LAPORAN KEBIJAKAN MONETER Triwulan I 2014 RINGKASAN EKSEKUTIF Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2014 menunjukkan stabilitas ekonomi semakin terjaga dan ditopang penyesuaian ekonomi yang tetap terkendali. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari konsistensi kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013 untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan mengelola pertumbuhan ekonomi agar bergerak secara seimbang dan berkesinambungan. Pada triwulan I 2014 dan April 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah baik dalam konteks kebijakan siklikal mengelola permintaan domestik maupun kebijakan yang bersifat struktural dan jangka menengah. Pada triwulan I 2014, permintaan domestik terkelola dengan baik, meskipun pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 menurun akibat kontraksi ekspor riil. Permintaan domestik yang terkendali ditopang konsumsi rumah tangga yang tumbuh cukup tinggi, antara lain didorong peningkatan keyakinan konsumen, dan dampak aktivitas pemilu legislatif. Investasi juga mulai meningkat ditopang oleh investasi nonbangunan yang kembali tumbuh positif, sedangkan investasi bangunan menurun. Namun demikian, permintaan domestik yang terkendali tersebut belum dapat menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi, yang pada triwulan I 2014 menurun lebih rendah dari perkiraan. Penurunan pertumbuhan ekonomi disebabkan kontraksi ekspor riil terutama dari komoditas pertambangan seperti batubara dan konsentrat mineral, antara lain karena melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok, menurunnya harga, serta pengaruh temporer dari kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Kontraksi ekspor tersebut cukup besar karena mengakibatkan ekspor neto juga menurun, meskipun pada sisi lain impor menurun sejalan dengan tren moderasi permintaan domestik. Pengaruh signifikan kontraksi ekspor riil terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi juga tergambar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh wilayah. Penurunan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di wilayah yang banyak ditopang sektor pertambangan yakni di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2014 tercatat 4,6% (yoy), menurun tajam dari 6,6% (yoy) pada triwulan IV 2013, sejalan penurunan produksi sektor pertambangan sebagai dampak implementasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Berbeda dengan KTI, wilayah Jawa dan Sumatera mencatat pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional yakni masing-masing 5,8% (yoy) dan 5,4% (yoy). Bahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta meningkat dari 5,6% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 6,0% (yoy) pada triwulan I 2014. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta banyak ditopang kenaikan sektor perdagangan dan sektor pengangkutan. Permintaan domestik yang terkendali dan ditopang stabilitas ekonomi yang semakin kuat mendorong kembali membaiknya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada triwulan I 2014, NPI kembali mencatat surplus sebesar USD2,07 miliar ditopang menurunnya defisit transaksi berjalan dan oleh meningkatnya aliran masuk modal asing. Laporan Kebijakan Moneter|1 Defisit transaksi berjalan triwulan I 2014 tercatat 2,06% dari PDB, menurun dari defisit pada triwulan IV 2013 sebesar 2,12% dari PDB. Perbaikan defisit transaksi berjalan terutama dipengaruhi oleh penurunan defisit neraca jasa, khususnya jasa pengangkutan, sejalan dengan menurunnya kegiatan impor yang menurun akibat tren moderasi permintaan domestik. Sementara itu, aliran masuk modal asing, baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi portofolio, yang meningkat dipengaruhi sentimen positif terhadap fundamental perekonomian Indonesia yang membaik. Peningkatan aliran masuk modal asing pada gilirannya mendorong transaksi modal dan finansial mencatat surplus sebesar USD7,83 miliar. Perkembangan positif pada kinerja NPI pada gilirannya berkontribusi pada cadangan devisa yang meningkat. Pada Maret 2014, cadangan devisa Indonesia tercatat 102,6 miliar dolar AS dan kembali meningkat pada April 2014 menjadi 105,6 miliar dolar AS, atau setara 6,1 bulan impor atau 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Fundamental ekonomi yang membaik dan diikuti penguatan kinerja NPI mendorong nilai tukar rupiah dalam tren menguat pada triwulan I 2014, sebelum kemudian sedikit terkoreksi pada April 2014. Pada akhir triwulan I 2014, rupiah menguat 7,13% dibandingkan dengan level akhir 2013. Penguatan terutama terjadi sejak Februari 2014 sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Namun penguatan rupiah sedikit terkoreksi pada bulan April 2014 dipengaruhi pernyataan The Fed yang lebih hawkish, kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Tiongkok, dan eskalasi ketegangan geopolitik di perbatasan Ukraina-Rusia. Pada April 2014, rupiah ditutup di level Rp11.562 per dolar AS, melemah 1,74% dibandingkan dengan level akhir Maret 2014. Secara ratarata, rupiah pada April 2014 tercatat Rp11.439 per dolar AS, melemah 0,17% dari bulan sebelumnya. Perkembangan nilai tukar rupiah sampai April 2014 tersebut juga diikuti dengan perkembangan positif pada struktur mikro pasar valas seperti volume transaksi valas yang meningkat dan selisih bid-ask yang menipis sehingga menunjukkan kondisi pasar valas domestik yang semakin likuid. Perkembangan yang membaik juga terlihat pada inflasi triwulan I 2014 dan April 2014 yang terus menurun. Pasca kenaikan harga BBM di pertengahan tahun 2013, penurunan inflasi masih berlanjut di triwulan I-2014 bersumber dari kelompok volatile food dan kelompok inti. Inflasi pada triwulan I 2014 tercatat atau 7,32% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yaitu 8,38% (yoy). Penurunan laju inflasi kelompok volatile food didukung oleh panen beberapa komoditas, meskipun sempat terganggu oleh cuaca dan bencana alam di awal tahun yang mengganggu produksi sejumlah komoditas. Inflasi inti juga menurun sejalan dengan moderasi perekonomian, minimalnya tekanan eksternal, dan membaiknya ekspektasi inflasi. Penurunan inflasi kelompok volatile food dan kelompok inti masih berlanjut di bulan April 2014, mendorong inflasi IHK kembali menurun. Pada April 2014, inflasi menurun menjadi 7,25% (yoy) dengan inflasi bulanan yang mencatat deflasi sebesar 0,02% (mtm). Kondisi ini semakin mendukung prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1% dan menopang tetap terkendalinya penyesuaian ekonomi. Penyesuaian ekonomi Indonesia yang terkendali tersebut ditopang oleh stabilitas sistem keuangan yang tetap terjaga. Perkembangan ini ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan perbaikan kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang masih kuat. Pertumbuhan kredit kepada sektor swasta melambat dari 21,4% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 19,1% (yoy) pada triwulan I 2014, sejalan dengan moderasi Laporan Kebijakan Moneter|2 permintaan domestik. Sementara itu, kinerja pasar modal pada triwulan I 2014 dan April 2014 juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada dalam tren meningkat dan imbal hasil SBN yang menurun. Perbaikan kinerja pasar modal ini didorong meningkatnya optimisme investor terhadap perekonomian domestik. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan stabilitas ekonomi akan tetap terjaga dan ditopang penyesuaian perekonomian yang masih tetap terkendali. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mencapai 5,1-5,5%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya 5,5-5,9%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya akibat dampak kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah serta pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan harga komoditas global yang lebih lemah dari proyeksi semula. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, meskipun lebih rendah dari proyeksi semula 5,8-6,2%. Inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5+1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0+1%. Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang berpotensi meningkatkan tekanan pada stabilitas ekonomi dan mengganggu upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat. Dari global, risiko berkaitan dengan potensi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi untuk meningkatkan kembali defisit transaksi berjalan. Risiko ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed juga mendapat perhatian karena dapat mengganggu prospek penanaman modal asing. Dari domestik, risiko yang perlu mendapat perhatian ialah potensi tekanan harga terkait tekanan penyesuaian administered prices dan peningkatan harga pangan akibat efek tunda banjir dan dampak El Nino yang dapat menyebabkan musim kemarau di beberapa daerah. Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan, Bank Indonesia pada 8 Mei 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia juga akan senantiasa memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian domestik dan pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN), khususnya ULN korporasi. Bank Indonesia juga akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengarahkan pertumbuhan kredit sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang. Laporan Kebijakan Moneter|3 halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Kebijakan Moneter|4 1 PERKEMBANGAN EKONOMI DAN MONETER TERKINI Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2014 dan April 2014 menunjukan stabilitas ekonomi yang semakin terjaga dengan ditopang penyesuaian ekonomi yang tetap terkendali. Dalam perkembangan ini, inflasi berada dalam tren menurun dan dibarengi oleh defisit transaksi berjalan yang mengecil. Aliran masuk modal asing juga meningkat sejalan dengan perbaikan fundamental ekonomi tersebut yang pada gilirannya berkontribusi pada nilai tukar rupiah yang berada dalam tren menguat. Sejalan dengan itu, permintaan domestik tetap terkelola dengan baik, meskipun pertumbuhan ekonomi menurun cukup tajam dan lebih rendah dari perkiraan akibat kontraksi ekspor rill dari sektor pertambangan. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari berbagai arah kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013 dan ditopang pemulihan ekonomi global yang membaik, meskipun belum merata. Pada triwulan I 2014 dan April 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga LF dan suku bunga DF masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah baik dalam konteks kebijakan siklikal mengelola permintaan domestik maupun kebijakan yang bersifat struktural dan jangka menengah. Perkembangan Ekonomi Dunia Perbaikan ekonomi global pada triwulan I 2014 terindikasi masih terus berlangsung, meskipun belum merata. Perbaikan terutama ditopang oleh perekonomian negara-negara maju seperti AS dan Eropa sebagai dampak stimulus moneter yang masih berlanjut. Perbaikan kondisi ekonomi global tersebut berdampak pada kenaikan volume perdagangan dunia. Namun demikian, dampaknya terhadap kenaikan harga komoditas belum terlalu kuat karena melemahnya permintaan global, khususnya Tiongkok dan pasokan yang meningkat, khususnya pada komoditas karet, tembaga, dan batubara. Perkembangan ekonomi global diwarnai oleh kondisi negara maju, khususnya AS dan Eropa, yang semakin baik, di tengah kondisi negara berkembang yang masih cenderung menurun. Indikator AS terus menunjukkan perbaikan yang didukung oleh kinerja sektor manufakturnya. Perbaikan juga terjadi di Eropa yang didukung oleh membaiknya indikator manufaktur Perancis. Sebaliknya, perlambatan ekonomi terjadi di Tiongkok didorong oleh penurunan permintaan yang tercermin pada realisasi PDB Tiongkok triwulan I 2014 yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Selain itu, kondisi ekonomi negara berkembang lainnya juga sedikit menurun antara lain dipengaruhi oleh faktor gejolak politik/ekonomi sebagaimana yang terjadi di Rusia, Argentina, dan Thailand, serta faktor harga komoditas yang masih rendah sebagaimana yang terjadi di Argentina, Chile, Peru, dan Venezuela. Laporan Kebijakan Moneter|5 Di AS, momentum perbaikan ekonomi terus berlanjut meskipun data realisasi PDB triwulan I 2014 menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Ekonomi AS pada triwulan I 2014 tumbuh melambat menjadi 2,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 2,6% (yoy). Perlambatan tersebut terutama dipengaruhi oleh cuaca dingin ekstrim (Big Freeze) yang menghambat aktivitas produksi dan cenderung melemahnya permintaan dari eksternal. Namun, berbagai indikator ekonomi AS lainnya menunjukkan perkembangan yang positif. Rilis data penjualan ritel semakin kuat sejalan dengan kinerja sisi produksi (manufaktur) yang terus ekspansif. Indikator tenaga kerja juga membaik sejalan dengan tingkat pengangguran yang menurun ke level 6,3% (Grafik 1.1) dan tren peningkatan jumlah daftar gaji (payroll). Positifnya indikator-indikator utama AS tersebut mampu mendongkrak tingkat keyakinan konsumen mencapai titik tertinggi selama 6 tahun terakhir (Grafik 1.2) sehingga mendorong perkiraan ekonomi AS yang akan terus membaik di waktu yang akan datang. ribu Indeks % indeks Keyakinan konsumen Sentimen saat ini (Univ. Michigan)-(sk.kanan) Perubahan bulanan gaji non pertanian (sk.kanan) Tk. pengangguran Data April 2014 Sumber: Bloomberg Data Des 2013 Sumber: Bloomberg Grafik 1.1 Tingkat Pengangguran AS Grafik 1.2 Indeks Keyakinan Konsumen AS Perbaikan ekonomi Eropa juga masih terus berlangsung. Setelah mencatat pertumbuhan positif yang pertama kalinya pada triwulan IV 2013 pasca terkontraksi selama 7 triwulan, perekonomian Eropa terus membaik. Perbaikan tersebut tercermin pada meningkatnya kinerja sektor manufaktur (PMI) dan sektor permintaan (retail sales). Data PMI Eropa bulan April mencapai titik tertinggi dalam 3 bulan terakhir dan meningkat dibandingkan dengan perkembangan bulan sebelumnya (Grafik 1.3). Di sektor tenaga kerja juga terjadi perkembangan yang positif yang ditandai oleh menurunnya tingkat pengangguran di negara-negara Eropa (Grafik 1.4). Indeks, 50=netral PMI Manufaktur Eropa Jerman Italia Pengangguran (sk.kanan) Spanyol Total Penjualan Ritel Sumber: Bloomberg Data Mar 2014 Grafik 1.3 PMI Manufaktur Eropa Sumber: Bloomberg Data Feb 2014 Grafik 1.4 Keyakinan Konsumen Eropa Laporan Kebijakan Moneter|6 Namun, perkembangan sebaliknya terjadi di negara-negara berkembang yang mencatat penurunan. Ekonomi Tiongkok tumbuh melambat seiring dengan proses rebalancing. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan I 2014 menurun menjadi 7,4% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 7,7% (yoy). Tren perlambatan aktivitas ekonomi Tiongkok tersebut diperkuat perkembangan beberapa indikator terkini yaitu indeks produksi dan investasi aset tetap yang berada pada tren menurun. Kondisi serupa juga dialami oleh beberapa negara emerging market lainnya seperti Rusia, Argentina, Thailand, Chile, Peru, dan Venezuela, yang dipengaruhi oleh faktor gejolak politik yang terjadi di beberapa negara tersebut serta menurunnya kinerja eksternal sebagai dampak dari pelemahan harga komoditas yang masih berlanjut. Perbaikan kondisi ekonomi global yang berdampak pada kenaikan volume perdagangan dunia terlihat belum kuat mendorong kenaikan harga komoditas seperti yang diharapkan. Sampai dengan triwulan I 2014, pertumbuhan harga komoditas global masih berada pada teritori negatif. Harga komoditas ekspor Indonesia (IHEX) diperkirakan masih rendah karena melemahnya permintaan global, khususnya permintaan dari Tiongkok sejalan dengan proses rebalancing dan meningkatnya pasokan, khususnya pada komoditas karet, tembaga dan batubara (Tabel 1.1). Harga komoditas karet terkoreksi akibat peningkatan pasokan dari Thailand dan Malaysia. Harga batubara juga masih melemah akibat meningkatnya pasokan terutama oleh AS terkait dengan upaya konversi energi dari batubara ke shale gas yang mendorong ekspor batubara dari AS bertambah sehingga meningkatkan pasokan batubara internasional dan selanjutnya memicu turunnya harga batubara. Sementara itu, harga minyak dunia juga masih berada pada tren yang menurun karena pasokan yang bertambah terutama dari negara-negara non-OPEC. Tabel 1.1 Pertumbuhan Harga Komoditas Ekspor Indonesia Secara keseluruhan, perbaikan ekonomi negara maju mendorong pasar keuangan global berada dalam tren meningkat. Membaiknya realisasi data ekonomi AS serta rilis data pendapatan emiten yang positif mengindikasikan perekonomian AS berada pada fase pemulihan yang lebih solid sehingga menopang penguatan di pasar keuangan global (Grafik 1.5). Di samping itu, penguatan bursa saham AS dan Eropa juga ditopang oleh positifnya aksi merger dan akuisisi serta laporan earning emiten yang lebih baik. Sebanyak 74 dari 279 emiten S&P yang telah merilis pendapatan mengalami keuntungan yang lebih tinggi dari perkiraan. Perkembangan tersebut mampu mengimbangi sentimen negatif dari perkembangan krisis geopolitik Ukraina. Sentimen positif terhadap perbaikan ekonomi AS tersebut mendorong menguatnya mata uang USD terhadap sejumlah mata uang dunia, termasuk terhadap mata uang negara-negara emerging Asia. Laporan Kebijakan Moneter|7 indeks Indeks Kinerja Indeks Saham Komposit Sumber: Bloomberg (diolah) Grafik 1.5 Perkembangan Bursa Saham Global Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pada triwulan I 2014 akibat kontraksi ekspor riil. Pada triwulan I 2014, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,21% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan IV 2013 sebesar 5,72% (yoy) dan perkiraan Bank Indonesia sebelumnya (Tabel 1.2). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh kinerja sektor eksternal yang kurang menguntungkan. Ekspor mengalami kontraksi yang cukup signifikan, khususnya sektor pertambangan. Kontraksi ekspor riil tersebut tercatat cukup besar sehingga kontribusi ekspor neto juga tercatat negatif, meskipun pada sisi lain impor juga mencatat kontraksi 0,7% (yoy) sejalan moderasi permintaan domestik yang sedang terjadi (Grafik 1.6). %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan Komponen 2013 2014 I 5.3 6.4 5.3 4.9 5.6 3.6 4.5 5.2 5.1 4.4 7.4 -0.6 4.7 5.3 1.2 5.1 -0.8 -0.7 5.6 5.7 5.8 5.2 2013 I II III IV Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah 5.2 0.4 5.1 2.2 5.5 8.9 Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa 5.5 3.6 0.0 4.5 4.8 0.7 PDB 6.0 5.8 Sumber : BPS Realisasi ekspor mengalami kontraksi yang signifikan pada triwulan I 2014. Pertumbuhan ekspor tercatat -0,8% (yoy), turun tajam dibandingkan dengan capaian triwulan IV 2013 yang tumbuh 7,4% (yoy). Perlambatan ekspor terutama disebabkan oleh perlambatan ekspor sektor pertambangan akibat masih tertekannya ekspor batubara dan pengaruh temporer terkait kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah (Grafik 1.7). Ekspor batubara tertahan akibat permintaan ekspor yang melemah dari Tiongkok seiring moderasi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Penetapan target produksi batubara di tahun 2014 oleh pemerintah yang lebih rendah dari tahun 2013 untuk tujuan konservasi juga menurunkan ekspor batubara yang pangsanya cukup besar terhadap ekspor nonmigas. Ekspor konsentrat mineral juga belum bisa dilakukan karena masalah teknis di lapangan. Sementara itu, ekspor pertanian tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor kakao. Di sisi lain, ekspor manufaktur masih tumbuh solid sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia (Grafik 1.7). Laporan Kebijakan Moneter|8 Grafik 1.6 Kontribusi Pertumbuhan Ekonomi Grafik 1.7 Ekspor Nonmigas Riil Perlambatan ekonomi triwulan I 2014 juga disebabkan oleh melambatnya konsumsi pemerintah. Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 3,6% (yoy), lebih rendah dari triwulan IV 2013 sebesar 6,4% (yoy) dan perkiraan Bank Indonesia sebelumnya. Perlambatan ini sesuai dengan pola serapan belanja pemerintah yang rendah di awal tahun. Kontribusi konsumsi pemerintah yang masih rendah terhadap perekonomian dapat terindikasi dari surplus APBN terhadap PDB yang lebih besar hingga Februari 2014 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 (Tabel 1.3). Namun demikian, perlambatan ini diduga bersifat temporer sebagai dampak penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) yang beralih dari triwulan I menjadi triwulan II 2014. Tabel 1.3 Perkembangan Operasi Keuangan Pemerintah Laporan Kebijakan Moneter|9 Di tengah kinerja sektor eksternal yang menurun, permintaan domestik dari konsumsi rumah tangga dan investasi masih cukup terkendali, sehingga dapat menahan penurunan pertumbuhan ekonomi lebih dalam. Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2014 mampu tumbuh 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan IV 2013 sebesar 5,3% (yoy). Akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara lain didorong oleh daya beli konsumen yang terjaga seiring dengan keyakinan konsumen yang meningkat dan inflasi yang mereda. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) BI hingga Maret 2014 menunjukkan tren yang meningkat pada semua kelompok pengeluaran masyarakat (Grafik 1.8). Keyakinan konsumen yang menguat kemudian mendorong masih meningkatnya penjualan eceran. Penjualan mobil sampai dengan Maret 2014 juga meningkat ditopang oleh penjualan varian baru kendaraan, termasuk jenis Low Cost Green Car (LCGC) (Grafik 1.9). Grafik 1.8 Indeks Ekspektasi Menurut Kelompok Pengeluaran Grafik 1.9 Penjualan Kendaraan Bermotor Investasi pada triwulan I 2014 masih tumbuh meningkat, khususnya investasi nonbangunan. Investasi meningkat dari 4,4% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 5,1% (yoy) pada triwulan I 2014. Peningkatan tersebut didorong oleh investasi nonbangunan yang kembali tumbuh positif, terutama investasi mesin, sementara investasi bangunan melambat. Peningkatan investasi nonbangunan terindikasi sebagai respons ekspektasi penguatan konsumsi swasta dan ekspor manufaktur ke depan. Selain itu, utilisasi kapasitas manufaktur yang meningkat ke kisaran atas historis 75% diperkirakan mampu menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi (Grafik 1.10). Sementara itu, investasi bangunan tumbuh lambat merespons pengetatan kebijakan LTV dan kenaikan suku bunga. Kondisi ini tercermin pada pertumbuhan penjualan semen yang lemah (Grafik 1.11). Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit investasi dari perbankan mulai meningkat sehingga memberi dukungan bagi pulihnya investasi. Grafik 1.10 Utilisasi Kapasitas Manufaktur Grafik 1.11 Indikator Investasi Bangunan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 10 Pengaruh cukup kuat ekspor rill khususnya ekspor komoditas pertambangan terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2014 juga terlihat dari pertumbuhan ekonomi berdasarkan lapangan usaha. Meskipun perlambatan terjadi di hampir semua sektor ekonomi, sektor pertambangan merupakan satu-satunya sektor yang mencatat kontraksi (Tabel 1.3). Pertumbuhan negatif sektor pertambangan bersumber dari lebih dalamnya penurunan produksi, baik pada subsektor migas maupun nonmigas. Penurunan subsektor migas disebabkan oleh menurunnya lifting minyak karena penurunan produksi alamiah dan gangguan produksi akibat faktor cuaca. Sementara itu, kontraksi pertambangan nonmigas disebabkan oleh melambatnya permintaan ekspor batubara dan terhentinya untuk sementara ekspor pertambangan konsentrat mineral terkait kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Perlambatan di sektor pertambangan berdampak pada penurunan sejumlah sektor lain yang terkait khususnya di beberapa subsektor seperti subsektor alat angkut, mesin dan peralatan. Sektor pertanian juga melambat bersumber dari perlambatan subsektor peternakan, perikanan, dan terbatasnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan (tabama). Di sisi lain, kinerja sektor bangunan melambat seiring dengan investasi bangunan yang melambat terkait kebijakan stabilisasi makroekonomi. Sementara itu, perlambatan di sektor keuangan tercermin pada pertumbuhan kredit bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang melambat sebagai respons kenaikan suku bunga. %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 1.4 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha Sektor 2013 I II III IV 2013 2014 I Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan 3.7 3.3 3.3 3.8 3.5 3.3 Pertambangan & Penggalian 0.1 -0.6 2.0 3.9 1.3 -0.4 Industri Pengolahan 6.0 6.0 5.0 5.3 5.6 5.2 Listrik, Gas & Air Bersih 7.9 4.0 3.8 6.6 5.6 6.5 Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran 6.8 6.5 6.6 6.4 6.2 6.1 6.7 4.8 6.6 5.9 6.5 4.6 Pengangkutan & Komunikasi 9.6 10.9 9.9 10.3 10.2 10.2 Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan 8.2 7.7 7.6 6.8 7.6 6.2 Jasa-jasa 6.5 4.5 5.6 5.3 5.5 5.8 PDB 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2 Sumber : BPS Pengaruh signifikan kontraksi ekspor riil terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi juga tergambar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh wilayah. Penurunan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di wilayah yang banyak ditopang sektor pertambangan yakni di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2014 tercatat 4,6% (yoy), menurun tajam dari 6,6% (yoy) pada triwulan IV 2013, sejalan penurunan produksi sektor pertambangan sebagai dampak implementasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Beberapa daerah di KTI seperti Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Aceh bahkan tumbuh pada kisaran yang rendah (0,6% - 3,3%) (Gambar 1.1). Berbeda dengan KTI, wilayah Jawa dan Sumatera mencatat pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional yakni masing-masing 5,8% (yoy) dan 5,4% (yoy). Bahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta meningkat dari 5,6% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 6,0% (yoy) pada triwulan I 2014. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta banyak ditopang kenaikan sektor perdagangan dan sektor pengangkutan, antara lain dipengaruhi penyelenggaran Pemilu legislatif. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 11 Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2014 Menggunakan metode perhitungan baru, perekonomian Indonesia masih kondusif dalam penyerapan tenaga kerja.1 Perbaikan indikator tenaga kerja tersebut diperkirakan dipengaruhi permintaan domestik yang masih kuat disertai dengan inflasi yang rendah berdampak (Grafik 1.12). Tingkat pengangguran terbuka di bulan Februari 2014 kembali turun menjadi 5,7%, setelah sempat meningkat di bulan Agustus 2013 sebesar 6,2%. Berdasarkan kualitas tenaga kerja, komposisi jam kerja juga membaik tercermin dari jumlah pekerja penuh waktu yang meningkat mencapai 64,8% dari total pekerja. Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa kelompok pekerja paruh waktu dan setengah pengganggur menurun secara tahunan. Jika dibandingkan dengan negara kawasan, tingkat pengangguran terbuka Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Korea, dan Tiongkok yang cenderung stabil pada level 3-4%, meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina (Grafik 1.13). Grafik 1.12 Pertumbuhan PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka Grafik 1.13 Tingkat Pengangguran Terbuka Beberapa Negara Asia 1 Penghitungan statistik tenaga kerja tahun 2014 mengalami perbaikan yaitu perubahan estimasi pertumbuhan jumlah penduduk dari semula 1,49% berdasarkan sensus penduduk 2010 menjadi 2,1%. Perubahan ini berdampak pada jumlah penduduk yang lebih tinggi dibandingkan penghitungan sebelumnya. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 12 Neraca Pembayaran Indonesia Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2014 kembali membaik dipengaruhi permintaan domestik yang terkendali dan stabilitas ekonomi yang semakin kuat. NPI triwulan I 2014 mencatat surplus sebesar USD2,07 miliar (Grafik 1.14) ditopang oleh menurunnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya aliran masuk modal asing. Defisit transaksi berjalan triwulan I 2014 tercatat 2,06% dari PDB, menurun dari defisit pada triwulan IV 2013 sebesar 2,12% dari PDB (Grafik 1.15). Sementara itu, aliran masuk modal asing meningkat seiring dengan persepsi positif investor terhadap perbaikan fundamental ekonomi Indonesia. Peningkatan aliran modal asing ini kemudian berkontribusi pada surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,83 miliar. Grafik 1.14 Neraca Pembayaran Indonesia Perbaikan defisit transaksi berjalan terutama dipengaruhi impor yang terkontraksi sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi. Impor nonmigas terkontraksi 5,5% (yoy) antara lain dipengaruhi menurunnya impor bahan baku dan barang modal (Grafik 1.15). Selain itu, impor migas juga terkontraksi lebih dalam (8,6% - yoy) mengikuti pola konsumsi BBM yang lebih rendah di awal tahun. Namun demikian, perbaikan sektor eksternal tertahan karena ekspor juga mengalami kontraksi. Ekspor nonmigas tumbuh negatif (-0,2%) karena melemahnya permintaan global terutama Tiongkok, penurunan harga komoditas global, serta pengaruh temporer kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, sedangkan ekspor migas juga tumbuh negatif (-8,8%) seiring dengan turunnya produksi minyak. Perkembangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan surplus neraca perdagangan barang triwulan I 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan surplus triwulan IV 2013 (Grafik 1.16). Grafik 1.15 Impor Non Migas Grafik 1.16 Neraca Perdagangan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 13 Defisit transaksi berjalan yang lebih rendah juga dipengaruhi defisit neraca jasa yang menurun. Neraca jasa mencatat defisit yang lebih rendah pada triwulan laporan sebesar USD2,2 miliar dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar USD3,1 miliar (Grafik 1.17). Hal itu disebabkan oleh menurunnya jasa pembayaran pengangkutan (freight) sejalan dengan impor yang turun cukup dalam serta meningkatnya surplus jasa perjalanan (travel) sesuai dengan pola musimannya. Grafik 1.17 Neraca Transaksi Berjalan Perkembangan pada sisi transaksi modal dan finansial tetap solid ditopang aliran masuk modal asing yang meningkat. Aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung maupun investasi portofolio pada triwulan I 2014 meningkat didorong oleh positifnya persepsi investor terhadap kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio asing meningkat tajam dari USD1,63 miliar pada triwulan IV 2013 menjadi USD8,51 miliar pada triwulan laporan. Peningkatan tersebut ditopang oleh meningkatnya net beli asing pada instrumen portofolio berdenominasi rupiah (saham dan SUN) (Grafik 1.18). Penerbitan global bond pemerintah senilai USD4,00 miliar juga mendorong peningkatan investasi portfolio. Sementara itu, investasi langsung asing di Indonesia (PMA) tercatat stabil dari triwulan sebelumnya sebesar USD4,53 miliar. Namun, secara neto, transaksi modal dan finansial mencatat surplus yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik 1.19) dikarenakan investasi lainnya yang mencatat defisit yang disebabkan oleh meningkatnya penempatan simpanan swasta domestik di luar negeri. Juta USD Saham Grafik 1.18 Aliran Dana Nonresiden Grafik 1.19 Neraca Transaksi Modal dan Finansial Dengan perkembangan positif pada NPI tersebut, cadangan devisa Indonesia berada dalam tren meningkat. Pada Maret 2014, cadangan devisa Indonesia tercatat 102,6 miliar dolar dan kembali meningkat menjadi 105,6 miliar dolar AS pada April 2014. Level cadangan devisa pada April 2014 setara dengan 6,1 bulan impor atau 5,9 bulan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 14 impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Posisi tersebut juga lebih tinggi dibandingkan posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2013 yang hanya mencatat USD99,4 miliar (Grafik 1.20). Grafik 1.20 Perkembangan Cadangan Devisa Nilai Tukar Rupiah Fundamental ekonomi yang membaik dan diikuti penguatan kinerja NPI mendorong nilai tukar rupiah dalam tren menguat pada triwulan I 2014. Pada akhir triwulan I 2014, rupiah menguat 7,13% dibandingkan dengan level pada akhir 2013 dan ditutup di level Rp11.360 per dolar AS pada akhir triwulan (Grafik 1.19). Penguatan tersebut terutama terjadi sejak Februari 2014 sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Penguatan rupiah juga disertai dengan penurunan volatilitas. Volatilitas rupiah pada triwulan I 2014 turun ke 11,5% dari 15,3% pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.20). Penguatan rupiah sedikit terkoreksi pada bulan April 2014 karena pengaruh pernyataan The Fed yang lebih hawkish, kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Tiongkok, dan eskalasi ketegangan geopolitik di perbatasan Ukraina-Rusia. Pada April 2014, rupiah ditutup pada level Rp11.562 per dolar AS, melemah 1,74% dibandingkan dengan level akhir Maret 2014. Secara rata-rata, rupiah pada April 2014 tercatat Rp11.439 per dolar AS, melemah 0,17% dari bulan sebelumnya. Pergerakan rupiah tersebut relatif sejalan dengan perkembangan nilai tukar di beberapa negara seperti India dan Tiongkok (Grafik 1.22). Volatilitas Harian Rata-rata Volatilitas IDR/USD Harian (sk.kanan) Grafik 1.21 Nilai Tukar Rupiah Rata-rata Grafik 1.22 Nilai Tukar Kawasan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 15 Perkembangan nilai tukar rupiah tersebut juga diikuti dengan perkembangan positif pada struktur mikro pasar valas. Volume transaksi valas meningkat selama triwulan I 2014 terutama ditopang oleh semakin aktifnya transaksi valas antarbank serta transaksi dengan pihak nonresiden. Selain itu, Credit Default Swap (CDS) yang terus menurun (Grafik 1.23) serta selisih bid-ask rupiah yang menipis sehingga menunjukkan kondisi pasar valas domestik yang semakin likuid (Grafik 1.24) Selisih Bid-ask Grafik 1.23 VIX & CDS IDR/USD (sk.kanan) Grafik 1.24 Selisih Bid-Ask Rupiah Inflasi Perkembangan inflasi triwulan I 2014 dan April 2014 juga memperkuat gambaran bahwa proses penyesuaian ekonomi tetap terkendali dan dibarengi stabilitas ekonomi yang terjaga. Inflasi pada triwulan I 2014 dan April 2014 berada dalam tren menurun sehingga diperkirakan dapat mendukung pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni pada kisaran 4,5+1%. Inflasi pada triwulan I 2014 tercatat 7,32% (yoy), menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu 8,38% (Grafik 1.25). Tren penurunan Inflasi masih berlanjut pada April 2014 yang mencatat deflasi sebesar 0,02% (mtm) atau inflasi sebesar 7,25% (yoy). Tren penurunan tekanan inflasi triwulan I 2014 tidak terlepas dari pengaruh penurunan inflasi volatile food. Deflasi pada kelompok volatile food tersebut megakibatkan inflasi volatile food secara tahunan mencapai 7,25% (yoy), turun tajam dibandingkan inflasi triwulan IV 2013 sebesar 11,83% (yoy) (Grafik 1.25). Kondisi ini didukung pasokan yang lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya ketika terjadi kelangkaan beberapa komoditas hortikultura akibat restriksi impor. Kondisi ini juga mengakibatkan bencana alam erupsi gunung berapi dan banjir hanya berdampak yang minimal pada inflasi pangan. Berdasarkan komoditas, penyumbang deflasi pada triwulan I 2014 adalah meningkatnya panen bawang merah dan cabai merah di akhir triwulan I serta melimpahnya pasokan daging ayam dan telur ayam. Sementara itu, penyumbang inflasi pada triwulan ini berasal dari beras, cabai rawit, dan ikan segar. Pada April 2014, kelompok volatile food kembali mencatat deflasi yang cukup tajam seiring meningkatnya pasokan terkait datangnya musim panen. Deflasi yang tercatat sebesar 1,26% (mtm) (Grafik 1.26) lebih rendah bila dibandingkan dengan ratarata historis selama 10 tahun sebesar 0,36% (mtm). Deflasi disebabkan oleh melimpahnya pasokan bahan pangan karena panen, terutama komoditas beras, bawang merah, cabai merah dan cabai rawit serta aneka sayur. Panen beras sedang berlangsung di beberapa sentra (terutama Sumatera dan Jawa) yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 16 dengan 2 bulan ke depan karena pergeseran masa panen akibat banjir di awal tahun. Selain itu, pasokan cabai merah juga meningkat dengan adanya panen di beberapa sentra, seperti Subang, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi dan Garut) sehingga harga saat ini berada di bawah harga referensi Pemerintah. Bersamaan dengan itu, panen sayur juga terjadi di kawasan Jabodetabek dan Sumatera, khususnya komoditas tomat, kubis, dan wortel. Grafik 1.25 Perkembangan Inflasi Tahunan Grafik 1.26 Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food Tren penurunan inflasi juga dipengaruhi inflasi inti yang tetap terkendali ditopang moderasi permintaan domestik serta menurunnya ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi yang menurun tersebut tidak terlepas dari menurunnya dampak lanjutan inflasi volatile food sehingga pada gilirannya menurunkan tekanan inflasi inti. Inflasi inti pada triwulan I tercatat sebesar 4,61% (yoy) menurun dibandingkan Triwulan IV 2013 sebesar 4,98% (yoy). Pada April 2014, inflasi inti relatif stabil mencapai 0,24% (mtm) atau 4,66% (yoy) dari 0,21% (mtm) atau 4,61% (yoy) pada Maret 2014 (Grafik 1.25). Pengaruh permintaan domestik yang termoderasi terhadap terkendalinya inflasi tergambar pada dekomposisi inflasi inti menjadi inflasi inti kelompok non-traded dan Traded. Inflasi inti kelompok nontraded terlihat menurun di semua kelompok. Kelompok pangan menurun sejalan dengan menurunnya tekanan inflasi volatile food. Inflasi kelompok perumahan juga menurun tidak terlepas dari moderasi permintaan domestik, khususnya terkait perumahan, sejalan kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia termasuk kebijakan LTV (Loan to Value) (Grafik 1.27). Tren penurunan inflasi inti kelompok perumahan juga diperkuat perkembangan harga properti residensial yang juga dalam tren menurun (Grafik 1.28). Grafik 1.27 Inflasi Inti NonTraded Grafik 1.28 Harga Properti Residensial L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 17 Inflasi inti yang terkendali juga tergambar pada kelompok inflasi inti kelompok traded yang cukup stabil dalam beberapa bulan terakhir. Inflasi kelompok pangan berada dalam tren menurun sebagai dampak lanjutan inflasi volatile food yang juga menurun. Inflasi perumahan juga stabil antara lain sejalan dengan dampak moderasi permintaan. Perkembangan sedikit berbeda ialah inflasi kelompok lainnya yang berada dalam tren meningkat (Grafik 1.29). Kenaikan ini tidak terlepas dari pengaruh dampak rambatan pelemahan nilai tukar rupiah di periode-periode sebelumnya kepada barangbarang berkandungan inpor seperti tercermin pada harga barang kelompok elektronik dan otomotif yang juga berada dalam tren meningkat (Grafik 1.30). Proses kenaikan harga kelompok traded ini pada sisi lain berpengaruh pada menurunnya permintaan impor dan berkontribusi pada menurunnya defisit transaksi berjalan. Grafik 1.29 Inflasi Inti Traded Grafik 1.30 Inflasi Barang dengan Import Content Tinggi Selain karena moderasi permintaan, inflasi inti yang terkendali juga dipengaruhi ekspektasi inflasi yang terjaga. Di pasar barang (dari sisi