BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Diare
1. Definisi penyakit diare
Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada
bayi dan lebih dari 3 kali
pada anak, konsistensi encer, dapat
berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir
saja (Ngastiyah, 2005). Sedangkan menurut Widjaja (2002), diare
diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat kali sehari, baik
disertai lendir dan darah maupun tidak. Hingga kini
diare masih
menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat pertama di
Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anakanak dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian
yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir dkk,
2006). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diare
adalah frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan
konsistensi encer, dapat berwarna hijau, disertai lendir saja atau dapat
juga disertai lendir bercampur darah.
2. Jenis diare
Menurut Ramaiah (2007) , ada tiga jenis diare yang utama yaitu :
a. Diare cair akut
Diare yang mempunyai tiga ciri utama, yaitu gejalanya
dimulai secara tiba-tiba, tinja encer dan cair, pemulihan biasanya
terjadi dalam waktu 3-7 hari. Kadang kala gejalanya bisa
berlangsung sampai 14 hari.
10
b. Disentri
Memiliki dua ciri utama, yaitu adanya darah dalam tinja,
dan mugkin disertai kram perut, berkurangnya nafsu makan dan
penurunan berat badan yang cepat.
c. Diare yang menetap atau persisten
Memiliki tiga ciri utama, yaitu pengeluaran tinja encer
disertai darah, gejala berlangsung lebih dari 14 hari, dan ada
penurunan berat badan. Diare kronis adalah istilah yang digunakan
bagi diare yang berulang atau berlangsung lama. Hal ini tidak
disebabkan oleh infeksi apapun, tetapi sering kali akibat gangguan
pencernaan. Diare jangka panjang yang disebabkan oleh infeksi
disbut diare persisten.
Menurut Ngastiyah (2005), berdasarkan banyaknya cairan yang
hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.
a. Kehilangan cairan menurut derajat dehidrasi pada anak di bawah 2
tahun
1) Ringan, apabila kehilangan cairan karena muntah/ PWL
(previous water loss) sebesar 50 ml/kg BB, kehilangan cairan
melalui urine, kulit, pernapasan/ NWL (normal water
loss)
sebesar 100 ml/kg BB, dan kehilangan cairan karena muntah
hebat/ CWL (concomitant water loss) sebesar 25 ml/kg BB, jadi
total semua sebesar 175ml/ kg BB.
2) Sedang, apabila kehilangan cairan karena muntah/ PWL
(previous water loss) sebesar 75 ml/kg BB, kehilangan cairan
melalui urine, kulit, pernapasan/ NWL (normal water
loss)
sebesar 100 ml/kg BB, dan kehilangan cairan karena muntah
hebat/ CWL (concomitant water loss) sebesar 25 ml/kg BB, jadi
total semua sebesar 200 ml/ kg BB.
3) Berat , apabila kehilangan cairan karena muntah/ PWL (previous
water loss) sebesar 125 ml/kg BB, kehilangan cairan melalui
urine, kulit, pernapasan/ NWL (normal water loss) sebesar 100
11
ml/kg BB, dan kehilangan cairan karena muntah hebat/ CWL
(concomitant water loss) sebesar 25 ml/kg BB, jadi total semua
sebesar 300 ml/ kg BB.
b. Kehilangan cairan menurut derajat dehidrasi pada anak berumur 25 tahun.
1) Ringan, apabila kehilangan cairan karena muntah/ PWL
(previous water loss) sebesar 30 ml/kg BB, kehilangan cairan
melalui urine, kulit, pernapasan/ NWL (normal water
loss)
sebesar 80 ml/kg BB, dan kehilangan cairan karena muntah
hebat/ CWL (concomitant water loss) sebesar 25 ml/kg BB, jadi
total semua sebesar 135ml/ kg BB.
2) Sedang, apabila kehilangan cairan karena muntah/ PWL
(previous water loss) sebesar 50 ml/kg BB, kehilangan cairan
melalui urine, kulit, pernapasan/ NWL (normal water
loss)
sebesar 80 ml/kg BB, dan kehilangan cairan karena muntah
hebat/ CWL (concomitant water loss) sebesar 25 ml/kg BB, jadi
total semua sebesar 155ml/ kg BB.
