Determinan Inflasi Indonesia: Jangka Panjang dan

advertisement
Determinan Inflasi Indonesia:
Jangka Panjang dan Pendek
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Ardianing Pratiwi
0810210032
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul :
Determinan Inflasi Indonesia: Analisis Jangka Panjang dan Pendek
Yang disusun oleh :
Nama
:
Ardianing Pratiwi
NIM
:
0810210032
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
:
S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 31 Januari 2013
Malang, 1 Februari 2013
Dosen Pembimbing,
Ferry Prasetyia, SE., M.App.Ec.Int.
NIP. 19801228 200501 1 002
Determinan Inflasi Indonesia: Analisis Jangka Panjang dan Pendek
Ardianing Pratiwi
Ferry Prasetyia
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pergarakan inflasi di Indonesia dikenal memiliki fluktuasi yang cukup tinggi dan bersifat
persisten. Pemahaman mengenai karakteristik dan sumber guncangan yang dapat memicu inflasi
dapat digunakan sebagai landasan dalam merumuskan suatu kebijakan moneter yang efektif dan
konsisten pengendalian stabilitas inflasi, sebagai tujuan akhirnya. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis determinan inflasi di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek,
dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Data dalam bentuk time
series selama periode 2002-2011 dan diperoleh dari publikasi Bank Indonesia dan Bank Dunia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut estimasi VECM, dalam jangka panjang
inflasi di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh keempat variabel independen, yaitu suku
bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai tukar dan konsumsi rumah tangga. Semua variabel
memiliki pengaruh negatif, kecuali hubungan positif yang ditunjukkan oleh variabel nilai tukar.
Dalam jangka pendek, kenaikan BI rate dan depresiasi nilai tukar memiliki pengaruh signifikan
dan positif terhadap laju inflasi. Berdasarkan hasil IRF, inflasi merespon secara cepat perubahan
keempat variabel, satu periode setelah shock muncul. Variance decomposition menunjukkan
bahwa, secara berurutan inflasi dipengaruhi oleh besarnya kontribusi perubahan suku bunga, nilai
tukar, jumlah uang beredar dan konsumsi rumah tangga.
Kata kunci: Tingkat inflasi, suku bunga, jumlah uang beredar, nilai tukar, konsumsi rumah tangga.
A.
LATAR BELAKANG
Inflasi merupakan salah satu indikator penting bagi ekonom dalam menganalisis
perekonomian suatu negara. Inflasi memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pencapaian
beberapa tujuan kebijakan makro, seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, distribusi
pendapatan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Pohan, 2008). Dampak lain yang ditimbulkan
oleh inflasi juga dirasakan pada lalu lintas pasar keuangan karena berpengaruh secara langsung
terhadap agregat moneter.
Fenomena inflasi merupakan masalah klasik bagi perekonomian yang hingga saat ini masih
memberikan trauma mendalam. Menurut sejarah perkembangannya, fluktuasi inflasi Indonesia
tergolong cukup bervariasi dari waktu ke waktu dan bersifat persisten (Dwiantoro, 2004). Pada
dasarnya fenomena inflasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor eksternal dan internal,
baik yang berpengaruh secara langsung ataupun tidak. Menurut Candra (2006) inflasi yang rendah
mampu mendorong negara dalam meningkatkan kapasitas outputnya, namun di sisi lain inflasi
yang tinggi juga menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan suatu
upaya dalam rangka menjaga inflasi pada level yang rendah dan stabil. Dengan menjaga stabilitas
inflasi, pelaku ekonomi akan merasa lebih nyaman dalam melakukan aktivitas ekonominya,
sehingga dapat membawa dampak positif pada perekonomian yang tercermin melalui peningkatan
pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran
(Pohan, 2008). Dengan kata lain, pencapaian stabilitas inflasi merupakan langkah awal untuk
mencapai stabilitas nasional.
Upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi dituangkan dalam Undang-undang No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diamandemen menjadi Undang-undang No. 3
Tahun 2004 Pasal 7, yang menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan
sasaran tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dengan kata lain,
kebijakan moneter lebih difokuskan untuk mengendalikan fluktuasi tingkat harga agar tidak
memicu tekanan inflasi melalui berbagai instrumen dan strategi kebijakan. Menurut Alan
Greenspan, pergerakan inflasi yang lunak dan dianggap tidak membahayakan adalah pada rentang
± 3% per tahun (Samuelson dan Nordhaus, 2004). Sedangkan menurut Abdullah (2003),
berdasarkan data historis inflasi Indonesia, Bank Indonesia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi
yang optimal untuk Indonesia adalah pada kisaran 4%-6% per tahun.
Strategi kebijakan pengendalian inflasi yang dilaksanakan Bank Indonesia dengan
menargetkan inflasi pada angka tertentu dengan range deviasi +1% dikenal dengan istilah ITF
(inflation targeting framework). Strategi kebijakan ini diarahkan untuk mencapai kestabilan harga
dalam jangka panjang, namun tetap memberikan ruang gerak pada inflasi melalui pengaturan
instrumen kebijakan jangka pendek. ITF diresmikan pada tahun 2005, meskipun secara aplikatif
pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2000. Penargetan inflasi dilaksanakan dengan tujuan
mengarahkan ekspektasi dan menjadi acuan bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas
ekonominya ke depan, sehingga pergerakan inflasi dapat diarahkan menuju target yang telah
ditetapkan. Tabel 1.1 berikut menunjukkan pencapaian tingkat inflasi sejak tahun 2000.
Tabel 1.1: Perbandingan Inflasi Aktual dan Target Inflasi
Tahun
Target Inflasi
Inflasi Aktual (yoy)
2000
3% - 5%
9,4%
2001
4% - 6%
12,55%
2002
9% - 10%
10,03%
2003
9 +1%
5,06%
2004
5,5 +1%
6,40%
2005
6 +1%
17,11%
2006
8 +1%
6,60%
2007
6 +1%
6,59%
2008
5 +1%
11,06%
2009
4,5 +1%
2,78%
2010
5+1%
6,96%
2011
5+1%
3,79%
Sumber : Bank Indonesia
Dalam Tabel 1.1 di atas dapat diamati bahwa inflasi aktual masih berada di bawah, bahkan di
atas angka yang ditargetkan. Tidak tercapainya sasaran tersebut menunjukkan bahwa penghitungan
yang dilakukan kurang tepat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan
ketidakpastian arah pergerakan inflasi akibat masih tingginya ekspektasi dari pelaku ekonomi.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum kinerja ITF belum menunjukkan hasil optimal dalam
pelaksanaannya. Upaya Bank Indonesia dalam melakukan penargetan inflasi yang forward looking
sebenarnya sudah cukup bagus dengan tujuan untuk mengarahkan pergerakan inflasi ke depan.
Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan kebijakan moneter menghadapi tantangan yang cukup
berat dalam mencapai target tersebut. Fundamental ekonomi yang belum kokoh dan kuatnya
pengaruh eksternal dalam beberapa periode terakhir membuat inflasi cukup rentan untuk
berfluktuasi.
Otoritas moneter mampu mengontrol shock internal, namun tidak dapat
mengantisipasi pengaruh dari luar sehingga berimbas pada pembentukan harga dalam negeri.
Dalam 1 dekade terakhir, meningkatnya kompleksitas hubungan antara inflasi dengan
beberapa variabel makro lain menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan dalam mengamati
perilaku pembentukan harga di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mengidentifikasi dan
memprediksi sumber-sumber perubahan (shock) yang dapat memicu tekanan inflasi. Merujuk pada
penelitian yang pernah dilakukan oleh Anugrah (2012), Arintoko (2011), Endri (2008), Hayati
(2006) dan Dwiantoro (2004) untuk studi kasus Indonesia, diperoleh hasil penelitian yang
mengidentifikasi bahwa suku bunga jangka pendek, nilai tukar, ekspektasi inflasi, output gap, serta
harga atau inflasi luar negeri berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, baik
dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Pertumbuhan jumlah uang beredar turut
mempengaruhi pergerakan inflasi dalam jangka panjang. Variabel lain yang juga signifikan dalam
mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek adalah upah tenaga kerja. Sedangkan untuk studi
kasus negara-negara lain yang pernah dilakukan oleh Akinbobola (2012), Sultan (2011) Yiping, et
al (2010), Almounsor (2010), Ziramba (2008) dan Ratnasiri (2006) hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat inflasi banyak dipengaruhi oleh money supply, nilai tukar, inflasi luar negeri,
ekspor, dan PDB riil baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Tingkat inflasi juga
dipengaruhi oleh konsumsi atau permintaan domestik dalam jangka panjang dan dalam jangka
pendek inflasi dipengaruhi oleh output gap.
