yang dimiliki ayam Walik yaitu mempunyai penampilan bulu yang
keriting (terbalik) kearah depan atau belakang, sehingga permukaan kulit tubuhnya
terlihat jelas (Sartika dan Sofjan, 2007). Keunggulan yang dimiliki ayam Walik
dinyatakan dalam Somes (1990) bahwa ayam Walik memiliki metabolisme basal
cepat, produksi kelenjar hormon tiroid dan adrenal yang tinggi, meningkatkan asupan
makanan, konsumsi oksigen, detak jantung, dan peningkatan volume sirkulasi darah.
Bulunya yang terbalik arah tumbuhnya, memberikan keuntungan dengan semakin
mudahnya ayam Walik untuk meregulasikan suhu tubuh pada suhu lingkungan yang
panas sehingga ayam Walik tetap nyaman dalam suhu yang tinggi. Disisi lain, ayam
Kampung merupakan ayam yang paling banyak ditemukan dan menyebar di seluruh
Indonesia. Ayam ini banyak dipelihara dan sangat disukai karena dapat dimanfaatkan
sebagai ayam petelur sekaligus ayam pedaging.
Informasi genetik ayam Walik saat ini sangat terbatas. Belum terkenalnya
ayam Walik di masyarakat dan populasi yang terbatas hanya ada di daerah tertentu
saja menjadikan ayam Walik salah satu jenis ayam lokal langka yang perlu
dieksplorasi. Informasi genetik sangat diperlukan sebagai acuan untuk melakukan
peningkatan mutu genetik ayam Walik dan membantu dalam proses pelestarian
untuk pemanfaatannya yang berkelanjutan. Peningkatan produktivitas tidak hanya
dengan perbaikan manajemen pemeliharaan, tetapi perlu dilakukan peningkatan mutu
genetik dengan mempertahankan sifat-sifat khas ternak tersebut.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai
karakteristik sifat kualitatif yang terdiri dari proporsi fenotipe, frekuensi gen dan
laju introgresi pada ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang
1
dan Bogor. Selain itu juga untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik
sifat kuantitatif (ukuran tubuh: panjang shank, panjang tibia, panjang femur,
panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar
tarsometatarsus, lingkar dada) ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor
yang dibandingkan dengan ayam Kampung.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Lokal Indonesia
Ayam digolongkan ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum
Vertebrata, kelas Aves, super order Carinatae, ordo Galliformes dan spesies Gallus
gallus (Scanes et al., 2004). Ayam merupakan hasil domestikasi selama beberapa
periode. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa nenek moyang ayam yang
menyebar di seluruh dunia berasal dari empat jenis ayam liar yaitu ayam Hutan
Merah (Gallus gallus), ayam Hutan Sri Lanka (Gallus lafayetti), ayam Hutan Abuabu atau ayam Sonnerat (Gallus sonnerati) dan ayam Hutan Jawa (Gallus varius).
Nenek moyang ayam yang utama adalah ayam Hutan Merah (Gallus gallus). Ayam
Indonesia termasuk ke dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Aves,
subkelas Neornithes, ordo Galliformes, genus Gallus, spesies Gallus domesticus
(Suprijatna et al., 2005).
Ayam asli Indonesia yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia ternyata
memiliki beberapa rumpun dengan karakteristik morfologis yang berbeda dan khas.
Sejauh ini telah diidentifikasi sebanyak 31 rumpun ayam lokal yaitu Kampung,
Pelung, Sentul, Wareng, Lamba, Ciparage, Banten, Nagrak, Rintit/Walik, Sien, Kedu
Hitam, Kedu Putih, Cemani, Sedayu, Olagan, Nusa Penida, Merawang atau
Merawas, Sumatra, Belenggek, Melayu, Nunukan, Tolaki, Maleo, Jepun, Ayunai,
Tukung, Bangkok, Burgo, Bekisar, Cangehgar/Cukir/Alas dan Kasintu (Nataamijaya,
2000).
Ayam lokal Indonesia selain dipelihara sebagai ayam pedaging dan petelur
juga merupakan hewan kesayangan yang bermanfaat sebagai penghias halaman,
aduan, keperluan ritual atau sebagai pemberi kepuasan melalui suara kokok yang
merdu. Informasi dasar yang meliputi ciri spesifik, asal usul, performa dan
produktivitas diperlukan sebagai sumber daya genetik ternak ayam lokal lebih
dikenal dan lebih dikembangkan secara berkelanjutan (Sulandari et al., 2007).
Ayam Walik
Ayam Walik merupakan ayam asli Asia yang dibagi menjadi dua jenis yaitu
large fowl dan Bantam (Roberts, 2008). Menurut Crawford (1990) ayam Walik
termasuk ke dalam breed Bantam yang memiliki kaki yang berbulu. Ayam Walik
atau ayam Rintit merupakan ayam lokal yang mempunyai bulu keriting (terbalik) ke
arah depan atau belakang, sehingga permukaan kulit tubuhnya terlihat jelas. Ayam
jenis ini banyak ditemui di daerah kabupaten Bogor dan Sukabumi. Bentuk dan
perawakan tubuh hampir sama dengan ayam Kampung. Warna bulunya beraneka
ragam, hitam, coklat, coklat kemerahan, coklat kekuningan, putih, blorok bintikbintik merah dan hitam atau putih dan hitam dan kombinasi warna lainnya. Kulit
badan, sisik kaki dan paruh berwarna putih kuning atau kehitaman/kelabu tua.
Jengger berbentuk tunggal atau pea, bergerigi berwarna merah (Sartika dan Sofjan,
2007). Roberts (2008) menyatakan bahwa ayam Walik jantan dan betina memiliki
bulu berwarna hitam, biru, putih, kolumbian seperti Wyandotte, hitam-merah, coklatmerah, bulu kapas, kerlip emas dan merah seperti Rhode Island Red. Ayam Walik
memiliki mata merah serta jengger, muka, cuping dan pial berwarna merah terang
dan warna kaki mengikuti warna paruhnya.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Ayam Walik (a) Jantan Cuckoo, (b) Jantan Hitam, dan (c) Betina Putih
(Roberts, 2008)
Ukuran ayam Walik berbeda-beda, bobot badan dewasa berkisar 1-3 kg.
Ayam Walik dewasa cukup tahan terhadap perubahan cuaca, tetapi ayam Walik
anakan kurang tahan terhadap dingin dan udara lembab, sehingga membutuhkan
perawatan yang cukup baik (Rukmana, 2003). Menurut Sidadolog et al. (1995) ayam
Walik memiliki efisiensi pakan yang baik, bobot badan, berat telur, produksi telur
yang tinggi.
4
Tabel 1. Rata-rata Bobot Badan, Efisiensi Pakan, Berat Telur, Produksi Telur Ayam
Berbulu Normal dan Ayam Walik dalam Tiga Generasi
Parameter
Ayam Normal
F1
Bobot badan(g):
DOC
6 minggu
12 minggu
20 minggu
Dewasa kelamin
Efisiensi Pakan:
0-12 minggu (%)
0-DK (%)
Masa Produksi
Berat Telur (g)
Intensitas Produksi (%)
F2
30,12
199,31
538,45
1210,35
1321,83
Ayam Walik
F3
F1
F2
F3
30,08
30,43
29,36
29,40
30,32
199,94 202,36
198,25 201,35 213,04
585,80 587,23
593,25 608,35 612,34
1217,80 1325,24 1219,30 1277,43 1345,64
1352,16 1370,12 1329,30 1354,24 1425,62
22,67
15,30
13,90
42,92
35,25
22,93
16,05
15,56
43,25
40,00
23,12
18,23
43,64
43,69
22,53
16,20
15,33
42,79
35,80
22,98
16,40
15,40
43,35
36,10
23,43
17,53
44,42
39,82
Sumber: Sidadolog et al. (1996)
Ayam Kampung
Ayam
Buras
atau
ayam
Kampung
popular
di
Indonesia
karena
pemeliharaannya tidak membutuhkan persyaratan yang berat, mempunyai daya tahan
terhadap penyakit yang cukup baik, serta telah beradaptasi dengan lingkungannya
(Soedirdjoatmojo, 1984). Ayam Kampung banyak dipelihara secara tradisional atau
ekstensif di pekarangan atau dibiarkan bebas (Nataamijaya, 2000) dan mudah
ditemukan di desa-desa hampir di seluruh wilayah Indonesia (Sulandari et al., 2007).
Menurut Mansjoer (1985), ayam Kampung mempunyai jarak genetis yang lebih
dekat dengan ayam Hutan Merah Sumatera (Gallus gallus gallus) serta ayam Hutan
Merah Jawa (Gallus gallus javanicus).
(a)
(b)
Gambar 2. Ayam Kampung Jantan (a) dan Betina (b) (Sulandari et al. 2007)
5
Tabel 2. Performa Produksi Ayam Kampung dengan Tiga Sistem Pemeliharaan yang
Berbeda (Ekstensif, Semi Intensif dan Intensif)
Sistem Pemeliharaan
Ekstensif
Produksi Telur (butir/induk/tahun)
Produksi Telur (%)
Daya Tetas (%)
Bobot Telur (g/butir)
Konsumsi Pakan (g/ekor/hari)
Konversi Pakan
47
13
74
39-48
<60
>10
Semi
Intensif
59
29
79
39-48
60-68
8-10
Intensif
146
40
84
39-43
80-100
4,9-6,4
Sumber : Diwyanto et al. (1996)
Tabel 3. Ukuran Tubuh Ayam Kampung (mm) dan Koefisien Keragaman Ukuran
Tubuh (%)
Variabel Ukuran Tubuh
Panjang femur
Panjang tibia
Panjang shank
Lingkar shank
Panjang sayap
Tinggi jengger
Ayam Kampung (n=125)
Jantan (n=28)
Betina (n=97)
102,29 ± 6,45 (6,31)
83,48 ± 3,79 (4,54)
152,95 ±10,24 (6,69)
123,14 ± 5,92 (4,81)
110,04 ± 9,11 (8,28)
85,81 ± 4,52 (5,27)
53,29 ± 7,44 (13,96)
39,64 ± 3,02 (7,62)
234,79 ± 15,10 (6,43)
192,14 ±11,61 (6,04)
49,45 ± 19,40(39,23)
16,84 ± 10,09 (59,92)
Sumber: Nugraha (2007)
Sifat Kualitatif
Sifat kualitatif merupakan sifat yang dikontrol oleh beberapa gen yang
memiliki perbedaan yang jelas antar fenotipnya, biasanya bersifat tidak aditif dan
variasinya tidak kontinyu (Noor, 2008). Menurut Warwick et al. (1995), sifat
kualitatif adalah suatu sifat yang dapat mengklasifikasikan individu-individu ke
dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan itu berbeda jelas satu
sama lain. Sifat kualitatif sering dipertimbangkan dalam program pemuliaan karena
secara tidak langsung sifat ini berpengaruh terhadap sifat produksi. Warwick et al.
