PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM

advertisement
1
PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM
MENJATUHKAN PIDANA KEPADA DOKTER YANG MELAKUKAN
MALPRAKTIK
(ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365/K/PID/2012)
Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, Topo Santoso
1.Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia
2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Malpraktik medis mengandung syarat sikap batin yang terdiri dari kesengajaan atau kelalaian. Kemudian, untuk
menilai syarat sikap batin tersebut belum ada suatu patokan baku dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Hal ini yang menyebabkan suatu pertentangan antara profesi hukum dan medis dalam mengartikan malpraktik
medis sebagai suatu kesengajaan atau kelalaian dan menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian pada
malpraktik medis. Atas dasar tersebut, maka skripsi ini akan membahas penerapan teori kelalaian dalam
malpraktik culpoos delict atau malpraktik sebagai delik kelalaian. Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data
sekunder, yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan Mahkamah
Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus. Kesimpulan skripsi ini adalah malpraktik medis
sebagai kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien. Sedangkan, ruang lingkup
malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus delict atau kesengajaan, dan malpraktik sebagai
culpoos delict atau kelalaian.
Title in English
Abstract
Medical Malpractice contains intention consisting of negligence or deliberateness. There is no default standard
applicable law, to assess intention. It is still debatable between jurists and medical professional to interpret the
term medical malpractice as a negligence or intention and to assess the existence of negligence or intention in a
criminal liability. Based on that, this thesis will examine the implementation of negligence theory in the culpoos
delict malpractice or malpractice as negligence delict. It is a normative legal research based on literature study.
The secondary data used in this study consists of Indonesian Penal Code, Indonesian Law Number 29 of 2004 on
Doctor’s Practice, Indonesian Law Number 36 of 2009 on Health, Supreme Court Decision Number
365/K/PID/2012, textbooks, and dictionaries. In conclusion, medical malpractice is a doctor’s error in providing
medical services to patient. Whereas, the scope of medical malpractice consists of malpractice as dolus delict or
intention, and malpractice as culpoos delict or negligence.
Keywords: Medical Malpractice, malpractice as culpoos delict, criminal liability
Pendahuluan
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
2
Dokter merupakan salah satu profesi yang mulia, dimana dalam menjalankan profesi
kedokteran dituntut memiliki etika, moral dan keahlian atau keterampilan. Hal ini merupakan
bentuk rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya pemberian pelayanan
kesehatan kepada masyarakat yang kemudian diejawantahkan dalam kewajiban dokter yang
tercantum pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
yakni:
“(1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2) Merujuk pasien ke dokter
atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3)
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia; (4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila dia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; (5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.”1
Profesi dokter merupakan suatu profesi yang mulia, karena mempunyai tugas untuk
menyelamatkan jiwa orang yang menderita penyakit. Bagi kalangan awam timbul suatu
pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam memberikan sebuah tindakan
medis kepada pasien, kendati dia bukan seorang Nabi. Oleh karena itu para pasien biasanya
pasrah total pada dokter yang dipercayai pasien tersebut.2 Pandangan tersebut seharusnya
harus diubah karena dokter juga manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam
kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat maupun dalam menjalankan tugas kedokteran
sehari-hari. Sehingga, untuk mencegah terjadinya suatu kesalahan dalam memberikan
tindakan medis kepada pasien, maka diperlukan suatu standar sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan medis. Standar tersebut diwujudkan dalam bentuk Standar Profesi
Kedokteran.
Perumusan tentang Standar Profesi Kedokteran ( medische profesionale standaard )
oleh Leenen dalam bahasa aslinya sebagai berikut:
“Zorgvuldig volgens de medische standaard handelen al seen gemiddeld bekwaam
arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandigheden met middelen die in
redelijke verhouding staan tot het concrete handelings doel.” 3
1
Indonesia (1), Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun
2004, TLN No.4431, ps. 51.
2
Ninik Mariyanti, Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, (Jakarta:Bina
Aksara,1988), hal.1.
3
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,(Jakarta:Grafikatama Jaya,1991),hal.86.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
3
Perumusan ini dapat diartikan sebagai:4
“Berbuat secara teliti atau seksama menurut ukuran medis, sebagai seorang
dokter
yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari
kategori keahlian medis yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana
upaya (middelen)
yang
sebanding/proposional
dengan
tujuan
konkret
tindakan/perbuatan medis tersebut.”