3) Berat, apabila kehilangan cairan karena muntah/ PWL (previous
water loss) sebesar 80 ml/kg BB, kehilangan cairan melalui
urine, kulit, pernapasan/ NWL (normal water loss) sebesar 80
ml/kg BB, dan kehilangan cairan karena muntah hebat/ CWL
(concomitant water loss) sebesar 25 ml/kg BB, jadi total semua
sebesar 185ml/ kg BB.
Menurut Sitorus (2008), dehidrasi dibagi menjadi dehidrasi ringan,
sedang, dan berat berdasarkan kriteria dari WHO sebagai berikut:
a. Dehidrasi ringan, apabila:
1) Keadaan umum: sadar, gelisah, haus
2) Denyut nadi: normal kurang dari 120x/menit
3) Pernapasan: normal
4) Ubun-ubun: normal
5) Kelopak mata: normal
12
6) Air mata: ada
7) Selaput lendir: lembab
8) Elastisitas kulit: pada pencubitan kulit secara elastisitas
kembali secara normal
9) Air seni: normal
b. Dehidrasi sedang, apabila:
1) Keadaan umum: gelisah rewel, mengantuk
2) Denyut nadi: cepat dan lemah 120-140x/menit
3) Pernapasan: dalam, mungkin cepat
4) Ubun-ubun: cekung
5) Kelopak mata: cekung
6) Air mata: tidak ada
7) Selaput lendir: kering
8) Elastisitas kulit: lambat
9) Air seni: berkurang
c. Dehidrasi berat, apabila:
1) Keadaan umum: mengantuk, lemas, anggota gerak dingin,
berkeringat, kebiruan, mungkin koma/tidak sadar
2) Denyut nadi: cepat, halus, kadang-kadang tak teraba, kurang
dari 140/menit
3) Pernapasan: dalam dan cepat
4) Ubun-ubun: sangat cekung
5) Kelopak mata: sangat cekung
6) Air mata: sangat kering
7) Selaput lendir: sangat kering
8) Elastisitas kulit: sangat lambat (lebih dari 2 detik)
9) Air seni: tidak ada
13
3. Etiologi
Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh faktor infeksi,
malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi), makanan dan faktor
psikologis.
a. Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab
utama diare pada anak. Jenis-jenis infeksi yang umumnya
menyerang antara lain:
1) Infeksi oleh bakteri : Escherichia coli, Salmonella thyposa,
Vibrio cholerae (kolera), dan serangan bakteri lain yang
jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti psedoumonas.
2) Infeksi basil (disentri),
3) Infeksi virus rotavirus,
4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides),
5) Infeksi jamur (Candida albicans),
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan
radang tenggorokan, dan
7) Keracunan makanan.
b. Faktor malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi
karbohidrat dan lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi
kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula dapat
menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau
sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi
lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut
triglyserida.
Trigliserida,
dengan
bantuan
kelenjar
lipase,
mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika
tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat
muncul karena lemak tidak terserap dengan baik.
14
c. Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang
tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran)
dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi jauh lebih
mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita.
d. Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat
menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita,
umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
4. Patogenesis
Menurut Ngastiyah (2005) mekanisme yang menyebabkan timbulnya
diare adalah :
a. Gangguan osmotik yaitu yang disebabkan adanya makanan atau zat
yang tidak diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam
rongga usus meningkat sehingga pergeseran air dan elektrolit
berlebihan akan merangsang anus dan mengeluakrannya sehingga
timbul diare.
b. Gangguan sekresi yang menyebabkan adanya rangsangan tertentu
(misalnya: toksin) pada dinding usus yang akan terjadi suatu
peningkatan sekresi, selanjutnya menimbulkan diare karena
peningkatan isi rongga usus.
c. Gangguan motilitas usus yaitu hiperperistaltik yang mengakibatkan
kurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan yang
menimbulkan diare, sebaliknya bila peristaltik usus menurun
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang menimbulkan
diare.
5. Tanda dan gejala diare
Menurut Ngastiyah (2005), tanda dan gejala diare adalah sebagai
berikut :
a. Cengeng, gelisah
b. Suhu tubuh meningkat
15
c. Nafsu makan berkurang
d. Timbul diare, tinja encer, mungkin disertai lendir atau lendir darah
e. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur
dengan empedu
f. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi
g. Tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyak asam
laktat yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorpsi oleh usus
selama diare
h. Gejala muntah dapat timbul sebelum atau sesudah diare dan dapat
disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit
i. Banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit sehingga menimbulkan
dehidrasi
j. Berat badan menurun, turgor kurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta
kulit tampak kering.
