D_922013022_BAB I

advertisement
Bab Satu
Pendahuluan
Latar Belakang
Inovasi dan kreativitas merupakan kunci utama organisasi untuk bisa
sukses dan sanggup bertahan di era globalisasi. Inovasi dan kreativitas
menunjukkan kemampuan melakukan pembaruan yang tidak hanya muncul
dalam aneka bentuk dan fungsi produk dan jasa namun juga dalam berbagai
unsur bisnis misalnya terkait dimensi waktu (misalnya manajamen
persediaan dan time to market) dan ruang (pilihan cerukan pasar yang tidak
terbaca pihak lain). Menurut Thomas, and Scarborough (1996) : “Creativity is
the ability to develop new ideas and to discover new ways of looking at
problems and opportunities”. Kreatifitas adalah kemampuan untuk
mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam
memecahkan persoalan dan menghadapi peluang. Adapun inovasi
merupakan innovation is the ability to apply creative solutions to those
problems and opportunities to enhance or to enrich people 's live. Inovasi
merupakan kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan
persoalan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan.
25
Konsep kreativitas dan konsep inovasi lebih sering bersama-sama daripada
dibicarakan sendiri-sendiri.
Inovasi dan kreativitas menjadi makin krusial dalam konteks ekonomi kreatif
yang kini berkembang dan ditopang oleh sejumlah sektor industri yang
disebut industri kreatif. Ini terlihat misalnya pada definisi industri kreatif
“Those industries which have their origin in individual creativity, skill and
talent and which have a potential for wealth and job creation through the
generation and exploitation of intellectual property” (Diambil dari definisi UK
Department of Culture, Media and Sport, 1998 dalam Carr, 2009).
Modal utama dari industri kreatif (UKM kreatif) adalah ide kreatif
yang diolah di dalam otak manusia. Sarana produksi utama dari industri
kreatif (UKM kreatif) adalah gagasan/ ide/ pengetahuan, serta proses
utamanya yaitu menciptakan dan mengolah gasan/ide/pengetahuan
tersebut menjadi produk/jasa yang bernilai tinggi bagi pembeli.
Sejak berkembang konsep industri kreatif ini memberikan kontribusi
signifikan bagi perekonomian-perekonomian nasional. Menurut Pangestu
(2008) : Industri kreatif yang merupakan determinan ekonomi kreatif ini
diyakini dapat menjawab tantangan permasalahan dasar jangka pendek dan
menengah: (1) relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis (ratarata hanya 4,5% per tahun); (2) masih tingginya pengangguran (9-10%),
tingginya tingkat kemiskinan (16-17%), dan (4) rendahnya daya saing industri
di Indonesia. Selain permasalahan tersebut, ekonomi kreatif ini juga
diharapkan dapat menjawab tantangan seperti isu global warming,
pemanfaatan energi yang terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi
karbon, karena arah pengembangan industri kreatif ini akan menuju pola
industri ramah lingkungan dan penciptaan nilai tambah produk dan jasa yang
26
berasal dari intelektualitas sumber daya insani yang dimiliki oleh Indonesia,
dimana intelektualitas sumber daya insani merupakan sumber daya yang
terbarukan.
Di Korea Selatan, industri kreatif sejak 2005 menyumbang lebih besar
daripada manufaktur. Sedangkan di Singapura ekonomi kreatif menyumbang
5% terhadap PDB atau US$ 5,2 miliar (Zumar, 2013). Akibat dipandang
semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian,
berbagai pihak berpendapat bahwa Produksi pengetahuan melalui
kreativitas dan inovasi merupakan tulang punggung sumber daya ekonomi
utama pada abad ke 21.
Indonesia pun mulai melihat bahwa sektor industri kreatif
merupakan sektor industri yang potensial untuk dikembangkan. Jika dilihat
dari sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, kreativitas masyarakat
Indonesia dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Hal ini
tampak dari karya anak bangsa yang diakui oleh komunitas internasional.
Oleh karena itu, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6
Tahun
2009
tentang
Pengembangan
Ekonomi
Kreatif,
pemerintah
menetapkan 14 sektor sebagai tulang punggung ekonomi kreatif. Ke-14
sektor ekonomi kreatif terdiri dari : Periklanan, Arsitektur, Pasar Seni dan
Barang Antik, Kerajinan, Desain, Fashion, Video-Film-dan Fotografi,
Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan dan Percetakan,
Layanan Komputer dan Piranti Lunak, Televisi dan Radio, Riset dan
Pengembangan.
Industri kreatif Indonesia kini berkembang menjadi sektor ekonomi
pendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Data menunjukkan bahwa
kontribusi ekonomi kreatif pada pendapatan domestik bruto rata-rata 7,8%
27
per tahun dan menyerap tenaga kerja sekitar 7,4 juta orang. Sejak 2004
sampai 2010 ekspor industri kreatif mengalami peningkatan dengan rata-rata
pertumbuhan tahunan tertinggi 12 % dan mencatat nilai ekspor 131 trilyun
rupiah pada
2010, dan diharapkan pada tahun 2025 industri kreatif
menyumbang 11% pada PDB dan 12-13% untuk ekspor (Executive Summary
Pemetaaan Industri Kreatif, 2006). Di tingkat lokal, di Surabaya misalnya,
industri kreatif berkontribusi sekitar 7% dari total Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Surabaya. Dengan pertumbuhan seperti itu, saat ini Indonesia
tercatat menempati peringkat ke‐43 di Economic Creativity Index Ranking
yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (Ketua Bidang Industri
Kreatif, Teknologi Informasi, dan Media Hipmi Jawa Timur, SURYA Online,
26/2/2013).
