Published: March 2016 ISSN: 2502–8634 Volume 1, Number 3 LSC INSIGHTS The Contemporary Policy Issues in Indonesia MENAKAR POTENSI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA Albertus Kurniadi Leeds Business School, UK Ringkasan Eksekutif Dalam tulisan ini, Albertus Kurniadi memberikan analisis tentang potensi krisis keuangan di Indonesia. Menilik beberapa data makroekonomi Indonesia, pada dasarnya Indonesia belum sampai pada potensi krisis ekonomi sebagaimana terjadi pada tahun 1998. Meskipun demikian, kewaspadaan terhadap krisis perlu tetap dijaga untuk memastikan Indonesia tidak rentan terhadap pelemahan ekonomi global. www.policyreview.id Pendahuluan Pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir sempat menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan. Ingatan akan krisis ekonomi di tahun 1997/1998 yang juga ditandai dengan melemahnya rupiah masih menghantui sebagian masyarakat. Akankah ketidakberdayaan rupiah menghadapi mata uang USD menjadi ukuran terjadinya krisis jilid dua bagi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya kita harus melihat segala sesuatu secara proporsional. Tulisan ini disusun untuk melihat dan menakar aras (level) kondisi perekonomian Indonesia dengan mempertimbangkan ukuran-ukuran yang berlaku secara umum, sekaligus berupaya mengupas secara objective kondisi riil yang terjadi saat ini. Melakukan pembahasan tentang krisis ekonomi akan melibatkan banyak subject. Setidaknya diskusi akan menyinggung nilai tukar rupiah dan berbagai indicator ekonomi makro semisal tingkat inflasi, cadangan devisa, ekspor dan impor. Meski demikian pembahasan tentang hal ini sepertinya sudah bukan lagi didominasi oleh ekonom, ahli perbankan maupun pebisnis. Setidaknya penulis pun saat ini berkesempatan mengaku sebagai ekonom dengan bekal membawa dua atau tiga grafik tentang ekonomi di tangan. Dengan alasan bahwa cakupan pembahasan tentang krisis keuangan dan krisis ekonomi cukup luas, sekaligus untuk menutupi ketidakmampuan dan kekurangan penulis, maka tulisan ini akan beranjak dari standar umum (common practice) yang biasa digunakan untuk mengukur kondisi atau kinerja perekonomian sebuah negara. Mengenal Jenis Krisis Meskipun masih dalam perdebatan, setidaknya terdapat tiga istilah krisis yang selama ini berkembang dan dikenal secara luas, antara lain: (1) krisis keuangan, yang mencakup krisis perbankan (banking crisis); (2) krisis pasar modal (stock market crash) dan krisis mata uang (currency crisis); serta (3) adalah krisis ekonomi (economic crisis). Masih ada beberapa jenis krisis yang dikenal, seperti krisis neraca pembayaran, yang tidak akan banyak diungkap dari tulisan ini. Secara lebih spesifik, tulisan ini akan lebih banyak menyoroti krisis keuangan dan krisis ekonomi. Pertama, krisis perbankan. Menilik dari namanya, krisis perbankan adalah kondisi krisis yang terjadi di sector perbankan. Berbagai pihak mencoba menyusun definisi dan mekanisme pengukuran yang dianggap dapat mewakili situasi ini. Adanya penarikan besar-besaran dana nasabah di berbagai bank yang terjadi secara masif menjadi salah satu indicator dari krisis perbankan. Hal ini salah satunya bisa diukur dari penurunan jumlah total deposit yang ada dalam sector perbankan dalam kurun waktu tertentu. Salah satu contoh krisis perbankan terjadi di Indonesia pada tahun 1997. Seiring dengan adanya likuidasi atau pencabutan ijin sekitar 16 bank, timbul 1 krisis kepercayaan kepada sector perbankan. Saat itu masyarakat melakukan penarikan uang mereka dari bank secara besar-besaran yang mengancam system perbankan nasional. Kedua, krisis pasar modal. Selain krisis perbankan, krisis pasar modal menjadi salah satu topik yang menarik dipelajari dan banyak diulas dalam literatur ilmu ekonomi. Situasi penurunan harga-harga saham secara tajam yang dialami oleh hampir semua perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham menandai adanya krisis ini. Salah satu contoh jatuhnya pasar saham adalah Wall Street crashed di tahun 1929 yang juga