(1995) menambahkan bahwa sifat kualitatif dikendalikan oleh satu atau beberapa gen
dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga variasi
genetik juga menunjukkan variasi sifat kualitatif. Karakteristik genetik eksternal
dapat netral, bermanfaat atau merugikan, tergantung pada lingkungan ternak itu
dipelihara. Beberapa sifat kualitatif yang penting yang merupakan ciri khas yang
dipakai sebagai patokan untuk penentuan suatu bangsa ayam diantaranya adalah
6
warna bulu, warna kerabang, warna cakar (shank) dan bentuk jengger yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan (Mansjoer, 1985).
Karakteristik Warna Bulu dan Pola Bulu Warna bulu terkait dengan pigmen melanin yang terbagi menjadi dua tipe,
yaitu eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada bulu, dan pheomelanin
yang membentuk warna merah-cokelat, salmon, dan kuning tua (Brumbaugh dan
Moore, 1968). Hutt (1949) menyatakan bahwa kerja pigmen ini diatur oleh gen I
(inhibitor) sebagai gen penghambat produksi melanin dan gen i sebagai gen pemicu
produksi melanin sehingga ada dua sifat utama pada sifat warna bulu ayam, yaitu
sifat berwarna dan sifat tidak berwarna. Warna bulu putih pada ayam yang membawa
gen I (inhibitor) kadang-kadang resesif terhadap warna bulu lain. Warna bulu ayam
yang membawa gen i (gen pembawa sifat warna) tidak selalu hitam tergantung
ukuran dan pengaturan granula pigmen. Gen warna bulu bersifat dominan (I)
ditemukan pada bangsa ayam White Leghorn, Pile Games dan La-Bases yang secara
genetik merupakan karakteristik yang diwariskan menyimpang dari hukum Mendel.
Distribusi melanin pada bulu sekunder akan menimbulkan pola bulu yang
disebut pola bulu sekunder atau istilah lainnya adalah corak bulu. Corak bulu pada
ayam ada dua jenis corak, yaitu lurik/burik (barred) dilambangkan oleh gen B dan
tidak lurik (non barred) dilambangkan oleh gen b. Gen pembawa sifat corak bulu ini
terpaut kelamin. Kerja gen B ini adalah menghambat deposisi melanin dan akan
menimbulkan garis-garis pada warna dasar hitam sehingga bulu terlihat hitam
bergaris-garis putih (Hutt, 1949).
Warna hitam polos dengan simbol gen E diekspresikan pada penampilan bulu
hitam di seluruh bagian bulu dan biasa terlihat pada permukaan bulu yang dibatasi
pada leher, bulu bersayap dan ekor (Hutt, 1949). Gen warna liar (e+) dicirikan dengan
adanya garis-garis hitam memanjang dan punggung yang mempunyai sifat resesif
terhadap warna hitam polos dan sifat dominan terhadap kolumbian (gen e) (Somes,
1988).
Warna kilap pada lapisan bulu utama dinamakan kerlip bulu yang terdiri dari
kerlip perak (silver dan dilambangkan dengan gen S) dan emas (dilambangkan
dengan gen s). Kerlip bulu ditemukan pada ayam, baik yang berbulu hitam polos
7
maupun yang berbulu putih, namun kurang terlihat pada ayam yang memiliki gen
autosomal merah atau yang memiliki bulu dengan kombinasi warna yang
keragamannya sangat kompleks (Hutt, 1949). Gen kerlip bulu keperakan (S) dan
keemasan (s) bersifat sex linked (Crawford, 1990). Kerlip bulu keperakan (ZS)
bersifat dominan terhadap keemasan (Zs). Gen-gen yang bersifat sex linked terletak
pada kromosom seks disebut gen-gen yang terpaut kelamin (Noor, 2008).
Menurut Mansjoer (1985), frekuensi warna bulu putih (gen I), warna bulu
lurik (gen B) dan warna bulu perak (gen S) yang ditemukan pada ayam Kampung
juga dimiliki ayam White Leghorn dan Barred Plymouth Rock, namun menunjukkan
frekuensi yang rendah. Mansjoer (1985) melaporkan bahwa sebagian besar ayam
Kampung memiliki pola bulu liar (e+-) dan pola bulu kolumbian (ee).
Karakteristik Bentuk Jengger
Jengger merupakan bentuk modifikasi dari kulit yang terdapat pada bagian
puncak kepala. Jengger biasanya berwarna merah dan mempunyai bentuk yang
beragam, yaitu bentuk jengger tunggal, ros, kapri, cushion, buttercup, bentuk arbei
atau bentuk V (Ensminger, 1992). Menurut Jull (1951), jengger, pial (wattle) dan
cuping (earlobe) merupakan perkembangan dari dermis yang tertutup oleh lapisan
epidermis. Jengger juga merupakan bagian tubuh unggas yang membedakannya
dengan bangsa burung yang lain.
Jull (1951) juga mengemukakan bahwa jengger ros (R_) bersifat dominan
terhadap jengger tunggal (rr) dan jengger kapri (P_) juga bersifat dominan terhadap
jengger tunggal. Jika gen ros (R_) dan kapri (P_) bertemu maka akan terbentuk
jengger walnut (R_P_) yang dominan terhadap jengger ros, kapri dan tunggal. Somes
(1988) menjelaskan bahwa gen bentuk jengger kapri (P) merupakan gen tidak terkait
kelamin yang bersifat dominan tidak lengkap, yang pada keadaan heterosigot terlihat
lebih jelas bilah bagian tengah mencuat ke atas dengan dua bilah di sampingnya yang
lebih pendek dan kecil.
Karakteristik Warna Shank
Menurut Jull (1951), warna shank merupakan penampakan dari adanya
beberapa pigmen tertentu pada epidermis dan dermis. Warna kuning pada shank,
8
pada ayam bangsa Amerika dan bangsa-bangsa yang lain, adalah karena adanya
lemak atau pigmen lipokrom (lypocrome) pada lapisan epidermis dan pigmen hitam
atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan dermis. Shank yang berwarna hitam
disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis. Shank warna putih, pada
beberapa ayam bangsa Inggris muncul karena tidak adanya kedua pigmen pada
epidermis maupun pada dermis. Shank (cerah dan gelap) pada bangsa ayam kulit
putih didapatkan karena adanya pigmen melanin pada dermis, tetapi keduanya
(melanin dan lipokrom) tidak terdapat pada epidermis. Adanya pigmen lipokrom
pada epidermis dan pigmen melanin pada dermis menyebabkan shank warna hijau
(Jull, 1951).
Pada ayam betina yang mempunyai shank kuning, dapat diperkirakan tingkat
produksi telur yang dihasilkan dengan melihat perubahan warna pada shank. Pigmen
lipokrom yang terdapat pada shank sama dengan pigmen kuning yang terdapat pada
telur, sehingga warna shank dapat dijadikan indikasi tingkat produksi telur seekor
ayam. Faktor tersebut (warna kuning pada shank) bisa juga digunakan dalam proses
pengafkiran ayam petelur (Jull, 1951). Adanya corak lurik (gen B) pada ayam akan
dapat mengurangi jumlah pigmen melanin pada shank (Hutt, 1949).
Karakteristik Warna Cuping
Menurut Crawford (1990) sebagian besar breed ayam mempunyai cuping
berwarna merah, meskipun breed dari kelas Mediteranian (Leghorn, Minorca dan
Spanish) mempunyai cuping berwarna putih. Pada ayam Hutan Merah ditemukan
campuran antara cuping merah dan putih dengan warna merah lebih dominan.
Karakteristik Warna Mata
Menururt Crawford (1990) semua ayam kecuali golongan albino mempunyai
warna mata gelap pada saat menetas. Warna mata sesungguhnya belum dapat dilihat
sampai dewasa kelamin ketika pigmen melanin dan karoten diekspresikan secara
penuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan menyilangkan antara breed
ayam bermata coklat bulu hitam dan mata bay dengan pembatas warna bulu hitam
dapat diketahui hubungan antara warna mata yang mengandung melanin dan warna
bulu gelap.
9
Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif merupakan sifat yang dikontrol oleh banyak gen yang
perbedaan antar fenotipenya tidak begitu jelas, bersifat aditif dan variasi kontinyu.
Biasanya hubungan antar alel yang paling umum adalah kodominan atau dominan
tidak penuh (Noor, 2008). Menurut Mansjoer (1985), sifat-sifat kuantitatif yang
penting adalah yang ada hubungannya dengan produksi, misalnya bobot badan,
bobot tetas, produksi telur dan umur bertelur pertama. Sifat-sifat kuantitatif selain
dipengaruhi oleh genotipenya juga dipengaruhi oleh lingkungan, serta interaksi
antara genotipe dan lingkungan. Beberapa sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis
adalah bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang cakar
(shank, tarsometatarsus) dan lingkar cakar. Sifat-sifat tersebut dapat dijadikan
parameter pertumbuhan. Beberapa sifat yang berhubungan dengan produktivitas
unggas diantaranya:
1. Panjang shank dan panjang betis, dapat dijadikan penduga untuk mengukur
pertumbuhan, sebab bentuk tulang yang besar menunjukkan pertumbuhan yang
cepat.
2. Panjang paha dan panjang dada merupakan tempat perletakkan daging, sehingga
perkembangan tulang paha, tulang dada dan tulang betis ini akan menunjukkan
produksi daging.
3. Lingkar tarsometatarsus merupakan keliling dari shank, dapat dijadikan dasar
untuk mengetahui bentuk kerampingan shank. Bentuk dari kaki (panjang shank,
lingkar tarsometatarsus) menunjukkan kemampuan dari kaki untuk dapat
menunjang bobot badan, sedangkan kemampuan ayam untuk memproduksi
daging dapat ditunjukkan oleh bobot badan. Berdasarkan hal ini lingkar
tarsometatarsus dapat dijadikan suatu petunjuk untuk mengetahui kemampuan
memproduksi daging.
4. Bobot badan, dengan semakin besarnya bobot badan, maka produksi daging
akan semakin bertambah, sehingga ini bisa dijadikan suatu kriteria dalam
pengukuran produksi daging yang dihasilkan oleh ayam.
10
Karakteristik Ayam Ras Unggul Asing
Ayam Rhode Island Red mempunyai ciri-ciri warna bulunya merah, bentuk
jengger tunggal, warna cuping merah, warna kulit kuning dan warna shank kuning
(Ensminger, 1992). Ayam Rhode Island Red mempunyai bulu berwarna merah
kecoklatan dengan warna hitam pada leher, sayap, dan ekor. Ukuran tubuhnya
sedang (bobot dewasa) jantan 3,5–4 kg dan betina 2,5–3 kg (Sudaryani dan Santosa,
1994).