Kemajuan dan peran sentral industrif kreatif yang seperti itu telah
menarik perhatian para peneliti untuk mengkaji berbagai fenomena di
dalamnya, misalnya dalam hal kemampuan melahirkan inovasi. Dalam hal
itu, ada banyak sekali studi yang telah dilakukan dan di sini hanya akan
disampaikan sebagian kecil darinya. Riset Muller, Christian dan Truby (2008)
misalnya menganalisis peran utama industri kreatif dalam inovasi produk
barang dan jasa. Industri kreatif digambarkan sebagai kegiatan ekonomi yang
berkeyakinan penuh pada kreativitas individu dalam industri kecil. Sejalan
dengan temuan itu, studi Müller dan Rammer (2008) menunjukkan bahwa
industri kreatif tidak hanya didasarkan pada sumber kreativitas, tetapi juga
menunjukkan kinerja yang kuat dalam inovasi teknologi dan dengan
demikian secara langsung berkontribusi dengan tingkat inovasi industri
dalam perekonomian dalam hal produk teknologi baru, proses baru dan hasil
R & D.
28
Berpijak dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa pentingnya
keberadaan industri kreatif sangat dibutuhkan dalam menompang
pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam peningkatan PDB maupun
penyerapan tenaga kerja atau perluasan lapangan kerja baik dalam tataran
Nasional maupun Internasional.
Argumentasi terkait mengapa industri kreatif serta kreativitas,
keterampilan, bakat yang dimiliki oleh pelaku industry menjadi sedemikian
penting telah disampaikan misalnya oleh Pink (2006). Pink mengatakan
bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang
sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak
melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty,
design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning. Sektor
seperti tersebut banyak berada pada industri kreatif yang mengandalkan
kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, imajinasi, dan
bakat yang diperlukan. Sebagai bandingan sektor industri manufaktur dan
informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri yang berpikir
linier, mekanistik, rutin/hafalan dan parsial. Ini membawa konsekuensi dan
memberikan tantangan baru bagi negara-negara maju yang selama ini lebih
memfokuskan pendidikan pada pengembangan otak kiri manusia untuk
merevisi strategi pendidikannya. Misalnya tujuan pendidikan di Korea
Selatan di abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas
sebagai prioritas utama. Di Singapura sejak 2005, sistem pendidikannya
dinamakan “holistic education” yaitu membangun moral anak didik,
intelektual, sosial dan estetika. Untuk mencapai kinerja unggul, industri
kreatif membutuhkan di antaranya sumber daya manusia (SDM) yang
kompeten yaitu SDM yang berbasis pengetahuan (knowledge-based workers)
29
yang menguasai lebih dari satu keterampilan (multiskilled worker).
Sumberdaya manusia merupakan salah salah satu dari sumberdaya yang
menopang keunggulan bersaing yang sustainable (sustainable competitive
advantage/SCA), sebagaimana diargumentasikan oleh para ahli strategi dari
kelompok resource-based view (RBV).
Resource-based view (RBV) memandang bahwa kemampuan bersaing
organisasi merupakan fungsi dari keunikan serta nilai dari sumberdaya dan
kapabilitas yang dimiliki oleh organisasi (Peteraf dan Barney, 2003). Sumber
daya atau resources mengacu kepada ketersediaan berbagai sumber daya
yang dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan (Amit dan Scoemaker, 1993).
Teori resource-based memandang bahwa semua sumber daya dan
kapabilitas yang bernilai, jarang, sulit ditiru, dan tidak tergantikan yang ada
dalam perusahaan sangat diperlukan untuk dapat mempertahankan SCA
sehingga pada akhirnya berkontribusi terhadap kinerja perusahaan (Henri,
2006) dan SDM adalah salah satu sumber daya yang memenuhi kriteria itu.
Di luar SDM, asset-asset lunak (soft assets) lainnya sangat potensial untuk
menjadi sumber SCA.
Pada umumnya sebagian besar perusahaan lebih fokus pada assetasset yang berwujud (tangible asset), kurang memperhatikan pada asset tak
berwujud (intangible asset). Salah satu intangible assets penopang SCA
adalah intellectual capital (IC). IC dinilai merupakan sumber daya kunci dan
penggerak (driver) atas kinerja serta penciptaan nilai perusahaan (Cheng et
al., 2010). McShane dan Von Glinow (2005) juga mengatakan bahwa
Intellectual capital sebagai penggabungan dari berbagai assets yang dimiliki
organisasi memberikan competitive advantage bagi organisasi.
30
Intellectual capital terdiri dari 3 elemen utama yaitu human capital,
structural capital, dan relational capital (Bontis, 2001; McShane dan von
Glinvow, 2005). Sumber daya manusia sebagai modal insani (human capital)
hanya merupakan salah satu komponen dari intellectual capital. Human
capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan
solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang
ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika
perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh
karyawannya.
Sedangkan
structural capital
merupakan kemampuan
organisasi dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya
untuk mendukung usaha karyawan dalam menghasilkan kinerja intelektual
yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, dan semua bentuk
intellectual property yang dimiliki perusahaan (Bontis, 2001). Relational
capital (Bontis, 2001) merupakan hubungan yang harmonis (association
network) yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang
berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari
pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang
bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah
maupun dengan masyarakat sekitar.
