Bab Satu Pendahuluan Latar Belakang Inovasi dan kreativitas merupakan kunci utama organisasi untuk bisa sukses dan sanggup bertahan di era globalisasi. Inovasi dan kreativitas menunjukkan kemampuan melakukan pembaruan yang tidak hanya muncul dalam aneka bentuk dan fungsi produk dan jasa namun juga dalam berbagai unsur bisnis misalnya terkait dimensi waktu (misalnya manajamen persediaan dan time to market) dan ruang (pilihan cerukan pasar yang tidak terbaca pihak lain). Menurut Thomas, and Scarborough (1996) : “Creativity is the ability to develop new ideas and to discover new ways of looking at problems and opportunities”. Kreatifitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan menghadapi peluang. Adapun inovasi merupakan innovation is the ability to apply creative solutions to those problems and opportunities to enhance or to enrich people 's live. Inovasi merupakan kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan persoalan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan. 25 Konsep kreativitas dan konsep inovasi lebih sering bersama-sama daripada dibicarakan sendiri-sendiri. Inovasi dan kreativitas menjadi makin krusial dalam konteks ekonomi kreatif yang kini berkembang dan ditopang oleh sejumlah sektor industri yang disebut industri kreatif. Ini terlihat misalnya pada definisi industri kreatif “Those industries which have their origin in individual creativity, skill and talent and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property” (Diambil dari definisi UK Department of Culture, Media and Sport, 1998 dalam Carr, 2009). Modal utama dari industri kreatif (UKM kreatif) adalah ide kreatif yang diolah di dalam otak manusia. Sarana produksi utama dari industri kreatif (UKM kreatif) adalah gagasan/ ide/ pengetahuan, serta proses utamanya yaitu menciptakan dan mengolah gasan/ide/pengetahuan tersebut menjadi produk/jasa yang bernilai tinggi bagi pembeli. Sejak berkembang konsep industri kreatif ini memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian-perekonomian nasional. Menurut Pangestu (2008) : Industri kreatif yang merupakan determinan ekonomi kreatif ini diyakini dapat menjawab tantangan permasalahan dasar jangka pendek dan menengah: (1) relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis (ratarata hanya 4,5% per tahun); (2) masih tingginya pengangguran (9-10%), tingginya tingkat kemiskinan (16-17%), dan (4) rendahnya daya saing industri di Indonesia. Selain permasalahan tersebut, ekonomi kreatif ini juga diharapkan dapat menjawab tantangan seperti isu global warming, pemanfaatan energi yang terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi karbon, karena arah pengembangan industri kreatif ini akan menuju pola industri ramah lingkungan dan penciptaan nilai tambah produk dan jasa yang 26 berasal dari intelektualitas sumber daya insani yang dimiliki oleh Indonesia, dimana intelektualitas sumber daya insani merupakan sumber daya yang terbarukan. Di Korea Selatan, industri kreatif sejak 2005 menyumbang lebih besar daripada manufaktur. Sedangkan di Singapura ekonomi kreatif menyumbang 5% terhadap PDB atau US$ 5,2 miliar (Zumar, 2013). Akibat dipandang semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa Produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi merupakan tulang punggung sumber daya ekonomi utama pada abad ke 21. Indonesia pun mulai melihat bahwa sektor industri kreatif merupakan sektor industri yang potensial untuk dikembangkan. Jika dilihat dari sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, kreativitas masyarakat Indonesia dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Hal ini tampak dari karya anak bangsa yang diakui oleh komunitas internasional. Oleh karena itu, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, pemerintah menetapkan 14 sektor sebagai tulang punggung ekonomi kreatif. Ke-14 sektor ekonomi kreatif terdiri dari : Periklanan, Arsitektur, Pasar Seni dan Barang Antik, Kerajinan, Desain, Fashion, Video-Film-dan Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan dan Percetakan, Layanan Komputer dan Piranti Lunak, Televisi dan Radio, Riset dan Pengembangan. Industri kreatif Indonesia kini berkembang menjadi sektor ekonomi pendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Data menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi kreatif pada pendapatan domestik bruto rata-rata 7,8% 27 per tahun dan menyerap tenaga kerja sekitar 7,4 juta orang. Sejak 2004 sampai 2010 ekspor industri kreatif mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan tahunan tertinggi 12 % dan mencatat nilai ekspor 131 trilyun rupiah pada 2010, dan diharapkan pada tahun 2025 industri kreatif menyumbang 11% pada PDB dan 12-13% untuk ekspor (Executive Summary Pemetaaan Industri Kreatif, 2006). Di tingkat lokal, di Surabaya misalnya, industri kreatif berkontribusi sekitar 7% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Surabaya. Dengan pertumbuhan seperti itu, saat ini Indonesia tercatat menempati peringkat ke‐43 di Economic Creativity Index Ranking yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (Ketua Bidang Industri Kreatif, Teknologi Informasi, dan Media Hipmi Jawa Timur, SURYA Online, 26/2/2013). Kemajuan dan peran sentral industrif kreatif yang seperti itu telah menarik perhatian para peneliti untuk mengkaji berbagai fenomena di dalamnya, misalnya dalam hal kemampuan melahirkan inovasi. Dalam hal itu, ada banyak sekali studi yang telah dilakukan dan di sini hanya akan disampaikan sebagian kecil darinya. Riset Muller, Christian dan Truby (2008) misalnya menganalisis peran utama industri kreatif dalam inovasi produk barang dan jasa. Industri kreatif digambarkan sebagai kegiatan ekonomi yang berkeyakinan penuh pada kreativitas individu dalam industri kecil. Sejalan dengan temuan itu, studi Müller dan Rammer (2008) menunjukkan bahwa industri kreatif tidak hanya didasarkan pada sumber kreativitas, tetapi juga menunjukkan kinerja yang kuat dalam inovasi teknologi dan dengan demikian secara langsung berkontribusi dengan tingkat inovasi industri dalam perekonomian dalam hal produk teknologi baru, proses baru dan hasil R & D. 28 Berpijak dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa pentingnya keberadaan industri kreatif sangat dibutuhkan dalam menompang pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam peningkatan PDB maupun penyerapan tenaga kerja atau perluasan lapangan kerja baik dalam tataran Nasional maupun Internasional. Argumentasi terkait mengapa industri kreatif serta kreativitas, keterampilan, bakat yang dimiliki oleh pelaku industry menjadi sedemikian penting telah disampaikan misalnya oleh Pink (2006). Pink mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning. Sektor seperti tersebut banyak berada pada industri kreatif yang mengandalkan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, imajinasi, dan bakat yang diperlukan. Sebagai bandingan sektor industri manufaktur dan informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri yang berpikir linier, mekanistik, rutin/hafalan dan parsial. Ini membawa konsekuensi dan memberikan tantangan baru bagi negara-negara maju yang selama ini lebih memfokuskan pendidikan pada pengembangan otak kiri manusia untuk merevisi strategi pendidikannya. Misalnya tujuan pendidikan di Korea Selatan di abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas utama. Di Singapura sejak 2005, sistem pendidikannya dinamakan “holistic education” yaitu membangun moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika. Untuk mencapai kinerja unggul, industri kreatif membutuhkan di antaranya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten yaitu SDM yang berbasis pengetahuan (knowledge-based workers) 29 yang menguasai lebih dari satu keterampilan (multiskilled worker). Sumberdaya manusia merupakan salah salah satu dari sumberdaya yang menopang keunggulan bersaing yang sustainable (sustainable competitive advantage/SCA), sebagaimana diargumentasikan oleh para ahli strategi dari kelompok resource-based view (RBV). Resource-based view (RBV) memandang bahwa kemampuan bersaing organisasi merupakan fungsi dari keunikan serta nilai dari sumberdaya dan kapabilitas yang dimiliki oleh organisasi (Peteraf dan Barney, 2003). Sumber daya atau resources mengacu kepada ketersediaan berbagai sumber daya yang dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan (Amit dan Scoemaker, 1993). Teori resource-based memandang bahwa semua sumber daya dan kapabilitas yang bernilai, jarang, sulit ditiru, dan tidak tergantikan yang ada dalam perusahaan sangat diperlukan untuk dapat mempertahankan SCA sehingga pada akhirnya berkontribusi terhadap kinerja perusahaan (Henri, 2006) dan SDM adalah salah satu sumber daya yang memenuhi kriteria itu. Di luar SDM, asset-asset lunak (soft assets) lainnya sangat potensial untuk menjadi sumber SCA. Pada umumnya sebagian besar perusahaan lebih fokus pada assetasset yang berwujud (tangible asset), kurang memperhatikan pada asset tak berwujud (intangible asset). Salah satu intangible assets penopang SCA adalah intellectual capital (IC). IC dinilai merupakan sumber daya kunci dan penggerak (driver) atas kinerja serta penciptaan nilai perusahaan (Cheng et al., 2010). McShane dan Von Glinow (2005) juga mengatakan bahwa Intellectual capital sebagai penggabungan dari berbagai assets yang dimiliki organisasi memberikan competitive advantage bagi organisasi. 30 Intellectual capital terdiri dari 3 elemen utama yaitu human capital, structural capital, dan relational capital (Bontis, 2001; McShane dan von Glinvow, 2005). Sumber daya manusia sebagai modal insani (human capital) hanya merupakan salah satu komponen dari intellectual capital. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. Sedangkan structural capital merupakan kemampuan organisasi dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya untuk mendukung usaha karyawan dalam menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan (Bontis, 2001). Relational capital (Bontis, 2001) merupakan hubungan yang harmonis (association network) yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Penelitian yang terkait dengan intellectual capital tidak sedikit dan terus berakumulasi. Riset-riset IC awal sebagian lebih fokus mengkaji Intellectual Capital dalam perspektif akuntansi dan keuangan sebagaimana yang dilakukan beberapa peneliti dengan beberapa tema kajian seperti : hubungan antara intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan multinasional (Belkaoui, 2003); hubungan antara intellectual capital dengan nilai pasar dan kinerja keuangan (Chen et al., 2005); hubungan antara 31 intellectual capital disclosure dan market capitalization (Abdolmohammadi, 2005); dan dampak intellectual capital pada capital gain investor di saham (Appuhami, 2007); mengelola modal intelektual dalam pasar tertutup (Malinowska – Olszowy, 2012); keterkaitan antara komponen modal intelektual terhadap nilai perusahaan (Naidenova dan Oskolkova, 2012). Perkembangan penelitian dalam konteks IC semakin banyak terutama keterkaitannya dengan kinerja perusahaan yang hingga kini terus berkembang. Sebagaimana yang dilakukan beberapa peneliti dengan tema kajian : keterhubungan antara intellectual capital dengan business performance (Bontis, N. et al., 2007); hubungan melalui investigasi kualitatif persepsi intellectual capital (Lennox, 2012); evaluasi terjadinya dan manajemen modal intelektual (Malinowska – Olszowy, 2012); mengukur modal intelektual di UKM (Matos, Lopes dan Nuno, 2012); variabel dalam intellectual capital berhubungan dengan kinerja perusahaan (Cabrita dan Bontis (2007). Perkembangan penelitian di atas sudah mulai berkembang pada kajian Intellectual Capital dalam keterkaitannya dengan kinerja perusahaan, dan dalam obyek UKM. Beberapa penelitian intellectual capital mulai berkembang dalam kajian yang lebih koprehensif sebagaimana yang dilakukan dengan tema kajian sebagai berikut : dinamika intellectual capital (Ammann, 2012 ); moda lintelektual di dunia ekonomi informasi (Adrian, 2010); pemodelan intellectual capital (Agoston dan Dima, 2012); model pengukuranI IC di UKM (Santos et al., 2012). Dari perkembangan penelitian di atas sudah bergeser ke arah penelitian yang mempunyai arah multi kajian, tidak hanya fokus dalam kajian akuntansi dan finansial namun sudah memasuki dalam bidang 32 lain baik dalam bidang informasi, bidang marketing, bidang perkotaan dan bidang lainnya. Intellectual capital dalam organisasi tercipta sebagai akibat dari adanya manajemen pengetahuan yang sistematis dan kokoh. Dalam hal ini Marr et al., (2003) berargumen bahwa manajemen pengetahuan merupakan aktivitas dasar dari pertumbuhan dan kemampuan untuk mempertahankan intellectual capital, maka pengelolaan dan efek dari intellectual capital dalam organisasi sangat bergantung pada proses-proses manajemen pengetahuan. Dengan demikian, kemampuan perusahaan untuk mengelola pengetahuan sebagai asset dasar dengan baik menjadi faktor penting bagi kinerja organisasi melalui pembentukan asset-asset strategis lainnya, termasuk intellectual capital. Posisi strategis manajemen pengetahuan dalam konteks pengelolaan dan kinerja organisasi juga telah dijelaskan oleh ahli-ahli lainnya. Nonaka dan Takeuchi (1995) misalnya ketika mengamati perusahaan-perusahaan di Jepang berkesimpulan bahwa kesuksesan perusahaan bergantung pada pengelolaan/ penciptaan pengetahuan (management/ creation of knowledge) pada organisasi. Marr et al (2003) berargumen bahwa knowledge management yang baik dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas bagi organisasi. Hal yang serupa disampaikan oleh Sangkala (2007) : manajemen pengetahuan terkait dengan peningkatan efektivitas organisasi. Manajemen pengetahuan dipercaya dapat memberikan kontribusi kepada vitalitas dan kesuksesan perusahaan. Sementara itu Nonaka & Takeuchi (1995): KM adalah alat manajemen yang membenarkan keyakinan bahwa pengetahuan menjadi aset untuk meningkatkan kapasitas organisasi agar mampu bekerja lebih efektif. 33 Mengelola pengetahuan dapat dilakukan lewat pengenalan hubungan yang sinergik antara pengetahuan tacit dan pengetahuan explicit. Bryan Bergeron (2003) menjelaskan KM merupakan management tools untuk mendorong berhasilnya strategi usaha perusahaan, guna memaksimalkan pencapaian kinerja perusahaan, melalui pendekatan yang sistematik dalam mengelola intellectual capital perusahaan sehingga perusahaan memiliki competitive advantages. Al-Hawamdeh (2003) mendefinisikan knowledge management sebagai sebuah proses mengidentifikasi, mengorganisasi, dan mengatur sumber daya pengetahuan. Davenport dan Prusak (1998) mendefinisikan KM sebagai sebuah upaya untuk mencatat pengetahuan eksplisit faktual dan pengetahuan taksit yang ada di dalam perusahaan untuk mencapai objektif bisnis. KM memberikan informasi yang tepat kepada orang yang tepat pada saat yang tepat. KM mengubah pengalaman dan informasi menjadi hasil. Pengelolaan KM pada perusahaan-perusahaan yang semakin maju makin banyak melibatkan penggunaan teknologi. Seiring dengan berjalannya waktu teknologi yang mendukung knowledge management selalu berkembang dalam bentuk