Veasibility Assessment Sistem Agroforestri di Kawasan Ekosistem Halimun Agofoestry system sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam Kasawan Ekosistem Halimun. Masyarakat di halimun sudah mengenal beberapa model pengelolaan sumberdaya hutan, seperti pembagian pengelolaan hutan menjadi 3, yaitu Hutan Tutupan, Hutan Awisan, dan Hutan Bukaan. Hutan Tutupan adalah kawasan hutan yang masih tertutup, tetapi suatu saat bisa dibuka dengan petimbangan khusus secara adat. Misalnya untuk digunakan sebagai area pemukiman baru, atau dalam kondisi-kondisi darurat lainnya. Hutan Awisan adalah hutan yang dianggap sebagai warisan dari nenek moyang meraka dan tidak boleh diganggu keberadaanya untuk diwariskan kembali kepada anak-cucu berikutnya. Hutan ini biasanya masih berupa hutan inti, dan memiliki nilai-nilai religius yang tinggi. Bentuk pengelolaan hutan yang ketiga dalah Hutan Bukaan, yaitu kawasan hutan yang dibuka untuk pertanian ladang bepindah atau system-sistem kebun lainnya. Ada beberapa system kebun yang dikenal oleh masyarakat di Halimun, seperti kebun talun, kebun kayu, dan ladang/huma itu sendiri. Untuk di wilayah Halimun Timur, tepatnya di kecamatan Nanggung dan Sukajaya, sebagaian besar masyarakatnya termasuk dalam kategori masyarakat local-bukan masyarakat adat, mereka hanya memiliki pengetahuan dalam pengelolaan kawasan hutan bukaan. Kawasan hutan bukaan ini mereka kelola menjadi kebun-kebun talun sejak jaman nenek moyang mereka. Kebun talun merupakan system kebon yang kompleks yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi untuk kepentingan pemenuhan pangan, obat-obatan, dan jasa lingkungan untuk penyedia air. Hasil transek yang pernah dilakukan oleh RMI bersama masyarakat pada tahun 2001, teridentifikasi bahwa setiap plot (2 x 2 meter) terdapat lebih dari 28 jenis tumbuhan, dan hal ini menunjukan bahwa kebun-kebun yang dikelola masyarakat memiliki jumlah keanekaragaman tumbuhan yang cukup tinggi. Setiap keluarga di 2 kecamatan tersebut selain memiliki kebun talun, mereka juga mengelola pertanian dan kolam-kolam ikan, yang disusun dan disesuaikan dengan topografi bentangan alam yang bergelombang. Sistem sawah terasering yang diselingi dengan tumbuhan kayu dibatas-batasnya menjadi pemandangan yang umum di Halimun Timur tersebut. Jenis buah-buahan sudah menjadi komoditas utama yang ditanam dalam kebun talun masyarakat. Diselingi dengan beberapa jenis palawija seperti jahe-jahean, kapolaga, dan sayuran, menambah nilai ekonomis kebun bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sampai saat ini komoditas utama kebun yang dapat diperjual belikan dari 2 kecamatan tersebut adalah pisang. Ada juga hasil kopi, jahe dan kapulaga, tetapi pemasarannya kurang begitu baik. Sedangkan hasil buah-buahan lainnya seperti manggis, alpukat, nangka, kupa, dan lain - lain masih kurang dipasarkan, mereka lebih senang untuk mengkonsumsinya sendiri dibandingkan untuk menjualnya. Hal ini terjadi karena terkait dengan akses jalan yang sangat terpencil dan kondisinya buruk. Disamping itu sarana transportasi juga kurang, sehingga banyak hasil kebun masyarakat yang tidak bisa dijual secara optimal. Selain buah-buahan, hasil kebun yang biasa diperjual belikan adalah bamboo, kayu afrika , dan kayu jeungjing. Pesoalan akses jalan dan sarana transportasi masih menjadi momok bagi perkembangan hasil kebun talun mereka. Dalam mengelola kebun talunya, masyarakat tidak melakukan perlakukan khusus terhadap kebun-kebunya, seperti pemberian pupuk, penyiangan, ataupun pemberian ajir tanam tidak dilakukan. Pola tanaman tidak beraturan dan pembibitan juga dibiarkan secara alamiah saja. Baru 2 tahun belakangan mereka sudah mulai melakukan pembibitan sederhana secara berkelompok. Pembibitan yang dilakukan untuk jenis-jenis durian, alpukat, dan manggis. Alasannya, karena komoditas buah tersebut relative memiliki nilai jual tinggi, disamping itu pasar