Mengingat belum optimalnya pelaksanaan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi,
maka untuk merumuskan sebuah kebijakan yang kredibel perlu dilakukan pengidentifikasian
sumber pemicu serta pemahaman mengenai karakteristik inflasi di Indonesia. Gali (2002)
menganalogikan bahwa dalam melakukan kebijakan inflation targeting sama halnya dengan
melakukan sebuah pelayaran, di mana inflasi yang ditargetkan merupakan tujuan dari pelayaran
tersebut. Aturan kebijakan merupakan cara untuk mencapai tujuan. Dan untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan kemampuan dalam menganalisis dari manakah sebuah serangan akan datang,
kemungkinan pergerakan arah angin, dan bagaimana menjaga keseimbangan layar. Sama halnya
dengan melaksanakan kebijakan stabilitas inflasi. Dengan melakukan pemahaman karakter dan
sumber inflasi, maka diharapkan perumusan strategi kebijakan moneter dapat ditentukan sehingga
pelaksanaannya dapat dilakukan secara tepat dan efektif dalam mencapai tujuan. Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan dan beberapa permasalahan yang melatarbelakangi pelaksanaan
penelitian ini, maka rumusan masalah yang ingin diungkap adalah determinan apa sajakah yang
mempengaruhi tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang?
B. KAJIAN PUSTAKA
Karena pergerakan inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh variabel moneter, namun juga
dipengaruhi oleh variabel riil, maka inflasi diamati sebagai fenomena yang dihasilkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat. Atas dasar pemikiran tersebut,
pembagian inflasi berdasarkan determinannya, yaitu:
Demand Pull Inflation
Demand pull inflation terjadi karena kuat dan pesatnya peningkatan aggregate demand
masyarakat sehingga melebihi kapasitas penawaran agregat yang diproduksi. Jumlah produksi
tidak dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif singkat karena terbatasnya investasi modal dan
teknologi dalam jangka pendek, sehingga kapasitas produksi tidak mampu mengimbangi besarnya
peningkatan permintaan masyarakat (Nanga, 2005). Akibatnya, terjadi persaingan antarpelaku
ekonomi untuk merebutkan keterbatasan output tersebut sehingga mendorong kenaikan harga
secara umum dan terciptalah inflasi.
Samuelson dan Nordhaus (2004) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penting terjadinya
inflasi ini karena disebabkan oleh pertumbuhan volume jumlah uang beredar yang cepat. Ketika
pendapatan masyarakat meningkat dan diikuti oleh kenaikan permintaan agregat, namun tidak
diimbangi dengan peningkatan output yang diproduksi, maka harga-harga umum akan naik.
Kebijakan moneter memiliki peran penting melalui pengaruhnya terhadap konsumsi, produksi dan
investasi. Faktor lain yang mempengaruhi inflasi jenis ini adalah perubahan yang bersifat shock
dari kebijakan fiskal, permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen, serta
efisiensi dan produktivitas perekonomian.
Thanh (2008) menjelaskan bahwa ketika pertumbuhan permintaan agregat dalam
perekonomian melebihi penawaran agregatnya, maka harga akan cenderung naik dan dapat
memicu inflasi. Permintaan agregat terdiri dari seluruh pengeluaran dalam perekonomian seperti:
AD = C + I + G (X - M)
di mana C adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga, I adalah pengeluaran investasi, G adalah
pengeluaran pemerintah, serta X dan M merefleksikan pengeluaran untuk ekspor dan impor.
Meningkatnya permintaan agregat disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berpengaruh secara
langsung ataupun tidak. Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik mencerminkan
semakin meningkatnya pendapatan nasional. Meningkatnya pendapatan mendorong peningkatan
pengeluaran yang dilakukan masyarakat sehingga meningkatkan permintaan agregat. Permintaan
yang tumbuh pesat melebihi output potensialnya akan menjadi permintaan yang inflasioner.
Cost Push Inflation
Cost push inflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan biaya input
produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan efisiensinya, sehingga
perusahaan menyesuaikan supply barang atau merubah harga jual produksinya (Nanga, 2005).
Inflasi penawaran juga mencakup supply shocks inflation yang dapat memicu kenaikan harga pada
penawaran barang (Samuelson dan Nordhaus, 2004). Faktor kejutan (shock) yang termasuk dalam
inflasi ini adalah pada saat terjadi kenaikan harga komoditas internasional termasuk harga minyak
mentah dunia, kenaikan harga domestik melalui kontrol pemerintah, kenaikan harga bahan
makanan karena shock produksi yang disebabkan gangguan iklim dan cuaca, atau kenaikan harga
barang impor karena adanya depresiasi nilai tukar.
Kajian teoritis yang menjelaskan tentang fenomena inflasi selalu berubah dan berkembang
sesuai dengan pemikiran-pemikiran para ekonom yang membuat landasan teori berdasarkan
pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beberapa teori inflasi yang masih
diperdebatkan antara lain:
Teori Moneteris
Teori Moneteris merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas yang diusung oleh ekonom
klasik. Teori ini menekankan pada pentingnya peranan uang dan ekspektasi masyarakat terhadap
kenaikan harga yang dapat memicu tekanan inflasi. Dasar pemikiran yang terkandung dalam teori
ini adalah inflasi akan terjadi apabila terjadi penambahan volume uang beredar yang melebihi
kapasitas dan pergerakan inflasi yang ditentukan oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan
harga di masa yang akan datang.
Dengan demikian, dalam teori kuantitas, faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan
harga yang terjadi di dalam perekonomian adalah jumlah uang yang beredar di masyarakat. Fisher
dalam Mankiw (2003) menggambarkan hubungan tersebut melalui persamaan kuantitas berikut:
MxV=PxY
di mana M adalah jumlah uang beredar (JUB), V adalah kecepatan perputaran uang, P adalah
tingkat harga umum, dan Y adalah output. Dalam persamaan tersebut, P proporsional dengan M
dan Y. Karena perubahan pada V dianggap konstan, maka peningkatan JUB akan berdampak pada
kenaikan tingkat harga. Moneteris menyatakan bahwa bank sentral memiliki kendali tertinggi atas
inflasi. Jika bank sentral mengontrol pertumbuhan JUB tetap stabil, maka tingkat harga juga akan
stabil. Namun jika bank sentral menambah volume JUB dengan cepat, maka tingkat harga akan
meningkat dengan cepat pula sehingga mendorong kenaikan inflasi (Nanga, 2005). Jadi, klasik dan
moneteris memandang bahwa inflasi adalah fenomena moneter.
Dalam jangka panjang tingkat pertumbuhan uang secara terus-menerus, ketika semua
penyesuaian dilakukan, akan menyebabkan kenaikan yang sama pada tingkat inflasi. Tingkat
inflasi sama dengan tingkat pertumbuhan yang disesuaikan dengan trend pertumbuhan pendapatan
riil. Adanya gangguan-gangguan selain dari shock pertumbuhan uang (misal gejolak penawaran)
turut mempengaruhi inflasi dan dalam jangka panjang uang memiliki dampak riil (Thanh, 2008).
Teori Keynes
Dasar pemikiran teori Keynes menekankan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin
hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif terhadap
barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran
agregat). Excess demand ini menyebabkan munculnya inflationary gap. Keterbatasan penawaran
agregat terjadi karena output tidak dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif singkat untuk
mengimbangi kenaikan permintaan agregat.