Kemudian dari rumusan diatas, maka dapat diuraikan kedalam lima unsur, yakni:5
1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan
culpa/kelalaian. Apabila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak
teliti, tidak berhati-hati, maka dia memenuhi unsur kelalaian; bila dia sangat
tidak berhati-hati dia memenuhi culpa lata;
2. Sesuai ukuran ilmu medis (volgens de medische standaard );
3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama
( gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie );
4. Situasi kondisi yang sama ( gelijke omstandingheden );
5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional (azas proporsionalitas),
(met middelen die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret
tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concrete handelingsdoel).
Berdasarkan kelima unsur Standar Profesi Kedokteran ini, maka suatu tindakan medis
dapat dinilai telah sesuai dengan prosedur kedokteran dan acuan untuk menilai suatu
kesalahan dalam pemberian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang
dilakukan dokter ini sangat terkait dengan malpraktik, dimana untuk menilai malpraktik ini
masuk kedalam kelalaian maka akan sangat terkait dengan Standar Profesi Kedokteran.
Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara
mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi
pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi
mana orang memandangnya.6 Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran tidak dimuat ketentuan malpraktik kedokteran karena dalam Pasal 66 ayat (1)
yang berbunyi:
4
Ibid.,hal.87.
Ibid.,hal.87.
6
Hal ini dikemukakan oleh Crisdiono M.Achadiat dalam Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam
tantangan Zaman sebagimana dikutip dalam Kanina Cakreswara,”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada
Kasus Malpraktik,”(Skripsi Sarjana UI Jakarta, 2012), hal.2.
5
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
4
“ Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” 7
Ketentuan ini hanya mengatur tentang kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Sehingga untuk mendapatkan pengertian tentang malpraktik kedokteran, maka
diperlukan penjelasan dari berbagai literatur maupun pendapat para sarjana.
Terdapat suatu perbedaan terutama dalam mengartikan malpraktik sebagai suatu
kelalaian (culpa) atau suatu kesengajaan (dolus). Hal ini menjadi hal penting dalam
penanganan suatu malpraktik kedokteran. Oleh karena kelalaian atau kesengajaan (dolus)
sebagai syarat batin, agar suatu kasus malpraktik dapat diajukan kepada peradilan pidana.
Maka, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai arti suatu malpraktik kedokteran. Pokokpokok malpraktik telah banyak dijelaskan dalam berbagai literatur, dimana oleh George
Gordon Coughlin, bekas Presiden New York State Bar Association, malpractice dirumuskan
sebagai berikut:
“Profesional misconduct on the part of a profesional person, such as a physician,
engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian. Malpractice may be the result
of ignorance, neglect, or lack of
skill or fidelity in the performance of profesional
duties; intentional wrong doing; or illegal or unethical practice.” 8
Dari definisi ini dapat dikatakan suatu tindakan medis masuk dalam kategori
malpraktik, apabila dokter tersebut melakukan tindakan medis yang salah atau tidak cukup
mengurus pelayanan medis, baik berupa pengobatan maupun perawatan.
Di samping itu, pengertian malpraktik yang diberikan oleh Coughlin ini masih sangat
luas karena tidak hanya mencakup profesi dokter tetapi masuk pula profesi fisikawan,
insinyiur, pengacara maupun akuntan, sehingga perlu dikutip pandangan Henry Campbell
Black mengenai malpraktik karena lebih menjelaskan secara khusus mengenai medical
malpractice:9
“ As applied to physicians and surgeons, this term means, generally, profesional
misconduct towards a patient which is considered reprehensible either because
immoral in itself or because contrary to law or expressly forbidden by law.”
Dari penjelasan Black tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktik merupakan
suatu tindakan yang tidak benar yang melanggar moral dan hukum, serta pengertian ini telah
mengarah kepada profesi kedokteran.
7
Indonesia (1), Ibid., ps. 66, ayat 1.
Soerjono Soekanto dan Herkutanto,
Karya,1987),hal.153.
9
Ibid.hal.153.
8
Pengantar
Hukum
Kesehatan,(Bandung:Remadja
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
5
Apabila dilakukan analisa terhadap rumusan malpraktik menurut Couglin, maka
unsur-unsur malpraktik adalah unsur kesengajaan (opzet) dan unsur tindakan yang tidak sah
atau tindakan yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum serta tindakan yang tidak
etis. Sementara itu, Black menyebut antara lain “Unreasonable lack skill” dan mengatakan
bahwa “negligence is the predominant theory of liability in medical malpractice litigation”.
