naskah publikasi hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga

advertisement
1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN
KELUARGA DENGAN INTENSI PROSOSIAL REMAJA
Oleh :
TYAGITA DARMALA PUTRI
SONNY ANDRIANTO
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN
KELUARGA DENGAN INTENSI PROSOSIAL REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
_________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Sonny Andrianto, S.Psi.,M.Si)
3
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN
INTENSI PROSOSIAL REMAJA
Tyagita Darmala Putri
Sonny Andrianto
INTISARI
Masyarakat Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki rasa
kekeluargaan yang tinggi, namun pada kehidupan masyarakat modern saat ini yang
tampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualisme. Hal ini
mengakibatkan orang lain tidak lagi peduli pada orang lain sehingga intensi
prososial seseorang pun mulai menurun. Permasalahan ini juga terjadi pada remaja.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prosoial remaja. Dugaan awal
adalah ada hubungan positif antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi
prososial remaja. Semakin tinggi persepsi keharmonisan keluarga yang dimiliki
remaja, maka semakin tinggi intensi prososial yang dimiliki remaja tersebut.
Subjek pada penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 Kota Bekasi yang
berusia 15-18 tahun. Jumlah subjek penelitian adalah 90 orang. Penelitian
menggunakan skala intensi prososial dan skala persepsi keharmonisan keluarga.
Skala intensi prososial dirancang oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Shaffer (1994). Skala persepsi keharmonisan keluarga dirancang
sendiri juga oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Stinnet
dan De Frain (Hawari, 1999).
Metode analisis menggunakan teknik analisis product moment dari Pearson
dengan menggunakan fasilitas SPSS 12.00 for Windows. Hasil analisis
menunjukkan rxy2 = 0,512 dengan p = 0,000 (<0,01). Sumbangan efektif yang
diberikan persepsi keharmonisan keluarga terhadap tingkat intensi prososial sebesar
26,2%
Kata kunci : persepsi keharmonisan keluarga, intensi prososial.
4
Latar Belakang Masalah
Manusia terlahir ke dunia ini sebagai makhluk sosial sehingga manusia tidak
dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain di sisinya. Masyarakat Indonesia
sendiri sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki rasa kekeluargaan yang
tinggi. Hal ini tercermin dalam kehidupan mereka yang rukun, saling tolongmenolong, saling bekerjasama, rasa solidaritas antarsesama, saling berbagi, dan
saling menghormati satu sama lain. Penelitian yang dilakukan oleh Syafriman dan
Wirawan (2004) membuktikan bahwa perilaku prososial orang suku bangsa Melayu
dalam kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal
ini dikarenakan pada budaya masyarakat Melayu terdapat nilai-nilai yang
menekankan pentingnya hidup saling menghormati, tolong-menolong, setia kawan,
perbuatan menanam budi dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu maka manusia dan masyarakat banyak mengalami
perubahan. Hal ini disebabkan gerakan modernisasi yang merupakan suatu usaha
menuju ke masyarakat modern telah menimbulkan pergeseran pola interaksi
manusia. Pada kehidupan masyarakat modern saat ini yang tampak adalah
perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualisme. Hal ini mengakibatkan
orang lain tidak lagi peduli pada orang lain sehingga intensi prososial seseorang
pun mulai menurun. Fenomena perubahan sosial ini dibahas oleh Sasono
(http://www.kompas.co.id.24/2/07) yang mengemukakan bahwa televisi saat ini
dipenuhi orang-orang jahat. Manusia-manusia Indonesia yang digambarkan dalam
sinetron mampu melakukan kejahatan dengan motivasi yang umumnya berasal dari
5
kualitas buruk manusia itu sendiri yang diliputi dengan rasa iri hati, dengki,
ketidakmampuan menerima kenyataan, dan sebagainya. Korban kejahatan dalam
sinetron-sinetron ini biasanya punya hubungan sosial yang cukup dekat atau bahkan
hubungan keluarga dengan pelakunya. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari
fenomena ini, salah satunya adalah harmoni hubungan sosial yang ada dan
digambarkan selama ini ternyata ”omong kosong” dan manusia Indonesia ternyata
melihat tetangga, saudara, teman sepermainan dalam iri hati yang dalam. Satu
sama lain siap saling menjatuhkan dengan segala cara yang tak terpikirkan oleh
manusia berakal dan berjiwa sehat. Hal ini menandakan manusia mulai
mengutamakan sifat keegoisannya dibandingkan kepentingan bersama.
