1 PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM MENJATUHKAN PIDANA KEPADA DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTIK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365/K/PID/2012) Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, Topo Santoso 1.Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia 2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Malpraktik medis mengandung syarat sikap batin yang terdiri dari kesengajaan atau kelalaian. Kemudian, untuk menilai syarat sikap batin tersebut belum ada suatu patokan baku dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini yang menyebabkan suatu pertentangan antara profesi hukum dan medis dalam mengartikan malpraktik medis sebagai suatu kesengajaan atau kelalaian dan menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian pada malpraktik medis. Atas dasar tersebut, maka skripsi ini akan membahas penerapan teori kelalaian dalam malpraktik culpoos delict atau malpraktik sebagai delik kelalaian. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus. Kesimpulan skripsi ini adalah malpraktik medis sebagai kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien. Sedangkan, ruang lingkup malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus delict atau kesengajaan, dan malpraktik sebagai culpoos delict atau kelalaian. Title in English Abstract Medical Malpractice contains intention consisting of negligence or deliberateness. There is no default standard applicable law, to assess intention. It is still debatable between jurists and medical professional to interpret the term medical malpractice as a negligence or intention and to assess the existence of negligence or intention in a criminal liability. Based on that, this thesis will examine the implementation of negligence theory in the culpoos delict malpractice or malpractice as negligence delict. It is a normative legal research based on literature study. The secondary data used in this study consists of Indonesian Penal Code, Indonesian Law Number 29 of 2004 on Doctor’s Practice, Indonesian Law Number 36 of 2009 on Health, Supreme Court Decision Number 365/K/PID/2012, textbooks, and dictionaries. In conclusion, medical malpractice is a doctor’s error in providing medical services to patient. Whereas, the scope of medical malpractice consists of malpractice as dolus delict or intention, and malpractice as culpoos delict or negligence. Keywords: Medical Malpractice, malpractice as culpoos delict, criminal liability Pendahuluan Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 2 Dokter merupakan salah satu profesi yang mulia, dimana dalam menjalankan profesi kedokteran dituntut memiliki etika, moral dan keahlian atau keterampilan. Hal ini merupakan bentuk rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang kemudian diejawantahkan dalam kewajiban dokter yang tercantum pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yakni: “(1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; (4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila dia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; (5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.”1 Profesi dokter merupakan suatu profesi yang mulia, karena mempunyai tugas untuk menyelamatkan jiwa orang yang menderita penyakit. Bagi kalangan awam timbul suatu pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam memberikan sebuah tindakan medis kepada pasien, kendati dia bukan seorang Nabi. Oleh karena itu para pasien biasanya pasrah total pada dokter yang dipercayai pasien tersebut.2 Pandangan tersebut seharusnya harus diubah karena dokter juga manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat maupun dalam menjalankan tugas kedokteran sehari-hari. Sehingga, untuk mencegah terjadinya suatu kesalahan dalam memberikan tindakan medis kepada pasien, maka diperlukan suatu standar sebagai acuan dalam memberikan pelayanan medis. Standar tersebut diwujudkan dalam bentuk Standar Profesi Kedokteran. Perumusan tentang Standar Profesi Kedokteran ( medische profesionale standaard ) oleh Leenen dalam bahasa aslinya sebagai berikut: “Zorgvuldig volgens de medische standaard handelen al seen gemiddeld bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandigheden met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concrete handelings doel.” 3 1 Indonesia (1), Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun 2004, TLN No.4431, ps. 51. 2 Ninik Mariyanti, Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, (Jakarta:Bina Aksara,1988), hal.1. 