10
Dari penjabaran definisi malpraktik yang diajukan oleh Coughlin dan Black, maka Fred
Ameln mengatakan bahwa akan dapat diperoleh perbedaan, dimana dalam pandangan
Coughlin menonjolkan unsur kesalahan atau schuld, sedangkan Black lebih menonjolkan
unsur kelalaian atau culpa. Sehingga dari pandangan ini akan dapat membedakan antara
malpraktik dolus delict dan malpraktik culpoos delict.11
Maka, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam mendefinisikan arti
malpraktik tidak dapat langsung dilekatkan dengan unsur “kelalaian” sebagai syarat batin
dalam malpraktik. Oleh karena, dalam malpraktik kedokteran tidak hanya ada sikap batin
berupa “kelalaian (culpa)”, tetapi terdapat pula sikap batin berupa “kesengajaan (dolus)”.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat J.Guwandi yang menyatakan bahwa malpraktik
adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi
di dalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa definisi,
ternyata bahwa malpraktik mempunyai pengertian yang lebih luas dari kelalaian. Karena
selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik mencakup tindakan-tindakan yang
dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang.12
Setelah mengetahui Standar Profesi Kedokteran dan pengertian malpraktik, maka hal
yang penting dibahas adalah mengenai kaitan antara Standar Profesi Kedokteran dengan
malpraktik. Adapun kaitannya adalah mengenai aspek penilaian terhadap suatu penyimpangan
Standar Profesi Kedokteran dapat dimasukkan dalam kategori malpraktik. Kemudian, bentuk
malpraktik tersebut juga harus dinilai apakah masuk kedalam kategori malpraktik dolus delict
maupun malpraktik culpoos delict. Hal ini sangat berkaitan dengan upaya penyelesaian
maupun pertanggungjawaban hukum oleh dokter tersebut.
Di samping itu, dalam malpraktik tidak mudah untuk membuktikan adanya
penyimpangan dari Standar Profesi Kedokteran karena setiap unsur dari standar tersebut harus
diteliti dan selama dokter memenuhi unsur standar profesinya maka dokter tidak melakukan
10
Ameln,op.cit.,hal.85.
Ibid.
12
J.Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran Universitas Indonesia,
2004), hal.20.
11
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
6
tindakan malpraktik.13 Kesulitan mengenai penilaian malpraktik tidak hanya terkait dengan
unsur penilaian penyimpangan, tetapi terkait dengan penilaian terhadap kategori kesalahan
yang melekat pada malpraktik tersebut. Bentuk kesalahan ini menjadi sangat penting dalam
hal pertanggungjawaban hukum, baik perdata, pidana maupun administrasi. Pemilihan unsur
kesalahan dalam penyimpangan standar kedokteran ini sangat penting, karena unsur kesalahan
yang
melekat
kepada
malpraktik
adalah
berupa
kesengajaan
(dolus)
atau
kelalaian/ketidaksengajaan (culpa) .
Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan
gradasi kealpaan (culpa) dengan:14
1. Kealpaan yang berat (culpa lata);
2. Kealpaan yang ringan (culpa levis).
Dalam kasus malpraktik yang diselesaikan dengan hukum pidana adalah culpa lata,
sedangkan culpa levis, maka akan diselesaikan dengan hukum perdata maupun hukum
disiplin dokter.
Untuk menyelesaikan suatu kasus malpraktik, maka tidak terlepas dari pengertian
kelalaian dari segi hukum pidana maupun segi medis. Penilaian suatu kelalaian dari segi
medis, maka tidak terlepas dari penilaian terhadap penyimpangan terhadap standar profesi
kedokteran maupun standar prosedur operasional. Pengertian standar profesi kedokteran
dijelaskan
dalam
Pasal
1
Angka
9
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,yakni:
“Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and
profesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi
untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang
dibuat oleh organisasi profesi.”15
Sedangkan pengertian standar prosedur operasional sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1 Angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 adalah:
“Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar
prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan
yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”16
13
Ibid.hal.94.
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,(Jakarta:Storia
Grafika,2002), hal.194.
15
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, PMKes No.512/Menkes/Per/IV/2007, ps.1, angka 9.
16
Ibid.ps.1,angka 10.
14
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
7
Kemudian untuk mengukur Standar Prosedur Operasional telah sesuai, maka
diperlukan Kode Etik Kedokteran yang berisikan kewajiban umum dan kewajiban khusus.
Dalam penilaian penyimpangan Standar Prosedur Operasional, maka akan dilakukan oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1
Angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 yang dijelaskan
sebagai berikut:
“Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang
berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan
dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan
menetapkan sanksi.” 17
Maka untuk menilai terjadinya suatu kelalaian dalam pemberian tindakan medis dari
segi medis sangat tergantung kepada penilaian Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran.