Ensminger (1992) menyatakan bahwa White Leghorn mempunyai ciri-ciri
warna bulu putih, bentuk jengger tunggal dan ros, warna cuping putih, warna kulit
kuning dan warna shank kuning. Ayam Leghorn mempunyai varietas bulu putih dan
varietas bulu kelabu, sifatnya lincah, cepat dewasa, dan jarang mengeram, bentuk
tubuh kecil langsing dan tegap (jantan 2,75 kg dan betina 1,25 kg). Jengger dan pial
berwarna merah, telur warna putih (Sudaryani dan Santosa, 1994).
Ayam Plymouth Rock mempunyai ciri-ciri ukuran tubuh sedang dan agak
bulat terdiri dari varietas bulu putih, coklat dan keemasan, jengger dan pial berwarna
merah, bentuk jengger sebilah (tunggal) dan tegak, telur berwarna coklat (Sudaryani
dan Santosa, 1994).
Frekuensi Gen, Introgresi Gen Asing dan Keaslian Gen Ayam Lokal Indonesia
Frekuensi gen adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan proporsi
dari semua lokus untuk pasangan gen atau rangkaian alel ganda dalam suatu
populasi, yang diduduki oleh satu gen tertentu (Warwick et al., 1990). Frekuensi
genotipe itu semata-mata ditentukan oleh frekuensi gen dan karena itu frekuensi
genotipe secara kebetulan tetap konstan dari generasi ke generasi (Minkema, 1993).
Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi
gen yang tidak diinginkan. Menurut Noor (2008) seleksi diartikan sebagai suatu
tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi sedangkan ternak
lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi. Seleksi terdiri dari dua jenis yaitu
seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi alam adalah kekuatan alam yang
menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi sedangkan seleksi buatan adalah
manusia yang menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi.
11
Menurut Mansjoer (1985) kemurnian ayam Kampung dapat ditentukan
dengan melihat ciri-ciri kualitatif tubuh dari ayam Kampung yang dianggap masih
lokal asli umumnya tampak pada keragaman pola bulu, warna bulu dan sifat
kegenetikaan lainnya. Ayam lokal Indonesia masih mengandung 50% gen asli
apabila dilihat dari pola bulu liar, warna bulu emas, warna cakar hitam dan bentuk
jengger kapri (ii e+e+ ss idid PP), 50% gen berasal dari bangsa-bangsa ayam White
Leghorn, Plymouth Rock dan Rhode Island Red dari Eropa dan Amerika dengan
campuran terbanyak berasal dari bangsa Rhode Island Red yang ditunjukkan oleh
besarnya nilai frekuensi gen untuk warna bulu kolumbian (e) (Nishida et al., 1980).
Nishida et al. (1980) melaporkan bahwa ayam yang terdapat di Indonesia
terutama berasal dari Rhode Island Red, White Leghorn dan Plymouth Rock. Ayam
lokal Indonesia mempunyai konstitusi gen pengontrol karakteristik genetik eksternal
yang berasal dari ketiga bangsa ayam tersebut. Gen pengontrol karakteristik genetik
eksternal pada Rhode Island Red, White Leghorn dan Plymouth Rock adalah ii ee ss
bb IdId pp (warna bulu berwarna, pola bulu kolumbian, kerlip bulu emas, corak bulu
polos, shank putih/kuning, jengger tunggal), II EE SS BB IdId pp (warna bulu putih,
pola bulu hitam, kerlip bulu perak, corak bulu lurik, shank putih/kuning, jengger
tunggal) dan II EE SS BB IdId pp (warna bulu putih, pola bulu hitam, kerlip bulu
perak, corak bulu lurik, shank putih/kuning, jengger tunggal). Berdasarkan
pengamatan Nishida et al. (1980) konstitusi gen pengontrol karakteristik genetik
eksternal pada ayam Kampung adalah ii e+e+ ss idid PP (warna bulu berwarna, pola
bulu liar, kerlip bulu emas, shank hitam/hijau, jengger kapri).
Mansjoer (1985) menyatakan bahwa ayam-ayam yang telah masuk Indonesia
antara lain Australop, New Hampshire, White Cornish, Rhode Island Red, White
Leghorn dan Barred Plymouth Rock. Kehadiran bangsa ayam-ayam tersebut diduga
telah mencemari keaslian ayam Kampung. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya
sifat kualitatif ayam-ayam import tersebut pada ayam Kampung yang ada sekarang
ini. Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa ditemukannya gen I dan B pada ayam
Kampung menunjukkan adanya introgresi ayam ras unggul asing.
12
Keragaman Fenotipe Ayam
Keragaman fenotipe merupakan keragaman yang disebabkan oleh adanya
keragaman genetik (VG), keragaman lingkungan (VE) serta keragaman yang timbul
akibat interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan (VGXE). Keragaman
genetik bisa disebabkan oleh gen-gen aditif (VA) dan juga oleh gen yang tidak aditif
(Vn). Aksi gen yang tidak aditif ini bisa disebabkan oleh aksi gen dominan (VD) dan
aksi gen epitasis (VI). Jadi secara lengkap keragaman fenotipe dipengaruhi oleh
keragaman aditif, keragaman gen dominan, keragaman interaksi genetik dan
lingkungan, keragaman lingkungan dan keragaman gen epistasis. Keragaman
lingkungan (VE) dapat disebabkan oleh faktor iklim, cuaca, makanan, penyakit, dan
sistem manajemen (Noor, 2008). Menurut Mansjoer (1985) keragaman fenotipik
pada suatu sifat pada suatu kelompok ternak merupakan petunjuk keragaman
genotipe ternak serta merupakan ekpresi adanya interaksi antara genotipik dan
lingkungan dalam kelompok ternak tersebut. Mansjoer et al. (1989) menekankan
bahwa keragaman sifat kualitatif dapat dijadikan gambaran keragaman genetik.
Menurut Warwick et al. (1990) perbandingan keragaman sifat akan mudah
dilakukan bila simpangan baku dinyatakan sebagai persentase dari rata-rata.
Simpangan baku yang dinyatakan sebagai persentase dari rata-rata disebut koefisien
keragaman (coefficient of variation). Sifat-sifat tertentu untuk suatu bangsa ternak
mempunyai koefisien keragaman khusus, sehingga pengetahuan tentang hal ini
sangat berharga untuk merencanakan atau mengevaluasi percobaan.
13
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Sumedang (Desa Padanaan, Palasah, Ujungjaya
dan Keboncau) dan Bogor (Kampung Cangkrang, Desa Cikarawang, Kampung
Carang pulang, Desa Situgede, Desa Babakan Lebak, Desa Babakan Lio, Desa
Cibeureum Dramaga, Desa Neglasari dan Desa Kahuripan). Pelaksanaan penelitian
(pengambilan data) dilakukan pada tanggal 15 Juli hingga 7 Agustus 2009 serta 20
Januari hingga 9 Februari 2010.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan yaitu ayam Walik jantan dan betina sebanyak 78
ekor. Ayam Walik sebanyak 36 ekor (15 jantan, 21 betina) berasal dari Sumedang
dan sebanyak 42 ekor (16 jantan, 26 betina) berasal dari Bogor. Selain ayam Walik
digunakan pula ayam Kampung sebagai pembanding sebanyak 58 ekor (17 jantan,
41 betina) berasal dari Sumedang serta 56 ekor (23 jantan, 33 betina) berasal dari
Bogor.
Alat
Alat yang digunakan adalah jangka sorong merek Triple brand 0-150 mm
dengan ketelitian 0,02 mm, timbangan merek Kondo kapasitas 10 kg dengan
ketelitian 50 g, pita ukur merek Butterfly dengan ketelitian 1 mm, alat tulis, tabel
pengamatan dan kamera digital merek Kodak 7,3 pixel.
Prosedur
Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive method) berdasarkan
hasil survei awal yang menunjukkan bahwa ayam Walik masih terdapat di daerah
Sumedang dan Bogor meskipun dengan jumlah yang terbatas. Penentuan desa pada
kedua daerah tersebut berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar mengenai desadesa yang masih terdapat ayam Walik.
Pengumpulan Data
Ayam Walik dan ayam Kampung yang digunakan diperoleh dari peternak
rakyat yang terdapat di daerah Sumedang dan daerah Bogor secara acak.
Pengambilan data dilakukan dengan cara memotret bagian tubuh (kepala, punggung,
secara keseluruhan) ayam Walik dan ayam Kampung untuk data kualitatif,
sedangkan untuk data kuantitatif dilakukan pengukuran langsung terhadap bagianbagian tubuh ayam Walik dan ayam Kampung. Ayam Walik dan ayam Kampung
dibedakan menjadi jantan dan betina serta dipisahkan menjadi tahap pertumbuhan
(grower) yang berumur 6-12 minggu dan tahap akhir (finisher) berumur lebih dari 12
minggu (Deptan, 2006).
Peubah yang Diamati
Sifat kualitatif
Penentuan warna bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank, bentuk
jengger dilakukan dengan metode yang disarankan Somes (1988) dan untuk warna
mata dan warna cuping dengan menggunakan pedoman FAO (1986). Penentuan
karakteristik kualitatif sebagai berikut:
1.
Warna Bulu. Warna bulu dibedakan menjadi warna putih dan warna selain putih
(berwarna). Warna bulu putih ditentukan apabila pada seluruh permukaan pada
bulu ayam berwarna putih; sedangkan berwarna, bila ditemukan warna selain
putih pada permukaan bulu di sekujur tubuh ayam.
2.
Pola Warna Bulu. Pola warna bulu dibedakan menjadi pola warna hitam, liar dan
kolumbian. Pola hitam ditentukan apabila pada seluruh permukaan bulu pada
ayam berwarna hitam polos, pola warna liar ditentukan apabila ditemukan warna
hitam pada bagian dada dan ventral dan pola warna kolumbian ditentukan
apabila ada pembatas warna pada leher, sayap dan ekor (umumnya berwarna
coklat dan dibatasi warna hitam pada bagian leher, sayap dan ekor).
3. Kerlip Warna Bulu. Kerlip warna bulu dibedakan menjadi kerlip warna bulu
keperakan dan keemasan. Kerlip bulu keperakan terdapat pada ayam
yang
memiliki warna bulu putih, lurik hitam dan putih, sedangkan kerlip warna bulu
keemasan terdapat pada ayam yang memiliki warna bulu hitam, coklat, lurik
hitam dan coklat.
15
4. Corak Warna Bulu. Corak warna bulu dibedakan menjadi corak warna bulu lurik
dan corak warna bulu polos. Penentuan corak warna bulu lurik, bila ditemukan
adanya kombinasi lebih dari satu warna dalam satu bulu; sedangkan corak warna
bulu polos, bila ditemukan hanya satu warna dalam satu bulu.
5. Warna Shank. Warna shank dibedakan menjadi warna shank kuning atau putih
dan hitam atau abu-abu. Warna shank kuning atau putih ditentukan apabila
ditemukan shank berwarna kuning atau putih pada ayam, sedangkan warna
shank hitam atau abu-abu ditentukan apabila ditemukan shank berwarna hitam
atau abu-abu pada ayam (Gambar 3).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Variasi Warna Shank pada Ayam: (a) Shank Putih (b) Shank
Hijau dan Abu-abu (c) Shank Hitam (d) Shank Kuning (FAO,
1986)
6. Bentuk Jengger. Bentuk jengger dibedakan menjadi bentuk jengger kapri dan
tunggal. Bentuk jengger kapri ditentukan apabila ditemukan bentuk jengger
berpilah tiga pada ayam, sedangkan bentuk jengger tunggal ditentukan apabila
ditemukan bentuk jengger berpilah satu atau tunggal pada ayam (Gambar 4).
