BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini masalah seksualitas masih menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi sesuatu yang sangat melekat pada diri manusia, termasuk juga tunanetra. Pada masa remaja, rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pemberian informasi masalah seksual menjadi hal yang cukup penting bagi remaja termasuk juga remaja tunanetra terlebih lagi mengingat mereka berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktifitas seksual mereka sendiri (Mu’tadin, 2002). Hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Perilaku seksual pada remaja dapat teramati dalam jenis hubungan seksual seseorang. Hubungan seksual dengan lawan jenis akan diwujudkan dalam bentuk perilaku heteroseksual. Perilaku heteroseksual adalah perilaku psikoseksual dengan orientasi psikoseksual yang optimal, artinya minat seksual tertuju pada pasangan yang berlainan jenis (Imami, 2006). Perilaku heteroseksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, berkencan, berpegangan 1 2 tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada di atas baju, memegang buah dada di balik baju, memegang alat kelamin di atas baju, memegang alat kelamin di bawah baju, dan melakukan senggama (Sarwono, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Taufik (2005), mengenai perilaku heteroseksual remaja dengan sampel berjumlah 1.250 orang, berasal dari 10 SMU yang terdiri dari 611 laki-laki dan 639 perempuan menyatakan bahwa sebagian besar remaja pernah melakukan ciuman bibir 10,53%, melakukan ciuman dalam 5,6%, melakukan onani atau masturbasi 4,23%, dan melakukan hubungan seksual sebanyak dengan pacarnya (di luar nikah) sebanyak 3,09%. Karena secara psikologis tunanetra remaja mengalami perkembangan sistem, fungsi dan proses reproduksi secara normal, maka tidak menutup kemungkinan jika remaja tunanetra juga dapat memiliki perilaku heteroseksual yang menyimpang pula, dalam arti tidak sesuai dengan normanorma yang berlaku di masyarakat kita saat ini. Terlebih pada jaman globalisasi ini, kemajuan teknologi mempermudah para tunanetra untuk mengakses bahkan menciptakan media yang dapat menumbuhkan hasrat seksualnya. Sebab menurut Taufik (2005), faktor yang mempengaruhi perilaku-perilaku tersebut kebanyakan adalah fakor lingkungan seperti VCD, buku, dan film porno. Menurut Rohmahwati (2008) paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah. 3 Saat ini banyak pula media-media porno khusus dibuat untuk dikonsumsi oleh tunanetra, seperti gambar yang dibuat dengan kumpulan titititik seperti braile karya Lisa J Murphy (Noorastuti, 2011). Gambar yang dibuat oleh Lisa J. Murphy tersebut tidak hanya menyajikan gambar sensual bertekstur, tapi juga penjelasan berbahasa Inggris tentang masing-masing bagian gambar dengan huruf braille. Selain gambar-gambar sensual itu, saat ini pun ada kamasutra khusus untuk tunanetra yang jika diakses oleh remaja dapat meningkatkan hasrat seksual mereka sehingga berdampak pada perilaku heteroseksual. Beberapa fenomena diatas merupakan perilaku heteroseksual yang terjadi pada remaja saat ini. Hal tersebut diakibatkan oleh matangnya organ reproduksi di usia remaja dan membutuhkan pemuasan biologis. Jika tidak terbimbing oleh norma-norma tertentu, serta pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dapat mendorong remaja untuk melakukan masturbasi, homoseksual, atau mencoba perilaku heteroseksual yang dapat berakibat pada berkembangnya penyakit kelamin, disamping merupakan pelanggaran atas norma susila dan agama. Ada banyak faktor yang menyebabkan perilaku-perilaku diatas. Hasil penelitian Seotjiningsih (2006) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku heteroseksual yang negatif pada remaja adalah hubungan orangtua remaja, tekanan negatif teman sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media pornografi memiliki 4 pengaruh yang signifikan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual remaja. Pada individu tunanetra, hal-hal stereotip tersebut mungkin saja terjadi jika orangtua, guru, serta orang-orang di lingkungan sekitarnya tidak memberikan pengarahan yang baik tentang perilaku heteroseksual ini. Terlebih lagi keterbatasan yang dimiliki tunanetra bisa saja membuat mereka memiliki rasa keingintahuan yang lebih tinggi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengenalan gender, pemahaman tentang seksual, hingga bentukbentuk perilaku heteroseksual yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Permasalahan lain yang terjadi pada seorang remaja tunanetra adalah ketidaksadaran mereka akan situasi dimana mereka melakukan perilakuperilaku tersebut. Hal ini menyebabkan beberapa remaja tunanetra berpelukan, berciuman, bahkan meraba bagian tubuh pasangannya di depan umum tanpa menyadari bahwa lingkungan sekitar sebenarnya memperhatikan perilaku mereka tersebut. Oleh karena itu, remaja tunanetra harus sadar dan memahami bahwa mereka berada di lingkungan visual yang menyebabkan mereka tidak memiliki kebebasan untuk melakukan perilaku-perilaku heteroseksual tersebut di sembarang tempat. Dengan demikian, remaja tunanetra mampu membatasi perilaku seksual mereka sesuai dengan norma yang berlaku di sekitar lingkungan mereka. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SLB N Kota Cimahi, penulis menemukan beberapa kasus perilaku heteroseksual pada 5 beberapa anak tunanetra yang menyebabkan beberapa dari mereka mendapatkan hukuman berupa skorsing dari pihak sekolah. Selain itu, studi pendahuluan yang dilakukan di lingkungan SLBN A Bandung dan asrama Wiyata Guna Bandung, penulis juga menemukan beberapa kegiatan remaja tunanetra yang menunjukkan perilaku heteroseksual yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat kita pada umumnya, diantaranya berpelukan, berciuman, serta meraba-raba bagian tubuh pasangannya. Hal itu dilakukan di lingkungan terbuka, dimana orang-orang awas dapat melihat dan memperhatikan secara jelas terhadap apa yang dilakukan oleh para remaja tunanetra tersebut. Dengan budaya timur yang menjunjung norma-norma, baik agama maupun susila, maka kondisi-kondisi seperti itu menjadi sesuatu yang dipandang menyimpang dan mungkin tidak dapat diterima oleh lingkungan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, gambaran umum mengenai bagaimana remaja tunanetra berperilaku heteroseksual menjadi penting untuk dikaji agar di masa depan orangtua, guru, serta orang-orang terdekatnya dapat memberikan pengarahan dan bimbingan agar tunanetra tersebut dapat berperilaku heteroseksual yang positif sesuai dengan norma-norma yang berlaku, sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitar. Hal tersebut kemudian mendorong penulis untuk melakukan pengkajian yang lebih sistematis dan terarah menganai perilaku heteroseksual remaja tunanetra di SLBN A Bandung. 6 II. Fokus Masalah Heteroseksualitas merupakan suatu pembahasan yang cukup luas. Ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang pasti dialami oleh setiap individu. Namun demikian, perilaku heteroseksualitas setiap individu, khususnya pada masa remaja berbeda tergantung pada beberapa faktor, diantaranya kondisi hormonal, media masa, usia kematangan seksual, serta kesempatan untuk belajar (Nurhasanah, 2010:35). Tahapan ini biasanya bermula pada masa remaja awal, yaitu pada usia 12-15 tahun, dimana seseorang akan cenderung menjauhi orang tua atau lingkungan keluarganya untuk menjalin hubungan sosial yang lebih kuat dengan teman sebayanya, dan pada masa ini remaja akan lebih tertarik untuk menjalin relasi dengan teman lawan jenisnya daripada dengan teman sesama jenis. Pada masa remaja, dimana seseorang sedang mengalami masa-masa fluktuatif baik dalam emosionalitas, afeksi, juga seksualitas tentunya memerlukan suatu bimbingan dari orang-orang terdekat agar dapat terarahkan dengan baik. Begitu pula pada remaja tunanetra. Oleh karena itu, untuk dapat memberikan bimbingan yang baik, maka guru, orangtua serta orang terdekat di lingkungannya perlu perlu memahami bagaimana kondisi awal remaja tersebut. Namun karena luasnya pembahasan umum tentang heteroseksualitas remaja, maka dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada perilaku heteroseksual remaja yang berkaitan dengan pemahaman tentang lawan jenis, pemahaman tentang masalah seksual, pengekspresian cinta, serta bentuk- 7 bentuk perilaku yang menunjukkan ketertarikan siswa terhadap lawan jenis di lingkungan sekolah dan asrama. Pemahaman terhadap lawan jenis penting sebagai tahap awal bagi setiap individu dalam menjalin relasi yang lebih matang dengan lawan jenis. Bagi orang awas, hal ini dapat diamati secara langsung melalui visual, namun bagi tunanetra tentu saja hal ini sulit untuk dilakukan. Demikian juga dengan pemahaman akan permasalahan seksual, serta pengekspresian cinta terhadap lawan jenis yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perilaku heteroseksual Agar arah penelitian ini lebih jelas, maka peneliti membuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana gambaran perilaku heteroseksual remaja tunanetra SLBN A Bandung? Dari pertanyaan penelitian ini dirinci lagi menjadi beberapa Sub pertanyaan penelitian: 1. Bagaimanakah remaja tunanetra memahami konsep tentang lawan jenis (remaja laki-laki memahami tentang perempuan, dan sebaliknya)? 2. Bagaimanakah remaja tunanetra memperoleh pengetahuan tentang seks? 3. Bagaimanakah remaja tunanetra mengekspresikan cinta terhadap lawan jenis? 4. Bagaimanakah bentuk-bentuk perilaku heteroseksual remaja tunanetra di lingkungan sekolah dan asrama? 8 III. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 4.1 Tujuan penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana gambaran pemahaman remaja tunanetra tentang lawan jenis dan juga tentang permasalahan seksual serta bagaimana mereka memperoleh informasi tersebut, bagaimana gambaran ekspresi cinta remaja tunanetra terhadap lawan jenis (laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki), serta bagaimana remaja tunanetra tersebut mewujudkan perasaannya terhadap lawan jenis dalam bentukbentuk perilaku heteroseksual. 4.2 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang cukup berarti, terutama bagi: 1) Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru Sekolah Luar Biasa agar memberikan layanan bimbingan pendidikan seks sejak dini agar tunanetra dapat memahami halhal yang berkaitan dengan itu, serta bagi orangtua dan orangorang di lingkungan sekitar pada umumnya untuk memberikan bimbingan moral, spiritual, serta sosial kepada tunanetra agar mereka dapat memahami batasan-batasan perilaku heteroseksual berdasarkan norma, baik susila maupun agama. 9 2) bagi civitas akademika Pendidikan Luar Biasa, secara teoritis dapat memperkaya informasi mengenai perilaku heteroseksual pada remaja tunanetra.