skripsi kementerian pendidikan dan kebudayaan universitas

advertisement
PENERAPAN MEDIASI PENAL SEBAGAI PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA KESUSILAAN DALAM HAL PERSETUBUHAN DAN
PERBUATAN CABUL
(Studi Di Kepolisian Reserse Banyumas)
SKRIPSI
Oleh :
IRVAN MAULANA
NIM. ElA009157
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PENERAPAN MEDIASI PENAL SEBAGAI PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA KESUSILAAN DALAM HAL PERSETUBUHAN DAN
PERBUATAN CABUL
(Studi Di Kepolisian Reserse Banyumas)
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Program Strata Satu Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
IRVAN MAULANA
NIM. ElA009157
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
ii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: IRVAN MAULANA
NIM
: ElA009157
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENERAPAN MEDIASI PENAL SEBAGAI PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA
KESUSILAAN
DALAM
HAL
PERSETUBUHAN
DAN
PERBUATAN CABUL (Studi Di Kepolisian Reserse Banyumas).
Adalah benar bahwa skipsi ini merupakan hasil karya sendiri, semua informasi
dan sumber data yang di gunakan dalam penyusunan naskah ini disebutkan dalam
daftar pustaka dan telah dinyatakan secara jelas kebenarannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung risiko, termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang saya sandang.
Purwokerto, 20 November 2013
Irvan Maulana
NIM E1A009157
iii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan
rahmat
dan
karunia-Nya kepada penulis
sehingga
dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “PENERAPAN MEDIASI
PENAL SEBAGAI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN
DALAM HAL PERSETUBUHAN DAN PERBUATAN CABUL (Studi Di
Kepolisian Reserse Banyumas)”.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada program Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari sempurna baik materi maupun penulisannya, untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari para pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, maka dalam kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis mengahaturkan ucapan terima
kasih utamanya kepada :
1.
Dr Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto beserta stafnya yang telah memberikan
berbagai fasilitas selam penulis mengikuti pendidikan;
2.
Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, atas
bimbingan dan kesempatannya membantu penulis baik dalam masa kuliah
maupun dalam penulisan skripsi ini;
iv
3.
Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing II, atas bimbingan
dan kesempatannya telah banyak meluangkan waktu dalam penulisan skripsi
ini;
4.
Sunaryo, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji atas segala petunjuk serta
arahannya demi sempurnanya skripsi ini.
5.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen atas segala arahan dan didikan yang telah
diberikan selama penulis mengikuti pendidikanpada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
6.
Segenap staf administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto telah memberikan bantuan administrasi dalam
memperlancar penyusunan skripsi ini;
7.
Kedua orang tuaku “Haniah dan Mujiono”, sumber semangatku, nahkoda
dalam hidupku, yang mengajarkanku arti kesabaran, yang doa-doanya tak
pernah putus untukku, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Cintaku kepada kalian benar-benar karena Alloh;
8.
Ketiga adikku, Susi Yulianingsih yang selalu siap mengantarkan kiriman
dana untukku, Dika Cita Fadila yang camilannya mengatasi penulis ketika
lapar, dan Henru Gana Paradigma yang selalu kompak dalam urusan makanan
dengan penulis;
9.
Rekan-rekan mahasiswa seangkatan pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah memberikan masukan-masukan
v
dan diskusinya selama ini, sehingga membuka wawasan kepada penulis untuk
menyusun skripsi ini;
10. Rekan-rekan alumnus Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah
Karangduwur Kebumen yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada
penulis;
11. Kepala Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Kepolisian Reserse
Banyumas beserta seluruh jajarannya yang telah membatu dalam proses
pengumpulan data;
12. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sanak famili keluarga besar
Murjana yang dengan tidak bosan-bosannya memotivasi dan membantu
penulis baik secara moril maupun spirituil kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini;
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini,penulis
tidak bisa membalas dengan sesuatu apapun kepada semua pihak, kecuali doa
yang akan selalu penulis mohonkan untuk mereka kepada Allah AWT.
Semoga segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis mendapat
balasan pahala dari Allah SWT.
Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi manyak orang.
Purwokerto, 20 November 2013
Irvan Maulana
ElA009157
vi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Penerapan Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian Tindak
Pidana Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan dan PerbuatanCabul (Studi Di
Kepolisian Reserse Banyumas)”. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitianini adalah pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian inibersumber dari
data primer yaitu wawancara terhadap Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan
Anak) Polres Banyumas dan data sekunder yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan,buku-buku literatur, karya ilmiah, dokumen-dokumen
maupun surat-surat resmiyang ada hubungannya dengan objek penelitian.
Mediasi penal adalah alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan sistem
peradilan pidana yang bersifat Restorative Justice yang sistem ini menekankan
kepada perbaikan terhadap korban tindak pidana dan memberikan tanggungjawab
terhadap pelaku tindak pidana dengan cara kedua pihak tersebut dipertemukan
dengan ditengahi oleh mediator.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap penerapan mediasi penal sebagai
penyelesaian tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan
cabul di Kepolisian Reserse Banyumas praktiknya pernah diterapkan yaitu dalam
tindak pidana zina dan pencabulan terhadap anak yang masih di bawah 15 tahun
atau patut diduga belum dewasa.
Kata Kunci : Mediasi penal, tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan
perbuatan cabul.
vii
ABSTRACT
This Research titeled “ Implementation of penal mediation as a settlement
of criminal acts of decency in sexual intercourse and lewd acts (Studies In
Banyumas Police Investigation Department)". The research methods used a
sociological judicial approach. This Research comes from primary data which is
interviews with PPA Unit (Protection of Women and Children) Banyumas Police
and secondary data obtained from the legislation, literatur books, papers,
documents and official papers that had to do with object of research.
Penal mediation was alternative dispute resolutions system based on the
criminal justice system is “Restorative Justice” which emphasizes the
improvement of crime victims and provide for criminal responsibility in a way
that both parties met with brokered by mediators.
Based on the results of research on the implementation of penal mediation
as a settlement of criminal acts of decency in sexual intercourse and lewd acts in
the practice of Banyumas Police Investigation Department’ve applied that in
crimes of adultery and sexual abuse against children who are under 15 years old
or minors suspected.
Keywords: Penal mediation, criminal acts of decency in terms of sexual
intercourse and lewd acts.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………….……...........................i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI....………………….………........................ii
LEBAR PERNYATAAN……………………..…………….…..….................... .iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……. ……….....…….………….........................iv
ABSTRAK.………………………………………………...…….........................vii
ABSTRACT............................................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................1
B. Perumusan Masalah................................................................4
C. Tujuan Penelitian.....................................................................5
D. Kegunaan Penelitian...............................................................5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem peradilan pidana
1. Teori Pemidanaan.............................................................. 7
2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia..............................12
B. Mediasi penal
1. Pengertian Mediasi Penal.................................................17
2. Mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana.................21
ix
3. Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara Pidana.........25
C. Tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan
perbuatan cabul.
1. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan..............................31
2. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan........34
3. Tindak Pidana Kesusilaan Mengenai Perbuatan Cabul...45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan............................................................... 55
B. Spesifikasi Penelitian........................................................... 55
C. Sumber Data .........................................................................56
D. Teknik Pengumpulan Data .................................................57
E. Lokasi Penelitian...................................................................58
F. Teknik Analisis Data.............................................................58
G. Validitas Data........................................................................59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian Tindak Pidana
Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan Cabul Di
Polres Banyumas....................................................................62
2. Kendala-Kendala
Penyelesaian
Pelaksanaan
Tindak
Pidana
Mediasi
Penal
Kesusilaan
Sebagai
dalam
Hal
Persetubuhan dan Perbuatan Cabul Di Kepolisian Reserse
Banyumas...............................................................................83
x
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................ 90
B. Saran....................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat kekerasan terhadap
perempuan dan anak terus meningkat, menjadi suatu kecenderungan bagi para
pakar pidana dan para anti kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk
memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi perempuan dan anak korban
kejahatan. Namun demikian, merupakan suatu kenyataan bahwa sangat sulit untuk
menilai pengaruh yang ditimbulkan dari perubahan-perubahan kelembagaan.
Bahkan, tanggapan dari sistem peradilan pidana tentang kekerasan domestik
masih terus mendapatkan kritik, dan sistem peradilan pidana masih dianggap
sebagai lembaga yang tidak fleksibel dan tidak peka pada kepentingan perempuan
dan anak sebagai kelompok yang rentan. Salah satu contoh dalam tindak pidana
persetubuhan dan perbuatan cabul, yang merupakan tindakan yang merugikan
perempuan dan anak sebagai korban. Karena berbagai faktor, seperti rasa malu
dan takut akan ancaman, serta adanya persepsi berdasarkan realita bahwa sistem
peradilan pidana yang sering kali tidak peka terhadap kepentingan korban
menyebabkan adanya usaha untuk mencari alternatif lain dalam usaha
menyelesaikan perkara dengan adil bagi kedua belah pihak.
Mengenai problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang
persoalan keadilan yang berkaitan dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum
2
atau aturan perundangan harusnya adil, tapi dalam realitanya sering kali tidak
ditemukan. Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.
Upaya ini sering kali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.1
Menurut sejarahnya, perkembangan hukum liberal menjadi hukum modern
(pasca liberal) berdampak pada keterlibatan negara untuk berperan aktif dalam
menentukan segala kebijakan,2sehingga negara diposisikan sebagai lembaga yang
memiliki hak untuk menetapkan sejumlah norma sebagai bentuk redistribusi
kekuasaan yang dalam pandang ilmu hukum khususnya hukum pidana merupakan
bentuk kongkrit dari kontrak sosial.3Redistribusi kekuasaan yang diterima oleh
negara inilah yang kemudian membuat negara dalam sistem peradilan pidana
memiliki kewenangan untuk mengambil alih peran korban jika terjadi suatu tindak
pidana dalam masyarakat.
Konstruksi sistem peradilan pidana yang ada saat ini dianggap belum mampu
memberikan rasa keadilan karena tempat korban dan masyarakat dalam sistem
diambil alih oleh lembaga melalui penuntut umum. Dalam hal demikian maka
1
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, hal. 239.
2
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, hal. 38.
3
Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari kewenangan Negara untuk menetapkan
sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (iuspunale) dan hak memidana (iuspuniendi)
sebagai bentuk penanganan dalam suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. H.A. Zainal
Abidin, 2007, Hukum Pidana 1,Cetakan II, Jakarta: sinar Grafika, hal. 1.
3
korban dan masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara langsung dalam
penentuan akhir dari suatu penyelesaian perkara pidana. Dalam kaitannya dengan
konsepsi hukum yang membahagiakan semua pihaktentunya akses masyarakat
dan korban dalam penyelesaian suatu perkara pidana yang menyangkut
kepentingannya harus dibuka, sehingga keadilan dapat dimaknai secara hakiki.4
Sistem peradilan pidana di Indonesia hampir tidak memberikan tempat
terhadap upaya penyelesaian perkara pidana di luar sistem ini. Padahal hakikat
dari hukum pidana harus ditafsirkan sebagai suatu upaya terakhir yang hanya
dapat dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan
telah tidak berdaya guna atau dipandang tidak memadai.5Selain pengambil alihan
peran korban oleh negara, yang menjadi persoalan lain adalah sanksi atau
pemidanaan.
Sanksi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masih menganut pada
paradigma pemidanaan klasik yang bersifat retributif6, di mana keberhasilan
sanksi atau pemidanaan dapat dilihat dari besar kecilnya penderitan yang diterima
oleh pelaku tindak pidana.7 Kemudian yang menjadi persoalan sekarang adalah
penderitaan yang diterima oleh pelaku ternyata tidak mampu memulihkan korban
pada keadaan yang semula, karena korban tidak memiliki ruang untuk
mengutarakan keinginannya. Sebagai contoh adalah korban kejahatan kesusilaan
4
Eva AchjaniZulfa, 2009, Keadilan Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, hal. 53.
Ibid., hal. 44.
6
Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata/mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Eva AchjaniZulfa, 2009, Keadilan
Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, hal. 66.
7
Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi dalam hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, hal.71.
5
4
dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul, sebesar apapun penderitaan yang
diterima oleh pelaku sebagai pembalasan atas kejahatan kesusilaan dalam hal
persetubuhan dan perbuatan cabul yang dilakukan tetap saja tidak mampu
memulihkan apa yang telah terenggut dari korban. Karena itu,diperlukan suatu
alternatif model sistem penyelesaian perkara pidana, salah satunya adalah mediasi
penal, di mana mempertemukan antara pihak pelaku dengan pihak korban untuk
mencari kesepakatan, sehingga hak korban lebih terjaminBertolak dari latar
belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap:
“ PENERAPAN MEDIASI PENAL SEBAGAI PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA
KESUSILAAN
DALAM
HAL
PERSETUBUHAN
DAN
PERBUATAN CABUL (Studi Di Kepolisian Reserse Banyumas)”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan mediasi penalsebagai penyelesaian tindak pidana
kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian
Reserse Banyumas?
2. Apa
yang menjadi
kendala pelaksanaan
mediasi
penal
sebagai
penyelesaian tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan
perbuatan cabul di Kepolisian Reserse Banyumas?
5
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini
maka tujuan penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui penerapan mediasi penal sebagai penyelesaian tindak pidana
kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian
Reserse Banyumas.
2. Mengetahui hambatan penerapan mediasi penal sebagai penyelesaian
tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di
Polres Banyumas.
D. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan
ilmu hukum khususnya hukum
pidana, sehingga hukum dapat selalu selaras
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sesuai dengan harapan
masyarakat.
b. Secara Praktis
1. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum pidana mengenai penerapan
tentang tinjauan mediasi penaldalam menyelesaikan kasus tindak pidana
kesusilaandalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul.
