Ecogreen Vol. 2 No. 2, Oktober 2016 Halaman 89 – 96 ISSN 2407 - 9049 PEMANFAATAN KULIT BAKAU (Rhizophora mucronata) SEBAGAI BAHAN PENGAWET BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) TERHADAP SERANGAN KUMBANG BUBUK (Dinoderus minutus) Mangrove Bark Extract (Rhizophora mucronata) On Durability Of Bamboo Betung (Denrocalamus asper) Against Powder Beetles Attacks (Dinoderus minutus) Nurhayati Hadjar♠, Niken Pujirahayu dan Muh. Khaeruddin Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo. ♠ Email : [email protected] ABSTRAK Bambu merupakan salah satu sumber daya alam Non kayu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Permasalahan yang sering ditemukan adalah bambu mudah terserang kumbang bubuk, dan untuk mengatasi kendala tersebut perlu perlakuan pengawetan agar umur pakai bambu bisa lebih lama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi kulit bakau terhadap peningkatan retensi bahan pengawet bambu Betung dan daya tahan bambu dari serangan kumbang bubuk. Pengaplikasian bahan pengawet menggunakan metode perendaman panas dengan konsentrasi bahan pengawet 5%, 10% dan 15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bahan pengawet ekstrak kulit Bakau memberikan pengaruh sangat nyata terhadap retensi dan penurunan berat. Perlakuan pemberian konsentrasi 15% memberikan hasil yang terbaik pada peubah retensi, dan derajat kerusakan keawetan bambu Betung. Bagian pangkal bambu lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibandingkan dengan bagian tengah dan ujung bambu sehingga diperlukan konsentrasi bahan pengawet yang lebih tinggi. Kata kunci : Bambu Betung, pengawetan, ekstrak kulit Bakau, serangga bubuk. PENDAHULUAN Salah satu hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia adalah bambu. Bambu dapat dijadikan sebagai bahan alternatif pengganti kayu untuk mengatasi kelangkaan pasokan bahan baku kayu bagi industri perabotan. Bambu sebagai bahan baku mempunyai beberapa keunggulan yaitu mudah ditanam, laju pertumbuhan yang cepat, tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus, mudah didapat, harganya murah, mudah diolah dan pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih baik dari pada kayu. Perkembangan dunia industri dan mesin-mesin pengolahan membuat bambu juga dapat diolah menjadi panel komposit struktural seperti plywood, particleboard, sandwich board, strand board yang memiliki kekuatan sebanding dengan kayu (Nurkertamanda, 2011). Salah satu kelemahan bahan baku bambu adalah tingkat keawetan alami yang rendah sehingga rentan terhadap organisme perusak seperti kumbang bubuk dan rayap. Frekuensi kerusakan bambu yang disebabkan serangga cukup tinggi yaitu 92,6 %. Kerusakan ini disebabkan oleh rayap kayu kering sebesar 51 %, bubuk kayu kering sebesar 18 % dan sisanya 31% disebabkan oleh rayap tanah dan kumbang Xylocopha sp (Barly, 2009). Peningkatan ketahanan terhadap organisme perusak dapat dilakukan dengan cara pengawetan. Pengawetan bertujuan untuk menggantikan bahan-bahan bambu yang disukai oleh organisme perusak dengan bahan lainnya yang berfungsi sebagai racun sekaligus memperpanjang umur pakai produk bambu. Bahan pengawet yang lazim digunakan dalam pengawetan bambu adalah boraks yang merupakan bahan kimia beracun, efektif dalam membunuh serangga/organisme perusak tetapi berbahaya bagi manusia dan dapat mencemari lingkungan. Pengawetan kayu atau bambu menggunakan bahan kimia hasil sintesis pada akhirnya dapat menimbulkan efek samping terhadap lingkungan karena tidak dapat diuraikan secara alami dan tidak dapat diperbaharui Upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keawetan bambu salah satunya yaitu dengan melakukan proses pengawetan terutama pengawetan dengan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan-bahan alami tersebut dapat diisolasi atau diekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman seperti dari kayu, kulit batang, daun, bunga, Pemanfaatan Kulit Bakau sebagai Pengawet Bambu – Nurhayati Hadjar et al. buah dan biji berpotensi mencegah pertumbuhan jamur dan serangga perusak kayu. Yanti (2008), menyatakan bahwa kandungan zat ekstraktif terbanyak yang terdapat pada bagian tanaman selain pada kayu teras juga terdapat pada kulit batangnya. Pohon Bakau (Rhizophora mucronata) merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan tanin yang besar terutama di bagian kulitnya. Pohon bakau juga merupakan tanaman yang berpotensi dijadikan alternatif bahan pengawet alami. Komponen kimia aktif yang terdapat dalam ekstraktif kayu bakau adalah tanin, saponin, flavonoid dan quinon (Yusro, 2010) dan kandungan tanin pada kulit kayu bakau mencapai 26% (Danarto et al., 2011). Tanin yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik (Hathway, 1962 dalam Risnasari, 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka dirasa perlu melakukan penelitian untuk melihat pengaruh ekstrak kulit bakau (Rhizophora mucronata) sebagai bahan pengawet bambu Betung (Dendrocalamus asper) terhadap serangan Kumbang Bubuk (Dinoderus minutus). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Kendari. Bahan yang digunakan adalah bambu Betung (Dendrocalamus asper) sebanyak 3 batang, kulit kayu Bakau yang telah dibersihkan dan dihancurkan, aquadest untuk melarutkan pengawet, kantong plastik, dan kertas label. Alat yang digunakan meliputi peralatan di lapangan dan di laboratorium. Peralatan di lapangan berupa kapak, gergaji manual, parang, meter, dan kamera digital. Sedangkan peralatan yang digunakan di laboratorium timbangan analitik, blender kayu, gelas kimia ukuran 1000 ml, saringan berukuran 40 – 60 mesh, hot plate, kaliper digital, oven dan alat tulis-menulis. Pengambilan contoh uji Bambu yang digunakan adalah bambu jenis betung yang sudah agak tua. Pemilihan jenis bambu dan bagian bambu yang digunakan 90 dipengaruhi oleh faktor kerentanan bambu terhadap kumbang bubuk dan juga tingkat kadar air dan kandungan pati yang dimiliki oleh bagian tersebut. Contoh uji kemudian dibuat dalam bentuk bilah yang berasal dari bagian pangkal, tengah dan ujung sebatang bambu dengan ukuran panjang 10 cm, lebar 2,5 cm dan tebal bilah menyesuaikan tebal bambunya dengan ulangan 3 kali sehingga tersedia 12 contoh uji. Bilah bambu yang digunakan adalah bambu bagian dalam yang sudah dibuang bagian kulit terluar (Nurketamanda et al. 2011). Pengeringan bambu Sebelum diawetkan, bambu harus dalam kondisi kering udara, sampel dikeringkan untuk menurunkan kadar air bambu sehingga akan mempermudah penyerapan zat yang terdapat dalam bahan pengawet (ekstrak kulit bakau). Pada tahap ini, bambu dikeringkan dengan menggunakan oven selama kurang lebih 4 jam dengan suhu 600C hingga kadar air bambu mencapai 12 %. Rata-rata kadar air bambu sebelum proses pengeringan yaitu 22 % untuk bagian luar bambu dan 24 % untuk bagian dalam bambu. Kemudian diukur panjang dan lebar untuk menghitung volume, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kayu sebelum pengawetan (Bo). Perhitungan besarnya kadar air menurut Rochadi (1996) dalam Handayani (2007), adalah sebagai berikut: W air (%) = (W1 W2) W2 x 100 % dimana: W air = Kadar air (%) W1 = Berat spesimen bambu awal (gr) W2 = Berat spesimen