3 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,(Jakarta:Grafikatama Jaya,1991),hal.86. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 3 Perumusan ini dapat diartikan sebagai:4 “Berbuat secara teliti atau seksama menurut ukuran medis, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medis yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional dengan tujuan konkret tindakan/perbuatan medis tersebut.” Kemudian dari rumusan diatas, maka dapat diuraikan kedalam lima unsur, yakni:5 1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan culpa/kelalaian. Apabila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak teliti, tidak berhati-hati, maka dia memenuhi unsur kelalaian; bila dia sangat tidak berhati-hati dia memenuhi culpa lata; 2. Sesuai ukuran ilmu medis (volgens de medische standaard ); 3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama ( gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie ); 4. Situasi kondisi yang sama ( gelijke omstandingheden ); 5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional (azas proporsionalitas), (met middelen die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concrete handelingsdoel). Berdasarkan kelima unsur Standar Profesi Kedokteran ini, maka suatu tindakan medis dapat dinilai telah sesuai dengan prosedur kedokteran dan acuan untuk menilai suatu kesalahan dalam pemberian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang dilakukan dokter ini sangat terkait dengan malpraktik, dimana untuk menilai malpraktik ini masuk kedalam kelalaian maka akan sangat terkait dengan Standar Profesi Kedokteran. Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya.6 Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tidak dimuat ketentuan malpraktik kedokteran karena dalam Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: 4 Ibid.,hal.87. Ibid.,hal.87. 6 Hal ini dikemukakan oleh Crisdiono M.Achadiat dalam Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman sebagimana dikutip dalam Kanina Cakreswara,”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktik,”(Skripsi Sarjana UI Jakarta, 2012), hal.2. 5 Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 4 “ Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” 7 Ketentuan ini hanya mengatur tentang kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sehingga untuk mendapatkan pengertian tentang malpraktik kedokteran, maka diperlukan penjelasan dari berbagai literatur maupun pendapat para sarjana. Terdapat suatu perbedaan terutama dalam mengartikan malpraktik sebagai suatu kelalaian (culpa) atau suatu kesengajaan (dolus). Hal ini menjadi hal penting dalam penanganan suatu malpraktik kedokteran. Oleh karena kelalaian atau kesengajaan (dolus) sebagai syarat batin, agar suatu kasus malpraktik dapat diajukan kepada peradilan pidana. Maka, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai arti suatu malpraktik kedokteran. Pokokpokok malpraktik telah banyak dijelaskan dalam berbagai literatur, dimana oleh George Gordon Coughlin, bekas Presiden New York State Bar Association, malpractice dirumuskan sebagai berikut: “Profesional misconduct on the part of a profesional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional wrong doing; or illegal or unethical practice.” 8 Dari definisi ini dapat dikatakan suatu tindakan medis masuk dalam kategori malpraktik, apabila dokter tersebut melakukan tindakan medis yang salah atau tidak cukup mengurus pelayanan medis, baik berupa pengobatan maupun perawatan. Di samping itu, pengertian malpraktik yang diberikan oleh Coughlin ini masih sangat luas karena tidak hanya mencakup profesi dokter tetapi masuk pula profesi fisikawan, insinyiur, pengacara maupun akuntan, sehingga perlu dikutip pandangan Henry Campbell Black mengenai malpraktik karena lebih menjelaskan secara khusus mengenai medical malpractice:9 “ As applied to physicians and surgeons, this term means, generally, profesional misconduct towards a patient which is considered reprehensible either because immoral in itself or because contrary to law or expressly forbidden by law.” Dari penjelasan Black tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktik merupakan suatu tindakan yang tidak benar yang melanggar moral dan hukum, serta pengertian ini telah mengarah kepada profesi kedokteran. 7 Indonesia (1), Ibid., ps. 66, ayat 1. Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Karya,1987),hal.153. 9 Ibid.hal.153. 