6
2. Sebagai masukan (input) bagi pihak terkait dalam pembaharuan sistem
peradilan pidana yang adil bagi masyarakat.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana
1. Teori Pemidanaan
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam
3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a.Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldingstheorieen);
Tipe restributif yang disebut vindicative tersebut, termasuk ke dalam kategori
pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal Justice membagi teori
restributif menjadi 2 (dua), yaitu :8
1) The reverange theory (teori pebalasan)
2) The expiation theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah dibayarkan kembali (the
criminalis paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti si penjahat
membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). Jadi pengertiannya tidak
jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari cara orang berpikir pada
saat
menjatuhkan
sanksi.
Apakah
dijatuhkannya
sanksi
itu
karena
”menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia berhutang sesuatu
kepada kita. Sebaliknya Johannes Andenaes, menegaskan bahwa ”penebusan”
8
Muladi, 1992,Bunga Rampai Hukum Pidana,Bandung: Alumni,hal. 13.
8
tidak sama dengan ”pembalasan dendam” (revange). Pembalasan berusaha
memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain
yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan untuk
memuaskan tuntutan keadilan. 9
b.Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);
Menurut teori ini pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun
sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran
adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan
bukan “quiapeccatumest” (karena orang membuat kejahatan) melainkan
“nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).10
Beda ciri pokok atau karakteristik antara teori retributivedan teori utilitarian
dikemukakan secara terperinci oleh Karl. O. Christiansensebagai berikut:
1) Pada teori restribution:
a) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung saranasarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
9
Ibid., hal. 14.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, hal. 16.
10
9
e) Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.
2) Pada teori utilitarian:
a)Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b)Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana;
d) Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan;
e) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung
unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.11
c.Teori gabungan (verenigingsteorieen).
Penulis
yang
pertama
mengajukan
teori
gabungan
ini
ialah
PellegrinoRossi(1787 – 1848). PellegrinoRossi,selain tetap menganggap
pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh
melampaui suatu pembalasan yang adil, namun PellegrinoRossiberpendirian
11
Ibid., hal. 16-17.
10
bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang
rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Penulis-penulis lain yang
berpendirian
bahwa
pidana
mengandung
berbagai
kombinasi
tujuan
ialahBinding,Merkel,Kohler, Richard Schmid, dan Beling.12
Pendukung dari teori gabungan yang lebih menitikberatkan pada pembalasan
ini didukung oleh Pompe, yang mempunyai pandangan bahwa pidana tiada lain
adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan
tata tertib hukum agar supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin
dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila
bermanfaat bagi pertahanan tata tertib hukum di dalam masyarakat. 13
Banyak perhatian tentang sistem peradilan pidana diarahkan pada fenomena
pemidanaan. Mengenai untuk apa pemidanaan dilakukan, banyak teorinya tetapi
teori-teori pemidanaan cenderung mengerucut pada dua pendekatan dasar:
Reductionist dan Retributivist. Pendekatan Reduksi (The reductionistapproach)
melihat pemidanaan sebagai suatu alat kontrol sosial yang dirancang untuk
mengurangi
perbuatan
anti
sosial
socialcontroldesignedtoreduceantisocialactivity),
dimana
of
(instrument
umumnya
hal
itu
dilakukan melalui pengisolasian dan detterence, disamping itu juga bisa dilakukan
melalui rehabilitasi dan pendidikan. Sedangkan pendekatan pembalasan (The
retributivistapproach) memandang pemidanaan sebagai suatu tanggapan moral
yang pantas dan/atau diperlukan terhadap tindakan terlarang.Di antara berbagai
12
Ibid., hal. 19.
AdamiChazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal. 162.
13
11
jenis pemidanaan, pidana penjara (pemasyarakatan) merupakan yang paling
populer, dan jumlah penghuninya terus meningkat. 14
Apakah pemidanaan dan ancamannya dapat efektif untuk memperkuat dan
menghadirkan ketertiban masih menjadi suatu perdebatan. Para ahli sosiologi
telah lama mengenal bahwa pemidanaan merupakan suatu hal yang paling efektif
dalam menjaga tata tertib sosial dan meningkatkan perubahan sosial yang
konstruktif manakala ia dihubungkan dengan pola-polatingkah laku yang sah dan
terinternalisasi (theinstitutionalizedandinternalization of patterns of behavior).
Hukuman-hukuman yang berdasarkan hukum dan bersifat formal membantu
dalam melembagakan pola-pola perilaku (misalnya dalam mendefinisikan batasbatas dari perilaku yang bisa diterima), akan tetapi individu-individu sepenuhnya
menyesuaikan dengan standar-standar ini karena mereka telah menginternalisasi
tingkah laku yang berlaku sebagai pilihan personal (yaitu mereka taat karena
memang mereka mau, bukan karena mereka secara hukum mesti terikat untuk
taat). Ketidakefektifan umum dari hukuman yang formal dalam menjaga
keteraturan dan tertib sosial mungkin disebabkan kita terlampau melebihkan atau
tergantung pada “tangan besi” hukum.15
Dari ketiga teori tentang pemidanaan tersebut belum mampu untuk benarbenar melindungi korban kejahatan, yang di sini korban sebenarnya sangat
membutuhkan pemulihan keadaan yang lebih baik dalam suatu kasus tertentu.
14
hal. 213.
Agustinus Pohan, Dkk, 2012, Hukum Pidana dalam Perspektif, Bali: Pustaka Larasan,
15
Ibid,hal. 217.
12
Maka dari itu sekarang dikembangkan sebuah sistem baru yaitu Restorative
Justice.
Restorative Justice adalah merupakan filsafat, proses, ide, teori dan
intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan atau
diungkapkan oleh perilaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan standar
menangani kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan
terhadap negara. Restorative Justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari
sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan
penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “
memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan
yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat.16
2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
a. Pengertian sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana dewasa ini telah mengalami banyak perkembangan,
yang perkembangan tersebut tidak lepas dari perkembangan masyarakat,
keduanya tidak dapat saling dipisahkan, karena dengan berubahnya sistem
peradilan pidana, masyarakat itu sendiri bisa juga ikut berubah, begitu juga
sebaliknya, jika nilai-nilai masyarakat berubah maka sistem peradilan pidana juga
bisa berubah.
16
Kuat Puji Prayitno, 2012, Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia ( Perspektif
Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concerto), Purwokerto: Jurnal Dinamika Hukum,
Akreditasi: Nomor 51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12 No. 3, hal. 407.
13
Sistem peradilan pidana (criminaljusticesystem) adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti
disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari
laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat
“diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan
diputuskan bersalah serta mendapat pidana.17
Sistem peradilan pidana merupakan bentuk sistem yang unik karena berbeda
dengan sistem-sistem sosial yang lain. Perbedaan ini terletak pada kesadarannya
untuk memproduksi segala sesuatu yang sifatnya unwelfaredalam skala yang
besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku tindak
pidana, pengendalian dan penekanan tindak pidana, dan kesejahteraan sosial).
Segala sesuatu yang unwelfare tersebut dapat berupa perampasan kemerdekaan,
stigmatisasi, perampasan harta benda, bahkan kadang-kadang hilangnya nyawa
manusia atau di beberapa negara berupa penderitaan fisik (misal pukulan dengan
rotan).18
Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan
kejahatan pada tingkatan tertentu ( crimecontaintment). Di lain pihak, sistem
peradilan
17
pidana
juga
berfungsi
untuk
pencegahan
sekunder
MardjonoReksodiputro, 1994, HakAsasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, hal. 9-10.
18
Is. Heru Permana, 2007, Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, hal. 73-74.
14
(seconderyprevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan
mereka
yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud
melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemindahan, dan pelaksanaan
pidana.19
b. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Kita melihat dalam beberapa waktu belakangan ini di Indonesia pertanyaan
soal hukuman bagi pelaku tindak pidana yang terkadang sangat ringan tetapi
mendapat hukuman penjara sungguh menyinggung rasa keadilan masyarakat, dan
juga mengenai korban kurang di perhatikan dalam penyelesaian tindak pidana,
padahal korbanlah yang paling dirugikan dalam hal ini. Faktor perundangundangan yang dilihat adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP). KUHP yang merupakan sumber hukum pidana materiil, masih
menitik beratkan kepada pembalasan pelaku, bahwa:
(1) KUHP belum secara tegas mengatur pemberian perlindungan hukum
kepada korban tindak pidana;
(2) KUHP belum merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) kepada
pelaku;
(3) KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya
keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang
menyangkut fisik, lingkungan serta mental.20
19
Ibid., hal. 74.
Siswanto Sunarso, 2012, Viktimologi dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta: Sinar Grafika, hal. 44.
20
15
Tindakan tegas dengan menggunakan sarana hukum pidana cukup beralasan,
namun dengan batasan tidak bertentangan dengan kode etik penggunaan hukum
pidana, yang antara lain sebagai berikut:21
1) Jangan menggunakan hukum pidana dengan cara emosional untuk
melakukan pembalasan semata-mata.
2) Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan
yang tidak jelas korban atau kerugiannya.
3) Hukum pidana jangan dipakai guna mencapai suatu tujuan yang pada
dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan
penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit.
4) Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan oleh
pemidanaan akan lebih besar dari pada kerugian yang diakibatkan oleh
tindak pidana yang dirumuskan.
5) Hukum pidana jangan digunakan apabila hasil sampingan (by-product)
yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan
dikriminalisasikan.
6) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak dibandingkan oleh
masyarakat secara kuat.
7) Jangan menggunakan hukum pidana, apabila penggunaannya diperkirakan
tidak efektif (unenforceable).
8) Hukum pidana harus uniform, unverying, anduniversalistic.
21
Muladi, Op. Cit., hal. 73-74.
16
9) Hukum pidana harus rasional.
10) Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order, legitimation,
andcompetence.
11) Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara socialdefence,
proceduralfaornes, andsubstantivejustice.
12) Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis
kelembagaan, dan moralis sipil.
13) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan.
14) Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara
khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.
15) Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan
secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non-penal
(Prevention withoutpunishment).
16) Penggunaan hukum pidana sebaiknya harus diarahkan pula untuk
meredam faktor kriminogen yang menjadi kuasa utama tindak pidana.
Maka dari itu, penggunaan hukum pidana seharusnya menjadi alternatif
terakhir dalam sistem peradilan pidana, karena hukum pidana merupakan senjata
pamungkas terakhir atau ultimumremedium.
Untuk mengatasi kekurangan dari hukum pidana tersebut, yang dalam
keadaan tertentu penggunaannya kurang efektif, mestinya hal ini dapat dijawab
dengan dikembangkannya restorativejustice dan juga seandainya seseorang
terpaksa juga dibawa ke sistem peradilan pidana (dengan proses penyidikan,
17
penuntutan hingga penjatuhan pidana) maka sebaiknya digunakan beberapa
alternatif pemidanaan non penjara yang tingkat efektivitasnya masih selalu
menjadi pertanyaan hingga saat ini.
Konsep Restorative Justice (keadilan restoratif) memiliki perbedaan
mendasar dengan konsep keadilan retributif yang menjiwai sistem peradilan
pidana di mayoritas
pemidanaan
negara.
adalah akibat
Keadilan
retributif
nyata/mutlak yang harus
memandang
ada
bahwa
sebagai
suatu
pembalasan kepada pelaku tindak pidana.22Fokus perhatian keadilan retributif
yaitu kepada pelaku melalui pemberian derita, dan kepada masyarakat melalui
pemberian perlindungan dari kejahatan. Dengan demikian, jika keadilan restoratif
menekankan pada pemulihan serta memberikan fokus perhatian kepada korban,
pelaku, dan masyarakat terkait, keadilan retributif menekankan pada pembalasan
serta memberikan fokus perhatian hanya kepada pelaku dan masyarakat luas.
Dari adanya sistem Restorative Justice ini maka diharapkan korban mendapat
perhatian yang lebih layak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena
korbanlah yang paling dirugikan selain dari rasa keamanan masyarakat.
B. Mediasi Penal
1. Pengertian Mediasi Penal
Dikaji dari perspektif terminologinya mediasi penal dikenal dengan istilah
mediationincriminalcases, mediationinpenalmatters, victimoffendersmediation,
offendervictimarrangement
22
(Inggris),
Eva AchjaniZulfa, Op. Cit., hal. 66.
strafbemiddeling
(Belanda),
18
derAuBergerichtlicheTatausgleich (Jerman), demediationpenale (Perancis). Pada
dasarnya, mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (AlternativeDisputeResolution/ADR) yang lazim
diterapkan terhadap perkara perdata. Pada dimensi ini, ADR di luar pengadilan
telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dalam korelasi ini telah terdapat beberapa lembaga
pendorong metode ADR, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
dengan fokus dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa
konstruksi (UU Nomor 18 Tahun 1999 jo. UU Nomor 29 Tahun 2000 jo. PP
Nomor 29 Tahun 2000) dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula ADR
dikenal juga menyangkut hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan
usaha, perlindungan konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain. Keberadaan
mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum
pidana melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan
antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi
tidak berfungsi.23
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata mediasi diberi arti sebagai proses
pengikut sertakan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasihat.24 Sedangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 2
tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan disebutkan, bahwa mediasi
23
Lilik Mulyadi, Artikel Ilmiah tentang “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia”, hal. 1.
24
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 569.
19
adalah penyelesaian melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Pengertian mediator dalam PERMA tersebut adalah pihak yang bersifat
netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Dalam hukum pidana proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan berbeda
dengan proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam hukum perdata.
Dalam hukum pidana mediasi berarti proses penyelesaian perkara pidana dengan
mempertemukan pelaku kejahatan dan korban untuk mencapai kesepakatan
bersama berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan pelaku dan restitusi yang
diberikan kepada korban. Pertemuan itu diperantarai oleh seorang mediator atau
lebih baik yang berasal dari penegak hukum, pemerintah, orang yang bergerak di
bidang lembaga swadaya masyarakat, maupun tokoh masyarakat.25 Jadi di sini
jelas perbedaannya yaitu berkaitan dengan apa yang dipermasalahkan, siapa yang
terlibat, dan siapa yang menjadi moderator.