bambu akhir (gr). Persiapan bahan pengawet Kulit kayu bakau diambil dari pohonnya secara acak, lalu dipotong kecil-kecil dan diblender menjadi serbuk kemudian disaring dengan menggunakan saringan berukuran 60 mesh. Pembuatan ekstrak kulit bakau menggunakan 3 variasi konsentrasi yaitu 50, 100 dan 150 gram/liter (5%, 10% dan 15%). Ekstrak kulit bakau diperoleh dengan cara merebus serbuk kulit bakau dalam air panas didalam suatu penangas air panas sampai Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 89 - 96 mendidih sehingga diperoleh larutan ekstrak kulit bakau di dalam air yang digunakan untuk merebus bilah bambu betung. Proses pengawetan Metode pengawetan yang digunakan adalah metode perendaman panas bambu pada suhu 55oC - 65oC selama 60 menit. Sampel-sampel bambu direndam kedalam larutan ekstrak kulit bakau yang bersuhu 60o C. Suhu perendaman dikontrol dengan menggunakan kompor listrik agar larutan tetap berada pada suhu 55oC - 65oC selama 60 menit. Setelah proses pengaplikasian bahan pengawet, bambu langsung dikeringkan kembali ke kondisi kering udara. Pengujian terhadap serangga kumbang bubuk Contoh uji dibiarkan didalam ruang gelap pada suhu kamar (kering angin), tanpa diletakkan serangga bubuk pada contoh uji, dibiarkan selama 3 bulan, akan tetapi diamati secara berkala setiap 1 bulan, apakah timbul lubang-lubang jarum dan serbuk kuning pada permukaan kulit bambu, kemudian ditimbang untuk menentukan berat contoh uji (Susilaning dan Suheryanto, 2012). Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu posisi bambu pada bagian pangkal (P), tengah (T), ujung (U) dan konsentrasi bahan pengawet K0 (0%), K1 (5%), K2 (10%), K3 (15%) Tarigan et al. (2012), yang terdiri dari 12 kombinasi perlakuan untuk variabel derajat kerusakan dan diulang sebanyak 3 kali, 12 x 3 = 36 unit percobaan. Untuk variabel retensi terdiri dari 9 kombinasi perlakuan tanpa kontrol dan diulang sebanyak 3 kali, 9 x 3 = 27 unit percobaan. Variabel Yang Diamati 1. Retensi Retensi adalah jumlah bahan pengawet tanpa larutan yang telah masuk kedalam bambu, yang merupakan selisih berat berat kering angin contoh uji sebelum dan setelah pengawetan. Menurut Tarigan et al. (2012), retensi dapat dihitung dengan rumus: R= (B1 B0) V xK Dimana : R = retensi bahan pengawet (Kg/m3) B1 = berat sebelum diawetkan (g) B0 = berat setelah diawetkan (g) K = konsentrasi larutan (%) V = volume contoh uji (m3). 2. Derajat Kerusakan Menurut Susilaning dan Suheryanto (2012), skala yang digunakan untuk mengukur derajat kerusakan didasarkan pada pengurangan berat contoh uji (tanpa pengumpanan) untuk kemudian dibandingkan dengan kontrol. Dihitung dengan menggunakan persamaan: P= (W1 W2) W1 x 100 % Dimana: P = penurunan bobot, dinyatakan dalam persen (%) W1 = bobot awal contoh uji kering oven, dinyatakan dalam gram (g) W2 = bobot akhir contoh uji kering oven, dinyatakan dalam gram (g). Tabel 1. Klasifikasi ketahanan bambu terhadap serangan kumbang bubuk secara visual. Kelas Ketahanan Derajat Kerusakan Nilai I Sangat kuat Utuh, atau serangan ringan: ≤ 5% Serangan ringan: 6– 15 % Serangan sedang, berupa saluran– saluran yang dangkal dan sempit : 16–30 % Serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar: 3150 % Serangan sangat berat : > 50 % 0 II III Tahan Sedang IV Tidak tahan V Sangat tidak tahan Sumber: SNI 7207:2014. 40 70 90 100 Analisis Data Data primer dianalisa menggunakan Anova (Analysis of variance), selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka 91 Pemanfaatan Kulit Bakau sebagai Pengawet Bambu – Nurhayati Hadjar et al. pengujian dilanjutkan dengan uji nyata DMRT (Duncan Multiple Range Test) jika berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%. Analisis data dilakukan dengan alat bantu software SAS 9.