8 Pengantar Hukum Kesehatan,(Bandung:Remadja Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 5 Apabila dilakukan analisa terhadap rumusan malpraktik menurut Couglin, maka unsur-unsur malpraktik adalah unsur kesengajaan (opzet) dan unsur tindakan yang tidak sah atau tindakan yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum serta tindakan yang tidak etis. Sementara itu, Black menyebut antara lain “Unreasonable lack skill” dan mengatakan bahwa “negligence is the predominant theory of liability in medical malpractice litigation”. 10 Dari penjabaran definisi malpraktik yang diajukan oleh Coughlin dan Black, maka Fred Ameln mengatakan bahwa akan dapat diperoleh perbedaan, dimana dalam pandangan Coughlin menonjolkan unsur kesalahan atau schuld, sedangkan Black lebih menonjolkan unsur kelalaian atau culpa. Sehingga dari pandangan ini akan dapat membedakan antara malpraktik dolus delict dan malpraktik culpoos delict.11 Maka, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam mendefinisikan arti malpraktik tidak dapat langsung dilekatkan dengan unsur “kelalaian” sebagai syarat batin dalam malpraktik. Oleh karena, dalam malpraktik kedokteran tidak hanya ada sikap batin berupa “kelalaian (culpa)”, tetapi terdapat pula sikap batin berupa “kesengajaan (dolus)”. Hal ini juga sesuai dengan pendapat J.Guwandi yang menyatakan bahwa malpraktik adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa definisi, ternyata bahwa malpraktik mempunyai pengertian yang lebih luas dari kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang.12 Setelah mengetahui Standar Profesi Kedokteran dan pengertian malpraktik, maka hal yang penting dibahas adalah mengenai kaitan antara Standar Profesi Kedokteran dengan malpraktik. Adapun kaitannya adalah mengenai aspek penilaian terhadap suatu penyimpangan Standar Profesi Kedokteran dapat dimasukkan dalam kategori malpraktik. Kemudian, bentuk malpraktik tersebut juga harus dinilai apakah masuk kedalam kategori malpraktik dolus delict maupun malpraktik culpoos delict. Hal ini sangat berkaitan dengan upaya penyelesaian maupun pertanggungjawaban hukum oleh dokter tersebut. Di samping itu, dalam malpraktik tidak mudah untuk membuktikan adanya penyimpangan dari Standar Profesi Kedokteran karena setiap unsur dari standar tersebut harus diteliti dan selama dokter memenuhi unsur standar profesinya maka dokter tidak melakukan 10 Ameln,op.cit.,hal.85. Ibid. 12 J.Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran Universitas Indonesia, 2004), hal.20. 11 Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 6 tindakan malpraktik.13 Kesulitan mengenai penilaian malpraktik tidak hanya terkait dengan unsur penilaian penyimpangan, tetapi terkait dengan penilaian terhadap kategori kesalahan yang melekat pada malpraktik tersebut. Bentuk kesalahan ini menjadi sangat penting dalam hal pertanggungjawaban hukum, baik perdata, pidana maupun administrasi. Pemilihan unsur kesalahan dalam penyimpangan standar kedokteran ini sangat penting, karena unsur kesalahan yang melekat kepada malpraktik adalah berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian/ketidaksengajaan (culpa) . Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan gradasi kealpaan (culpa) dengan:14 1. Kealpaan yang berat (culpa lata); 2. Kealpaan yang ringan (culpa levis). Dalam kasus malpraktik yang diselesaikan dengan hukum pidana adalah culpa lata, sedangkan culpa levis, maka akan diselesaikan dengan hukum perdata maupun hukum disiplin dokter. Untuk menyelesaikan suatu kasus malpraktik, maka tidak terlepas dari pengertian kelalaian dari segi hukum pidana maupun segi medis. Penilaian suatu kelalaian dari segi medis, maka tidak terlepas dari penilaian terhadap penyimpangan terhadap standar profesi kedokteran maupun standar prosedur operasional. Pengertian standar profesi kedokteran dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,yakni: “Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and profesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.”15 Sedangkan pengertian standar prosedur operasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 adalah: “Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”16 13 Ibid.hal.94. E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,(Jakarta:Storia Grafika,2002), hal.194. 15 Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, PMKes No.512/Menkes/Per/IV/2007, ps.1, angka 9. 16 Ibid.ps.1,angka 10. 14 Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 7 Kemudian untuk mengukur Standar Prosedur Operasional telah sesuai, maka diperlukan Kode Etik Kedokteran yang berisikan kewajiban umum dan kewajiban khusus. Dalam penilaian penyimpangan Standar Prosedur Operasional, maka akan dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 yang dijelaskan sebagai berikut: “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.” 