Dalam teori ini, pergerakan inflasi cenderung meningkat dalam jangka pendek karena
perubahan output relatif tetap dalam jangka pendek. Keynes mengungkapkan bahwa JUB
bukanlah satu-satunya determinan tingkat harga. Dalam jangka pendek, tingkat harga juga
dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran investasi, pengeluaran
pemerintah, dan pajak (Nanga, 2005). Atas dasar uraian tersebut, pandangan Keynes lebih banyak
digunakan untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek
Mengacu pada teori kuantitas, Keynes menyatakan bahwa perputaran uang (V) tidak konstan
dan berubah-ubah. Apabila masyarakat lebih banyak memegang uang (JUB meningkat), maka
masyarakat cenderung untuk meningkatkan transaksinya dan menuntut penawaran output yang
lebih besar. Namun karena keterbatasan output dalam jangka pendek, maka kenaikan permintaan
hanya akan memicu kenaikan harga. Dengan kata lain, penambahan JUB dalam perekonomian
dapat meningkatkan inflasi (Nanga, 2005).
Teori Struktural
Teori yang banyak diadopsi oleh negara berkembang ini menjelaskan bahwa inflasi bukan
hanya fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural. Hal ini disebabkan karena
perekonomian negara berkembang pada umumnya masih rentan terhadap shock internal dan shock
eksternal yang menyebabkan fluktuasi pembentukan harga di pasar domestik. Jadi, menurut kaum
strukturalis, inflasi merupakan sesuatu yang melekat di dalam proses pembangunan ekonomi dan
tidak dapat dihindari oleh perekonomian negara berkembang (Nanga, 2005).
Dasar pemikiran model ini adalah kenaikan tingkat harga yang ditransmisikan melalui supply
side atau produksi. Penyebab lain terjadinya inflasi di negara berkembang adalah akibat dari inflasi
luar negeri (imported inflation). Jika kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik
sangat besar, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi domestik yang
cukup besar (Gali, 2002). Rendahnya nilai tukar negara berkembang juga mempengaruhi
pergerakan inflasi domestik. Kecenderungan nilai tukar mata uang negara berkembang untuk
terdepresiasi menyebabkan kenaikan harga barang impor dan semakin menekan biaya produksi
sehingga meningkatkan harga barang secara umum dalam pasar domestik.
Keterkaitan Inflasi dengan Variabel Makro
Inflasi secara umum menggambarkan proses kenaikan harga yang ditentukan oleh
determinannya, baik dalam jangka panjang dan maupun jangka pendek. Otoritas moneter
berkoordinasi dengan pemerintah melaksanakan kebijakan moneter yang disinergikan dengan
kebijakan makro lain dan bertujuan untuk mengendalikan pergerakan inflasi. Stabilitas inflasi
dapat terganggu apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel ekonomi yang dapat memicu
kenaikan harga secara umum. Beberapa veriabel makro yang dapat diidentifikasi hubungannya
dengan inflasi dapat dijelaskan sebagi berikut:
Keterkaitan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi
Suku bunga juga merupakan harga (opportunity cost) yang harus dibayarkan atas uang yang
dipegang dalam kurun waktu tertentu. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu dalam
membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk aset finansial. Suku
bunga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Suku bunga nominal, yaitu rate yang dapat
diamati oleh pasar. (2) Suku bunga riil, yaitu konsep yang mengukur tingkat bunga sesungguhnya,
setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.
Hubungan antara tingkat suku bunga dengan tingkat inflasi dijelaskan oleh Fisher (dalam
Mankiw, 2003) melalui persamaan:
i=r+
di mana i adalah suku bunga nominal, r adalah suku bunga riil, dan  adalah tingkat inflasi. Dalam
persamaan tersebut, suku bunga nominal memiliki hubungan positif dan searah dengan inflasi.
Ketika tingkat inflasi tinggi, otoritas moneter menaikkan suku bunga nominal jangka
pendeknya dengan tujuan mengurangi jumlah uang yang beredar dalam perekonomian sehingga
dapat menurunkan inflasi. Apabila kebijakan disinflasi yang dilaksanakan oleh otoritas moneter
dapat berjalan secara konsisten, maka dampak kenaikan suku bunga terhadap penurunan likuiditas
pada sektor riil akan direduksi dengan menurunnya harga-harga barang konsumsi. Namun dalam
praktiknya, suku bunga nominal jangka pendek diatur untuk mengarahkan pergerakan suku bunga
perbankan. Apabila kenaikan suku bunga nominal direspon oleh suku bunga tabungan dan kredit
pada bank umum (suku bunga kredit meningkat di atas tingkat suku bunga BI rate), peningkatan
suku bunga tersebut dapat menurunkan investasi di sektor riil sehingga berdampak pada penurunan
output. Penurunan output merupakan dampak dari kenaikan biaya produksi karena tingginya suku
bunga yang berlaku, sehingga dapat memicu kenaikan harga dan semakin menekan inflasi.
Keterkaitan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi
Berdasarkan teori kuantitas, fluktuasi yang terjadi pada harga disebabkan oleh naik turunnya
volume uang yang beredar (JUB) dalam perekonomian. Irving Fisher menyatakan bahwa, “pada
hakikatnya perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama
cepatnya atas harga”, yang berarti peningkatan persentase jumlah uang beredar akan sama dengan
peningkatan persentase tingkat inflasi (Mankiw, 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah
uang beredar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Peningkatan jumlah uang beredar yang
berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat harga yang dapat diprediksikan
oleh perekonomian, dan dalam jangka panjang hal tersebut dapat berpotensi menganggu
pertumbuhan ekonomi karena tingginya laju inflasi.
Keterkaitan Nilai Tukar dengan Inflasi
Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata uang suatu negara terhadap mata
uang negara lain. Nilai tukar mempengaruhi net expor dan menjelaskan bagaimana perubahan
harga luar negeri berdampak pada harga domestik (Gali, 2002). Hubungan nilai tukar terhadap
perubahan tingkat harga dapat dijelaskan oleh persamaan berikut (Mankiw, 2003):
Kurs Nominal = Kurs Riil x Rasio Tingkat Harga
e = E x (P*/P)
di mana P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga luar negeri. Persamaan
tersebut menunjukkan bahwa nilai tukar nominal (e) memiliki hubungan positif dengan tingkat
harga domestik (P).
Depresiasi atau kenaikan nominal nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang negara lain
akan meningkatkan harga barang impor karena melemahnya nilai tukar mata uang suatu negara.
Jika kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap perekonomian, khususnya terhadap
proses produksi, maka depresiai nilai tukar mata uang dapat meningkatkan biaya produksi
sehingga menyebabkan kenaikan tingkat harga domestik dan memicu kenaikan inflasi.
Keterkaitan Konsumsi Rumah Tangga dengan Inflasi
Di dalam model Keynes, faktor yang menentukan pembentukan tingkat harga tidak hanya
berasal dari pertumuhan uang saja. Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi
ekonominya (Mankiw, 2003). Keinginan untuk melakukan konsumsi menimbulkan permintaan
atas barang dan jasa yang diproduksi. Mengingat peran konsumsi sangat penting dalam
menggerakkan roda perekonomian Indonesia, maka fluktuasi dalam konsumsi dapat memberikan
guncangan dalam perekonomian.
Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka panjang dan jangka pendek karena
perannya dalam menentukan permintaan agregat. Persamaan permintaan agregat diturunkan dari
teori kuantitas. Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi (permintaan agregat) akan
menentukan nilai nominal output yang merupakan produk dari tingkat harga dan jumlah output
yang diminta, dan tidak akan menaikkan tingkat harga karena perusahaan cenderung untuk
menyesuaikan outputnya dari pada merubah harga produknya (pandangan Keynesian). Sementara
dalam jangka panjang, kenaikan permintaan akan meningkatkan output dan tingkat harga karena
kecenderungan perusahaan untuk berekspansi ke depan (pandangan moneteris).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder berbentuk time series dari tahun 20022011. Data diperoleh dari dari website, jurnal atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu. Data
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dalam penelitian
ini, antara lain Bank Indonesia dan Bank Dunia.