Penelitian yang terkait dengan intellectual capital tidak sedikit dan
terus berakumulasi. Riset-riset IC awal sebagian lebih fokus mengkaji
Intellectual Capital dalam perspektif akuntansi dan keuangan sebagaimana
yang dilakukan beberapa peneliti dengan beberapa tema kajian seperti :
hubungan antara intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan
multinasional (Belkaoui, 2003); hubungan antara intellectual capital dengan
nilai pasar dan kinerja keuangan (Chen et al., 2005); hubungan antara
31
intellectual capital disclosure dan market capitalization (Abdolmohammadi,
2005); dan dampak intellectual capital pada capital gain investor di saham
(Appuhami, 2007); mengelola modal intelektual dalam pasar tertutup
(Malinowska – Olszowy, 2012); keterkaitan antara komponen modal
intelektual terhadap nilai perusahaan (Naidenova dan Oskolkova, 2012).
Perkembangan penelitian dalam konteks IC semakin banyak terutama
keterkaitannya dengan kinerja perusahaan yang hingga kini terus
berkembang. Sebagaimana yang dilakukan beberapa peneliti dengan tema
kajian : keterhubungan antara intellectual capital dengan business
performance (Bontis, N. et al., 2007); hubungan melalui investigasi kualitatif
persepsi intellectual capital (Lennox, 2012); evaluasi terjadinya dan
manajemen modal intelektual (Malinowska – Olszowy, 2012); mengukur
modal intelektual di UKM (Matos, Lopes dan Nuno, 2012); variabel dalam
intellectual capital berhubungan dengan kinerja perusahaan (Cabrita dan
Bontis (2007). Perkembangan penelitian di atas sudah mulai berkembang
pada kajian Intellectual Capital dalam keterkaitannya dengan kinerja
perusahaan, dan dalam obyek UKM.
Beberapa penelitian intellectual capital mulai berkembang dalam
kajian yang lebih koprehensif sebagaimana yang dilakukan dengan tema
kajian sebagai berikut : dinamika intellectual capital (Ammann, 2012 ); moda
lintelektual di dunia ekonomi informasi (Adrian, 2010); pemodelan
intellectual capital (Agoston dan Dima, 2012); model pengukuranI IC di UKM
(Santos et al., 2012). Dari perkembangan penelitian di atas sudah bergeser
ke arah penelitian yang mempunyai arah multi kajian, tidak hanya fokus
dalam kajian akuntansi dan finansial namun sudah memasuki dalam bidang
32
lain baik dalam bidang informasi, bidang marketing, bidang perkotaan dan
bidang lainnya.
Intellectual capital dalam organisasi tercipta sebagai akibat dari
adanya manajemen pengetahuan yang sistematis dan kokoh. Dalam hal ini
Marr et al., (2003) berargumen bahwa manajemen pengetahuan merupakan
aktivitas dasar dari pertumbuhan dan kemampuan untuk mempertahankan
intellectual capital, maka pengelolaan dan efek dari intellectual capital dalam
organisasi sangat bergantung pada proses-proses manajemen pengetahuan.
Dengan demikian, kemampuan perusahaan untuk mengelola pengetahuan
sebagai asset dasar dengan baik menjadi faktor penting bagi kinerja
organisasi melalui pembentukan asset-asset strategis lainnya, termasuk
intellectual capital.
Posisi strategis manajemen pengetahuan dalam konteks pengelolaan
dan kinerja organisasi juga telah dijelaskan oleh ahli-ahli lainnya. Nonaka dan
Takeuchi (1995) misalnya ketika mengamati perusahaan-perusahaan di
Jepang berkesimpulan bahwa kesuksesan perusahaan bergantung pada
pengelolaan/
penciptaan
pengetahuan
(management/
creation
of
knowledge) pada organisasi. Marr et al (2003) berargumen bahwa
knowledge management yang baik dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas bagi organisasi. Hal yang serupa disampaikan oleh Sangkala (2007)
: manajemen pengetahuan terkait dengan peningkatan efektivitas organisasi.
Manajemen pengetahuan dipercaya dapat memberikan kontribusi kepada
vitalitas dan kesuksesan perusahaan. Sementara itu Nonaka & Takeuchi
(1995): KM adalah alat manajemen yang membenarkan keyakinan bahwa
pengetahuan menjadi aset untuk meningkatkan kapasitas organisasi agar
mampu bekerja lebih efektif.
33
Mengelola pengetahuan dapat dilakukan lewat pengenalan hubungan
yang sinergik antara pengetahuan tacit dan pengetahuan explicit. Bryan
Bergeron (2003) menjelaskan KM merupakan management tools untuk
mendorong berhasilnya strategi usaha perusahaan, guna memaksimalkan
pencapaian kinerja perusahaan, melalui pendekatan yang sistematik dalam
mengelola
intellectual
capital
perusahaan
sehingga
perusahaan
memiliki competitive advantages. Al-Hawamdeh (2003) mendefinisikan
knowledge
management
sebagai
sebuah
proses
mengidentifikasi,
mengorganisasi, dan mengatur sumber daya pengetahuan. Davenport dan
Prusak (1998) mendefinisikan KM sebagai sebuah upaya untuk mencatat
pengetahuan eksplisit faktual dan pengetahuan taksit yang ada di dalam
perusahaan untuk mencapai objektif bisnis. KM memberikan informasi yang
tepat kepada orang yang tepat pada saat yang tepat. KM mengubah
pengalaman dan informasi menjadi hasil.
Pengelolaan KM pada perusahaan-perusahaan yang semakin maju
makin banyak melibatkan penggunaan teknologi. Seiring dengan berjalannya
waktu
teknologi
yang
mendukung
knowledge
management
selalu
berkembang dalam bentuk sistem-sistem yang mempermudah proses
penyebaran knowledge. Mereka menganggap bahwa inovasi, penggunaan
teknologi internet, dan pemanfaatan IT dapat dikembangkan dengan
pemanfaatan KM. Artinya KM mempunyai peran yang sangat dominan dalam
transfer pengetahuan dalam meningkatkan inovasi.
