4 TINJAUAN PUSTAKA Myocardial Infarction Pada saat ini, kerusakan pada jantung (myocardial infarction) banyak diderita oleh penduduk di hampir seluruh dunia. Pada tahun 2005, diperkirakan lebih dari 17 juta orang yang menderita kerusakan bahkan kematian dari cardiomyocyte (sel otot jantung) tersebut meninggal karena serangan jantung (NIH 2001; WHO 2007). Myocardial infarction terjadi akibat kerusakan permanen otot jantung pada bagian tertentu dari jantung yang diakibatkan penyakit coronary artery. Penyakit ini merupakan penyempitan pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah ke cardiomyocyte akibat adanya penimbunan lemak dan pengapuran pada pembuluh darah tersebut (Gambar 1). Tidak tercukupinya suplai darah dan oksigen ke cardiomyocyte secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan bahkan kematian dari cardiomyocyte. Cardiomyocyte yang telah mati tidak dapat melakukan regenerasi kembali, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kerja jantung dan dapat meningkatkan disfungsi jantung karena berkurangnya cardiomyocyte yang membantu jantung berfungsi (NIH 2001; NHLBI 2008). Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi myocardial infarction, seperti prosedur pembedahan, terapi pengobatan, serta pencangkokkan organ. Namun lebih dari setengah pasien yang didiagnosis mengalami gagal jantung meninggal 5 tahun kemudian setelah diagnosis awal (Ryan et al. 1999; Smits et al. 2005). Langkah yang kini banyak dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jaringan pada jantung adalah dengan menghambat kematian cardiomyocyte dan melakukan transplantasi cardiomyocyte pada daerah jantung yang mengalami infarct. Salah satu sumber cardiomyocyte untuk transplantasi sel yang digunakan pada para penderita gagal jantung berasal dari sel punca, dimana dengan kondisi tertentu dapat berkembang menjadi sel-sel khusus yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik menggantikan sel-sel yang rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Boheler et al. 2002; Mummery et al. 2002). 5 Gambar 1 Myocardial infarction: (A) jantung yang mengalami kerusakan cardiomyocyte dan (B) penyempitan pembuluh darah arteri yang menyebabkan kerusakan cardiomyocyte (NHLBI 2008). Embryonic Stem Cells Sel punca adalah sel pembangun setiap organ dan jaringan tubuh kita; merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan dengan kondisi tertentu dapat berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dengan fungsi khusus (NIH 2001). Dengan demikian, karakteristik penting yang membedakan sel punca dengan tipe sel tubuh lainnya adalah kemampuan berproliferasi dalam periode waktu yang panjang, dan dapat diinduksi untuk berkembang menjadi tipe sel tertentu (Fischbach & Fischbach 2004). Saat ini terdapat tiga jenis sel punca, yaitu embryonic stem cells (ESC), adult stem cells (ASC), dan embryonic germ cells. Dari ketiga jenis sel punca tersebut, yang paling banyak digunakan dalam penelitian biomedis adalah ESC dan ASC. Embryonic stem cells diperoleh dari inner cell mass (ICM) yang terdapat pada embrio stadium blastosis. Sel-sel ini bersifat pluripoten atau memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel penyusun tubuh fetus dan organisme dewasa (Wobus & Boheler 2005). Adult stem cells adalah sel-sel yang belum berdiferensiasi yang terdapat pada jaringan yang telah berdiferensiasi, seperti sumsum tulang, otak, ataupun pada jaringan tubuh 6 organisme dewasa lainnya. Sel-sel tersebut dapat berproliferasi dalam tubuh dan membuat klon yang identik dengan mereka selama kehidupan organisme, atau menjadi khusus untuk menghasilkan tipe sel dari jaringan asal (Guasch & Fuchs 2005). Beberapa jaringan dewasa yang telah dilaporkan mengandung sel punca adalah retina, hati (Rafii & Lyden 2003), ginjal (Lakshmipathy et al. 2004), otak, kulit, usus, pankreas (Guasch & Fuchs 2005), dan sumsum tulang (Cedar et al. 2007). Sel punca juga telah ditemukan pada umbilical cord blood dan plasenta (Bornstein et al. 2005). Pada organ lain, seperti jantung, tidak ditemukan sel punca (Hughes 2002). Beberapa dari ASC tersebut bersifat multipoten, yakni dapat berdiferensiasi menjadi beberapa tipe sel tertentu. Penggunaan ESC memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan ASC, yaitu sifatnya yang pluripoten, jumlahnya yang banyak sehingga mudah untuk dikembangkan dalam kultur, serta kecilnya penolakan dari sistem immun tubuh penderita. Selain itu, sel-sel tersebut memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri tanpa batasan dengan karyotype yang relatif stabil (Xu et al. 2002; Gallo et al. 2006). Penelitian terhadap ESC dari mencit telah dilakukan sejak tahun 1981 dengan dilaporkannya keberhasilan Evans dan Kaufman mengisolasi sel punca dari embrio mencit. Sel-sel tersebut diketahui dapat berproliferasi dalam jangka waktu yang lama dan memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel. Sejak saat itulah ESC mencit menjadi salah satu sumber yang diperlukan untuk penelitian biomedis (Downing & Battey 2007). Hingga saat ini, pemanfaatan ESC mencit sebagai model penelitian terapi penyakit degeneratif, dimana perlakuan diberikan pada beberapa hewan percobaan, telah mengalami kemajuan yang pesat. Hasil dari penelitian ESC mencit untuk terapi penyakit degeneratif yang telah dilakukan meliputi penyakit myocardial infarction, hati (Guasch & Fuchs 2005), Alzheimer, diabetes, dan Parkinson (Doss et al. 2004). Penelitian-penelitian tersebut dijadikan dasar untuk pengembangan ESC dari manusia yang nantinya dapat diterapkan pada manusia (Yu & Thomson 2006). 7 Isolasi Inner Cell Mass sebagai Sumber Embryonic Stem Cells Sumber ESC mencit diperoleh dengan mengisolasi ICM dari embrio stadium blastosis, yaitu pada hari ke-4 perkembangan embrio mencit (Wobus & Boheler 2005). Pada perkembangan embrionik, stadium blastosis terbentuk saat terdapat rongga di antara sel-sel morula yang berisi cairan yang disebut blastosol. Blastosis tersusun oleh dua jenis sel, yaitu trofektoderm yang terdapat pada bagian luar dan ICM pada bagian dalam, serta terdapat lapisan yang menyelimuti blastosis yang disebut zona pellucida (ZP) (Gambar 2). Inner cell mass digambarkan sebagai suatu koloni dengan ukuran sel yang kecil, memiliki nukleus berukuran besar, dan sitoplasma yang sedikit. Pada perkembangannya, trofektoderm akan menghasilkan sel-sel trofoblas, yang selanjutnya akan berkembang menjadi plasenta. Sedangkan ICM akan berkembang menjadi semua jaringan tubuh embrio, dan juga jaringan non trofoblas yang menunjang perkembangan embrio (jaringan ekstraembrionik, termasuk kantung kuning telur, allantois, dan amnion) (NIH 2001; Park et al. 2004; Kim et al. 2005). b a c d Gambar 2 Bagian-bagian embrio mencit stadium blastosis: (a) ICM, (b) trofoblas, (c) blastosol, (d) ZP. Bar = 40 µm. Terdapat beberapa metode isolasi ICM yang telah dikenal dan dilakukan oleh para peneliti hingga saat ini, yaitu metode immunosurgery (Lee et al. 2005), pembedahan mikro atau microsurgery (Georgiades & Rossant 2006), enzimatik (Schoonjans et al. 2003), dan dengan menggunakan sinar laser (Tanaka et al. 2006). Perbedaan dari tiap-tiap metode tersebut adalah alat dan bahan yang digunakan, serta waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ICM. Bahan utama 8 pada metode immunosurgery yaitu rabbit anti-mouse antibody (untuk ESC dari embrio mencit) atau rabbit anti-human antibody (untuk ESC dari embrio manusia) dan complement sera from guinea pig. Pada metode microsurgery diperlukan mikromanipulator dan keterampilan dalam penggunaan alat tersebut. Metode isolasi ICM secara enzimatik dilakukan dengan cara menginkubasi blastosis tanpa ZP dalam larutan tripsin 0.25%. Sedangkan untuk isolasi