sistem-sistem yang mempermudah proses penyebaran knowledge. Mereka menganggap bahwa inovasi, penggunaan teknologi internet, dan pemanfaatan IT dapat dikembangkan dengan pemanfaatan KM. Artinya KM mempunyai peran yang sangat dominan dalam transfer pengetahuan dalam meningkatkan inovasi. Banyak penelitian yang terkait dengan KM pada perusahaan dalam konteks transfer pengetahuan dan teknologi sebagaimana dilakukan beberapa peneliti dengan tema : manajemen pengetahuan dengan model teknologi (Money danTurner, 2005); memberdayakan UKM melalui 34 penggunaan inovasi teknologi (Dai dan Uden, 2008); manajemen pengetahuan yang sukses di perusahaan software global, (Mehta, 2008). Penelitian di atas lebih banyak mengkaji penggunaan KM dalam aspek transfer pengetahuan dalam teknologi, hingga kini kajian-kajian aspek tersebut masih terus dilakukan penelitian. Dalam perkembangannya penelitian yang terkait dengan konteks KM mulai menempatkan KM sebagai variabel moderasi/dimoderasi atau mediasi/dimediasi dengan/oleh variabel lain. Sebagaimana beberapa penelitian dengan tema mempelajari pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja bisnis (Mahmoodsalehi dan hubungan Jahanyan, 2009); menguji proses manajemen pengetahuan dan kinerja organisasi, dan menganalisis efek mediasi modal intelektual pada hubungan antara proses manajemen pengetahuan dan kinerja organisasi (Daud dan Yusoff, 2011); peran mediasi knowledge management dalam hubungannya organizational culture, structure, strategy, dan organizational effectiveness (Wei, Yang, dan McLean, 2009); peran knowledge process capability sebagai mediator hubungan antara intellectual capital dengan organizational effectiveness (Hsu dan Mykytyn Jr., 2006). Penelitian di atas menempatkan posisi KM dalam dua kelompok, yang pertama sebagai variabel independent dalam hubungannya dengan variabel lain (Mahmoodsalehi dan Jahanyan (2009); Daud dan Yusoff (2011). Sedangkan kelompok kedua menempatkan KM sebagai variabel Intervening (Wei, Yang, dan McLean (2009); Hsu dan Mykytyn Jr., (2006). Sebagaimana dibahas di depan bahwa knowledge management (KM) meliputi penciptaan, pengelolaan serta mendistribusikan informasi dan pengetahuan tersebut agar berguna bagi peningkatan sumber daya (modal) 35 perusahaan. Ketika proses manajemen pengetahuan dalam organisasi mendorong karyawan-karyawannya untuk selalu saling belajar, karyawan memiliki informasi dan pengetahuan yang diperlukan untuk beradaptasi atas keadaan organisasi yang terus berubah. Dengan adanya KM, karyawan dapat belajar lebih baik, karyawan dapat lebih siap atas perubahan karyawan merasa lebih baik karena pengetahuan yang diperoleh dan peningkatan keterampilan serta dampaknya meningkatkan kinerja perusahaan. Dampak langsung KM pada kinerja organisasi muncul ketika pengetahuan digunakan untuk menciptakan produk inovatif yang dapat meningkatkan pendapatan dan keuntungan. Hal ini sesuai dengan kajian peneliti terdahulu Mills dan Smith (2011) serta Zaied, Hussein, dan Hassan (2012). Mills dan Smith (2011) meneliti dari sumber daya knowledge management pada kinerja perusahaan, tujuannya untuk menunjukkan knowledge management berdampak pada kinerja perusahaan. Sedangkan Zaied, Hussein, dan Hassan (2012) meneliti peran pengelolaan pengetahuan dalam meningkatkan kinerja perusahaan di beberapa perusahaan Mesir dengan hasil yang menunjukkan hubungan positif antara knowledge management dan kinerja perusahaan (R = 0,69). Selaras dengan hal tersebut didukung pernyataan Azadehdel et al., (2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara KM (tacit pengetahuan) dan inovasi kualitas dan juga di antara kualitas inovasi dan kinerja perdagangan dan manufaktur perusahaan di provinsi Guilan. Menyimak kembali bahasan di depan bahwa proses KM yang sistematis akan menghasilkan intellectual capital yang baik. Kajian dari Nazem (2012) : hasil analisis jalur dengan menggunakan software LISREL menunjukkan bahwa dimensi manajemen pengetahuan memiliki efek 36 langsung pada modal intelektual. Pendapat yang sama dari Hsu dan Sabherwal (2011) mendukung bahwa dampak manajemen pengetahuan pada modal intelektual. Terkait dengan perubahan intellectual capital perusahaan sebagai akibat perubahan knowledge management, dapat diperoleh melalui peran pihak lain. Pihak lain atau pihak terkait tersebut berperan penting sebagai komunikator serta komunikan yang menyampaikan pesan tertentu (Jakobson, 1960). Pihak-pihak komunikator tersebut terdiri dari tiga yaitu (1) Peneliti, (2) Industri Pengguna, dan (3) Lembaga Intermediasi (Anonim, 2011). Beberapa sebutan lain yang menunjukkan peran tersebut antara lain “pihak ketiga”, “broker”, atau “knowledge broker ”. ‘Pihak ketiga’ merupakan sebutan individu maupun organisasi yang dapat mengintervensi proses pengambilan keputusan organisasi lain (Mantel dan Rosegger, 1987); merupakan agen yang memfasilitasi difusi pengetahuan (Aldrich dan Glinow, 1992). Seorang broker pengetahuan (Hargadon, 1998), adalah perantara (sebuah organisasi atau seseorang), yang bertujuan untuk