Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan suatu negara. AKB merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan milenium ke-4. Target MDGS 2015 adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1000 kelahiran hidup (WHO, 2012). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan (Proverawati & Ismawati, 2010). Berat badan lahir rendah merupakan penentu utama kematian, penyakit dan kecacatan pada neonatus dan memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan. Menurut badan kesehatan dunia (WHO) jumlah total kematian bayi pada tahun 2011 adalah sebanyak 6,9 juta atau sebesar 51 per 1000 kelahiran hidup dan lebih dari tiga juta bayi meninggal setiap tahun di bulan pertama kehidupan mereka, ¼ sampai ½ dari semua kematian terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan, dan 75% terjadi pada minggu pertama. Berdasarkan data estimasi UNICEF, WHO, dan World Bank Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia pada tahun 2012 mencapai 39,5/1000 kelahiran hidup. Secara terperinci, penyebab utama kematian pada balita di dunia diantaranya adalah karena pneumonia (18%), premature / BBLR (14%), diare (11%), asfiksia (9%) (WHO, 2012 ). Prevalensi BBLR di perkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di daerah multicenter diperoleh angka BBLR dengan rentang 2,1%-17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka kejadian BBLR sekitar 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7% (Pantiawati, 2010). Tahun 2009, angka kematian bayi baru lahir di Indonesia mencapai 30 per 1000 kelahiran hidup (KH). Angka kematian bayi (AKB) di Propinsi Lampung tahun 2005-2007 mengalami peningkatan. Tahun 2005 tercatat 28 per 1000 KH, menjadi 28,5 per 1000 KH pada tahun 2006 dan naik menjadi 43 per 1000 KH pada tahun 2007 (Dinkes Propinsi Lampung, 2009). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dijelaskan bahwa BBLR merupakan salah satu penyebab kematian pertama pada bayi baru lahir. Urutan penyebab kematian pada bayi di Provinsi Lampung di antaranya yaitu BBLR: 28,42%, Asfiksia: 34,19%, Pneumonia :3,63%, Diare :1,71%, TN :0,64% dan lain-lain : 31,41%. Jumlah BBLR di Provinsi Lampung selama tiga tahun (2005-2007) mengalami peningkatan dari 2.210, 2.536, sampai 3.060 kejadian BBLR. Tahun 2008 terjadi penurunan dengan 1.390 kejadian, dan di tahun 2009 mengalami sedikit peningkatan yaitu 1.976 kejadian BBLR. Cakupan BBLR yang ditangani di Provinsi Lampung mencapai 82,39% dan belum mencapai dari target yang diharapkan yaitu 100% (Dinkes Propinsi Lampung, 2009). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Utara diketahui bahwa angka kejadian BBLR pada bulan Januari – Desember 2007 mencapai 27 kasus, tahun 2008 mencapai 32 kasus, tahun 2009 mencapai 186 kasus, tahun 2010 mencapai 10 kasus, dan di tahun 2011 mencapai 32 kasus kejadian BBLR (Dinkes Lampung Utara, 2011). Penyebab terjadinya BBLR secara umum bersifat multifaktorial, sehingga kadang mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan pencegahan. Namun, penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran premature. Semakin muda usia kehamilan semakin besar resiko jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan bayi BBLR secara umum, meliputi; penyakit pada ibu (hipertensi, anemia, preeklamsia / eklamsia), usia <20 tahun atau >35 tahun, paritas, jarak kehamilan terlalu dekat, riwayat BBLR, sosial ekonomi, rokok, alkohol, narkotik, kelainan kromosom (trisomy autosomal), infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan), disautonomia familial, radiasi, kehamilan ganda/kembar (gamely), aplasia pancreas, faktor plasenta, dan faktor lingkungan (Proverawati, dkk 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011) tentang “Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Timur dan Utara Kota Singkawang” menunjukkan bahwa pada hasil analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian BBLR adalah Indeks Massa Tubuh (OR=5,4; 1,07-27,29), status anemia, Lingkar Lengan Atas (OR=7,9; 1,85-33,95), pertambahan berat badan (OR=6,6; 1,30-33,01), dan paritas (OR=5,30; 1,24-22,56). Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuni Asih, dkk (2006) tentang Hubungan Antara Preeklamsia pada Primigravida dengan Berat Badan Lahir Rendah di RSUD Cilacap diketahui bahwa dari hasil penelitian diperoleh data bahwa ibu yang menderita Preeklampsia dan melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 51,9 %, dan yang tidak melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 40,9%. Uji Chi Square menunjukan adanya hubungan antara Preeklampsia pada primigravida dengan kejadian BBLR (p< 0,05).