Banyak penelitian yang terkait dengan KM pada perusahaan dalam
konteks transfer pengetahuan dan teknologi sebagaimana dilakukan
beberapa peneliti dengan tema : manajemen pengetahuan dengan model
teknologi (Money danTurner, 2005); memberdayakan UKM melalui
34
penggunaan inovasi
teknologi (Dai dan Uden, 2008); manajemen
pengetahuan yang sukses di perusahaan software global, (Mehta, 2008).
Penelitian di atas lebih banyak mengkaji penggunaan KM dalam aspek
transfer pengetahuan dalam teknologi, hingga kini kajian-kajian aspek
tersebut masih terus dilakukan penelitian.
Dalam perkembangannya penelitian yang terkait dengan konteks KM
mulai menempatkan KM sebagai variabel moderasi/dimoderasi atau
mediasi/dimediasi dengan/oleh variabel lain. Sebagaimana beberapa
penelitian dengan tema mempelajari pengaruh manajemen pengetahuan
terhadap kinerja bisnis (Mahmoodsalehi dan
hubungan
Jahanyan, 2009); menguji
proses manajemen pengetahuan dan kinerja organisasi, dan
menganalisis efek mediasi modal intelektual pada hubungan antara proses
manajemen pengetahuan dan kinerja organisasi (Daud dan Yusoff, 2011);
peran mediasi knowledge management dalam hubungannya organizational
culture, structure, strategy, dan organizational effectiveness (Wei, Yang, dan
McLean, 2009); peran knowledge process capability sebagai mediator
hubungan antara intellectual capital dengan organizational effectiveness
(Hsu dan Mykytyn Jr., 2006).
Penelitian di atas menempatkan posisi KM dalam dua kelompok, yang
pertama sebagai variabel independent dalam hubungannya dengan variabel
lain (Mahmoodsalehi dan Jahanyan (2009); Daud dan Yusoff (2011).
Sedangkan kelompok kedua menempatkan KM sebagai variabel Intervening
(Wei, Yang, dan McLean (2009); Hsu dan Mykytyn Jr., (2006).
Sebagaimana dibahas di depan bahwa knowledge management (KM)
meliputi penciptaan, pengelolaan serta mendistribusikan informasi dan
pengetahuan tersebut agar berguna bagi peningkatan sumber daya (modal)
35
perusahaan.
Ketika proses manajemen pengetahuan dalam organisasi
mendorong karyawan-karyawannya untuk selalu saling belajar, karyawan
memiliki informasi dan pengetahuan yang diperlukan untuk beradaptasi atas
keadaan organisasi yang terus berubah. Dengan adanya KM, karyawan dapat
belajar lebih baik, karyawan dapat lebih siap atas perubahan karyawan
merasa lebih baik karena pengetahuan yang diperoleh dan peningkatan
keterampilan serta dampaknya meningkatkan kinerja perusahaan. Dampak
langsung KM pada kinerja organisasi muncul ketika pengetahuan digunakan
untuk menciptakan produk inovatif yang dapat meningkatkan pendapatan
dan keuntungan.
Hal ini sesuai dengan kajian peneliti terdahulu Mills dan Smith (2011)
serta Zaied, Hussein, dan Hassan (2012). Mills dan Smith (2011) meneliti dari
sumber daya knowledge management pada kinerja perusahaan, tujuannya
untuk menunjukkan knowledge management berdampak pada kinerja
perusahaan. Sedangkan Zaied, Hussein, dan Hassan (2012) meneliti peran
pengelolaan pengetahuan dalam meningkatkan kinerja perusahaan di
beberapa perusahaan Mesir dengan hasil yang menunjukkan hubungan
positif antara knowledge management dan kinerja perusahaan (R = 0,69).
Selaras dengan hal tersebut didukung pernyataan Azadehdel et al., (2013),
hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara KM (tacit
pengetahuan) dan inovasi kualitas dan juga di antara kualitas inovasi dan
kinerja perdagangan dan manufaktur perusahaan di provinsi Guilan.
Menyimak kembali bahasan di depan bahwa proses KM yang
sistematis akan menghasilkan intellectual capital yang baik. Kajian dari
Nazem (2012) : hasil analisis jalur dengan menggunakan software LISREL
menunjukkan bahwa dimensi manajemen pengetahuan memiliki efek
36
langsung pada modal intelektual.
Pendapat yang sama dari Hsu dan
Sabherwal (2011) mendukung bahwa dampak manajemen pengetahuan
pada modal intelektual.
Terkait dengan perubahan intellectual capital perusahaan sebagai
akibat perubahan knowledge management, dapat diperoleh melalui peran
pihak lain. Pihak lain atau pihak terkait tersebut berperan penting sebagai
komunikator serta komunikan yang menyampaikan pesan tertentu
(Jakobson, 1960). Pihak-pihak komunikator tersebut terdiri dari tiga yaitu (1)
Peneliti, (2) Industri Pengguna, dan (3) Lembaga Intermediasi (Anonim,
2011). Beberapa sebutan lain yang menunjukkan peran tersebut antara lain
“pihak ketiga”, “broker”, atau “knowledge broker ”. ‘Pihak ketiga’ merupakan
sebutan individu maupun organisasi yang dapat mengintervensi proses
pengambilan keputusan organisasi lain (Mantel dan Rosegger, 1987);
merupakan agen yang memfasilitasi difusi pengetahuan (Aldrich dan Glinow,
1992). Seorang broker pengetahuan (Hargadon, 1998), adalah perantara
(sebuah organisasi atau seseorang), yang bertujuan untuk mengembangkan
hubungan dan jaringan dengan, antara, dan antara produsen dan pengguna
pengetahuan
dengan
menyediakan
hubungan,
sumber-sumber
pengetahuan, dan dalam beberapa kasus pengetahuan itu sendiri, (misalnya
pengetahuan dalam bersikap, pengetahuan dalam kompetensi dan edukasi,
pengetahuan dalam memberikan pelayanan kepada konsumen maupun
pelanggan, pengetahuan dalam jejaring mitra kerja). Pengetahuanpengetahuan yang dihasilkan tersebut sebagai modal intelektual perusahaan
(intellectual capital).