ICM dengan sinar laser, selain dibutuhkan mikromanipulator juga dibutuhkan peralatan laser yang harganya cukup mahal, biasanya metode ini digunakan pada blastosis yang berasal dari manusia (Agustina et al. 2008). Pada metode immunosurgery, microsurgery, dan enzimatik, diperlukan proses penghilangan ZP terlebih dahulu untuk mempermudah dalam proses isolasi ICM. Zona pellucida merupakan lapisan material ekstraselular yang disintesis selama perkembangan oosit dan memiliki ketebalan sekitar 7 µm (Nagy et al. 2003). Bahan yang biasanya digunakan untuk menghilangkan ZP blastosis adalah enzim pronase dengan konsentrasi 0.25 - 0.5% (Oh et al. 2005). Pada penelitian yang menggunakan blastosis manusia, penggunaan pronase biasanya digantikan dengan tyrode’s acid (Cowan et al. 2004). Hal ini dilakukan untuk mengurangi kontak blastosis dengan bahan-bahan yang berasal dari hewan. Namun penggunaan tyrode memerlukan penanganan yang cepat agar blastosis tidak terlalu lama terpapar dengan larutan asam tersebut. Setelah ZP lisis akibat kontak dengan tryode’ acid, blastosis dicuci beberapa kali untuk menghilangkan sisa-sisa asam yang tertinggal (Skottman & Hovatta 2006). Blastosis yang telah dihilangkan ZP-nya, baik dengan menggunakan enzim pronase ataupun tyrode’s acid, selanjutnya dapat dilakukan isolasi ICM. Isolasi ICM menggunakan metode immunosurgery (Gambar 3), merupakan metode isolasi ICM dengan menggunakan antibodi yang hanya mengenali trofoblas. Mula-mula dilakukan inkubasi blastosis tanpa ZP dalam rabbit anti-mouse antibody kemudian dilanjutkan dengan inkubasi dalam complement sera from guinea pig. Immunosurgery dapat melisiskan sel-sel trofoblas sehingga sel-sel ICM yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah diisolasi. Inner cell mass tersebut kemudian dikultur dan dikembangkan dengan 9 kondisi tertentu sehingga menghasilkan ESC yang bersifat pluripoten (Solter & Knowles 1975; Nagy et al. 2003; Park et al. 2004). a. b. c. Gambar 3 Metode immunosurgery untuk mengisolasi ICM dari blastosis mencit: (a) blastosis diinkubasi dalam rabbit anti-mouse serum, (b) diinkubasi dengan guinea pig complement, (c) sel-sel trofoblas (TE) akan lisis dan ICM dapat diisolasi (Nagy et al. 2003). Kultur Embryonic Stem Cells Mencit Embryonic Stem Cells memiliki karakter yang spesifik yakni mampu untuk terus berproliferasi selama periode yang panjang dan tetap menjaga pluripotensinya (Doss et al. 2004). Oleh karena itu dibutuhkan suatu kondisi kultur yang kondusif untuk pertumbuhan ESC. Pada umumnya, medium kultur ESC yang biasanya digunakan adalah dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM) (Sigma, USA) yang diberi tambahan 10-20% fetal bovine serum (FBS) (Sigma, USA), 5 µl/ml penicillin-streptomycin (Sigma, USA), 1% nonessential amino acids (Sigma, USA), 0.1 mM β-mercaptoethanol, dan 10 ng/ml leukemia inhibitory factor (LIF). Penambahan LIF, sitokin yang tergabung dalam famili interleukin-6 (IL-6), pada kultur ESC mencit berperan untuk menjaga sel tetap berproliferasi tanpa berdiferensiasi. Hal ini dikarenakan adanya ikatan LIF dengan 2 bagian reseptor yang komplek, yaitu LIF receptor (LIFR) dan reseptor glikoprotein 130 (gp130). Adanya ikatan tersebut memicu terjadinya aktivasi dari factor transkripsi signal transducer and activator of transcription 3 (STAT 3), yang berperan penting dalam menjaga kelangsungan proliferasi ESC dari mencit secara in vitro (Pan & Thomson 2007). 