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Retensi Nilai rata-rata retensi pada pengaruh perlakuan beda konsentrasi bahan pengawet kulit Bakau disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Rata-Rata Retensi Pada Pengaruh Perlakuan Beda Konsentrasi bahan Pengawet Kulit Bakau. Retensi P T 5% 0,12 0,18 10% 0,43 0,45 15% 0,63 0,64 Ket : P = pangkal; T= tengah; U = ujung. Konsentrasi U 0,11 0,48 0,21 Rata-Rata 0,14 0,45 0,49 Tabel 3. Hasil Uji Lanjut DMRT Pengawetan Bambu Pada Berbagai Konsentrasi Bahan Pengawet Kulit Bakau Terhadap Retensi. Perlakuan PK1 PK2 PK3 TK1 Rata-Rata Retensi 0,12d 0,43abc 0,63a 0,18cd TK2 0,45abc UK1 0,12d TK3 UK2 UK3 DMRT 95% (Kg/m3) 0,64a 0,47ab 0,20bcd 18 Ket :Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hasil uji lanjut DMRT pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi pengawet sebesar 15% (PK3 dan TK3) adalah perlakuan terbaik terhadap retensi. Derajat Kerusakan Untuk menentukan ketahanan bambu terhadap serangan dilakukan dengan cara menentukan persentase penurunan berat 92 setelah bambu tersebut diserang oleh hama perusak bambu. Secara detail hubungan antara ketahanan bambu dan persentase penurunan berat dapat dilihat pada Tabel 4. Dimana semakin rendah persentase penurunan berat bambu setelah diserang hama perusak bambu maka semakin baik ketahanan bambu tersebut. Tabel 4. Hasil Uji Lanjut DMRT Pengawetan Bambu Pada Berbagai Konsentrasi Bahan Pengawet Kulit Bakau Terhadap Penurunan Berat. Rata-Rata Penurunan Berat Perlakuan (%) PK0 45,23a PK1 39,07ab TK0 28de PK2 PK3 TK1 36,69bc 29,38cd 27,68de TK2 26,62def UK1 19,02fgh TK3 UK0 UK2 UK3 17,78gh 20,15efg 20,52efg 10,94h DMRT 22 95% Ket: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hasil uji lanjut DMRT pada tabel 4, dapat dilihat bahwa PK0 (kontrol) adalah cenderung memberikan hasil tertinggi pada parameter penurunan berat, namun hasil yang terbaik terdapat pada perlakuan UK3. Tabel 5. Derajat Kerusakan Pada Posisi Bambu Dalam Batang. Posisi Rata-rata Penurunan Berat (%) Bambu Tanpa Diberi dalam Pengawet Pengawet Batang P 45,23 35,04 T 28,00 24,02 U 20,15 20,01 Rata-Rata 31,12 26,35 Ket : P = pangkal; T = tengah; U = ujung. Persen Penurunan Berat (%) Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 89 - 96 40 30 20 10 0 31.12 0% 28.59 5% 27.94 10% 19.36 15% Konsentrasi Larutan Serbuk Tanin Kulit Bakau Gambar 1. Histogram pengaruh beda konsentrasipengawet kulit bakau terhadap penurunan berat. Histogram pada Gambar 1 menunjukkan persentase penurunan berat tertinggi terdapat pada konsentrasi 0% (K0) yakni sebesar 31,12% dan terendah pada perlakuan konsentrasi 15% (K3) yakni sebesar 19,36%. Pembahasan Retensi Setiap metode pengawetan yang digunakan, bertujuan untuk memasukan bahan pengawet sedalam dan sebanyak yang dipersyaratkan. Menurut Nandika et al. (1996) dalam Meiyandi (2013), efektivitas pengawetan kayu tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh bahan pengawet, akan tetapi juga ditentukan oleh jumlah bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT, pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pemberian bahan pengawet dengan konsentrasi 15% (K3) memberikan pengaruh terbaik pada parameter retensi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pengaruh konsentrasi pengawet menjadi satu-satunya perlakuan yang berpengaruh sangat nyata pada hasil pengamatan retensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pengawet serbuk kulit Bakau, maka semakin tinggi pula retensi bahan pengawet yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pengawet maka semakin banyak pula ekstrak bahan pengawet yang terdifusi ke dalam bambu. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Tarigan et al. (2012), dimana peningkatan konsentrasi pengawet larutan asam asetat dari konsentrasi 10% - 25% pada kayu Kemiri (Aleurites moluccana) dapat meningkatkan nilai retensi. Sesuai dengan penelitian Mandasyari (2007) dalam Tarigan et al. (2012), bahwa semakin tinggi konsentrasi pengawet yang digunakan maka semakin besar nilai retensi bahan pengawet yang didapat. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa rata-rata nilai retensi yang diperoleh masih belum memenuhi standar yang telah ditentukan, baik untuk penggunaan di dalam maupun di luar ruangan. Secara umum ratarata nilai retensi yang diperoleh lebih rendah dari nilai standar (0,14 hingga 0,49 Kg/m3 berbanding 8,0 Kg/m3 (di bawah atap) dan 11,9 Kg/m3 (di luar atap) sebagaimana SNI 035010.1-1999). Rendahnya konsentrasi pengawet serbuk kulit Bakau diduga menjadi penyebab rendahnya hasil retensi bahan pengawet pada bambu Betung. Menurut Sulthoni (1985) dalam Susanti (2001), retensi bahan pengawet tergantung pada beberapa faktor, seperti konsentrasi bahan pengawet, lama pengawetan, sifat bahan kimia yang digunakan umur dan dimensi bambu, kadar air dan sebagainya. Penyebab rendahnya nilai retensi yang dihasilkan diduga karena bahan pengawet. Hal ini diduga karena pelarut tanin pada kulit Bakau yang menggunakan air. Menurut Hathway (1962) dalam Risnasari (2002), umumnya tanin diekstrak dengan menggunakan pelarut air, karena lebih murah dan hasil yang relatif cukup tinggi, tetapi tidak menjamin jumlah senyawa polifenol yang ada dalam bahan tanin tersebut. Menurut Browning (1966) dalam Risnasari (2002), untuk memperoleh ekstrak dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, maka umumnya digunakan etanol atau asetol dengan konsentrasi volume air yang sebanding. Derajat Kerusakan Derajat kerusakan adalah salah satu tolak ukur untuk melihat intensitas serangan serangga bubuk bambu. Derajat kerusakan dinyatakan sebagai persentase perbandingan antara penurunan berat yang diberi perlakuan terhadap penurunan berat contoh uji kontrol, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak berbeda dengan faktor-faktor yang 93 Pemanfaatan Kulit Bakau sebagai Pengawet Bambu – Nurhayati Hadjar et al. mempengaruhi nilai pengurangan berat (Susilaning dan Suheryanto, 2012). Untuk menentukan ketahanan bambu terhadap serangan hama perusak bambu dilakukan dengan cara menentukan persentase penurunan berat setelah bambu tersebut diserang hama perusak bambu. Secara detail klasifikasi ketahanan bambu terhadap serangan kumbang bubuk secara visual berdasarkan pada persentase penurunan berat dapat dilihat pada Gambar 1., dimana semakin rendah penurunan berat bambu setelah diserang hama perusak bambu maka semakin baik ketahanan bambu tersebut. Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT, pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa bambu yang tidak diberikan perlakuan dalam hal ini sebagai kontrol mengalami penurunan berat yang lebih besar dibandingkan dengan bambu yang diberikan perlakuan, dalam hal ini pemberian bahan pengawet tanin dari kulit Bakau. Menurut Yusro (2010), pohon bakau merupakan tanaman yang berpotensi dijadikan alternatif bahan pengawet alami. Komponen kimia aktif yang terdapat dalam ekstraktif kayu bakau adalah tanin, saponin, flavonoid dan