Kajian studi yang terkait dengan knowledge broker (KB) sangatlah
terbatas, namun demikian studi yang terkait dengan KB dapat ditemukan
37
dengan konteks yang berbeda sebagaimana yang dilakukan beberapa
peneliti dengan tema :
Dalam bidang kesehatan masyarakat : dalam
penelitian terapan pelayanan kesehatan, dan ilmu sosial (Kitson, Harvey dan
Mc Cormack, 1998); Brownson, Gurney dan Land (1999); Hartwich dan
Oppen (2000); Verona, Prandelli dan Sawhney (2006); Lavis (Winter 2006);
Lyons, Warner, Langille dan Phillips (2006); jembatan atau perantara
pengetahuan (Lomas (2007); penelitian bersama dengan berbagai sumber
lain (Kammen, Savigny dan Sewankambo (2006); Robeson, Paula, Dobbins,
dan Decorby (2008). Menggunakan broker pengetahuan untuk memfasilitasi
pertukaran pengetahuan (Bowers, Kalucy, dan McIntyre (2006).
Adanya peran aktif knowledge broker dalam proses manajemen
suatu organisasi menunjukkan bahwa lembaga intermediasi jelas merupakan
bagian dari suatu sistem inovasi, termasuk sistem inovasi nasional. Dapat
dipahami bahwa knowledge broker masuk dalam bagian aliran informasi dan
ilmu pengetahuan tersebut. Knowledge broker juga dapat berperan aktif
untuk meningkatkan kualitas aliran informasi tersebut, salah satunya dengan
menjembatani proses komunikasi antar organisasi, terutama antara peneliti/
perusahaan/ pemerintah/ pakar sebagai pemberi pengetahuan dengan pihak
industri pengguna.
1.2. Identifikasi Gap Penelitian
1.2.1. Perbedaan Model dari Beberapa Studi Terdahulu
Studi dalam konteks industri kecil memang tidak sedikit, akan tetapi
industri kecil yang lebih mengeksplorasi pada konteks industri kreatif sangat
terbatas. Jika diketemukan pun dengan model riset yang tidak mendasarkan
pada kajian kompetensi intensitas tangibel/intangible based. Studi ini
38
dilakukan pada konteks industri kreatif untuk menguji kaitan beberapa
variabel yakni knowledge management dan intellectual capital, dan kinerja
industri kreatif serta knowledge broker.
Nazem (2012) melakukan studi tentang pengaruh knowledge
management terhadap intellectual capital yang akan dijadikan pembanding.
Ada beberapa perbedaan studi ini dari penelitian Nazem (2012). Pertama,
Nazem (2012) untuk mengukur KM menggunakan dasar indikator reflektif
dengan 10 indikator (Sallis dan Jones, 2002), sedangkan dalam studi ini
knowledge management diukur dengan menggunakan dimensi (people,
process, technology) dengan 9 indikator (Godbout, 2000). Hal lainnya yang
menjadikan perbedaan dari Nazem (2012) adalah objek atau konteks
penelitian, dimana Nazem (2012) mengkaji pada sebuah universitas
sedangkan penelitian ini dengan konteks industri kreatif. Kesamaannya
adalah dalam variabel intellectual capital sama-sama menggunakan konsep
Bontis (1997) yang terdiri human capital, structural capital, dan relational
capital.
Sementara itu untuk memahami pengaruh antara intellectual capital
terhadap kinerja industri kreatif studi Bontis et al., (2001) yang menguji
korelasi antara intellectual capital dengan business performance dijadikan
dasar dalam studi ini. Perbedaan dari studi Bontis et al., (2001) adalah studi
tersebut dilakukan pada sektor pharmasi, sedangkan penelitian ini pada
konteks industri kreatif. Gap lainnya adalah bahwa Bontis et al., (2001)
menempatkan intellectual capital dengan komponen-komponennya human
capital, structural capital, dan relational
capital
secara
langsung
mempengaruhi kinerja bisnis. Studi ini menggunakan Skandia Model yang
39
dikembangkan oleh Edvinson (1997) yang menempatkan human capital,
structural capital, dan relational capital sebagai dimensi.
Terkait peran knowledge broker, pengaruh antara knowledge
management terhadap intellectual capital menggunakan dasar penelitian
dari Ziam etal., (2009). Perbedaan sebagai gap penelitian adalah pada objek/
kontek penelitian, dimana Ziam et al., (2009) mengkaji pada objek pelayanan
kesehatan yang bertujuan memainkan peran penting dalam pembaharuan
pengetahuan mendukung perawatan yang berkualitas dan alokasi resources.
Keterhubungan masing-masing variabel tersebut di atas adalah
secara parsial, padahal dibutuhkan sebuah model terjadi sebagai akibat
keterhubungan yang bekesinambungan yang dapat menjadikan solusi
sebuah masalah penelitian.