Tujuan mediasi penal dapat dirumuskan sebagai berikut:26
a. Menyelesaikan konflik pidana dengan mengadakan rekonsiliasi antar
pelaku tindak pidana dan korban.
b. Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban berupa restitusi
dan ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
25
Mahrus Ali, 2013, Melampaui Positivisme Hukum Negara, Yogyakarta:
AswajaPressindo, hal. 98.
26
Agustinus Pohan, Dkk, Op. Cit., hal. 321-322.
20
c. Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara pelaku dan korban
karena adanya tindak pidana.
d. Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan martabat korban.
Dilihat dari segi tujuan mediasi penal tersebut, terdapat tujuan-tujuan yang
tidak mungkin terdapat dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan
sistem peradilan pidana yang hanya memfokuskan kepada pelaku, padahal dalam
hal ini korban juga tidak boleh dikesampingkan, karena pada dasarnya korbanlah
yang paling dirugikan sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku,
namun dewasa ini, korban tindak pidana kurang mempunyai peran dalam sistem
peradilan pidana, sehingga korban sama sekali tidak mendapatkan perbaikan dari
keadaannya seperti semula.
Negara-negara di kawasan Asia juga sudah mempraktikkan mediasi penal atau
VictimOffenderMediation (VOM) sebagai salah satu model keadilan restorative
seperti Jepang, Hong Kong, dan Thailand sebagai instrumen
hukum
restorativejustice atau keadilan restorative adalah diskursus baru dalam sistem
hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam
menagani masalah, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian
sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hukum acara perdata kita
sudah mengenal adanya suatu Lembaga Damai untuk menyelesaikan sengketa
perdata lebih dari seratus tahun yang lalu yang ditindak lanjuti dengan PERMA
No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Sifat dasar dari mediasi
juga sama dengan mekanisme musyawarah. Karena itu penggunaan mediasi
21
penaldiharapkan bisa diterima kalangan profesional hukum dan masyarakat umum
dengan baik dan berjalan efektif.27
2. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana
Praktik mediasi penal dalam menyelesaikan perkara pidana tertentu, baik
yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian antara
pelaku dan korban yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian kepada
korban (Penalmediationout of court) maupun dalam penyelesaian perkara pidana
pada tahap-tahap proses peradilan pidana yang kesepakatan dan pembayaran ganti
kerugiannya dari pelaku kepada korban hanya dijadikan sebagai pertimbangan
yang
meringankan
tuntutan
pidana
dan
penjatuhan
pidana
(
Penalmediationwithincourt).
Di Indonesia pengaruh keadilan retributif dengan jelas dapat dilihat dalam
bangunan hukum pidana terutama dikaitkan dengan eksistensi negara di dalam
memonopoli semua pelanggaran, penjatuhan pidana dan tidak diakuinya
penyelesaian sengketa berdasarkan mediasi penal. Hanya negara yang memiliki
otoritas untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan sebagai perbuatan yang
dilarang, dan hanya aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara yang
berhak menyelesaikan pelanggaran atas perbuatan yang dilarang tersebut.
Akibatnya, proses mediasi penal tidak diakui dan dianggap bertentangan dengan
bangunan dasar hukum pidana tadi.
27
Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVI No. 306,
Jakarta: IKAHI, 2011, hal. 85.
22
Dalam pasal 82 ayat (1) mengatur tentang denda damai, tetapi hal itu hanya
berlaku untuk tindak pidana pelanggaran. Secara lengkap bunyi pasal tersebut
sebagai berikut:
“Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja,
menjadi hapus, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biayabiaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan itu telah dimulai, atas kuasa
pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu
yang ditetapkan olehnya.”
Denda damai tersebut tidak bisa dikategorikan proses penyelesaian sengketa
berdasarkan mediasi penal karena keterlibatan korban diabaikan dalam proses
pembayaran damai. Denda tersebut jelas tidak dibayar kepada korban tetapi
kepada negara sebagaimana konstruksi pidana denda dalam KUHP. Padahal,
mediasi penal juga tidak hanya terbatas pada pelanggaran sebagaimana dalam
denda damai tapi juga kejahatan.
KUHP
juga
mengatur
tentang
pidana
(voorwaardelijkeveroordeling). Pidana bersyarat bukanlah
bersyarat
pidana pokok,
melainkan merupakan cara penerapan pidana, sebagaimana pidana tidak bersyarat.
Pidana bersyarat dalam KUHP diatur dalam pasal 14 yang hanya dapat dijatuhkan
bilamana memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:28
28
Mahrus Ali, Op. Cit., hal. 110-111.
23
a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak
lebih dari satu tahun. Jadi, dalam hal ini pidana bersyarat dapat
dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim
tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Yang menentukan
bukanlah pidana yang diancamkan atas tindak pidana yang dilakukan,
tetapi pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan,
dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab
maksimum pidana kurungan adalah satu tahun.
c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat
dijatuhkan, dengan batasan-batasan bahwa hakim harus yakin bahwa
pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa.
Dalam pidana bersyarat ini, pembayaran ganti rugi yang ditetapkan hakim
kepada terpidana bukanlah termasuk mediasi penal, tetapi lebih pada penjatuhan
alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Ketentuan pidana bersyarat tersebut
juga lebih mementingkan keadaan pelaku (terpidana) kejahatan, sedangkan hakhak korban diabaikan.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) eksistensi
penyelesaian sengketa atas dasar mediasi penal juga belum diatur. Kewenangan
yang diberikan undang-undang kepada polisi untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan tidak secara eksplisit berkenaan dengan mediasi penal, kecuali polisi
24
mau menafsirkan pasal 5 ayat (1) huruf a ke-4 berkaitan dengan kalimat
“mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab secara
progresif”, dalam arti tidak dikungkung oleh paradigma positivisme. Dalam
penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP disebutkan bahwa
yang dimaksud “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidikan dengan syarat29:
a.
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan.
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia.
Kata “tindakan lain” memberi kebebasan kepada polisi dalam hal dan
kreativitas dalam menangani suatu perkara pidana. Peluang yang diberikan
undang-undang kepada polisi tersebut memberi wewenang kepadanya untuk
melakukan diskresi. Diskresi kepolisian menurut Roescoepound adalah:
“
Police
discretionisanauthorityconferredbylawtoactincertainconditionorsituation;
inaccordancewithofficial’soranofficialagency’sownconsideredjudgementan
dconscience. Itisanidea of morals, belongingtothetwilight zone
betweenlawandmorals.”30
29
Ibid., hal. 112.
Sadjijono, 2009, Memahami Hukum Kepolisian , Yogyakarta: LaksbangPressindo,
30
hal.146.
25
(Diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang
berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut
pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri).
Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau
memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum
atau perkara, sehingga memungkinkan digunakannya mediasi penal sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa pidana apabila dilihat dari penyebab, alasan,
dan area digunakannya diskresi.
3. Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Mediasi
penal
merupakan
salah
satu
bentuk
dari
pelaksanaan
restorativejustice, yaitu konsep yang memandang kejahatan secara lebih luas.
Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya
sekadar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang mewakili korban, dan
meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara ( Jaksa
penuntut umum). Restorativejusticemenuntut proses peradilan pidana untuk
memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang
dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma
dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana.
Dalam mediasi penal dikenal beberapa model penyelesaian sengketa pidana,
antara lain:
26
a. Traditionalvillageortribalmoots
Menurut model ini seluruh anggota masyarakat bertemu untuk memecahkan
konflik kejahatan di antara warga negaranya. Penerapan model ini terdapat di
negara-negara berkembang dan umumnya di daerah pedesaan atau pedalaman.
Dalam penyelesaian konflik kejahatan yang dilakukan oleh warga masyarakat,
titik tekan model ini lebih pada manfaat yang ingin dicapai oleh masyarakat yang
berada di wilayah itu. Jadi, model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat
luas ketimbang pelaku dan korban kejahatan.31
b. Victim-offendermediation(VOM)
Fokus utama Victim-offendermediation(VOM) adalah menempatkan pelaku
dan korban kejahatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Korban diberi
hak untuk bertanya kepada pelaku mengapa dia menjadi korban, tujuannya adalah
agar
pelaku
bertanggungjawab
atas
tindakannya.
Pelaku
juga
diminta
bertanggungjawab atas tindakannya yang merugikan korban. Selain itu, konflik
antara keduanya bisa diselesaikan dengan hasil yang sama-sama diterima oleh
kedua pihak. Semua itu dapat terwujud jika permaafan dijadikan sebagai basis
utama, artinya, di satu sisi pelaku mengakui bahwa tindakannya yang merugikan
korban adalah merupakan tindakan yang salah, meminta maaf kepada korban serta
siap bertanggungjawab atas semua kerugian yang dialami korban, sedangkan pada
sisi yang lain, korban menerima permintaan maaf pelaku. Pemaafan mensyaratkan
31
Mahrus Ali, Op. Cit., hal. 101.
27
adanya kemauan seseorang untuk menerima hak orang lain untuk memarahi,
mendapatkan penilaian negatif dan perilaku tidak berkenan yang disebabkan oleh
ketidakadilannya pada orang itu. Victim-offendermediation(VOM) umumnya
diterapkan pada tindak pidana seperti tindak pidana harta benda, tindak pidana
penghinaan, pelukaan ringan, penghinaan atas dasar ras, agama, dan pelecehan
seksual. Bahkan, saat ini VOM cenderung diterapkan pada tindak pidana yang
menimbulkan luka dan kerugian yang besar pada korban.32
c. Informal mediation model
Model
ini
dilaksanakan
oleh
personil
peradilan
pidana
(criminaljusticepersonnel) dalam tugas normalnya. Pejabat polisi menghimbau
perselisihan keluarga yang mungkin dapat
menenangkan situasi tanpa
melanjutkan proses perkara pidana yang dihadapi kepada jaksa. Demikian juga
jaksa penuntut umum mengundang para pihak untuk adanya penyelesaian
informal dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai
kesepakatan. Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan
dan melepaskan kasusnya. Keberadaan pekerja sosial atau pejabat pengawas
(probationOfficer) yang berpendapat bahwa kontak dengan korban akan
mempunyai pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana, juga diperhatikan
berdasarkan model ini. Dengan peran dan kapasitasnya masing-masing aparat
32
Ibid., hal. 103-104.
28
penegak hukum yang demikian, dapat disimpulkan bahwa informal mediation
model ini sudah biasa diterapkan di dalam seluruh sistem hukum.33
d. Reparationnegotationprograms model
Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau
perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, dan
biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan
dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan
perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan
program kerja yang dengan demikian dapat menyimpan uang untuk membayar
ganti rugi/kompensasi.34
e. Community panelsorcourts model.
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan
informal serta sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi. Dalam model ini
pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk mediasi itu.35
f. Familyandcommunitygroupconference model.
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Model ini tidak
hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku
33
Ibid., hal. 107.
Ibid., hal. 107-108.
35
Ibid., hal. 108.
34
29
dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim) dan para
pendukung korban. Dalam model ini pelaku dan keluarganya diharapkan
menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat
membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan atau persoalan
berikutnya.36
Pada hukum positif Indonesia asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan
di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan tetapi, praktik penegakan hukum di
Indonesia sering juga perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui
diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain
sebagainya. Implikasi praktik penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini
memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu
kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme
hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang
berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah
satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi
dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan
perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.
Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja
(workingprinciples) sebagai berikut:37
a. Penanganan konflik (ConflictHandling/Konfliktbearbeitung).
36
Mahrus Ali, Loc. Cit.
Agustinus Pohan, Dkk, Op. Cit., hal. 312-313.
37
30
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan
mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide,
bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang
dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi pada proses (ProcessOrientation; Prozessorientie-rung).
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu
menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut sehingga mediasi penal
dapat dikatakan menyelesaikan perkara secara menyeluruh.
c. Proses informal (Informal Proceeding - Informalität).
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat
birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d.
Ada
partisipasi
aktif
dan
otonom
para
pihak
(ActiveandAutono-
mousParticipation - Parteiautonomie/Subjektivierung).
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur
hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab
pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas
kehendaknya sendiri, dengan suka rela dalam menyelesaikan perkara pidananya.
Dengan adanya mediasi penal dalam sistem pidana, maka dapat tercipta
keuntungan-keuntungan, yang antara lain:38
38
Ibid., hal. 314.
31
a. Keuntungan mediasi bagi korban, tekanan berkurang dibanding jika
berperkara di pengadilan, tidak perlu membawa saksi, tidak perlu
menyewa
pengacara,dan
mendapat
kesempatan
untuk
mengontrol
hasilnya.
b. Bagi pelaku tindak pidana dapat diuntungkan karena terhindar dari
pemidanaan, catatan kejahatan,atau denda dan biaya-biaya perkara yang
lebih besar.
Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali hubungan antar
tetangga, teman, dan saudara jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya
dengan kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan
pelajaran bagi pelaku untuk menghindari konflik di masa mendatang.
C. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan
Cabul
1. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan
Ada dua terminologi dalam istilah tindak pidana kesusilaan, yaitu tindak
pidana dan kesusilaan. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya
dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau
misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari
pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana.
Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang
dikemukakan oleh Djoko Prakosobahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau
tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
32
pelanggarannya dikenakan sanksi”, selanjutnya
Djoko Prakoso menyatakan
bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang
melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi
negatif dari masyarakat, dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah
“perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang
disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut”.39
Menurut WirjonoProdjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.40 Sedangkan SoerdjonoSoekanto
dan PurnadiPurwacakara, tindak pidana diartikan sebagai sikap tindak pidana
atau prilaku manusia yang masuk ke dalam ruang lingkup tingkah laku perumusan
kaidah hukum pidana, yang melanggar hukum dan didasarkan kesalahan.41Maka
dapat disimpulkan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang yang melawan hukum dan diancam dengan hukuman pidana.