Perilaku
prososial
sendiri
adalah
suatu
tindakan
menolong
yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan
suatu resiko bagi orang yang menolong ( Baron & Byrne, 2005), sedangkan intensi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) memiliki arti sebagai suatu keinginan
seseorang untuk melakukan suatu hal.
Perilaku prososial menurut Shaffer (1994) dalam tindakannya memberikan
keuntungan bagi yang menerimanya. Perilaku-perilaku yang menunjukkan perilaku
prososial, yaitu :
a. Berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya.
b. Menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah.
c. Menolong dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran yang
memang ingin dicapainya.
6
d. Memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau
prestasinya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku prososial menurut Shaffer
(1994), yaitu: 1) Kecenderungan perkembangan perilaku prososial: asal mula
perilaku prososial, perkembangan usia. 2) Pribadi orang yang menerima pertolongan
dan situasi yang mempengaruhi tingkah laku prososial: jenis kelamin, perasaan
dibutuhkan bagi penolong dari orang yang memang bergantung padanya, perasaan
suka akan menolong seorang teman, suasanan hati (good mood and bad mood). 3)
Kognitif dan kontribusi afektif: kemampuan yang dimiliki, empati yang penting untuk
menjadi mediator dari altruisme, tahapan moral, melihat dirinya sebagai orang yang
altruistik. 4) Kultur dan pengaruh sosial: pengaruh kultur dalam keluarga, adanya
penguatan,
adanya
pengaruh
modelling,
orangtua
sebagai
orang
yang
mengembangkan perilaku prososial anak.
Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku prososial adalah kultur yang dianut pada sebuah keluarga.
Keluarga khususnya orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam
mengembangkan perilaku prososial anak, mulai dari kecil hingga besar. Keluarga
khususnya orangtua akan memberi penguatan (reinforcement) dan modelling pada
anak dengan perilaku dan kebiasaan mereka (Shaffer, 1994).
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan
manusia, tempat manusia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di
dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.
Pada keluarga yang interaksi
sosialnya berdasarkan simpati, manusia belajar memperhatikan keinginan-keinginan
7
orang lain, belajar bekerja sama, saling membantu, dengan kata lain manusia
pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki
norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan
orang lain (Gerungan, 1988).
Peran keluarga dalam membantu perkembangan sosial anak sangat besar,
oleh sebab itu keutuhan keluarga harus diperhatikan. Keutuhan ini meliputi keutuhan
dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga itu adanya ayah di samping
adanya ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau keduaduanya, maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi. Juga apabila orangtua, baik
ibu atau ayah, jarang pulang ke rumah dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya
karena tugas atau hal-hal lain, dan hal ini terjadi secara berulang-ulang, maka
struktur keluarga itu pun sebenarnya tidak utuh lagi. Pada akhirnya, apabila orang
tua hidup bercerai, maka keluarga itu juga tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam
sturktur keluarga, dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga, bahwa di
dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis). Apabila
orangtua sering bercekcok dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan
disertai tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh
(Gerungan, 1988). Kondisi keluarga yang tidak utuh akan mengakibatkan
perkembangan perilaku prososial anak tidak berjalan baik. Shuffer (1994)
mengungkapkan bahwa apabila dalam perkembangannya perilaku prososial anak
rendah maka perilaku agresif anak akan tinggi
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (antara orangtua atau orangtua
pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
8
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau
ia melakukan kekerasan pula pada orang lain.
Keterlibatan keluarga dalam mempengaruhi perilaku prososial terlihat dalam
penelitian yang dilakukan Kerr, dkk (2003) yang menggunakan subjek remaja Latin
berusia14-19 tahun. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa keterlibatan keluarga
dapat mempengaruhi perilaku prososial remaja. Rendahnya keterlibatan keluarga
maka akan menguatkan keterlibatan remaja pada pesta minuman keras,
penggunaan ganja, pesta-pesta, dan tindakan kekerasan pada orang lain. Kuatnya
monitoring orangtua dan kultur sosial yang dianut remaja akan mempengaruhi
kuatnya minat remaja untuk menjadi tenaga sukarelawan pada kegiatan sosial dan
perilaku prososial lainnya.
