Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005 PENGARUS-UTAMAAN JENDER SEBAGAI STRATEGI MUTAKHIR GERAKAN PEREMPUAN Sri Emiyanti Pusat Studi Wanita-Universitas Sumatera Utara Abstrak Tulisan ini menyajikan perkembangan wacana tentang jender sebagai sebuah konsep yang semakin populer dalam konteks pembangunan global. Bermula dari isu WID, WAD, dan kemudian yang paling mutakhir adalah ‘pengarusutamaan jender’, tahapan demi tahapan tersebut berkembang sebagai kritik dan alternatif terhadap pendekatan sebelumnya sebagai upaya untuk menguatkan peran dan posisi kaum perempuan. Namun, kebijakan negara dalam peng-arusutama-an jender dalam pembangunan tidak akan mencapai hasil yang maksimal, jika tidak dijabarkan dalam strategi implementasi kebijakan yang tertuang dalam program-program strategis. Kata kunci: jender, WID, WAD, gender mainstreaming Jender sebagai sebuah istilah telah sering dilontarkan dalam wacana publik oleh banyak orang khususnya pada dekade 90-an. Namun sampai sekarang belum banyak kalangan yang memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang konsep jender tersebut. Istilah jender yang pertama muncul di kamus diartikan sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan dua jenis kelamin. Dalam ilmu-ilmu sosial istilah jender digunakan untuk mengacu pada perbedaanperbedaan antara laki-laki dan perempuan— tanpa konotasi yang bersifat biologis—yang merupakan bentukan sosial. Jadi yang dimaksud dengan relasi jender atau hubungan jender adalah sekumpulan aturan-aturan, tradisi-tradisi, dan hubungan-hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan, yang menentukan batas-batas ‘feminin’ dan ‘maskulin’. Dalam konteks ini jender menjadi istilah simpul untuk menyebut kefemininan dan kemaskulinan yang dibentuk secara sosial, yang 71 berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu lainnya, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya. Oleh karena itu perilaku jender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran, jadi bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau ‘takdir’ yang tak bisa dipengaruhi oleh manusia. Teori-Teori Sosial dalam Kajian Jender Dalam relasi jender tersebut kenyataan empiris menunjukkan adanya ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Telah banyak para ahli studi perempuan yang mengkaji hubungan/relasi jender di berbagai masyarakat dunia, di mana mereka umumnya sependapat bahwa terjadi ketidakadilan dalam hubungan jender (Moore 1998). Berbagai teori sosial telah digunakan untuk menjelaskan posisi subordinat perempuan dalam relasi jender tersebut, seperti teori struktural fungsionalisme-nya Talcot Parson, kemudian teori materialisme historisnya Karl Mark dan Engel, dan juga teori strukturalisme-nya Levi Strauss (Saptari 1997: 64 – 73). Bahkan Henrietta L. Moore, dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005 buku Feminisme and Anthropology, berusaha menjelaskan posisi perempuan yang subordinat dari dua sudut pandang, yakni konstruksi simbolik dan hubungan sosial ( Moore 1998: 29 -59 ). Namun teori-teori yang digunakan tersebut umumnya menekankan adanya sifat universal dalam menjelaskan posisi subordinat perempuan. Seolah-olah posisi subordinat perempuan dapat disebabkan oleh suatu teori yang dianggap berlaku untuk semua masyarakat atau kebudayaan di dunia. Di sinilah pusat kritikan yang ditujukan pada teori-teori sosial yang mempengaruhi studi perempuan di atas. Dalam konteks ini pemikiran posmodernisme dan posstrukturalisme pada akhirnya banyak mewarnai pembahasan tentang kajian perempuan, di mana dalam kedua pendekatan ini ditawarkan gagasan untuk tidak mengakui teori apapun yang dapat menjelaskan berbagai gejala sosial dan perubahan masyarakat kecuali paham pluralitas (Saptari 1997: 78 –82 ). Pendekatan ‘posmo’ dan ‘posstrukturalis’ menjadi cukup populer. Pertama, adanya kesadaran yang muncul dari perdebatan antara feminis radikal dan feminis sosialis (antara feminis kulit putih dengan kulit hitam), atau antara feminis Barat dengan Dunia Ketiga tentang homogen tidaknya kondisi perempuan. Dari perdebatan ini semakin tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan konseptual tentang perempuan—misalnya, dari mana datangnya dominasi laki-laki—perlu dirumuskan kembali karena pertanyaan-pertanyaan tersebut