16
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Variasi Bentuk Jengger pada Ayam: (a) Tunggal, (b) Pea, dan (c) Ros
(FAO, 1986)
7. Warna Cuping. Warna cuping dibedakan menjadi merah, putih dan perpaduan
antara merah dan putih dengan warna dominan merah (Gambar 5).
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Variasi Warna Cuping pada Ayam: (a) Merah, (b) Putih, dan (c)
Merah-Putih (FAO, 1986)
8. Warna Mata. Warna mata dibedakan menjadi warna oranye, warna cokelat dan
warna kuning (Gambar 6).
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Variasi Warna Mata pada Ayam: (a) Oranye, (b) Cokelat, dan (c) Kuning
(FAO, 1986)
17
Sifat kuantitatif
Beberapa sifat kuantitatif yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bobot badan diperoleh dengan penimbangan menggunakan timbangan dalam
satuan kg.
2. Panjang shank diperoleh dengan
mengukur panjang tulang tarsometatarsus
(shank) menggunakan jangka sorong (cm).
3. Panjang tibia diperoleh dengan mengukur panjang tulang tibia dari patella
sampai ujung tibia menggunakan jangka sorong (cm).
4. Panjang femur diperoleh dengan mengukur panjang tulang femur, menggunakan
jangka sorong (cm).
5. Panjang rentang sayap diperoleh dengan mengukur panjang tulang humerus,
radius ulna dan metacarpus sampai phalanges menggunakan jangka sorong
(cm).
6. Panjang dada diperoleh dengan mengukur ujung tulang dada bagian depan
sampai ujung bagian belakang dengan menggunakan jangka sorong (cm).
7. Panjang punggung diperoleh dengan mengukur panjang tulang dari perbatasan
tulang punggung dengan tulang leher sampai ujung tulang ekor dengan
menggunakan jangka sorong (cm).
8. Lebar dada diperoleh dengan mengukur jarak belakang tulang sendi diantara
sayap punggung kanan dan kiri dengan menggunakan pita ukur (cm).
9. Lingkar tarsometatarsus diperoleh dengan mengukur lingkar tulang shank
dengan menggunakan pita ukur (cm).
10. Lingkar dada diperoleh dengan mengukur lingkar dada menggunakan pita ukur
(cm).
Bagan bagian-bagian tubuh ayam yang diamati ditunjukkan pada Gambar 7.
18
Keterangan: X2 = panjang tarsometatarsus; X3 = panjang tibia; X4 = panjang femur; X8 = panjang
punggung; X9 = panjang sayap; X10 = lingkar dada; X11 = lingkar tarsometatarsus; a =
panjang humerus; b = panjang radius dan ulna; c = panjang metacarpus
Gambar 7. Bagan Bagian-bagian Tubuh Ayam (Koch, 1973)
Analisis Data
Sifat Kualitatif
Data sifat kualitatif meliputi perhitungan proporsi fenotipe, frekuensi gen,
laju introgresi gen dan tingkat keaslian gen. Proporsi warna bulu, pola bulu, corak
bulu, kerlip bulu, warna shank, warna mata, warna cuping, bentuk jengger dihitung
berdasarkan jumlah fenotipe yang muncul dibagi dengan jumlah individu ayam yang
diamati dikalikan dengan 100% dengan rumus sebagai berikut:
Proporsi sifat kualitatif =
Jumlah fenotipe yang muncul
Jumlah total ayam
x 100%
19
Perhitungan frekuensi gen warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu,
warna shank, bentuk jengger, laju introgresi gen asing dan tingkat keaslian gen
mengacu pada rumus Nishida et al. (1980) dan Stanfield (1982) sebagai berikut:
1. Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal
Frekuensi gen dominan untuk sifat warna bulu dan bentuk jengger, yang
merupakan gen-gen autosomal dihitung dengan menggunakan rumus (Nishida et
al., 1980):
Keterangan :
q = frekuensi gen dominan autosomal
R = jumlah individu dengan ekspresi resesif
N = jumlah total individu
2. Frekuensi Gen Dominan Terkait Kromosom Kelamin
Frekuensi gen dominan untuk corak bulu, kerlip bulu dan warna shank yang
merupakan gen terpaut kelamin dihitung dengan menggunakan rumus (Nishida
et al., 1980):
q =
2N♂
2N♂+N♀
q♀=
q♂
+
N♀
2N♂+N♀
q♀
N♀-R♀
N♀
Keterangan :
q♂
= frekuensi gen dominan pada jantan
N♂
= jumlah total individu jantan
q♀
= frekuensi gen dominan pada betina
R♀
N♀
= jumlah individu betina ekspresi resesif
= jumlah total individu betina
20
3. Frekuensi Gen Alel Ganda
Frekuensi gen untuk pola warna bulu yang merupakan alel ganda dihitung
dengan menggunakan rumus Stanfield (1982) sebagai berikut:
p =1–q–r
Keterangan :
p = frekuensi gen E
q = frekuensi gen e+
r = frekuensi gen e
4. Laju Introgresi Gen Ayam Asing
Gen bangsa ayam asing yang mempengaruhi ayam lokal dihitung berdasarkan
rumus:
QWL = qI
QSR = qId – qB
QBR = qB – qI
Keterangan:
QWL
: nilai introgresi gen ayam White Leghorn
QSR
: nilai introgresi gen ayam Single Rhode Island Red
QBR
: nilai introgresi gen ayam Barred Plymouth Rock
qI
: frekuensi gen warna putih
qB
: frekuensi gen corak bulu lurik
qId
: frekuensi gen warna shank kuning/putih
21
5. Tingkat Keaslian Gen
Tingkat keaslian gen pada ayam Walik dapat diketahui dengan rumus sebagai
berikut:
1 – (QWL + QSR + QBR)
Keterangan:
QWL
: nilai introgresi gen ayam White Leghorn
QSR
: nilai introgresi gen ayam Single Rhode Island Red
QBR
: nilai introgresi gen ayam Barred Plymouth Rock
Sifat Kuantitatif
Data sifat kuantitatif dianalisis secara deskriptif yang terdiri dari nilai rataan,
simpangan baku dan koefisien keragaman dari bobot badan, panjang shank, panjang
tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar
dada, lingkar tarsometatarsus dan lingkar dada dengan rumus (Steel dan Torrie,
1995):
Perbandingan ukuran tubuh antara ayam Walik dan ayam Kampung yang
terdapat di Sumedang dan Bogor dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus
sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1995):
Keterangan:
= rataan ukuran tubuh tertentu ayam Walik
= rataan ukuran tubuh tertentu ayam Kampung
22
n1
= jumlah individu pada populasi ayam Walik
n2
= jumlah individu pada populasi ayam Kampung
Analisis sifat kuantitatif dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer
Minitab 14.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sifat Kualitatif Ayam Walik
Proporsi Sifat Kualitatif
Proporsi sifat kualitatif pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Proporsi Sifat Kualitatif pada Ayam Walik di Sumedang dan di Bogor
Sifat Kualitatif
Ayam Walik
Sumedang
Bogor
Jantan
Betina
Jantan
Betina
(n=15)
(n=21)
(n=16)
(n=26)
-------------------------------%------------------------------------
Warna:
Putih (I)
0
Berwarna (i)
100
Corak bulu:
Lurik (B)
67
Polos (b)
33
Kerlip bulu:
Keperakan (S)
80
Keemasan (s)
20
Pola bulu:
Hitam (E)
33
Liar (e+)
67
Kolumbian (e)
0
Warna shank:
Putih/kuning (Idid)
47
Hitam/hijau (idid)
53
Bentuk jengger:
Kapri (P)
27
Tunggal (p)
73
Warna mata:
Coklat
27
Kuning
60
Oranye
13
Warna cuping:
Merah
60
Putih
0
Merah/putih
40
Keterangan: n = jumlah ayam
0
100
0
100
2
98
48
52
75
25
54
46
24
76
75
25
58
42
38
38
24
25
56
19
40
48
12
76
24
81
19
77
23
52
48
56
44
20
80
10
52
38
13
13
75
23
27
50
38
19
43
94
0
6
65
8
23
Berdasarkan Tabel 4, ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan dan
betina memiliki fenotipe warna bulu yang berwarna (100%). Warna bulu ini beragam
yaitu hitam, cokelat-hitam, cokelat dan hitam-putih (Gambar 8). Ayam Walik yang
terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki fenotipe warna
bulu yang berwarna (98%). Warna bulu beragam yaitu hitam, putih, coklat dan
hitam-cokelat (Gambar 9). Warna bulu ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan
Bogor menunjukkan kesamaan dengan pernyataan Sartika dan Sofjan (2007) bahwa
ayam Walik memiliki warna yang beraneka ragam (hitam, coklat, coklat kemerahan,
coklat kekuningan, putih, blorok bintik merah dan hitam atau putih dan hitam).
Warna bulu yang beragam pada ayam Walik dipengaruhi oleh kerja gen i yang
memicu produksi pigmen melanin. Pigmen melanin terbagi menjadi dua tipe yaitu
eumelanin dan pheomelanin. Eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada
bulu, dan pheomelanin yang membentuk warna merah-cokelat, salmon, dan kuning
tua (Brumbaugh dan Moore, 1968).
Gambar 8. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Hitam, (2)
Hitam-cokelat, (3) Cokelat, (4) Hitam-putih
Gambar 9. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam, (2) Putih,
(3) Hitam-Cokelat dan (4) Cokelat
25
Berdasarkan Tabel 4, Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih
banyak memiliki corak bulu lurik (67%), sedangkan ayam Walik betina lebih banyak
memiliki corak bulu polos (52%) (Gambar 10). Ayam Walik yang terdapat di Bogor
lebih banyak memiliki corak bulu lurik baik jantan (75%) maupun betina (54%)
(Gambar 11). Corak bulu lurik muncul akibat distribusi melanin pada bulu sekunder
terhambat sehingga timbul hitam bergaris-garis putih pada bulu. Sifat corak lurik
merupakan sifat terpaut kelamin, pada betina ditemukan dalam kondisi hemizigot
(ZBW) sedangkan pada jantan dalam kondisi berpasangan (ZBZB atau ZBZb) (Hutt,
1949).