10 Pada beberapa penelitian, mouse embryonic fibroblast (MEF) digunakan sebagai feeder layer dari kultur ESC. Selama kultur, MEF mensekresikan faktorfaktor pertumbuhan, seperti basic fibroblast growth factor (bFGF) dan LIF, yang penting untuk proliferasi dan mempertahankan sifat pluripotensi dari ESC. Namun, penggunaan feeder layer memiliki resiko terjadinya kontaminasi pada kultur ESC, karena terjadi kontak langsung antara feeder layer dengan ESC (Ulloa-Montoya et al. 2005). Pada beberapa penelitian, fungsi feeder layer telah digantikan oleh penggunaan conditioned medium yang diperoleh dari kultur primer fibroblast, penambahan faktor pertumbuhan (misalnya bFGF), atau kombinasi keduanya (Xu et al. 2005). Adapun penambahan LIF pada medium kultur ESC tanpa feeder layer tetap dilakukan, namun dengan konsentrasi yang lebih tinggi (Passier & Mummery 2003). Embryonic stem cells dikultur dalam inkubator CO2 5% dan suhu 37oC, dengan penggantian medium baru setiap dua hari sekali. Umumnya ESC dapat dikultur dalam jangka waktu yang lama dan dapat disubkultur hingga beberapa kali. Namun semakin lama ESC dikultur maka kemungkinan terjadinya perubahan genetik dan epigenetik akan semakin besar. Selain itu tingkat pluripotensi dari ESC akan semakin menurun seiring dengan lamanya kultur (Wobus & Boheler 2005). Uji Pluripotensi dari Embryonic Stem Cells Mencit Untuk mengetahui apakah ESC yang dikultur masih belum berdiferensiasi, maka dapat dilakukan pengujian dengan penanda yang spesifik pada ESC yang masih bersifat pluripoten. Penanda yang umumnya digunakan adalah Octamer-4 (Oct4), Nanog, Sox-2, Foxd3, stage-specific embryonic antigen 1 (SSEA1), dan reseptor yang berikatan dengan membran seperti gp130 (O’Shea 2004; Keller 2005). Selain itu, ESC juga dapat diuji pluripotensinya dengan melihat tingkat aktivitas telomerase (Thomson et al. 1998) dan aktivitas enzim alkaline phosphatase-nya (Wei et al. 2005). Pewarnaan alkaline phosphatase merupakan salah satu uji pluripotensi ESC yang paling sederhana. Pewarnaan ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan enzim alkaline phosphatase dan merupakan indikator yang sensitif, 11 spesifik, dan kuantitatif dari ESC yang tingkat pluripotensinya masih tinggi (O’Connor et al. 2008). Diferensiasi Embryonic Stem Cells menjadi Cardiomyocyte Menurut Boheler et al. (2002), ESC akan berdiferensiasi membentuk suatu koloni yang disebut embryoid bodies (EB) jika LIF ditiadakan dalam kultur ESC. Kemampuan tersebut disebabkan sifat pluripoten atau daya plastisitas yang dimilikinya (Wobus & Boheler 2005). Embryoid bodies merupakan sekumpulan atau agregat sel yang menyerupai embrio yang tersusun oleh derivat dari ketiga lapisan kecambah embrio, yaitu ektoderm, endoderm, dan mesoderm (Gambar 4). Menurut Baharvand et al. (2006), proses terjadinya diferensiasi dari sel punca dapat diketahui dengan adanya formasi dari EB, yang melanjutkan proliferasi dan diferensiasi menjadi berbagai jenis sel, termasuk cardiomyocyte. Gambar 4 Perkembangan ICM menjadi ESC dan pembentukan EB yang dapat berdiferensiasi menjadi seluruh jenis tipe sel yang termasuk dalam ketiga lapis kecambah (Doss et al. 2004). 12 Pengarahan ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh faktor pertumbuhan yang sesuai. Sampai saat ini telah dilaporkan beberapa metode untuk mengarahkan perkembangan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, antara lain dengan penambahan faktor pertumbuhan, seperti activin-a, epidermal growth factor (Schuldiner et al. 2000), retinoic acid, fibroblast growth factor (FGF), bone morphogenic proteins (BMP) 2 & 4, transforming growth factor (TGF) -β, nitric oxide, erythropoietin, ascorbic acid, dimethyl sulfoxide (DMSO), dan oxytocin (Singla & Sobel 2005), dan atau penggunaan conditioned medium (CM) (Miwa et al. 2003). Secara umum, CM diartikan sebagai medium yang telah digunakan dalam kultur sel tertentu. Diperkirakan CM mengandung faktor-faktor pertumbuhan yang disekresikan oleh sel-sel dalam kultur sebelumnya. Conditioned medium dilaporkan telah digunakan dalam beberapa penelitian, diantaranya penggunaan CM dari fibroblas untuk menggantikan feeder layer (Xu et al. 2005), CM dari neural stem cell untuk pengarahan sel punca menjadi neuron (Zhang et al. 2006), CM dari