Dari uraian diatas, keterhubungan dari masing-masing variabel tersebut akan
menghasilkan sebuah model yang belum pernah ditemukan. Model tersebut
itulah yang diyakini sebagai hal yang mutakhir dalam model intangible based
dalam industri kreatif.
1.2.2. Masih Minimnya Kajian Intellectual Capital dalam Konteks Industri
Kreatif
Peran IC tidak hanya dibutuhkan dalam instansi pemerintah, swasta
maupun pendidikan, namun justru dalam usaha yang sifatnya memerlukan
kemampuan art, design, fesyen, visualisation, audio sangat membutuhkan
peran IC dalam meningkatkan kinerja industri kreatif. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Daniel Pink (2006), mengatakan bahwa sektor-sektor
yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh
negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan
40
kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play,
story, humor, symphony, caring, empathy and meaning. Sektor tersebut di
atas dibutuhkan dalam sektor industri kreatif yang penuh dengan substansi
kreativitas dan inovasi, sehingga peran IC sangat dibutuhkan dalam konteks
industri kreatif yang belum dapat diketemukan pada penelitian sebelumnya.
1.2.3.
Masih
Minimnya
Kajian
Knowledge
Management
dalam
Hubungannya dengan Kinerja Industri Kreatif
Kinerja tidak hanya dihasilkan oleh organisasi/ perusahaan besar saja,
namun juga dihasilkan oleh UKM termasuk industri kreatif sebagai cerminan
hasil/ karya usaha kecil tersebut. Karya UKM yang kreatif tersebut
mempunyai kekhususan yang unik, kreatif, beda, inovatif yang didasari oleh
pengetahuan seni, disain, komposisi, konfigurasi, fisualisasi, hingga rekayasa
animasi. Kekhususan unik tersebut yang dimiliki oleh industri kreatif, kondisi
demikian membutuhkan pengelolaan pengetahuan (KM) yang kokoh.
Hal tersebut sebagaimana rujukan penelitian yang terkait dengan konteks
KM dengan kinerja bisnis. Mempelajari pengaruh manajemen pengetahuan
terhadap kinerja bisnis sebagai variabel moderat (Mahmoodsalehi, dan
Jahanyan, 2009); menguji hubungan antara manajemen pengetahuan proses
dan kinerja organisasi, dan untuk menganalisis efek mediasi modal
intelektual pada hubungan antara proses manajemen pengetahuan dan
kinerja organisasi (Dauddan Yusoff ,2011); mengetahui kemampuan
knowledge process capability berperan sebagai mediator hubungan antara
intellectual capital dengan organizational effectiveness (Hsu, Mykytyn Jr.
41
2006). Dari uraian di atas belum nampak adanya keterkaitan antara KM
dengan kinerja industri kreatif.
1.2.4. Minimnya Kajian Knowledge Broker dalam Konteks Industri Kreatif
Kajian penelitian knowledge broker sepengetahuan peneliti belum
pernah ditemukan. Jikapun akhirnya ditemukan, namun pada konteks kajian
kesehatan ataupun pada konteks lain yang secara kuantitatif masih terbatas.
Padahal penelitian aspek lain di luar kesehatan memerlukan kajian KB yang
lebih luas dan komprehensif. Mengutip rujukan dari Parjanen, Melkas dan
Uotila, (2010),: Broker pengetahuan yang sukses dan peningkatan kapasitas
penyerapan mempunyai peranan yang besar, namun memerlukan
pendekatan holistic untuk seluruh proses inovasi dan lingkungan yang lebih
luas. Pertumbuhan industri kreatif sudah barang tentu menghadapai banyak
tantangan dan kendala. Kendala dalam meningkatkan kemampuan
(knowledge dan intellectual) salah satu hal yang perlu mendapat perhatian.
Peran mediator/ perantara pengetahuan (knowledge broker) dapat
membantu kendala tersebut. Hal tersebut dapat dimengerti adanya
persaingan yang ketat maupun keterbatasan sumber daya yang dimiliki
perusahaan. Kondisi demikian dibutuhkan adanya mediator/ perantara
dalam mengatasi keterbatasan tersebut di atas. Keberadaan Knowledge
Broker sudah barang tentu akan dapat meningkatkan kemampuan dan
kinerja industri/ perusahaan yang menggunakan peran KB.
1.2.5. Masih Minimnya Kajian Knowledge Broker di Indonsia
Penelitian yang mengkaji peran knowledge broker (KB) sulit
diketemukan atau sangat terbatas sekali. Jika adapun dilakukan di luar negeri
42
(British, Kolombia, Kanada, Jerman Timur, Finlandia) dengan kajian lebih
banyak di bidang teknologi dan kesehatan: Canadian
Health Services
Research Foundation (2003); Canadian health services research foundation
(2004). Padahal Indonesia sebagai Negara berkembang masih memerlukan
peran dari pihak lain khususnya para pelaku bisnis. Peran mediasi broker
pengetahuan justru banyak dibutuhkan industri kecil kreatif yang sangat
lemah dalam pengelolaan dan transformasi pengetahuan yang inovatif dan
mutakhir. Kebutuhan demikian tidak dapat diperoleh sendiri atau hanya
mengandalkan bakat keterampilan semata. Hal tersebut dikarenakan dalam
sub sektor industri kreatif syarat dengan penggunaan IT dan informasi dan
komunikasi baik dalam bidang Iklan, Video dan film, Musik, Fesyen,
Percetakan, R&D, Seni pertunjukan dan sub sektor lain yang banyak
memerlukan pengelolaan pengetahuan (KM) dan kemampuan intellectual
capital yang banyak memerlukan peran mediasi knowledge broker.