Gambar 10. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Polos (Jantan),
(2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina), dan (4) Lurik (Betina)
Gambar 11. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Polos (Jantan), (2)
Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan (4) Lurik (Betina)
26
Kerlip bulu ayam Walik jantan dan betina yang terdapat di Sumedang
masing-masing adalah kerlip bulu keperakan (80%) dan keemasan (76%) (Tabel 4;
Gambar 12). Ayam Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki kerlip bulu
keperakan baik jantan (75%) maupun betina (58%) (Tabel 4; Gambar 13). Kerlip
bulu keperakan (ZS) bersifat dominan terhadap keemasan (Zs). Seperti halnya corak
bulu, kerlip bulu adalah sifat terpaut kelamin (sex linked) sehingga pada jantan
ditemukan dalam kondisi homozigot atau heterozigot, sedangkan pada betina dalam
kondisi hemizigot (Hutt, 1949). Kerlip bulu kurang terlihat pada ayam yang memiliki
bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat kompleks (Suprijatna et
al., 2005).
Gambar 12. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Perak (Jantan),
(2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas (Betina)
Gambar 13. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Perak (Jantan), (2)
Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas (Betina)
27
Ayam Walik jantan dan betina yang terdapat di Sumedang memiliki
karakteristik fenotipe pola bulu liar, kolumbian dan hitam, dimana pola bulu liar
lebih banyak ditemukan pada ayam Walik (67%; 38%) dibandingkan dengan
kolumbian (0%; 24%) dan hitam (33%; 38%) (Tabel 4; Gambar 14). Ayam Walik
yang terdapat di Bogor baik jantan dan betina juga lebih banyak memiliki
karakteristik fenotipe pola bulu liar (56%; 48%) dibandingkan kolumbian (19%;
12%) dan hitam (25%; 40%) (Tabel 4; Gambar 15). Pola warna liar dipengaruhi oleh
faktor pendistribusian eumelanin. Gen warna liar (e+) dicirikan dengan adanya garisgaris hitam memanjang di punggung yang mempunyai sifat resesif terhadap warna
hitam polos dan sifat dominan terhadap kolumbian (gen e) (Somes, 1988).
Gambar 14. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Liar, (2) Liar,
(3) dan (4) Hitam
Gambar 15. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam, (2)
Kolumbian, (3) dan (4) Liar
28
Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki shank
berwarna hitam/hijau (53%) dibandingkan putih/kuning (47%), sedangkan ayam
Walik betina lebih banyak memiliki shank berwarna putih/kuning (76%)
dibandingkan hitam/hijau (24%) (Tabel 4). Warna shank hitam pada ayam Walik
jantan yang berada di Sumedang dipengaruhi oleh pigmen melanin yang terdapat
pada epidermis, sementara warna shank hijau dipengaruhi oleh pigmen lipokrom
yang terdapat pada epidermis dan pigmen melanin pada dermis (Jull, 1951). Ayam
Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki shank putih/kuning
dibandingkan hitam/hijau baik jantan(81%; 19%) maupun betina (77%; 23%). Warna
shank ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan di Bogor disajikan pada Gambar
16.
Warna shank yang dimiliki ayam Walik betina di Sumedang dan ayam Walik
yang terdapat di Bogor jantan dan betina memiliki kesamaan dengan pernyataan
Sartika dan Sofjan (2007) bahwa ayam Walik memiliki sisik kaki berwarna putih
kuning. Warna kuning pada shank, pada ayam bangsa Amerika dan bangsa-bangsa
yang lain, adalah karena adanya lemak atau pigmen lipokrom (lypocrome) pada
lapisan epidermis dan pigmen hitam atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan
dermis. Shank yang berwarna kuning juga dapat dipengaruhi oleh pemberian pakan
yang mengandung karotenoid dan xanthofil seperti jagung kuning. Suprijatna et al.
(2005) menyatakan bahwa warna kuning shank disebabkan oleh pigmen karotenoid
dari pakan. Xantofil pada jagung dapat menyebabkan kaki dan kulit menjadi
berwarna kuning (Anggorodi, 1985).
(a)
(b)
Gambar 16. Warna Shank Ayam Walik di Sumedang (a) dan di Bogor (b): (1) Hitam,
(2) Hijau, (3) Kuning dan (4) Putih
29
Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki
jengger tunggal (73%) dibandingkan jengger kapri (27%), sedangkan ayam Walik
betina lebih banyak memiliki jengger kapri (52%) dibandingkan jengger tunggal
(48%) (Tabel 4). Ayam Walik jantan yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki
jengger kapri (56%) dibandingkan jengger tunggal (44%) sedangkan ayam Walik
betina lebih banyak memiliki jengger tunggal (80%) dibandingkan jengger kapri
(20%) (Tabel 4). Bentuk jengger ayam Walik di Sumedang dan Bogor disajikan pada
Gambar 17 dan 18. Sartika dan Sofjan (2007) juga menemukan bahwa ayam Walik
memiliki jengger berbentuk tunggal. Menurut Suprijatna et al. (2005) jengger dapat
digunakan sebagai aksesoris seksual, ayam jantan memiliki jengger yang besar dan
tebal serta berwarna merah. Warna merah pada jengger dipengaruhi oleh pembuluh
darah. Ukuran dan tekstur jengger memiliki peranan dalam menentukan masa
produktivitas ayam betina.
Gambar 17. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Sumedang: (1) Tunggal
(Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina) dan (4) Kapri
(Betina).
30
Gambar 18. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Bogor: (1) Tunggal
(Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina) dan (4) Kapri
(Betina).
Ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan maupun betina lebih
banyak memiliki mata berwarna kuning (60%; 52%) dibandingkan warna coklat
(27%; 10%) dan oranye (13%; 38%) (Tabel 4; Gambar 19). Ayam Walik yang
terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki mata berwarna
oranye (75%; 50%) dibandingkan warna coklat (13%; 23%) dan kuning (13%; 27%)
(Tabel 4; Gambar 19). Warna mata berhubungan dengan warna shank (Smyth, 1990).
Hal ini dibuktikan pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor yang
lebih banyak memiliki warna mata kuning dan oranye (Tabel 4) yang hampir sama
dengan warna shank kuning (Tabel 4). Struktur variasi pewarnaan mata bervariasi
berdasarkan gen tertentu (Smyth, 1990).
31
Gambar 19. Warna Mata Ayam Walik: (1) dan (2) Kuning, (3) Cokelat dan (4)
Oranye
Ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan maupun betina lebih
banyak memiliki cuping yang berwarna merah (60%; 38%) dibandingkan warna
merah-putih (40%; 43%). Ayam Walik yang terdapat di Bogor baik jantan maupun
betina lebih banyak memiliki cuping yang berwarna merah (94%; 65%)
dibandingkan merah-putih (6%; 23%). Cuping putih hanya dimiliki oleh ayam Walik
betina yang terdapat di Sumedang sebesar 19% dan di Bogor sebesar 8% (Tabel 4;
Gambar 20). Menurut Suprijatna et al. (2005) warna cuping bervariasi sesuai dengan
masing-masing bangsa ayam.
Gambar 20. Warna Cuping Ayam Walik: (1) dan (2) Merah, (3) dan (4) Merah-Putih
32
Frekuensi Gen Ayam Walik dan Ayam Kampung
Perhitungan frekuensi gen hanya dilakukan terhadap sifat kualitatif bulu
(warna bulu, corak bulu, pola bulu dan kerlip bulu), bentuk jengger dan warna shank.
Frekuensi gen sifat kualitatif warna cuping dan warna mata tidak dapat dihitung
dikarenakan belum ditemukan standar yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
perhitungan frekuensi gen sifat-sifat kualitatif tersebut. Frekuensi gen yang dimiliki
oleh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan di Bogor
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Frekuensi Gen Ayam Walik dan ayam Kampung di Sumedang dan Bogor
Karakteristik
Kualitatif
Warna bulu:
qI
qi
Corak bulu:
qZB
qZb
Kerlip bulu:
qZS
qZs
Pola bulu:
qE
qe+
qe
Jengger:
qP
qp
Warna shank:
qZId
qZid
Sumedang
Walik
Kampung
(n=36)
(n=58)
Bogor
Walik
(n=42)
Kampung
(n=54)
0
1
0.02
0.98
0.01
0.99
0.02
0.98
0.47
0.54
0.67
0.33
0.52
0.48
0.70
0.30
0.16
0.84
0.33
0.67
0.54
0.47
0.51
0.49
0.20
0.43
0.37
0.07
0.59
0.33
0.10
0.51
0.38
0.10
0.56
0.33
0.24
0.76
0.22
0.78
0.17
0.83
0.18
0.82
0.5
0.5
0.63
0.37
0.79
0.21
0.61
0.39
Keterangan: qI =bulu tidak berwarna; qi= berwarna; qZB=lurik; qZb= polos; qZS= keperakan;
qZs=keemasan; qE=hitam; qe+=liar; qe=kolumbian; qP= pea; qp=tunggal;
qZId=putih/kuning; qZid=hitam/hijau
Frekuensi Gen Warna, Corak, Kerlip dan Pola Bulu
Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang memiliki nilai
frekuensi gen yang tinggi pada bulu yang berwarna (100%; 98%), kerlip bulu
keemasan (84%; 66%) dan pola bulu liar (42%; 59%) (Tabel 5). Namun pada
frekuensi gen corak bulu, ayam Walik memiliki nilai frekuensi yang tinggi pada
33
corak polos (53%) sedangkan ayam Kampung memiliki nilai frekuensi yang tinggi
pada corak lurik (67%) (Tabel 5). Kerlip bulu dan pola bulu yang dimiliki ayam
Walik memiliki kesamaan dengan gen asli ayam Kampung. Nishida et al. (1980)
menyatakan bahwa gen yang merupakan gen asli ayam Kampung adalah e+ dan Zs.
Corak bulu polos yang dominan pada ayam Walik di Sumedang menunjukkan
adanya kesamaan dengan Single Rhode Island Red. Jull (1951) menyatakan bahwa
keseluruhan bulu Rhode Island Red murni polos, bebas dari warna apapun.
Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor memiliki nilai
frekuensi gen yang tinggi pada bulu yang berwarna (98%; 98%), corak bulu lurik
(51%; 70%), kerlip keperakan (53%; 51%) dan pola bulu liar (51%; 56%) (Tabel 5).
Seperti halnya pada ayam Walik yang di Sumedang, ayam Walik yang terdapat di
Bogor menunjukkan kesamaan dengan gen asli ayam Kampung pada kerlip dan pola
bulu. Pengaruh gen asing yang terlihat di ayam Walik yang terdapat di Bogor yaitu
corak bulu lurik. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh dari Barred Plymouth Rock.
Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa gen yang terdapat pada Barred Plymouth
Rock yaitu BB. Pada awalnya lurik hitam-putih pada Barred Plymouth Rock lebih
nyata dibandingkan sekarang. Selain itu lurik hitam-putih pada jantan dan betina
sama lebar (Jull, 1951).