mengawali terjadinya krisis ekonomi di US pada tahun 1933 atau yang lebih dikenal sebagai the Great Depression. Jenis krisis lain, sering dihubungkan dengan masalah di atas. adalah krisis mata uang. Pelemahan nilai tukar sebuah mata uang bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis. Dalam berbagai literature disebutkan bahwa terjadinya krisis mata uang ini ditandai dengan merosotnya nilai sebuah mata uang secara drastis dalam kurun waktu yang sangat singkat. Sebagaimana dipahami secara umum, terdapat sekurang-kurangnya dua mekanisme pengelolaan nilai tukar oleh otoritas moneter. Pertama, sistem tertambat (peg), yaitu dengan menetapkan nilai tukar pada tingkat atau nilai tertentu. Dalam sistem ini dikenal istilah devaluasi jika mata uang melemah dan revaluasi, jika mata uang menguat. Untuk mempertahankan nilai mata uang ini, otoritas moneter menggunakan cadangan devisanya, sehingga dalam berbagai kasus seringkali cadangan devisa terkuras habis untuk mengendalikan nilai tukar mata uang domestik. Sistem ini pernah digunakan oleh pemerintah Indonesia sebelum periode krisis 1997/1998. Kedua, sistem mengambang (floating rate) yang menentukan nilai tukar mata uang berdasarkan mekanisme pasar keuangan. Setelah periode krisis, Indonesia menerapkan managed floating rate, artinya nilai tukar diserahkan ke mekanisme pasar keuangan, namun dalam hal mendesak Central Bank dapat melakukan intervensi untuk mempertahankan nilai yang dianggap sesuai dengan kondisi ekonomi. Dalam konteks sistem mengambang atau mengambang terkendali dikenal istilah depresiasi, jika nilai mata uang melemah, dan appresiasi, jika nilai mata uang menguat. Ketiga, krisis ekonomi. Jenis krisis ini seringkali dihubungkan dengan kondisi yang lebih berat akibat dari krisis keuangan di atas. Sejauh ini, krisis ekonomi dikaitkan dengan resesi yang digambarkan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi negative dua periode triwulanan secara berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi negative ini pada akhirnya mencakup pula pertumbuhan negative di sector investasi, pendapatan individu dan perusahaan, konsumsi masyarakat. Di lain pihak tingkat pengangguran 2 meningkat. Lagi-lagi, salah contoh yang dapat diambil adalah pengalaman Indonesia di kurun waktu tahun 1998. Bagaimana Kondisi Saat Ini? Mencermati perkembangan indicator ekonomi, keuangan dan perbankan, adakah yang perlu dikhawatirkan? Jika perbandingan dilakukan dengan pre-crisis tahun 1997, tentunya akan sangat berbeda. Dari sisi system, harus diakui bahwa keadaan di tahun 1997 masih belum tertata rapi. Sebagai salah satu contohnya, penanganan perbankan bermasalah masih dilakukan kasus per kasus yang tentunya akan banyak memakan waktu, tenaga dan biaya sehingga proses mejadi kurang efektif dan efisien. Saya juga pernah membaca sebuah artikel yang menceritakan bagaimana sulitnya mencari berapa tepatnya jumlah utang swasta di tahun 1997/1998 untuk keperluan restrukturisasi. Sebaliknya, system keuangan yang ada saat ini relative lebih maju, menerapkan kaidah yang baik (prudent), transparan, diikuti dengan pembagian tugas yang jelas (clarity of roles) diantara unit terkait. Bank Indonesia merupakan otoritas moneter yang independent, Pemerintah lebih fokus ke urusan fiscal dan penyusunan target indicator makro ekonomi, belum lagi ada Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Indikator Makroekonomi Dilihat dari indicator makro-ekonomi, sampai dengan triwulan kedua tahun 2015 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi masih positif, dengan tingkat konsumsi masyarakat dan investasi yang relative stabil. Meskipun dalam tiga bulan terakhir mengalami penurunan, namun jumlah cadangan devisa dapat dikatakan masih dalam batas aman. Seiring dengan penurunan cadangan devisa, kita dapat melihat keterkaitan indicator ini dengan pelemahan nilai tukar. Memang dalam hal ini, cadangan devisa banyak diarahkan untuk mekanisme intervensi Bank Sentral untuk mengendalikan nilai tukar, sekaligus bersamaan dengan