Penilaian ini sangat kasuistis karena harus melihat bentuk tindakan medis yang diberikan,
misalnya dalam tindakan operasi dikenal dua jenis, yakni: operasi terencana dan operasi
segera atau cito.
Bahwa perbedaan antara operasi terencana dan operasi segera adalah dari sisi
kepentingan. Operasi terencana adalah apakah benar harus dilakukan, harus ada persetujuan
pasien atau keluarganya sedangkan cito atau segera adalah untuk menyelamatkan jiwa dan
tidak harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga. Jadi, dalam memberikan penilaian
terhadap kesalahan, maka akan dilihat dulu bentuk tindakan medis dan prosedurnya,
kemudian melihat prosedur yang mana dilanggar, sebagai contoh: dalam hal dokter
memberikan operasi terencana kepada pasien harus mendapat persetujuan dari pasien atau
keluarganya, apabila prosedur ini tidak dilaksanakan maka terdapat kesalahan. Hal ini akan
menjadi dasar Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran untuk menjatuhkan putusan
kesalahan pada dokter.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai kelalaian yang terkait dengan
malpraktik terdapat pada Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361. Adapun dalam Pasal 359 KUHP
mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan mati, secara lengkap isi pasal adalah: 18
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selamalamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
17
Ibid.ps.1,angka 13.
Indonesia (2), Undang-undang tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 1946, ps. 359.
18
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
8
Dan apabila kelalaian tersebut tidak menyebabkan mati, maka akan dikenakan Pasal 360
KUHP dikarenakan dalam Pasal diatur sebagai berikut:19
“(1)Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selamalamanya satu tahun;”
“(2)Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya
atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman
denda setinggi-tingginya Rp.4.500.”
Di samping itu, kelalaian dalam malpraktik sangat terkait dengan profesi, jabatan
maupun pekerjaan dokter, sehingga dalam Pasal 361 KUHP diatur sebagai berikut:20
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu
jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan
sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan
dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak dapat ditemukan mengenai arti
kelalaian, sehingga diperlukan penjelasan literatur. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana karangan R.Soesilo, dijelaskan bahwa: “Karena salahnya: kurang hati-hati, lalai lupa,
amat kurang perhatian.”21
Sehingga, arti dari kelalaian dari segi hukum pidana sangat berpatok kepada unsur
mengetahui akibat yang akan ditimbulkan dari tindakan pelaku, tetapi tidak menghendaki
terjadinya akibat tersebut. Apabila dikaitkan dengan penilaian medis, maka arti kelalaian itu
sangat ditentukan oleh seberapa jauh penyimpangan tindakan dokter tersebut dari Standar
Prosedur Operasional, dimana dapat saja diatur suatu penyimpangan dalam suatu prosedur
kerja rutin, misalnya dalam berbagai tindakan medis diperlukan suatu persetujuan dari pasien
ketika akan memberikan tindakan medis, tetapi dalam kasus emergency
mengenai persetujuan dapat ditiadakan ataupun dalam hal risiko
atau darurat
yang tidak dapat
diperkirakan atau diduga dapat juga dikesampingkan sehingga dapat mentiadakan suatu
kesalahan dalam suatu malpraktik.
Hal ini tentu berbeda ketika akan menggunakan arti kelalaian dari segi hukum pidana,
karena penilaian arti kelalaian tidak ada pembatasan sedemikian rupa, akan tetapi dibuka
19
Ibid.,ps.360.
Ibid.,ps.361.
21
R.Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal,(Bogor:Politeia,1993),hal.248.
20
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
9
suatu penafsiran untuk menilai seberapa berat kelalaian yang menjadi sumber malpraktik
tersebut. Seperti, contoh kasus emergency atau darurat, dimana dapat ditiadakan persetujuan
pasien, apabila terjadi suatu malpraktik maka segala akibat yang terjadi tidak dapat
dipersalahkan kepada dokter atau tidak ada kelalaian. Kondisi ini akan berbeda, apabila
menggunakan sudut pandang hukum pidana, dimana terhadap kasus emergency atau darurat,
yang
mana
dapat
ditiadakan
persetujuan
pasien,
maka
segala
risiko
dapat
dipertanggungjawabkan kepada dokter karena penilaian kelalaian sangat tergantung kepada
pemikiran, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Ketiga hal ini sangat bersifat subyektif, karena
tergantung penilaian hakim untuk menilai suatu kelalaian, dimana akan melihat fakta yang
ada dan seberapa besar penyimpangan yang dilakukan dokter tersebut untuk menimbulkan
suatu akibat dari kelalaiannya tersebut.