Frekuensi Gen Bentuk Jengger
Jengger merupakan bentuk modifikasi dari kulit yang terdapat pada bagian
puncak kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai bentuk yang beragam,
yaitu bentuk jengger tunggal, ros, kapri, cushion, buttercup, bentuk arbei atau bentuk
V (Ensminger, 1992). Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang
(0,76; 0,78) maupun yang terdapat di Bogor (0,83; 0,82) memiliki nilai frekuensi gen
yang tinggi pada bentuk jengger tunggal (single) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan
bahwa ayam Walik yang ada di Sumedang dan di Bogor tidak memiliki kesamaan
gen asli dengan ayam Kampung. Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa gen yang
merupakan gen asli ayam Kampung adalah P (kapri). Jengger kenari muncul karena
adanya alel R dan alel P. Minkema (1993) menyatakan bahwa dari perkawinan jantan
jengger ros homozigot dengan betina jengger ercis homozigot akan menghasilkan
keturunan yang semuanya berjengger kenari (wallnut) yang heterozigot.
34
Frekuensi Gen Warna Shank
Warna
shank
pada
ayam
yang
diamati
adalah
putih/kuning
dan
hitam/hijau/abu-abu. Menurut Jull (1951), warna shank merupakan ekspresi dari
adanya beberapa pigmen tertentu pada epidermis dan dermis. Ayam Walik yang ada
di Sumedang memiliki frekuensi gen yang sama besar antara warna putih/kuning
(0,5) dan hitam/hijau (0,5) (Tabel 5). Frekuensi gen warna shank pada ayam
Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor
menunjukkan frekuensi yang nilainya tinggi pada warna shank putih/kuning (0,63;
0,79; 0,61) (Tabel 5). Warna shank putih/kuning pada ayam Walik dan ayam
Kampung dapat menunjukkan bahwa ayam tersebut telah dipengaruhi oleh gen asing.
Warna shank putih/kuning dapat dipengaruhi oleh ras Amerika, yaitu Single Rhode
Island Red dan Barred Plymouth Rock. Jull (1951) menyatakan bahwa warna shank
kuning terdapat pada semua ras amerika dan beberapa ras lain yang dipengaruhi oleh
lemak atau pigmen lipokrom pada epidermis. Warna shank putih/kuning juga dapat
diduga merupakan hasil dari keturunan ayam Hutan Hijau yang merupakan salah satu
ayam hutan yang ada di Indonesia. Sartika dan Sofjan (2007) menyatakan bahwa
ayam hutan yang menyebar di Indonesia yaitu ayam Hutan Merah (Gallus gallus)
dan ayam Hutan Hijau (Gallus Varius). Ciri spesifik ayam Hutan Hijau yaitu kaki
kekuningan atau agak kemerahan sedangkan ayam Hutan Merah memiliki kaki
berwarna kelabu.
Laju Introgresi Gen Asing dan Kandungan Gen Asli pada Ayam Walik dan
Ayam Kampung
Laju introgresi gen asing yang terdapat pada ayam Walik dan ayam Kampung
di Sumedang dan Bogor disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan laju
introgresi gen asing pada ayam Walik dan ayam Kampung (Tabel 6), dapat diketahui
bahwa ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor dipengaruhi oleh Barred
Plymouth Rock (47%; 51%), Single Rhode Island Red (0.4%; 28%) dan White
Leghorn (0%; 0.1%). Ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan di Bogor
dipengaruhi oleh Barred Plymouth Rock (50%; 66%), White Leghorn (0.2%) dan
Single Rhode Island Red (-0.9%; -0.5%) (Tabel 6). Berdasarkan hasil perhitungan
laju introgresi diketahui kandungan gen asli pada ayam Walik dan ayam Kampung.
Gen asli yang dimiliki ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam
35
Kampung di Bogor masing-masing adalah 33%, 21% dan 39%. Kandungan gen asli
yang dimiliki ayam Walik yang terdapat di Sumedang 50% (Tabel 6).
Tabel 6. Laju Introgresi Gen Asing dan Besaran Gen Asli yang Terdapat pada Ayam
Walik dan Ayam Kampung di Sumedang dan Bogor
Jenis ayam
Sumedang
Walik
Kampung
Bogor
Walik
Kampung
QSR
QWL
QBR
D
E
0.04
-0.05
0.00
0.02
0.47
0.66
0.50
0.67
0.50
0.33
0.28
-0.09
0.01
0.02
0.51
0.59
0.79
0.61
0.21
0.39
Keterangan : QSR=nilai introgresi ayam Single Rhode Island Red; QWL=nilai introgresi ayam White
Leghorn; QBR=nilai introgresi ayam Barred Plymouth Rock; D (laju introgresi)=QSR +
QWL + QBR ; E (kandungan gen asli)= 1 - QSR + QWL + QBR
Semakin tinggi nilai laju introgresi gen ayam asing terhadap ayam Walik,
maka tingkat keaslian ayam Walik semakin rendah. Penampilan karakteristik ayamayam di Asia Tenggara seperti Indonesia dipengaruhi oleh bangsa-bangsa ayam dari
Eropa dan Amerika yaitu White Leghorn, Rhode Island Red dan Barred Plymouth
Rock (Nishida et al., 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa introgresi terbesar
yang mempengaruhi ayam Walik dan ayam Kampung yaitu Barred Plymouth Rock.
Hal tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nishida et al.
(1980) yang menyatakan bahwa pada ayam Kampung nilai introgresi gen asing
tertinggi adalah Single Rhode Island Red dan yang sangat rendah adalah Barred
Plymouth Rock dan White Leghorn. Namun hasil penelitian yang dilakukan Wati
(2007) menunjukkan bahwa pada ayam Kampung nilai pengaruh bangsa ayam ras
unggul asing tertinggi berasal dari Barred Plymouth Rock. Darwati et al. (2002)
menyatakan bahwa ayam lokal Indonesia yang memiliki konstitusi gen pengontrol
mirip dengan Rhode Island Red adalah ayam Merawang yang berasal dari kepulauan
Bangka-Belitung. Tanda minus pada nilai introgresi gen ayam White Leghorn pada
ayam Kampung di Sumedang dan Bogor menunjukkan bahwa ayam Kampung di
Sumedang dan Bogor sangat kecil atau tidak dipengaruhi sama sekali oleh ayam
White Leghorn.
Kandungan gen asli ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam
Kampung di Bogor lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Nishida et al. (1980) yang menemukan tingkat keaslian ayam
36
Kampung di Indonesia adalah 28-55% dan khusus di Jawa Barat 46%. Kandungan
gen asli ayam Walik yang terdapat di Sumedang yang tinggi menunjukkan tingkat
keaslian ayam Walik tersebut. Peternak yang memiliki ayam Walik di Sumedang
menyatakan bahwa ayam Walik yang mereka miliki diperoleh dari anggota keluarga
peternak yang lain atau hasil perkawinan ayam dengan ayam lain yang berada di
sekitar lokasi kandang dan rumah peternak. Hal ini dapat menyebabkan introgresi
gen asing tidak terjadi jika dibandingkan dengan ayam Walik yang terdapat di Bogor
karena ayam Walik tersebut berasal dari induk yang sama.
Introgresi gen asing diperlukan untuk meningkatkan produktivitas yang
disesuaikan dengan perkembangan pasar, namun hal ini berpotensi menghancurkan
keseimbangan skema produksi dan akhirnya mengancam keberadaan breed lokal
dalam sistem (Simianer, 2005). Hal ini yang menyebabkan populasi ayam Walik
semakin berkurang dan hanya ditemukan di daerah tertentu. Crawford (1990)
menyatakan bahwa unggas yang memiliki gen
asli terdapat pada daerah
perkampungan yang dipelihara secara tradisional dengan perhatian yang sangat kecil
dan memiliki penampilan
produksi yang sangat rendah. Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya pelestarian terhadap ayam Walik karena ayam tersebut memiliki
kemampuan yang lebih tinggi untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitar
dibandingkan ayam berbulu normal, sehingga perlu dilakukan pengembangan
populasinya. Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa ayam Walik memiliki
perbaikan sirkulasi udara panas yang tertahan oleh bulu, sehingga meningkatkan
pembuangan panas melalui penguapan dan meningkatkan kemampuan toleransi
panas terutama di daerah beriklim panas. Pengembangan populasi perlu dilakukan
karena ukuran populasi yang kecil diketahui dapat menyebabkan penurunan
kesehatan dan penampilan reproduksi sehingga beresiko terjadi punahnya ayam
Walik (Simianer, 2005). Pelestarian dapat dilakukan dengan pemanfaatan melalui
pemuliaan sederhana. Upaya pemanfaatan pemuliaan sederhana ayam Walik dapat
dilakukan
dengan
cara
inventarisasi
keragaman
genetik
ayam
Walik,
memperkenalkan ayam Walik serta memberi informasi keunggulan-keunggulan yang
dimiliki ayam Walik kepada masyarakat secara luas dan memberikan penyuluhan
kepada peternak mengenai sistem pemeliharaan yang tepat pada ayam Walik.
37
Karakteristik Sifat Kuantitatif Ayam Walik dan Ayam Kampung
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa secara umum ukuran
tubuh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor tidak
berbeda (Tabel 7 dan Tabel 8). Persamaan ukuran tubuh pada ayam Walik dan ayam
Kampung jantan diduga dapat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan. Sistem
pemeliharaan semi intensif yang diterapkan oleh peternak ayam dengan hanya
memberikan dedak dan sisa makanan manusia yang diberikan dua kali sehari dengan
jumlah yang tidak tetap, tanpa memperhatikan kebutuhan nutrien ayam,
tanpa
pemberian vitamin dan keadaan kandang yang tidak nyaman dapat menyebabkan
potensi genetik dari ayam Walik tidak muncul secara optimal. Noor (2008)
menyatakan bahwa ternak yang memiliki mutu genetik tinggi harus dipelihara pada
lingkungan yang baik pula agar ternak dapat menampilkan produksi secara
maksimal.
Ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap tumbuh yang terdapat di
Sumedang memiliki perbedaan pada ukuran panjang dada (P<0,01), dimana ayam
Kampung memiliki panjang dada yang lebih besar (7,4±0,88 cm) dibandingkan
dengan
ayam Walik (6,2±1,05 cm) (Tabel 7), sedangkan ayam Walik dan ayam
Kampung betina tahap akhir di Sumedang memiliki perbedaan pada ukuran lebar
dada (P<0,05). Ayam Kampung memiliki lebar dada yang lebih besar (13,8±3,91
cm) dibandingkan ayam Walik (10,7±1,42 cm) (Tabel 7). Hal ini menunjukkan
bahwa untuk membedakan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap tumbuh
yang terdapat di Sumedang selain dapat dilihat dari bentuk bulunya yang keriting,
juga dapat dilihat dari ukuran panjang dada dan lebar dada yang kecil pada ayam
Walik.
Ayam Walik dan ayam Kampung jantan tahap akhir yang terdapat di Bogor
memiliki perbedaan pada ukuran lingkar tarsometatarsus. Ayam Walik memiliki
lingkar tarsometatarsus lebih besar (3,8±0,52 cm) dibandingkan ayam Kampung
(3,3±0,53 cm) (Tabel 8). Ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir yang
terdapat di Bogor memiliki perbedaan pada ukuran panjang femur dan lebar dada
(P<0,05). Ayam Walik memiliki femur yang lebih panjang (8,2±0,68 cm)
dibandingkan dengan ayam Kampung (7,7±0,79 cm) (Tabel 8).