Selanjutnya, terminologi yang kedua adalah kesusilaan, menurut Kamus
Hukum
pengertian
kesusilaan
diartikan
sebagaitingkah
laku,
perbuatan
percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautandengan norma-norma
kesopanan yang harus/dilindungi oleh hukum demiterwujudnya tata tertib dan tata
susila dalam kehidupan bermasyarakat.42Namun untuk menentukan seberapa jauh
ruang lingkupnya tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas kesusilaan
39
DjokoPrakoso dan AgusImunarso, 1987,Hak
Asasi Tersangka
dan Peranan
Psikologi dalamKonteks KUHAP,Jakarta: Bina Aksara, hal. 137.
40
WirjonoProjodikoro, Asas-asas Hukum di Indonesia, Bandung : PT.Eresco, hal. 55.
41
SoerdjonoSoekanto dan PurnadiPurwacaraka,1992, Sendi-Sendi dan Hukum Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 85.
42
Soedarso, 1992, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 64.
33
itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang
berlaku di dalam masyarakat.43
Penentuan delik-delik kesusilaan, menurut RoeslanSaleh44 hendaknya tidak
dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi
hal-hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku
dalam pergaulan masyarakat, misalnya meninggalkan orang yang perlu ditolong,
penghinaan dan membuka rahasia. Sementara jika diamati berdasarkan kenyataan
sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti kesusilaan lebih condong kepada
kelakuan yang benar atau salah, khususnya dalam hubungan seksual45 (behaviour
as torightorwrong, especiallyinrelationtosexualmatter).
Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia, mengenai
tindak pidana kesusilaan sendiri sudah diatur yaitu masuk dalam buku II titel XIV
tentang Kejahatan-Kejahatan Melanggar Kesopanan dan buku III titel VI tentang
Pelanggaran-Pelanggaran Kesopanan. Setiap titel tersebut memuat dua macam
tindak pidana yaitu:46
Ke-1: tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid);
Ke-2: tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan.
43
Barda Nawawi Arief, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, hal. 291.
44
Dalam Tongat, 2003,Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap
Subyek Hukum Dalam KUHP, Jakarta: Djambatan, hal. 109.
45
Leden Marpaung, 2004, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah
Prevensinya,Jakarta: Sinar Grafika, hal. 3.
46
WirjonoProdjodikoro, 2008, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan
Kedua, Edisi Ketiga, Bandung: PT RefikaAditama, hal .111.
34
Kejahatan-kejahatan yang masuk golongan ke-1 adalah yang termuat dalam
pasal-pasal 281-299, dan yang masuk golongan ke-2 adalah yang termuat dalam
pasal-pasal 300-303. Sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang masuk golongan
ke-1 adalah yang termuat dalam pasal 532-535, dan yang masuk dalam golongan
ke-2 adalah yang termuat dalam pasal-pasal 535-547.
Kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik dalam
hubungan
antara
berbagai
anggota
masyarakat.
Sedangkan
kesusilaan
(zedelijkheid) juga mengenai adat kebiasaan yang baik itu, tetapi khusus
setidaknya mengenai kelamin (seks) seseorang.47
Tindak pidana kesusilaan terdapat 18 macam kejahatan dan 4 macam
pelanggaran sebagai mana yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) Indonesia buku II titel XIV tentang Kejahatan-Kejahatan
Melanggar Kesopanan dan buku III titel VI tentang Pelanggaran-Pelanggaran
Kesopanan.
2. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana kesusilaan
diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia buku II
titel XIV tentang Kejahatan-Kejahatan Melanggar Kesopanan dan buku III titel VI
tentang Pelanggaran-Pelanggaran Kesopanan. Mengenai Tindak pidana kesusilaan
dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul tidak ada yang masuk dalam jenis
47
Ibid., hal. 112.
35
pelanggaran, semuanya masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan dalam hal
persetubuhan dimuat dalam lima pasal, yaitu:
a. Pasal 284 KUH Pidana mengenai perzinaan;
b. Pasal 285 KUH Pidana mengenai perkosaan bersetubuh;
c. Pasal 286 KUH Pidana mengenai bersetubuh dengan perempuan yang
bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan;
d. Pasal 287 KUH Pidana mengenai bersetubuh dengan perempuan yang
belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya;
e. Pasal 288 KUH Pidana mengenai bersetubuh dalam perkawinan
dengan perempuan yang belum waktunya di kawin dan menimbulkan
luka atau kematian.
Kejahatan kesusilaan di bidang persetubuhan ini, selain perzinaan (284)
hanya dapat dilakukan oleh si pembuat (laki-laki). Dibentuknya kejahatan di
bidang ini, ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum kaum perempuan di
bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan.48
Adapun yang dimaksud dengan bersetubuh atau persetubuhan, HogeRaad
dalam pertimbangan hukum suatuarrestnya (5-2-1912) menyatakan bahwa
“persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin
perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, di mana alat
kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang kemudian
48
AdamiChazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanaan, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, hal. 55.
36
mengeluarkan air mani”.49 Jadi, jika alat kelamin laki-laki tidak sampai masuk ke
dalam alat kelamin perempuan walaupun telah mengeluarkan air mani, atau
masuk tetapi tidak sampai keluar air mani, menurut pengertian tersebut maka
belumlah terjadi persetubuhan, namun hanya percobaan persetubuhan.
a. Zina.
Tindak pidana ini dimuat dalam pasal 284 KUHP yang berbunyi:
“(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
bulan:
Ke-1 a. Orang laki-laki yang sudah kawin, yang melakukan zina,
sedang diketahui, bahwa pasal 27 BurgerlijkWetboek berlaku
baginya;
b. Orang perempuan yang sudah kawin, yang melakukan
zina;
Ke-2 a. Orang laki-laki yang turut melakukan zina itu, sedang
diketahui, bahwa yang turut bersalah, sudah bersuami;
b. Orang perempuan yang tidak bersuami, yang turut
melakukan zina itu, sedang diketahui bahwa yang turut
bersalah sudah beristri dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan suami/istri
yang terhina dan, dalam bagi suami/istri berlaku pasal 27 BW jika
dalam tempo tiga bulan sesudah pengaduan ini ia memasukkan
gugatan untuk berceraiatau agar dibebaskan dari kewajiban berdiam
bersama oleh karena itu juga.
(3) Atas pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan ini dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di muka
sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika atas suami/istri itu berlaku pasal 27 BW, maka pengaduan itu
tidak diindahkan sebelum perkawinan diputuskan karena perceraian
atau sebelum keputusan yang membebaskan mereka dari kewajiban
diam bersama menjadi tetap.”
49
Ibid., hal. 58.
37
Seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina,
apabila memenuhi tiga syarat esensial, yaitu:50
1) Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan
suami atau istrinya;
2) Bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW;
3) Dirinya sedang berada dalam perkawinan.
Pasal 27 BW/ KUH Perdata berbunyi:
“Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan
hanya dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya
dengan satu orang lelaki saja.”
Pasal ini adalah mengenai asas monogami, di mana dalam waktu yang sama
seorang laki-laki hanya boleh dengan satu istri, dan seorang perempuan hanya
boleh dengan satu suami.
Apabila pada laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku
Pasal 27 BW, sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya
melakukan zina itu tunduk pada Pasal 27 BW, dan diketahuinya bahwa laki-laki
atau perempuan yang berzina itu tunduk pada pasal 27 BW, kualitasnya bukanlah
melakukan kejahatan zina, tetapi telah turut serta melakukan zina, yang dibebani
tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut serta
50
AdamiChazawi, Op. Cit ., hal. 57.
38
melakukan zina ini, dilihat dari Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat
peserta (medepleger).51
Dilihat dari Pasal dan penjelasan tersebut, maka terdapat pengertian bahwa
jika laki-laki dan perempuan tersebut tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan
dan melakukan persetubuhan maka mereka tidak melakukan kejahatan perzinaan,
begitu juga jika perempuan dan laki-lakinya tidak termasuk dalam Pasal 27 BW,
maka kedua-duanya tidaklah melakukan kejahatan zina dan tidak ada yang
berkualitas sebagai pembuat pesertanya.
b. Kejahatan perkosaan dalam hal persetubuhan (verkrachting)
Tindak pidana perkosaan termasuk salah satu kejahatan terhadap kesusilaan
yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
Menurut WirjonoProdjodikoro52, terjemahan dalam bahasa
Indonesia dari kata verkrachtingadalah perkosaan, tetapi terjemahan ini
meskipun hanya mengenai nama suatu tindak pidana tidak tepat karena di
antara orang-orang Belanda verkrachtingsudah merasa berarti perkosaan
untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan
saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian perkosaan untuk
bersetubuh. Maka sebaiknya kualifikasi tindak pidana dari Pasal 285
KUHP ini harus perkosaan untuk bersetubuh.
51
AdamiChazawi, Loc. Cit.
WirjonoProdjodikoro, Op. Cit,. hal. 118.
52
39
Menurut ketentuan Pasal 285 di atas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan
ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah
sebagai berikut:53
1) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan
Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga
atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan
tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya
sampai orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
2) Memaksa seorang wanita
Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia.
3) Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki
dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga
mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.
c. Bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang dalam keadaan
pingsan
Kejahatan ini diatur dalam Pasal 286 KUHP yang berbunyi:
53
R. Soesilo, 1988, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Dengan Pasal Demi
Pasal, Cetakan Ke X, Bandung: Karya Nusantara, hal. 98, 209, 210.
40
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Persamaan antara kejahatan Pasal 286 dengan pasal 285 KUHP, adalah:54
1) Persetubuhan itu terwujud pada atau dengan perempuan korban, pada
saat korban dalam keadaan tidak berdaya.
2) Perempuan atau korban bukan istri si pembuat.
Sementara, perbedaan antara kejahatan Pasal 286 dengan pasal 285 KUHP,
ialah:55
1) Ketidakberdayaan atau pingsan perempuan (korban) pada Pasal 286 ini
tidak disebutkan sebab-sebabnya, yang jelas bukan sebab dari
perbuatan si pembuat sebab jika disebabkan oleh si pembuat maka
masuk dalam Pasal 285. Akan tetapi, pada Pasal 285 ketidakberdayaan
disebabkan oleh kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan
oleh si pembuat. Misalnya seorang dokter menyuntikkan obat tidur
pada seorang pasien perempuan, dalam keadaan tertidur kemudian
perempuan itu disetubuhinya.
2) Persetubuhan menurut Pasal 286 ini merupakan unsur perbuatan,
sedangkan menurut Pasal 285 adalah yang dituju oleh perbuatan
memaksa atau apa yang dikehendaki si pembuat, yang sekaligus adalah
unsur akibat konstitutif dalam perkosaan.
54
AdamiChazawi, Op. Cit., hal. 68.
AdamiChazawi, Loc. Cit.
55
41
3) Pada pasal 286 terdapat unsur diketahui bahwa perempuan itu dalam
keadaan tidak berdaya atau pingsan, yang dalam Pasal 285 tidak ada
unsur demikian.
d. Bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang umurnya belum 15
tahun
Kejahatan ini diatur dalam Pasal 287 KUHP yang berbunyi:
“(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar
perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga
bahwa umurnya belu, lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
jelas, bahwa ia belum waktunya untuk di kawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur
perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah
satu berdasarkan Pasal 291dan Pasal 294.”
Pasal 287 KUHP ini berbeda dengan Pasal 285 dan Pasal 286 KUHP di mana
persetubuhan ini terjadi tanpa kehendak dari korban, sedangkan dalam Pasal 287
persetubuhan ini terjadi atas kehendak dari korban, yang artinya atas dasar suka
sama suka, namun di sini yang menjadi dasar dipidananya perbuatan ini yaitu
karena umur korban yang belum mencapai 15 tahun atau belum waktu untuk di
kawin.
Persetubuhan menurut Pasal 287 ini sama dengan persetubuhan menurut
Pasal 284. Apabila perempuan ini disetubuhi oleh laki-lakinya yang pada saat itu
sedang beristri dan Pasal 27 BW berlaku baginya, dan berlakunya itu diketahui
oleh perempuan itu, maka ada dua kemungkinan. Apabila didasarkan pada
dibentuknya kejahatan Pasal 287, yang maksudnya memberi perlindungan
terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan-perbuatan yang
42
melanggar kesusilaan, maka tidak rasional dan tidak adil jika dipidana. Akan
tetapi, apabila didasarkan pada perbuatan persetubuhan itu dilakukan suka sama
senang padahal laki-laki itu telah beristri, dan Pasal 27 BW berlaku bagi laki-laki
tersebut, dan tentang keadaan ini telah diketahui oleh perempuan pasangannya
bersetubuh itu, dia dapat pula di jatuhi pidana.56
Menurut AdamiChazawi, perbuatan perempuan yang belum
berumur lima belas tahunn itu, sesuai Pasal 284, tetap merupakan
perbuatan turut berzina. Namun, terhadapnya tidak boleh dipidana
karena dengan berdasarkan Pasal 287 ini perbuatannya itu kehilangan
sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi di sini terdapat alasan
peniadaan pidana di luar undang-undang. Sementara itu, terhadap si
laki-laki yang telah beristri ini, dia telah melakukan dua tindak pidana
sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284 sebagai pleger(pembuat
pelaksana) dan Pasal 287 sebagai dader(pembuat tunggal).57
Sifat penuntutan dari tindak pidana ini adalah merupakan aduan relatif, hal ini
bisa dilihat dalam ayat ke duanya yaitu “ penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan, kecuali jika umur perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau
jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.”
Pasal 291 dan Pasal 294 itu sendiri berbunyi:
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286, 287, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lamadua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 286, 287, 289 dan
290 mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.”
56
Ibid., hal. 71.
AdamiChazawi, Loc. Cit.
57
43
Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikannya atau penjagaannya dia yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang
penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai pengawas, atau pesuruh dalam
penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu,
rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.”
