BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memasuki

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Memasuki awal abad ke-21, perubahan iklim menjadi isu lingkungan yang
banyak dibicarakan dan menjadi tantangan multidimensional yang menarik untuk
dikaji. Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim secara berangsurangsur dalam jangka panjang antara 50 sampai 100 tahun, yang dipengaruhi oleh
kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (Murdiyarso, 2003).
Peristiwa iklim ekstrim sangat berpengaruh terhadap Indonesia sebagai negara
tropis yang rentan terhadap ancaman kekeringan, banjir, tanah longsor, dan
penularan penyakit. Beragam resiko bencana berpengaruh pada tingkat kesehatan,
mata pencaharian masyarakat, biodiversitas, dan kestabilan ekonomi yang pada
akhirnya dapat meningkatkan ancaman terhadap keberhasilan pencapaian
pembangunan.
Dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah forum
panel antarpemerintah mengenai perubahan iklim, dilaporkan bahwa bumi
mengalami pemanasan secara substansial lebih cepat dari pada masa sebelumnya.
Sejak tahun 1950, temperatur bumi meningkat sebesar 0,6○C, sedangkan selama
100 tahun sebelumnya peningkatan temperatur bumi hanya sebesar 0,1○C hingga
0,2○C. Dengan melihat pola dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, temperatur bumi
diperkirakan akan meningkat antara 1,1○C sampai 6,4○C sebelum tahun 2100
1
2
(Rukmana, 2011). Peningkatan suhu bumi secara menyeluruh inilah yang disebut
dengan pemanasan global.
Penyebab dari kenaikan temperatur bumi ditengarai berasal dari kenaikan
konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Dalam Protokol Kyoto
disebutkan enam jenis gas yang ditetapkan sebagai gas rumah kaca, yaitu karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan tiga gas-gas industri
yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6). Karbon dioksida mengisi 70% dari
volume total gas-gas rumah kaca, disusul dengan metana, nitrogen oksida, dan
sebagainya. Meskipun komposisi gas-gas tersebut hanya sekitar 1% dari atmosfer,
namun mereka berperan penting menjaga suhu bumi tidak kurang dari 30°C untuk
menjamin kelangsungan kehidupan di bumi.
Efek rumah kaca dapat dianggap sebagai suatu proses dimana alam
mempertahankan keseimbangan di atmosfer. Akan tetapi seiring dengan
meningkatnya aktivitas manusia, emisi GRK meningkat tajam melampaui
kebutuhan untuk menghangatkan bumi. Berdasarkan penelitian, sampai dengan
abad ke-19 konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar 270 ppm. Namun dalam rentang
waktu tahun 1860 hingga tahun 2001, terjadi kenaikan CO2 dari 290 ppm menjadi
372 ppm (Wiryono, 2013). Peningkatan konsentrasi CO2 tersebut bertepatan dengan
dimulainya revolusi industri yang membutuhkan konsumsi bahan bakar fosil dalam
jumlah besar. Selain dari bahan bakar fosil industri, sumber emisi GRK juga berasal
dari kerusakan hutan, emisi dari sektor transportasi, sampah, serta sektor pertanian
dan peternakan.
3
Pengaruh kegiatan manusia menjadi unsur penting dalam masalah
lingkungan ini. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme untuk mengatur aktivitas
manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, baik dalam lingkup
internasional maupun lokal. Sebagai bagian dari masyarakat internasional,
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 % pada tahun
2020 dengan usaha sendiri dan mencapai 41 % apabila mendapat dukungan
internasional. Upaya menurunkan emisi GRK dapat dilakukan oleh berbagai sektor,
baik dari pemerintah, swasta, maupun dari masyarakat dengan inisiatif lokalnya.
Sebagai langkah untuk menginventarisasi emisi gas rumah kaca dan bentuk
apresiasi penurunan GRK, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup
memberikan penghargaan kepada komunitas yang telah melakukan upaya adaptasi
dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim di tingkat lokal. Tata cara
pemberian penghargaan diatur melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 19 Tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim.
Program Kampung Iklim atau Proklim adalah program berlingkup nasional
dalam rangka mendorong masyarakat untuk melakukan peningkatan kapasitas
adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca,
serta memberikan penghargaan terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim yang telah dilaksanakan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi
wilayah. Dalam hal ini, yang disebut kampung adalah wilayah administratif yang
terdiri atas rukun warga, dusun atau dukuh, kelurahan atau desa, dan wilayah
administratif lain yang dipersamakan dengan itu (KLH, 2012).