untuk bibitnya pun cukup tinggi. Walaupun pada kenyataanya bibit-bibit yang dibuat banyak yang terbengkalai karena alasan akses jalan dan sarana transportasi yang buruk . Selain itu, dalam system kebun talun yang dikenal masyarakat ada jenis-jenis tumbuhan lainnya yang biasanya dipakai sebagai penanda kawasan kebun. Beberapa jenis yang biasa digunakan sebagai penanda kebun, penanda batas, atau penanda adanya fungsi tertentu antara lain : aren (arenga piñata), hanjuang, dan kemiri (aleurites molucana). Aren ditanam di kebun-kebun talun, selain sebagai penghasil gula, juga dipercaya sebagai penanda hak kelola kebun oleh masyarakat. Sedangkan kemiri biasanya dipakai sebagai penanda adanya sumber mata air. Untuk mendukung kelestarian pengelolaan kebun talun, masyarakat di Kecamatan Nanggung dan Kecamatan Sukajaya masih menjalani beberapa ritual adat dan local. Misalnya seperti adanya ritual sidekah bumi setiap bulan islam-Mulud, yaitu ritual syukur atas hasil panen dan keselamatan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Ada ritual rowahan, yaitu selamatan sebelum menikmati padi hasil panen pertama, dan ada budaya ngabawon, yaitu kerja gotong royong dalam memanen hasil kebun dan sawah. Setiap orang yang ikut ngabawon akan mendapatkan bagian hasil panen tersebut yang disesuaikan dengan hasil yang didapatnya. Biasanya dalam prosesi sidekah bumi, sesepuh local yang berperan, sedangkan rowahan guru ngaji yang berperan, dan ngabawon kaum perempuan yang berperan aktif. Dalam setiap proses adat dan tradisi ini, orang-orang yang dianggap sesepuh akan memberikan ceramah terlebih dahulu kepada semua masyarakata yang hadir, yang intinya untuk mengingatkan kembali tentang keseimbangan alam, bahwa semua yang ada ini memiliki nyawa, shingga dalam mengekstraksi hasilnya tidak boleh berlebihan dan sebagainya. Dalam ritual ini juga, beberapa masyarakat yang berperan sebagai mak beurang (dukun beranak) akan mengambil peranan penting. Karena dalam kegiatan ini biasanya para dukun beranak ini juga akan mulai menurunkan ilmu –ilmunya dalam bentuk doa-doa dan cara meracik obat-obatan tradisional, dimana bahan-bahannya bisa didapat dalam kebun-kebun mereka. Misalnya seperti yang sudah teridentifikasi oleh RMI dan Masyarakat pada tahun 2004, ada 40 jenis tumbuhan obat yang biasa ditanam di kebun-kebun talun mereka. Keberadaan kebun talun bagi masyarakat di Kecamatan Nanggung dan Kecamatan Sukajaya bukan hanya memiliki nilai ekomnomi, tetapi juga memiliki nilai konservasi dan budaya. Ada beberapa lokasi kawasan kebun talun berada di daerah pemakaman, yang biasanya disekitar pemakaman tersebut ada sumber-sumber mata air. Sehingga walaupun hasil dari kebun talun memiliki nilai jual yang masih kurang optimal, tapi nilai budaya dan konservasi yang melekat dalam system kebun talum menjadi nilai yang sangat berharga. Namun demikian peningkatan nilai ekonomi hasil kebun talun penting untuk terus diidentifikasi dan dikembangkan. Mengingat perubahan demografi, laju pertumbuhan ekonomi , dan kebutuhan kesejahteraan, bukan suatu yang mustahil nilai-nilai budaya dan konservasi yang melekat dalam system kebun talun akan turun dan hilang. Untuk itu, walaupun baru pisang yang bisa dijual ke luar desa, itu masih dengan system tengkulak, sangat penting untuk dicari lagi strategi-strategi pemasaran dan ekonomi lainnya untuk memberikan nilai ekonomi yang lebih terhadap system kebun talun mereka. Penilaian rewarding environmental services atau penghargaan atas jasa lingkungan atau payment for environmental services atau pembayaran atas jasa lingkungan misalnya, bisa dijadikan alternative yang dapat dikembangkan untuk memberikan nilai ekonomi lebih pada system kebun talun masyarakat. Hal ini bisa diinisasi dengan mulai mendiskusikan kemungkinan system kebun talun masyarakat di 2 kecamatan tersebut untuk mendapatkan “sertifikasi ekolabel” sebagai tahap awal. Dari system kebun