Permasalahan ini yang sedang bergulir pada saat ini di dalam media massa dimana
mengenai penilaian hakim dalam menilai suatu kelalaian yang melekat pada malpraktik
berbeda dengan pertimbangan Majelis Etika Profesi Kedokteran dalam menilai suatu
kesalahan yang dilakukan dokter yang mengeluarkan putusan terhadap kasus malpraktik
tersebut. Hal ini terlihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 yang
memutuskan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian
terbukti bersalah yang karena kelalaiannya menyebabkan matinya korban Siska Makatey.
Putusan kasasi ini menimbulkan reaksi dari profesi dokter karena pada Putusan Pengadilan
Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO telah membebaskan para terpidana.
Kemudian, pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 79 PK/PID/2013
telah membebaskan para terpidana. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk melakukan
penelitian terkait penerapan teori kelalaian hukum pidana dalam kasus malpraktik kedokteran.
Dimana diperlukan suatu penilaian arti kelalaian dan penerapan unsur kelalaian dari segi
hukum pidana maupun segi medis, sehingga akan diperoleh suatu persepsi yang akan
dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan pidana
penjara kepada pelaku malpraktik yang didasarkan logika medis.
Tinjauan Teoritis
Penelitian ini menggunakan teori Arthur F. Southwick untuk menyebutkan sumber
dari suatu perbuatan malpraktik medis, yaitu:22
22
Ninik Mariyanti, Op.cit., hal.22.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
10
a. Pelanggaran kontrak ( breach of contract);
b. Perbuatan yang disengaja ( intentional tort);
c. Kelalaian (negligence).
Teori kelalaian (negligence) menjadi patokan dalam menilai dan membuktikan adanya
perbuatan malpraktik. Kemudian agar suatu kelalaian medis yang merupakan bagian dari
malpraktik medis dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter, maka harus memenuhi syarat
berupa subyek harus sesuai dengan perumusan UU, terdapat kesalahan pada petindak,
tindakan itu bersifat melawan hukum, tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh
UU, dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya
yang ditentukan dalam UU.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data adalah
dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus.
Hasil Penelitian
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 diperoleh hasil
bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian
sebagai terpidana melakukan kelalaian yang menyebabkan mati dalam pemberian pelayanan
medis atau kelalaian medis dengan pertimbangan hakim sebagai berikut:
a) Judex facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan
benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis
No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto,
SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R.
D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit
korban adalah berat;
b) Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban
dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban
tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban;
c) Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey
yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
11
yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan
fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;
d) Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya
korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April
2010.
Pembahasan
Berdasarkan isi pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
365/K/PID/2012, maka para terpidana memiliki kelalaian berat dalam pemberian pelayanan
medis kepada pasien Siska Makatey. Hal ini didasarkan kepada analisis penulis sebagai
berikut:
Bahwa kelalaian medis yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.
Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian dapat masuk wilayah hukum pidana karena telah
memenuhi tiga aspek yaitu:23
a) Syarat dalam sikap batin dokter berupa kelalaian (culpa lata);
Kelalaian yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry
Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian ditunjukkan pada sikap yang kurang hati-hati
dalam pengambilan keputusan operasi cito secsio sesaria oleh para terpidana sangat
lambat sehingga menimbulkan kematian terhadap korban Siska Makatey. Hal ini dapat
dilihat pada fakta sebagai berikut:
Bahwa korban Siska Makatey telah mengalami pecah ketuban jam 07.00
WITA tanggal 10 April 2010. Kemudian, pada jam 09.00 WITA pasien masuk ke
UGD rumah sakit Malalayang dengan kondisi lemah dan membutuhkan tindakan
operasi secepatnya. Selanjutnya setelah 12 jam menunggu, maka pasien dioperasi pada
jam 20.55 WITA oleh para terpidana. Bahwa ketidaktepatan dan ketidakcepatan para
terpidana dalam pengambilan keputusan operasi cito inilah yang menjadi faktor tidak
berhasilnya operasi dan menimbulkan kematian kepada pasien. Hal ini juga sesuai
dengan pendapat ahli di persidangan yang menyatakan bahwa operasi cito merupakan
operasi yang dilakukan dalam keadaan darurat dan harus dilakukan secepat atau
sesegera mungkin.