4
Pada penyelenggaraan Program Kampung Iklim tahun 2012, dari 71 calon
lokasi Proklim yang tersebar di 15 provinsi, tujuh kampung mendapatkan
penghargaan Proklim dari Kementerian Lingkungan Hidup. Empat diantaranya
berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu:
1. Dukuh Serut, Desa Palbapang, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul
2. Dukuh Sukunan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman
3. Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul
4. Padukuhan II Gatak, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul
Dalam penelitian ini, peneliti memilih unit amatan di Desa Nglegi,
Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Desa Nglegi merupakan satu-satunya
komunitas lokal dalam skala desa yang mendapatkan penghargaan Kampung Iklim
pada Tahun 2012. Sebagai wilayah yang paling luas lingkupnya, penelitian ini
diharapkan dapat menggali lebih banyak upaya adaptasi dan mitigasi yang lebih
beragam dibandingkan ketiga penerima penghargaan yang lain. Berangkat dari
penghargaan tersebut, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam konsep
kampung iklim dalam sudut pandang masyarakat Desa Nglegi, serta mengetahui
faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam implementasi konsep tersebut.
1.2.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, dikembangkan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Kampung Tangguh Iklim menurut perspektif masyarakat
Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul?
2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam implementasi konsep tersebut?
5
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan konsep Kampung Tangguh Iklim di Desa Nglegi, Kecamatan
Patuk, Kabupaten Gunungkidul menurut perspektif masyarakat Desa Nglegi.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi konsep
tersebut.
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi pemerintah
Sebagai bahan evaluasi pelaksaanan program kampung iklim dan bahan
dalam pengambilan kebijakan terkait dengan peningkatan ketangguhan masyarakat
terhadap perubahan iklim.
2. Bagi masyarakat
Sebagai konsep best practice model kampung iklim yang dapat diadopsi dan
diimplementasikan khususnya oleh masyarakat dalam komunitas kecil.
3. Bagi ilmu pengetahuan
Sebagai salah satu bentuk konsep ketangguhan masyarakat dalam rangka
menghadapi perubahan iklim yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi model
kampung tangguh iklim yang lebih baik.
6
1.5.
Batasan Penelitian
Batasan Penelitian ini adalah:
1. Ruang lingkup penelitian meliputi Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Penelitian difokuskan pada upaya-upaya yang dilakukan masyarakat yang
berkaitan dengan perubahan iklim.
3. Untuk mempertegas konsep ketangguhan dalam kampung iklim, selanjutnya
dalam penelitian ini kampung iklim disebut dengan kampung tangguh iklim.
1.6.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini mendeskripsikan upaya-upaya menuju ketangguhan dalam
menghadapi perubahan iklim yang dilakukan masyarakat dalam komunitas kecil.
Peneliti berusaha untuk mengeksplorasi konsep masyarakat dalam menghadapi
perubahan iklim yang tidak sistematis di Desa Nglegi, Kecamatan Patuk,
Kabupaten Gunungkidul dengan pendekatan induktif kualitatif. Sejauh ini, belum
ada penelitan yang berkaitan dengan konsep ketangguhan dalam menghadapi
perubahan iklim di tingkat lokal. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
berkaitan dengan ketangguhan masyarakat (resilient community) terfokus pada
ketahanan bencana secara umum. Penelitian mengenai ketangguhan terhadap
perubahan iklim yang telah dilakukan meliputi upaya adaptasi di Sub DAS Sungai
Merawu dengan fokus untuk memperoleh rekomendasi yang tepat bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan menghadapi perbahan iklim. Keaslian penelitian ini
dapat dilihat berdasarkan perbandingan penelitian sebelumnya yang dapat
dijabarkan dalam Tabel 1.1.
7
Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya yang Berkaitan dengan Ketangguhan (Resiliensi) Masyarakat
No
(1)
1
2
Nama dan Judul
Tujuan
Penelitian
Penelitian
(2)
(3)
Ajiek
Darminto 1. Mendeskripsikan konsep
ketahanan
daerah
(2011),
Analisis
berdasarkan
teori
dan
Empiris
dalam
praktik
terbaik
dari
Perumusan
Model
beberapat tempat atu
Ketahanan
Daerah
negara sebagai lessons
Terhadap
Bencana
learned
Alam
2. Merumuskan
model
konseptual
ketahanan
daerah terhadap bencana
gempa dan tsunami
berdasarkan
analisis
empiris
terhadap
berbagai praktik terbaik
Lia
Kartikasari Mengidentifikasi adaptasi
(2012), Community masyarakat
lokal
dan
Adaptation to Climate dukungan pemerintah yang
Change: A Study in ada
sehingga
Merawu
Sub- memungkinkan
peneliti
Watershed
untuk merekomendasikan
kebijakan
yang
lebih
merefleksikan kepentingan
masyarakat lokal terkait
dengan perubahan iklim.