pedagang eceran maupun konsumen), ekspektasi tekanan harga untuk periode 3 maupun 6 bulan yang akan datang cenderung mengalami perlambatan dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Namun demikian, akibat kuatnya dorongan permintaan menjelang dan selama bulan Ramadhan, menyebabkan masih tingginya level ekspektasi inflasi baik dari sisi pedagang eceran maupun konsumen (Grafik 1.31 dan 1.32). Grafik 1.31 Ekspektasi Inflasi Pedagang Eceran Grafik 1.32 Ekspektasi Inflasi Konsumen Tekanan kenaikan inflasi pada triwulan I 2014 hanya sedikit terjadi pada inflasi kelompok administered prices. Inflasi administered prices di triwulan I 2014 tercatat sebesar 17.47% (yoy), lebih tinggi dari inflasi triwulan IV 2013 16,65% (yoy). Inflasi administered prices disebabkan kenaikan harga LPG 12 kg di awal Januari 2014, kenaikan tarif cukai rokok di awal tahun, dan implementasi kebijakan surcharge pada tarif angkutan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 18 udara. Di sisi lain, dampak penerapan surcharge masih terbatas karena adanya persaingan tarif penerbangan yang menyebabkan belum semua maskapai menerapkan tarif surcharge tersebut. Pada April 2014, tekanan inflasi administered prices masih terjaga sebesar 0,28% (mtm) atau 17,64% (yoy). Sumber tekanan pada bulan ini berasal dari kenaikan permintaan akibat hari libur nasional (long weekend), kenaikan airport tax di beberapa daerah, dan lanjutan penerapan tarif surcharge oleh maskapai penerbangan2. Selain itu, kenaikan harga rokok dan bahan bakar rumah tangga turut menyumbang tekanan pada kelompok ini. Sementara itu, koreksi harga terjadi pada tarif kereta api akibat diberlakukannya subsidi PSO per 1 April 2011 (Tabel 1.5). Tabel 1.5 Penyumbang Inflasi Administered Prices Tren penurunan inflasi antara lain akibat pengaruh penurunan inflasi volatile food juga tergambar pada inflasi secara spasial. Deflasi di kawasan Jawa dan Sumatera yang merupakan sentra produksi bahan pangan berkontribusi mendorong penurunan inflasi di periode laporan. Panen beras dan beberapa komoditas hortikultura yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyebabkan terjadinya deflasi yang cukup besar di dua daerah tersebut. Selanjutnya, berbagai daerah di Sumatera mencatat terjadinya deflasi karena koreksi harga holtikultura dan melimpahnya produksi sayuran. Sebaliknya, Jakarta dan mayoritas wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih mencatatkan inflasi. Sebagai contoh, inflasi pada komoditas aneka cabai tercatat cukup tinggi di Gorontalo dan Maluku (Gambar 1.2). Gambar 1.2. Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm) 2 Pemberlakuan tarif surcharge berdasarkan Permenhub No. 2/2014 yang berlaku mulai 26 Februari 2014. Hal ini didorong oleh depresiasi Rupiah dan kenaikan avtur. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 19 Perkembangan Moneter Perkembangan suku bunga dan uang beredar masih sesuai dengan kebijakan moneter ketat yang ditempuh Bank Indonesia. Selama triwulan I 2014, suku bunga PUAB dan suku bunga perbankan cenderung meningkat. Peningkatan suku bunga ini, di tengah moderasi pertumbuhan ekonomi, kemudian mendorong pertumbuhan uang beredar untuk terus melambat. Pasar Uang Antar Bank pada triwulan I 2014 ditandai oleh meningkatnya suku bunga PUAB O/N yang disertai menurunnya volume PUAB. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N pada triwulan I naik menjadi 5,88% dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,83%. Dengan perkembangan ini, spread suku bunga PUAB O/N terhadap DF O/N menyempit menjadi 13bps dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 19bps. Sementara itu, rata-rata volume PUAB menurun menjadi Rp10,2 triliun dari Rp10,6 triliun pada triwulan sebelumnya. Perkembangan pada April 2014 menunjukkan bahwa rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N cenderung stabil pada level 5,87% (Grafik 1.33). Pada periode yang sama, rata-rata volume PUAB total sedikit meningkat menjadi Rp11,7 triliun dari Rp11,5 triliun yang tercatat pada Maret 2014 seiring meningkatnya kebutuhan likuiditas perbankan (Grafik 1.34). Meskipun demikian, keketatan likuiditas terindikasi mereda terlihat dari spread PUAB terhadap tenor O/N dan spread max-min yang relatif menurun dibandingkan kondisi bulan sebelumnya. 9 % rPUAB O/N rLending rate rDF O/N rBI Rate % 9 8 8 7 7 6 6 5 5 8.0 Vol DF O/N (RHS) Vol PUAB O/N (RHS) Rp T 7.5 rBI Rate rPUAB O/N 120 7.0 rDF O/N Jan‐14 Apr‐14 Jul‐13 Grafik 1.33 Suku Bunga PUAB O/N Oct‐13 Jan‐13 Apr‐13 Jul‐12 Oct‐12 Jan‐12 Apr‐12 Jul‐11 Oct‐11 Jan‐11 Apr‐11 Jul‐10 Oct‐10 3 Jan‐10 3 Apr‐10 4 rPUAB : 5.87% 6.5 60 5.5 4.5 4.0 100 80 6.0 5.0 4 % Rata2Avg Vol DF: Vol DF : Rp 85.,0 T Rp 85.0T Rata-rata tertimbang Vol PUAB : RRT Vol PUAB : Rp 11.7T Rp 11.7 T 40 20 ‐ 3.5 Jan‐12 Apr‐12 Jul‐12 Oct‐12 Jan‐13 Apr‐13 Jul‐13 Oct‐13 Jan‐14 Apr‐14 Grafik 1.34 Suku Bunga PUAB O/N & Vol DF O/N Tren peningkatan suku bunga PUAB juga diikuti oleh suku bunga perbankan. Pada satu sisi, suku bunga deposito 1 bulan naik 7 bps ke level 7,99% dari 7,92% yang tercatat pada akhir triwulan IV 2013. Sementara, suku bunga simpanan berjangka panjang mengalami kenaikan yang lebih tinggi tercermin dari rata-rata tertimbang suku bunga deposito yang sudah naik hingga 38 bps selama triwulan I 2014. Pada sisi lain, rata-rata tertimbang suku bunga kredit meningkat 17 bps menjadi 12,56% dari 12,39% (Grafik 1.35). Berdasarkan jenis penggunaannya, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat naik 25 bps menjadi 12,37% sedangkan suku bunga KI dan KK masing-masing naik 18 bps dan 8 bps menjadi 12,00% dan 13,21%. Dengan perkembangan ini maka spread antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan melebar tercermin pada suku bunga kredit dan suku bunga deposito 1 bulan yang melebar menjadi 457 bps dari 447 bps (Grafik 1.36). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 20 17 % % % 15 16 12.56 13 15 13.21 9 12.56 7 7.99 12.37 5 4 3 Sb. Kredit Sb. Kredit Modal Kerja Sb. Kredit Investasi Sb. Kredit Konsumsi Grafik 1.35 Suku Bunga KMK, KI dan KK 2 1 Sb Dep 1 bln Jul‐13 Jan‐14 Jul‐12 BI rate Jan‐13 Jul‐11 Jan‐12 Jul‐10 Jan‐11 Jul‐09 Jan‐10 Jul‐08 Sb Kredit Jan‐09 Jul‐07 Jan‐08 Jul‐06 Spread‐rhs Jan‐07 Jul‐05 Jan‐06 0 Jan‐05 12.00 Jan‐08 Mar‐08 Mei‐08 Jul‐08 Sep‐08 Nop‐08 Jan‐09 Mar‐09 Mei‐09 Jul‐09 Sep‐09 Nop‐09 Jan‐10 Mar‐10 Mei‐10 Jul‐10 Sep‐10 Nop‐10 Jan‐11 Mar‐11 Mei‐11 Jul‐11 Sep‐11 Nop‐11 Jan‐12 Mar‐12 Mei‐12 Jul‐12 Sep‐12 Nop‐12 Jan‐13 Mar‐13 Mei‐13 Jul‐13 Sep‐13 Nop‐13 Jan‐14 Mar‐14 11 Data Per Mar 2014 7 5 Selisih rKredit ‐ rDepo1: 457 bps 13 12 8 6 11 14 9 Sb LPS Grafik 1.36 Spread Suku Bunga Perbankan Peningkatan suku bunga perbankan dan berlanjutnya moderasi permintaan domestik kemudian berpengaruh pada menurunnya likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2). Pada triwulan I 2014, pertumbuhan M2 melambat menjadi 10,0% (yoy) dari 12,7% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan komponennya, melambatnya pertumbuhan M2 bersumber baik dari komponen Uang Kuasi dan komponen M1 seiring penurunan giro rupiah (Grafik 1.37 dan Grafik 1.38). Grafik 1.37 Pertumbuhan M2 dan Komponennya Grafik 1.38 Pertumbuhan M1 dan Komponennya Berdasarkan faktor yg mempengaruhi, perlambatan pertumbuhan M2 terutama terjadi pada Aktiva Dalam Negeri Bersih/Net Domestic Asset khususnya berupa penurunan pertumbuhan kredit dan operasi keuangan Pemerintah yang kontraktif. Pada akhir triwulan I 2014, penyaluran kredit3 tercatat tumbuh sebesar 19,1% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan IV 2013 yang sebesar 21,4% (yoy). Selain itu, melambatnya pertumbuhan M2 juga dipengaruhi oleh operasi keuangan pemerintah yang mengalami kontraksi sejalan dengan masih rendahnya realisasi belanja pemerintah pada triwulan I 2014 (Grafik 1.39). 3 Perhitungan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 19,1% (yoy) pada triwulan I 2014 menggunakan konsep moneter yaitu pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (tidak termasuk Pemerintah Pusat). Sementara itu, pertumbuhan kredit menggunakan konsep perbankan pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 19,4% (yoy). Kredit menurut konsep perbankan adalah pinjaman rupiah dan valas yang diberikan Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (termasuk Pemerintah Pusat) dan bukan penduduk. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 21 Grafik 1.39. Pertumbuhan M2 dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Industri Perbankan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga ditopang oleh industri perbankan yang solid sehingga mendukung proses moderasi pertumbuhan ekonomi. Risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar di industri perbankan masih tetap terkendali. Selain itu, ketahanan industri perbankan juga terpelihara, ditopang oleh modal yang masih kuat. Pertumbuhan kredit masih dalam tren melambat sejalan dengan moderasi permintaan domestik. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pada akhir triwulan I 2014 kredit tumbuh 19,1% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan IV 2013 yang sebesar 21,4% (yoy) (Grafik 1.40). Perlambatan kredit utamanya disumbang oleh perlambatan Kredit Modal Kerja (KMK), yang memiliki pangsa hingga 48% dari total kredit, menjadi 16,3% (yoy) dibandingkan akhir triwulan sebelumnya 20,2% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) tercatat menurun masing-masing menjadi 33,5% (yoy) dan 13,0% (yoy) dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 34,3% (yoy) dan 13,8% (yoy). Secara sektoral, perlambatan kredit dikontribusi oleh perlambatan di sektor-sektor utama seperti perdagangan dan industri pengolahan. Pertumbuhan kredit pada sektor-sektor tersebut melambat menjadi masing-masing 23,5% (yoy) dan 25,5% (yoy) dari 28,6% (yoy) dan 29,3% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.41). % % yoy 39 12 11 32 10 25 9 18 8 11 per Mar 2014 4 6 ‐3 Total KMK KI KK BI Rate (RHS) 5 Jan‐08 Mar‐08 Mei‐08 Jul‐08 Sep‐08 Nop‐08 Jan‐09 Mar‐09 Mei‐09 Jul‐09 Sep‐09 Nop‐09 Jan‐10 Mar‐10 Mei‐10 Jul‐10 Sep‐10 Nop‐10 Jan‐11 Mar‐11 Mei‐11 Jul‐11 Sep‐11 Nop‐11 Jan‐12 Mar‐12 Mei‐12 Jul‐12 Sep‐12 Nop‐12 Jan‐13 Mar‐13 Mei‐13 Jul‐13 Sep‐13 Nop‐13 Jan‐14 Mar‐14 ‐10 7 Grafik 1.40. Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan Grafik 1.41. Pertumbuhan Kredit Menurut Sektor Ekonomi L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 22 Pada akhir triwulan I 2014, pertumbuhan DPK juga melambat sejalan dengan kenaikan suku bunga dan perlambatan ekonomi. DPK4 tumbuh 10,3% (yoy), lebih rendah daripada pertumbuhan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 13,0% (yoy). Perlambatan DPK ini terjadi pada seluruh jenis simpanan. Deposito tumbuh melambat menjadi 12,3% (yoy) dari 13,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Sementara itu, tabungan dan giro masing-masing tumbuh 10,2% (yoy) dan 6,2% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan Desember 2013 yang sebesar 12,4% (yoy) dan 12,2% (yoy) (Grafik 1.42). Grafik 1.42. Pertumbuhan DPK Di tengah tren moderasi permintaan domestik, ketahanan perbankan terkait unsur permodalan perbankan masih meningkat dan dibarengi risiko kredit yang terjaga. Pada Maret 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi sebesar 19,83%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Angka ini juga meningkat dibandingkan dengan CAR akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 18,36%. Kondisi ini mencerminkan daya tahan perbankan yang masih kuat untuk mengatasi tekanan dan gejolak termasuk berlanjutnya tren kenaikan suku bunga. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di level 2,00% (Tabel 1.6). Tabel 1.6 Kondisi Umum Perbankan Indikator Utama Total Aset DPK Kredit * LDR* NPLs Bruto* CAR NIM ROA Mar Apr Mei (T Rp) 4,313.8 4,367.8 4,418.7 (T Rp) 3,243.1 3,299.4 3,349.7 (T Rp) 2,768.4 2,824.2 2,887.5 (%) 85.36 85.60 86.20 (%) 1.97 1.96 1.95 (%) 18.92 18.61 18.39 (%) 5.41 5.42 5.41 (%) 2.99 2.92 2.96 2013 2014 Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar 4,461.8 4,510.3 4,581.1 4,737.3 4,717.0 4,817.8 4,954.5 4,880.5 4,888.8 4,933.0 3,374.4 3,392.9 3,440.2 3,526.2 3,520.9 3,563.4 3,664.0 3,594.7 3,603.6 3,618.1 2,959.1 3,021.1 3,067.4 3,147.2 3,159.5 3,214.4 3,292.9 3,258.4 3,267.8 3,306.9 87.69 89.04 89.20 89.25 89.74 90.21 89.70 90.65 90.68 91.40 1.88 1.87 2.00 1.86 1.91 1.88 1.77 1.90 1.99 2.00 17.98 17.95 17.90 18.00 18.36 18.60 18.36 19.63 19.78 19.83 5.43 5.46 5.50 5.48 5.50 5.51 4.89 4.11 4.12 4.28 2.98 3.00 3.00 3.01 3.03 3.04 3.08 2.85 2.74 2.94 * without channeling 4 Perhitungan pertumbuhan DPK sebesar 10,3% (yoy) pada triwulan I 2014 menggunakan konsep moneter yaitu simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas, pada Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep moneter tidak termasuk simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. Sementara itu, DPK menurut konsep perbankan pada triwulan I 2014 mencatat pertumbuhan sebesar 11,56% (yoy). DPK menurut konsep perbankan adalah simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas, pada Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep perbankan meliputi pula simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 23 Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara Perbaikan fundamental ekonomi meningkatkan optimisme investor yang kemudian mendorong perbaikan kinerja pasar saham. IHSG pada triwulan I 2014 mencapai level 4.768,28 (28 Maret 2014) atau naik 11,6% (qtq) dibandingkan level triwulan IV-2013 yang sebesar 4,274,18. Kinerja IHSG tercatat di atas kinerja bursa saham Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Indeks sempat mencapai level tertinggi sepanjang 2014 sebesar 4.878,64 (14 Maret) meski kemudian terkoreksi ke level 4.698,97 (20 Maret). Perkembangan April 2014 menunjukkan penguatan di bursa saham masih berlanjut. Pada April 2014, IHSG mengalami peningkatan sebesar 1,5% menjadi sebesar 4.840,15 dibandingkan bulan Maret 2014 yang sebesar 4.768,28. Penguatan IHSG tersebut lebih tinggi daripada yang terjadi di bursa saham Vietnam dan Malaysia (Grafik 1.43). Sektor pertambangan mengalami penguatan terbesar dengan naik 7,0% diikuti sektor pertanian yang menguat 6,2%. Sektor lainnya menguat di kisaran 1,5-2,9% kecuali sektor industri dasar, aneka industri dan properti yang mengalami pelemahan (Grafik 1.44). Grafik 1.43. IHSG dan Indeks Bursa Global April 2014 Grafik 1.44. Indeks Sektoral April 2014 Perbaikan kinerja pasar saham tidak terlepas dari pengaruh perilaku investor asing. Selama triwulan I-2014, investor asing membukukan net beli lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya seiring dengan positifnya kondisi global dan optimisme investor terhadap perekonomian domestik. Pada triwulan I 2014, investor asing mengalami net beli sebesar Rp24,62 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2014 yang mengalami net beli sebesar Rp11,11triliun. Sampai dengan triwulan I-2014 posisi kepemilikan saham oleh non residen sebesar 64% dan lokal sebesar 36%. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa selama April 2014, investor asing masih melanjutkan tren positif bulan-bulan sebelumnya dengan membukukan net beli sebesar Rp8,67 triliun (Grafik 1.45). Grafik 1.45. Kinerja IHSG dan Net Beli/Jual Asing L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 24 Penguatan di pasar saham juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selama triwulan I-2014, yield SBN menurun 40,22 bps menjadi 7,89% dibandingkan triwulan IV-2013 yang sebesar 8,29%. Yield jangka pendek, menengah dan panjang menurun masing-masing sebesar 31,55 bps, 40,08 bps dan 52,07 bps menjadi sebesar 7,31%, 7,93% dan 8,56%. Pada April 2014, yield SBN kembali menurun 2,35 bps dibandingkan yield bulan sebelumnya sehingga menjadi 7,86% (Grafik 1.46). Yield jangka pendek dan menengah turun masing-masing sebesar 2,35 bps dan 4,82 bps menjadi 7,28% dan 7,89%. Sementara itu, yield jangka panjang meningkat sebesar 2,57 bps menjadi 8,59%. Sejalan dengan situasi di pasar saham, penguatan pasar SBN juga didukung oleh berlanjutnya tren pembelian oleh investor asing. Selama triwulan I-2014, investor asing membukukan net beli sebesar Rp37,08 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan IV2013 yang membukukan net beli sebesar Rp29,69 triliun. Selama triwulan I-2014, kepemilikan SBN oleh perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank mengalami peningkatan, sementara kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia menurun. Investor asing cenderung melakukan pembelian SBN di tenor pendek dan menengah. Dengan perkembangan tersebut, porsi kepemilikan asing di SBN meningkat menjadi 32,56% dibandingkan akhir triwulan IV-2013 yang sebesar 31,54%. Perkembangan April 2014 menunjukkan tren pembelian oleh investor asing masih berlanjut. Selama April 2014, investor asing masih membukukan net beli sebesar Rp16,10 triliun, meningkat dibandingkan kondisi bulan sebelumnya yang mencatat net beli sebesar Rp15,77 triliun (Grafik 1.47). Pada periode yang sama, kepemilikan SBN oleh perusahaan asuransi dan Bank Indonesia mengalami peningkatan, sementara kepemilikan oleh dana pensiun dan bank menurun. Dengan perkembangan tersebut, kepemilikan investor asing di SBN pada April 2014 tercatat sebesar 33,50%, meningkat dibandingkan kondisi bulan Maret 2014 yang sebesar 32,56%. Pembelian oleh investor asing umumnya terjadi pada tenor pendek dan panjang. Grafik 1.46. Perubahan Yield Bulanan (mtm) Grafik 1.47. Yield SBN dan Net Jual/Beli Asing Bulanan Pembiayaan Non Bank Pembiayaan ekonomi non bank masih berada dalam tren melambat sejalan dengan dampak moderasi pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan I 2014, total pembiayaan tercatat Rp14,1 triliun atau tumbuh negatif 0,13% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan IV 2013 yang mencatat kontraksi 0,07% (yoy) (Tabel 1.7). Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada triwulan I 2014 banyak disumbang oleh obligasi yakni sebanyak Rp8,5 triliun. Sementara itu, saham tercatat Rp4,0 triliun L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 25 dimana sampai dengan Maret 2014 tercatat enam perusahaan telah melakukan initial public offering (IPO) dari total 13 perusahaan yang direncanakan IPO pada tahun ini. Perkembangan pada April 2104 menunjukkan bahwa total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan instrumen keuangan lainnya mencapai Rp2,8 triliun atau tumbuh negatif -0.69% (yoy), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0.18% (yoy). Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada April 2014 didominasi oleh obligasi yakni sebanyak Rp1,9 triliun. Tabel 1.7. Pembiayaan Non Bank Rp Triliun 2012 2013 2014 TW I TW II TW III TW IV Total TW I TW II TW III TW IV Total Jan Feb Mar Apr TW I Total Non Bank Saham 13.6 47.3 10.8 2.4 5.6 1.8 w/o Emiten Sektor Keuangan 0.0 Obligasi 9.6 41.0 2.3 37.2 108.9 16.3 58.3 11.2 21.0 2.8 29.3 0.7 0.0 7.1 20.1 77.7 12.7 27.7 3.1 0.3 3.6 2.8 6.0 34.7 112.9 3.4 4.9 5.9 2.8 14.1 16.9 22.7 57.5 2.7 0.0 1.2 0.4 4.0 4.3 1.2 9.1 16.6 0.4 0.0 0.0 0.0 0.3 9.9 50.5 0.0 4.8 3.7 1.9 8.5 10.5 0.4 w/o Emiten Sektor Keuangan 8.3 26.2 4.8 14.4 53.7 9.9 13.5 0.0 7.5 30.8 0.0 3.2 3.2 0.4 MTN dan Promissory Notes + NCD 1.6 0.8 1.9 5.9 10.1 0.8 1.3 0.6 2.2 4.9 0.6 0.1 0.9 0.5 1.6 2.1 w/o Emiten Sektor Keuangan 1.3 0.6 0.1 2.1 1.3 0.1 1.1 3.2 0.1 0.7 0.6 0.0 0.6 0.3 6.4 0.4 1.2 6.8 1.5 Sumber: OJK, BEI, diolah Perkembangan Sistem Pembayaran Perkembangan sistem pembayaran di kelompok uang tunai secara umum sejalan dengan perkembangan ekonomi domestik. Rata-rata harian Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) pada triwulan I-2014 adalah sebesar Rp450,0 triliun atau tumbuh 13,2% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 13,4% (yoy). Penurunan ini tidak terlepas dari pengaruh menurunnya permintaan uang sejalan moderasi pertumbuhan ekonomi (Grafik 1.48). Rp triliun 500 450 16.3% 17.4% 20% 18.2% 400 16.8% 16.6% 16.1% 16.4% 18% 15.6% 14.2% 13.4% 13.2% 12.7% 350 11.1% 300 16% 14% 12% 250 10% 200 8% 150 6% 100 4% 50 2% 0 0% Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I 2011 Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I 2012 Nominal (Rp. triliun) Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I 2013 2014 Pertumbuhan (yoy) Grafik 1.48 Perkembangan UYD (yoy) Di tengah tren perlambatan UYD tersebut, Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan kelayakan uang yang beredar. Dalam kaitan dengan upaya ini, selama triwulan I 2014, sejumlah 1,3 miliar lembar/keping Uang Tidak Layak Edar (UTLE) senilai Rp28,6 triliun telah dimusnahkan dan diganti dengan uang rupiah yang layak edar. Jumlah pemusnahan UTLE tersebut lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2013 yang tercatat sebesar 1,7 miliar lembar/keping atau senilai Rp41,3 triliun. Hal ini terjadi karena L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 26 pada periode perayaan Natal dan liburan akhir tahun lalu, Bank Indonesia banyak mengedarkan uang tunai berkualitas baik yang kemudian kembali ke Bank Indonesia pada periode laporan, sejalan dengan arus balik dana perbankan, dalam kondisi masih layak edar. Sejalan dengan perkembangan sistem pembayaran kelompok tunai, transaksi sistem pembayaran non tunai juga melambat sejalan moderasi perekonomian domestik. Selama triwulan I-2014, volume transaksi sistem pembayaran non tunai tercatat Rp1.065 juta atau tumbuh 17,24% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 25,69% (yoy) (Tabel 1.8). Namun demikian, nilai transaksi sistem pembayaran non tunai secara total cenderung stabil dengan tumbuh sebesar 29,99% (yoy) (Tabel 1.9). Perlambatan utamanya terjadi pada kelompok Alat Pembayaran Menggunakan Kartu seperti kartu kredit dan kartu ATM yang tercatat tumbuh melambat baik secara volume maupun nilai. Tabel 1.8 Perkembangan Volume Sistem Pembayaran Non Tunai 2012 Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai Q‐IV BI‐RTGS 4,719.10 BI‐SSSS 39.14 Kliring 28,193.28 Debet 10,585.89 Kredit 17,607.39 APMK 816,490.61 Kartu Kredit 56,786.93 Kartu ATM dan ATM/Debet 759,703.68 Uang Elektronik 30,875.31 Total 880,317.45 2013 Q‐I 4,250.03 34.16 24,341.27 10,615.23 13,726.04 849,409.97 56,667.47 792,742.50 30,728.04 908,763.47 Q‐II 4,499.0 34.2 25,946.4 10,902.1 15,044.2 917,524.3 59,557.7 857,966.6 34,259.6 982,263.4 Q‐III 4,263.5 28.5 26,270.7 10,596.9 15,673.8 945,361.6 61,329.4 884,032.2 35,850.1 1,011,774.4 Q‐IV 4,621.0 35.1 27,751.1 10,504.3 17,246.7 1,037,011.3 61,543.9 975,467.4 37,063.1 1,106,481.6 Volume (Ribu) 2014 Q‐I 4,171.3 36.2 25,179.2 10,012.1 15,167.1 998,153.6 59,160.3 938,993.3 37,924.3 1,065,464.6 Kendati volume transaksi mengalami perlambatan, sistem pembayaran non tunai tetap dapat berjalan lancar menopang kegiatan ekonomi. Ketersediaan sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai setelmen surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI mencapai 100% pada triwulan I-2014. Transaksi yang aman dan lancar juga terjadi pada Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) seperti kartu ATM, kartu ATM/debet, kartu kredit dan uang elektronik yang tidak mengalami gangguan signifikan selama triwulan I-2014. Tabel 1.9 Perkembangan Nilai Sistem Pembayaran Non Tunai 2012 Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai Q‐IV BI‐RTGS 19,972.81 BI‐SSSS 5,456.24 Kliring 573.89 Debet 397.99 Kredit 175.90 APMK 871.72 Kartu Kredit 52.47 Kartu ATM dan ATM/Debet 819.24 Uang Elektronik 0.65 Total 26,875.31 2013 Q‐I 18,778.31 4,939.05 547.87 394.76 153.11 917.78 51.44 866.34 0.59 25,183.59 Q‐II 21,410.4 5,299.7 605.7 414.8 190.8 989.6 55.2 934.4 0.7 28,306.1 Q‐III 26,369.5 8,259.9 680.8 421.2 259.6 1,039.4 57.1 982.4 0.9 36,350.5 Q‐IV 24,403.8 8,233.4 708.0 425.6 282.4 1,073.9 59.6 1,014.3 0.7 34,419.8 Nilai (triliun Rp) 2014 Q‐I 23,817.8 7,173.6 667.8 399.1 268.7 1,077.3 56.9 1,020.5 0.7 32,737.2 L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 27 2 PROSPEK PEREKONOMIAN Bank Indonesia memperkirakan ke depan stabilitas ekonomi tetap terjaga dan ditopang penyesuaian perekonomian yang masih terkendali. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mencapai 5,1-5,5%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya 5,5-5,9%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya akibat dampak kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah serta pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan harga komoditas global yang lebih lemah dari proyeksi semula. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, meskipun lebih rendah dari proyeksi semula 5,8-6,2%. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi tersebut, inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5+1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat kembali mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0+1%. Proses penyesuaian ekonomi yang terkendali diharapkan dapat turut mendorong prospek defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan kredit 2014 ke level yang sehat bagi perekonomian secara keseluruhan. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit diperkirakan tetap berada pada kisaran 15-17% pada tahun 2014 sehingga konsisten dengan upaya mengarahkan ekonomi menjadi lebih sehat dan seimbang. Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap dapat ditekan di bawah 3,0% dari PDB, meskipun pada triwulan II dan III 2014 diperkirakan meningkat sesuai pola musiman. Peningkatan defisit pada triwulan II dan III 2014 tersebut antara lain dipengaruhi peningkatan impor menjelang puasa dan hari raya serta repatriasi pendapatan dan pembayaran bunga, meskipun secara keseluruhan tahun 2014. Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan pada stabilitas ekonomi dan mengganggu upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat. Dari global, risiko berkaitan dengan potensi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi untuk meningkatkan kembali defisit transaksi berjalan. Risiko ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed juga mendapat perhatian karena dapat mengganggu prospek penanaman modal asing. Dari domestik, risiko yang perlu mendapat perhatian ialah potensi tekanan harga terkait tekanan penyesuaian administered prices dan peningkatan harga pangan akibat efek tunda banjir dan dampak El Nino yang dapat menyebabkan musim kemarau di beberapa daerah. Prospek Perekonomian Global Sesuai proyeksi sebelumnya, pemulihan ekonomi global diperkirakan masih berlanjut, namun dengan perkembangan yang tidak merata. Pertumbuhan ekonomi global 2014-2015 diperkirakan masih sama dengan proyeksi sebelumnya sebesar 3,6% pada 2014 dan 3,9% pada 2015. Pertumbuhan tersebut didukung perkembangan ekonomi negara-negara maju yang membaik sejalan dengan masih berlanjutnya stimulus moneter, sementara tekanan fiskal relatif mereda. Namun, pemulihan ekonomi tersebut L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 28 tidak terjadi secara merata. Perkembangan ekonomi negara berkembang berisiko lebih rendah disebabkan, antara lain akibat rebalancing ekonomi Tiongkok, pelemahan harga komoditas, pengetatan kebijakan moneter. Perkembangan ekonomi Tiongkok ini perlu mendapat perhatian karena dapat mempengaruhi perekonomian negara perkembangan secara keseluruhan. Meskipun tidak merata, prospek perekonomian global yang membaik pada gilirannya diprakirakan akan menaikkan volume perdagangan dunia. Volume perdagangan dunia di tahun 2014 diperkirakan sebesar 3,8%. Peta pemulihan perekonomian global diperkirakan banyak diwarnai oleh kondisi AS dan Eropa yang terus membaik. Indikator AS terus menunjukkan perbaikan didukung oleh kinerja sektor manufaktur sehingga pertumbuhan AS dinilai masih sesuai dengan perkiraan. Sama dengan proyeksi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS 2014 diperkirakan sebesar 2,8% pada 2014 dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 3,0%. Sementara itu pertumbuhan Eropa diperkirakan lebih baik yakni 1,0% lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 0,9%, antara lain, akibat indikator manufaktur Perancis yang mulai membaik. Namun, pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan 1,5%, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 1,7% (Tabel 2.1). Berbeda dengan Table 2.1 Proyeksi PDB Dunia prospek negara Proyeksi maju, pertumbuhan 2013 2014 2015 ekonomi Tiongkok PDB Dunia 3,0 3,6 3,9 di 2014 dan 2015 Negara Maju 1,3 2,2 2,3 diperkirakan Amerika Serikat 1,9 2,8 3,0 Kawasan Eropa -0,4 1,0 1,4 tumbuh sedikit lebih Jepang 1,5 1,5 1,0 rendah dari 4,7 5,0 5,4 Negara Emerging Market dan berkembang perkiraan Tiongkok 7.7 7,4 7,3 sebelumnya. India 4,6 5,4 6.4 Negara Emerging Market Lainnya 3.1 3.6 4.1 Pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diperkirakan 7,4%, lebih rendah dibandingkan proyeksi Bank Indonesia sebelumnya yakni 7,5% (Tabel 2.1)5. Penurunan permintaan di Tiongkok dipengaruhi realisasi PDB Tiongkok pada triwulan I-2014 yang menurun sejalan dengan indikator indeks produksi dan investasi aset tetap yang berada pada tren menurun, meskipun proses perlambatan tersebut tidak terjadi secara hard landing. Negara berkembang lainnya juga sedikit menurun baik karena faktor gejolak politik/ekonomi (Rusia, Argentina, dan Thailand), maupun harga komoditas yang masih negatif. Sejalan dengan prospek ekonomi Tiongkok, prospek harga komoditas diperkirakan juga tidak sebaik perkiraan sebelumnya, meskipun tetap lebih baik dari kondisi tahun 2013. Prospek yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya ini antara lain terkait adanya peningkatan pasokan karet dari Thailand dan Malaysia. Selain itu, harga batubara juga masih melemah akibat meningkatnya pasokan terutama oleh AS terkait upaya konversi energi dari batubara ke shale gas menyebabkan ekspor batubara dari AS bertambah sehingga meningkatkan pasokan batubara internasional. Di sisi lain, permintaan batubara menurun terkait ekonomi Tiongkok yang melambat. Sementara itu, harga minyak diprakirakan masih dalam tren menurun enambahan supply terutama dari negara-negara non-OPEC antara lain terkait adanya infrastruktur baru dan eksplorasi teknologi baru (shale gas). Namun, potensi kenaikan dalam jangka pendek dapat saja terjadi khususnya harga 5 Angka proyeksi ekonomi global Bank Indonesia sebelumnya lihat Laporan Perekonomian Indonesia 2014 yang terbit pada 2 April 2014. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 29 minyak akibat ketegangan politik di Ukraina, yang dapay mendorong harga minyak lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pengaruh perekonomian global yang tidak sekuat perkiraan, khususnya terkait kondisi ekonomi Tiongkok dan harga komoditas, serta ekspor yang masih terkendal kendala di ekspor pertambangan, Bank Indonesia merevisi prospek pertumbuhan di tahun 2014 dan 2015. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan pada kisaran 5,1-5,5%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 5,5-5,9%. menyusul pertumbuhan ekonomi triwulan I 2014 yang hanya mencapai 5,21%. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, meskipun lebih rendah dari proyeksi semula 5,8-6,2% (Tabel 2.2). %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 2.2 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran Komponen 2013 I II III IV 2013 2014 I 2014* 2015* Konsumsi Rumah Tangga 5.2 5.1 5.5 5.3 5.3 5.6 5.1 - 5.5 5.3 - 5.7 Konsumsi Pemerintah 0.4 2.2 8.9 6.4 4.9 3.6 6.2 - 6.6 5.4 - 5.8 Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 5.5 4.5 4.5 4.4 4.7 5.1 4.8 - 5.2 5.3 - 5.7 Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa 3.6 0.0 4.8 0.7 5.2 5.1 7.4 -0.6 5.3 1.2 -0.8 -0.7 1.5 - 1.9 0.5 - 0.9 5.1 - 5.5 4.9 - 5.3 PDB 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2 5.1 - 5.5 5.4 - 5.8 Sumber : BPS * Proyeksi Bank Indonesia Revisi pertumbuhan ekonomi pada 2014 banyak dipengaruhi oleh komponen ekspor. Ekspor pada tahun 2014 diperkirakan tumbuh pada kisaran 1,5-1,9%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya pada kisaran 8,1-8,5% (Tabel 2.2). Revisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekspor ini terkait kondisi global akibat harga komoditas yang menurun dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tidak sekuat perkiraan. Selain itu, faktor domestik terkait dampak kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah yang mulai berlaku Januari 2014 diprakirakan mengakibatkan volume ekspor akan juga tidak sebesar perkiraan semual. Selain itu, terbatasnya ekspor juga dipengaruhi pertumbuhan volume ekspor CPO dan produk turunannya yang diperkirakan akan hampir sama dengan tahun lalu karena adanya program biodiesel di dalam negeri. Dari sisi negara tujuan, ekspor ke Tiongkok dan Jepang diprakirakan akan mengalami penurunan. Namun, penurunan tersebut dapat tertahan oleh meningkatnya ekspor ke AS, India dan Eropa. Pada sisi lain, permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi (PMTB), diperkirakan masih cukup terkendali. Konsumsi rumah tangga diprakirakan masih tumbuh pada level yang tinggi yakni pada kisaran 5,1-5,5% didukung kegiatan terkait pemilu 2014 dan peningkatan pendapatan (Tabel 2.2). Daya beli masyarakat diprakirakan dapat terjaga seiring dengan peningkatan pendapatan terkait rencana penyesuaian upah buruh dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil, TNI/Polri serta pensiunan. Selain itu, inflasi yang diperkirakan kembali ke rentang target 4,5%+1% akan turut menjaga daya beli. pertumbuhan konsumsi juga ditunjang oleh meningkatnya proporsi penduduk usia produktif sehingga akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 30 Investasi (PMTB) diprakirakan tumbuh moderat di level 4,8-5,2% (Tabel 2.2). Prospek pertumbuhan investasi terutama disumbangkan oleh investasi bangunan. Hal ini terkait dengan masih besarnya kebutuhan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran untuk investasi infrastruktur dari Rp184,3 triliun di tahun 2013, menjadi Rp206,6 triliun di tahun berikutnya. Namun, perkiraan pertumbuhan investasi tersebut relatif moderat terkait dengan perilaku wait and see dari pelaku usaha terkait dengan pelaksanaan pemilu. Pertumbuhan impor juga diperkirakan terbatas, meskipun masih lebih tinggi dari tahun lalu. Prakiraan tersebut sejalan dengan masih termoderasinya kegiatan ekspor di tengah permintaan domestik yang masih tumbuh. Sejalan dengan perkiraan pertumbuhan investasi yang moderat, pertumbuhan impor barang modal dalam bentuk mesin dan perlengkapan juga diprakirakan relatif terbatas. Sementara itu, kegiatan produksi yang diprakirakan masih tetap kuat, antara lain untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan ekspor, mendorong permintaan impor akan bahan baku mengalami peningkatan. Impor barang konsumsi juga diprakirakan masih akan tetap tumbuh sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat. Secara sektoral, pengaruh ekspor yang tidak sekuat perkiraan tersebut tergambar pada prospek sektor Pertambangan yang diprakirakan tumbuh terbatas, sekitar 0,3-0,7% di 2014, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 1,3-1,7% (Tabel 2.3). Dari sisi domestik, prospek ini antara lain disebabkan oleh pemberlakuan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada 12 Januari 2014. Meskipun demikian, kebijakan pelonggaran bea keluar bagi perusahaan yang berkomitmen membangun smelter diperkirakan mampu mengkompensasi potensi perlambatan tersebut. Dari sisi eksternal, prakiraan harga komoditas nonmigas internasional yang masih terkoreksi diperkirakan berakibat pada tertahannya kinerja sektor pertambangan. Namun, di tengah prospek sektor pertambangan yang masih terbatas, kinerja subsektor Migas diperkirakan meningkat ditopang kegiatan produksi yang membaik. Di samping itu, sejumlah proyek hulu yang didominasi sektor gas diperkirakan akan mampu mendorong kinerja sektor ini. Dari komoditas batubara, prospek ke depan diperkirakan berada pada tingkat moderat. Semakin tingginya pasokan di pasar internasional mendorong berlanjutnya penurunan harga batubara. Di tengah prakiraan turunnya harga tersebut, terdapat kemungkinan pelarangan Tiongkok terhadap impor batubara kualitas rendah, termasuk yang berasal dari Indonesia. Di tengah kinerja sektor tambang yang menurun tersebut, secara sektoral maka sektor industri pengolahan, sektor PHR, serta sektor pengangkutan dan komunikasi masih menjadi sektor utama yang mendorong perekonomian pada 2014. Ketiga sektor dengan pangsa besar tersebut diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang cukup baik pada 2014. Selain itu, pelonggaran bea keluar dalam penerapan kebijakan UU Minerba dan tambahan produksi migas diperkirakan mampu memperbaiki kinerja sektor Pertambangan.Sementara itu, dampak pemilu pada pertumbuhan ekonomi domestik melalui belanja iklan di sektor Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan diperkirakan lebih rendah dibanding perkiraan sebelumnya (Tabel 2.3). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 31 %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 2.3 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha Sektor 2013 2013 2014 I 2014* 3.8 3.5 3.3 2.8 - 3.2 2.9 - 3.3 2.0 5.0 3.8 3.9 5.3 6.6 1.3 5.6 5.6 -0.4 5.2 6.5 0.3 - 0.7 4.9 - 5.3 6.4 - 6.8 1.4 5.0 6.5 - 1.8 5.4 6.9 6.6 6.4 6.2 6.1 6.7 4.8 6.6 5.9 6.5 4.6 6.2 - 6.6 4.8 - 5.2 6.4 5.4 - 6.8 5.8 9.6 8.2 6.5 10.9 7.7 4.5 9.9 7.6 5.6 10.3 6.8 5.3 10.2 7.6 5.5 10.2 6.2 5.8 10.1 - 10.5 10.1 - 10.5 5.8 - 6.2 5.9 - 6.3 5.5 - 5.9 5.5 - 5.9 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2 5.1 - 5.5 I II III IV Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan 3.7 3.3 3.3 Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih 0.1 6.0 7.9 -0.6 6.0 4.0 Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran 6.8 6.5 Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDB 2015* 5.4 - 5.8 Sumber : BPS * Proyeksi Bank Indonesia Sektor Industri Pengolahan diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,9-5,3% di tahun 2014, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3-5,7%. Prakiraan tersebut didukung oleh semakin pulihnya perekonomian global, khususnya negara maju, seiring meningkatnya produk manufaktur. Prakiraan tetap tumbuhnya sektor ini salah satunya didukung oleh pola pergeseran sektor tujuan investasi ke sektor industri pengolahan dalam beberapa tahun terakhir. Ke depan, tren positif sektor ini diperkirakan akan terus berlanjut terutama bila dikaitkan dengan pentingnya upaya memperkuat daya saing dan inovasi (Boks: Peta Daya Saing dan Inovasi serta Kaitannya dengan Struktur Manufaktur Indonesia dan Perdagangan Internasional). Prospek subsektor Industri Alat Angkut diprakirakan semakin meningkat seiring dengan aktivitas produksi yang juga terus meningkat dan negara tujuan ekspor mobil low cost green car (LCGC) yang terus bertambah. Dari subsektor industri CPO, terdapat potensi peningkatan terutama bersumber dari dalam negeri sejalan dengan kebijakan wajib bauran (mandatory blending) biodiesel sebesar 10% per Januari 2014 dan pemanfaatan biodiesel sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan daya saing industri tekstil, Pemerintah berupaya melanjutkan program revitalisasi industri melalui restrukturisasi mesin/peralatan industri TPT yang sudah berusia 20 tahun ke atas. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,8-5,2% di tahun 2014, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,6-6,0% . Pertumbuhnya sektor PHR didorong oleh tetap kuatnya daya beli masyarakat seiring dengan ekspansi kelas menengah. Ritel sebagai penopang utama sektor ini diperkirakan akan tumbuh pesat, termasuk di luar Jawa. Selain itu, kegiatan usaha seperti bisnis online, MLM, bisnis katering, dan toko juga diperkirakan tetap tumbuh. Meskipun demikian, prospek ritel dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti biaya sewa, kenaikan upah pekerja, dan biaya perizinan yang meningkat. Sementara itu, pertumbuhan sektor ini didukung pula oleh prospek pariwisata yang diprakirakan semakin menguat, ditandai dengan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang terus meningkat. Optimisme tersebut pada gilirannya berdampak positif terhadap perkembangan berbagai industri pendukung, antara lain seperti hotel, restoran, transportasi, dan retail. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 2014 diperkirakan tetap tumbuh tinggi di sekitar 10,1-10,5%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 10,5-10,9%. Sejalan dengan aktivitas perdagangan dan ekspor-impor yang makin tinggi, subsektor pengangkutan juga turut meningkat. Dari sisi angkutan darat, proyek smelter diperkirakan dapat mendongkrak bisnis logistik terkait potensi meningkatnya kebutuhan pengangkutan komoditas tambang dari lokasi pertambangan ke smelter. Dari angkutan laut, Pemerintah L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 32 melalui MP3EI terus melakukan upaya penguatan konektivitas dan jaringan logistik berbasis maritim, salah satunya melalui penetapan Kuala Tanjung dan Bitung sebagai pelabuhan hub international karena dipandang sebagai faktor kritis daya saing logistik Indonesia. Keduanya akan segera dioperasikan terutama dalam menjaga daya saing perekonomian nasional di era pasar terbuka MEA 2015. Khusus untuk prospek sub-sektor komunikasi, kinerja yang tetap kuat juga dipengaruhi ekspansi teknologi dan kelas menengah yang menuntut terus berkembangnya jaringan komunikasi untuk data dan traffic komunikasi. Berdasarkan perkembangan, tingkat kecepatan download yang bisa merepresentasikan tingginya kebutuhan jaringan, baik melalui broadband maupun mobile, terus meningkat. Meskipun demikian, tingkat penetrasi internet baru mencapai 15%, relatif rendah dibandingkan negara maju dengan tingkat lebih dari 80% (Grafik 2.1). Selain itu, kecepatan broadband Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, yaitu menempati posisi 148 dari 174 negara (Grafik 2.2). Kondisi ini menunjukkan potensi besar bagi peningkatan kapasitas data komunikasi ke depan. Sumber: Global Digital Statistics, Januari 2014 Grafik 2.1 Perbandingan Tingkat Penetrasi Internet Sumber: Ookla Net Index Grafik 2.2 Perbandingan Tingkat Kecepatan Broadband Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 2014 diprakirakan tumbuh melambat pada kisaran 5,8-6,2%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 6,5-6,9%. Dampak kegiatan pemilu 2014 terutama terjadi pada sektor ini. Belanja pemilu pada subsektor Jasa Perusahaan, ditandai dengan peningkatan permintaan perangkat dan atribut kampanye dan iklan di media cetak maupun media luar ruang seperti spanduk, umbul-umbul dan billboard. Meskipun demikian, dampak peningkatan belanja tersebut pada pemilu 2014 diperkirakan tidak sebesar pemilu sebelumnya sejalan dengan perkembangan teknologi yang menggeser pola kampanye melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini diperkuat pula dengan adanya pembatasan besaran dana kampanye partai politik. Dari subsektor Keuangan, kinerja prospek perbankan diperkirakan melambat sejalan dengan prospek penurunan ekspansi kredit perbankan. Namun demikian, perlambatan ekspansi kredit yang dapat menurunkan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) tersebut akan dikompensasi melalui pendapatan berbasis biaya (fee based income). Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (LGA) diprakirakan tumbuh di kisaran 6,4-6,8% di tahun 2014, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,9-6,3%. Subsektor listrik memberikan kontribusi yang besar seiring dengan rencana penambahan kapasitas listrik di tahun 2014 sebesar 4.250 MW. Pemerintah juga akan membangun 21 Pembangkit Listrik L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 33 Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dan 133 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) guna memenuhi kebutuhan listrik di daerah perbatasan dan pulau terluar. Dari subsektor gas, Pemerintah terus berupaya meningkatkan alokasi pemanfaatan gas bumi, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri, kelistrikan, dan pupuk. Dari total alokasi gas, lebih dari 59% akan dialokasikan guna memenuhi kebutuhan domestik. Sementara itu, meskipun masih relatif kecil, alokasi untuk sektor transportasi akan terus ditingkatkan. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah adalah melalui percepatan pelaksanaan konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke BBG. Sektor Bangunan diprakirakan bertumbuh moderat yakni sekitar 6,2-6,6%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya. Perkembangan sektor ini salah satunya ditopang oleh upaya Pemerintah dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan infrastruktur sebagaimana tertuang dalam MP3EI. Pada tahun 2014, sebanyak 166 proyek direncanakan akan memasuki tahap groundbreaking dengan nilai investasi sebesar Rp628,91 triliun. Untuk infrastruktur, total nilai investasi direncanakan mencapai Rp232,8 triliun (Grafik 2.3), dengan lokasi proyek sebagian besar di Koridor Ekonomi Sumatera dan Jawa. Sebanyak Rp31,8 triliun dari total kebutuhan investasi infrastruktur tersebut bersumber dari Pemerintah (Grafik 2.4). Selain dari infrastruktur, prospek sektor bangunan bersumber dari masih tingginya kekurangan jumlah tempat tinggal (backlog) yang mencapai 7,6 juta rumah. Kondisi ini berpeluang mendorong pembangunan perumahan layak huni. Sementara itu, pembangunan smelter sebagai dampak pemberlakuan UU Minerba juga diperkirakan mampu mendorong sektor ini. Di samping berbagai prospek positif tersebut, bauran kebijakan Bank Indonesia untuk mencapai stabilisasi ekonomi, antara lain melalui BI rate dan LTV, diperkirakan berdampak pada termoderasinya pertumbuhan sektor ini. Melalui kebijakan tersebut, eksposur bank terhadap peningkatan risiko kredit dapat dikurangi apabila terjadi pemburukan kondisi makroekonomi yang dapat menurunkan kemampuan masyarakat membayar utang. Sumber: KP3EI Grafik 2.3 Rencana Groundbreaking per Koridor Ekonomi Sumber: KP3EI Grafik 2.4 Rencana Groundbreaking Infrastruktur Berdasarkan Sumber Pembiayaan Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2014 diprakirakan tumbuh melambat sebesar sekitar 2,8-3,2% lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,0-3,4%. Harga komoditas nonmigas internasional yang diprakirakan masih akan terkoreksi menjadi salah satu faktor yang dapat memicu perlambatan pertumbuhan di sektor ini, terutama pada subsektor perkebunan seperti karet. Sementara itu, indikasi gangguan cuaca global El Nino pada tingkat lemah hingga moderat diperkirakan terjadi mulai akhir semester I-2014 hingga awal 2015. Luas tanam beberapa bahan pangan utama pada periode tersebut diperkirakan turun 6% dibanding tahun sebelumnya sehingga L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 34 berpotensi memengaruhi tingkat produksi. Di tengah potensi perlambatan tersebut, terdapat ruang perbaikan di sektor perkebunan, terutama CPO. Dengan dikenakannya kewajiban pencampuran bahan bakar minyak dengan bahan bakar nabati (biodiesel), produksi CPO diperkirakan dapat turut terdorong guna memenuhi permintaan. Sejalan dengan prakiraan semakin pulihnya perekonomian global dan kembali menguatnya kinerja ekspor, perekonomian nasional pada tahun 2015 diprakirakan kembali membaik. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan mencapai 5,4 – 5,8 % dengan sektor Industri Pengolahan, PHR, serta Pengangkutan dan Telekomunikasi sebagai pendorong utama. Prospek kinerja ekonomi tersebut juga antara lain didukung oleh daya beli yang tetap resilien sejalan dengan ekspansi kelas menengah yang tetap berlanjut. Prospek Inflasi Prospek penyesuaian ekonomi yang terkendali tersebut diperkirakan akan mendorong inflasi pada tahun 2014 dan 2015 kembali berada dalam kisaran targetnya 4,5% ± 1% pada tahun 2014 dan 4% ± 1% pada tahun 2015 (Grafik 2.5). Dampak kenaikan BI rate pada tahun 2013 sebesar 175 bps diperkirakan dapat meredam tekanan inflasi dari sisi permintaan di 2014. Selain itu, ekspektasi yang cenderung membaik dan harga komoditas internasional yang tumbuh terbatas diperkirakan akan menyebabkan pergerakan kelompok inflasi inti relatif terjaga. Selain itu, penurunan inflasi juga didukung pasokan bahan makanan yang memadai seiring dengan produksi yang meningkat. Grafik 2.5 Fanchart Inflasi Berdasarkan komponen, prospek inflasi yang sesuai target tersebut dipengaruhi Inflasi kelompok volatile food yang diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2013. Inflasi administered price juga diprakirakan akan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Hal ini terkait dengan kemungkinan terbatasnya kebijakan penyesuaian harga komoditas strategis yang diatur oleh pemerintah. Prospek inflasi volatile food yang lebih rendah tersebut terkait dengan produksi global yang meningkat dan harga komoditas yang menurun. Selain itu, tidak adanya lagi dampak tahunan kenaikan BBM yang terjadi pada pertengahan tahun 2013. Dari sisi eksternal,Produksi beras dunia diperkirakan meningkat terutama didorong dari Brazil, Pakistan, dan Sub-saharan Africa. Pasokan jagung dunia juga diprakirakan meningkat terutama didorong oleh peningkatan produksi di Brazil, Afrika Selatan, Rusia, dan Mexico. Peningkatan produksi disebabkan perkiraan cuaca yang sangat mendukung panen jagung. situasi produksi pangan di dunia diperkirakan relatif membaik di tahun ini. Selain itu, pasokan kedelai dunia diperkirakan meningkat yang berasal dari kawasan Amerika Selatan. Dari sisi dometik, pemerintah terus memperkuat tata niaga bahan pangan yang diharapkan dapat mendukung stabilitas harga pangan domestik. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 35 Prospek inflasi 2014 yang sesuai sasaran ditopang inflasi inti yang diperkirakan tetap terjaga. Prospek ini dipengaruhi permintaan domestik yang diprakirakan moderat seiring dengan pertumbuhan ekonomi relatif terbatas dan masih rendahnya kapasitas utilisasi. Tekanan inflasi inti dari sisi eksternal relatif terjaga, terutama terkait dengan kecenderuingan menurunnya harga komoditas internasional sejalan dengan produksi global yang membaik. Prospek inflasi kelompok volatile food yang menurun juga berkontribusi pada menurunnya prospek inflasi inti. Dalam kaitan ini, kelompok pangan pada inflasi inti akan menurun sejalan berkurangnya dampak rambatan dari inflasi kelompok volatile food. Faktor Risiko Ke depan, Bank Indonesia tetap mencermati beberapa risiko ekonomi baik dari global maupun domestik, yang berpotensi mengganggu prospek perekonomian. Perkembangan global dapat berdampak terhadap perekonomian domestik baik malalui jalur perdagangan dan finansial. Risiko tersebut perlu diwaspadai sehingga dapat dipersiapkan langkah-langka untuk memitigasi dampak buruk yang dapat ditimbulkan terhadap perekonomian domestik. Dari sisi global, risiko yang dihadapi masih berkaitan dengan ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed. Risiko ini terkait respon yang akan ditempuh oleh Bank sentral AS (The Fed) untuk menormalisasi stance kebijakan sejalan dengan indikasi perbaikan kondisi perekonomian AS. Namun, rilis FOMC Minutes terkini meredakan kekhawatiran bahwa The Fed akan melakukan kenaikan suku bunga lebih awal dari perkiraan. Anggota FOMC berpendapat bahwa Fed Fund Rate sebaiknya naik di 2015 (median results), sementara hasil survei bloomberg pada 62 ekonom, 37% berpendapat Fed Fund Rate akan naik pada triwulan III-2015. Kenaikan suku bunga kebijakan AS (Fed Fund Rate, FFR) diperkirkaan akan terjadi secara gradual. IMF dengan menggunakan skenario “smooth exit” memperkirakan Fed Fund Rate (FFR) akan mencapai 3% di penghujung tahun 2018 dan 4% di akhir 2019. Sementara FOMC terkini memperkirakan FFR untuk longer run akan mencapai 4% di penghujung tahun 2019. Selain ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed, perekonomian juga menghadapi risiko terkait kerentanan negara-negara emerging market, termasuk risiko perlambatan ekonomi Tiongkok. Proses penyesuaian ekonomi di Tiongkok yang berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok perlu mendapat perhatian karena peran besar Tiongkok sebagai mitra dagang Indonesia. Selain itu, keterkaitan ekonomi Tiongkok dengan mitra dagang lain juga perlu mendapat perhatian karena dapat