BAB 5 RINGKASAN Sistem perkawinan pada masyarakat Jepang mungkin tampak tidak umum bagi orang-orang dari negara lain. Perkawinan masyarakat Jepang didasarkan pada konsep ie. Di dalam sistem ie ini wanita dididik untuk tunduk dan patuh kepada keputusan kepala keluarga (ie) seperti halnya dalam perkawinan. Ie dipimpin oleh seorang kepala yang di sebut dengan kachoo dan ie bersifat berkesinambungan, kepemimpinannya akan digantikan pada anak laki-laki tertua yang ada dalam satu ie tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Meiji 1889, bentuk keluarga Jepang didasarkan atas sistem ie dan dalam sistem ie ini wanita menempati kedudukan di bawah pria dan hak-haknya tidak diakui karena wanita dianggap tidak memiliki kemampuan. Wanita yang telah menikah diharuskan tunduk pada kepala keluarga. Hal ini merugikan kaum wanita, membuat kedudukan wanita sangat terpojok. Kekuasaan kepala keluarga hampir mendekati absolut, ia mempunyai kuasa untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut urusan keluarganya termasuk dalam menentukan kapan dan dengan siapa anggota keluarganya akan menikah. Pada waktu itu, perkawinan banyak dilakukan untuk kepentingan keluarga terutama untuk menjaga kelangsungan ie tersebut, setiap wanita diharapkan dapat memberikan keturunan khususnya anak laki-laki. Setiap anggota keluarga tersebut tidak dapat menolak atau memilih pasangan berdasarkan pilihannya sendiri. Saat itu perkawinan di Jepang banyak dilakukan melalui perjodohan antara orangtua. 44 Sebelum Perang Dunia II (sebelum tahun 1946) di Jepang terjadi diskriminasi dan perbedaan jender yang kuat antara pria dan wanita baik dalam perkawinan dan juga dalam kesempatan menerima pendidikan. Pada masa itu, ruang gerak wanita sangat terbatas sekali, mereka hanya dapat menghabiskan seluruh waktunya untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya dan menjadi isteri yang baik. Sementara, suami Jepang tidak pernah mau tahu dan membantu dalam urusan keluarga. Dalam hal pendidikan, wanita pada generasi saat itu, tidak dapat menerima kesempatan pendidikan yang sama dengan pria karena kelak tugas wanita hanya untuk mengurus rumah tangga. Oleh karena itu, pendidikan yang hanya dapat mereka terima hanya hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga seperti pelajaran PKK, dan lainnya. Pendidikan yang mereka dapat terima pada masa itu, hanya bertujuan untuk bekal dan membentuk mereka untuk menjadi seorang ibu dan isteri yang baik. Akan tetapi, sejak Jepang menerima kekalahannya dari Amerika pada Perang Dunia II dan semasa pendudukan Amerika di Jepang terjadi perubahan yang besar dalam bidang bidang hukum (undang-undang) yang kemudian juga berpengaruh pada sistem ie dan perkawinan. Amerika melakukan perubahan terhadap undang-undang Jepang terutama pada undang-undang Meiji 1889 yang menekankan pemikiran dansonjohi yang berarti bahwa kedudukan pria lebih tinggi daripada wanita. Amerika menilai bahwa undang-undang Meiji 1889 kurang memperhatikan hak dan martabat manusia sebagai individu. Kemudian, Amerika melakukan perbaikan undang-undang Jepang di antaranya dalam mengenai masalah hak dan kewajiban wanita dalam pendidikan, kesempatan kerja dan perkawinan. Dan perbaikan undang-undang itu didasarkan pada paham demokrasi dan persamaan hak asasi manusia. 45 Sejak ada pembaharuan dalam undang-undang Jepang yang lebih menekankan pada persamaan hak dan dilarang adanya diskriminasi berdasarkan gender, keyakinan, dan sebagainya. Perkawinan di Jepang tidak lagi dilakukan atas keputusan atau persetujuan dari kepala keluarga. Akan tetapi, kini perkawinan di Jepang dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang akan menikah. Dengan kata lain, saat ini perkawinan sudah menjadi urusan tiap pribadi, kapan dan dengan siapa seseorang akan menikah, ia sendirilah yang menentukan. Perkawinan berdasarkan cinta atau dalam bahasa Jepangnya disebut dengan ren’ai kekkon pun menjadi semakin populer di kalangan masyarakat Jepang. Sementara, salah satu prinsip dasar yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan Jepang yang diundangkan pada tahun 1947 adalah persamaan dalam kesempatan pendidikan untuk semua orang dan melarang adanya diskriminasi atas dasar ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial, kedudukan ekonomi atau latar belakang keluarga. Pendidikan di Jepang pun mengalami perkembangan yang pesat terutama pendidikan bagi kaum wanita. Sistem pendidikan di Jepang tersusun dalam lima tahap : taman kanak-kanak (tiga tahun), sekolah dasar (enam tahun), sekolah menengah pertama (tiga tahun), sekolah menengah atas (tiga tahun), dan universitas (pada umumnya empat tahun). Ada juga junior college (akademi) yang menyelenggarakan studi selama dua atau tiga tahun. Selain itu, banyak universitas menyediakan pendidikan pascasarjana untuk studi lanjutan. Pada masa modern ini, latar belakang pendidikan bagi orang Jepang merupakan faktor yang penting dalam sistem kepegawaian seumur hidup di Jepang. Untuk 46 mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang terkenal, harus lulus dari universitas yang terkenal juga. Sejak itu, banyak wanita Jepang yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan tinggi telah membuat pandangan dan wawasan wanita Jepang menjadi lebih terbuka dan luas. Pandangan mereka