Penelitian lain yang juga mengungkapkan adanya pengaruh kondisi
keluarga, khususnya orangtua dengan perkembangan perilaku prososial adalah
penelitian Duncan, dkk (2002) pada remaja berusia 10-14 tahun di Baratlaut Pasifik,
disana terungkap bahwa remaja yang hidup di lingkungan keluarga yang memiliki
sepasang orangtua memiliki keterlibatan yang lebih rendah pada perilaku
menyimpang dan penggunaan obat-obatan terlarang. remaja yang berasal dari
keluarga yang memiliki orangtua lengkap juga lebih kuat minatnya pada kegiatan
olah raga dan memiliki perilaku prososial yang lebih baik.
Masa remaja adalah saat di mana anak lebih banyak menghabiskan
waktunya di luar rumah. Perilaku anak di luar rumah adalah cerminan dari
pendidikan yang diberikan keluarga khususnya orangtuanya. Hal ini seperti yang
diungkapkan Locke (Sarwono, 2002) pada salah satu dari tiga antithesisnya bahwa
9
seorang anak akan menjadi baik atau jahat tergantung dari pengalaman. Kalau anak
mendapat pengalaman yang baik dia akan jadi anak yang baik, kalau
pengalamannya tentang kejahatan dia menjadi anak jahat.
Seorang remaja yang mendapatkan pengalaman yang baik akan dapat
mengembangkan perilaku prososialnya. Seorang remaja yang mendapatkan
dukungan orangtuanya untuk mengembangkan perilaku prososial dari pola
pengasuhan orangtuanya, tentu akan menjadi remaja yang baik. Hal ini terungkap
dari hasil penelitian Hastings,
dkk (2005) yang meneliti perkembangan perilaku
prososial anak berdasarkan dari jenis kelamin, larangan (inhibition), dan sosialisasi
dari orangtua. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perlakuan orangtua
(protektif dan otoriter), khususnya dari ibu dapat mempengaruhi perkembangan
perilaku prososial anak dikemudian hari.
Keluarga yang harmonis menurut Stinnet dan De Frain (Hawari, 1999)
memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Kehidupan beragama dalam keluarga.
Dalam sebuah keluarga sangat penting terciptanya sebuah kehidupan
beragama. Hal ini dikarenakan dalam sebuah agama terdapat nilai-nilai moral
atau etika kehidupan. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan
ajaran agama ialah kasih sayang. Antaranggota keluarga haruas cinta-mencintai
dan kasih-mengasihi. Artinya, silahturahmi jangan terputus, tetapi diperbaiki dan
dikembangkan hubungan rasa kasih sayang tersebut.
2. Mempunyai waktu untuk bersama.
10
Waktu untuk bersama keluarga itu harus ada. Seringkali orangtua tidak ada
waktu untuk anak-anaknya. Ayah tidak ada waktu, ibu pun tidak ada waktu.
Namun sesibuk-sibuknya orangtua harus ada waktu untuk keluarga.
3. Mempunyai pola komunikasi yang baik bagi sesama anggota keluarga.
Keluarga harus menciptakan hubungan yang baik dengan antaranggota
keluarga. Harus ada komunikasi yang baik, demokratis, timbal balik. Jangan
komunikasinya satu pihak.
4. Saling menghargai satu dengan yang lainnya.
Harus saling menghargai dalam interaksai ayah, ibu, dan anak. Apapun prestasi
yang diperoleh anggota keluarganya syukurilah. Tuhan akan menambah
nikmatnya kepada orang yang bersyukur.
5. Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai
kelompok.
Keluarga sebagai unit yang kecil, terdiri dari ayah, ibu, dan anak harus erat dan
kuat, jangan longgar dan jangan rapuh.
6. Bila terjadi suatu permasalahan dalam keluarga mampu menyelesaikan secara
positif dan konstruktif.
Jika keluarga mengalami krisis, maka prioritas utama adalah keutuhan keluarga.
Keluarga harus dipertahankan. Setelah itu, masalah dan krisis yang dihadapi
harus diselesaikan.