mencerminkan kerangka berpikir Barat yang tidak mencoba melihat dulu apakah dominasi laki-laki memang universal, atau apakah bentuk dominasi laki-laki seragam di seluruh dunia. Dengan demikian aspek keanekaragaman kondisi perempuan mulai ditonjolkan. Kedua, studi perempuan muncul dari keinginan untuk mendobrak “bias” laki-laki dalam ilmu pengetahuan dan kegiatan akademis, segala pandangan yang menentang teori universal yang dianggap bisa menjelaskan berbagai kelompok sosial yang beraneka ragam mendapat sambutan yang cukup baik dari kalangan studi perempuan. Pembangunan dan Jender Sebagai konsep analitis, gender memiliki nilai yang tinggi karena konsep itu langsung menarik perhatian ke arah proses- 72 proses dan intervensi-intervensi sosial serta kebudayaan dalam hal dampak-dampaknya yang berlainan terhadap perempuan dan laki-laki, serta hubungan timbal balik antara keduanya. Strategi perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial dari perspektif perempuan pada dasarnya telah ditempuh melalui berbagai strategi. Strategi pertama, yakni strategi “meningkatkan peran wanita” atau “melibatkan kaum wanita dalam pembangunan”. Strategi ini menjadi strategi dominan di tahun 70-an. Setelah PBB menetapkan dekade pertama pembangunan kaum perempuan, sejak saat itulah hampir semua pemerintahan di Dunia Ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan Wanita, dengan fokus utama meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan. Strategi peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu analisis yang lebih memfokuskan pada kaum perempuannya. Strategi ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan. Pada tahun 80-an, pemerintah negara-negara Dunia Ketiga melalui dukungan dan tekanan negara dan lembaga dari Barat, mendesakkan pentingnya memasukkan ‘peran perempuan’ dalam pembangunan. Sebagai respon, selanjutnya banyak perencanaan pembangunan tidak saja memanfaatkan perempuan yang jumlahnya lebih separoh dari penduduk bumi demi mengefektifkan pembangunan, namun juga meletakkan perempuan sebagai target pembangunan, dengan melibatkan mereka dalam proses pembangunan. Gagasan ini telah melahirkan diskursus baru dalam teori dan kebijakan pembangunan yang dikenal dengan WID (Women In Development). Berbagai program telah dilakukan melalui pelatihan peningkatan keterampilan perempuan untuk membuat kaum perempuan memiliki peran pada sektor produktif dan publik. Meskipun analisis ini sudah banyak ditinggalkan, namun analisis arus utama ini telah menjadi aliran yang mendominasi di kalangan pemikir pembangunan dan birokrasi. Dalam konteks ini Moser (1993) mengidentifikasi beberapa aliran strategi pendekatan WID. Pertama, pendekatan ini Sri Emiyanti Perempuan Pengarusutamaan Jender sebagai Strategi Mutakhir Gerakan menggunakan analisis “pengentasan kemiskinan”. Dasar pemikirannya adalah bahwa perempuan miskin karena mereka kurang sumberdaya alam atau tidak produktif, oleh karena itu perlu diciptakan proyek peningkatan pendapatan bagi kaum perempuan. Ini berarti bahwa apa yang dikerjakan perempuan di sektor reproduksi dan segala pekerjaan ‘domestik’ tidak dinilai. Akibatnya proyek peningkatan pendapatan bagi kaum perempuan justru menambah beban kerja kaum perempuan. Kedua, pendekatan ini menggunakan analisis “pendekatan efisiensi” yakni pemikiran bahwa pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan. Oleh karena itu pelibatan itu sendiri lebih demi efisiensi pembangunan. Sekali lagi dalam analisis ini peran jender tradisional kaum perempuan di sektor domestik dan reproduksi tidak dihargai. Analisis ini samasekali bukan bertujuan untuk membebaskan dan mengemansipasi kaum perempuan, melainkan justru menggunakan perempuan untuk tujuan pembangunan. Kedua analisis sosial tersebut lebih untuk memenuhi kebutuhan praktis kaum perempuan semata, tanpa mempertanyakan pada kebutuhan strategis mereka. Strategi kedua, muncul sebagai kritik dan reaksi terhadap strategi WID yang menganggap adanya korelasi positif antara peran serta kaum perempuan di sektor produktif dan sektor publik dengan meningkatnya status kaum perempuan. Partisipasi perempuan di sektor produktif memang perlu, tapi tidak selalu akan menaikkan status perempuan. Rendahnya partisipasi memang berkorelasi dengan rendahnya status perempuan, tapi tanpa mengurangi