17 Maka untuk menilai terjadinya suatu kelalaian dalam pemberian tindakan medis dari segi medis sangat tergantung kepada penilaian Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Penilaian ini sangat kasuistis karena harus melihat bentuk tindakan medis yang diberikan, misalnya dalam tindakan operasi dikenal dua jenis, yakni: operasi terencana dan operasi segera atau cito. Bahwa perbedaan antara operasi terencana dan operasi segera adalah dari sisi kepentingan. Operasi terencana adalah apakah benar harus dilakukan, harus ada persetujuan pasien atau keluarganya sedangkan cito atau segera adalah untuk menyelamatkan jiwa dan tidak harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga. Jadi, dalam memberikan penilaian terhadap kesalahan, maka akan dilihat dulu bentuk tindakan medis dan prosedurnya, kemudian melihat prosedur yang mana dilanggar, sebagai contoh: dalam hal dokter memberikan operasi terencana kepada pasien harus mendapat persetujuan dari pasien atau keluarganya, apabila prosedur ini tidak dilaksanakan maka terdapat kesalahan. Hal ini akan menjadi dasar Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran untuk menjatuhkan putusan kesalahan pada dokter. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai kelalaian yang terkait dengan malpraktik terdapat pada Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361. Adapun dalam Pasal 359 KUHP mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan mati, secara lengkap isi pasal adalah: 18 “Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selamalamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.” 17 Ibid.ps.1,angka 13. Indonesia (2), Undang-undang tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 1946, ps. 359. 18 Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 8 Dan apabila kelalaian tersebut tidak menyebabkan mati, maka akan dikenakan Pasal 360 KUHP dikarenakan dalam Pasal diatur sebagai berikut:19 “(1)Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selamalamanya satu tahun;” “(2)Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500.” Di samping itu, kelalaian dalam malpraktik sangat terkait dengan profesi, jabatan maupun pekerjaan dokter, sehingga dalam Pasal 361 KUHP diatur sebagai berikut:20 “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak dapat ditemukan mengenai arti kelalaian, sehingga diperlukan penjelasan literatur. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karangan R.Soesilo, dijelaskan bahwa: “Karena salahnya: kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.”21 Sehingga, arti dari kelalaian dari segi hukum pidana sangat berpatok kepada unsur mengetahui akibat yang akan ditimbulkan dari tindakan pelaku, tetapi tidak menghendaki terjadinya akibat tersebut. Apabila dikaitkan dengan penilaian medis, maka arti kelalaian itu sangat ditentukan oleh seberapa jauh penyimpangan tindakan dokter tersebut dari Standar Prosedur Operasional, dimana dapat saja diatur suatu penyimpangan dalam suatu prosedur kerja rutin, misalnya dalam berbagai tindakan medis diperlukan suatu persetujuan dari pasien ketika akan memberikan tindakan medis, tetapi dalam kasus emergency mengenai persetujuan dapat ditiadakan ataupun dalam hal risiko atau darurat yang tidak dapat diperkirakan atau diduga dapat juga dikesampingkan sehingga dapat mentiadakan suatu kesalahan dalam suatu malpraktik. Hal ini tentu berbeda ketika akan menggunakan arti kelalaian dari segi hukum pidana, karena penilaian arti kelalaian tidak ada pembatasan sedemikian rupa, akan tetapi dibuka 19 Ibid.,ps.360. Ibid.,ps.361. 21 R.Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,(Bogor:Politeia,1993),hal.248. 20 Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 9 suatu penafsiran untuk menilai seberapa berat kelalaian yang menjadi sumber malpraktik tersebut. Seperti, contoh kasus emergency atau darurat, dimana dapat ditiadakan persetujuan pasien, apabila terjadi suatu malpraktik maka segala akibat yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepada dokter atau tidak ada kelalaian. Kondisi ini akan berbeda, apabila menggunakan sudut pandang hukum pidana, dimana terhadap kasus emergency atau darurat, yang mana dapat ditiadakan persetujuan pasien, maka segala risiko dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter karena penilaian kelalaian sangat tergantung kepada pemikiran, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Ketiga hal ini sangat bersifat