11
Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 Kota Bekasi. Dengan
usia 15-18 tahun. Pertimbangannya memilih usia tersebut karena usia tersebut
remaja tergolong remaja pertengahan.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode angket atau kuesioner untuk mendapatkan jenis data kuantitatif. Metode ini
dipergunakan dengan alasan kepraktisan. Alat pengumpul data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebuah kuesioner yang terdiri atas dua buah skala
pengukuran, yaitu :
1. Skala Intensi Prososial
Skala intensi prososial dibuat untuk mengetahui tingkat intensi prososial
subjek. Seluruh pernyataan yang terdapat dalam skala ini disusun sendiri oleh
peneliti. Aspek-aspek intensi prososial yang terdapat pada alat ukur ini berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Shaffer (1994), yaitu : Berbagi dengan orang lain yang
mengalami nasib lebih buruk darinya, menghibur dan menolong orang yang tertekan
karena memiliki masalah, menolong dan bekerja sama dengan orang lain hingga
mencapai sasaran yang memang ingin dicapainya, memberikan perasaan nyaman
pada orang lain atas penampilan atau prestasinya.
Skala intensi prososial ini terdiri dari lima puluh pernyataan, yang terbagi
dalam aitem favorable dan aitem unfavorable untuk tiap-tiap aspek. Pemberian nilai
dalam skala ini menggunakan model Likert yang telah dimodifikasi dengan empat
alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
12
Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan favorable SS diberi skor 4, S diberi skor 3,
TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Pernyataan unfavorable jawaban STS diberi
skor 4, TS diberi skor 3, S diberi skor 2, dan SS diberi skor 1.
Nilai total diperoleh dari penjumlahan skor keseluruhan aitem, dimana
semakin tinggi nilai total yang didapat maka semakin tinggi tingkat intensi prososial
subjek, dan semakin rendah nilai total yang didapat maka semakin rendah tingkat
intensi prososialnya. Nilai terendah yang akan diperoleh subjek adalah 50 dan nilai
tertinggi adalah 200.
2. Skala Persepsi Keharmonisan Keluarga
Skala persepsi keharmonisan keluarga ini digunakan untuk mengetahui
sejauhmana persepsi subjek terhadap keharmonisan keluarga yang dimilikinya.
Skala persepsi keharmonisan keluarga ini disusun sendiri oleh peneliti. Aspek-aspek
yang terdapat pada alat ukur ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Stinnet
dan De Frain (Hawari, 1999), yaitu : Kehidupan beragama dalam keluarga,
mempunyai waktu untuk bersama, mempunyai pola komunikasi yang baik bagi
sesama anggota keluarga, saling menghargai satu dengan yang lainnya, masingmasing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai kelompok,
bila terjadi suatu permasalahan dalam keluarga mampu menyelesaikan secara
positif dan konstruktif.
Skala persepsi keharmonisan keluarga ini terdiri dari lima puluh pernyataan,
yang terbagi dalam aitem favorable dan aitem unfavorable untuk tiap-tiap aspek.
Pemberian nilai dalam skala ini menggunakan model Likert yang telah dimodifikasi
dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
13
Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan favorable SS diberi skor 4,
S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Pernyataan unfavorable
jawaban STS diberi skor 4, TS diberi skor 3, S diberi skor 2, dan SS diberi skor 1.
Nilai total diperoleh dari penjumlahan skor keseluruhan aitem, dimana
semakin tinggi nilai total yang didapat maka semakin tinggi tingkat persepsi
keharmonisan keluarga subjek, dan semakin rendah nilai total yang didapat maka
semakin rendah tingkat persepsi keharmonisan keluarganya. Nilai terendah yang
akan diperoleh subjek adalah 50 dan nilai tertinggi adalah 200.
Metode Analisis Data
Untuk melakukan uji validitas aitem dari kedua alat ukur dilakukan dengan
menguji validitas isi (content validity) dan validitas muka. Validitas isi merupakan
validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisa rasional
atau lewat professional judgment, sedangkan validitas muka merupakan pengujian
yang didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan (appearance) tes.
Meskipun validitas muka ini memiliki taraf signifikansi yang paling rendah, namun hal
itu dapat memancing motivasi individu yang menjadi responden untuk bersungguhsungguh dalam pengisian kuesioner (Azwar, 1997).
