BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Sumber daya Manusia merupakan bagian dari manajemen umum yang memfokuskan diri pada unsur sumberdaya manusia. Perhatian ini mencakup fungsi manajerial, fungsi operasional dan peran serta kedudukan sumberdaya manusia dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi secara terpadu. Gomes (2005) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia merupakan suatu gerakan pengakuan terhadap pentingnya unsur manusia sebagai sumberdaya yang cukup potensial yang perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi dan bagi pembangunan dirinya. Manajemen sumberdaya manusia bukan merupakan komponen yang berdiri sendiri di lingkungan sebuah perusahaan. Manajemen sumberdaya manusia pada dasarnya merupakan penunjang bagi komponen utama sebuah perusahaan. Menurut Nawawi (2007), strategi bisnis jangka panjang sebagai acuan utama strategi manajemen sumberdaya manusia pada dasarnya memuat komponen-komponen sebagai berikut : 1. Rumusan filsafat perusahaan yang berisi nilai-nilai atau normanorma sebagai pegangan utama bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan bisnis. 7 8 2. Rumusan tentang identitas, tujuan dan sarana perusahaan memuat tentang identitas berupa penegasan dari misi yang dijalankan perusahaan. 3. Evaluasi kekuatan dan kelemahan, memuat tentang hasil evaluasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam mensukseskan bisnis perusahaan. 4. Merumuskan desain pembidangan dan pembagian kerja, berisi tentang penetapan unit kerja sehingga dihasilkan struktur organisasi. 5. Pembagian strategi berisi tentang cara mencakup tujuan perusahaan. 6. Penjabaran program, memuat tentang program unit kerja dan cara menilai atau mengukur tingkat efektifitas pelaksanaannya. B. Kepemimpinan 1. Pengertian Kepemimpinan Dalam rangka usaha pencapaian tujuan nasional, diperlukan pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan pada Pancasila, UUD 1945, negara, pemerintah serta bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdayaguna, bersih, bermutu tinggi dan kesadaran tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan. Demikian pula dalam pencapaian tujuan organisasi diperlukan seorang pemimpin yang memancarkan kepemimpinan yang sesuai dengan asas-asas kepemimpinan yang baik. Seorang pemimpin juga harus mengajak, 9 mengarahkan, membina, dan mempengaruhi bawahan. Oleh karena itu disimpulkan kepemimpinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan. Menurut Malayu SP. Hasibuan (2009) “Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi”. Sedangkan menurut George R. Terry (Kartini Kartono, 2009) menyatakan bahwa “Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok”. Howard H. Hoyt (Kartini Kartono, 2009) menyatakan bahwa “Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia,kemampuan untuk membimbing orang”. 2. Tipe Kepemimpinan Menurut Kartini Katono (2009) membagi tipe kepemimpinan menjadi delapan tipe, yaitu: a. Tipe Karismatis Tipe pemimpin karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik, dan wibawa yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain. Sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Disamping itu ia mempunyai inspirasi, keberanian, dan keyakinan teguh pada pendirian sendiri. b. Tipe Paternalistis 10 Yaitu tipe pemimpin yang memiliki sifat kebapakan, sehingga ia cenderung menganggap bawahannya sebagai anaknya, cenderung terlalu melindungi serta hampir tidak pernah memberi kesempatan kepada bawahannya untuk berinisiatif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. c. Tipe Militeristis Tipe pemimpin memiliki kecenderungan sistem komando dalam hal mengintruksikan tugas-tugas yang harus dilaksanakan bawahannya dengan kurang menghendaki saran, gagasan dari bawahannya. Pemimpin tipe ini kepemimpinannya didasarkan kontak pribadi secara langsung dengan bawahannya. Tipe ini umumnya sangat efektif dan secara relatif sederhana pelaksanaannya. d. Tipe Otokratis (Outhoritative, Dominator) Tipe pemimpin yang memiliki kencenderungan berpegang teguh pada kehendak diri sendiri, adanya unsur paksaan dan pemimpin pada tipe ini selalu ingin bermain tunggal serta menjadi dominator. e. Tipe Laissez Faire, Pada tipe kepemimpinan laissez faire ini seorang pemimpin praktis