38
Tabel 7. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung di Sumedang
Parameter
Ayam Walik
Jantan
Fase tumbuh
(n=7)
BB (kg)
PS (cm)
PT (cm)
PF (cm)
PRS (cm)
PD (cm)
PP (cm)
LD (cm)
LiT (cm)
0.7±0.16(21.7)
7.2±0.63(8.8)
10.6±1.22(11.6)
7.6±0.55(7.2)
17.2±1.35(7.8)
7.3±0.61(8.4)
10.2±0.86(8.4)
13.9±1.41(10.1)
3.2±0.21(6.6)
Fase akhir
(n=8)
1.2 ± 0.22(17.6)
8.67±1.19(13.8)
12.5±1.39(11.2)
8.9±1.11(12.3)
21.0±2.37(11.3)
8.8±0.94(10.6)
12.3±1.17(9.51)
15.9±1.92(12.1)
3.9±0.32(8.3)
Ayam Kampung
Betina
Fase tumbuh
(n=9)
Fase akhir
(n=12)
0.5±0.21(28.2)
1.1±0.17(15.7)
6.2±1.08(17.3)
7.5±0.98(13.0)
9.4±1.88(20.0)
11.5±1.37(11.9)
6.8±1.27(18.6)
8.1±1.01(12.5)
15.6±2.33(14.9)
18.6±1.44(7.8)
6.2±1.05(16.9)a
8.4±1.01(12.1)
9.8±1.25(12.8)
11.3±0.81(7.2)
12.3±2.38(19.3) 10.7±1.42(13.2)A
3.0±0.33(10.8)
3.7±0.44a(11.8)
Jantan
Fase tumbuh
(n=8)
0.7±0.17(23.4)
7.6±0.78(10.2)
11.3±0.84(7.5)
7.9±0.67(8.5)
18.6±1.37(7.4)
7.8 ± 0.83(10.7)
10.8±0.97(9.0)
13.2±1.78(13.4)
3.5 ± 0.42(12.1)
Fase akhir
(n=12)
1.1±0.67(58.9)
8.1±1.33(16.5)
11.9±1.81(15.2)
8.8 ±1.62(18.4)
19.7±2.35(11.9)
8.6 ± 3.06(35.4)
12.3±1.95(15.9)
13.8±4.09(29.6)
3.5±0.54(15.3)
Betina
Fase tumbuh
(n=14)
0.5±0.11(19.9)
7.0±0.92(13.2)
10.9±1.49(13.6)
7.7±0.92(12.1)
17.4±1.34(7.7)
7.4±0.88b(11.9)b
10.5±1.28(12.1)
13.3±1.96(14.7)
3.1 ±0.34(10.9)
Fase akhir
(n=24)
1.1±0.51(47.3)
7.5±1.37(18.2)
11.5±1.99(17.4)
8.2±1.38(16.8)
18.4±2.33(12.7)
8.3±1.92(23.2)
12.1±2.03(16.9)
13.8±3.91b(28.4)B
3.7±0.47(12.8)
LiD (cm)
22.7±2.07(9.1)
27.3 ± 3.31(12.1) 19.5±3.38(17.3) 26.3±3.39(12.9)
21.9 ± 2.11(9.6)
23.2±6.06(26.1) 21.4±3.18(14.9)
23.7±5.47(23.1)
Keterangan:
• Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata(P<0.05), huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama dan
ditulis kapital menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji-t dengan selang kepercayaan 95%.
• BB = bobot badan; PS = panjang shank; PT= panjang tibia; PF= panjang femur; PRS = panjang rentang sayap; PD = panjang dada; PP = panjang punggung; LD =
lebar dada; LiM = lingkar tarsometatarsus; LiD = lingkar dada.
39
39
Tabel 8. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman dan Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung di Bogor
Parameter
Ayam Walik
Jantan
Fase Tumbuh
(n=0)
BB (kg)
PS (cm)
PT (cm)
PF (cm)
PRS (cm)
PD (cm)
PP (cm)
LD (cm)
LiT (cm)
-
Fase akhir
(n=16)
1.2±0.49(39.2)
8.6±1.40(16.4)
13.4±1.86(13.9)
8.9±1.23(13.8)
20.5±2.42(11.8)
8.9±1.39(15.6)
11.9±1.78(14.9)
9.2±1.09(11.8)
3.8 ±0.52(13.9)a
Betina
Fase tumbuh
(n=8)
Ayam Kampung
Jantan
Fase akhir
(n=18)
0.5±0.11(23.7)
0.5±0.11(44.2)
5.8±0.70(11.9)
7.4± 0.87(11.7)
9.1±1.00(11.0) 11.8±1.10(9.4)
6.1±0.91(14.9)
8.2± 0.68(8.3)a
14.9±1.58(10.5) 18.4±1.27(6.9)
6.11± 0.69(11.3)
8.7± 1.41(16.3)
8.9 ±0.73(8.1)
11.7±1.58(13.6)
7.0±0.81(11.6) 9.1±1.09 (11.9)a
3.0±0.47(15.2)
3.3±0.46 (13.9)
Fase tumbuh
(n=3)
Fase akhir
(n=20)
0.3±0(0)
5.3±0.53(10.2)
8.7±0.52(5.9)
6.3±0.31(4.9)
15.5±0.66(4.3)
5.5±0.41(7.5)
8.8±0.42(4.8)
6.8±0.28(4.2)
2.4±0.08(3.4)
0.9±0.34(34.3)
7.8±1.11(14.3)
12.2±1.76(14.4)
8.5±1.05(12.3)
19.8±1.89(9.5)
8.6±1.24(14.5)
11.7±1.48(12.7)
8.6±0.92(10.7)
3.3±0.53(15.9)b
Betina
fase tumbuh
(n=3)
0.4±0.10(27.2)
5.7±0.47(8.2)
9.2±0.56(6.1)
6.4±0.41(6.4)
15.8±1.32(8.4)
6.1±1.13(18.7)
8.8±1.23(13.9)
6.78±0.85(12.6)
2.5±0.35(13.9)
fase akhir
(n=28)
0.9±0.36(37.1)
7.1±0.85(12.0)
11.4±1.28(11.2)
7.7±0.79 (10.3)b
18.4±1.68(9.2)
8.3±1.05(12.7)
11.3±1.37(12.1)
8.5±0.77 (9.1)b
3.2±0.39(11.9)
LiD (cm)
26.9±5.28(19.6)
18.8±1.96(10.5)
26.0±5.48(21.1)
16.3±1.04(6.4)
24.6±3.62
17.5±1.49(8.6)
23.9±3.13(13.1)
Keterangan:
• Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata(P<0.05), huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama dan
ditulis kapital menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji-t dengan selang kepercayaan 95%.
• BB = bobot badan; PS = panjang shank; PT= panjang tibia; PF= panjang femur; PRS = panjang rentang sayap; PD = panjang dada; PP = panjang punggung; LD =
lebar dada; LiM = lingkar tarsometatarsus; LiD = lingkar dada..
40
40
Ayam Walik juga memiliki dada yang lebih lebar (9,1±1,09 cm) dibandingkan
dengan dada ayam Kampung (8,5±0,77 cm) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa
untuk membedakan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir yang
terdapat di Bogor dapat dilihat dari ukuran femur yang panjang dan dada yang lebar
pada ayam Walik. Sementara itu untuk membedakan ayam Walik jantan dengan
ayam Kampung dapat dilihat dari ukuran lingkar tarsometatarsus pada ayam Walik
yang lebih besar.
Berdasarkan perhitungan koefisien keragaman dapat diketahui bahwa ayam
Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor memiliki bobot
badan dengan tingkat keragaman yang tinggi (Tabel 7 dan Tabel 8). Namun ukuran
tubuh lainnya (panjang shank, panjang femur, panjang tibia, panjang rentang sayap,
panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar dada, lingkar tarsometatarsus)
pada ayam Walik dan ayam Kampung memiliki tingkat keragaman yang rendah.
Ukuran tubuh yang seragam pada ayam Walik dan ayam Kampung dapat disebabkan
oleh faktor lingkungan. Keragaman lingkungan (VE) dapat disebabkan oleh faktor
iklim, cuaca, makanan, penyakit, dan sistem manajemen (Noor, 2008). Ayam Walik
dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor pada umunya dipelihara
dengan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan semi intensif yang diterapkan oleh
peternak ayam yaitu pemberian pakan berupa dedak dan sisa makanan manusia yang
diberikan dua kali sehari dengan jumlah yang tidak tetap, tanpa memperhatikan
kebutuhan nutrien ayam, tanpa pemberian vitamin dan keadaan kandang yang tidak
nyaman dapat menyebabkan potensi genetik dari ayam Walik tidak muncul secara
optimal. Selain itu lokasi kandang dan pekarangan rumah peternak ayam Walik dan
ayam Kampung yang saling berdekatan memungkinkan ayam Walik maupun ayam
Kampung tersebut berasal dari induk yang sama sehingga ukuran tubuh ayam Walik
dan ayam Kampung memiliki tingkat keragaman yang rendah.
41
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sifat kualitatif ayam Walik
yang terdapat di Sumedang dan ayam Walik yang terdapat di Bogor memiliki bulu
berwarna, corak lurik dan polos, kerlip perak dan emas, pola liar, shank putih/kuning
dan hitam/hijau, jengger tunggal dan kapri, warna mata kuning dan oranye serta
warna cuping merah. Laju introgresi antara ayam Walik dan ayam Kampung yang
terdapat di Sumedang dan Bogor paling besar dipengaruhi oleh Barred Plymouth
Rock. Kandungan gen asli ayam Walik yang terdapat di Sumedang lebih tinggi
dibandingkan ayam Kampung sedangkan ayam Walik yang terdapat di Bogor
memiliki tingkat keaslian lebih rendah dibandingkan ayam Kampung.
Karakteristik sifat kuantitatif ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat
di Sumedang dan di Bogor secara umum tidak berbeda. Ayam Walik dan ayam
Kampung memiliki bobot badan yang tingkat keragamannya tinggi dan ukuran tubuh
(panjang shank, panjang tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada,
panjang punggung, lebar dada, lingkar dada dan lingkar tarsometatarsus) yang
tingkat keragamannya rendah.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi ayam
Walik
terutama kajian terhadap keragaman genetik dan produktivitasnya. Selain itu juga
perlu dilakukan penelitian di daerah lain untuk mengetahui populasi ayam Walik di
Indonesia secara keseluruhan sehingga dapat digunakan untuk menentukan status
keberadaan ayam Walik di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan karunia tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi
tugas akademik dan merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Peternakan di
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta
Bapak Setia Putra Tarigan dan Ibu Helmiati serta adik tercinta Kharisma Bima
Teguh Tarigan atas semua doa, perhatian, pengorbanan, dukungan, kesabaran dan
kasih sayang tulus yang diberikan hingga detik ini. Ucapan terima kasih ditujukan
pula kepada Bapak Dr. Jakaria S.Pt., M.Si dan Ibu Maria Ulfah S.Pt., M.Sc.Agr
sebagai pembimbing skripsi atas kesabaran yang diberikan selama membimbing
penulis dalam penyusunan proposal, penelitian, seminar serta penyusunan skripsi.
Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian MS. sebagai
pembimbing akademik atas nasehat dan bimbingan selama ini. Terima Kasih kepada
Bapak Dr. Rudy Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr., Ibu Ir. Sri Darwati M.Si., Ibu Ir. Rita
Meutia M.Agr., dan Ibu Ir. Lucya Cirilla E.N.S.D., M.Si sebagai dosen penguji
seminar dan sidang. Terima kasih kepada seluruh warga Sumedang dan Bogor
khususnya keluarga besar Ibu Emih di Ujungjaya atas bantuannya selama penelitian.
Terima kasih kepada seluruh keluarga besar penulis (Karo, Akas, Ombai,
Paman, dan Bibi) atas doa, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan. Kepada
sahabat terbaik penulis Rarisa, Oxyana, Nengmega , Eva, Desha, Melani, Risma,
Ade dan Ayu terima kasih atas kenangan indah dan pelajaran hidup yang diberikan,
Terima kasih kepada keluarga besar IPTP 43 OCOOL (u’ll never walk alone) terima
kasih atas kenangan dan kebersamaan selama ini. Tanpa OCOOL perjalanan hidup di
FAPET tercinta tidak akan berwarna.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang
membaca.
Bogor, Agustus 2010
`
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Brumbaugh, J. A. & J. W. Moore. 1968. The Effects of E Allels Upon Melanocytes
Differentiation. In: Crawford. R. D. (Ed). Poultry Breeding and Genetics.
Departement of Animal and Poultry Science. University of Saskatchewen,
Saskatoon.
Crawford, R. D. 1990. Poultry Genetic Resources: Evolution, Diversity, and
Conservation. In: Poultry Breeding and Genetics. R. D. Crawford (Ed).
Elsevier Science Publishers, Amsterdam.
Darwati, S., B. Pangestu & H. S. Iman Rahayu. 2002. Karakteristik Genetik
Eksternal Ayam Merawang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Ciawi. 30 September- 1 Oktober 2002.
Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian
Permentan/OT.140/8/2006, Pedoman Pelestarian dan
Sumberdaya Genetik Ternak. Deptan, Jakarta.
Nomor 35
Pemanfaatan
Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Publishers, Inc. USA.
FAO. 1986. Animal genetic resources data banks: descriptor lists for poultry. Animal
Production and Health Paper 59/3, 13-27, Rome.
Hutt, T. B. 1949. Genetics of The Fowl. Hill Book Company, Inc., New York.
Jull, M. A. 1951. Poultry Husbandry. 3rd Ed. Mc Graww-Hill Book Company, Inc.,
New York.
Koch, T. 1973. Anatomy of the Chicken and Domestic Bird. The IOWA State
University Press, IOWA.
Mansjoer, I., S. S. Mansjoer & D. Sayuti. 1989. Studi banding sifat-sifat biologis
ayam Kampung, ayam Pelung dan ayam Bangkok. Buletin Penelitian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Mansjoer, S., S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam Kampung beserta
persilangannya dengan Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Minkema, D. 1993. Dasar Genetika dalam Pembudidayaan Ternak. Penerbit
Bhratara, Jakarta.
Nataamijaya, A. G. 2000. The native chicken of Indonesia. Bulletin Plasma Nutfah
VI (1):1-6.
Nishida, T., K. Nozawa, K. Kondo, S. S. Mansjoer & H. Martojo. 1980.
Morphological and genetical studies on the Indonesian native fowl. The
origin phylogeny of Indonesian Native Livestock. The Research Group of
Overseas Scientific Survey: 47-70.
Noor, R. R. 2008. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Roberts, V. 2008. British Poultry Standards. 6th Ed. Blackwell Publishing, Oxford.
Rukmana, R. H. 2003. Ayam Buras Intensifikasi dan Kiat Pengembangan. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Sartika, T. & Sofyan Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan
Pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Sasimowski, E. 1987. Animal Breeding and Production an Outline. By PWN-Polish
Scientific Publishers, Warszawa.
Scanes, C. G., G. Brant & M. E. Ensminger. 2004. Poultry Science. Pearson
Education Inc., New Jersey.
Sidadolog, J. H.P, Triyuwanto, Soeparno, Wihandoyo, H. Sasongko, A. Wibowo &
Arinto. 1996. Penelitian genetika penampilan bulu pada ayam lokal sebagai
plasma nutfah untuk kemampuan adaptasi produksi terhadap lingkungan
tropis. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Simianer, H. 2005. Decision Making in Livestock Conservation. Institute of Animal
Breeding and Genetics. Georg-August-University Goettingen, Germany.
Smyth, J. R. 1990. Genetics of plumage, skin and eye pigmentation in chickens. In:
Poultry Breeding and Genetics. R. D. Crawford (Ed). Elsevier Science
Publishers, Amsterdam.
Soedirdjoatmojo, M. D. S. 1984. Beternak Ayam Kampung. Badan Penerbit Karya
Bani, Jakarta.
Somes, R. G. 1988. International Registry of Poultry Genetics Stock. Bulletin
Documen no 476. Storrs Agricultural Experiment Station, The University of
Connecticut, Storss.
Somes, R. G. 1990. Mutations and major variants of plumage and skin in Chickens.
In: Poultry Breeding and Genetics. R. D. Crawford (Ed). Elsevier Science
Publishers, Amsterdam.
Stanfield, W .D. 1982. Theory and Problems of Genetics 2nd Ed. McGraw-Hill Book
Company, Inc. New York.
Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu
Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia,
Jakarta.
45
Sudaryanti, T. & H. Santosa. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sulandari, S., M. S. A. Zein., S. Paryanti, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjastuti, E.
Sudjana, S. Darana, I. Setiawan dan D. Garnida. 2007. Sumberdaya genetik
ayam lokal. Keanekaragaman sumber daya hayati ayam lokal Indonesia:
manfaat dan potensi. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta: 45-67.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono & R. Kartosudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Warwick, E. J., J. M. Astuti, & W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Edisi
Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wati, D. K. 2007. Karakteristik genetik eksternal pada ayam Wareng Tanggerang
dan ayam Kampung. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Peternakan
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Terjemahan: SGN Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1. Perhitungan Frekuensi Gen Ayam Walik di Sumedang dan Bogor
Frekuensi Gen Warna Bulu
Ayam Walik Sumedang
Bewarna
Ayam Walik Bogor
Berwarna
qi
= (R/N)1/2
qi
= (R/N)1/2
qi
= (36/36)1/2
=0
qi
= (41/42)1/2
Tidak Berwarna
qi = 1 – 0
= 0.012
Tidak Berwarna
qi = 1 – 0.012
=1
= 0.988
Frekuensi Gen Pola Bulu
Ayam Walik Sumedang
Columbian
r
= (5/36) ½
= 0.373
Liar
= 0.426
Hitam
p=1–q–r
= 1 – 0.373 – 0.426
= 0.201
Ayam Walik Bogor
Columbian
= (6/41) ½
= 0.383
r
Liar
48
= 0.5144
Hitam
p=1- q– r
= 1 – 0.383 – 0.5144
=0.463
Frekuensi Gen Corak Bulu
Ayam Walik Sumedang
Betina
Jantan
= 1 – (R/N)1/2
q
= 1 – (5/15) 1/2
= 0.423
= 0.476
♦ Lurik
q= 2N♂
2N♂+N♀
q ♂ + N♀
2N♂+N♀
2 (15)
2 (15) + 21
0.423 +
21
2 (15) + 21
=
=
q ♀ 0.476
0.445
♦ Polos
q = 1 – lurik
= 1 – 0.445 = 0.555
Ayam Walik Bogor
Jantan
q
Betina
= 1 – (R/N)1/2
= 1 – (4/16) 1/2
= 0.5 = 0.538
49
♦ Lurik
q=
=
2N♂
2N♂+N♀
2 (16)
2 (16) + 26
q♂ +
0,5
+
N♀
2N♂+N♀
q♀
26
2 (16) + 26
0,538
= 0.517 ♦ Polos
q = 1 – lurik
= 1 – 0.517 = 0.483
Frekuensi Gen Kerlip Bulu
Ayam Walik Sumedang
Jantan
q
Betina
= 1 – (R/N)1/2
= 1 – (12/15) ½
= 0.106
= 0.238
♦ Perak
q=
2N♂
2N♂+N♀
=
2 (15)
2 (15) + 21
=
0.16
q♂+
0.106 +
N♀
2N♂+N♀
21
2 (15) + 21
q♀
0.238
♦ Emas
q = 1 – Perak
= 1 – 0.16
50
= 0.84
Ayam Walik Bogor
Jantan
Betina
= 1 – (R/N)1/2
q
= 1 – (4/16) ½
= 0.5
= 0.577
♦ Perak
2N♂
2N♂+N♀
q=
=
=
2 (16)
2 (16) + 26
0.535 q♂+
0.5 +
N♀
2N♂+N♀
q♀
26
2 (16) + 26
0.577
♦ Emas
q = 1 – Perak
= 1 – 0.535
= 0.465
Frekuensi GenWarna Shank
Ayam Walik Sumedang
Jantan
q
Betina
= 1 – (R/N)1/2
= 1 – (7/15) 1/2
= 0.317
= 0.762
51
♦ Shank Putih/Kuning
q =
2N♂
2N♂+N♀
2 (15)
2 (15) + 21
=
q♂+
N♀
2N♂+N♀
q♀
0.317 +
21
2 (15) + 21
0.762
= 0.5 ♦ Shank hitam/abu-abu
q = 1 – shank putih/kuning
= 1 – 0.5
= 0.5
Ayam Walik Bogor
Betina
Jantan
q
= 1 – (R/N)1/2
= 1 – (3/16) ½
= 0.812
= 0.769
♦ Shank Putih/Kuning
q =
=
2N♂
2N♂+N♀
2 (16)
2 (16) + 26
q♂+
0.812 +
N♀
2N♂+N♀
26
2 (16) + 26
q♀
0.769
= 0.793
52
♦ Shank hitam/abu-abu
q = 1 – shank putih/kuning
= 1 – 0.793
= 0.21
Frekuensi Gen Bentuk Jengger
Ayam Walik Sumedang
Jengger Tunggal
q
Jengger Kapri
= (R/N)1/2
q = 1 – jengger tunggal
= (21/36) ½
= 1 – 0.236
= 0.236
= 0.764
Ayam Walik Bogor
Jengger Kapri
Jengger Tunggal
q
q = 1 – jengger Tunggal
= (R/N)1/2
= 1 – 0.174
= (28/41) ½
= 0.826
= 0.174
53
Download