kultur primer cardiomyocyte tikus neonatal untuk pengarahan sel punca menjadi cardiomyocyte (Miwa et al. 2003). Conditioned medium yang dimaksud dalam penelitian ini adalah medium yang didapat dari kultur primer cardiomyocyte yang berasal dari jantung mencit umur 1-3 hari. Penggunaan CM tersebut pada kultur pengarahan ESC dapat meningkatkan cardiomyocyte yang terbentuk, karena di dalam CM terkandung sejumlah senyawa penting yang dihasilkan oleh cardiomyocyte dari kultur primer dan dapat menginduksi dan mendukung pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte (Miwa et al. 2003). 13 Leukemia Inhibitory Factor Leukemia Inhibitory Factor (LIF) merupakan sitokin yang tergabung dalam famili interleukin-6 (IL-6) dan faktor pertumbuhan serta diferensiasi dengan aktivitas pleiotropik (Bader et al. 2000). Sitokin ini memiliki dua isoform, yaitu diffusible molecule (D-LIF) dan extracellular matrix-bound (MLIF). Adapun reseptor LIF yang spesifik berikatan dengan LIF adalah LIFR-α, yang membentuk heterodimer dengan subunit yang umumnya spesifik pada seluruh reseptor dari anggota famili tersebut, yaitu subunit gp130. Ikatan tersebut akan memicu terjadinya aktivasi dari JAK/STAT (Janus kinase/Signal transducer and activator of transcription) cascades (Bader et al. 2000; Wobus et al. 2005). Salah satu peranan LIF adalah bertindak sebagai faktor pertumbuhan di hematopoiesis, tulang, jaringan neuroektodermal, dan diperkirakan juga mempengaruhi tahapan perkembangan dari sistem kardiovaskular dalam cara yang berlawanan (Bader et al. 2000). Salah satu isoform LIF, yaitu M-LIF, diketahui berperan sebagai inhibitor diferensiasi mesodermal selama proses gastrulasi, sehingga sebelum proses gastrulasi biasanya terjadi penekanan terhadap jumlah LIF untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, LIF juga bertindak sebagai inhibitor diferensiasi pada ESC mencit. Hal ini dikarenakan adanya ikatan LIF dengan LIFR dan gp130 yang memicu terjadinya aktivasi dari faktor transkripsi STAT3, yang berperan penting dalam menjaga kelangsungan proliferasi ESC dari mencit secara in vitro (Wobus et al. 2005; Pan & Thomson 2007). Pada kultur primer cardiomyocyte neonatal, terdapat peningkatan ekspresi dari M-LIF yang menyebabkan antiapoptotic serta peningkatan pertumbuhan dan perkembangan dari cardiomyocyte melalui jalur STAT3 (Kodama et al. 1997). Menurut Kodama et al. (2000), terdapat 3 lintasan sinyal transduksi dalam perkembangan cardiomyocyte yang dimediasi oleh gp130, yang menghasilkan peningkatan sintesis protein dari cardiomyocyte. Lintasan yang pertama terjadi karena adanya ikatan antara LIF dengan reseptornya yang mengaktivasi JAK, diikuti dengan fosforilasi dari gp130, menghasilkan binding sites untuk proteinprotein daerah Src-homology 2 (SH2), seperti growth factor receptor bound protein 2 (GRB2). Hal ini merupakan titik awal dari urutan aktivasi 14 Ras/Raf/MEK/ERK/p90RSK. Lintasan berikutnya adalah melalui STAT yang juga merupakan daerah SH2 yang memiliki faktor yang mampu untuk berikatan dengan fosforilasi gp130. Ikatan tersebut akan mengalami fosforilasi dan translokasi ke dalam nukleus. Lintasan ketiga dipicu oleh aktivasi gp130 pada fosforilasi dan aktivasi dari phosphatidylinositide 3-kinase (PI3K). PI3K mengaktifkan Akt kinase dan berperan penting dalam sintesis protein melalui p70 S6 kinase (p70S6K). Cardiomyocyte Cardiomyocyte merupakan sel otot jantung yang secara autoritmik membantu dalam kontraksi jantung untuk memompa darah dari dan keluar jantung. Secara in vivo, sel ini memiliki lima komponen utama, yaitu (1) membran plasma (sarkolema) dan T-tubules, untuk konduksi impuls, (2) sarcoplasmic reticulum, penyimpan kalsium yang diperlukan untuk pergerakan otot, (3) contractile elements, (4) mitokondria, dan (5) nukleus. Cardiomyocyte tidak multinucleate, bagian belakang tiap sel saling