mengembangkan hubungan dan jaringan dengan, antara, dan antara produsen dan pengguna pengetahuan dengan menyediakan hubungan, sumber-sumber pengetahuan, dan dalam beberapa kasus pengetahuan itu sendiri, (misalnya pengetahuan dalam bersikap, pengetahuan dalam kompetensi dan edukasi, pengetahuan dalam memberikan pelayanan kepada konsumen maupun pelanggan, pengetahuan dalam jejaring mitra kerja). Pengetahuanpengetahuan yang dihasilkan tersebut sebagai modal intelektual perusahaan (intellectual capital). Kajian studi yang terkait dengan knowledge broker (KB) sangatlah terbatas, namun demikian studi yang terkait dengan KB dapat ditemukan 37 dengan konteks yang berbeda sebagaimana yang dilakukan beberapa peneliti dengan tema : Dalam bidang kesehatan masyarakat : dalam penelitian terapan pelayanan kesehatan, dan ilmu sosial (Kitson, Harvey dan Mc Cormack, 1998); Brownson, Gurney dan Land (1999); Hartwich dan Oppen (2000); Verona, Prandelli dan Sawhney (2006); Lavis (Winter 2006); Lyons, Warner, Langille dan Phillips (2006); jembatan atau perantara pengetahuan (Lomas (2007); penelitian bersama dengan berbagai sumber lain (Kammen, Savigny dan Sewankambo (2006); Robeson, Paula, Dobbins, dan Decorby (2008). Menggunakan broker pengetahuan untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan (Bowers, Kalucy, dan McIntyre (2006). Adanya peran aktif knowledge broker dalam proses manajemen suatu organisasi menunjukkan bahwa lembaga intermediasi jelas merupakan bagian dari suatu sistem inovasi, termasuk sistem inovasi nasional. Dapat dipahami bahwa knowledge broker masuk dalam bagian aliran informasi dan ilmu pengetahuan tersebut. Knowledge broker juga dapat berperan aktif untuk meningkatkan kualitas aliran informasi tersebut, salah satunya dengan menjembatani proses komunikasi antar organisasi, terutama antara peneliti/ perusahaan/ pemerintah/ pakar sebagai pemberi pengetahuan dengan pihak industri pengguna. 1.2. Identifikasi Gap Penelitian 1.2.1. Perbedaan Model dari Beberapa Studi Terdahulu Studi dalam konteks industri kecil memang tidak sedikit, akan tetapi industri kecil yang lebih mengeksplorasi pada konteks industri kreatif sangat terbatas. Jika diketemukan pun dengan model riset yang tidak mendasarkan pada kajian kompetensi intensitas tangibel/intangible based. Studi ini 38 dilakukan pada konteks industri kreatif untuk menguji kaitan beberapa variabel yakni knowledge management dan intellectual capital, dan kinerja industri kreatif serta knowledge broker. Nazem (2012) melakukan studi tentang pengaruh knowledge management terhadap intellectual capital yang akan dijadikan pembanding. Ada beberapa perbedaan studi ini dari penelitian Nazem (2012). Pertama, Nazem (2012) untuk mengukur KM menggunakan dasar indikator reflektif dengan 10 indikator (Sallis dan Jones, 2002), sedangkan dalam studi ini knowledge management diukur dengan menggunakan dimensi (people, process, technology) dengan 9 indikator (Godbout, 2000). Hal lainnya yang menjadikan perbedaan dari Nazem (2012) adalah objek atau konteks penelitian, dimana Nazem (2012) mengkaji pada sebuah universitas sedangkan penelitian ini dengan konteks industri kreatif. Kesamaannya adalah dalam variabel intellectual capital sama-sama menggunakan konsep Bontis (1997) yang terdiri human capital, structural capital, dan relational capital. Sementara itu untuk memahami pengaruh antara intellectual capital terhadap kinerja industri kreatif studi Bontis et al., (2001) yang menguji korelasi antara intellectual capital dengan business performance dijadikan dasar dalam studi ini. Perbedaan dari studi Bontis et al., (2001) adalah studi tersebut dilakukan pada sektor pharmasi, sedangkan penelitian ini pada konteks industri kreatif. Gap lainnya adalah bahwa Bontis et al., (2001) menempatkan intellectual capital dengan komponen-komponennya human capital, structural capital, dan relational capital secara langsung mempengaruhi kinerja bisnis. Studi ini menggunakan Skandia Model yang 39 dikembangkan oleh Edvinson (1997) yang menempatkan human capital, structural capital, dan relational capital sebagai dimensi. Terkait peran knowledge broker, pengaruh antara knowledge management terhadap intellectual capital menggunakan dasar penelitian dari Ziam etal., (2009). Perbedaan sebagai gap penelitian adalah pada objek/ kontek penelitian, dimana Ziam et al., (2009) mengkaji pada objek pelayanan kesehatan yang bertujuan memainkan peran penting dalam pembaharuan pengetahuan mendukung perawatan yang berkualitas dan alokasi resources. Keterhubungan masing-masing variabel tersebut di atas adalah secara parsial, padahal dibutuhkan sebuah model terjadi sebagai akibat keterhubungan yang bekesinambungan yang dapat menjadikan solusi sebuah masalah penelitian. Dari uraian diatas, keterhubungan dari masing-masing variabel tersebut akan menghasilkan sebuah model yang belum pernah ditemukan. Model tersebut itulah yang diyakini sebagai hal yang mutakhir dalam model intangible based dalam industri kreatif. 