Selain itu, seleksi butir aitem yang akan digunakan dalam penelitian juga
dilakukan dengan menggunakan indeks daya beda aitem, yang didapat melalui
pengujian statistik dengan bantuan SPSS 12.0 for Windows, sehingga didapat
koefisien korelasi antara skor pada setiap aitem dengan skor total tes itu sendiri.
Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat keajegan alat ukur yang
pada dasarnya menunjukkan sejauh mana suatu pengukuran dapat memberi hasil
14
yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama
(Azwar, 1997). Pengujian reliabilitas skala ini memakai teknik Alpha Cronbach
dengan bantuan SPSS 12.0 for Windows.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik product moment dari Pearson
dengan alasan bahwa penelitian ini bertujuan mencari korelasi antara dua variabel
penelitian, yaitu persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja
dan data yang diperoleh berbentuk interval. Seluruh perhitungan dilakukan dengan
komputer menggunakan program SPSS 12.0 for Windows.
Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian
Perbandingan antara subjek laki-laki dan subjek perempuan menunjukkan
jumlah yang
tidak seimbang, dimana lebih dari 60% subjek yang menjadi
responden berjenis kelamin perempuan. Namun hal tersebut menurut penulis
tidaklah menjadi persoalan besar, sebab meskipun jumlahnya tidak banyak,
adanya
subjek
laki-laki
diantara
responden
dirasa
sudah
cukup
merepresentasikan karakteristik populasi.
2. Deskripsi Statistik
Untuk variabel intensi prososial, skor hipotetik minimumnya adalah 35 dengan
skor hipotetik maksimum 140, rerata hipotetik variabel ini adalah 87,5 dengan
deviasi standar 17,5. Sementara untuk variabel persepsi persepsi keharmonisan
keluarga skor hipotetik minimumnya adalah 39 dengan skor hipotetik maksimum
156, rerata hipotetik variabel ini adalah 97,5 dengan deviasi standar 19,5.
15
3. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas terhadap kedua skala menunjukkan sebaran yang normal
dengan koefisien KS-Z 1,005 dengan p = 0,264 (> 0,05) untuk skala intensi
prososial. Sedangkan skala persepsi keharmonisan keluarga mempunyai
koefisien KS-Z 0,680 dengan p = 0,745 (> 0,05). Hasil uji normalitas ini
menunjukkan bahwa kedua skala tersebut memiliki sebaran normal.
b. Uji Linearitas
Hasil uji asumsi linearitas menunjukkan bahwa koefisien F sebesar 31,276
dengan p = 0,000 (< 0,05). Hal ini berarti hubungan antara variabel intensi
prososial dan persepsi keharmonisan keluarga memenuhi asumsi linearitas.
4. Uji Hipotesa
Data penelitian yang telah memenuhi asumsi linearitas dan normalitas kemudian
dianalisa dengan teknik korelasi Product Moment Pearson. Hasil analisa
menunjukkan koefisien korelasi r sebesar 0,512 dengan p = 0,000 (<0,01) pada
uji satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang sangat
signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dan intensi prososial. Dengan
demikian, hipotesa yang mengungkapkan ada hubungan positif antara persepsi
keharmonisan keluarga dan intensi prososial remaja diterima.
5. Analisis Tambahan
Analisa tambahan menunjukkan koefisien R squared sebesar 0,262. Hasil ini
berarti bahwa persepsi keharmonisan keluarga mempunyai sumbangan efektif
16
sebesar 26,2% terhadap variabel intensi prososial, sedangkan sisanya sebesar
73,8% merupakan pengaruh dari faktor-faktor lain.
Pembahasan
Tujuan penelitian yang ingin mengetahui apakah ada hubungan positif antara
persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja berhasil diungkap
melalui analisa statistik dari data-data yang diperoleh. Perhitungan statistik yang
telah dilakukan memperoleh hasil koefisien korelasi r sebesar 0,512 dengan p =
0,000 (<0,01) pada uji satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif
yang sangat signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi
prososial remaja. Hal ini berarti bahwa persepsi keharmonisan keluarga sebagai
variabel bebas dapat menjadi salah satu indikator tingkat intensi prososial remaja.
