Laporan Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Dosen: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, Msi dan Ir. Sutrisno Koswara, MSi Asisten: Desty Gitapratiwi, STP Rina Budiyati (F24060756), Palestina Santana (F24061093), Nicho Afiandi (F24061661), dan Sandra Mariska (F24062269) Golongan/Kelompok: P3/3 Rabu, 9 dan 16 September 2009 ABSTRACT I. PENDAHULUAN Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati merupakan bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun serta dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al., 2006). Pati adalah homopolimer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik. Molekul pati berbentuk semikristalin yang tersusun dari unit kristal dan unit amorphous. Unit kristalin pati lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorphous-nya bersifat kurang stabil terhadap asam kuat dan enzim (Hood, 1981). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarutnya merupakan amilosa, sedangkan fraksi tidak terlarutnya merupakan amilopektin. Semua jenis karbohidrat, termasuk pati, mulai mengalami reaksi kimiawi sejak ada di dalam mulut, yaitu oleh enzim α-amilase (ptialin) dalam saliva. Dalam hal ini, karbohidrat berantai panjang, termasuk pati, mengalami proses pencernaan sebagian. Setelah melewati lambung, karbohidrat ini akan dicerna lebih lanjut dalam duodenum oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh pankreas menjadi rantai yang lebih pendek. Pencernaan karbohidrat diakhiri oleh enzim-enzim disakaridase yang dihasilkan oleh mukosa usus halus menjadi monosakarida yang dapat diserap ke dalam aliran darah (Bender, 2003). Pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya, terutama sifat fisikokimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya (Saguilan et al., 2005). Modifikasi pati dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pati yang sesuai dengan karakteristik produk pangan dan meningkatkan sifat fungsionalnya. Hal ini dilakukan karena pati alam (pati tanpa perlakuan modifikasi) memiliki keterbatasan dari segi sifat fisik dan kimia untuk diaplikasikan pada produk pangan tertentu. Beberapa keunggulan pati modifikasi dibandingkan dengan pati alami, antara lain pati modifikasi dapat memiliki sifat fungsional yang tidak dimiliki oleh pati alami, pati modifikasi lebih luas penggunaannya dalam skala industri besar, serta pati modifikasi memiliki sifat yang lebih konsisten dibandingkan pati alami yang memudahkan pengontrolan dan pembuatan produk dengan kualitas bagus. Pati resisten adalah bagian pati atau hasil degradasi pati yang dapat lolos dari pencernaan dan absorbsi dalam usus halus manusia dan dapat mencapai usus besar pada subjek yang sehat. Pati resisten ini pada awalnya merupakan suatu penemuan sejumlah kecil fraksi yang bersifat resisten terhadap perlakuan hidrolisis oleh enzim α-amilase lengkap dan pullulase secara in vitro (Englyst et al., 1982). Seperti halnya serat pangan, pati resisten juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon dan menghasilkan asam lemak rantai pendek. Produk pati resisten memiliki sifat fungsional seperti serat pangan dan memiliki nilai penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan serat pangan konvensional. Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran pencernaan. Pati modifikasi memiliki daya cerna yang lebih rendah karena kemungkinan mengandung pati resisten yang lebih tinggi. Kedelai (Glycine max. Merr ) merupakan bahan pangan yang penting di Indonesia yaitu sebagai sumber protein nabati yang dapat dikonsumsi secara langsung untuk bahan pelengkap, bahan industri maupun keperluan lainnya. Selain itu kedelai juga merupakan kacang-kacangan yang paling banyak dibusidayakan dan paling sukses secara ekonomi. Kacang kedelai biasa dikonsumsi di Indonesia sebagai kedelai rebus, kedelai goreng, tempe, kecap, tahu dan produk olahan lainnya. Kedelai memiliki kandungan lemak dan protein yang tinggi. Kedelai memiliki waktu pemasakan yang lebih lama dari pada kacang-kacangan lainnya untuk mendapatkan tekstur yang dapat dikonsumsi. Kacang kedelai sifat fungsional dari kandungannya yaitu protein, isoflavon, oligosakarida, sterol kecambah tanaman, dan vitamin K dalam natto, kedelai fermentasi. Kedelai memiliki protein aktif biologis hemagglutinin, trypsin inhibitors, α amylase dan lipoksigenase. Terdapat dua jenis proteinase inhibitor yaitu Kaunitz trypsin inhibitor dan BowmanBirk inhibitor. Kaunitz trypsin inhibitor menghambat tripsin sedangkan yang lainnya menghambat tripsin dan chymotripsin. Bowman-Birk inhibitor lebih stabil terhadap panas dari pada kaunitz tripsin inhibitor. Karena adanya dua inhibitor