Kemudian bertolak belakang dengan keterangan tersebut bahwa operasi cito
tidak dilakukan lebih awal tetapi operasi dilakukan kurang lebih 12 jam kemudian
23
Ernie Juanita, ”Tuntutan Hukum Pidana Pada Kelalaian Profesi Dokter,”(Tesis Magister Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang, 2009), hal.69.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
12
saat kondisi pasien dalam keadaan gawat, genting atau sangat terpuruk. Sehingga,
terdapat hubungan kausalitas perbuatan dan kesalahan (kelalaian) para terpidana
berkaitan dengan pelanggaran SOP dalam melaksanakan operasi cito yang
mengakibatkan pasien meninggal dunia.
b) Syarat dalam perlakuan medis;
Syarat dalam perlakuan medis ini terwujud pada perbuatan para terpidana
berupa kelalaian para terpidana yang tidak melakukan upaya terhadap pasien yang
telah mengalami tekanan darah dan kecepatan denyut nadi cukup tinggi. Kondisi ini
dapat dilihat pada fakta sebagai berikut:
Bahwa sejak pasien masuk rumah sakit dengan posisi tekanan darah cukup
tinggai yaitu 160/70 disertai dengan kecepatan denyut nadi pasien sangat tinggi 180
per menit (normal 90 per menit), dan sepanjang persidangan tidak ditemukan suatu
upaya medis untuk menormalkan tekanan darah dan denyut nadi. Dimana, dengan
kondisi demikian maka tindakan operasi cito akan menimbulkan risiko yang cukup
tinggi hingga menyebabkan kematian.
Hal ini sejalan dengan keterangan saksi Anita Lengkong dan ahli Najoan serta
para terpidana yang menerangkan bahwa pada sayatan pertama keluar darah hitam dan
denyut nadi cepat. Kondisi ini berhubungan dengan kondisi pecah pembuluh darah
pasien dan keterlambatan operasi cito yang diberikan kepada pasien.
Di samping itu terdapat pula perlakuan medis dari para terpidana yang
merugikan korban, yakni:
1. Sejak diketahuinya ketuban korban telah dipecahkan di puskesmas, para terdakwa
tidak membuat rekam medis dalam setiap tindakan medis yang dilakukan;
2. Pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai
dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak
apotek;
3. Tidak terdapat kordinasi yang baik di dalam tim para terdakwa;
4. Terdapatnya 25 informed consent atau lembar persetujuan tindakan kedokteran
sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan
adalah tindakan cito/darurat yang tidak membutuhkan lembar persetujuan;
5. Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan
darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung, dimana baru dilakukan setelah operasi
selesai dengan kondisi gawat;
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
13
Perlakuan para terpidana ini telah menyimpang dari wujud maupun prosedur
medis, sehingga memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP.
c) Syarat mengenai hal akibat.
Perbuatan
para
terpidana
tersebut
telah
menimbulkan
emboli
yang
menyebabkan kematian pada pasien karena kelalaian para terpidana dalam proses
penanganan persalinan hingga operasi cito.
Hal ini sesuai fakta yang diterangkan oleh para saksi dan ahli di persidangan
yang menerangkan bahwa penyebab emboli adalah:
1) Udara masuk karena pelebaran atau pembesaran pembuluh darah bersumber
pada pemberian obat sebagai reaksi tubuh pasien;
2) Udara bukan masuk dari alat infus;
3) Udara dapat masuk melalui alat infus, atau alat suntik;
4) Udara dapat masuk dalam tubuh atau jantung melalui plasenta, artinya
pemotongan plasenta/tali pusar dapat menyebabkan udara masuk melalui
plasenta;
5) Sayatan pembuluh darah.
Berdasarkan keterangan tersebut disimpulkan bahwa masuknya emboli pada
bilik kanan jantung melalui alat suntik atau infus disebabkan karena kesalahan atau
kelalaian para terpidana dalam proses penanganan persalinan hingga operasi cito.
Demikian juga terhadap udara yang masuk karena terjadi pelebaran atau pembesaran
pembuluh darah yang bersumber dari pemberian obat sebagai akibat reaksi tubuh
pasien, dimana hal ini tidak diungkap secara rinci dalam persidangan. Dengan kata
lain, bahwa emboli yang masuk kedalam bilik kanan jantung pasien adalah kesalahan
manusia yang bersumber pada perbuatan materil para terpidana dalam melaksanakan
persalinan pasien, atau adanya pelanggaran SOP yang dilakukan para terpidana.
Di samping itu, perbuatan terpidana telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359
KUHP dengan penjabaran sebagai berikut: .24
1) Adanya unsur kelalaian
Perbuatan terdakwa pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor
365/K/PID/2012 yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan
24
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001),
hal.125.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
14
hukuman oleh undang-undang dengan tidak sengaja, atau sama sekali tidak melakukan
perbuatan tersebut tetapi menimbulkan akibat yang dilarang.25 Hal ini terwujud pada:
Bahwa unsur "kelalaian" yaitu: bahwa keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan
Nan Warouw, Sp.OG, terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/korban sudah
dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah
keluar semua, selanjutnya sejak terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00
WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh terdakwa I
(satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG (Ultrasonografi)" dan sebagian
tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan
terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak
mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk terdakwa I (satu)
tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban.