B. Frekuensi Diare
1. Definisi frekuensi diare
Frekuensi diare adalah banyaknya/ berapa kali kejadian diare yang
dialami dalam kurun waktu tertentu. Menurut Ngastiyah (2005) bayi
dapat dikatakan mengalami diare jika frekuensi buang air besar lebih
dari 4 kali sehari dengan konsistensi encer, dapat berwarna hijau atau
dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja, sedangkan pada
anak jika frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan
konsistensi encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur
lendir dan darah atau lendir saja. Menurut Soebagyo (2008), anak-anak
balita rata-rata mengalami frekuensi diare 3-4 kali pertahun.
16
2. Faktor- faktor yang mempengaruhi frekuensi terjadinya diare pada
anak
Menurut Notoatmodjo (2003) dan Pudjiadi (2005) meliputi :
a. Faktor umum atau secara langsung
1) Tingkat pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2003), pengetahuan merupakan
hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan menginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancra indera manusia, sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh
melalui
mata
(pendengaran).
Pengetahuan
mempengaruhi
seseorang
(penglihatan)
tentang
dalam
dan
suatu
hal
berperilaku.
seseorang sangat berhubungan erat dengan
telinga
akan
Perilaku
pengetahuan
tantang kesehatan serta tindakan yang berhubungan dengan
kesehatan.
Pengetahuan ibu tenteng diare yang tepat dapat mengurangi
atau mengatasi terjadinya diare pada anak, dimana ibu
mengetahui gejala dan tanda diare maka dengan baik pula ibu
dapat melakukan penanganan diare, begitu juga sebaliknya.
2) Perilaku cuci tangan
Mencuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu
secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai
sabun dan air (Tietjen, 2004). Sedangkan menurut Potter
(2005),
mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun
secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat
dan ringkas yang kemudian dibilar dengan air. Tujuan mencuci
tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang
menempel di tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba
17
total pada saat itu. Tangan yang terkontaminasi merupakan
penyebab utama perpindahan infeksi.
Menurut Notoadmodjo (2003), kebersihan pada ibu dan
anak terutama dalam hal perilaku mencuci tangan setiap
makan, merupakan suatu yang baik. Sebagian besar kuman
infeksi diare ditularkan melalui jalur fecal-oral. Dapat
ditularkan dengan masuknya ke dalam mulut, cairan atau
benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum dan
makanan. Kebiasaan dalam kebersihan adalah bagian penting
dalam penularan kuman diare, dengan mengubah kebiasaan
dari tidak mencuci tangan menjadi mencuci tangan dapat
memutuskan penularan, sehingga dapat mencengah atau
mengurangi terjadinya diare pada anak.
3) Hygiene sanitasi
Hygiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang
mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan
manusia, mencengah timbulnya penyakit karena pengaruh
lingkungan kesehatan serta membuat komdisi lingkungan
sedemikian rupa, sehingga terjamin pemeliharan kesehatan.
Sanitasi
adalah
usaha
kesehatan
mayarakat
yang
meniikberatkan pada pengawasan terhadap faktor yang
mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan
manusia, lebih mengutamakan usahan pencengahan terhadap
berbagai
faktor
lingkungan
sedemikian
rupa
sehingga
munculnya penyakit dapat terhindar (Azwar, 2005).
Menurut Notoadmodjo (2003), sanitasi lingkungan berupa
adanya jamban umum, MCK
(mandi, cuci, kakus), tempat
sampah. Perilaku masyarakat khususnya ibu yang dalam
pemanfaatan kurang terpelihara, hal ini berhubungan dengan
18
pendidikan kesehatan pada ibu yang berdampak pada tingkat
kesadaran
dan
pengetahuan
dalam
menjaga
sanitasi
lingkungannya. Selanjutnya menimbulkan tercapainya perilaku
kesehatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya cara membuang sampah sembarangan hal ini akan
menimbulkan pencemaran pada sumber air, udara serta bau
yang menyengat yang tidak sehat dan mengganggu dalam segi
kesehatan. Adapun macamnya antara lain:
a) Kualitas Sumber Air
Bagi manusia minum merupakan kebutuhan utama.