peran mereka di sektor reproduksi, keterlibatan perempuan di sektor produksi akan menjerumuskan pada beban ganda perempuan, karena mereka tetap berposisi subordinat. Pengalaman lapangan menunjukkan ternyata dengan keterlibatan perempuan dalam pembangunan tidak serta merta membawa pada pemberdayaan perempuan, apalagi jika alasan dasarnya lebih untuk mensukseskan pembangunan atau demi efisiensi pembangunan, maka perempuan lebih menjadi korban ketimbang sebagai subyek yang menikmati hasilnya. Atas dasar itulah strategi kedua muncul sebagai reaksi terhadap strategi yang lebih memfokuskan pada ‘masalah perempuan’. Strategi kedua ini lebih memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi, dan budaya yang hidup di masyarakat yang melahirkan bentukbentuk ketidak-adilan hubungan jender. Jadi persoalan utamanya bukan pada kaum perempuan seperti diasumsikan pada strategi WID, namun lebih ditujukan pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dalam menjelaskan konteks ini, analisis jender seperti yang dikatakan oleh Faqih (1996) dapat memberi perangkat teoritik untuk memahami sistem ketidakadilan hubungan gender. Kedua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban dari ketidakadilan hubungan gender tersebut. Namun oleh karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan, maka seolah-olah analisis gender hanya menjadi alat perjuangan kaum perempuan saja. Analisis gender justru menjadi alat tidak saja bagi gerakan feminis untuk menjelaskan sistem ketidakadilan sosial. Demikian pula halnya bagi gerakan perempuan, tanpa analisis gender gerakan perempuan hanya memusatkan perhatian perubahan bagi kaum perempuan belaka. Dalam hal ini, justru analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Dalam konteks ini Faqih (1996) lebih lanjut mengatakan bahwa kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi terdehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender. Analisis gender juga memungkinkan suatu program atau proyek pembangunan yang memfokuskan pada relasi gender ketimbang memfokuskan pada kaum perempuan saja. Dengan demikian yang menjadi agenda utama perjuangan perspektif gender ini tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis untuk merubah kondisi kaum perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni memperjuangkan perubahan posisi kaum perempuan, termasuk menentang hegemoni dan wacana ideologi gender yang telah mengakar dalam masyarakat. Usaha pemberdayaan dan perubahan struktur gender inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and Development (GAD). 73 Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005 Strategi yang kedua ini telah melahirkan GAD yang dianggap sebagai alternatif terhadap WID. Jika prestasi WID adalah melahirkan proyek-proyek peningkatan peranan wanita, maka puncak keberhasilan strategi kedua ini menghasilkan kebijakan global yang monumental bagi perjuangan kaum perempuan pada tahun 1979 yakni dengan diterimanya konvensi global anti segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan yang dikenal dengan CEDAW. Sebagian besar pemerintahan dunia yang menjadi anggota PBB meratifikasi konvensi tersebut. Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi itu dengan mensahkan Undang Undang No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya, ternyata diratifikasinya CEDAW atau konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan tidak serta merta mengurangi praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun masyarakat. Keadaan ini menjadi tema keprihatinan baru di manamana, termasuk di Indonesia. Pada tahun 1985 dalam Konferensi Dunia PBB ke tiga yang diselenggarakan di Nairobi, dalam suatu pembahasan Komisi PBB tentang status perempuan telah mulai diangkat kemungkinan lebih tegas untuk menjadikan perspektif gender ke dalam semua kebijakan negara dan pembangunan, karena tanpa itu CEDAW hanya menjadi ‘macan kertas’ belaka. Perjalanan panjang kekecewaan implementasi CEDAW selanjutnya berproses terus-menerus, dan memuncak ketika diselenggarakannya Konferensi Dunia PBB ke empat pada tahun 1995, di mana pertemuan dunia ini lebih dikenal sebagai Beijing Conference. Di pertemuan Beijing inilah untuk pertama kalinya para pejuang yang mencitacitakan keadilan jender mendeklarasikan suatu usaha yang lebih tegas dan