Analisis data dilakukan dengan Metode VECM sebagai alat ekonometrika perhitungannya
serta di gunakan juga metode analisis deskriptif bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka
panjang dan jangka pendek yang terjadi karena adanya kointegrasi diantara variabel penelitian.
Sebelum melakukan estimasi VECM dan analisis deskriptif, harus dilakukan beberapa tahapan
seperti uji stasionesritas data, menentukan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Setelah data
diestimasi menggunakan VECM, analisis dapat dilakukan dengan metode IRF dan variance
decomposition.
Adapun bentuk persamaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan:
Untuk jangka pendek:
Sedangkan untuk jangka panjang, persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk jangka panjang
sebagai berikut:
log(inf)t = α0 + α1 log(bir)t + α2 log(m2)t + α3 log(er)t + α4 log(crt)t + ut
Di mana,
inf = inflasi
bir = BI rate
m2 = jumlah uang beredar
er = nilai tukar IDR/USD
crt = konsumsi rumah tangga
t = periode ke-t
α1, α2, α3, α4 = koefisien variabel
α0 = konstanta
ut = variabel error
 = koefisien kecepatan penyesuaian
j = panjang lag dalam model = 0,1,2,...,k
ect-1 = error correction term
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam rangka untuk mendeskripsikan obyek penelitian secara lebih mendalam, maka di
bawah ini akan dijelaskan gambaran secara umum mengenai perkembangan inflasi di Indonesia
beserta determinannya.
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Bagi sebagian besar negara berkembang, fenomena inflasi masih menjadi salah satu ancaman
yang meresahkan para pelaku ekonomi. Kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum
yang berdampak pada stabilitas ekonomi mencerminkan tingkat inflasi yang terjadi di suatu
negara. Dalam penelitian ini, indeks harga konsumen (IHK) merupakan indikator yang digunakan
untuk menggambarkan pergerakan harga tersebut. Inflasi IHK merepresentasikan konsumsi atas
barang dan jasa yang diminta masyarakat secara keseluruhan dalam membentuk harga. Berikut
perkembangan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia selama periode 2002:Q1-2011:Q4
digambarkan pada Grafik 4.1.
Grafik 4.1: Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Selama periode penelitian, pergerakan laju inflasi IHK cukup stabil berada pada kisaran satu
digit angka dan pencapaiannya berada di bawah tingkat 5%, kecuali fluktuasi tajam yang terjadi
pada tahun 2005-2006 serta tahun 2008 yang merupakan dampak dari kenaikan harga minyak
dunia dan krisis keuangan global sehingga berpengaruh terhadap lonjakan harga domestik.
Pergerakan inflasi tidak terlepas dari perkembangan beberapa variabel ekonomi lain seperti nilai
tukar, permintaan masyarakat akan barang dan jasa pada periode tertentu, ketersediaan pasokan
bahan makanan, serta pergerakan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah
(administered price). Dari aspek moneter perkembangan tersebut juga tidak terlepas dari dinamika
tingkat suku bunga dan pertumbuhan jumlah uang yang diedarkan kepada masyarakat. Secara
keseluruhan, pergerakan inflasi di Indonesia selama periode penelitian memiliki trend yang
menurun. Hal ini terkait dengan pelaksanaan kebijakan stabitas nilai rupiah yang penerapannya
ditujukan untuk menjaga kestabilan tingkat inflasi. Penurunan trend inflasi mengindikasikan
bahwa penerapan kebijakan inflation targeting cukup memberikan hasil yang memuaskan. Adapun
fluktuasi tajam yang terjadi pada dua periode di dalam penelitian merupakan dampak dari adanya
guncangan dari sisi eksternal yang tidak dapat diantisipasi oleh otoritas moneter dan pemerintah.
Perkembangan Suku Bunga BI Rate
Dalam pelaksanaan stratregi kebijakan penargetan inflasi, kebijakan moneter dilaksanakan
melalui pendekatan berdasarkan harga besaran moneter dengan menggunakan suku bunga sebagai
sasaran operasionalnya. Menurut Arintoko (2008), sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23
Tahun 1999 maka Bank Indonesia mewacanakan penggunaan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter guna meningkatkan efektivitas
kebijakan moneter. Dalam perkembangannya, suku bunga SBI diubah menjadi suku bunga BI rate
yang merupakan suku bunga acuan bagi penetapan suku bunga tabungan dan suku bunga kredit.
Mulai Juli 2005, suku bunga BI rate diresmikan sebagai sinyal respon dan sasaran operasional
kebijakan moneter.
Grafik 4.2: Suku Bunga BI Rate Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Perkembangan pergerakan suku bunga BI rate digambarkan pada Grafik 4.2 di atas. Jika
dilihat dari pergerakannya, suku bunga BI rate memiliki arah pergerakan trend yang hampir sama
dengan pergerakan inflasi. Di mana pada saat suku bunga memiliki fluktuasi yang tinggi, fluktuasi
inflasi juga meningkat. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan tingkat suku
bunga memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap tingkat inflasi. Rendahnya sensitivitas
suku bunga terhadap inflasi disebabkan adanya perilaku inflasi yang cenderung persisten.
Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M2)
Variabel M2 merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas perekonomian.
Perkembangan jumlah uang beredar di Indonesia diukur dengan uang dalam arti luas (M2). Jumlah
uang beredar memiliki karakteristik selalu berfluktuasi mengikuti pergerakan pasar. Dalam jangka
panjang pertumbuhan M2 memiliki sifat inflasioner dan tidak stabil. Dalam Grafik 4.3 dapat
dilihat bahwa pergerakan M2 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedikit berbeda
dengan pergerakan inflasi yang memiliki fluktuasi dalam range yang lebih sempit. Perkembangan
jumlah uang beredar selama periode penelitian dapat dilihat pada Grafik 4.3. berikut:
Grafik 4.3: Jumlah Uang Beredar (M2) Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Grafik 4.3 menjelaskan bahwa jumlah uang beredar yang tercermin pada M2 mengalami
perubahan dengan pola dinamis selama periode penelitian. Pertumbuhan M2 memiliki
kecenderungan trend yang meningkat relatif tinggi sejak periode 2002-2011. Dalam
perkembangannya, dapat ditunjukkan bahwa peningkatan pesat untuk pertumbuhan M2 terjadi
pada tahun-tahun ketika terjadi gejolak ekonomi, seperti pada tahun 2005 dan 2008. Tingkat
pertumbuhan M2 memiliki volatilitas yang cukup tinggi. Namun demikian, total pertumbuhan M2
selama periode penelitian adalah sebesar 230,51% di mana pada awal periode 2002 jumlah uang
yang diedarkan adalah Rp 853.531 miliar dan meningkat menjadi Rp2.761.515 miliar.
Menurut laporan Bank Indonesia, meningkatnya pertumbuhan M2 pada akhir periode
didukung oleh tingginya pertumbuhan aktiva luar negeri bersih atau net foreign assets (NFA) yang
sebagian besar berupa uang kuasi pada sektor perbankan. Selain itu, peningkatan NFA pada tahun
2011 juga perupakan dampak dari adanya pertumbuhan kredit yang akseleratif dan turut
memberikan kontribusi pada pertumbuhan M2. Faktor domestik dalam bentuk kredit pada sektor
riil mendominasi kinerja likuiditas perekonomian. Selain faktor internal, peningkatan M2 juga
dipengaruhi oleh adanya faktor eksternal yang tercermin pada perkembangan NFA yang
meningkat. Peningkatan tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya
cadangan devisa yang bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak
dunia, khususnya pada beberapa waktu terakhir.
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Secara historis, perubahan kebijakan moneter dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar.
Abdullah (2003) menyatakan bahwa, “tantangan utama yang dihadapi oleh kebijakan moneter
Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kestabilan nilai rupiah dalam perekonomian
terbuka, di mana pass-through effect nilai tukar signifikan mempengaruhi inflasi. Pass-through
nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia diperkirakan sebesar 0,2 yang artinya setiap nilai tukar
rupiah terdepresiasi sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,2%”.