Jadi, jika umur si perempuan belum mencapai dua belas tahun dan/atau ada
keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 291 dan Pasal 294, maka tindak pidana ini
tidak bersifat aduan. Jadi, jelas sifat tindak pidana Pasal 287 ini merupakan aduan
relatif.
e. Bersetubuh dengan istri yang belum waktunya untuk dikawini
Kejahatan ini diatur dalam Pasal 288 KUHP, yang berbunyi:
“ (1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seseorang
perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
(3)
Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
Pasal semacam ini tidak ada dalam KUHP Belanda tetapi di Indonesia
diadakan konon katanya di Indonesia terdapat kinderhuwelijken, yaitu perkawinan
44
yang istrinya masih sangat muda. Jika yang dimaksud adalah apa yang dinamakan
”gantung kawin”, maka tindak pidana ini tidak akan terjadi karena dalam gantung
kawin suami istri belum boleh berkumpul apalagi bersetubuh.58
Dilihat dari Pasal 288 ini, perbuatan menyetubuhi istri yang belum waktunya
dikawin bukanlah merupakan suatu larangan dan tidak dipidana, namun perbuatan
ini baru dikatakan larangan dan dipidana jika perbuatan tersebut mengakibatkan
luka-luka atau kematian. Dan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka
berat atau kematian maka dapat dikenakan ayat 2 dan/atau ayat 3nya. Akibat luka
berat atau kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini.
Mengenai luka berat telah dirumuskan secara limitatif dalam pasal 90.
Menurut Pasal 90, luka berat berarti:
a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
b) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
c) Kehilangan salah satu pancaindra;
d) Mendapatkan cacat berat;
e) Menderita sakit lumpuh;
f) Terganggunya daya pikir selama empat Minggu atau lebih;
g) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
58
WirjonoProdjodikoro, Op. Cit., hal. 120.
45
3. Tindak Pidana Kesusilaan Mengenai Perbuatan Cabul
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa mengenai perbuatan cabul di
dalam KUHP semuanya merupakan kejahatan seperti kejahatan kesusilaan dalam
hal persetubuhan. Kejahatan kesusilaan mengenai perbuatan cabul ini dimuat
dalam tujuh pasal, yaitu:
a. Pasal 289 KUH Pidana mengenai perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan;
b. Pasal 290 KUH Pidana mengenai kejahatan perbuatan cabul pada
orang pingsan atau tidak berdaya, umurnya belum 15 tahun dan lainlain;
c. Pasal 292 KUH Pidana mengenai perbuatan cabul sesama kelamin
(homoseksual);
d. Pasal 293 KUH Pidana mengenai menggerakkan orang yang belum
dewasa untuk melakukan atau dilakukan perbuatan cabul;
e. Pasal 294 KUH Pidana mengenai perbuatan cabul dengan anaknya,
anak tirinya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, dan
lain-lain;
f. Pasal 295 KUH Pidana mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lainlain;
g. Pasal 296 KUH Pidana mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh
orang lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan.
46
a. Kejahatan mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan
Perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan ini atau disebut juga
perkosaan berbuat cabul di rumuskan dalam Pasal 289 yang berbunyi:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Menurut komentar para penulis Belanda, perbuatan yang dipaksakan dalam
Pasal 289 (perbuatan cabul) merupakan pengertian umum yang meliputi
perbuatan bersetubuh dari Pasal 285 sebagai pengertian khusus.59
Perbedaan lain dari kedua tindak pidana tersebut adalah bahwa:60
1) Perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang lakilaki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul
dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang lakilaki.
2) Perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan di luar perkawinan
sehingga seorang suami boleh saja memperkosa istrinya untuk
bersetubuh, sedangkan perkosaan untuk cabul dapat juga dilakukan di
dalam perkawinan sehingga tidak boleh seorang suami memaksa
istrinya untuk cabul atau seorang istri memaksa suaminya untuk cabul.
59
Ibid., hal. 118.
Ibid., hal. 118-119.
60
47
b. Perbuatan cabul terhadap orang pingsan, orang belum berumur lima belas
tahun dan lain-lain
Kejahatan yang dimaksud tersebut diatur dalam pasal 290 KUHP, yang
berbunyi:
“ Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun
atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan
dengan orang lain.”
Dalam pasal 290 ini terdapat tiga bentuk kejahatan, yaitu:
1) Dalam ayat 1, yaitu mengenai pencabulan terhadap orang yang pingsan
atau tidak berdaya, hal ini sama seperti yang diatur dalam Pasal 286
KUHP yang dijelaskan dahulu, yang membedakannya adalah dari segi
perbuatannya yaitu pada Pasal 286 adalah merupakan perkosaan untuk
bersetubuh, sedangkan dalam pasal 290 ayat 1 ini merupakan perbuatan
cabul.
2) Dalam ayat 2, yaitu pencabulan terhadap orang yang umurnya belum 15
tahun atau tidak jelas umurnya. Hal ini sama dengan yang diatur dalam
48
Pasal 287 ayat (1), yaitu karena unsurnya sama, yang membedakan
adalah:61
a) Dari segi unsur perbuatannya, menurut Pasal 287 adalah bersetubuh,
dan menurut Pasal 290 ayat (2) adalah perbuatan cabul.
b) Dari unsur objek kejahatan yang menurut Pasal 287 harus seorang
perempuan yang bukan istrinya, tetapi objek kejahatan menurut Pasal
290 ayat (2) dapat seorang laki-laki atau perempuan.
3) Dalam ayat 3, yaitu membujuk seseorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau
kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk
dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain,membujuk di sini
tidak ditentukan bagaimana caranya oleh undang-undang. Perbuatan
membujuk harus diarahkan agar orang yang dibujuk melakukan tiga hal
perbuatan, yaitu:
a) dia melakukan perbuatan cabul;
b) dia membiarkan (pasif) dilakukan perbuatan cabul terhadap dirinya;
dan
c) bersetubuh di luar perkawinan dengan si pembuat yang membujuk.
Kejahatan dalam Pasal 290 ini merupakan tindak pidana materiil. Jadi agar
dapat terwujud secara sempurna, tidak cukup dari perbuatan membujuk saja,
61
AdamiChazawi, Op. Cit., hal. 83.
49
seperti pada tindak pidana formil. Akan tetapi, dari wujud perbuatan itu
diperlukan pula telah timbulnya suatu akibat yang dilarang (unsur akibat
konstitutif), yang incasu anak yang umurnya belum lima belas tahun itu telah
melakukan salah satu dari tiga perbuatan itu. Apabila perbuatan membujuk telah
selesai dilakukan, tetapi anak itu tidak menjalankan salah satu di antara ketiga
perbuatan yang dimaksudkan, belum terjadi tindak pidana secara sempurna, tetapi
yang terjadi adalah percobaannya, yang dapat dipidana (290 jo 53 KUHP).62
c. Perbuatan cabul sesama kelamin (homoseksual)
Kejahatan ini dirumuskan dalam Pasal 292 KUHP, yang berbunyi:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua pihak bersamasama, namun yang dihukum hanyalah seorang yang sudah dewasa.
Menurut WirjonoProdjodikoro63, pertimbangan dari pasal ini
tampaknya adalah kehendak pembentuk undang-undang untuk
melindungi kepentingan orang-orang yang belum dewasa, yang
menurut keterangan dengan perbuatan homoseksual ini kesehatannya
akan sangat terganggu, terutama jiwanya. Berbeda dalam hal cabul atau
bersetubuh antara laki-laki dengan perempuan. Maka, tidaklah dihukum
perbuatan cabul homoseksual ini antara dua orang dewasa.
62
Ibid., hal. 87-88.
WirjonoProdjodikoro, Op. Cit., hal. 121.
63
50
Jadi apabila perbuatan ini dilakukan oleh dua orang yang belum dewasa
atau dua orang yang sudah dewasa, maka bukan termasuk perbuatan yang
dirumuskan dalam Pasal 292 ini.
d. Menggerakkan orang yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan
cabul
Kejahatan ini dirumuskan dalam Pasal 293 KUHP, yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau
dengan penyesatan senjata menggerakkan seorang belum dewasa dan
baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,
diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutannya hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap
dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah
masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Perbuatan yang diatur dalam Pasal 293 adalah menggerakkan (bewegen),
yaitu adalah perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain, atau menanamkan
pengaruh pada kehendak orang lain ke arah kehendaknya sendiri. Jadi, objek yang
dipengaruhi adalah kehendak atau kemauan orang lain. Perbuatan menggerakkan
adalah perbuatan yang masih bersifat abstrak, dan akan lebih konkret wujudnya
51
setelah dihubungkan pada cara-cara bagaimana perbuatan menggerakkan
diwujudkan, yaitu incasu ada empat macam, sebagai mana telah ternyata dalam
rincian unsur-unsur di atas, yaitu64:
1) Dengan memberinya uang atau benda;
2) Dengan menjanjikan memberinya uang atau benda;
3) Dengan menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan
keadaan;
4) Dengan penyesatan.
e. Perbuatan cabul terhadap anak, anak tirinya, dan lain sebagainya
Kejahatan kesusilaan ini diatur dalam Pasal 98 KUHP, yang berbunyi:
“ (1) Barang siapa melakukan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikannya atau penjagaannya dia yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang
penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai pengawas, atau pesuruh
dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan,
rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga
sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.”
Perbuatan cabul termasuk juga perbuatan bersetubuh telah tercakup di
dalamnya. Menurut Pasal 294 ayat (1), terdapat hubungan antara si pembuat cabul
dengan orang yang dicabuli. Hubungan ini ada dua macam, yakni:65
64
AdamiChazawi, Op. Cit., hal. 91-92.
Ibid., hal. 100.
65
52
1) Hubungan kekeluargaan di mana si pembuat memiliki kewajiban
hukum untuk melindungi, menghidupi, memelihara, mendidiknya, dan
hubungan ini dipandang mempermudah pelaksanaan kejahatan.
Hubungan kekeluargaan ini, misalnya antara orang tua dengan anak
kandungnya, anak angkatnya, anak tirinya yang belum dewasa.
2) Hubungan di luar kekeluargaan, tetapi di dalamnya tumbuh kewajiban
hukum untuk memeliharanya, menghidupinya, ialah hubungan antara
si pembuat dengan: anak belum dewasa yang pengawasannya,
pendidikannya, pemeliharaannya diserahkan kepadanya, dengan
pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa.
f. Kejahatan memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, dan lainnya yang belum dewasa
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tindak pidana ini diatur dalam
Pasal 295 KUHP, yang berbunyi:
(1) Diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
yang dalam hal anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau
anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa yang
pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, ataupun oleh pembantunya atau bawahannya yang
belum cukup umur, dengan sengaja menyebabkan dan
mempermudah dilakukan perbuatan cabul dengannya.
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa
yang dalam hal dilakukannya perbuatan cabul oleh orang
selain yang disebutkan dalam butir 1 tersebut di atas yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa
dengan orang lain, dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan dilakukannya perbuatan cabul tersebut.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian
atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
53
Subjek hukum kejahatan ini tidak melakukan suatu perbuatan cabul, tetapi
yang melakukan perbuatan cabul adalah orang yang di sebutkan dalam ayat (1)
dan orang lain yang belum dewasa atau sepatutnya diduga belum dewasa. Si
pembuat melakukan perbuatan yang dilarang, yaitu menyebabkan perbuatan cabul
dan/atau mempermudah dilakukannya perbuatan cabul.
g. Kejahatan menyebabkan dan memudahkan perbuatan cabul
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 296 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau mempermudah
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya
sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas
ribu rupiah”.
Kejahatan yang diatur dalam Pasal 296 ini banyak persamaannya dengan
yang diatur dalam Pasal 295, yaitu persamaannya pada perbuatannya yang samasama melakukan perbuatan menyebabkan orang lain dan memudahkan perbuatan
cabul pada orang lain. Kemudian perbedaannya adalah:66
1) Menurut Pasal 295 ayat (1), orang yang dipermudah melakukan perbuatan
cabul itu adalah orang-orang yang berkualitas tertentu, yakni anaknya,
anak angkatnya dan lain-lain yang belum dewasa. Sedangkan menurut
Pasal 296 unsur-unsur itu tidak diperlukan.
66
Ibid., hal. 114.
54
2) Unsur dijadikan mata pencaharian dan kebiasaan menurut pasal 295
adalah berupa syarat atau alasan pemberatan pidana. Kejahatan dapat
terjadi tanpa harus dipenuhinya unsur dijadikan mata pencaharian atau
kebiasaan. Sebaliknya, menurut Pasal 296 ini adalah merupakan unsur
esensial kejahatan, yang artinya kejahatan tidak mungkin terjadi tanpa
adanya unsur ini.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode yuridis empiris atau penelitian hukum sosiologis yaitu pendekatan yang
mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri yang
menekankan pada pencarian-pencarian, keajegan-keajegan empirik dengan
konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga melakukan observasi
terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.67
Dengan pendekatan ini, terutama yang dipelajari dan yang diteliti adalah
tingkah laku atau perbuatan manusia dalam peranannya dalam proses hukum.
Pengkajian penelitian ini adalah mengenai Mediasi Penal yang dipilih oleh para
pihak sebagai cara yang dianggap efektif dalam penyelesaian tindak pidana
kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum sosiologis (empiris), yang mencakup penelitian terhadap identifikasi
efektivitas hukum.68 Penelitian ini menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil
67
Ronny Hanitijo Sumitro, 1998, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimerri,
Jakarta:Ghali Indonesia, hal. 11.
68
SarjonoSoekanto, 1983, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hal. 51.
56
dari perilaku manusia baik perilaku verbal yang dapat dilakukan melalui
wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan
langsung.69 Selain itu juga penelitian empiris digunakan untuk mengamati hasil
dari perilaku manusia berupa peninggalan fisik maupun arsip.70
C. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancaraterstruktur
yang diperoleh peneliti langsung dari objeknya, yaitu di sini adalah Unit PPA
(Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Banyumas.
2. Sumber DataSekunder
Sumber Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian
dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundangundangan.71Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan antara lain:
1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 73 Tahun
1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia;
69
Ibid, hal. 7.