pun terhadap perkawinan menjadi berubah, waktu sebelum Perang Dunia II mereka menganggap perkawinan adalah satu-satunya pilihan yang tersedia dan juga merupakan sumber ekonomi karena pada waktu itu mereka tidak memiliki kepintaran sehingga hidup sepenuhnya menjadi tergantung pada suami. Penyetaraan gender dalam bidang kerja, telah mendorong wanita Jepang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena dengan pendidikan yang tinggi, kelak mereka akan mendapatkan pekerjaan yang baik dengan penghasilan yang tinggi. Pendidikan telah membuat wanita Jepang menjadi wanita yang mandiri dan sukses. Jumlah penundaan perkawinan yang mengalami peningkatan dari tahun ketahun telah mempengaruhi jumlah populasi Jepang. Pada tahun 1930 wanita melahirkan ratarata 4,7% anak, tetapi jumlah ini menjadi 3.6 pada tahun 1950 dan 1,8% pada tahun 1985. Untuk membuktikan bahwa wanita Jepang menunda perkawinannya karena faktor pendidikan dan tingkat kesuksesan. Dalam skripsi ini penulis menganalisa beberapa kasus wanita Jepang yang menunda perkawinannya di antaranya penundaan perkawinan pada putrid Sayako, Kuroyanagi Tetsuko, Nagako Motomiya, Matsushima Nanako dan seorang ekskutif wanita Jepang. Dari hasil analisis tersebut penulis berkesimpulan bahwa mereka menunda perkawinannya karena mereka masih ingin melanjutkan pendidikannya. Pendidkan telah 47 memberikan harapan baru dan banyak pilihan bagi wanita Jepang sehingga perkawinan tidak lagi menjadi obsesi mereka seperti pada generasi-generasi terdahalu. Saat ini yang menjadi obsesi mereka adalah dapat mengembangkan potensinya secara maksimal baik dalam bidang pendidikan dan juga dalam karir karena mereka tidak ingin dianggap lemah dan tidak memiliki kemampuan oleh kaum lak-laki. Tingkat kesuksesan telah membuat wanita Jepang menjadi wanita yang mandiri. Sehingga mereka merasa tidak lagi membutuhkan pasangan hidup karena tanpa ikatan perkawinan pun mereka dapat memenuhi kebutuhannya dari setiap penghasilan yang di terimanya. Mereka dapat pergi kemana pun mereka mau, menghabiskan uang dengan bebas dan tanpa tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga. Dengan kata lain, wanita Jepang saat ini tidak ingin terikat lagi oleh nilai-nilai tradisional yang membelenggu kebebasannya untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Wanita yang berpendidikan tinggi dan telah memiliki pekerjaan yang mantap tidak ingin menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk pekerjaan rumah tangga., seperti yang dilakukan pada wanita-wanita pada generasi sebelumnya. Sebenarnya banyak di antara mereka yang ingin menikah tetapi mereka hanya ingin menikah dengan seorang pria yang telah berpikiran secara modern, yang memperbolehkan mereka tetap mengembangkan karirnya selain posisinya sebagai seorang istri. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak pria yang mengharapkan mereka seperti wanita-wanita pada generasi terdahulu yang dapat menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Wanita Jepang saat ini mengharapkan dalam kehidupan rumah tangga, kaum pria dapat menganggapnya sebagai partner dengan adanya kerjasama dalam urusan rumah tangga dan membesarkan anak. Akan tetapi, banyak pria Jepang saat ini yang tidak mau 48 ambil bagian dalam urusan rumah tangga. Hal ini juga mempengaruhi penundaan perkawinan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh wanita Jepang. Pendidikan tinggi dan tingkat kesuksesan yang telah dicapai wanita Jepang dewasa ini, telah membuat mereka memberikan banyak kriteria dan lebih selektif dalam mencari pasangan hidup. Karena bagi wanita Jepang saat ini perkawinan merupakan sesuatu yang sakral dan harus dipertimbangkan dengan masak-masak. Pembaharuan undang-undang telah membuat masyarakat Jepang mengalami suatu transformasi dalam kehidupan dan cara berpikirnya. Masyarakat Jepang dewasa ini, telah menjadi bersikap lebih demokratis. Orangtua-orangtua di Jepang saat ini, telah memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk melakukan segala kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti yang terjadi pada kasus Matsushima Nanako ketika lulus dari SMA, ia tidak melanjutkan pendidikannya ke universitas tetapi ia memilih terjun dalam dunia model. Kemudian hal yang sama juga terjadi pada kasus Kuroyanagi, ketika ia lulus dari SMA, orangtuanya berharap agar ia segera menikah. Akan tetapi ia malah bekerja dan kemudian meninggalkan Jepang untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas. Pandangan tradisional bahwa seorang wanita harus menikah pada usia 20-24 tahun semakin terkikis. Hal ini juga terjadi pada putri bungsu kaisar Akihito “putri Sayako”, yang baru melangsungkan pernikahannya pada usia 36 tahun. Sementara, putri-putri kaisar pada masa lalu rata-rata telah menikah sebelum usia 30 tahun. Saat ini bagi masyarakat Jepang seorang wanita pada usia antara 20-24 tahun belum menikah, sudah tidak menjadi sebagai suatu hal yang aneh lagi. Selain itu, perkawinan bukan lagi menjadi urusan kepala keluarga tetapi telah menjadi urusan tiap pribadi. Perbaikan dalam undang-undang Jepang telah memberikan 49 angin segar dan telah membebaskan kaum wanita dari nilai-nilai tradisional yang selama beberapa tahun silam telah membelenggu kebebasannya untuk mengembangkan segala potensinya secara maksimal.