Pergerakan nilai tukar rupiah pada awal periode analisis yaitu tahun 2002 hingga tahun 2008
kuartal III cenderung stabil dengan range perubahan antara Rp 9.000,00 – Rp 10.000,00 setiap
dolarnya. Apabila dibandingkan dengan pergerakan inflasi pada periode yang sama, pada periode
2005-2006 terjadi fluktuasi yang tajam pada laju inflasi. Selama periode tersebut, nilai tukar rupiah
terdepresiasi hingga mencapai Rp 9.999,60 per dolar pada tahun 2005 kuartal IV. Meskipun arah
pergerakan yang sama terjadi pada kenaikan nilai tukar dan meningkatnya laju inflasi, namun
shock yang mendominasi peningkatan laju inflasi sebagian besar adalah disebabkan oleh
meningkatnya harga-harga domestik akibat kenaikan harga minyak dunia.
Dalam Grafik 4.4 berikut dapat diamati bahwa selama periode penelitian nilai tukar rupiah
mengalami pergerakan yang cukup berfluktuatif. Terlihat pada grafik bahwa depresiasi-depresiasi
yang terjadi pada nilai tukar rupiah terjadi dalam periode yang lebih lama dibandingkan fluktuasi
yang terjadi pada inflasi, di mana trendnya langsung mengalami penurunan pada periode
berikutnya.
Grafik 4.4: Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Dunia (diolah)
Depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi selama periode penelitian terjadi pada tahun 2009
kuartal I yang mencapai level Rp 11.630,77 untuk setiap dolarnya. Sedangkan apresiasi nilai tukar
rupiah tertinggi mencapai Rp 8.441,27 per dolar pada 2003:Q3 dan depresiasi nilai tukar rupiah
terendah mencapai Rp 11.630,77 per dolar pada 2009:Q1. Rupiah terdepresiasi selama tahun 2009
akibat adanya krisis keuangan global dan kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang
berimbas pada kenaikan harga domestik dan berdampak pada menurunnya harga rupiah terhadap
dolar AS.
Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Besarnya
pendapatan nasional yang ditopang oleh sektor konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga,
menyebabkan komponen yang membentuk agregat demand ini perlu diamati pola pergerakannya,
mengingat permintaan agregat merupakan salah satu faktor pemicu inflasi. Perkembangan
konsumsi rumah tangga di Indonesia dapat diamati pada Grafik 4.5 berikut:
Grafik 4.5: Konsumsi Rumah Tangga Tahun 2002-2011
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Dapat diamati bahwa trend pertumbuhan konsumsi selalu meningkat dan rata-rata
pertumbuhan konsumsi berada pada level 4,5% selama periode penelitian. Pergerakan konsumsi
terlihat searah dengan pergerakan inflasi memasuki periode 2006:Q4, di mana pada periode
tersebut konsumsi terus meningkat hingga akhir 2011. Bahkan pada saat terjadi shock inflasi pada
tahun 2008, pergerakan konsumsi tidak begitu terpengaruh dan tetap pada level yang cukup stabil.
Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat telah mengalami perbaikan pasca
penerapan ITF. Masyarakat cenderung memiliki ekspektasi forward looking atas keputusan
konsumsinya. Hal ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena meningkatnya
sektor konsumsi. Namun jika kenaikan ini tidak diimbangi dengan terjaganya pasokan output
konsumsi, maka akan menciptakan excess demand yang dapat memicu inflasi.
Hasil Estimasi dan Uji Statistik
Penelitian ini menggunakan empat variabel independen, yaitu BI rate (bir), jumlah uang
beredar (m2), nilai tukar rupiah (er) dan konsumsi rumah tangga (crt). Sedangkan variable
dependennya adalah tingkat inflasi (inf). Data yang digunakan adalah datakuartal dalam bentuk
time series 2002-2011 dan menggunakan metode VECM dengan software EViews.
Analisis Hasil Pengujian VECM
Dengan mengacu pada model penelitian, dalam melaksanakan pengujian dengan model
VECM terdapat tahapan pengujain awal yang harus dilakukan. Pengujian yang harus dilakukan
adalah uji stasioneritas data, penentuan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Berikut penguraian
dari tahapan pengujian tersebut:
1) Uji Stasioneritas Data
Data time series memiliki permasalahan yaitu autokorelasi yang menyebabkan data menjadi
tidak stasioner. Hasil uji stasioneritas setiap variabel penelitian ditunjukkan Tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1: Hasil Uji Stasioneritas Data
First Difference
Second Difference
Level
Variabel
t-stat
Prob
t-stat
Prob
t-stat
Prob
-8.832361 * 0.0000
inf
-4.868965 *
0.0020
-4.715000 * 0.0029
bir
-3.372200 *** 0.0708
-11.03470 * 0.0000
m2
-7.056499
* 0.0000
er
-4.960049 *
0.0015
-8.772793
* 0.0000
crt
Nb : (*) = stasioner pada level 1%
(***) = stasioner pada level 10%
Sumber : Data penelitian (diolah)
Berdasarkan Tabel 4.1, seluruh variabel tidak stasioner pada derajat level, namun telah
stasioner pada second difference dengan level 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
seluruh variabel penelitian telah stasioner dengan melakukan diferensiasi kedua. Karena seluruh
variabel stasioner pada derajat difference, maka tahap selanjutnya perlu dilakukan pendeteksian
mengenai keberadaan kointegrasi pada seluruh variabel.
2) Penentuan Lag Optimal
Penetapan lag optimal penting dilakukan karena dalam metode VAR, lag optimal dari
variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Sebelum lag
optimal ditentukan perlu dilakukan uji stabilitas guna melihat kestabilan data (Lampiran 1),
dengan nilai modulus yang tidak lebih dari satu, maka langkah selanjutnya adalah menentukan lag
optimal menggunakan FPE, AIC, SC, dan HQ. Lag optimal yang direkomendasikan ditunjukkan
oleh tanda bintang (*) paling banyak pada Tabel 4.2:
Tabel 4.2: Hasil Pengujian Panjang Lag
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
198.5793
417.2399
456.4943
478.8899
NA
366.4042
55.16841*
25.42202
1.96e-11
5.67e-16
2.84e-16*
4.03e-16
-10.46375
-20.93188
-21.70239*
-21.56162
-10.24605
-19.62573*
-19.30779
-18.07855
-10.38700
-20.47140
-20.85818*
-20.33367
* indicates lag order selected by the criterion
LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC : Schwarz information criterion
HQ : Hannan-Quinn information criterion
Sumber : Data penelitian (diolah)
Dari hasil pengujian, lag order yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tanda
bintang paling banyak terdapat pada lag 2. Hal ini mengimplikasikan bahwa respon yang
ditunjukkan oleh variabel inflasi dalam menanggapi perubahan variabel yang menjadi
determinannya akan terlihat (paling lama) setelah 2 kuartal pasca shock terjadi.
3) Uji Kointegrasi
Sebagaimana dinyatakan oleh Engle-Granger, keberadaan variabel non-stasioner
menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang diantara variabel dalam sistem
(Ajija, dkk, 2011). Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar
variabel, khususnya dalam jangka panjang. Jika terdapat kointegrasi pada variabel-variabel yang
digunakan di dalam model, maka dapat dipastikan adanya hubungan jangka panjang diantara
variabel. Tabel 4.3 menunjukkan hasil pengujian kointegrasi:
Tabel 4.3: Hasil Uji Kointegrasi Johansen
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
Trace
0.05
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
None *
0.782164
110.2130
79.34145
At most 1
0.465155
53.82451
55.24578
At most 2
0.384902
30.67074
35.01090
At most 3
0.262283
12.68971
18.39771
At most 4
0.038028
1.434495
3.841466
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Prob.**
0.0000
0.0664
0.1353
0.2608
0.2310
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
Max-Eigen
0.05
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value Prob.**
None *
0.782164
56.38845
37.16359
At most 1
0.465155
23.15377
30.81507
At most 2
0.384902
17.98103
24.25202
At most 3
0.262283
11.25521
17.14769
At most 4
0.038028
1.434495
3.841466
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
0.0001
0.3203
0.2709
0.2921
0.2310
Sumber : Data penelitian (diolah)
Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi diantara kelima variabel
(signifikan pada level 5%). Hasil tersebut ditunjukkan dari nilai Trace statistik dan nilai MaxEigen statistik yang lebih besar dibandingkan dengan nilai kritisnya. Keberadaan kointegrasi
diantara variabel menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam model memiliki hubungan
keseimbangan dan kesamaan pergerakan dalam jangka panjang. Adanya keseimbangan dalam
jangka panjang memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan dalam jangka pendek, sehingga
metode estimasi yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM).