Ibid, hal. 8.
71
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grasindo
Persada, hal. 106.
70
57
2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
3) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
4) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia;
5) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
6) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh
(deherseendeleer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan
dengan topik penelitian.72
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelas terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus, encylopedia, dan lain-lain.
D. Teknik Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis, yaitu :
1. Data primer dikumpulkan dengan cara studi lapangan, yaitu secara wawancara
kepada pihak terkait yang dalam hal ini yaitu Unit PPA (Perlindungan
Perempuan dan Anak) Polres Banyumas, wawancara tersebut menggali
72
Ibrahim Jhonny, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: PT.
Bayu Media Publishing, hal. 296.
58
informasi mengenai penerapan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana
kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul.
2. Data sekunder dikumpulkan dengan cara studi dokumen atau pustaka yaitu
dilakukan dengan mengumpulkan dan memeriksa dokumen-dokumen atau
kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang
dibutuhkan oleh peneliti. Bahan hukum yangberhubungan dengan masalah
yang
dibahas
dipaparkan,disistematisasi,
menginterpretasikan
hukum
yang
kemudian
berlaku.73Dengan
dianalisis
cara
untuk
membaca,
mempelajari dan menganalisisberbagai data sekunder yang berkaitan dengan
obyek penelitian.
E. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di PolresBanyumas.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu
analisis isi (contentanalysismethod). Contentanalysisadalah suatu teknik untuk
membuat interferensi yang dapat diulang (replicable) dan sahih data dengan
memperhatikan konteksnya. Untuk menilai setiap data dilakukan dengan analisa
isi (contentanalysis), agar dapat menjelaskan makna-makna simbolik yang tersirat
dalam bunyi setiap data dengan berpedoman pada tujuan utama penelitian.74
Penafsiran
data
dilakukan
dengan
menggunakan
teknik
“
TheoriticalInterpretation” di mana pada taraf permulaan peneliti tidak membatasi
73
Ibid., hal. 297.
NeongMuhajir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta:
Rekarasin, hal. 49.
74
59
diri pada satu teori, melainkan menggunakan beberapa teori yang dapat
dimanfaatkan untuk memahami data. Teori dalam proses ini bukan untuk
menjelaskan semua data, akan tetapi memfokuskan analisis data yang mendorong
untuk melakukan kajian-kajian selanjutnya. Teknisnya, penafsiran data dilakukan
dengan mendialogkan data dengan teori.
G. Validitas Data
Validitas data akan dilakukan dengan cara Triangulasi sumber data yang
bertujuan untuk menghasilkan keabsahan atau kebenaran data yang telah
dikumpulkan. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu.75
Triangulasi dibagi menjadi empat jenis, yaitu:76
1. Triangulasi sumber, membandingkan dan mengecek kembali derajat
kepercayaan data yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam
metode kualitatif.
2. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan 2 (dua) strategi, yang
pertama mengecek kembali derajat kepercayaan data melalui beberapa
teknik pengumpulan data, yang kedua mengecek kembali derajat
kepercayaan data dengan metode yang sama.
3. Triangulasi peneliti, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan
data yang diperoleh melalui penelitian atau pengamatan lain.
75
Laxi J Moleong, 2007, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Risda, hal. 178.
Ibid., hal. 179.
76
60
4. Triangulasi teori, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan
data yang diperoleh melalui penelitian dengan topik yang sama dan
datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teoritis yang
berbeda.
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian Penerapan Mediasi Penal sebagai penyelesaian Tindak Pidana
Kesusilaan Dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan Cabul (Studi Di Kepolisian
Reserse Banyumas) menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis, oleh karena itu
penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer berupa pendapat langsung dari informan, yaitu Unit PPA
(Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Banyumas yang dalam hal ini yang
menangani kasus-kasus perempuan dan anak. Data sekunder diperoleh dari
peraturan perundang-undangan, literatur dan doktrin yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Penerapan mediasi penal yang diteliti oleh penulis di
sini adalah mediasi penal yang diterapkan sebagai penyelesaian tindak pidana
kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian Reserse
banyumas.
62
1. Penerapan Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian Tindak Pidana
Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan Cabul Di Polres
Banyumas
a. Jumlah Perkara Mediasi Penal Pada Kasus Tindak Pidana Kesusilaan
dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan Cabul Di Polres Banyumas
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan sistem peradilan pidana
hanya memfokuskan kepada pelaku, padahal dalam hal ini korban juga tidak
boleh dikesampingkan, karena pada dasarnya korbanlah yang paling dirugikan
sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.Di Indonesia pengaruh
keadilan retributif dengan jelas dapat dilihat dalam bangunan hukum pidana
terutama dikaitkan dengan eksistensi negara di dalam memonopoli semua
pelanggaran, penjatuhan pidana dan tidak diakuinya penyelesaian sengketa
berdasarkan mediasi penal. Hanya negara yang memiliki otoritas untuk
menyatakan bahwa suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang, dan hanya
aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara yang berhak menyelesaikan
pelanggaran atas perbuatan yang dilarang tersebut. Akibatnya, proses mediasi
penal tidak diakui dan dianggap bertentangan dengan bangunan dasar hukum
pidana tadi. Namun sekarang sudah dikembangkan sistem peradilan pidana yang
bersifat restoratif yaitu restorativejustice. Mediasi penal merupakan salah satu
bentuk dari pelaksanaan restorativejustice.Restorative Justice adalah merupakan
filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki
kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku kriminal. Proses ini
63
sangat kontras dengan standar menangani kejahatan yang dipandang sebagai
pelanggaran yang dilakukan terhadap negara. Restorative Justice menemukan
pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam
pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban
pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang
mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan
masyarakat.77
Berdasarkan wawancara dengan wawancara denganKepala Unit PPA Ipda.
Iwan Kurniadi, SH., mengatakan:78 Jumlah perkara tindak pidana kesusilaan
dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian Reserse Banyumas
pada tahun 2013
yang pernah dilakukan mediasi penal yaitu tindak pidana
perzinaan yaitu sebanyak 3 (tiga) kasus dan terhadap tindak pidana pencabulan
yang pelakunya anak yang dilakukan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun
yang bukan istrinya yaitu sebanyak 6 (enam) kasus dan semua mediasi penal
tersebut berhasil menghasilkan kesepakatan. Untuk tindak pidana kesusilaan
dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul yang lainnya belum pernah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dalam hal ini Kepala Unit
PPA Ipda. Iwan Kurniadi, SH. mengenai persentase keberhasilan penyelesaian
perkara pidana dengan menggunakan mediasi penal yaitu pada tindak pidana
77
Kuat Puji Prayitno, 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia ( Perspektif
Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concerto), Jurnal Dinamika Hukum, Akreditasi:
Nomor 51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12 No. 3, Purwokerto, hal. 407.
78
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
64
kesusilaan dalam hal persutubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian Reserse
Banyumas jika digambarkan dengan tabel, maka:
Tabel persentase keberhasilan mediasi penal dalam penyelesaian tindak
pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di
Kepolisian Reserse Banyumas
Nama Tindak Pidana
Jumlah
Perkara Gagal Sukses
%
Yang Dimediasi
Zina
3
0
3
100%
Perbuatan cabul yang dengan 6
0
6
100%
pelaku anak dan korban anak
Berdasarkan tabel tersebut bisa dilihat bahwa penerapan mediasi penal sebagai
penyelesaian tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan
cabul yang pernah dilakukan di Kepolisian Reserse Banyumas tingkat
keberhasilannya 100%, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan mediasi penal
yang pernah dilakukan pada praktiknya di Kepolisian Reserse Banyumas sebagai
penyelesaian tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan
cabul adalah efektif.
Berdasarkan data wawancara, pihak kepolisian dalam hal ini Kepolisian
Reserse Banyumas sudah menerapkan mediasi penal sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana, yaitu dalam tindak pidana perzinaan sebanyak 3
65
(tiga) kasus dan tindak pidana pencabulan terhadap anak yang belum berumur 15
tahun yang bukan istrinya dengan pelaku anak sebanyak 6 (enam) kasus.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak mengatur:
“(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak
di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.”
Pasal 7 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak ini mengatur pembatasan upaya Diversi yaitu tindak pidana yang ancaman
pidananya penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, sedangkan mengenai tindak pidana
pencabulan yang dilakukan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun yang
bukan istrinya ancaman pidananya adalah 7 (tujuh) tahun penjara untuk pelaku
orang dewasa. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa “Pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa” dan juga berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No.
11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur bahwa
“Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua)
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”, berdasarkan hal
tersebut makatindak pidana pencabulan dengan pelaku anak yang dilakukan
66
terhadap anak yang belum berumur 15 tahun yang bukan istrinya ancaman
pidananya adalah 3 tahun 6 bulan, sehingga dapat dilakukan upaya Diversi.
b. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan
Cabul Yang Dapat Dilakukan Mediasi Penal Di Polres Banyumas
Tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul diatur
dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia buku II titel XIV
tentang Kejahatan-Kejahatan Melanggar Kesopanan, yang antara lain:
1) Pasal 284 KUH Pidana mengenai perzinaan;
2) Pasal 285 KUH Pidana mengenai perkosaan bersetubuh;
3) Pasal 286 KUH Pidana mengenai bersetubuh dengan perempuan yang
bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan;
4) Pasal 287 KUH Pidana mengenai bersetubuh dengan perempuan yang
belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya;
5) Pasal 288 KUH Pidana mengenai bersetubuh dalam perkawinan
dengan perempuan yang belum waktunya di kawin dan menimbulkan
luka atau kematian.
6) Pasal 289 KUH Pidana mengenai perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan;
7) Pasal 290 KUH Pidana mengenai kejahatan perbuatan cabul pada
orang pingsan atau tidak berdaya, umurnya belum 15 tahun dan lainlain;
67
8) Pasal 292 KUH Pidana mengenai perbuatan cabul sesama kelamin
(homoseksual);
9) Pasal 293 KUH Pidana mengenai menggerakkan orang yang belum
dewasa untuk melakukan atau dilakukan perbuatan cabul;
10) Pasal 294 KUH Pidana mengenai perbuatan cabul dengan anaknya,
anak tirinya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, dan
lain-lain;
11) Pasal 295 KUH Pidana mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lainlain;
12) Pasal 296 KUH Pidana mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh
orang lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan.
Menurut doktrin mengenai tindak-tindak pidana yang dapat di mediasi
penal yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:79
1) Ancaman pidana yang rendah
Tindak pidana yang dapat dimediasikan hendaknya tindak pidana yang
hanya diancam dengan ancaman pidana denda atau ancaman pidana penjara
paling lama satu (1) tahun dan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
paling lama 5 tahun untuk tindak pidana tertentu seperti Pasal 359 KUHP
(kelalaian berakibat matinya orang lain) dan Pasal 360 KUHP (kelalaian
mengakibatkan orang lain luka berat).
79
Agustinus Pohan, Dkk, Op. Cit., hal.322-323.
68
2) Tingkat kerugian yang ditimbulkan
Tindak pidana yang dapat dimediasikan haruslah tindak pidana yang
menimbulkan kerugian yang kecil saja, seperti dalam pelanggaran-pelanggaran
dankejahatanringan.
Contohnya:tindakpidanapencurianringan,penganiayaanringan,
penipuan
ringan dan penggelapan ringan.
3) Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian
Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian dapat dimediasikan, hal ini
menyangkut sikap batin pelaku tindak pidana. Dalam kelalaian tindak pidana
dan akibat yang terjadi bukan karena kehendak pelaku, melainkan karena
kekurangan penghati-hatian.
4) Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut maupun relatif.
Tindak pidana aduan dapat dimediasikan karena penuntutannya didasarkan
pada ada atau tidak adanya pengaduan, dan adanya kesempatan bagi korban
atau pengadu untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak sampai
berlanjut pada peradilan pidana.
Contoh : delik zina, penghinaan dan lain-lain.
5) Tindak Pidana Yang Melibatkan Anggota Keluarga Sebagai Pelaku/Korban
Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi penal yaitu
mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat kembali hubungan antara
69
pelaku tindak pidana dan korban. Dengan demikian apabila terjadi tindak
pidana yang melibatkan anggota keluarga maka dimungkinkan untuk dilakukan
proses mediasi penal.
6) Tindak Pidana Di Mana Pelakunya Anak di Bawah Umur
Terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana terdapat
ketentuan khusus, sehingga proses peradilan pidana yang dijalaninya tidak
menimbulkan trauma berkepanjangan yang akan mengganggu perkembangan
psikisnya, sehingga dibuka kemungkinan besar untuk penyelesaian dengan
jalan proses mediasi penal.
7) Tindak Pidana yang Unsur-Unsur tindak pidananya tidak jelas
Hal ini dikemukakan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur Made
Rawa Aryawan, bahwa untuk tindak pidana yang tidak begitu jelas unsur
pidananya, maka lebih baik dimediasikan dalam penyelesaiannya.
Untuk menentukan tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan
perbuatan cabul tersebut yang dapat dilakukan mediasi penal di Kepolisian
Reserse Banyumas, maka berdasarkan wawancara dengan Kepala Unit PPA Ipda.
Iwan Kurniadi, SH. tentang tindak pidana yang bisa dilakukan mediasi penal yaitu
beliau mengatakan bahwa:80 Untuk menentukan suatu tindak pidana dapat
dilakukan mediasi penal dapat dilihat dari sifat deliknya, yang dibedakan sebagai
delik absolut, delik relatif, dan delik aduan. Yang bisa dilakukan mediasi adalah
tindak pidana yang sifatnya aduan dan juga memandang kepentingan umum.
80
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
70
Dalam mediasi penal ini juga telah mengaplikasikan dalam aturan perundangundangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yaitu tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku.
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud anak adalah “seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Kemudian
dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dalam Pasal 1 ayat (2) mengenai anak yang berhadapan dengan hukum adalah
“anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana,
dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”.Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa
anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah “anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Pasal 1 ayat (4) mengatur anak
yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah
“anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”.