1.3. Intellectual Capital dalam Industri Kreatif di Indonesia
Pada dasarnya industri kreatif merupakan analog dengan UKM
Kreatif, artinya UKM yang menghasilkan produk berdasarkan kreativitas
individu. Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai “Industri yang berasal
dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan
dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut” (Departemen
Perdagangan RI, 2008). Sedangkan menurut UK DCMS Task Force(1998)
definisi industri kreatif yang saat ini banyak digunakan oleh pihak yang
berkecimpung dalam industri kreatif adalah “Creatives industries as those
43
industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and
which have a potential for wealth and job creation through the generation
and exploitation of intellectual property and content”.
Modal utama dari industri kreatif (UKM kreatif) adalah ide kreatif yang diolah
di dalam otak manusia. Sarana produksi utama dari industri kreatif (UKM
kreatif) adalah gagasan/ ide/ pengetahuan, serta proses utamanya yaitu
menciptakan dan mengolah gagasan/ ide/ pengeta-huan tersebut menjadi
produk/ jasa yang bernilai tinggi bagi pembeli.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai dasar
bagi seluruh pemangku kepentingan dalam mengembangkan 14 sektor
ekonomi kreatif. Sub-sektor industri kreatif tersebut: Periklanan, Arsitektur,
Pasar Seni dan Barang Antik, Kerajinan, Desain, Fashion, Video-Film-dan
Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan dan
Percetakan, Layanan Komputer dan Piranti Lunak, Televisi dan Radio, Riset
dan Pengembangan.
Dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI ke VII,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dihilangkan, dan untuk
mengakomodasi keberadaan industri kreatif yang semakin tumbuh,
pemerintah akhirnya resmi membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEK). BEK
merupakan lembaga setingkat kementerian, Kepala BEK bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. BEK yang sebelumnya merupakan bagian dari
Kementerian Pariwisata bertugas membantu Presiden dalam merumuskan,
menetapkan, mengkoordinasikan, dan melakukan sinkronisasi berbagai
kebijakan di bidang ekonomi kreatif.
44
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 6/2015 tentang BEK,
lembaga ini antara lain menyelenggarakan fungsi perancangan, perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan program di bidang ekonomi kreatif, juga
pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dalam pelaksanaan
kebijakan dan program di bidang ekonomi kreatif. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan industri kreatif berkontribusi terhadap produk domestik
bruto (PDB) pada urutan ke-9 dari 10 sektor lapangan usaha. Kontribusi
industri kreatif terhadap PDB memang masih relatif rendah, akan tetapi
menurut Adi Suryo (Ketua Bidang Industri Kreatif, Teknologi Informasi, dan
Media Hipmi Jawa Timur, SURYA Online, 26/2/2013) "Potensi untuk industri
kreatif di Jawa Timur sangat besar, bahkan industrikreatif ini mampu
memenuhi kebutuhan eksport Jawa Timur di bidang non migas," Saat ini
industri kreatif berkontribusi sekitar 7 persen dari total PDRB Surabaya.
Gambar 1.1.Rata-rata Kontribusi Subsektor kreatif terhadap Industri Kreatif
(2009-2012)
45
Sumber: Studi Industri Kreatif Indonesia 2013 Departemen Perdagangan RI
Dari 14 sektor tersebut, nilai tambah yang dihasilkan subsektor
fasyen dan kerajinan cukup dominan, berturut-turut sebesar 43,02% dan
25,12% dari total kontribusi sektor industri kreatif. Kedua jenis industri ini
menjadi
lokomotif
dalam
perkembangan
industri
kreatif
nasional.
“Kontribusi fesyen dan kerajinan jauh mengungguli kontribusi jenis industri
kecil lainnya. Baik dalam nilai tambah, tenaga kerja, jumlah perusahaan,
maupun ekspornya," (DirJen. Industri Kecil dan Menengah dalam pembukaan
pameran fashion dan kerajinan bertema "Indonesia arid Craft 2013" di
Jakarta, Kamis [27/6]. Sub sektor industri kreatif yang memprihatinkan yaitu
sub sektor ‘Seni pertunjukan’, dimana sub sektor tersebut hanya mampu
memberikan kontribusi terhadap industri kreatif secara menyeluruh hanya
sebesar 0,10%. Fenomena di atas patut untuk mendapat perhatian dari
semua pihak demi eksistensi sub sektor tersebut.
46
Realita Koperasi dan UKM nasional untuk menghadapi persaingan sudah
cukup baik “Sejauh ini Koperasi dan UKM kita untuk menghadapi persaingan
ini cukup bagus. Salah satu faktor hambatan utama bagi sektor Koperasi dan
UKM termasuk industri kreatif untuk bersaing dalam era pasar bebas adalah
kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM yang secara umum masih
rendah (Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan).
Dalam kaitan dengan semakin ketatnya persaingan usaha, industri
kecil manufaktur di Indonesia harus memaknai bahwa sukses bersaing
organisasi bisa dicapai dengan pengelolaan SDM (karyawan) potensial yang
dimilikinya. SDM bisa dijadikan sebagai sumber keunggulan kompetitif lestari
serta tidak mudah ditiru pesaing karena sukses bersaing yang diperoleh dari
pengelolaan SDM secara efektif tidak setransparan menge-lola SDM lainnya.
Proses pelaksaaan Human Capital Management pada industri kecil
manufaktur harus dimulai dengn memperhatikan Stakeholder dengan
menempatkan “masyarakat” termasuk didalamnya adalah “karyawan”, serta
penempatan “etika bisnis” merupakan Balancing terhadap kemungkinan
negatif dari implementasi Human Capital Management.