sistematis yang dituangkan dalam Platform For Action sebagai suatu strategi yang dikenal dengan “gender mainstreaming” atau “pengarus-utamaan jender”. Strategi terakhir inilah yang dikenal sebagai strategi ketiga atau strategi mutakhir dari gerakan perempuan di dunia. Ada 12 bidang kritis dari Beijing Platform For Action (BPFA) ini yakni: Perempuan dan Kemiskinan; Pendidikan, dan Pelatihan bagi Perempuan; 74 Perempuan dan Kesehatan; Tindak Kekerasan terhadap Perempuan; Perempuan dalam Konflik Bersenjata; Perempuan dan Ekonomi; Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; Mekanisme Kelembagaan untuk Kemajuan Perempuan; Hak Asasi Perempuan; Perempuan dan Media; Perempuan dan Lingkungan Hidup; serta Anak Perempuan. Strategi ketiga muncul sebagai strategi alternatif dari strategi-strategi sebelumnya dan merupakan agenda perjuangan mutakhir dari mereka yang mencita-citakan percepatan terciptanya suatu keadilan jender di masyarakat luas. Berbeda dengan strategi pemberdayaan sebelumnya, di mana pada strategi pertama dimulai dari meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan, lantas muncul strategi kedua mengintegrasikan jender dalam pembangunan. Strategi kedua mulai dengan penyelenggaraan berbagai training sensitivitas jender dan dilanjutkan dengan pengintegrasian jender ke dalam proyek pembangunan. Pada saat inilah berbagai alat analisis mulai disebarluaskan, mulai dari model Analisis Harvard, Alat Analisis Moser, sampai model Social Relation Framework oleh Naila Kabir. Namun kedua strategi tersebut dirasa kurang memuaskan. Strategi ketiga lebih memfokuskan perhatian pada negara. Jadi, strategi peng-arusutama-an jender dalam pembangunan merupakan satu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan pengalaman dan masalah perempuan dan laki-laki ke dalam rancangan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan, program, anggaran, dan peraturan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan kemasyarakatan. Oleh karena itu strategi ini lebih menggunakan sarana advokasi studi dan perencanaan kebijakan. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan mengeluarkan kebijakan dan program yang dapat mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program nasional, yang semua itu tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2000. Strategi peng-arusutama-an jender di Indonesia sudah tertuang dalam GBHN 1999, dengan kebijakan satu pintu yakni pembangunan Sri Emiyanti Perempuan Pengarusutamaan Jender sebagai Strategi Mutakhir Gerakan pemberdayaan perempuan. Dalam pokok-pokok uraian pembangunan pemberdayaan perempuan (2000–2004) yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, kebijakan ini mencakup: 1. Peningkatan kualitas SDM perempuan 2. Pembaharuan hukum dan peraturan perundang-undangan 3. Penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan 4. Penegakan hak asasi manusia bagi perempuan 5. Kemampuan lembaga pemerintah dalam pemberdayaan perempuan 6. Peningkatan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan 7. Peningkatan peran serta masyarakat 8. Perluas jangkauan pemberdayaan perempuan 9. Peningkatan internasional penerapan komitmen Penutup Kebijakan negara dalam pengarusutama-an jender dalam pembangunan tidak akan mencapai hasil yang maksimal, jika tidak dijabarkan dalam strategi implementasi kebijakan yang tertuang dalam program-program strategis. Untuk itu, perlu adanya pemikiran yang sinergis dari berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, organisasi perempuan, dan LSM untuk bersama-sama mengimplemtasikan kebijakan peng-arusutamaan jender dalam pembangunan. Daftar Pustaka Faqih, Mansour. 1996a. “Gender sebagai Alat Analisis Sosial.” Dalam Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4/November 1996. ------ . 1996b. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Moore, Henrietta L. 1998. Feminisme dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moser, Caroline. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training. London: Routledge. Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Penerbit Grafiti. Bahan-Bahan Materi Lokakarya Forum Social Watch Indonesia. Jakarta 20 – 22 Juli 2005. Pembangunan Pemberdayaan Perempuan (2000 – 2004). Pokok-Pokok Uraian. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 75