jadwal pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang luar negeri swasta dan pemerintah yang biasanya cukup tinggi di bulan Juli/Juni. Figure 1. Volatilitas Rupiah terhadap USD 3 18000 0.3 16000 0.25 0.1 0.08 0.2 0.06 0.1 0.04 0.05 0.02 -0.05 IDRUSD IDR vol (RHS) SGD VND PHP MYR Jul, 2015 Jan, 2015 Apr, 2015 Jul, 2014 Oct, 2014 Jan, 2014 Apr, 2014 Jul, 2013 Oct, 2013 Jan, 2013 Apr, 2013 Jul, 2012 -0.06 Oct, 2012 -0.04 -0.25 Jan, 2012 -0.2 Jan, 2010 0 Apr, 2012 -0.15 2000 0 -0.02 Jul, 2011 -0.1 4000 Oct, 2011 6000 Jan, 2011 8000 Apr, 2011 0 Jul, 2010 10000 0.15 Oct, 2010 12000 Apr, 2010 14000 THB Source: International Financial Statistics dan CEIC - Euromoney Di lain pihak, tingkat volatilitas rupiah terhadap USD dalam dua triwulan terakhir juga jauh lebih rendah dari tahun 1997/1998. Volatilitas dapat digunakan sebagai ukuran ketidakpastian khususnya bagi sector yang berinteraksi dengan pasar international, misalnya perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor. Bahkan jika dicermati secara lebih rinci, volatilitas di tahun 2008 - yang diwarnai dengan ketidakpastian di sector keuangan domestic akibat krisis subprime mortgage di US - dan paruh kedua tahun 2013 - saat suhu politik nasional menghangat karena adanya pemilu legislative dan eksekutif - jauh lebih tinggi dari tahun 2015. Membandingkan dengan kondisi negara tetangga, apakah mereka juga mengalami hal yang sama? Vietnam tercatat sedikit mengalami guncangan di tahun 2011, demikian pula Thailand di 2013 meskipun tidak setinggi Indonesia. Akan halnya dengan Malaysia, volatilitas ringgit terhadap USD relatif lebih tinggi daripada rupiah terhadap USD, khususnya dari awal tahun 2015 ini. Kondisi dalam negeri Malaysia diindikasikan menyumbang terjadinya volatilitas dimaksud. Figure 2. Indikator kerentanan system keuangan 250 Asian cr isis financial Uncer tainty on US QE policy r ate Domestic mini cr isis 200 Gr eek out Fir st Pr esidential election 150 bail 100 50 Jan-15 Jan-14 Jan-13 Jan-12 Jan-11 Jan-10 Jan-09 Jan-08 Jan-07 Jan-06 Jan-05 Jan-04 Jan-03 Jan-02 Jan-01 Jan-00 Jan-99 Jan-98 Jan-97 Jan-96 0 combined Source: author’s calculation 4 Beberapa Analisis Dengan adanya pelemahan rupiah terhadap USD, apakah otomatis kita mengalami krisis? Menilik indicator penetapan krisis baik terkait dengan krisis perbankan maupun krisis nilai tukar sebagaimana digambarkan dalam bagian sebelumnya, sejauh pengamatan penulis, Indonesia masih belum dapat dikatakan mengalami krisis. Berdasarkan data sampai dengan minggu kedua bulan September 2015, perkembangan jumlah deposit di sector perbankan masih dalam taraf aman - jauh di atas ambang batas krisis, sedangkan depresiasi rupiah pun kondisinya masih wajar. Selain itu, penulis mencoba mengaplikasikan kondisi terakhir perekonomian nasional ke dalam instrument pengukuran kerentanan system keuangan (financial fragility measurement). Pengukuran ini melibatkan 15 variabel yang merepresentasikan sekurang-kurangnya 4 sub-sector dalam system keuangan, diataranya perbankan, pasar modal, pasar obligasi, dan nilai tukar yang selanjutnya diindeksasi untuk memperoleh satu angka tertentu. Berdasarkan indicator ini, memang index potensi kerentanan di bulan September 2015 relatif meningkat sejajar dengan kondisi di tahun 2010 - terjadinya krisis Yunani. Namun, index kerentanan di pertengahan bulan September 2015 masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi tahun 1997/1998 saat terjadi krisis ekonomi, tahun 2005 saat terjadi krisis reksadana ‘domestic mini crisis’, dan tahun 2008 saat terjadi respon negative atas krisis di US. Pekerjaan Rumah Jika memang kita tidak dalam kondisi krisis, kemudian apa lagi yang perlu dibahas? Seandainya kondisi pasar keuangan dan perekonomian seiring dan sejalan dengan rumus matematika bahwa 1 + 1 = 2 dan 1 x 1 = 1, tentunya tidak perlu lagi kita punya concern atas problematika yang mencuat di pendahuluan tulisan ini. Pernah saya baca sebuah postingan salah seorang rekan yang menyatakan bahwa dampak loyonya