HC mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan
solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang
ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika
perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh
karyawannya. HC adalah salah satu komponen dari Intellectual Capital selain
Structural Capital dan Relational Capital. Sejumlah pihak juga menilai hingga
saat ini pemerintah belum mempunyai kebijakan yang komprehensif
menghadapi MEA yang sudah berjalan ini. Padahal, negara lain seperti
Malaysia, Singapura dan Thailand sudah mempunyai strategi khusus agar
47
negara mereka bisa mengambil keuntungan optimal di pasar bebas ASEAN
tersebut.
Menghadapi dan menjalani MEA 2016 ini, Indonesia tampaknya
belum mampu melakukan dengan baik terkait dengan pembenahan Human
Capital (HC). Hal tersebut terlihat dalam indikator Human Development Index
(HDI) 2013 yang dirilis UNDP (United Nations Development Programme),
Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluar-kan Transparency
International, dan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/
GCI) 2013–2014 yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF). Dari sisi
kekuatan human capital, Indonesia terbilang masih tertinggal dengan
beberapa negara tetangga. Angka HDI Indonesia terbilang masih rendah,
yakni hanya sebesar 0,62 dan tergabung dalam kelompok negara dengan HDI
kategori medium human development. HDI nya masih berada jauh di bawah
Singapura (0,89) dan Brunei (0,85) yang mampu tampil sangat maju dalam
kelompok negara dengan HDI kategori very high human development.
Malaysia juga juga cukup jauh di atas Indonesia dengan HDI sebesar 0,76 dan
tergolong dalam kategori negara high human development.
Terkait dengan pembenahan Human capital di atas yang merupakan
salah satu dimensi dari Intellectual capital serta rangkaiannya dengan
knowledge management, merupakan fokus kajian dalam penelitian ini.
Alasan yang mendukung yaitu sub sektor yang kompetensinya lebih banyak
porsinya dalam tataran Intellectual Capital dan Knowledge Management,
sebagaimana dapat dipahami melalui gambar berikut. Dimana kompetensi
dalam cakupan Intangible Based (Intangible Asset) yang merupakan ranah
dalam Intellectual Capital adalah sub sektor: (Film, Video, Foto grafi), (TV &
Radio), (Musik), (Periklanan), (Game interaktif), (IT & Software).
48
Gambar 1.2. Potensi Kompetensi Intensitas Tangibel/Intangible Based
Sumber : Menparekraf, Mari Elka Pangestu Dalam News Letter
Informasi Pemasaran Pariwisata 2012
Dari gambar tersebut di atas, sub sektor industri kreatif yang
kompetensinya
lebih
banyak
porsinya
dalam
tataran
knowledge
management dan intellectual capital terletak pada sub sektor dimana
kompetensi dalam cakupan Intangible Based (Intangible Asset) yang
merupakan ranah dalam Intellectual Capital adalah sub sektor: (Film, video,
Foto grapie), (TV & Radio), (Musik), (Periklanan), (Permainan interaktif),
(Komputer dan piranti lunak). Dalam sub sektor tersebut lebih menekankan
intensitas sumberdaya mulai media, seni budaya, desain hingga IPTEK,
dimana lebih terkait dengan implementasi Knowledge Management dan
49
Intellectual Capital yang lebih mengacu Intangible Based dari pada Tangible
Based. Terkait dengan Intangible Based ini perhatian dalam Human capital
harus lebih intens dan berkelanjutan.
1.4. Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di gap penelitian di atas, masalah penelitian ini
adalah: bagaimanakah kinerja industri kreatif tergantung dari knowledge
management, intellectual capital, dan knowledge broker .
1.5. Persoalan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah dalam penelitian tersebut,
maka persoalan penelitian ini adalah: (1) Apakah knowledge management
yang digunakan mempunyai pengaruh positif terhadap intellectual capital
industri kreatif?. (2) Apakah intellectual capital yang dimiliki mempunyai
pengaruh positif terhadap kinerja Industri kreatif?. (3) Apakah knowledge
management yang digunakan mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja
industri kreatif?. (4) Apakah tingkat pemanfaatan knowledge broker dapat
memoderasi pengaruh antara knowledge management dengan intellectual
capital industri kreatif?
1.6. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah dan persoalan penelitian tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pengaruh Knowledge Management
yang digunakan terhadap intellectual capital industri kreatif. (2) Menganalisis
pengaruh intellectual capital yang dimiliki terhadap kinerja Industri kreatif.
(3) Menganalisis pengaruh knowledge management yang digunakan
50
terhadap kinerja industri kreatif. (4) Menganalisis peran moderasi
memanfaatkan Knowledge Broker dalam hubungan antara knowledge
management dengan intellectual capital industry kreatif.
1.7. Manfaat Penelitian
Manfaat Pengetahuan
a) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat khususnya
pengetahuan yang terkait knowledge management, intellectual capital, dan
knowledge broker.
b) Memberikan sumbangan pemikiran dan pengayaan teori-teori dalam
lingkup resources based view, terutama intellectual capital serta konsep
knowledge broker dan industri kreatif yang mendasarkan pada kajian
intangible based.
Manfaat Praktis
a) Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah cq. Dinas
Perindustrian Perdagangan dan UMKM sebagai pihak pengambil kebijakan
khususnya dalam pengambilan keputusan dalam bidang industri kreatif.
b) Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola/
pemilik industri kreatif dalam keterkaitannya dengan pemanfaatan
knowledge management dan knowledge broker.
51
Download