4) Estimasi VECM
Setelah berbagai prosedur pengujian awal telah dilakukan, maka dapat ditentukan bahwa
model VECM digunakan untuk menganalisis penelitian ini. Karena data telah stasioner dan
terkointegrasi, maka dapat dipastikan bahwa terdapat hubungan jangka panjang dan pendek
antarvariabel. Penggunaan estimasi VECM sesuai dengan rumusan masalah yang dipilih karena
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang dan jangka pendek.
Tabel 4.4 menunjukkan hasil estimasi VECM dengan menggunakan lag 2. Dari hasil yang
didapatkan, apabila nilai t-hitung > nilai t-tabel, maka hubungan variabel tersebut signifikan (pada
level 5%, t-hitung = 1,68385).
Tabel 4.4: Hasil Estimasi VECM
Variabel
inf
bir
Jangka Panjang
1000000
-10.73193
[-4.37363]
Jangka Pendek
26.78152
(-1)
[ 2.56828]
23.05004
(-2)
[ 1.84594]
[ ] menunjukkan t-hitung
m2
er
crt
-2.290480
[-2.00733]
4.913428
[ 6.05510]
-4.064128
[-3.64112]
-
2.241919
[ 1.84693]
-
-
-
-
Sumber : Data penelitian (diolah)
Dari hasil estimasi dapat diidentifikasi bahwa dalam jangka panjang, semua variabel
berpengaruh positif (+) dan signifikan terhadap pembentukan inflasi di Indonesia, kecuali nilai
tukar yang memiliki pengaruh negatif (-). Sedangkan dalam jangka pendek, tingkat suku bunga
dan nilai tukar memiliki pengaruh positif (+) dan signifikan terhadap inflasi Indonesia.
5) Impulse Response Function (IRF)
IRF berfungsi untuk menggambarkan shock variabel satu terhadap variabel lain pada rentang
periode tertentu, sehingga dapat dilihat lamanya waktu yang dibutuhkan variabel dependen dalam
merespon shock variabel independennya. IRF dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan
respon inflasi terhadap shock determinannya. Hasil IRF ditunjukkan pada Grafik 4.6 berikut:
Grafik 4.6: Impulse Response Inflasi terhadap Variabel Penelitian
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of DLINF to DBIR
(1)
Response of DLINF to DLM2
.2
.2
.1
.1
.0
.0
-.1
-.1
-.2
(2)
-.2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLINF to DLER
(3)
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DLINF to DLCRT
.2
.2
.1
.1
.0
.0
-.1
-.1
-.2
(4)
-.2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sumber : Data penelitian (diolah)
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Grafik (1) menunjukkan respon inflasi terhadap shock variabel tingkat suku bunga. Inflasi
mulai merespon shock tersebut dengan trend yang positif (+) hingga memasuki periode ke-3.
Respon mulai bergerak turun pada periode ke-4 dan mulai stabil memasuki periode ke-7 hingga
periode ke-10 pada kisaran angka 0,06. Respon inflasi bersifat persisten sepanjang periode.
Grafik (2) menunjukkan merespon inflasi terhadap shock variabel jumlah uang beredar (M2).
Adanya shock pada JUB direspon secara negatif (-) oleh inflasi di sepanjang periode. Fluktuasi
perubahan mulai terjadi pada periode ke-2 dan respon meningkat mejadi memasuki periode ke-6.
Respon negatif (-) inflasi terhadap shock jumlah uang beredar (M2) bersifat persisten.
1
Hasil IRF dalam bentuk tabel dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 3
Grafik (3) menunjukkan respon inflasi yang bersifat negatif (-) terhadap shock nilai tukar
hingga periode ke-4. Respon mulai meningkat pada periode ke-5 dan kembali turun memasuki
periode ke-8. Respon inflasi bersifat persisten dengan pergerakan yang terus berada di bawah titik
keseimbangannya selama periode penelitian.
Grafik (4) menunjukkan respon positif (+) inflasi dalam menanggapi shock konsumsi rumah
tangga selama 3 periode pertama. Memasuki periode ke-4, trend inflasi mulai bergerak turun dan
bersifat negatif di sepanjang periode.
6) Variance Decomposition
Variance decomposition bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi atau komposisi
pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Berdasarkan hasil
variance decomposition berikut, pembahasan hanya difokuskan pada variabel yang mempengaruhi
pergerakan tingkat inflasi di Indonesia.
Grafik 4.7: Variance Decomposition Inflasi terhadap Variabel Penelitian
Variance Decomposition
Percent DLINF variance due to DLINF
Percent DLINF variance due to DBIR
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
Percent DLINF variance due to DLM2
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent DLINF variance due to DLER
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Percent DLINF variance due to DLCRT
100
80
60
40
20
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sumber : Data penelitian (diolah)2
Berdasarkan hasil variance decomposition yang ditunjukkan oleh Grafik 4.7 dapat
diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap tingkat inflasi. Pada periode
pertama, variabel inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri sebesar
100%. Kontribusi variabel lain mulai berpengaruh terhadap pergerakan inflasi memasuki periode
2
Hasil variance decomposition dalam bentuk tabel dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 4
ke-2 dengan persentase untuk variabel tingkat suku bunga sebesar 7,4%, konsumsi rumah tangga
sebesar 1,8% dan nilai tukar sebesar 1,8%. Jumlah uang beredar memiliki persentase pengaruh
paling kecil terhadap tingkat inflasi pada awal periode dan mulai menunjukkan pengaruhnya
memasuki periode ke-3 sebesar 1,8%.
Dalam kurun waktu 10 periode selanjutnya, kontribusi masing-masing variabel mengalami
fluktuasi pengaruh terhadap laju inflasi. Pengaruh inflasi terhadap laju inflasi itu sendiri semakin
menurun hingga periode ke-10 menjadi 72,2%. Variabel tingkat suku bunga cukup berperan
dengan rata-rata persentase sebesar 11% hingga mencapai 10,7% pada periode ke-10. Pengaruh
jumlah uang beredar cenderung tetap memasuki periode ke-6 dan pada kuartal ke-10 mencapai
4,4%. Pengaruh variabel nilai tukar mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 11,5%
pada akhir periode. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh yang cenderung tetap selama 10
periode dan pada periode terakhir, konsumsi mempengaruhi inflasi sebesar 1,2%.
Implikasi Hasil Penelitian
Selama satu dekade terakhir, kebijakan makro yang ditujukan pada pencapaian stabilitas
inflasi belum menunjukkan hasil yang optimal. Namun setelah Indonesia menerapkan kebijakan
penargetan inflasi, dapat dilihat bahwa trend inflasi di Indonesia mengalami penurunan. Namun
selama pelaksanaan kebijakan, fluktuasi inflasi dapat dikatakan masih tergolong cukup tinggi. Hal
ini disebabkan oleh sulitnya mengidentifikasi sumber gejolak yang dapat memicu kenaikan harga,
baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Analisis Jangka Pendek
Adanya perubahan yang bersifat kejutan (shock) pada variabel ekonomi yang memiliki
pengaruh terhadap pembentukan harga dapat membuat fluktuasi yang menyebabkan kenaikan
tingkat harga. Dalam penelitian ini, guncangan yang dapat mendorong kenaikan inflasi dalam
jangka pendek ditentukan oleh kemampuan inflasi dalam merespon guncangan yang terjadi dan
kecepatannya untuk kembali menuju keseimbangan dari deviasinya. Karena inflasi memiliki
koefisien error sebesar -0,7 maka angka tersebut menunjukkan bahwa inflasi memerlukan time lag
yang tidak terlalu lama untuk kembali menuju keseimbangannya pada saat terjadi shock.