Lokasi
Penelitian
(4)
Kajian Pustaka
dan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Metode
Hasil
Penelitian
Penelitian
(5)
(6)
Model
disusun 1. Hasil penelitian berupa model tiga dimensi yang
memuat unsur-unsur ketahanan. Dimensi utama
berdasarkan analisis
yaitu sosial, fisik, organisasi, dan ekonomi.
empiris
kejadian
Dimensi kedua adalah dimensi kesiapan yaitu
bencana
dan
sumberdaya manusia, hukum, infrastruktur, dan
manajemem bencana
kelembagaan. Dimensi ketiga adalah dimensi
di 11 negara. Untuk
peran, yaitu peran masyarakat, pemerintah, dan
pengujian
model
swasta/akademisi.
dilakukan
teknik
2. Indikator ketahanan yang tercapai setelah bencana
Focussed
Group
adalah tanpa korban jiwa, tidak ada sarana umum
Disscussion
(FGD)
yang rusak, tidak mempengaruhi aktifitas
secara iterasi dalam
ekonomi, dan tidak ada perubahan kehidupan
tiga putaran.
sosial di masyarakat.
SUB
DAS
Merawu, bagian
dari DAS Serayu,
Kabupaten
Banjarnegara,
Jawa Tengah
Penelitian
1. Masyarakat lokal telah memahami dampak dari
perubahan iklim dan melakukan konservasi
menggunakan metode
terhadap tanah dan air sebagai respon terhadap
kualitatif
dengan
perubahan iklim. Motivasinya cenderung kepada
pendekatan induktif
tekanan ekonomi, bukan konservasi lingkungan.
eksploratif.
2.
Beberapa upaya adaptasi justru memberikan
Pengambilan
data
pengaruh negatif pada lingkungan.
dengan wawancara in
3. Pemerintah mempunyai peran penting dalam
depth
interview,
mendukung adaptasi. Pendekatan pemerintah
analisis data dengan
terfokus pada perencanaan dan implementasi,
analisis deskriptif
namun lemah dalam monitoring dan evaluasi.
8
(1)
3
(2)
(3)
Budi Sulistyo (2013), 1. Menilai tingkat resiko
dan bahaya tanah longsor
Toward
Resilient
di lokasi penelitian
Community
in
2.
Mengindentifikasi
Lanslide Prone Area:
persepsi masyarakat yang
Case of Tien Village,
tinggal di kawasan rawan
Kejajar
District,
tanah longsor
Wonosobo Regency
3. Memahami
upaya
mitigasi
terhadap
pengurangan
resiko
bencana tanah longsor
(4)
Desa
Tieng,
Kecamatan
Kejajar,
Kabupaten
Wonosobo, Jawa
Tengah
4
Wiji Lestari (2014), 1. Memahami ketangguhan
masyarakat di daerah
Factors to Promote
rawan bencana yang
Community
menerapkan kebijakan
Resilience in Disaster
desa tangguh bencana
Prone Area: A Case
2.
Memahami faktor-faktor
Study of Indonesian
apa
yang
dapat
Village Policy for
meningkatkan
Resilience to Disaster
ketangguhan masyarakat
3. Mengusulkan
rekomendasi yang tepat
untuk
mempertahanan
atau
mengembangkan
ketangguhan msyarakat
di daerah rawan bencana
di Indonesia
Desa Poncosari
dan Tirtomulyo,
Kecamatan
Kretek,
Kabupaten
Bantul
Sumber: Hasil Studi Pustaka, 2015
(5)
Penelitian
menggunakan
kombinasi
metode
kuantitif dan kualitatif.
Metode
Kuantitatif
menggunakan
semi
kuantitatif dengan GIS
untuk
memetakan
bahaya tanah longsor.
Metode
kualitatif
menggunakan in depth
interview
dan
observasi.
Pendekatan penelitian
menggunakan metode
kualitatif
dan
kuantitatif.
Pengumpulan
data
metode
kuantitatif
dengan
kuesioner,
sedangkan
metode
kualitatif dengan in
depth interview.
(6)
1. Sebanyak 66% dari luas keseluruhan Desa Tieng
diklasifikasikan ke dalam wilayah dengan tingkat
bahaya longsor tinggi, sisanya berada pada
tingkatan sedang.
2. Masyarakat Desa Tieng telah memiliki kesadaran
terhadap isu pengurangan resiko bencana dan
mmepunyai kemauan dan kemampuan untuk
mengurangi resiko, meskipun masih sepotongpotong dan tidak terstruktur.
1. Kebijakan desa tangguh bencana terbagi menjadi
tiga, yatu desa tangguh bencana utama, desa
tangguh bencana madya, dan desa tangguh
bencana pratama.
2. Predikat sebagai desa tangguh bencana utama
bukan merupakan jaminan bahwa ketangguhan
masyarakat di desa tersebut lebih baik dari pada
ketangguhan di desa tangguh bencana madya.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh pada ketangguhan
masyarakat adalah modal sosial, agama, dan peran
pemerintah desa.
4. Desa yang memilki ketangguhan masyarakat yang
lebih baik kerena modal sosial, agama, dan peran
pemerintah desa memiliki hubungan yang
signifikan.
Download