Manusia menggunakan air untuk berbagai keperluan
seperti mandi, mencuci, kakus, produksi pangan, dan
sandang.berbagai penyakit dapat dibawa oleh air kepada
manusia pada saat memanfaatkannya, maka tujuan
penyediaan air bersih atau air minum bagi masyarakat
adalah untuk mencengah penyakit bawaan air. Demikian
diharapkan
semakin
banyakmasyarakat
yang
menggunakan air bersih maka semakin turun modifitas
penyakit bawaan air (Soemirat, 2004).
Sumber air minum merupakan sarana sanitsi yang
penting berkaitan dengan kejadian diare. Pada prinsipnya
sumber air dapat diproses menjadi air minum, sumber air
ini dapat digambarkan sebagai berikut: air hujan, dimana
air hujan dapat ditampung dan kemudian dijadikan air
minum. Air sungai dan danau, kedua sumber air ini sering
disebut air permukaan. Mata air yaitu air yang keluar dan
berasal dari tanah yang muncul secara alamiah. Air sumur
dangkal yaitu air yang berasal dari lapisan air di dalam
tanah yang dangkal yang biasanya berkisar antara 5-15
19
meter. Air sumur dalam yaitu air yang bersal dari lapisan
kedua di dalam tanah, dalamnya dari permukaan tanah
biasanya di atas 15 meter.
Sebagian besar air sumur
dalam ini adalah cukup sehat untuk dijadikan air minum
langsung.
Sebagian
besar
kuman-kuman
infeksius
penyebab diare ditulakan melalui jalur fecal-oral yang
dapat
ditularkan
dengan
masuknya
kuman-kuman
infeksius tersebut ke dalam mulut melalui cairan atau
benda yang tercemar oleh tinja. Sumber air yang bersih
baik kualitas maupun kuantitasnya akan dapat mengurangi
tertelannya kuman penyebab diare oleh balita. Kualitas air
minum hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan
kesehatan, diusahakan mendekati persyaratan air sehat
yaitu persyaratan fisik yang tidak berasa, bening atau tidak
berwarna. Secara bakteriologi air harus bebas dari segala
bakteri terutama bakteri pathogen. Dari sisi kimiawi air
minum yang sehat itu harus mengandung zat-zat tertentu
seperti
flour,
chlor,
besi
dalam
jumlah
tertentu
dalam
rumah
(Notoadmodjo, 2003).
b) Kebersihan jamban
Dengan
adanya
jamban
mempengaruhi kesehatan lingkungan sekitar. Untuk
mencengah atau mengurangi kontaminasi tinja dengan
lingkungan maka tinja harus dibuang pada tempat tertentu.
Agar menjadi yang sehat untuk daerah pedesaan harus
memenuhi persyaratan yaitu tidak mengotori permukaan
air disekitarnya, tidak terjangkau oleh serangga, tidak
menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara
(Soemirat, 2004).
20
b. Faktor pendukung atau tidak langsung
1) Umur
Menurut Notoadmodjo (2003), umur adalah lamanya hidup
seseorang dalam tahun yang duhitung sejak dilahirkan.
Semakin tinggi umur seseorang, maka semakin bertambah pula
ilmu dan pengetahuan yang dimilki karena pengetahuan
seseorang diperoleh dari pengalaman yang diperoleh dari
orang lain. Umur adalah usia yang menjadi indikator dalam
kedewasaan di setiap pengambilan keputusan untuk melakukan
sesuatu yang mengacu pada setiap pengalaman. Umur
seseorang sedimikian besarnya akan mempengaruhi perilaku.
Karena semakin lanjut umurnya, maka semakin lebih
bertanggung jawab, lebih tertib, lebih bermoral, lebih berbakti
dari usia muda. Karakteristik pada ibu berdasarkan umur
sangat
berpengaruh
terhadap
cara
pencengahan
dan
penanganan terjadinya diare pada anak, semakin tua umur ibu
maka kesiapan dalam mencengah dan menangani terjadinya
diare akan semakin baik dan dapat berjalan dengan baik.
2) Tingkat pendidikan
Menurut Notoadmodjo (2003), pendidikan merupakan
proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan
perilaku manusia melalui pengetahuan sehingga dalam
pendidikan
perlu
dipertimbangkan
umur
(proses
perkembangan) dan berhubungan dengan proses belajar.
Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi
persepsi
seseorang
untuk
lebih
mudah
menerima ide-ide dan tekhnologi.
Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka
21
peroleh
terutama
pengetahuan
mengenai
diare.
Dari
kepentingan keluarga itu sendiri amat diperlukan seseorang
yang lebih tanggap terhadap adanya masalah kesehatan
terutama diare, sehingga bisa mengambil tindakan secepatnya
(Kodyat, 2002).
3) Status pekerjaan ibu
Pekerjaaan adalah kegiatan tertentu yang harus dilakukan,
terutama untuk menunjang kehidupan dan keluarganya
(Nursalam, 2002). Pekerjaan ibu yang diperkirakan dapat
mempengaruhi pengetahuan ibu dan kesempatan ibu dalam
memberikan pengetahuan responden yang bekerja lebih baik
bila dibadingkan dengan pengetahuan responden yang tidak
bekerja, semua itu disebabkan karena ibu yang bekerja diluar
rumah (sektor formal) memilki akses yang lebih baik terhadap
berbagai informasi (Depkes RI, 2002).
Menurut Azwar (2005), status pekerjaan ibu mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian diare pada anak.
Pada pekerjaan ibu atau keaktifan ibu dalam berorganisasi
sosial berpengaruh pada kejadian diare anak. Dengan
pekerjaan tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang
pencengahan diare. Terdapat 9,3 % anak menderita diare pada
ibu yang bekerja, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak
12%.
4) Pendapatan keluarga
Menurut Notoadmodjo (2003), bila ditinjau dari faktor
sosial ekonomi, maka pendapatan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi tingkat wawasan masyarakat mengenai
sanitasi, lingkungan, dan perumahan. Kemampuan anggaran
rumah tangga juga mempengaruhi kecepatan untuk meminta
22
pertolongan apabuila anggota keluarganya sakit. Tingkat
pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup,
dimana status sosial ekonomi orang tua yang baik akan
berpengaruh pada fasilitas yang diberikan. Menurut BPS
(2005), apabila tingkat pendapatan baik, maka fasilitas
kesehatan mereka khususnya di dalam rumahnya terjamin,
masalahnya dalam penyediaan air bersih, persediaan jamban
sendiri atau jika mempunyai ternak akan diberikan kandang
yang baik dan terjaga kebersihannya. Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan yang menyediakan orang tidak mampu
memnuhi fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan. Pada ibu yang
mempunyai pendapatan kurang akan lambat dalam penanganan
diare karena ketiadaan biaya berobat ke petugas kesehatan yang
akibatnya dapat terjadi diare yang lebih parah.
5) Status gizi anak
Menurut Suprariasa (2002), status gizi adalah ekspresi dari
keadaan
keseimbangan
dalam
variabel
tertentu,
atau
perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
Status gizi dalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan pangan zat-zat gizi, dibedakan antara gizi kurang,
baik, dan lebih (Almatsier, 2002).
Klasifikasi status gizi sesuai buku rujukan Standart Deviasi
(SD) menurut WHO (Supariasa, 2002) yaitu:
a) BB/U (berat badan per umur)
23
(1) Gizi buruk
: < -3 SD
(2) Gizi kurang
: -3 SD sampai< -2 SD
(3) Gizi baik
: > = -2 SD sampai +2SD
(4) Gizi lebih
: > +2 SD
b) TB/U (tinggi badan per umur)
(1) Pendek sekali : < -3 SD
(2) Pendek : -3 SD sampai < -2 SD
(3) Normal
: > = -2 SD
c) BB/TB (berat badan per tinggi badan)
(1) Kurus sekali : < -3 SD
(2) Kurus
: -3 SD sampai < -2 SD
(3) Normal
: > = -2 SD sampai +2 SD
(4) Gemuk : > + 2 SD
Cara menghitung status gizi dengan cara Z- score:
a) Bila “nilai riel” hasil pengukuran >= “nilai median”
BB/U, TB/U atau BB/TB maka rumusnya:
Z-score =
b) Bila “nilai riel” hasil pengukuran < “nilai median”
BB/U, TB/U atau BB/TB maka rumusnya:
Z- score =
Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (penyebab
diare) dengan status gizi terutama pada anak balita karena
adanya interaksi yang timbal balik. Terjadinya diare dapat
24
mengakibatkan gangguan status gizi dan gangguan status gizi
dapat mengakibatkan terjadinya diare. Gangguan status gizi
dapat terjadi akibat dari penurunan asupan zat gizi dikarenakan
berkurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, kebiasaan
mengurangi makan pada saat sakit, dan peningkatan kehilangan
cairan/ gizi akibat penyakit diare yang terus menerus sehingga
tubuh lemas. Begitu juga sebaliknya, ada hubungan antara
status gizi dengan infeksi diare pada anak balita. Apabila
asupan makanan atau zat gizi kurang akan terjadi penurunan
metabolisme sehingga tubuh akan mudah terserang penyakit.