berpengaruh tidak langsung kepada ekonomi Indonesia. Secara keseluruhan, tingkat kerentanan negara-negara emerging market yang masih tinggi perlu terus dicermati karena dapat memberikan dampak rambatan kepada ekonomi Indonesia, meskipun risiko Indonesia saat ini berada dalam tren membaik. Dari sisi domestik, terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat mempengaruhi inflasi. Risiko tersebut terkait rencana kebijakan harga strategis oleh pemerintah serta potensi tekanan harga pangan akibat efek tunda banjir dan El-Nino. Di tahun 2014, beberapa penyesuaian harga barang dan jasa strategis seperti Tarif Tenaga Listrik dan harga gas LPG 12 kg yang dilakukan secara bertahap, serta kemungkinan harga strategis lainnya. Sementara itu, risiko dampak El Nino berdasarkan pengalaman empiris menunjukkan bahwa El Nino berdampak pada kerusakan lahan (puso) dan penurunan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 36 produksi padi. Pada 2003, El Nino dengan intensitas moderate berdampak pada kerusakan lahan yang mengakibatkan hilangnya produksi padi sekitar 550 ribu ton atau dampak inflasi sebesar 0,16%. Sementara pada saat 1997 terjadi El Nino dengan intensitas kuat yang berdampak pada kerusakan lahan sekitar 720 ribu ton atau dampak inflasi sebesar 0,20% (Tabel 2.4). Tabel 2.4 Kerusakan akibat El Nino L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 37 3 RESPONS KEBIJAKAN MONETER Bank Indonesia pada 8 Mei 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan, kebijakan tersebut dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4,0±1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia menilai respon kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah dapat mengarahkan penyesuaian ekonomi pada triwulan I 2014 dan April 2014 tetap terkendali. Hal ini tercermin pada inflasi yang masih berada dalam tren menurun dan defisit transaksi berjalan yang mengecil. Permintaan domestik juga tetap terkelola dengan baik, meskipun pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 menurun dan tercatat lebih rendah dari perkiraan akibat kontraksi pada ekspor riil, terutama komoditas pertambangan. Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati berbagai risiko, baik dari global maupun domestik, dan menempuh langkah-langkah antisipatif guna memastikan agar stabilitas ekonomi tetap terjaga dan mendukung perbaikan kinerja transaksi berjalan. Untuk itu, Bank Indonesia akan senantiasa memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian domestik dan pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN), khususnya ULN korporasi. Bank Indonesia juga akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengarahkan pertumbuhan kredit sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 38 Boks: Peta Daya Saing dan Inovasi serta Kaitannya dengan Struktur Manufaktur Indonesia dan Perdagangan Internasional4 Pendahuluan Eksistensi sektor manufaktur dalam struktur perekonomian suatu negara memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dalam jangka panjang. Beberapa penelitian seperti Hausman et.al (2005) dan Trivedi et. al (2012) membuktikan bahwa negara yang memiliki spesialisasi pada produk-produk bernilai tambah tinggi, cenderung memiliki lintasan pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dalam jangka panjang. Hal ini dapat diraih melalui peningkatan kapasitas inovasi dan daya saing perekonomian suatu negara yang akan menentukan tingkat efisiensi produksi dan dan nilai tambah. 12. Innovation 11. Business sophistication 10. Market size 1. Institution 6 5 4 3 2 1 0 2. Infrastructure 3. Macroeconomic environment Indonesia 4. Health and primary educ Stage2 Stage23 9. Technological readiness 8. Financial market development 6. Goods market efficiency 7. labor market efficiency Sumber: Global Competitiveness Index 2012‐2013 Grafik 1. Stage of Development Indonesia Indonesia yang saat ini sedang mengalami ketidakseimbangan sisi eksternal, tantangan struktural untuk mendorong sektor produktif bernilai tambah tinggi menjadi hal yang sangat penting. Untuk itu, penetapan langkah-langkah kebijakan perlu didasari oleh pemahaman mengenai posisi relatif daya saing dan kapasitas inovasi Indonesia melalui pemetaan terhadap struktur ekspor Industri manufaktur, karakter daya saing dan kapasitas inovasi Indonesia. Berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) dan Global Innovation Index (GII), daya saing dan inovasi Indonesia terindikasi masih lemah dibandingkan negaranegara yang menjadi pembanding. Di bidang infrastruktur, konektivitas antar daerah perlu terus diperkuat untuk menciptakan efisiensi dan peningkatan produktivitas. Di bidang kualitas SDM, kehandalan modal manusia dan kapasitas absorpsinya pun perlu ditingkatkan. Terkaitnya indikator dalam GCI dan GII menunjukkan bahwa perbaikan satu indikator di GCI, akan meningkatkan pula kinerja GII. Oleh karena itu, peningkatan daya saing tentunya akan berjalan secara simultan dengan peningkatan inovasi di sektor manufaktur Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak dapat terus mengandalkan sumber daya alam sebagai basis daya saing dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Defisit transaksi berjalan akan semakin besar bila tidak diambil langkah-langkah untuk mengembangkan industri yang bernilai tambah tinggi. 4 Ditulis oleh Desthy V.B. Sianipar dan Bayu Panji Permono yang merupakan peneliti di Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia dalam bentuk Catatan Risett No.15/8/DKM/GRE/CR. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 39 Profil Daya Saing Indonesia Berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) 2012-2013, daya saing ekonomi Indonesia memburuk dari peringkat ke-44 di tahun 2010-2011 menjadi peringkat ke-50 dari 144 negara (Grafik 1). World Economic Forum (WEF), mendisagregasi daya saing ke dalam tiga stage pembangunan dimana Indonesia masuk pada stage 2, yakni kelompok/sub index efficiency-driven bersama dengan 33 negara lainnya . Hal ini didasari oleh PDB (PPP) per-kapita Indonesia yang telah mencapai $3509 di tahun 2011. Grafik 2. Perkembangan Ranking GCI dalam 3 Tahun Terakhir Grafik 3. Kualitas Infrastruktur Pada stage 2, titik terlemah Indonesia berada pada pilar technological readiness terkait dengan rendahnya persentase penggunaan internet per individu, rendahnya jumlah pelanggan internet, serta kecilnya international internet bandwith. Pilar labor market efficiency juga tercatat paling lemah bila dibandingkan dengan peer countries. Disamping itu, meskipun Indonesia sudah masuk stage 2, bukan berarti pilar-pilar daya saing dalam stage 1 (basic requirement) sudah berkinerja memuaskan. Kinerja pilar institusi dan infrastruktur Indonesia justru masih tertinggal, hanya sedikit di atas Filipina dan Vietnam. Rendahnya skor pilar institusi disebabkan oleh rendahnya kepercayaan publik terhadap lingkungan politik, maraknya pungutan liar dan tinggi angka korupsi. Pada pilar infrastruktur, buruknya kualitas infrastruktur fisik, yang meliputi jalan, rel kereta, dan pelabuhan, menyebabkan rendahnya kinerja pilar ini (Grafik 4). Profil Kapasitas Inovasi Indonesia Untuk profil kapasitas inovasi, Global Innovation Index (GII) pada perekonomian Indonesia terlihat kurang baik dengan posisi ke-100 dari 141 negara yang dievaluasi. Jika dibandingkan dengan negara dalam satu peer, Indonesia menempati posisi juru kunci, di bawah Filipina, dan tertinggal jauh dari Singapura, Korea, Jepang, bahkan Malaysia. Kinerja yang buruk ini terlihat baik di inovasi sisi input maupun output. Dari proses inovasi input, pilar institusi memiliki skor terendah akibat tingginya pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja dan sulitnya proses memulai usaha serta menyelesaikan kepailitan (Grafik 8). Untuk pilar human capital and research, rendahnya skor yang dimiliki Indonesia lebih disebabkan oleh tidak adanya siswa asing L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 40 yang mendaftarkan diri di pendidikan tersier di Indonesia, minimnya jumlah peneliti, dan rendahnya pengeluaran untuk R&D (Grafik 9). Di pilar business sophistication, kinerja Indonesia memiliki skor terendah terkait dengan rendahnya skor pada indikator pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. 50 45 Indonesia 40 ASEAN, BRICS + Japan South Africa 35 30 25 20 15 10 5 0 Prosedur (jumlah) Sumber: www.doingbusiness.org Waktu (hari) Biaya (% pendapatan per kapita) Grafik 4. Proses Memulai Usaha (2013) Grafik 5. Pengeluaran R&D per kapita (2012) Sementara itu, dari dua pilar yang menjadi bagian dari proses inovasi output, pilar knowledge and technology output memiliki skor yang paling rendah dibandingkan negara terpilih lain terkait buruknya kinerja Indonesia dalam sub-pilar knowledge creation, dimana jumlah aplikasi hak paten dan jurnal ilmiah sangatlah terbatas. Profil Manufaktur, Neraca Perdagangan, dan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Pemetaan menggunakan data UNCTAD menunjukkan bahwa struktur ekspor industri manufaktur Indonesia saat ini didominasi oleh segmen Energy-/ResourceIntensive Commodities, terutama industri refined petroleum, coke, dan nuklir, serta industri berbasis mineral. Dari sisi perkembangannya, keragaman struktur ekspor Indonesia semakin bias ke arah produk-produk berbasis komoditas mentah dan laborintensive, serta tidak ada perkembangan signifikan pada ekspor berbasis R&D. Basis tersebut memiliki nilai tambah yang rendah dan sangat rentan terhadap terms of trade shocks (Grafik 13). Sementara itu, untuk kegiatan impor, selain industri refined petroleum, coke, dan nuklir, Indonesia juga banyak mengimpor mesin dan peralatan yang merupakan bagian dari segmen Global Innovation for Local Markets. Grafik 16 menunjukkan bahwa Indonesia sangatlah bergantung kepada impor barang yang berintensitas R&D tinggi dan impor komoditi berbasis sumber daya alam dengan nilai tambah tinggi (BBM). Besarnya porsi impor industri mesin dan peralatannya yang merupakan industri dengan intensitas R&D tinggi di Indonesia dan besarnya bobot ekspor Energi/Resource-Intensive Commodities ditengarai terkait erat dengan lemahnya Indonesia dalam pilar human capital and research (terutama untuk pilar R&D). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 41 Grafik 6. Ekspor Indonesia Grafik 7. Impor Indonesia Benchmarking kinerja neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan sejumlah negara dalam periode 2000 s.d. 2011 menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki kapasitas inovasi yang tinggi cenderung memiliki surplus current account yang lebih sustain. Surplus transaksi berjalan dan perdagangan negara-negara seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Tiongkok yang berada dalam segmen Global Innovation for Local Markets dan kelompok Global Technologies/Innovators terlihat lebih berdaya tahan tinggi, ketimbang negara-negara yang lebih mengandalkan sumber daya alam dan tenaga kerja murah sebagai keunggulan kompetitif mereka (Grafik 18 dan Grafik 19). Sementara perekonomian Indonesia yang lebih mengandalkan sumber daya alam terus mencatat penipisan surplus, dari 5% pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 0.2% pada tahun 2011, dan bahkan telah memasuk area defisit di tahun 2012. Grafik 8. Bechmarking Neraca Transaksi Berjalan 35 30 CA/PDB (%) CA/PDB (%) Eksportir Grup R&D Intensive Eksportir Grup Labor Intensive Eksportir Grup Natural Resource Intensive Eksportir Grup Others 35 30 25 25 SGP 20 15 20 15 MYS RUS CHN 10 10 JPN 5 PHL IND IDN VNM 5 BRA 0 0 KOR ‐5 ‐5 THA ‐10 ZAF ‐10 ‐15 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 ‐15 Sumber: World Development indicator – World Bank, diolah(transaksi berjalan), UNCTAD, diolah (komposisi ekspor produk industri). Pengelompokan segmen ekspor berdasarkan intensitas mengikuti publikasi McKinsey Global institute L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 42 Laporan Kebijakan Moneter dipublikasikan secara triwulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Selain dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 58 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, laporan ini berfungsi untuk dua maksud utama, yaitu: (i) sebagai perwujudan nyata dari kerangka kerja antisipatif yang mendasarkan pada prakiraan ekonomi dan inflasi ke depan dalam perumusan kebijakan moneter, dan (ii) sebagai media bagi Dewan Gubernur untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai berbagai pertimbangan permasalahan kebijakan yang melandasi keputusan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Divisi Pengaturan dan Komunikasi Kebijakan Grup Kebijakan Moneter Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Telp: +62 21 2981 8334/6902 Fax: +62 21 345 2489 Email: [email protected] Website: http//www.bi.go.id Dewan Gubernur Agus D.W. Martowardojo – Gubernur Mirza Adityaswara – Deputi Gubernur Senior Halim Alamsyah – Deputi Gubernur Ronald Waas – Deputi Gubernur Perry Warjiyo – Deputi Gubernur Hendar – Deputi Gubernur L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 43