Menurut hasil estimasi, variabel yang secara signifikan berperan dalam mempengaruhi
infllasi jangka pendek adalah suku bunga BI rate yang memiliki pengaruh positif dengan lag 1
dan 2, serta variabel nilai tukar yang memiliki pengaruh positif dengan lag 1. Dengan kata lain,
apabila terjadi shock pada variabel BI rate dan nilai tukar maka akan berpengaruh secara
langsung terhadap pembentukan tingkat harga dalam jangka pendek.
Sesuai dengan persamaan Fisher, otoritas moneter akan menaikkan BI rate (suku bunga
nominal jangka pendek) pada saat tingkat inflasi tinggi, dengan tujuan untuk memperlambat
pertumbuhan uang beredar. Pengaturan suku bunga lebih banyak direspon oleh para investor dan
pelaku usaha. Sebagian pelaku usaha yang bertindak sebagai price setter akan memilih untuk
meningkatkan harga jual produknya dan sebagian lagi memilih untuk mengurangi hasil
produksinya. Hal tersebut dikarena kenaikan BI rate pada saatnya akan direspon oleh kenaikan
suku bunga perbankan di atas BI rate. Karena suku bunga perbankan meningkat, maka biaya
produksi juga dapat meningkat.
Menurut pandangan Keynes, sebagian besar pelaku usaha tidak mampu meningkatkan
kapasitas outputnya dalam waktu yang relatif singkat dan kenaikan biaya produksi dapat
meningkatkan harga jual produk. Apabila sebagian pedagang memiliki perilaku yang sama, maka
kenaikan suku bunga tersebut dapat memicu kenaikan inflasi. Hasil estimasi penelitian ini
mendukung hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Hayati (2006) dan Endri (2008)
yang menemukan bahwa tingkat suku bunga mempengaruhi laju inflasi dalam jangka pendek.
Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini telah terbukti bahwa tingkat suku bunga memiliki
pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek.
Sejak Indonesia menerapkan flexible exchange rate system, pergerakan nilai tukar rupiah
menjadi tidak tentu arah. Ketidakpastian tersebut dapat mempengaruhi stabilitas tingkat harga dan
dapat memicu inflasi. Ketakutan tersebut terbukti karena pada saat nilai tukar rupiah terhadap
dolar melemah, maka shock tersebut dapat berimbas pada kenaikan harga domestik melalui harga
barang impor. Devaluasi nilai rupiah mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal dan
berimbas pada kenaikan harga-harga domestik.
Sesuai dengan teori yang telah diungkap, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa depresiasi
nilai tukar memiliki hubungan positif terhadap laju inflasi. Dengan demikian hipotesis penelitian
ini telah terbukti, dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah yang dapat mempengaruhi
pergerakan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek. Bukti empiris ini mendukung hasil
penelitian Ratnasiri (2006), Ziramba (2008), Endri (2008), Yiping, et al (2010), Almounsor
(2010), Sultan (2011) dan Anugrah (2012) yang mengidentifikasi bahwa nilai tukar memiliki
pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat inflasi jangka pendek di beberapa negara.
Analisis Jangka Panjang
Hasil pengujian data melalui estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka panjang
inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh keempat variabel determinannya. Kenaikan BI rate
berpengaruh signifikan namun memiliki pola hubungan negatif terhadap inflasi jangka panjang.
Sependapat dengan pandangan Fisher yang menyatakan bahwa suku bunga memiliki pergerakan
yang searah dengan tingkat inflasi, maka kenaikan BI rate dapat memicu kenaikan inflasi dalam
jangka panjang namun melalui pengaruh yang tidak langsung. Pada Grafik 4.2 dapat dilihat bahwa
pergerakan BI rate selama periode 2002-2011 memiliki arah pergerakan yang hampir sama dengan
laju inflasi di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa signifikansi hasil estimasi penelitian ini telah
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2006) dan Endri (2008) yang menjelaskan
bahwa pengaturan BI rate dapat mempengaruhi laju inflasi jangka panjang di Indonesia.
Secara teori, hubungan antara suku bunga dan inflasi dapat dipahami dari sudut pandang agen
ekonomi. Pada saat otoritas moneter menerapkan kebijakan disinflasi dengan menaikkan BI rate,
maka kenaikan tersebut akan direspon oleh pelaku usaha dan masyarakat yang bertindak sebagai
konsumen. Kenaikan BI rate akan diikuti oleh kenaikan suku bunga perbankan yang lebih tinggi
dari suku bunga nominalnya. Ketika suku bunga kredit investasi meningkat, maka hal tersebut
akan meningkatkan biaya produksi. Karena dalam jangka panjang sebagian besar pedagang
berupaya untuk ekspansi usaha dengan meningkatkan kapasitas outputnya, maka kenaikan biaya
produksi dapat meningkatkan harga jual produk dan dalam waktu yang cukup lama dapat
mendorong kenaikan inflasi.
Dari sisi konsumen, upaya disinflasi bank sentral dengan meningkatkan BI rate dinilai
masyarakat akan direspon oleh kenaikan suku bunga perbankan yang menyebabkan beberapa
pedagang memilih untuk menaikkan harga jual produknya. Penilaian ini membentuk ekspektasi
masyarakat mengenai kenaikan tingkat harga yang akan terjadi pada periode selanjutnya.
Dampaknya, kenaikan suku bunga tidak akan meminimalisir inflasi, melainkan dapat memicu
kenaikan yang lebih tinggi apabila kebijakan tersebut tidak kredibel di mata masyarakat. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian telah sesuai dengan hipotesis yang diajukan,
yaitu shock suku bunga BI rate memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam
jangka panjang.
Pertumbuhan jumlah uang beredar yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan inflasi
dibuktikan melalui hasil estimasi VECM. Dalam jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang
beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap laju Inflasi di Indonesia. Hal ini berarti
bahwa setiap terjadi penambahan volume uang beredar, secara tidak langsung akan berpotensi
untuk mendorong kenaikan inflasi.
Jika dilihat dari arah pergerakannya dalam Grafik 4.8, hubungan antara jumlah uang beredar
(M2) dan laju inflasi di Indonesia memiliki arah fluktuasi pergerakan yang hampir sama.
Grafik 4.8: Pergerakan Jumlah Uang Beredar (M2) dan Tingkat Inflasi
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Dapat diamati bahwa selama periode penelitian, terjadi 2 fluktuasi trend yang paling menonjol
pada periode 2005-2006 dan 2008-2009. Kedua peak tersebut menjelaskan adanya kenaikan
volume uang beredar dan kenaikan tingkat inflasi apabila dibandingkan dengan trend periode
sebelumnya, selain karena kuatnya dampak shock dalam perekonomian domestik yang terjadi pada
periode tersebut. Meskipun kedua trend tidak bersinggungan secara langsung, namun adanya
kesamaan arah tersebut menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan kapasitas uang beredar,
maka tingkat inflasi juga mengalami peningkatan
Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori Moneteris yang menyatakan
bahwa adanya penambahan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berpotensi mendorong
inflasi pada tingkat yang lebih tinggi. Temuan empiris dalam penelitian ini mendukung hasil
penelitian Ratnasiri (2006), Yiping, et al (2010), Almounsor (2010), Sultan (2011), Arintoko
(2011) dan Anugrah (2012) yang mengidentifikasi bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh
signifikan terhadap laju inflasi dalam jangka panjang. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini telah terjawab, yaitu jumlah uang beredar memiliki pengaruh terhadap tekanan
inflasi di Indonesia dalam jangka panjang
Hubungan positif antara shock nilai tukar terhadap laju inflasi dibuktikan oleh koefisien
variabel ER yang bertanda positif. Berdasarkan hasil estimasi data, depresiasi nilai tukar akan
berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini
mendukung hasil temuan Endri (2008), Sultan (2011), Akinbobola (2012) dan Anugrah (2012)
yang menyatakan bahwa shock eksternal yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar dapat
meningkatkan inflasi, melalui pengaruhnya terhadap harga domestik. Indonesia yang memiliki
keterbukaan ekonomi wajib berwaspada terhadap guncangan sisi eksternal, mengingat nilai tukar
rupiah yang tergolong rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Karena kontribusi impor
memiliki peranan penting terhadap beberapa proses produksi dalam pasar domestik Indonesia
(akibat keterbatasan negara dalam menyediakan bahan baku industri), maka depresiai nilai tukar
rupiah akan meningkatkan biaya produksi yang berasal dari produk impor sehingga berdampak
pada meningkatnya harga jual produk.