1.2.2. Masih Minimnya Kajian Intellectual Capital dalam Konteks Industri Kreatif Peran IC tidak hanya dibutuhkan dalam instansi pemerintah, swasta maupun pendidikan, namun justru dalam usaha yang sifatnya memerlukan kemampuan art, design, fesyen, visualisation, audio sangat membutuhkan peran IC dalam meningkatkan kinerja industri kreatif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Daniel Pink (2006), mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan 40 kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning. Sektor tersebut di atas dibutuhkan dalam sektor industri kreatif yang penuh dengan substansi kreativitas dan inovasi, sehingga peran IC sangat dibutuhkan dalam konteks industri kreatif yang belum dapat diketemukan pada penelitian sebelumnya. 1.2.3. Masih Minimnya Kajian Knowledge Management dalam Hubungannya dengan Kinerja Industri Kreatif Kinerja tidak hanya dihasilkan oleh organisasi/ perusahaan besar saja, namun juga dihasilkan oleh UKM termasuk industri kreatif sebagai cerminan hasil/ karya usaha kecil tersebut. Karya UKM yang kreatif tersebut mempunyai kekhususan yang unik, kreatif, beda, inovatif yang didasari oleh pengetahuan seni, disain, komposisi, konfigurasi, fisualisasi, hingga rekayasa animasi. Kekhususan unik tersebut yang dimiliki oleh industri kreatif, kondisi demikian membutuhkan pengelolaan pengetahuan (KM) yang kokoh. Hal tersebut sebagaimana rujukan penelitian yang terkait dengan konteks KM dengan kinerja bisnis. Mempelajari pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja bisnis sebagai variabel moderat (Mahmoodsalehi, dan Jahanyan, 2009); menguji hubungan antara manajemen pengetahuan proses dan kinerja organisasi, dan untuk menganalisis efek mediasi modal intelektual pada hubungan antara proses manajemen pengetahuan dan kinerja organisasi (Dauddan Yusoff ,2011); mengetahui kemampuan knowledge process capability berperan sebagai mediator hubungan antara intellectual capital dengan organizational effectiveness (Hsu, Mykytyn Jr. 41 2006). Dari uraian di atas belum nampak adanya keterkaitan antara KM dengan kinerja industri kreatif. 1.2.4. Minimnya Kajian Knowledge Broker dalam Konteks Industri Kreatif Kajian penelitian knowledge broker sepengetahuan peneliti belum pernah ditemukan. Jikapun akhirnya ditemukan, namun pada konteks kajian kesehatan ataupun pada konteks lain yang secara kuantitatif masih terbatas. Padahal penelitian aspek lain di luar kesehatan memerlukan kajian KB yang lebih luas dan komprehensif. Mengutip rujukan dari Parjanen, Melkas dan Uotila, (2010),: Broker pengetahuan yang sukses dan peningkatan kapasitas penyerapan mempunyai peranan yang besar, namun memerlukan pendekatan holistic untuk seluruh proses inovasi dan lingkungan yang lebih luas. Pertumbuhan industri kreatif sudah barang tentu menghadapai banyak tantangan dan kendala. Kendala dalam meningkatkan kemampuan (knowledge dan intellectual) salah satu hal yang perlu mendapat perhatian. Peran mediator/ perantara pengetahuan (knowledge broker) dapat membantu kendala tersebut. Hal tersebut dapat dimengerti adanya persaingan yang ketat maupun keterbatasan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Kondisi demikian dibutuhkan adanya mediator/ perantara dalam mengatasi keterbatasan tersebut di atas. Keberadaan Knowledge Broker sudah barang tentu akan dapat meningkatkan kemampuan dan kinerja industri/ perusahaan yang menggunakan peran KB. 1.2.5. Masih Minimnya Kajian Knowledge Broker di Indonsia Penelitian yang mengkaji peran knowledge broker (KB) sulit diketemukan atau sangat terbatas sekali. Jika adapun dilakukan di luar negeri 42 (British, Kolombia, Kanada, Jerman Timur, Finlandia) dengan kajian lebih banyak di bidang teknologi dan kesehatan: Canadian Health Services Research Foundation (2003); Canadian health services research foundation (2004). Padahal Indonesia sebagai Negara berkembang masih memerlukan peran dari pihak lain khususnya para pelaku bisnis. Peran mediasi broker pengetahuan justru banyak dibutuhkan industri kecil kreatif yang sangat lemah dalam pengelolaan dan transformasi pengetahuan yang inovatif dan mutakhir. Kebutuhan demikian tidak dapat diperoleh sendiri atau hanya mengandalkan bakat keterampilan semata. Hal tersebut dikarenakan dalam sub sektor industri kreatif syarat dengan penggunaan IT dan informasi dan komunikasi baik dalam bidang Iklan, Video dan film, Musik, Fesyen, Percetakan, R&D, Seni pertunjukan dan sub sektor lain yang banyak memerlukan pengelolaan pengetahuan (KM) dan kemampuan intellectual capital yang banyak memerlukan peran mediasi knowledge broker. 1.3. Intellectual Capital dalam Industri Kreatif di Indonesia Pada dasarnya industri kreatif merupakan analog dengan UKM Kreatif, artinya UKM yang menghasilkan produk berdasarkan kreativitas individu. Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai “Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut” (Departemen Perdagangan RI, 2008). Sedangkan menurut UK DCMS Task Force(1998) definisi industri kreatif yang saat ini banyak digunakan oleh pihak yang berkecimpung dalam industri kreatif adalah “Creatives industries as those 43 industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”. Modal utama dari industri kreatif (UKM kreatif) adalah ide kreatif yang diolah di dalam otak manusia. Sarana produksi utama dari industri kreatif (UKM kreatif) adalah gagasan/ ide/ pengetahuan, serta proses utamanya yaitu menciptakan dan mengolah gagasan/ ide/ pengeta-huan tersebut menjadi produk/ jasa yang bernilai tinggi bagi pembeli. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai dasar bagi seluruh pemangku kepentingan dalam mengembangkan 14 sektor ekonomi kreatif. Sub-sektor industri kreatif tersebut: Periklanan, Arsitektur, Pasar Seni dan Barang Antik, Kerajinan, Desain, Fashion, Video-Film-dan Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan dan Percetakan, Layanan Komputer dan Piranti Lunak, Televisi dan Radio, Riset dan Pengembangan. Dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI ke VII, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dihilangkan, dan untuk mengakomodasi keberadaan industri kreatif yang semakin tumbuh, pemerintah akhirnya resmi membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEK). BEK merupakan lembaga setingkat kementerian, Kepala BEK bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BEK yang sebelumnya merupakan bagian dari Kementerian Pariwisata bertugas membantu Presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengkoordinasikan, dan melakukan sinkronisasi berbagai kebijakan di bidang ekonomi kreatif. 44 Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 6/2015 tentang BEK, lembaga ini antara lain menyelenggarakan fungsi perancangan, perumusan, penetapan, dan pelaksanaan program di bidang ekonomi kreatif, juga pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dalam pelaksanaan kebijakan dan program di bidang ekonomi kreatif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan industri kreatif berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) pada urutan ke-9 dari 10 sektor lapangan usaha. Kontribusi industri kreatif terhadap PDB memang masih relatif rendah, akan tetapi menurut Adi Suryo (Ketua Bidang Industri Kreatif, Teknologi Informasi, dan Media Hipmi Jawa Timur, SURYA Online, 26/2/2013) "Potensi untuk industri kreatif di Jawa Timur sangat besar, bahkan industrikreatif ini mampu memenuhi kebutuhan eksport Jawa Timur di bidang non migas," Saat ini industri kreatif berkontribusi sekitar 7 persen dari total PDRB Surabaya. Gambar 1.1.Rata-rata Kontribusi Subsektor kreatif terhadap Industri Kreatif (2009-2012) 45 Sumber: Studi Industri Kreatif Indonesia 2013 Departemen Perdagangan RI Dari 14 sektor tersebut, nilai tambah yang dihasilkan subsektor fasyen dan kerajinan cukup dominan, berturut-turut sebesar 43,02% dan 25,12% dari total kontribusi sektor industri kreatif. Kedua jenis industri ini menjadi lokomotif dalam perkembangan industri kreatif nasional. “Kontribusi fesyen dan kerajinan jauh mengungguli kontribusi jenis industri kecil lainnya. Baik dalam nilai tambah, tenaga kerja, jumlah perusahaan, maupun ekspornya," (DirJen. Industri Kecil dan Menengah dalam pembukaan pameran fashion dan kerajinan bertema "Indonesia arid Craft 2013" di Jakarta, Kamis [27/6]. Sub sektor industri kreatif yang memprihatinkan yaitu sub sektor ‘Seni pertunjukan’, dimana sub sektor tersebut hanya mampu memberikan kontribusi terhadap industri kreatif secara menyeluruh hanya sebesar 0,10%. Fenomena di atas patut untuk mendapat perhatian dari semua pihak demi eksistensi sub sektor tersebut. 46 Realita Koperasi dan UKM nasional untuk menghadapi persaingan sudah cukup baik “Sejauh ini Koperasi dan UKM kita untuk menghadapi persaingan ini cukup bagus. Salah satu faktor hambatan utama bagi sektor Koperasi dan UKM termasuk industri kreatif untuk bersaing dalam era pasar bebas adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM yang secara umum masih rendah (Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan). Dalam kaitan dengan semakin ketatnya persaingan usaha, industri kecil manufaktur di Indonesia harus memaknai bahwa sukses bersaing organisasi bisa dicapai dengan pengelolaan SDM (karyawan) potensial yang dimilikinya. SDM bisa dijadikan sebagai sumber keunggulan kompetitif lestari serta tidak mudah ditiru pesaing karena sukses bersaing yang diperoleh dari pengelolaan SDM secara efektif tidak setransparan menge-lola SDM lainnya. Proses pelaksaaan Human Capital Management pada industri kecil manufaktur harus dimulai dengn memperhatikan Stakeholder dengan menempatkan “masyarakat” termasuk didalamnya adalah “karyawan”, serta penempatan “etika bisnis” merupakan Balancing terhadap kemungkinan negatif dari implementasi Human Capital Management. HC mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. HC adalah salah satu komponen dari Intellectual Capital selain Structural Capital dan Relational Capital. Sejumlah pihak juga menilai hingga saat ini pemerintah belum mempunyai kebijakan yang komprehensif menghadapi MEA yang sudah berjalan ini. Padahal, negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Thailand