Dari deskripsi data penelitian ini diperoleh hasil intensi prososial tersebut
memiliki rerata empirik 110,1444 dan rerata hipotetik 87,5 maka diketahui bahwa
rerata empirik intensi prososial lebih besar daripada rerata hipotetiknya. Hal ini
menunjukkan bahwa subjek cenderung memiliki intensi prososial yang tinggi.
Pada deskripsi data persepsi keharmonisan keluarga diperoleh hasil rerata
empirik 118,1000 dan rerata hipotetik 97,5 maka rerata empirik juga lebih besar
daripada rerata hipotetik. Hal ini juga menunjukkan persepsi keharmonisan keluarga
yang dimiliki subjek cenderung tinggi.
Subjek pada penelitian ini sendiri sebagian besar masuk pada kategori yang
memiliki intensi prososial tinggi, yaitu 67 orang (74,4%) dan persepsi keharmonisan
keluarga yang juga tinggi, yaitu 53 orang ( 58,9%). Hal ini menunjukkan bahwa anak
yang tumbuh pada lingkungan keluarga yang harmonis akan menjadi remaja yang
17
memiliki intensi prososial yang baik. Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Brooks
(2004) bahwa kondisi keluarga yang harmonis akan membuat anak dapat melihat
bahwa manusia harus saling mengasihi, berbagi, dan saling tolong-menolong
Orangtua dapat menjadi contoh bagi anak-anak mereka dalam mengembangkan
perilaku prososial. Anak belajar untuk mengasihi, berbagi, bekerja sama, tolongmenolong, perhatian dan peduli pada orang lain dari kedua orangtuanya.
Selain itu, adanya pembinaan IMTAQ yang diberikan sekolah juga dapat
menjadi sarana dalam mengembangkan perilaku prososial subjek, yaitu dengan
adanya pendalaman pengetahuan agama, di sana dapat dijelaskan bahwa agam
mengajarkan manusia untuk dapat saling mengasihi, peduli, dan tolong-menolong
dengan sesamanya. Berdasarkan orientasi kancah diketahui bahwa siswa-siswi di
SMAN 2 Kota Bekasi diwajibkan untuk memilih salah satu atau lebih ekstrakulikuler
yang ada di sekolah, ekstrakulikuler dapat dijadikan tempat untuk mengembangkan
perilaku prososial mereka. Pada kegiatan ekstrakulikuler yang diikutinya anak dapat
belajar untuk dapat mengasihi, berbagi, bekerja sama, perhatian, tolong-menolong,
dan peduli dengan apa yang dialami oleh temannya.
Menurut penulis sendiri peran keluarga khususnya orangtua tetap yang
paling penting dalam mengembangkan perilaku prososial anak, karena sejak baru
lahir hingga anak siap untuk berinteraksi dengan orang di luar lingkungan
keluarganya, anak mendapatkan pendidikan, pengetahuan dan contoh dari keluarga
khususnya orangtua, seperti dalam penelitian yang dilakukan Kerr, dkk (2003) yang
menggunakan subjek remaja Latin berusia14-19 tahun. Penelitian ini menunjukkan
hasil bahwa keterlibatan keluarga dapat mempengaruhi perilaku prososial anak.
18
Rendahnya keterlibatan keluarga maka akan menguatkan keterlibatan anak pada
pesta minuman keras, penggunaan ganja, pesta-pesta, dan tindakan kekerasan
pada orang lain. Kuatnya monitoring orangtua dan kultur sosial yang dianut anak
akan mempengaruhi kuatnya minat anak untuk menjadi tenaga sukarelawan pada
kegiatan sosial dan perilaku prososial lainnya.
Pada analisis tambahan penelitian ini diketahui bahwa sumbangan efektif
yang diberikan oleh persepsi keharmonisan keluarga terhadap tingkat intensi
prososial remaja tidaklah cukup besar, yaitu hanya 26,2% saja. Artinya, ada faktorfaktor lain sebesar 73,8% yang mempengaruhi tingkat intensi prososial remaja.