tidak memimpin, ia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri. Pemimpin laissez faire pada hakikatnya bukanlah pemimpin dalam pengertian sebenarnya. Sebab bawahan dalam situasi kerja tidak 11 terpimpin, tidak terkontrol, tanpa disiplin, masing-masing orang orang bekerja semau sendiri dengan irama dan tempo “semau gue”. f. Tipe Populistis Kepemimpinan populistis adalah kepemimpinan yang dapat membangunkan solidaritas rakyat yang menekankan masalah kesatuan nasional, nasionalisme dan membangun sikap hati-hati terhadap kolonialisme dan penindasan penghisapan serta penguasaan oleh kekuatan asing. g. Tipe Administratif atau eksekutif Kepemimpinan administratif adalah kepemimpinan yang mampu menyelengarakan tugas-tugas administratif secara efektif. h. Tipe Demokratis Pemimpin tipe ini berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Disamping itu, menitik beratkan pada partisipasi kelompok dengan memanfaatkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat kelompok. Kegagalan kepemimpinan dari pemimpin tipe ini adalah apabila anggota kelompok tidak cakap dan kurang tergerak untuk bekerjasama. 3. Teori Kepemimpinan Menurut Veithzal (2003), menyatakan teori-teori kepemimpinan adalah: 12 a. Teori Sifat, Teori yang berusaha untuk mengidentifikasi karakter khas (fisik, mental, kepribadian) yang dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinan. Teori ini menekankan pada atributatribut pribadi dari pada pemimpin. 1) Inteligensia, Perbedaan inteligensia yang ekstrim antara pemimpin dan pengikut dapat menimbulkan gangguan. 2) Kepribadian, Beberapa hasil penelitian menyiratkan bahwa sifat kepribadian seperti kesiagaan, keaslian, integritas pribadi, dan percaya diri diasosiasikan dengan kepeminpinan yang efektif. 3) Karakteristik fisik, Studi mengenai hubungan antara kepemimpinan yang efektif dan karakteristik fisik seperti usia, tinggi badan, berat badan, dan penampilan memberikan hasil-hasil yang bertolak belakang. b. Teori Kepribadian Perilaku Studi dari University of Michigan Telah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Riset University of Michigan, dengan sasaran: melokasi karakteristik perilaku kepemimpinan yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Melalui penelitian mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yang berbeda, disebut sebagai job-centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employee-centered yang berorientasi pada karyawan. 13 1) Pemimpin yang job-centered, Pemimpin yang berorientasi pada tugas menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melakukan tugasnya dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, dan hukuman untuk mempengaruhi sifatsifat dan prestasi pengikutnya. 2) Pemimpin yang employee-centered. Mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan membantu pengikutnya dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang suportif. Pemimpin yang berpusat pada karyawan memiliki perhatian terhadap kemajuan, pertumbuhan dan prestasi pribadi pengikutnya. Tindakan-tindakan ini diasumsikan dapat memajukan pembentukan dan perkembangan kelompok. Studi dari Ohio State University Program ini menghasilkan perkembangan teori dua faktor dari kepemimpinan. Suatu seri penelitian mengisolasikan dua factor kepemimpinan, disebut sebagai membentuk struktur dan konsiderasi. Membentuk struktur Melibatkan perilaku dimana pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan-hubungan di dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang jelas, dan menjelaskan cara-cara mengerjakan tugas yang benar. Pemimpin yang memiliki 14 kecenderungan membentuk struktur yang tinggi, akan berorientasi pada tujuan dan hasil. Konsiderasi, Melibatkan perilaku yang menunjukkan persahabatan, saling percaya, menghargai, kehangatan, dan komunikasi antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin yang memiliki konsiderasi tinggi menekankan pentingnya komuikasi yang terbuka dan partisipasi. Teori Kepemimpinan Situasional, Suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku manusia. 4. Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan menurut Malayu SP. Hasibuan (2009), yaitu: a. Kepemimpinan Otoriter, Kepemimpinan otoriter adalah jika kekuasaan atau wewenang, sebagian besar mutlak tetap berada pada pimpinan atau kalau pimpinan itu menganut system sentralisasi wewenang. Pengambilan keputusan dan kebijaksanaan hanya ditetapkan sendiri oleh pemimpin, bawahan tidak diikutsertakan untuk memberikan saran, ide dan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Falsafah pemimpin ialah “bawahan adalah untuk pimpinan/atasan”. Bawahan hanya bertugas sebagai pelaksana keputusan yang telah ditetapkan 15 pimpinan. Pemimpin menganggap dirinya orang yang paling berkuasa, paling pintar dan paling cakap. Pengarahan bawahan dilakukan dengan memberikan instruksi / perintah, ancaman hukuman serta pengawasan dilakukan secara ketat. Orientasi kepemimpinannya difokusnya hanya untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan dengan kurang memperhatikan perasaan dan kesejahteraan bawahan. Pimpinan menganut sistem manajemen tertutup menginformasikan (closed keadaan management), perusahaan pada kurang bawahannya. Pengkaderan kurang mendapat perhatiannya. b. Kepemimpinan Partisipatif, Kepemimpinan partisipatif adalah apabila dalam kepemimpinannya dilakukan dengan cara persuasif, menciptakan kerjasama yang serasi, menumbuhkan dan partisipasi para bawahannya. Pemimpin memotivasi bawahan agar merasa ikut memiliki perusahaan. Falsafah pemimpin ialah “pimpinan (dia) adalah untuk bawahan”. Bawahan harus berpartisipasi memberikan saran, ide dan pertimbangan-pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan tetap dilakukan pimpinan dengan mempertimbangkan saran atau ide yang diberikan oleh bawahannya. Pemimpin mengatut sistem manajemen terbuka (open management) dan desentralisasi wewenang. Pemimpin dengan gaya partisipasif akan mendorong kemampuan bawahan mengambil keputusan. Dengan demikian, 16 pimpinan akan selalu membina bawahan untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar. c. Kepemimpinan Delegatif, Kepemimpinan delegatif bila seorang pemimpin mendelegasikan wewenang kepada bawahan dengan agak lengkap. Dengan demikian, bawahan dapat mengambil keputusan dan kebijaksanaan dengan bebas atau leluasa dalam mengerjakan pekerjaannya. Pemimpin tidak peduli cara bawahan mengambil keputusan dan mengerjakan pekerjaannya, sepenuhnya diserahkan kepada bawahannya itu. Pada prinsipnya pemimpin bersikap menyerahkan dan mengatakan kepada bawahan “Inilah pekerjaan yang harus Saudara kerjakan, saya tidak peduli, terserah Saudara bagaimana mengerjakannya asal pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik”. Disini pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan kepada bawahan dalam arti pimpinan menginginkan, agar para bawahan bisa mengendalikan diri mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan itu dan hanya melakukan sedikit kontak dengan para bawahannya. Dalam hal ini, bawahan (kemampuan) dituntut dan memiliki kematangan kematangan psikologis pekerjaan (kemauan). Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dan 17 keterampilan. Kematangan psikologis dikaitkan dengan kemauan atau motivasi untuk melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan rasa yakin dan keterikatan. 5. Model Kepemimpinan Menurut Veithzal (2003), menyatakan beberapa model kepemimpinan yaitu: a. Model Kepemimpinan Kontingensi, Model ini dikembangkan oleh Fiedler, model kontingensi dari efektivitas kepemimpinan memiliki dalil bahwa prestasi kelompok tergantung pada interaksi antara gaya kepemimpinan dan situasi yang mendukung. Kepemimpinan dilihat sebagai suatu hubungan yang didasari oleh kekuatan dan pengaruh. Fielder memberikan perhatian mengenai pengukuran orientasi kepemimpinan dari seorang individu. Ia mengembangkan Least-Preferred Co-Worker (LPC) Scale untuk mengukur dua gaya kepemimpinan: Gaya berorientasi tugas, yang mementingkan tugas atau otoritatif dan Gaya berorientasi hubungan, yang mementingkan hubungan kemanusiaan. Sedangkan kondisi situasi terdiri dari tiga faktor utama, yaitu : 1) Hubungan pemimpin dan anggota, yaitu derajat baik/buruknya hubungan pemimpin dan bawahan. 