Pasal 1 ayat (5)anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah “anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,
dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”.
71
Pasal 7 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak mengatur:
“(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.”
Dari data hasil wawancara jika dihubungkan dengan doktrin dan aturan
perundang-undangan, maka pihak kepolisian hanya mensyaratkan untuk tindak
pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul yang dapat
dilakukan mediasi penal yaitu untuk tindak pidana yang bersifat aduan dan/atau
pelakunya anak di bawah umur.
Berdasarkan pendapat pihak kepolisian tersebut jika diterapkan dalam tindak
pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul tersebut maka
yang dapat dilakukan mediasi penal di Polres Banyumas yaitu:
1) Untuk delik yang bersifat aduan
a) Pasal 284 KUHP mengenai perzinaan;
b) Pasal 287 KUHP mengenai bersetubuh dengan perempuan bukan
istrinya yang umurnya belum 15 tahun;
c) Pasal 293 KUHP mengenai menggerakkan orang yang belum dewasa
untuk melakukan perbuatan cabul yang deliknya bersifat aduan.
72
2) Untuk delik yang bukan aduan, dengan syarat semua tindak pidana
tersebut dilakukan oleh anak yang dengan ancaman pidananya di bawah 7
tahun penjara yang dilihat dari ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa dan bukan pengulangan tindak pidana,
yaitu antara lain:
a) Pasal 285 KUHP mengenai perkosaan dalam hal persetubuhan
(verkrachting) yang apabila pelakunya anak ancamannya menjadi 6
(enam) tahun penjara;
b) Pasal 286 KUHP mengenai bersetubuh dengan perempuan yang bukan
istrinya yang dalam keadaan pingsanyang apabila pelakunya anak
ancamannya menjadi 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan penjara;
c) Pasal 289 KUHP mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaanyang apabila pelakunya anak ancamannya menjadi 4 (empat)
tahun 6 (enam) bulan penjara;
d) Pasal 290 KUHP mengenai kejahatan perbuatan cabul pada orang
pingsan atau tidak berdaya, umurnya belum 15 tahun dan lain-lain yang
apabila pelakunya anak ancamannya menjadi 3 (tiga) tahun 6 (enam)
bulan penjara; dan
e) Pasal 296 KUHP mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh orang
lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaanyang apabila
pelakunya anak ancamannya menjadi 8 (delapan) bulan penjara.
73
Tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul yang
tidak dapat diterapkan di Kepolisian Reserse Banyumas yaitu;
1) Karena tindak pidana tidaklah bersifat aduan dan juga pelakunya sudah
pasti orang dewasa, antara lain:
a) Pasal 288 KUHP mengenai bersetubuh dalam perkawinan dengan
perempuan yang belum waktunya di kawin dan menimbulkan luka
atau kematian;
b) Pasal 292 KUHP mengenai perbuatan cabul sesama kelamin
(homoseksual);
c) Pasal 294 KUHP mengenai perbuatan cabul dengan anaknya, anak
tirinya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, dan lainlain; dan
d) Pasal 295 KUHP mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lainlain.
Berdasarkan teori, tindak pidana tersebut dapat dilakukan mediasi penal
dengan syarat tindak pidana tersebut melibatkan anggota keluarga sebagai
pelaku/korban.
74
c. Prosedur Mediasi Penal Di Kepolisian Reserse Banyumas
Berdasarkan hasil wawancara dengan Unit PPAIpda. Iwan Kurniadi, SH, yang
mengatakan:81
Penerapan mediasi penal di Polres Banyumas yaitu setelah ada kesepakatan
dari para pihak dalam hal ini yaitu korban dan pelaku yang menyatakan bahwa
akan menyelesaikan perkara secara kekeluargaan dan kesepakatan itu dibuat
dalam bentuk tertulis dan ditempel meterai dengan tanda tangan para pihak.
Kemudian surat kesepakatan itu akan diajukan kepada atasan dalam hal ini yaitu
kepala Unit PPA. Setelah ada persetujuan dari atasan maka pihak kepolisian yang
ditunjuk akan melakukan mediasi terhadap pelaku dan korban, dan yang
menentukan hasil kesepakatan adalah dari pihak korban dan pelaku sendiri,
biasanya terjadi perdamaian atau ganti rugi berupa restitusi yang besarnya
ditentukan oleh para pihak. Kemudian jika mediasi gagal maka kasus akan
dilanjutkan ke proses peradilan pidana.
Jika di gambarkan dengan skema diagram yang dilakukan mediasi dan yang
tidak dilakukan mediasi di tingkat kepolisian, yaitu:
81
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
75
Diagram I
“ Penerapan mediasi penal dalam tingkat Kepolisian”
Proses Peradilan
Pidana
Persetujuan
Gagal
Penuntutan


Perdamaian
Restitusi
Sukses
Mediasi Penal
Pelaku dibebaskan
Penyelidikan
Delik aduan/ tindak pidana yang pelaku atau korban adalah anak
Pelaku
Korban
Penjelasan diagram:
1. Setelah terjadi tindak pidana maka korban melakukan laporan kepada
kepolisian dan kemudian kepolisian melakukan penyelidikan. Dan untuk
kasus tertentu yang dapat dilakukan mediasi pihak Kepolisian memanggil
korban dan pelaku untuk menawarkan mediasi penal atau atas inisiatif
korban dan pelaku sendiri, yang terpenting adalah ada persetujuan dari
pihak korban dan pelaku.
2. Jika menggunakan mediasi penal maka pihak kepolisian memfasilitasi dan
memberikan pengarahan terhadap pihak korban dan pelaku. Dan jika tidak
76
ada kesepakatan dari pelaku dan korban maka perkara dilanjutkan sesuai
sistem peradilan pidana.
3. Jika mediasi penal tidak menemui kesepakatan, maka perkara dilanjutkan
kembali sesuai sistem peradilan pidana.
4. Jika mediasi penal berhasil maka terjadi suatu kesepakatan, yang antara
lain, perdamaian, restitusi dan pelaku dibebaskan.
Mengenai bentuk kesepakatan dalam mediasi penal, berdasarkan wawancara
dengan Kepala Unit PPA Ipda. Iwan Kurniadi, SH., yang mengatakan:82
Mengenai bentuk kesepakatan ditentukan sendiri oleh para pihak yang melakukan
mediasi, pihak kepolisian hanya memfasilitasi saja, namun berdasarkan praktik di
lapangan biasanya kesepakatan itu berbentuk perdamaian dan pemberian restitusi.
Dalam hal ini memang belum ada peraturan mengenai bagaimana bentuk dari
kesepakatan dari mediasi penal, karena mediasi penal sendiri belum ada aturan
secara khusus tersendiri, jadi kepolisian hanya berdasar pada kebiasaan praktik
yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada korban.
Mengenai pelanggaran terhadap klausul-klausul kesepakatan dari hasil
mediasi penal, berdasarkan wawancara dengan Kepala Unit PPA Ipda. Iwan
Kurniadi, SH., yang mengatakan:83 Jika ada kesepakatan antara kedua pihak
dalam hal ini korban dan pelaku dan kemudian ada pencabutan laporan, namun
82
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
83
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
77
seiring berjalannya waktu apabila ada pihak yang melanggar klausul-klausul yang
disepakati, maka perkara tidak dapat dilaporkan lagi. Namun ada jalur hukum lain
yang bisa menerima pelanggaran terhadap kesepakatan tadi, yaitu peradilan
perdata yang membahas tentang ingkar janji.
d. Dasar Hukum Kewenangan Kepolisian dalam Penerapan Mediasi
Penal
Mediasi
penal
merupakan
salah
satu
bentuk
dari
pelaksanaan
restorativejustice, yaitu konsep yang memandang kejahatan secara lebih luas.
Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya
sekadar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang mewakili korban, dan
meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara ( Jaksa
penuntut umum). Restorativejusticemenuntut proses peradilan pidana untuk
memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang
dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma
dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana.
Dalam mediasi penal dikenal beberapa model penyelesaian sengketa pidana,
menurut Mahrus Ali dalam bukunya disebutkan antara lain:84
a. Traditionalvillageortribalmoots
Menurut model ini seluruh anggota masyarakat bertemu untuk
memecahkan konflik kejahatan di antara warga negaranya. Penerapan
model ini terdapat di negara-negara berkembang dan umumnya di daerah
84
Mahrus Ali, Op. Cit., hal. 101-108.
78
pedesaan atau pedalaman. Dalam penyelesaian konflik kejahatan yang
dilakukan oleh warga masyarakat, titik tekan model ini lebih pada
manfaat yang ingin dicapai oleh masyarakat yang berada di wilayah itu.
Jadi, model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas
ketimbang pelaku dan korban kejahatan.
b. Victim-offendermediation(VOM)
Fokus utama Victim-offendermediation(VOM) adalah menempatkan
pelaku dan korban kejahatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Korban diberi hak untuk bertanya kepada pelaku mengapa dia menjadi
korban, tujuannya adalah agar pelaku bertanggungjawab atas tindakannya.
Pelaku juga diminta bertanggungjawab atas tindakannya yang merugikan
korban. Selain itu, konflik antara keduanya bisa diselesaikan dengan hasil
yang sama-sama diterima oleh kedua pihak. Semua itu dapat terwujud jika
permaafan dijadikan sebagai basis utama, artinya, di satu sisi pelaku
mengakui bahwa tindakannya yang merugikan korban adalah merupakan
tindakan yang salah, meminta maaf kepada korban serta siap
bertanggungjawab atas semua kerugian yang dialami korban, sedangkan
pada sisi yang lain, korban menerima permintaan maaf pelaku. Pemaafan
mensyaratkan adanya kemauan seseorang untuk menerima hak orang lain
untuk memarahi, mendapatkan penilaian negatif dan perilaku tidak
berkenan yang disebabkan oleh ketidakadilannya pada orang itu. Victimoffendermediation(VOM) umumnya diterapkan pada tindak pidana seperti
tindak pidana harta benda, tindak pidana penghinaan, pelukaan ringan,
penghinaan atas dasar ras, agama, dan pelecehan seksual. Bahkan, saat ini
VOM cenderung diterapkan pada tindak pidana yang menimbulkan luka
dan kerugian yang besar pada korban.
c. Informal mediation model
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana
(criminaljusticepersonnel) dalam tugas normalnya. Pejabat polisi
menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat menenangkan
situasi tanpa melanjutkan proses perkara pidana yang dihadapi kepada
jaksa. Demikian juga jaksa penuntut umum mengundang para pihak untuk
adanya penyelesaian informal dengan tujuan untuk tidak melanjutkan
penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Hakim dapat juga memilih upaya
penyelesaian di luar pengadilan dan melepaskan kasusnya. Keberadaan
pekerja sosial atau pejabat pengawas (probationOfficer) yang berpendapat
bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh besar bagi pelaku
tindak pidana, juga diperhatikan berdasarkan model ini. Dengan peran dan
kapasitasnya masing-masing aparat penegak hukum yang demikian, dapat
79
disimpulkan bahwa informal mediation model ini sudah biasa diterapkan
di dalam seluruh sistem hukum.
d. Reparationnegotationprograms model
Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau
perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban,
dan biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak
berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan
dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak
pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan demikian dapat
menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.
e. Community panelsorcourts model
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel
dan informal serta sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi. Dalam
model ini pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk
mediasi itu.
f. Familyandcommunitygroupconference model
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Model
ini tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga
keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti
polisi dan hakim) dan para pendukung korban. Dalam model ini pelaku
dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang
komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk
menjaga si pelaku keluar dari kesusahan atau persoalan berikutnya.
Proses mediasi penal di tingkat kepolisian apabila dikaji dari model
penyelesaian sengketa pidana dengan mediasi penal maka termasuk dalam
Informal mediation modelyaitu karena dilaksanakan oleh personil peradilan
pidana (criminaljusticepersonnel) dalam tugas normalnya dalam hal ini pihak
kepolisian.
Mediasi penal di Indonesia sendiri belum ada aturan yang mengatur secara
tegas mengenai mediasi penal, kewenangan yang diberikan undang-undang
80
kepada polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tidak secara eksplisit
berkenaan dengan mediasi penal, kecuali polisi mau menafsirkan Pasal 5 ayat (1)
huruf a ke-4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana berkaitan dengan kalimat “mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab secara progresif”, dalam arti tidak
dikungkung oleh paradigma positivisme. Dalam penjelasan Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan
bahwa yang dimaksud “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidikan dengan
syarat:85
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia.
Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia juga memberikan peluang bagi aparat kepolisian untuk
bertindak menurut penilaiannya sendiri. Penegasan Pasal 18 Ayat (1) undangundang Kepolisian sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian
85
Ibid., hal. 112.
81
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
Kata “tindakan lain” dan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” memberi
kebebasan kepada polisi dalam hal dan kreativitas dalam menangani suatu perkara
pidana. Peluang yang diberikan undang-undang kepada polisi tersebut memberi
wewenang kepadanya untuk melakukan diskresi. Diskresi kepolisian menurut
RoescoePound adalah:86
“
Police
discretionisanauthorityconferredbylawtoactincertainconditionorsituation;
inaccordancewithofficial’soranofficialagency’sownconsideredjudgementan
dconscience. Itisanidea of morals, belongingtothetwilight zone
betweenlawandmorals.” (Diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak
yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi
dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri).
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau
memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum
atau perkara, sehingga memungkinkan digunakannya mediasi penal sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa pidana apabila dilihat dari penyebab, alasan,
dan area digunakannya diskresi.
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
meskipun belum berlaku efektif karena undang-undang ini baru berlaku 2 (dua)
tahun setelah undang-undang ini diundangkan, namun pihak kepolisian sudah
mulai menerapkan undang-undang ini dalam praktiknya. Pihak kepolisian dalam
86
hal.146.