sudah mempunyai strategi khusus agar 47 negara mereka bisa mengambil keuntungan optimal di pasar bebas ASEAN tersebut. Menghadapi dan menjalani MEA 2016 ini, Indonesia tampaknya belum mampu melakukan dengan baik terkait dengan pembenahan Human Capital (HC). Hal tersebut terlihat dalam indikator Human Development Index (HDI) 2013 yang dirilis UNDP (United Nations Development Programme), Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluar-kan Transparency International, dan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/ GCI) 2013–2014 yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF). Dari sisi kekuatan human capital, Indonesia terbilang masih tertinggal dengan beberapa negara tetangga. Angka HDI Indonesia terbilang masih rendah, yakni hanya sebesar 0,62 dan tergabung dalam kelompok negara dengan HDI kategori medium human development. HDI nya masih berada jauh di bawah Singapura (0,89) dan Brunei (0,85) yang mampu tampil sangat maju dalam kelompok negara dengan HDI kategori very high human development. Malaysia juga juga cukup jauh di atas Indonesia dengan HDI sebesar 0,76 dan tergolong dalam kategori negara high human development. Terkait dengan pembenahan Human capital di atas yang merupakan salah satu dimensi dari Intellectual capital serta rangkaiannya dengan knowledge management, merupakan fokus kajian dalam penelitian ini. Alasan yang mendukung yaitu sub sektor yang kompetensinya lebih banyak porsinya dalam tataran Intellectual Capital dan Knowledge Management, sebagaimana dapat dipahami melalui gambar berikut. Dimana kompetensi dalam cakupan Intangible Based (Intangible Asset) yang merupakan ranah dalam Intellectual Capital adalah sub sektor: (Film, Video, Foto grafi), (TV & Radio), (Musik), (Periklanan), (Game interaktif), (IT & Software). 48 Gambar 1.2. Potensi Kompetensi Intensitas Tangibel/Intangible Based Sumber : Menparekraf, Mari Elka Pangestu Dalam News Letter Informasi Pemasaran Pariwisata 2012 Dari gambar tersebut di atas, sub sektor industri kreatif yang kompetensinya lebih banyak porsinya dalam tataran knowledge management dan intellectual capital terletak pada sub sektor dimana kompetensi dalam cakupan Intangible Based (Intangible Asset) yang merupakan ranah dalam Intellectual Capital adalah sub sektor: (Film, video, Foto grapie), (TV & Radio), (Musik), (Periklanan), (Permainan interaktif), (Komputer dan piranti lunak). Dalam sub sektor tersebut lebih menekankan intensitas sumberdaya mulai media, seni budaya, desain hingga IPTEK, dimana lebih terkait dengan implementasi Knowledge Management dan 49 Intellectual Capital yang lebih mengacu Intangible Based dari pada Tangible Based. Terkait dengan Intangible Based ini perhatian dalam Human capital harus lebih intens dan berkelanjutan. 1.4. Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di gap penelitian di atas, masalah penelitian ini adalah: bagaimanakah kinerja industri kreatif tergantung dari knowledge management, intellectual capital, dan knowledge broker . 1.5. Persoalan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah dalam penelitian tersebut, maka persoalan penelitian ini adalah: (1) Apakah knowledge management yang digunakan mempunyai pengaruh positif terhadap intellectual capital industri kreatif?. (2) Apakah intellectual capital yang dimiliki mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja Industri kreatif?. (3) Apakah knowledge management yang digunakan mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja industri kreatif?. (4) Apakah tingkat pemanfaatan knowledge broker dapat memoderasi pengaruh antara knowledge management dengan intellectual capital industri kreatif? 1.6. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah dan persoalan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pengaruh Knowledge Management yang digunakan terhadap intellectual capital industri kreatif. (2) Menganalisis pengaruh intellectual capital yang dimiliki terhadap kinerja Industri kreatif. (3) Menganalisis pengaruh knowledge management yang digunakan 50 terhadap kinerja industri kreatif. (4) Menganalisis peran moderasi memanfaatkan Knowledge Broker dalam hubungan antara knowledge management dengan intellectual capital industry kreatif. 1.7. Manfaat Penelitian Manfaat Pengetahuan a) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat khususnya pengetahuan yang terkait knowledge management, intellectual capital, dan knowledge broker. b) Memberikan sumbangan pemikiran dan pengayaan teori-teori dalam lingkup resources based view, terutama intellectual capital serta konsep knowledge broker dan industri kreatif yang mendasarkan pada kajian intangible based. Manfaat Praktis a) Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah cq. Dinas Perindustrian Perdagangan dan UMKM sebagai pihak pengambil kebijakan khususnya dalam pengambilan keputusan dalam bidang industri kreatif. b) Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola/ pemilik industri kreatif dalam keterkaitannya dengan pemanfaatan knowledge management dan knowledge broker. 51