2) Struktur tugas, yaitu derajat tinggi/rendahnya strukturisasi, standarisasi dan rincian tugas pekerjaan. Kekuatan posisi, yaitu derajat kuat/lemahnya kewenangan dan pengaruh pemimpin atas variabel-variabel 18 kekuasaan, seperti memberikan penghargaan dan mengenakan sanksi. b. Model Partisipasi Pemimpin oleh Vroom dan Yetton Suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan. Vroom dan Yetton berasumsi bahwa pemimpin harus lebih luwes untuk mengubah gaya kepemimpinan agar sesuai dengan situasi. Dalam mengembangkan modelnya, mereka membuat sejumlah asumsi: 1) Model tersebut harus bermanfaat bagi pemimpin dalam menentukan gaya kepemimpinan yang harus mereka gunakan dalam berbagai situasi. 2) Tidak ada gaya kepemimpinan tunggal dapat diterapkan dalam berbagai situasi. 3) Perhatian utama terletak pada masalah yang harus dipecahkan dan situasi dimana terjadi permasalahan. 4) Gaya kepemimpinan yang digunakan dalam suatu situasi tidak boleh bertentangan dengan gaya yang digunakan dalama situasi yang lain. 5) Terdapat sejumlah proses sosial yang mempengaruhi kadar keikutsertaan bawahan dalam pemecahan masalah. c. Model Jalur-Tujuan (Path Goal Model). Model ini berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. 19 Pempimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Disebut sebagai jalur-tujuan karena memfokuskan pada bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk mencapai tujuan. d. Teori Kepemimpinan Situasional, Hersey dan Blanchard mengembangkan model kepemimpinan serta memiliki pengikut yang kuat di kalangan spesialis pengembangan manajemen. Model ini disebut teori kepemimpinan situasional. Penekanan teori kepemimpinan situasional adalah pada pengikut-pengikut dan tingkat kematangan mereka. Para pemimpin harus menilai secara benar atau secara intuitif mengetahui tingkat kematangan pengikut-pengikutnya dan kemudian menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkatan tersebut. C. Lingkungan Kerja 1. Pengertian Lingkungan Kerja Menurut Nitisemito (2002) mengemukakan “Lingkungan kerja adalah segala yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas yang dibebankan”. Sedangkan Sedarmayanti (2009) mengungkapkan bahwa “Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan 20 sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”. 2. Jenis Lingkungan Kerja Sedarmayanti (2009) mengemukakan bahwa lingkungan kerja dibagi kedalam dua bagian, yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik. Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang termasuk kedalam lingkungan kerja fisik adalah: a. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan pegawai (seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya) b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya : temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan,kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna dan lain-lain. Lingkungan kerja non fisik menurut Sedarmayanti (2001) adalah semua keadaan yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan. Indikator-indikator lingkungan kerja menurut Nitisemito (2002) terdiri dari: Suasana kerja, Hubungan dengan rekan kerja, Hubungan antar bawahan dengan pimpinan dan Tersedianya fasilitas untuk karyawan. 21 D. Semangat Kerja Pengertian semangat kerja menurut Hasibuan (2009) adalah “keinginan dan kesungguhan seseorang mengerjakan pekerjaannya dengan baik serta berdisiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal”. Sedangkan menurut Nitisemito (2002) semangat kerja adalah “melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga dengan demikian pekerjaan akan diharapkan lebih cepat dan lebih baik”. Semangat kerja menurut Moekijat (2002) adalah “kemampuan sekelompok orang-orang untuk bekerja sama dengan giat dan konsekuen dalam mengejar tujuan bersama”. Menurut Siagian (2003) semangat kerja adalah “sejauh mana karyawan bergairah dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya di dalam perusahaan”. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa semangat kerja merupakan cermin dan kondisi karyawan dalam lingkungan kerjanya. Jika semangat kerja meningkat maka perusahaan akan memperoleh banyak keuntungan seperti rendahnya tingkat absensi, kecilnya labour turn over, pekerjaan lebih cepat diselesaikan dan sebagainya. Sehingga tingkat produktivitas kerja dapat ditingkatkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi turunnya atau melemahnya semangat kerja menurut Alex S. Nitisemito (2002), yaitu: a. Upah yang rendah, Upah yang terlalu rendah akan mengakibatkan karyawan lesu didalam bekerja, karena kebutuhan atau hidupnya tidak dapat terpenuhi dari pekerjaan yang dia kerjakan sehingga semangat kerja akan menurun. 