Bahwa ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan
pada korban, terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah
mendapat anjuran, terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio
sesaria, kemudian terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. Helmi untuk
membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr.
Hermanus Jakobus Lalenoh, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju
untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi risiko tinggi, oleh karena ini adalah
operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga risiko yang bisa terjadi
sebelum operasi atau usai operasi.
Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian (terdakwa Ill) untuk
memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak
dilakukan oleh terdakwa III (tiga) melainkan terdakwa III (tiga) menyerahkan
"informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban
yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan
dilihat oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7
(tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga)
meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr.
Helmi.
25
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Tanpa Kota Terbit: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun),
hal.290.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
15
Tetapi ternyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut
adalah tanda tangan karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratoris
kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan
oleh Drs. Samir, S.St. Mk., Ardani Adhis, S. A.Md. dan lelaki Marendra Yudi L. SE.,
menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska
Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "spurious signature".
Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul
20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr.
Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi
terhadap korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) sebagai
asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) sebagai asisten operator
II (dua). Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam
puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan
selesai pelaksanaan operasi.
Kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan
kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai
operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit
dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F.DFM.
bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam
tubuh korban. Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, terdakwa I (satu) melakukan
sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut
terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta
keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu
pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari
plasenta, kemudian berdasarkan hasil visum et repertum disebutkan bahwa udara yang
ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik
yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada
korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat
komplikasi dari persalinan itu sendiri.
Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan
jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan
fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, dengan
demikian para terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
16
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi
yang tertentu.
Para terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah
menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh para
terdakwa terhadap korban, para terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab
akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan
suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan
pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat
rujukan dari puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik
keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat.
Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di
puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis
yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para
terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga
ditolak oleh pihak apotek, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim
melakukan tindakan medis, terdapatnya "25 informed consent"/ lembar persetujuan
tindakan kedokteran sedangkan
para
terdakwa
berpendapat
bahwa
tindakan
kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito/ darurat, tidak adanya tindakan
persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/
pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi
gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang
dilakukan oleh para terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan
cara berpikir, pengetahuan
atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan
moral yang dimiliki oleh para terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur
(SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh para terdakwa
tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia.
Hal-hal diatas tersebut disimpulkan oleh jaksa didasarkan atas barang bukti
dan alat bukti yang diajukan di dalam persidangan. Kemudian, hal ini juga menjadi
pertimbangan hakim agung dalam putusan kasasi kasus Siska Makatey. Di samping
itu, hal yang paling penting menjadi pertimbangan baik oleh jaksa maupun hakim
adalah mengenai penilaian unsur subyektif dalam Pasal 359, yaitu unsur kelalaian.
Dimana, dalam hal penilaian pertanggungjawaban pidana, maka harus di dasarkan
kepada kesalahan yang melekat kepada pelaku.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
17
Unsur kelalaian ini juga mencerminkan syarat sikap batin pada persyaratan
pertanggungjawaban pidana kelalaian medis.
2) Adanya wujud perbuatan tertentu
Unsur wujud perbuatan tertentu merupakan unsur yang terkait dengan unsur
kelalaian, artinya unsur wujud perbuatan tertentu ini merupakan perwujudan nyata dari
unsur kelalaian yang melekat pada batin pelaku dan atau unsur yang dapat
menggambarkan unsur kelalaian secara nyata sehingga dapat ditangkap oleh panca
indera. Berdasarkan fakta-fakta dalam putusan, maka wujud perbuatan tertentu dari
tindakan terdakwa yang menyebabkan matinya korban adalah sebagai berikut:
a. Sejak diketahuinya ketuban korban telah dipecahkan di puskesmas, para terdakwa
tidak membuat rekam medis dalam setiap tindakan medis yang dilakukan;
b. Pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai
dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak
apotek;
c. Tidak terdapat kordinasi yang baik di dalam tim para terdakwa;
d. Terdapatnya 25 informed consent atau lembar persetujuan tindakan kedokteran
sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan
adalah tindakan cito/darurat yang tidak membutuhkan lembar persetujuan;
e. Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan
darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung, dimana baru dilakukan setelah operasi
selesai dengan kondisi gawat;
f. Pengambilan keputusan operasi cito secsio sesaria oleh para terpidana sangat lambat
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien;
g. Para terpidana yang tidak melakukan upaya terhadap pasien yang telah mengalami
tekanan darah dan kecepatan denyut nadi cukup tinggi.