quinon. Tanin yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik (Hathway, 1962 dalam Risnasari, 2002). Pada perlakuan beda konsentrasi pengawet (Gambar 4) penurunan berat keempat konsentrasi pengawet yang diaplikasikan memberikan pengaruh sangat nyata. Hal tersebut disebabkan selisih persen penurunan berat setiap konsentrasi pengawet yang cukup jauh. Penurunan berat terendah terdapat pada konsentrasi pengawet 15% (K3) dengan nilai sebesar 19,36%. Sedangkan penurunan berat yang tertinggi terdapat pada konsentrasi pengawet 0% (K0) dengan nilai sebesar 31,12%. Adapun penurunan berat yang terdapat pada konsentrasi 5% (K1) dan 10% (K2) sebesar 28,59% dan 27,94%. Penentuan kelas ketahanan kayu/bambu terhadap serangan kumbang bubuk didasarkan pada presentase penurunan berat. Tingkat ketahanan bambu terhadap serangan kumbang bubuk didasarkan pada SNI 7207:2014 (Tabel 1). 94 Berdasarkan Klasifikasi ketahanan bambu bagian konsentrasi pengawet 5% (K1), 10% (K2) dan 15% (K3) termasuk dalam tingkat ketahanan yang sedang dengan kelas kawetan III dimana telah terjadi serangan sedang, berupa saluran–saluran yang dangkal dan sempit. Sedangkan pada bagian konsentrasi pengawet 0% (K0) termasuk dalam tingkat ketahanan tidak tahan dengan kelas keawetan IV dimana telah terjadi serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar. Dengan kata lain pengawet serbuk tanin kulit Bakau dapat meningkatkan kelas keawetan bambu Betung dari kelas awet IV tanpa bahan pengawet menjadi kelas awet III dengan bahan pengawet. (a) (b) Gambar 2. Ketahanan bambu, (a) serangan sedang berupa saluran yang dangkal dan sempit; (b) serangan berat berupa saluran yang dalam lebar. Berdasarkan rata-rata penurunan berat pada posisi bambu dalam batang, derajat kerusakan masing-masing pada bagian pangkal (P), tengah (T) dan ujung (U) baik yang diawetkan maupun tidak diawetkan yang paling besar serangannya terdapat pada bagian pangkal (P) dengan nilai rata-rata penurunan berat sebesar 45,23% (tanpa pengawet) 35,04% (diberi pengawet). Bagian tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata pada bagian tengah (T) dan ujung (U) dimana selisih persentase penurunan berat ketiga bagian tersebut sangat jauh. Hal ini disebabkan karena kandungan pati yang terdapat pada bagian pangkal (P) bambu sangat tinggi dibandingkan dengan bagian tengah (T) dan ujung (U) sehingga lebih mudah diserang oleh hama perusak dalam hal ini kumbang bubuk dan jumlah pati yang dikandung bambu sangat menentukan keawetan bambu. Dari data ini dapat dilihat bahwa semakin ke arah ujung bambu, maka kandungan pati semakin rendah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Duryatmo (2000) dalam Yusuf (2007), bambu Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 89 - 96 yang kandungan patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibandingkan bambu yang kandungan patinya lebih rendah dimana kandungan pati yang terdapat pada bagian pangkal (0,61%) bambu lebih besar dibandingkan dengan bagian tengah (0,53%) dan ujung (0,50%) bambu. Beberapa penelitian salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tarigan et al. (2012), menunjukkan bahwa, semakin tinggi retensi bahan pengawet pada kayu/bambu maka semakin rendah pula pengurangan berat kayu/bambu tersebut akibat serangan organisme perusak. Meskipun rata-rata retensi yang diperoleh belum memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999, penggunaan ekstrak kulit bakau sebagai bahan pengawet cukup untuk menaikkan kelas awet pada bambu Betung. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ekstrak kulit bakau dapat meningkatkan keawetan bambu betung terhadap serangan kumbang bubuk dari kelas awet IV menjadi kelas awet III. 2. Perlakuan pemberian larutan konsentrasi pengawet 15% memberikan hasil yang terbaik terhadap peningkatan retensi bahan pengawet bambu betung dan daya tahan bambu dari serangan kumbang bubuk. 3. Bagian pangkal bambu lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibanding dengan bagian tengah dan ujung sehingga perlu pemberian konsentrasi pengawet yang tinggi. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, maka disarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap konsentrasi bahan pengawet yang digunakan dengan menambahkan konsentrasi bahan pengawet sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap lama waktu perendaman dan keawetan bambu betung terhadap faktor 3. perusak biologis lainnya yaitu terhadap serangan jamur perusak. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemberian konsentrasi pengawet pada bagian pangkal harus lebih banyak daripada bagian ujung. DAFTAR PUSTAKA Arif A.M, Natsir U, Fatmawaty S. 2012. Sifat Anti Rayap Dari Ekstrak IjukAren (Arenga pinnata Merr). Jurnal Parrenial 3:1518. Barly.2009. Standarisasi Pengawetan Kayu dan Bambu Serta Produknya. Prosiding PPI StandarisasiPusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. DanartoY.C, Prihananto S.A, Pamungkas Z.A. 2011. Pemanfaatan Tanin dari Kulit Kayu Bakau sebagai PenggantiGugus Fenol pada Resin Fenol Formaldehid. Jurusan Teknik Kimia FT UNS. Surakarta. Handayani S. 2007. Pengujian Sifat Mekanik Bambu (Metode Pengawetan Dengan Boraks). [Skripsi] Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Meiyandi D. 2013. Pengawetan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq)dengan Bahan Pengawet DiffusolCB. [Skripsi] Departemen Hasil Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Nurkertamanda D, Andreina W, Widiani M. 2011. Pemilihan Parameter Pre Treatment Pada Proses Pengawetan Bambu Leminasi. Jurnal J@TI Undip, Vol VI, No 3. Risnasari I. 2002. Tanin. Digital libraryFakultas PertanianJurusan Ilmu KehutananUniversitas Sumatera Utara. SNI Standar Nasional Indonesia 03-5010.11999.,1999. Pengawetan Kayu Untuk Perumahan dan gedung. Badan Standar Nasional (BSN) Indonesia. Jakarta. SNI Standar Nasional Indonesia 7207:2014., 2014. Uji Ketahanan Kayu dan Terhadap Organisme Perusak Kayu. Badan Standar Nasional (BSN) Indonesia. Jakarta. 95 Pemanfaatan Kulit Bakau sebagai Pengawet Bambu – Nurhayati Hadjar et al. Susanti E. 2001. Pengawetan Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz) dengan Menggunakan Metode Boucherie. [Skripsi] Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Susilaning L dan Suheryanto D. 2012.Pengaruh Waktu Perendaman Bambu dan Penggunaan Borak-Borik Terhadap Tingkat Keawetan Bambu. Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III.Yogyakarta. Tarigan F.H, Hakim L dan Hartono R. 2012. Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia mangostana). [Skripsi] Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Yanti H. 2008. Bioaktivitas Ekstraktif Kulit AkasiaAcacia auriculiformis A. Cunn. Ex. Benth Terhadap Rayap TanahCoptotermes curvignathus Holmgren. Jurnal Tengkawang. 2:8293. Yusro F. 2010. Rendemen Ekstrak Etanol dan Uji Fitokimia Tiga Jenis Tumbuhan Obat Kalimantan Barat. Jurnal Tengkawang. 1:29-36. Yusuf M. 2007. Penurunan Kadar Pati Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) oleh Fermentasi suspensi Bakteri Biakan Murni dengan Metode Vertical Soak Diffusion. [Skripsi] Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. 96