22 b. Lingkungan kerja yang buruk, Lingkungan kerja yang buruk akan menggangu konsentrasi karyawan dalam bekerja, sehingga apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. c. Gaya kepemimpinan yang buruk, Gaya kepemimpinan yang buruk akan mempengaruhi semangat kerja karyawan didalam bekerja, karena apabila pemimpin terlalu otoriter dan hanya mementingkan kepentingan perusahaan tanpa mempedulikan karyawan maka semangat kerja karyawan akan menurun. d. Kurang informasi, Kurangnya informasi yang diberikan kepada karyawan akan mengakibatka lambatnya penyelesaian pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan, karena informasi yang dibutuhkan karyawan sangat kurang. Indikator-indikator semangat kerja menurut Moekijat (2003) terdiri dari: a. Kegembiraan, Orang yang optimis adalah orang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal (Moekijat, 2003). Karyawan yang selalu gembira biasanya mempunyai peluang yang besar untuk mengerjakan dengan baik, sedangkan karyawan yang tidak mempunyai rasa gembira, biasanya pekerjaan yang dihasilkan tidak akan maksimal. 23 b. Kerjasama, Kerjasa sama di antara rekan kerja merupakan kondisi yang diinginkan oleh manajemen perusahaan, agar setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. c. Kebanggaan dalam dinas, Perasaan senang terhadap pekerjaan merupakan perasaan senang pada diri karyawan terhadap pekerjaan yang diberikan perusahaan. Apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan dengan senang atau menarik bagi dirinya, maka hasil pekerjaannya akan lebih memuaskan daripada mengerjakan pekerjaan yang tidak disenangi. Demikian pula apabila akan memberikan tugas pada seseorang, maka alangkah baiknya bila sebelumnya mengetahui apakah orang tersebut senang atau tidak dengan pekerjaan yang akan diberikan. Hal ini dilakukan agar mendapatkan suatu hasil yang lebih memuaskan. Jadi rasa senang dengan suatu pekerjaan juga merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan mutu dari hasil produksi (Anoraga, 2001). d. Ketaatan kepada kewajiban, Ketaatan kepada kewajiban merupakan tindakan karyawan terhadap peraturan yang telah ditetapkan perusahaan apakah bisa mentaatinya (Moekijat, 2003). Karyawan yang mempunyai konsekuensi tinggi harus mau menaati semua kewajibannya sesuai dengan kesepakatan saat pertama kali bekerja. e. Kesetiaan, Kesetiaan timbul dari dalam diri sendiri, karyawan merasakan kesadaran yang tinggi bahwa antara dirinya dengan perusahaan merupakan dua pihak yang saling membutuhkan. 24 Karyawan tersebut membutuhkan perusahaan tempat mencari sumber penghidupan dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya. Disisi lain perusahaan dianggap mempunyai kepentingan kepada karyawan, karena dengan karyawan itulah perusahaan akan dapat melakukan produksi dalam rangka pencapaian tujuannya. E. Penelitian Terdahulu Adapun penelitian terdahulu yang akan dijadikan sebagai referensi sebagai berikut : 1. Haig Malvinas (2013) dengan judul Pengaruh Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja Terhadap Semangat Kerja Karyawan PT. Prima Rasa Lestari.Hasil penelitian adalah secara simultan dan parsial ada pengaruh dan pengaruh antara Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja Terhadap Semangat Kerja Karyawan PT. Prima Rasa Lestari . 2. Regina Aditya Reza (2010) dengan judul pengaruh gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan PT Sinar Santosa Perkasa Banjarnegara. Hasil Penelitiannya ada bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Motivasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan dan disiplin kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. 25 F. Kerangka Pikir Adapun alur kerangka pikir pada penelitian ini sebagai berikut : Kepemimpinan (X1) Semangat Kerja Karyawan (Y) Lingkungan Kerja (X2) G. Hipotesis Dari perumusan masalah dan uraian sebelumnya, maka hipotesis dapat dituliskan sebagai berikut: H1 : Diduga secara bersama-sama terdapat pengaruh Lingkungan Kerja dan Kepemimpinan terhadap semangat kerja karyawan. H2 : Diduga secara individu terdapat pengaruh Lingkungan Kerja dan Kepemimpinan terhadap semangat kerja karyawan.