Unsur ini juga mencerminkan syarat dalam perlakuan medis pada persyaratan
pertanggungjawaban pidana kelalaian medis.
3) Adanya akibat kematian orang lain
Unsur ini terwujud sesuai dengan fakta bahwa sebab kematian si korban adalah
akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk
ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan
kegagalan fungsi jantung, dengan demikian para terdakwa lalai untuk melakukan
sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien
tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
18
Unsur ini mencerminkan syarat mengenai hal akibat dalam persyaratan
pertanggungjawaban pidana kelalaian medis.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat
Unsur ini terwujud sesuai dengan fakta bahwa para terdakwa telah melakukan
penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan
tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh para terdakwa terhadap korban, para
terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu
terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan suatu keadaan korban
yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30
WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari
puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban
sudah dapat dikatakan darurat.
Dengan terpenuhinya seluruh unsur-unsur Pasal 359 KUHP tersebut dan tidak
terdapat dasar pemaaf atau pembenar, maka kepada para terpidana dapat dijatuhi
pidana.
Kesimpulan
Malpraktik medis adalah sebagai kesalahan dokter yang karena tidak menggunakan
ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesi kedokteran sehingga
menimbulkan kerugian kepada pasien, seperti: pasien terluka atau cacat hingga meninggal
dunia. Sedangkan, ruang lingkup malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus
delict atau kesengajaan dan malpraktik sebagai culpoos delict atau kelalaian. Syarat-syarat
pertanggungjawaban kelalaian medis terdiri dari:
a) Syarat sikap batin adalah berupa kelalaian berat (culpa lata), sehingga dapat
membentuk pertanggungjawaban pidana;
b) Syarat dalam perlakuan medis adalah perbuatan atau perlakuan medis menyimpang
dari standar prosedur operasional yang dilakukan oleh dokter dan pelanggaran
terhadap hukum positif;
c) Syarat mengenai hal akibat adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau
nyawa pasien;
d) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.
Hakim pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012
dalam
menerapkan unsur kelalaian untuk malpraktik culpoos delict didasarkan kepada sudah
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
19
terpenuhinya seluruh unsur-unsur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan
terpenuhinya syarat dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan medis, syarat mengenai
hal akibat kelalaian medis, dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.
Saran
Secepatnya diatur rumusan pengertian mengenai malpraktik medis dalam undangundang praktik kedokteran agar menjadi acuan kepada berbagai pihak dalam menangani
perkara malpraktik medis dan tidak menimbulkan perbedaan penafsiran terkait malpraktik
medis terutama pada kalangan hukum dan medis.
Kemudian, para penegak hukum, seperti: polisi, jaksa, dan hakim dalam pembuatan
dakwaan, tuntutan maupun putusan harus secara cermat, dan teliti untuk menilai sikap batin
pada setiap perbuatan medis yang dilakukan dokter, serta tidak hanya tergantung kepada
putusan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, karena putusan tersebut tidak bersifat absolut.
Para penegak hukum memiliki kebebasan untuk menilai ada atau tidaknya sebuah kelalaian
dalam kasus malpraktik dengan dilandasi dengan teori-teori hukum pidana dan SOP yang
berlaku dalam kalangan medis. Hal ini bertujuan agar tidak terdapat keraguan dalam
menjatuhkan pidana kepada dokter, serta dapat menjadi pelajaran kepada dokter untuk
bertindak secara hati-hati dan cermat dalam menangani pasien.
Daftar Referensi
Buku:
Ameln, Fred.(1991). Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta:Grafikatama Jaya.
Chazawi, Adami. (2001). Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Guwandi, J. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kanter,E.Y dan S.R.Sianturi. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya. Jakarta:Storia Grafika.
Kartanegara, Satochid. (Tanpa Tahun). Hukum Pidana I. Tanpa Kota Terbit: Balai Lektur
Mahasiswa.
Mariyanti, Ninik. (1988). Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata.
Jakarta:Bina Aksara.
Soekanto, Soerjono dan Herkutanto.(1987). Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung:Remadja
Karya.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
20
Soesilo,R. (1993). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:Politeia.
Tesis:
Juanita, Ernie. (2009). ”Tuntutan Hukum Pidana Pada Kelalaian Profesi Dokter. Tesis
Magister,Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Skripsi:
Cakreswara,Kanina. (2012). ”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktik.
Skripsi Sarjana, UI Jakarta.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
Download