bergabung membentuk struktur yang disebut intercalated discs. Tiap cakram memiliki gap junctions yang secara elektrik berpasangan dengan sel-sel tetangganya. Terjadinya kontraksi spontan pada cardiomyocyte diatur oleh daerah pacemaker di bagian atrium kanan jantung. Daerah pacemaker ini akan menginduksi gelombang depolarisasi yang akan menyebar ke seluruh bagian jantung untuk menghasilkan denyut jantung (Boheler et al. 2002; Becker et al. 2006). Pada umumnya kultur primer cardiomyocyte yang digunakan sebagai sumber conditioned medium diisolasi dari jantung hewan yang baru dilahirkan (neonatal). Ketika dikultur, jantung neonatal lebih mudah terdispersi, mengandung lebih banyak sel-sel prekursor dan memiliki kemampuan proliferasi serta daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan jantung hewan dewasa. Tingkat kesulitan untuk mendapatkan sel yang relatif mudah berproliferasi ini biasanya meningkat sejalan dengan meningkatnya umur hewan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: onset terjadinya diferensiasi, peningkatan bahan jaringan ikat fibrosa, dan bahan ekstra-selular (Unchern 1999). 15 Cardiomyocyte yang didapatkan dari pengarahan ESC dapat diidentifikasi secara langsung dengan kemunculan dari area berdenyut, biasanya dimulai dari hari ke-4 setelah dimulainya proses diferensiasi. Area berdenyut mengandung selsel yang mononukleat dan berbentuk batang, serta memiliki sel-sel yang saling berhubungan satu sama lain sama sepeti yang ditemukan pada cardiomyocyte yang berkembang di jantung secara in vivo. Terdapat 3 tahapan perkembangan cardiomyocyte dari pengarahan ESC, yaitu tahap awal (terbentuknya pacemakerlike cells atau primary myocardial-like cells), tahap menengah, dan tahap akhir (terbentuknya atrial-, ventricular-, nodal-, His-, dan Purkinje-like cells). Pada diferensiasi tahap awal, cardiomyocyte berbentuk kecil dan membulat. Namun seiring dengan tingkat kematangannya, cardiomyocyte tersebut akan memanjang dengan perkembangan myofibril dan sarkomer yang lebih baik (Boheler et al. 2002). Pada diferensiasi tahap akhir, akan ditemukan ikatan myofibril yang telah terbentuk dengan baik, dan juga sarkomer yang secara jelas telah dapat dibedakan antara A bands, I bands, dan Z disks. Secara keseluruhan, baik dari ukuran dan bentuknya, cardiomyocyte yang berasal dari pengarahan ESC telah dilaporkan memiliki kesamaan dengan cardiomyocyte pada hewan pengerat neonatal (Banach et al. 2003). Analisis RT-PCR pada sel-sel yang diisolasi dari EB dengan area yang berdenyut memeperlihatkan adanya ekspresi dari gen-gen dan faktor transkripsi yang spesifik pada jantung, seperti Nkx2.5, GATA-4, α, β –myosin heavy chain (MHC), atrial natriuretic factor (ANF), cardiac troponin, myosin light chains (MLC) -1a, -1v, -2a, -2v, sarcomeric Ca2+ -ATPase 2 (SERCA2), type 2 ryanodine receptor (RyR2), Na/Ca exchanger 1 (Nex1), calsequestrin (Csq), phospholamban, dan connexins 40, 43, dan 45 (Wei et al. 2005; Bidez 2006). Sama seperti pada perkembangan awal myocardial, mRNA terlebih dahulu mengkode faktor transkripsi GATA-4 dan Nkx2.5 sebelum mengkode atrial natriuretic factor (ANF), MLC-2v, α- dan β-MHC, Na+-Ca+ exchanger, dan phospholamban (Boheler et al. 2002). Pada perkembangan embrio in vivo, Nkx2.5 pertama kali diekspresikan antara hari ke-3 dan ke-6 days postcoitum (dpc), dan tetap terekspresi hingga jantung dewasa. Nkx2.5 merupakan faktor transkripsi yang mempengaruhi MLC- 16 2v, cardiac ankyrin repeat protein (CARP), dan HAND1, yang tidak akan terdeteksi apabila Nkx2.5 mengalami mutasi. Secara in vitro, Nkx2.5 terdeteksi setelah hari ke-2 dimulainya proses diferensiasi ESC. Sedangkan α-MHC secara in vitro akan mulai terekspresi pada hari ke-8 setelah dimulainya proses diferensiasi, sedangkan pada perkembangan embrio in vivo mulai terdeteksi pada hari ke-7.5 dpc (Bidez 2006).