talun yang dikembangkan oleh masyarakat selama ini, masalah alas hak kelola masih menjadi persoalan pelik di Kecamatan Nanggung dan Kecamatan Sukajaya tersebut, dan bahkan diseluruh Kawasan Ekosistem Halimun secara keseluruhan. Tumpang tindih pengelolaan antara pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)-pihak swasta-masyarakat, dan ketidak jelasan tata batas pengelolaan antara TNGHS-masyarakat menjadi konflik lahan yang tidak berkesudahan. Didalam kawasan yang menjadi kewenangan TNGHS terdapat area-area perkebunan besar (teh dan karet) yang dikelola oleh pihak swasta, dengan alas hokum Hak Guna Usaha (HGU). Ijin hak guna usaha dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional melalui dinas pertanian dan perkebunan. Dalam sejarahnya area yang dikelola oleh HGU ini dipercaya oleh masyarakat sebagai area kelola nenek moyang mereka. Pada era orde baru terjadi perebutan secara paksa area-area kebun masyarakat yang dialih fungsikan menjadi perkebunan besar. Hal ini terjadi akibat adanya ketidak jelasan alas hokum tenurial yang digunakan oleh pemerintah (masih bias dengan kebijakan pengelolaan kawasan yang dibuat pada masa belanda). Dan disaat masa HGU perkebunan ini menjelang habis, kelompok masyarakat menuntut kembali area lahan nenek moyang mereka yang merasa di rampas oleh pihak pemerintah. Pada era reformasi tahun 1998-2002, reaksi masyarakat adalah berupaya merebut kembali area-area perkebunan tersebut. Upaya yang sudah dilakukan diantaranya adalah dengan cara okupasi lahan dengan menanam area perkebunan tersebut dengan menerapkan system kebun talun. Upaya ini masih mendapatkan pertentangan dari pihak TNGHS dan perkebunan besar, khususnya terkait dengan alas hokum kelolanya. Namun demikian, peluang kebijakan dalam UU Kebutanan No.41/1999 masih memungkinkan untuk ditelisik kembali peluang-peluang partispasi masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi. Disamping itu juga, adanya proses revisi UU No.5 Tahun 1990 tentang Konervasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga turut memberikan peluang pada partisipasi masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi. Jika dibuat analisis SWOT Agroforestry di lokasi belajar sebagai salah satu berrier removal, adalah sebagai berikut : S : Sistem agroforestry sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat di Halimun dan memiliki nilai konservasi yang dipandang tinggi oleh masyarakat; beberapa hasil kebun talunnya (agroforestry) sudah memiliki nilai jual dan sudah ada pasarnya walaupun masih menggunakan system tengkulak; W : Pengelolaan masih tradisional, teknologi pola tanam belum terlalu diterapkan, teknologi pengelolaan benih yang belum optimal, akses terhadap pasar terbatas, kejelian dan keahlian membaca peluang pasar O : Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat, kebijakan agrarian khususnya untuk hak guna usaha perkebunan besar di Halimun, skema jasa lingkungan untuk air dan scenic beauty. T : Pencurian kayu di kawasan konservasi, kebijakan alih fungsi lahan hutan, dan land tenure right yang masih belum jelas Dari uraian di atas, agroforestry system sebagai salah satu strategi berrier removal di lokasi belajar adalah sangat meungkin untuk dilakukan. Namun penekanan yang harus mendapatkan perhatian juga, disamping teknologi agroforestry dan akses marketnya, adalah peluang-peluang kebijakan yang bisa mendukung pada Hak Kelola kawasan oleh Rakayat. Selain itu, teknologi pengelolaan hasil juga penting untuk dikaji lebih jauh lagi, khususnya untuk menaikan nilai jual dari hasil kebun talun itu sendiri. Misalnya, kemungkinan mengembangkan teknologi pengolahan beberapa jenis tumbuhan di dalam kebun talun yang memiliki khasiat aromatika menjadi minyak atsiri. Untuk itu penting untuk memulai membina komunikasi dengan pihak-pihak lainnya khususnya yang berhubungan dengan teknologi pengolahan pasca panen dan jaringan marketnya.