Dalam jangka panjang, ketidakpastian arah nilai tukar berpengaruh terhadap proses
pembentukan harga domestik. Apabila nilai rupiah semakin melemah, maka dapat dipastikan akan
mendorong kenaikan tingkat inflasi dalam negeri. Hasil penelitian telah sesuai teori yang diungkap
yang menyatakan keberadaan hubungan positif antara nilai tukar dengan inflasi. Dengan demikian,
hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa shock nilai tukar memiliki pengaruh terhadap tekanan
inflasi di Indonesia dalam jangka panjang telah terjawab.
Mengingat pola konsumsi rumah tangga Indonesia yang mengalami perbaikan selama
beberapa waktu terakhir, menyebabkan adanya peningkatan konsumsi dapat memicu kenaikan
inflasi. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan bahwa dalam jangka panjang konsumsi memiliki
peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi Indonesia. Hubungan negatif yang
ditunjukkan oleh koefisien variabel CRT menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan pada
konsumsi rumah tangga dapat memicu kenaikan inflasi secara tidak langsung.
Bukti empiris penelitian ini memiliki persamaan hasil dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ziramba (2008) dan Almounsor (2010), yang mengidentifikasi adanya perubahan pola konsumsi
masyarakat dalam jangka panjang memicu peningkatan permintaan agregat sehingga dapat
mendorong kenaikan tingkat inflasi. Dalam jangka panjang, peningkatan petumbuhan ekonomi
suatu negara mencerminkan adanya peningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat.
Kenaikan permintaan ditindaklanjuti oleh pelaku usaha dengan meningkatkan output
produksinya. Dengan adanya penambahan output, biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi
menjadi lebih besar sehingga menyebabkan peningkatan pada harga jual produk. Apabila dalam
waktu yang relatif lama sebagian besar pedagang melakukan hal yang sama, maka kenaikan
harga-harga barang konsumsi secara umum dapat mendorong kenaikan inflasi.
Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Keynes yang menyatakan bahwa adanya kenaikan permintaan agregat dapat mendorong inflasi
pada tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga telah menjawab hipotesis yang diajukan oleh
peneliti, bahwa konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia
dalam jangka panjang.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1) Dalam jangka pendek, shock suku bunga BI rate dan depresiasi nilai tukar rupiah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap tekanan inflasi Indonesia.
2) Seluruh variabel memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap pergerakan inflasi Indonesia
dalam jangka panjang. Variabel tingkat suku bunga, jumlah uang beredar dan konsumsi
rumah tangga memiliki pengaruh negatif, yang berarti bahwa setiap terjadi perubahan pada
masing-masing variabel tersebut akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap tekanan
inflasi dalam jangka panjang. Sedangkan variabel nilai tukar memiliki pengaruh positif
terhadap tingkat inflasi.
3) Berdasarkan hasil analisis impulse response dapat disimpulkan bahwa inflasi secara cepat
merespon perubahan masing-masing variabel pada periode kedua setelah shock terjadi. Hasil
analisis variance decomposition menunjukkan bahwa selain berasal dari tekanan inflasi itu
sendiri, setiap variabel memiliki kontribusi yang berbeda terhadap laju inflasi dengan urutan
persentase pengaruh terbesar diberikan oleh perubahan pada tingkat suku bunga, nilai tukar,
jumlah uang beredar dan konsumsi rumah tangga.
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, dapat disajikan beberapa saran terkait dengan
pengidentifikasian sumber-sumber inflasi di Indonesia:
1) Meningkatkan konsisten pelaksanaan kebijakan disinflasi yang didukung dengan peningkatan
komunikasi antara kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain, supaya pembentukan
ekspektasi inflasi dari agen ekonomi dan pencapaian inflasi jangka pendek dapat lebih terarah
pada target jangka panjangnya.
2) Diperlukan suatu kebijakan disinflasi yang kredibel dengan memperhatikan dampak dari
penetapan kebijakan suku bunga nominal jangka pendek, kebijakan pengendalian sisi
permintaan agar meminimalisir kenaikan harga-harga barang konsumsi secara umum, serta
kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat posisi rupiah terhadap mata uang asing.
Daftar Pustaka
Abdullah, Burhanuddin. 2003. Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan Moneter. Disampaikan pada
Kuliah Umum 5 Universitas di Solo.
Ajija, S.R, Sari, D.W, Setianti, R.H & Primanti, M.R. 2011. Cara Cerdas Menguasai Eviews.
Jakarta: Salemba Empat.
Akinbobola, T.O. 2012. The Dynamic of Money Supply, Exchange Rate and Inflation in Nigeria.
Journal of Applied Finance and Banking Vol. 2, No. 4, Page: 117-141.
Almounsor, Abdullah. 2010. Inflation Dynamic in Yemen: An Empirical Analysis. IMF Working
Paper 10/144.
Anugrah, D.F. 2012. The Long and Short-term Determinants of Inflation in Indonesia’s Regions.
Disajikan pada The 50th Anniversary and The 49th Annual Meeting, JSRAI (The Japan
Section of the Regional Science Association International).
Arintoko. 2011. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang di Indonesia. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Ascarya. 2010. Alur Trasnmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. PPSK
Working Paper Series No: WP/10/03.
Bank
Indonesia.
2012.
Statistik
Ekonomi
dan
Keuangan
Indonesia.
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik+Ekonomi+dan+Keuangan+Indonesia/Versi+HTML/
Sektor/Moneter/ diakses pada tanggal 20 September 2012.
Candra, Aditiawan. 2006. Menyimak Karakteristik Inflasi di Indonesia. Blog Lingkungan
Ekonomi Bisnis Indonesia. http://businessenvironment.wordpress.com/category/ekonomimakro/ inflasi/ diakses pada 13 Januari 2013.
Dwiantoro, Dedy. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engel-Granger Error
Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Vol. 5, No. 2.
Endri. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol. 13, No. 1, Hal: 1-3.
Gali, Jordi. 2002. New Perspectives on Monetary Policy, Inflation, and the Business Cycle. NBER
Working Paper No.8767.
Hayati, Banatul. 2006. Analisis Stabilitas Permintaan Uang dan Stabilitas Harga di Indonesia
Tahun 1989-2002. Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Undip.
Hutabarat, Akhis R. 2005 Determinan Inflasi Indonesia. Occasional Paper No. 6 Bank Indonesia.
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Metodologi Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi.
Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi Teori, Masalah, dan Kebijakan Edisi ke-2. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ratnasiri, H.P.G.S. 2006. The Main Determinants of Inflation in Sri Lanka – A VAR Based
Analysis. Staff Studies, Central Bank of Sri Lanka Vol. 39, No. 1-2.
Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. 2004. Ilmu Makroekonomi Edisi ke-17,
Terjemahan. Jakarta: Media Global Edukasi.
Sultan, Zafar Ahmad. 2011. Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis.
European Journal of Social Science Vol. 24, No. 2.
Thanh, Bui Thi Kim. 2008. Inflation in Vietnam. A research paper present in partial fulfillment of
the requirements for obtaining the degree of Masters of Arts in Development Studies. The
Netherland: Institute of Social Studies.
Yiping, Huang, et al. 2010. What Determine China’s Inflation? China Center for Economic
Research Working Paper Series No. E201001.
Ziramba, Emmanuel. 2008. Bank Lending, Expenditure Components and Inflation in South
Africa: Assessment from Bound Testing Approach. South African Journal of Economics,
11 (2): 217-228.
Download