subyektif, karena tergantung penilaian hakim untuk menilai suatu kelalaian, dimana akan melihat fakta yang ada dan seberapa besar penyimpangan yang dilakukan dokter tersebut untuk menimbulkan suatu akibat dari kelalaiannya tersebut. Permasalahan ini yang sedang bergulir pada saat ini di dalam media massa dimana mengenai penilaian hakim dalam menilai suatu kelalaian yang melekat pada malpraktik berbeda dengan pertimbangan Majelis Etika Profesi Kedokteran dalam menilai suatu kesalahan yang dilakukan dokter yang mengeluarkan putusan terhadap kasus malpraktik tersebut. Hal ini terlihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 yang memutuskan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian terbukti bersalah yang karena kelalaiannya menyebabkan matinya korban Siska Makatey. Putusan kasasi ini menimbulkan reaksi dari profesi dokter karena pada Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO telah membebaskan para terpidana. Kemudian, pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 79 PK/PID/2013 telah membebaskan para terpidana. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk melakukan penelitian terkait penerapan teori kelalaian hukum pidana dalam kasus malpraktik kedokteran. Dimana diperlukan suatu penilaian arti kelalaian dan penerapan unsur kelalaian dari segi hukum pidana maupun segi medis, sehingga akan diperoleh suatu persepsi yang akan dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku malpraktik yang didasarkan logika medis. Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan teori Arthur F. Southwick untuk menyebutkan sumber dari suatu perbuatan malpraktik medis, yaitu:22 22 Ninik Mariyanti, Op.cit., hal.22. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 10 a. Pelanggaran kontrak ( breach of contract); b. Perbuatan yang disengaja ( intentional tort); c. Kelalaian (negligence). Teori kelalaian (negligence) menjadi patokan dalam menilai dan membuktikan adanya perbuatan malpraktik. Kemudian agar suatu kelalaian medis yang merupakan bagian dari malpraktik medis dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter, maka harus memenuhi syarat berupa subyek harus sesuai dengan perumusan UU, terdapat kesalahan pada petindak, tindakan itu bersifat melawan hukum, tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU, dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam UU. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus. Hasil Penelitian Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 diperoleh hasil bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian sebagai terpidana melakukan kelalaian yang menyebabkan mati dalam pemberian pelayanan medis atau kelalaian medis dengan pertimbangan hakim sebagai berikut: a) Judex facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat; b) Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban; c) Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 11 yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung; d) Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010. Pembahasan Berdasarkan isi pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, maka para terpidana memiliki kelalaian berat dalam pemberian pelayanan medis kepada pasien Siska Makatey. Hal ini didasarkan kepada analisis penulis sebagai berikut: Bahwa kelalaian medis yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian dapat masuk wilayah hukum pidana karena telah memenuhi tiga aspek yaitu:23 a) Syarat dalam sikap batin dokter berupa kelalaian (culpa lata); Kelalaian yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian ditunjukkan pada sikap yang kurang hati-hati dalam pengambilan keputusan operasi cito secsio sesaria oleh para terpidana sangat lambat sehingga menimbulkan kematian terhadap korban Siska Makatey. Hal ini dapat dilihat pada fakta sebagai berikut: Bahwa korban Siska Makatey telah mengalami pecah ketuban jam 07.00 WITA tanggal 10 April 2010. Kemudian, pada jam 09.00 WITA pasien masuk ke UGD rumah sakit Malalayang dengan kondisi lemah dan membutuhkan tindakan operasi secepatnya. Selanjutnya setelah 12 jam menunggu, maka pasien dioperasi pada jam 20.55 WITA oleh para terpidana. Bahwa ketidaktepatan dan ketidakcepatan para terpidana dalam pengambilan keputusan operasi cito inilah yang menjadi faktor tidak berhasilnya operasi dan menimbulkan kematian kepada pasien. Hal ini juga sesuai dengan pendapat ahli di persidangan yang menyatakan bahwa operasi cito merupakan operasi yang dilakukan dalam keadaan darurat dan harus dilakukan secepat atau sesegera mungkin. Kemudian bertolak belakang dengan keterangan tersebut bahwa operasi cito tidak dilakukan lebih awal tetapi operasi dilakukan kurang lebih 12 jam kemudian 23 Ernie Juanita, ”Tuntutan Hukum Pidana Pada Kelalaian Profesi Dokter,”(Tesis Magister Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2009), hal.69. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 12 saat kondisi pasien dalam keadaan gawat, genting atau sangat terpuruk. Sehingga, terdapat hubungan kausalitas perbuatan dan kesalahan (kelalaian) para terpidana berkaitan dengan pelanggaran SOP dalam melaksanakan operasi cito yang mengakibatkan pasien meninggal dunia. b) Syarat dalam perlakuan medis; Syarat dalam perlakuan medis ini terwujud pada perbuatan para terpidana berupa kelalaian para terpidana yang tidak melakukan upaya terhadap pasien yang telah mengalami tekanan darah dan kecepatan denyut nadi cukup tinggi. Kondisi ini dapat dilihat pada fakta sebagai berikut: Bahwa sejak pasien masuk rumah sakit dengan posisi tekanan darah cukup tinggai yaitu 160/70 disertai dengan kecepatan denyut nadi pasien sangat tinggi 180 per menit (normal 90 per menit), dan sepanjang persidangan tidak ditemukan suatu upaya medis untuk menormalkan tekanan darah dan denyut nadi. Dimana, dengan kondisi demikian maka tindakan operasi cito akan menimbulkan risiko yang cukup tinggi hingga menyebabkan kematian. Hal ini sejalan dengan keterangan saksi Anita Lengkong dan ahli Najoan serta para terpidana yang menerangkan bahwa pada sayatan pertama keluar darah hitam dan denyut nadi cepat. Kondisi ini berhubungan dengan kondisi pecah pembuluh darah pasien dan keterlambatan operasi cito yang diberikan kepada pasien. Di samping itu terdapat pula perlakuan medis dari para terpidana yang merugikan korban, yakni: 1. Sejak diketahuinya ketuban korban telah dipecahkan di puskesmas, para terdakwa tidak membuat rekam medis dalam setiap tindakan medis yang dilakukan; 2. Pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotek; 3. Tidak terdapat kordinasi yang baik di dalam tim para terdakwa; 4. Terdapatnya 25 informed consent atau lembar persetujuan tindakan kedokteran sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito/darurat yang tidak membutuhkan lembar persetujuan; 5. Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung, dimana baru dilakukan setelah operasi selesai dengan kondisi gawat; Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 13 Perlakuan para terpidana ini telah menyimpang dari wujud maupun prosedur medis, sehingga memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP. c) Syarat mengenai hal akibat. Perbuatan para terpidana tersebut telah menimbulkan emboli yang menyebabkan kematian pada pasien karena kelalaian para terpidana dalam proses penanganan persalinan hingga operasi cito. Hal ini sesuai fakta yang diterangkan oleh para saksi dan ahli di persidangan yang menerangkan bahwa penyebab emboli adalah: 1) Udara masuk karena pelebaran atau pembesaran pembuluh darah bersumber pada pemberian obat sebagai reaksi tubuh pasien; 2) Udara bukan masuk dari alat infus; 3) Udara dapat masuk melalui alat infus, atau alat suntik; 4) Udara dapat masuk dalam tubuh atau jantung melalui plasenta, artinya pemotongan plasenta/tali pusar dapat menyebabkan udara masuk melalui plasenta; 5) Sayatan pembuluh darah. Berdasarkan keterangan tersebut disimpulkan bahwa masuknya emboli pada bilik kanan jantung melalui alat suntik atau infus disebabkan karena kesalahan atau kelalaian para terpidana dalam proses penanganan persalinan hingga operasi cito. Demikian juga terhadap udara yang masuk karena terjadi pelebaran atau pembesaran pembuluh darah yang bersumber dari pemberian obat sebagai akibat reaksi tubuh pasien, dimana hal ini tidak diungkap secara rinci dalam persidangan. Dengan kata lain, bahwa emboli yang masuk kedalam bilik kanan jantung pasien adalah kesalahan manusia yang bersumber pada perbuatan materil para terpidana dalam melaksanakan persalinan pasien, atau adanya pelanggaran SOP yang dilakukan para terpidana. Di samping itu, perbuatan terpidana telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP dengan penjabaran sebagai berikut: .24 1) Adanya unsur kelalaian Perbuatan terdakwa pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan 24 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), hal.125. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 14 hukuman oleh undang-undang dengan tidak sengaja, atau sama sekali tidak melakukan perbuatan tersebut tetapi menimbulkan akibat yang dilarang.25 Hal ini terwujud pada: Bahwa unsur "kelalaian" yaitu: bahwa keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan Warouw, Sp.OG, terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua, selanjutnya sejak terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG (Ultrasonografi)" dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban. Bahwa ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio sesaria, kemudian terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. Helmi untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. Hermanus Jakobus Lalenoh, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi risiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga risiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi. Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian (terdakwa Ill) untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh terdakwa III (tiga) melainkan terdakwa III (tiga) menyerahkan "informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr. Helmi. 25 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Tanpa Kota Terbit: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun), hal.290. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 15 Tetapi ternyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh Drs. Samir, S.St. Mk., Ardani Adhis, S. A.Md. dan lelaki Marendra Yudi L. SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "spurious signature". Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua). Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi. Kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F.DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, terdakwa I (satu) melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta, kemudian berdasarkan hasil visum et repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, dengan demikian para terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 16 melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Para terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh para terdakwa terhadap korban, para terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotek, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis, terdapatnya "25 informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito/ darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/ pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh para terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan moral yang dimiliki oleh para terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh para terdakwa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia. Hal-hal diatas tersebut disimpulkan oleh jaksa didasarkan atas barang bukti dan alat bukti yang diajukan di dalam persidangan. Kemudian, hal ini juga menjadi pertimbangan hakim agung dalam putusan kasasi kasus Siska Makatey. Di samping itu, hal yang paling penting menjadi pertimbangan baik oleh jaksa maupun hakim adalah mengenai penilaian unsur subyektif dalam Pasal 359, yaitu unsur kelalaian. Dimana, dalam hal penilaian pertanggungjawaban pidana, maka harus di dasarkan kepada kesalahan yang melekat kepada pelaku. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 17 Unsur kelalaian ini juga mencerminkan syarat sikap batin pada persyaratan pertanggungjawaban pidana kelalaian medis. 2) Adanya wujud perbuatan tertentu Unsur wujud perbuatan tertentu merupakan unsur yang terkait dengan unsur kelalaian, artinya unsur wujud perbuatan tertentu ini merupakan perwujudan nyata dari unsur kelalaian yang melekat pada batin pelaku dan atau unsur yang dapat menggambarkan unsur kelalaian secara nyata sehingga dapat ditangkap oleh panca indera. Berdasarkan fakta-fakta dalam putusan, maka wujud perbuatan tertentu dari tindakan terdakwa yang menyebabkan matinya korban adalah sebagai berikut: a. Sejak diketahuinya ketuban korban telah dipecahkan di puskesmas, para terdakwa tidak membuat rekam medis dalam setiap tindakan medis yang dilakukan; b. Pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotek; c. Tidak terdapat kordinasi yang baik di dalam tim para terdakwa; d. Terdapatnya 25 informed consent atau lembar persetujuan tindakan kedokteran sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito/darurat yang tidak membutuhkan lembar persetujuan; e. Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung, dimana baru dilakukan setelah operasi selesai dengan kondisi gawat; f. Pengambilan keputusan operasi cito secsio sesaria oleh para terpidana sangat lambat sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien; g. Para terpidana yang tidak melakukan upaya terhadap pasien yang telah mengalami tekanan darah dan kecepatan denyut nadi cukup tinggi. Unsur ini juga mencerminkan syarat dalam perlakuan medis pada persyaratan pertanggungjawaban pidana kelalaian medis. 