rupiah hanya melanda kalangan berduit yang rajin pelesiran ke luar negeri untuk berbelanja tas atau parfum yang tiada duanya di dunia ini. Benarkah demikian? Kurang bijak rasanya kalua jawabannya adalah ya tanpa melihat fakta dan sisi yang lain. Bagaimana halnya dengan penjual mie ayam yang menggantungkan hidupnya dari mengolah mie yang bahan dasarnya dari tepung gandum dan masih kita impor? Bagaimana dengan produsen tempe, tahu dan kecap manis yang kesulitan memperoleh kedelai dengan harga stabil akibat masih impor? Belum lagi toko bahan bangunan yang menghadapi kelesuan karena bahan bangunan terutama harga besi, cat dan pralon yang meningkat tajam? Bukankah semua ini ada kaitannya dengan pelemahan rupiah atas USD. 5 Setelah so what?, dengan melihat fakta tersebutselayaknya pertanyaan kita ganti menjadi then what? Ya…then what do we need to do? ada banyak pekerjaan rumah yang memiliki prioritas tinggi untuk segera dikerjakan, terutama bagi kalangan pengambil kebijakan dan keputusan. Setidaknya ada tiga tipe kebijakan yang perlu diambil yaitu jangka pendek, untuk menjaga nilai tukar dari gejolak yang terlalu tajam (smoothing), jangka menengah dengan membuka kemudahan berusaha dan insentif bagi sector riil, dan jangka panjang dengan membangun fundamental kebijakan dan system yang lebih kuat sehingga memberikan kenyamanan dan kepastian berinvestasi. Sejauh ini, Pemerintah dan berbagai otoritas yang ada sudah menyiapkan paket kebijakan di bidang perekonomian. Memang pihak swasta atau pengusaha dapat memberikan evaluasi atas tingkat keberhasilan kebijakan tersebut. Namun, sudah selayaknya terdapat assessment internal apakah sebuah kebijakan cukup efektif untuk meredam gejolak atau tidak. Untuk itu, ada baiknya pengambil kebijakan menyertakan indicator keberhasilan pelaksanaannya, selain diperlukan time frame dalam melakukan evaluasi. Dengan pertimbangan bahwa terdapat banyak institusi dan pihak yang berperan aktif, sudah seharusnya ada kesatuan pendapat dan kesepahaman diinternal pengambil kebijakan. Selain itu, kecenderungan ego sektoral yang sering muncul di tataran birokrasi perlu dieliminasi. Salah satu kunci dan kesediaan sector swasta melakukan investasi adalah adanya kepastian. Jika kebijakan dan pernyataan yang dilontarkan diantara pejabat berkompeten tidak seiring sejalan atau lebih parahnya justru bertentangan, bagaimana pun kondisinya pasti akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi sector swasta maupun masyarakat pada umumnya. Catatan Akhir Berdasarkan perkiraan penulis, mempertimbangkan fenomena yang terjadi saat ini terdapat kemungkinan bahwa apabila sinyal membaiknya kondisi ekonomi US dapat memberikan dampak goncangan ekonomi sesaat (turbulence), maka terdapat potensi goncangan lanjutan yang perlu diwaspadai oleh Pemerintah. Misalnya dengan realisasi kenaikan tingkat suku bunga oleh the Federal Reserve - US, kebijakan moneter di Tiongkok yang terbukti cukup memberikan pengaruh kuat setidaknya bagi perekonomian Asia, semakin membaiknya kondisi di European Union, atau pengaruh kondisi regional di ASEAN akan berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri. Dengan demikian, kebijakan yang ditetapkan perlu diarahkan bukan untuk membangun system yang sifatnya ad-hoc, namun memberikan perhatian pada pembangunan fondasi yang kuat dan jangka panjang. Beberapa area yang bisa menjadi fokus perbaikan di bidang ekonomi adalah upaya 6 peningkatan/mempertahankan daya beli masyarakat disertai pemenuhan kebutuhan konsumsi yang bersumber dari dalam negeri, peningkatan daya saing domestik, diversifikasi bahan pangan, perbaikan berkelanjutan atas jalur distribusi yang mencakup infrastruktur dan suprastrukturnya, dan lain-lain. Di luar itu, pihak-pihak yang tidak berkompeten sepertinya juga perlu mengurangi tingkat kegaduhan yang mungkin ditimbulkan. Albertus Kurniadi adalah Mahasiswa PhD di Leeds Business School dengan konsentrasi Finance. Ia pernah menjadi Deputi Direktur pada salah satu Direktorat di Kementerian Keuangan RI. 7