Hal ini dapat terjadi pada anak balita yang menderita penyakit
diare. Oleh sebab itu asupan makanan atau zat gizi harus
diperhatikan agar tidak terjadi penurunan metabolisme di
dalam tubuh ( Suhardjo, 2003).
Status gizi mempengaruhi kejadian dehidrasi pada pasien
diare, kejadian dehidrasi lebih sering dijumpai pada pasien
yang memiliki status gizi kurang dan buruk. Hal itu disebabkan
karena pada pasien dengan status gizi kurang dan buruk akan
terjadi atrofi vilus usus halus dan atrofi mukosa kolon yang
akan menganggu penyerapan cairan pada usus dan menurunnya
kapasitas reabsorbsi air dan elektrolit pada kolon yang
kemudian akan menimbulkan dehidrasi (Pudjiadi, 2005).
25
C. Kerangka Teori
Faktor Tidak
Langsung:
a. Umur ibu
b. Tingkat
pendidikan
ibu
c. Status
pekerjaan ibu
d. Pendapatan
keluarga
e. Status gizi
anak
a. Infeksi
b. Malabsorbsi
c. Makanan
d. psikologis
a. Gangguan osmotik
b. Gangguan sekresi
c. Gangguan motilitas
usus
Faktor Langsung :
a. Tingkat
pengetahuan
ibu
Frekuensi terjadinya
diare pada balita
b. Perilaku cuci
tangan ibu
c. Hygiene
sanitasi
Gambar 2.1 Kerangka Teori: Faktor- faktor yang berhubungan dengan frekuensi
terjadinya diare pada anak balita. Sumber : Ngastiyah (2005), Pudjiadi. S ( 2005),
Ramiah (2007), dan widjaja (2002).
26
D.
Kerangka Konsep
Variabel Independent
Variabel Dependent
Faktor tingkat pengetahuan
ibu
Faktor perilaku mencuci
tangan ibu
Faktor tingkat pendidikan ibu
Frekuensi terjadinya diare
pada balita
Faktor status pekerjaan ibu
Faktor hygiene dan sanitasi
Faktor status gizi anak
Gambar 2.2. Kerangka Konsep.
E.
Variabel
Penelitian
Variabel
penelitian merupakan objek penelitian apa saja yang
menjadi perhatian. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Bebas
Merupakan suatu variabel yang menjadi sebab atau timbulnya
variabel dependent/ terikat, atau variabel yang lainnya menentukan
variabel lain (Hidayat, 2003). Variabel bebes dalam penilitian ini
adalah faktor-faktor yang meliputi faktor tingkat pengetahuan ibu,
perilaku mencuci tangan ibu, tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan
ibu, hygiene sanitasi dan status gizi anak
27
2. Variabel Terikat
Merupakan variabel yang di pengaruhi atau akibat variabel
independent/ bebas (Hidayat, 2003). Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah frekuensi terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I
Kabupaten Demak.
F. Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut :
Ha:
1.
Ada hubungan antara faktor tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi
terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I Kabupaten Demak.
2.
Ada hubungan antara faktor perilaku mencuci tangan dengan
frekuensi terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I Kabupaten
Demak.
3.
Ada hubungan antara faktor tingkat pendidikan ibu dengan frekuensi
terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I Kabupaten Demak.
4.
Ada hubungan antara faktor status pekerjaan ibu dengan frekuensi
terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I Kabupaten Demak.
5.
Ada hubungan antara faktor hygiene sanitasi dengan frekuensi
terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I Kabupaten Demak.
6.
Ada hubungan antara faktor status gizi anak dengan frekuensi
terjadinya diare pada balita di Puskesmas Gajah I Kabupaten Demak.
28
Download