3) Adanya akibat kematian orang lain Unsur ini terwujud sesuai dengan fakta bahwa sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, dengan demikian para terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 18 Unsur ini mencerminkan syarat mengenai hal akibat dalam persyaratan pertanggungjawaban pidana kelalaian medis. 4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat Unsur ini terwujud sesuai dengan fakta bahwa para terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh para terdakwa terhadap korban, para terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat. Dengan terpenuhinya seluruh unsur-unsur Pasal 359 KUHP tersebut dan tidak terdapat dasar pemaaf atau pembenar, maka kepada para terpidana dapat dijatuhi pidana. Kesimpulan Malpraktik medis adalah sebagai kesalahan dokter yang karena tidak menggunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesi kedokteran sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien, seperti: pasien terluka atau cacat hingga meninggal dunia. Sedangkan, ruang lingkup malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus delict atau kesengajaan dan malpraktik sebagai culpoos delict atau kelalaian. Syarat-syarat pertanggungjawaban kelalaian medis terdiri dari: a) Syarat sikap batin adalah berupa kelalaian berat (culpa lata), sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana; b) Syarat dalam perlakuan medis adalah perbuatan atau perlakuan medis menyimpang dari standar prosedur operasional yang dilakukan oleh dokter dan pelanggaran terhadap hukum positif; c) Syarat mengenai hal akibat adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien; d) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar. Hakim pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 dalam menerapkan unsur kelalaian untuk malpraktik culpoos delict didasarkan kepada sudah Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 19 terpenuhinya seluruh unsur-unsur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan terpenuhinya syarat dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan medis, syarat mengenai hal akibat kelalaian medis, dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar. Saran Secepatnya diatur rumusan pengertian mengenai malpraktik medis dalam undangundang praktik kedokteran agar menjadi acuan kepada berbagai pihak dalam menangani perkara malpraktik medis dan tidak menimbulkan perbedaan penafsiran terkait malpraktik medis terutama pada kalangan hukum dan medis. Kemudian, para penegak hukum, seperti: polisi, jaksa, dan hakim dalam pembuatan dakwaan, tuntutan maupun putusan harus secara cermat, dan teliti untuk menilai sikap batin pada setiap perbuatan medis yang dilakukan dokter, serta tidak hanya tergantung kepada putusan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, karena putusan tersebut tidak bersifat absolut. Para penegak hukum memiliki kebebasan untuk menilai ada atau tidaknya sebuah kelalaian dalam kasus malpraktik dengan dilandasi dengan teori-teori hukum pidana dan SOP yang berlaku dalam kalangan medis. Hal ini bertujuan agar tidak terdapat keraguan dalam menjatuhkan pidana kepada dokter, serta dapat menjadi pelajaran kepada dokter untuk bertindak secara hati-hati dan cermat dalam menangani pasien. Daftar Referensi Buku: Ameln, Fred.(1991). Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta:Grafikatama Jaya. Chazawi, Adami. (2001). Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Guwandi, J. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran Universitas Indonesia. Kanter,E.Y dan S.R.Sianturi. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta:Storia Grafika. Kartanegara, Satochid. (Tanpa Tahun). Hukum Pidana I. Tanpa Kota Terbit: Balai Lektur Mahasiswa. Mariyanti, Ninik. (1988). Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata. Jakarta:Bina Aksara. Soekanto, Soerjono dan Herkutanto.(1987). Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung:Remadja Karya. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014 20 Soesilo,R. (1993). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:Politeia. Tesis: Juanita, Ernie. (2009). ”Tuntutan Hukum Pidana Pada Kelalaian Profesi Dokter. Tesis Magister,Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Skripsi: Cakreswara,Kanina. (2012). ”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktik. Skripsi Sarjana, UI Jakarta. Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014