Faktor-faktor tersebut antara lain menurut Syafriman dan Wirawan (2004) adalah
faktor situasional, seperti kehadiran orang lain dan faktor tanggung jawab, Selain itu,
ada faktor dari si penerima bantuan, seperti karakteristik yang memerlukan
pertolongan dan kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, atau
faktor-faktor lainnya.
Secara keseluruhan, penulis mengakui bahwa penelitian ini masih
mempunyai banyak kelemahan, antara lain: skala persepsi keharmonisan keluarga
yang digunakan tidak mengungkap data apakah subjek berasal dari keluarga yang
utuh atau berantakan (broken-home), sehingga keharmonisan keluarga yang ada
belum begitu akurat untuk mengukur keharmonisan keluarga dalam arti yang paling
ideal. Selain itu, jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian masih tergolong
sedikit dibandingkan populasi remaja yang begitu banyak, perbandingan subjek
berdasarkan jenis kelamin yang tidak seimbang serta rentang usia subjek penelitian
yang kurang bervariatif. Oleh karena itu, demi generalisasi hasil penelitian yang lebih
19
akurat, hendaknya penelitian yang akan datang lebih memperhatikan hal-hal
tersebut.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang sangat
signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja.
Artinya, semakin tinggi tingkat persepsi keharmonisan keluarga, maka semakin
tinggi tingkat intensi prososial remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat persepsi
keharmonisan
keluarga, maka semakin rendah tingkat intensi prososial remaja.
Sumbangan efektif persepsi keharmonisan keluarga terhadap variabel intensi
prososial sebesar 26,2%.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang
dapat penulis berikan berkaitan dengan proses dan hasil yang diperoleh dari
penelitian ini. Saran-saran tersebut, antara lain:
1. Bagi Praktisi Psikologi
Dengan latarbelakang ilmiah yang mendasarinya, kiranya para praktisi
psikologi dapat mulai mengkampanyekan pentingnya keharmonisan keluarga
dalam kaitannya dengan tingkat intensi prososial remaja. Selain itu, penanganan
terhadap remaja-remaja yang mengalami krisis akibat tumbuh di lingkungan
keluarga yang harmonis agar mulai dilakukan dengan pendekatan yang lebih
terpadu, yang melibatkan keberadaan keluarganya secara nyata.
2. Bagi Orangtua
20
Agar terus dilakukan upaya-upaya nyata di lingkungan keluarganya
masing-masing untuk membentuk keluarga yang berfungsi seutuhnya di era
modern ini, karena arti dan keberadaan keluargalah yang pada akhirnya
menentukan kualitas remaja. Keluargalah yang membentuk remaja apakah
remaja tersebut tumbuh menjadi remaja yang berguna bagi agama, lingkungan
sekitar, bangsa dan negaranya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema serupa,
hendaknya lebih memperbanyak jumlah subjek penelitian dengan komposisi
jenis kelamin yang relatif seimbang, kelompok usia yang lebih variatif, riwayat
keutuhan keluarga yang lebih lengkap, serta laporan perilaku prososial orangtua
subjek pada orang-orang di lingkungan sekitarnya sehingga generalisasi hasil
penelitian dapat dilakukan secara lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
Azwar, S. 2004. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
Baron, R. A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jilid 2.Edisi Kesepuluh. Jakarta :
Penerbit Erlangga
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Kedua. Jakarta : Balai Pustaka
Duncan, dkk. 2002. Relation Between Youth Antisocial and Prosocial Activities.
http://www.proquest.umi.com.23/2/07
Gerungan, W. A. 1988. Psikologi Sosial. Bandung : P.T Eresco
Hastings, dkk. 2005. Links among Gender, Inhibition, and Parental Socialization in
the
Developmental
of
Prosocial
Behavior.
http://www.proquest.umi.com.23/2/07
Hawari, D. 1999. Alqur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
PT. Dana Bhakti Prima Yasa
Kerr, M. H, dkk 2003. Family Involvement, Problem and Prococial Behavior
Outcomes of Latino Youth. http://www.proquest.umi.com.23/2/07
Sarwono, S. W. 2002. Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada
Shaffer, D. R. 1994. Social & Personality Development. Third Edition. Brook/Cole
Publishing Company. California : Pacific Grove
Syafriman & Wirawan, Y.G. 2004. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial
Antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa.
http://www.depsos.go.id.13/1/07
Download