Sadjijono, 2009, Memahami Hukum Kepolisian , Yogyakarta: LaksbangPressindo,
82
menerapkan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak ini berdasar pada interpretasi futuristis karena Undang-Undang No. 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini belum mempunyai kekuatan
hukum. Interprestasifuturistis atau metode penemuan hukum yang bersifat
antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada
undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.87
Dalam Pasal 5Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan
pidana anak disebutkan:
“(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani
pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.”
Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem
peradilan pidana anak disebutkan bahwa “Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.”
Dari Pasal 5 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana
anak ini maka pihak kepolisian mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
87
Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Purwokerto:Universitas Jenderal Soedirman, hal. 179.
83
luar peradilan pidana atau yang disebut Diversi. Dalam pengalihan penyelesaian
perkara anak ini maka pihak kepolisian bisa menerapkan mediasi penal untuk
penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia “ Dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara umum berwenang:
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum”
Berdasarkan tersebut maka pihak kepolisian berwenang untuk menyelesaikan
perselisihan dalam masyarakat maka dari hal tersebut pihak kepolisian bisa
melakukan mediasi penal sebagai salah satu alternatif cara untuk menyelesaikan
perselisihan warga masyarakat.
2. Kendala-Kendala Pelaksanaan Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian
Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hal Persetubuhan dan Perbuatan
Cabul Di Kepolisian Reserse Banyumas
Penerapan mediasi penal oleh pihak kepolisian terhadap tindak pidana
kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian Reserse
Banyumas dipengaruhi oleh komponen-komponen yang terkandung dalam hukum
84
sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman seperti yang
dikutip oleh EsmiWarassih88 yaitu:
a. Komponen Struktur (structure)
Struktur (structure), dalam hal ini sistem hukum merupakan kerangka atau
rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan
batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia jika berbicara tentang struktur sistem
hukum, maka termasuk didalamnya struktur institusi penegak hukum yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Struktur
dalam permasalahan ini dititikberatkan kepada kepolisian yang melakukan
mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana kesusilaan dalam hal
persetubuhan dan perbuatan cabul.
Berdasarkan wawancara dengan Unit PPAIpda. Iwan Kurniadi, SH. yang
mengatakan89: Mengenai mediator yang berasal dari pihak kepolisian tidak ada
pendidikan sebagai mediator, sehingga mediasi didasarkan pada pengalaman, dan
yang melakukan biasanya kepala unit.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dalam lembaga kepolisian dari segi
pendidikan kepolisian sendiri belum ada pendidikan yang mempelajari bagaimana
seorang polisi diposisikan sebagai mediator dalam suatu penyelesaian perkara
dengan mediasi penal. Hal tersebutdapat menjadi kendala dalam pelaksanaan
88
EsmiWarassih, 2005, Pranata Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT. Suryandaru
Utama, hal. 78.
89
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
85
mediasi penal karena polisi yang diposisikan sebagai mediator kurang memahami
perannya, sehingga proses mediasi pun kurang berjalan dengan baik.Dalam
penerapan mediasi penal diperlukan adanya mediator yang profesional dan bisa
menengahi para pihak dengan obyektif dalam proses mediasi, maka diperlukan
adanya pendidikan secara formal untuk menjadi mediator dalam hal ini
pendidikan untuk polisi agar lebih profesional dalam tindakannya sebagai
mediator. Dengan adanya pendidikan tersebut, pihak kepolisian akan menjadi
lebih siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
proses mediasi.
b. Komponen Substansi (substance)
Komponen Substansi (substance) yaitu berupa norma-norma hukum baik itu
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya
dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. Dalam
penerapan mediasi penal oleh pihak kepolisian terhadap penyelesaian tindak
pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul berdasarkan pada
norma-norma hukum meskipun secara tersirat dan jika pihak kepolisian mau
menafsirkanPasal 5 ayat (1) huruf a ke-4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berkaitan dengan kalimat
“mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab secara
progresif” dan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia: “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
86
bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Sebagai kewenangan kepolisian yang
berupa diskresi, yang dalam kewenangan kepolisian yang berupa diskresi tersebut
pihak kepolisian bisa melakukan mediasi penal. Dari hal ini pihak kepolisianlah
yang mempunyai peran dominan selain para pihak sendiri dalam menentukan bisa
tidaknya suatu tindak pidana bisa dilakukan mediasi atau tidak, maka jika
kepolisian masih mengutamakan hukum pidana yang bersifat formal yang padahal
ada alternatif lain yang lebih cocok untuk penyelesaian perkara pidana maka
mediasi penal menjadi sukar untuk dilakukan.
c. Komponen Kultur Hukum (legal culture)
Manusia adalah makhluk budaya, ia tidak hanya mempunyai status biologis.
Sebagai makhluk budaya yang demikian itu, maka ia mampu menerima isyaratisyarat yang tidak biasa ditangkap oleh makhluk-makhluk lain, seperti hewan dan
tanaman-tanaman. Sedangkan hukum adalah norma yang mengajak masyarakat
untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia
kenyataan dan oleh karenanya ia digolongkan ke dalam norma kultur. Bagaimana
pun juga, ia tetap memperlihatkan ciri-ciri suatu norma yang digolongkan ke
dalam norma susila yang menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa
yang pasti akan dilakukan.90 Hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi
struktur dan substansinya saja, melainkan juga dari segi kultur. 91
Komponen kultur hukum (legal culture), merupakan sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum, didalamnya terdapat kepercayaan tentang nilai,
90
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 27.
Ibid, hal. 154.
91
87
pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum juga dapat dikatakan sebagai apa atau
siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan struktur hukum
itu.92 Seorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum, dan patuh atau tidak
terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya. Kita dapat mengatakan
bahwa kultur hukum seseorang dari lapisan bawah akan berbeda dengan mereka
yang berada dilapisan atas. Demikian pula kultur hukum seorang pengusaha
berbeda dengan orang yang bekerja sebagai pegawai negeri dan seterusnya. Jadi
tidak ada dua orang laki-laki yang maupun wanita yang memiliki sikap yang sama
terhadap hukum.93
Penerapan mediasi penal selain ditentukan dari bisa atau tidaknya suatu tindak
pidana dilakukan mediasi penal oleh pihak kepolisian juga melihat dari kesediaan
para pihak untuk menyelesaikan perkara pidana dengan menggunakan mediasi
penal, hal ini terutama korban dan keluarga korban tindak pidana itu sendiri.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Unit PPAIpda. Iwan Kurniadi, SH.
yang mengatakan94: Keluarga dari korban biasanya yang sering tidak terima
dengan apa yang telah dilakukan pelaku terhadap korban, sehingga kadang
keluarga korban dalam menghadapi proses mediasi masih berdasar pada emosinya
kepada pelaku, bukan dalam rangka untuk pemenuhan yang terbaik bagi korban.
92
EsmiWarassih, Op. Cit,hal93.
Ibid, hal. 96.
94
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
93
88
Berdasarkan data tersebut maka bisa dilihat bahwa peran para pihak yaitu
pelaku dan keluarga pelaku dengan korban dan keluarga korban sangat penting
dalam proses mediasi penal. Jika korban dan/atau pelaku tidak bersedia untuk
menempuh upaya mediasi penal maka proses mediasipenal pun tidak akan
berjalan, dan juga jika korban dan/pelaku masih anak-anak, maka mereka akan
diwakili oleh orang tua atau walinya, dan terkadang keluarga korban dalam
pelaksanaan proses mediasi penal masih bersifat ingin balas dendam bukan dalam
rangka untuk pemenuhan yang terbaik bagi korban, maka proses mediasi penal
pun juga akan terhambat.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Unit PPAIpda. Iwan Kurniadi, SH.
yang mengatakan95: mengenai besarnya ganti rugi atau restitusi yang diminta oleh
pihak korban, pihak korban sering meminta ganti rugi yang terlalu besar, dan
seringnya juga pihak pelaku itu dari keluarga yang kurang mampu, sehingga
sangat sukar dalam penentuan proses besarnya ganti rugi.
Mengenai besarnya restitusi memang dalam penerapan mediasi penal bisa
menjadi penghambat, karena terkadang keinginan korban dan pelaku tidak sama.
Mengenai pemenuhan kepentingan yang terbaik bagi korban tidak ada kepastian
bentuk dan jumlah restitusi, maka dari itu pihak kepolisian menjadi sukar dalam
menengahi para pihak, sehingga proses mediasi penal dapat terhambat dan tidak
ada hasil kesepakatan. Seharusnya para pihak harus saling memahami keadaan
95
Hasil Wawancara dengan Kerpala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian
Reserse Banyumas, pada tanggal 11 September 2013.
89
masing-masing, dengan memandang inti dari tujuan diadakannya mediasi penal,
yang di sebutkan olehAgustinus Pohan dalam bukanya antara lain:96
1) Menyelesaikan konflik pidana dengan mengadakan rekonsiliasi antar
pelaku tindak pidana dan korban.
2) Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban berupa restitusi
dan ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
3) Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara pelaku dan korban
karena adanya tindak pidana.
4) Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan martabat korban.
96
Agustinus Pohan, Dkk, Op. Cit., hal. 321-322.
90
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkanhasilpenelitiandanpembahasandiatas,
makadapatdisimpulkansebagaiberikut:
1. Penerapan mediasi penal sebagai penyelesaian tindak pidana kesusilaan
dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di Kepolisian Reserse
Banyumas tingkat keberhasilannya adalah 100%, yaitu pernah diterapkan
pada perkara zina dan perbuatan cabul dengan pelaku anak dengan korban
anak. Pihak kepolisian dalam penerapan mediasi penalberdasar pada
diskresi dan diversi, penerapannya dengan syarat tindak pidana yang
bersifat aduan dan/atau tindak pidana yang pelakunya adalah anak dengan
syarat ancaman pidananya kurang dari 7 (tujuh) tahun penjara dan juga
dengan persetujuan dari para pihak untuk melakukan mediasi penal.
2. Kendala-kendala dalampenerapan mediasi penal sebagai penyelesaian
tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan dan perbuatan cabul di
Kepolisian Reserse Banyumas yaitu:
a. Komponen struktur, yaitu belum ada pendidikan sebagai mediator
dalam lembaga kepolisian.
b. Komponen substansi, yaitu pihak kepolisian dalam penerapan mediasi
penal
salah
satunya
berdasar
pada
kewenangannya
yaitu
91
kewenanganmelakukan diskresi, namun tidak semua polisi mau
menggunakan kewenangan tersebut, dan lebih mementingkan
pemidanaan.
c. Komponen kultur hukum, yaitu bisa diterapkannya mediasi penal
selain dari pihak kepolisian yang mau atau tidaknya melakukan
mediasi penal juga harus ada kesepakatan dari para pihak, namun
terkadang korban enggan menggunakan mediasi penal. Dalam proses
penentuan restitusi pihak korban juga sering meminta yang lebih dari
kemampuan pihak pelaku.
B. Saran
Beberapa saran dapatdiberikanberkaitandenganpermasalahan yang
diajukandalampenelitianini adalah:
1. Pihak kepolisian harus mementingkan pemenuhan kepentingan yang
terbaik bagi korban sebagai mana tujuan dari diadakannya mediasi
penal;
2. Membuat aturan mengenai batasan restitusi, sehingga besarnya
restitusi wajar, dan diterima oleh para pihak;
3. Memberikan pelatihan atau pendidikan terhadap mediator dari pihak
kepolisian agar bisa profesional dan bisa menghadapi berbagai
permasalahan dalam proses mediasi.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Abidin, H.A. Zainal. 2007. Hukum Pidana 1. Jakarta: sinar Grafika. cet.II.
Ali, Mahrus. 2013. Melampaui Positivisme Hukum Negara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanaan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Heru Permana, Is. 2007. Politik Kriminal. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Purwokerto:Universitas Jenderal Soedirman.
Jhonny, Ibrahim. 2010. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: PT.
Bayu Media Publishing.
Joachim Friedrich, Carl. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan
Nusamedia.
Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya.
Jakarta: Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Muhajir, Neong. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III. Yogyakarta: Rekarasin.
Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni.
Moleong, Laxi J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Risda.
Nawawi Arief, Barda. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti.
. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan. Semarang:
Pustaka Magister.
Pohan, Agustinus, Dkk. 2012. Hukum Pidana dalam Perspektif. Bali: Pustaka Larasan.
Prakoso, Djoko dan Agus Imunarso.
1987. Hak
Asasi Tersangka
dan Peranan
Psikologi dalam Konteks KUHAP. Jakarta: Bina Aksara.
Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum di Indonesia, Bandung : PT.Eresco.
. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: PT Refika
Aditama. Cetakan Kedua. Edisi Ketiga.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.
Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum.
Sadjijono. 2009. Memahami Hukum Kepolisian. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Sholehuddin. 2004. Sistem Sanksi dalam hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo.
Soedarso. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Jakarta; Ghalia
Indonesia.
. 2008. Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pres.
Soekanto, Soerdjono dan Purnadi Purwacaraka. 1992. Sendi-Sendi dan Hukum Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sumitro, Ronny Hanitijo. 1998. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimerri. Jakarta: Ghali
Indonesia.
Sunarso, Siswanto, 2012, Viktimologi dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:
Sinar Grafika.
Syamsudin, M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grasindo
Persada.
Tongat, Dalam. 2003. Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap
Subyek Hukum Dalam KUHP. Jakarta: Djambatan.
Van Kan, J. dan J.H. Beekhuis. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Warassih, Esmi. 2005. Pranata Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT. Suryandaru Utama.
Zulfa, Eva Achjani. 2009. Keadilan Restoratif. Jakarta:Badan Penerbit FH UI.
Disertasi, Tesis, Skripsi, Jurnal dan Paper:
Ikatan Hakim Indonesia. 2011. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVI No. 306,
IKAHI.
Lilik Mulyadi. Artikel Ilmiah tentang “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia”.
Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia ( Perspektif
Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concerto). Purwokerto. Jurnal Dinamika
Hukum. Akreditasi: Nomor 51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12 No. 3.
Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
, Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
, Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Download