ini maka kedelai harus dipanaskan sebelum dikonsumsi untuk mendapatkan manfaat protein yang lebih baik. Namun telah ditemukan bahwa Bowman-Birk inhibitor dapat menjadi antikarsinogenik dan anti inflamantasi. Perkecambahan merupakan suatu proses keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga yang disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan makanan atau keeping biji ke bagian vegetative. Dalam perkecambahan juga terjadi perombakan komponen kompleks dari biji menjadi komponen yang lebih sederhana yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan kedelai menjadi tunas dan tanaman nantinya. Protein kedelai dapat dicerna sama baiknya seperti protein hewani, bahkan pada anak berumur 2 hingga 4 tahun. Walau bagaimanapun daya cerna protein tergantung dari cara pengolahan dan konsumsi kedelai tersebut. Daya cerna protein tepung kacang kedelai berbeda dengan daya cerna protein kedelai. Protein kedelai mencukupi kebutuhan protein anak usia 2 hingga 5 tahun. Nilai protein kedelai adalah salah satu yang paling tinggi dibandingkan dengan protein tumbuhan lainnya. Banyak penelitian yang telah menjelaskan bahwa protein kedelai memiliki daya antidiabetik dan antiobesitas. Pengukuran daya cerna protein pada beberapa macam tepung kedelai tersebut dilakukan secara invitro yaitu menganalisis daya cerna dengan pereaksi atau menirukan sama seperti yang terjadi di dalam pencernaan manusia. Pada praktikum ini digunakan tiga enzim yang memeang terdapat dalam saluran pencernaan untuk mencerna protein menjadi asam-asam amino. Enzim tersebut adalah tripsin, kimotripsin dan pankreatin. Pankreatin merupakan cairan pankreas yang terdiri dari enzim amino peptidase dan karbopeptidase. Analisis dilakukan terhadap kasein sebagai control, tepung kedelai mentah, tepung kedelai rebus, dan tepung Tujuan Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui dan mengukur daya cerna protein pada kedelai dengan beberapa perlakuan yang sudah ditepungkan. Tujuan lainnya adalah untuk membandingkan perlakuan yang dapat memberikan daya cerna protein yang lebih tinggi. II. BAHAN DAN METODE A. Alat dan Bahan 1. Penentuan Daya Cerna Protein In Vitro Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Penentuan Daya Cerna Protein In Vitro ini, antara lain tabung reaksi bertutup, sudip, gelas ukur, pipet tetes, pHmeter, tabung sentrifus plastik, vortex, pipet Mohr, alat sentrifus, penangas air, kuvet, dan spektrofotometer. Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini, yaitu kasein (kontrol), tepung kedelai mentah, tepung kedelai rebus, tepung kecambah kedelai, akuades pH 8.0, NaOH 1N, campuran enzim (1.6 mg tripsin + 3.1 mg kimotripsin + 4 mg pankreatin per ml akuades atau bufer fosfat pH 8.0), TCA 0.1M, Na 2CO3 0.4M, dan pereaksi Folin 50% (30 ml Folin + 60 ml akuades). 2. Pengukuran Daya Cerna Pati secara In Vitro Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Pengukuran Daya Cerna Pati secara In Vitro ini, antara lain tabung reaksi bertutup, sudip, gelas ukur, aluminium foil, penangas air (waterbath), pipet Mohr, gelas piala, hotplate, vortex, kuvet, dan spektrofotometer. Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini, yaitu pati murni (sebagai standar), pati sagu alam, pati sagu modifikasi, pati jagung alam, pati jagung modifikasi, pati resisten (nevolose), larutan bufer fosfat 0.1M pH 7.0, larutan enzim alfa amilase (1 mg/ml dalam bufer fosfat; dibuat segar), pereaksi DNS (1 g 3,5-asam dinitrosalisilat + 30 g Na-K tartarat + 1.6 g NaOH dalam 100 ml akuades), dan larutan stok maltosa standar (5 mg maltosa/10 ml akuades). B. Metode (Prosedur Praktikum) 1. Penentuan Daya Cerna Protein In Vitro 1.5 g tepung atau kasein + 30 ml akuades pH 8.0 Aduk dan tepatkan hingga pH 8.0 ± 0.1 Pindahkan ke tabung sentrifus plastik 50 ml Vortex selama 2 menit Ambil 10 ml dan masukkan ke dalam tabung reaksi bertutup (lakukan 2 set) Set 1: + 1.0 ml campuran enzim Set 2 (sebagai balnko): + 1.0 ml akuades Inkubasi 37°C, 10 menit Ambil 2.0 ml supernatan Sisa larutan diukur pH-nya + 4.0 ml TCA Vortex dan sentrifus (3500 rpm, 10 menit) Ambil 1.5 ml supernatan + 5.0 ml Na2CO3 + 1.0 ml Folin Diamkan selama 20 menit pada 37°C Ukur absorbansi pada 578 nm Gambar 1. Diagram alir penentuan daya cerna protein in vitro 2. Pengukuran Daya Cerna Pati secara In Vitro a. Pembuatan Kurva Standar 1 ml larutan amilosa dengan berbagai konsentrasi + 2 ml DNS Panaskan selama 10 menit + 10 ml akuades, vortex Ukur absorbansi pada 520 nm Gambar 2. Pembuatan kurva standar b. Analisis 0.1 g sampel + 10 ml akuades Masukkan ke dalam tabung reaksi bertutup Panaskan dalam waterbath hingga 90°C Dinginkan sampai 37°C Ambil @ 2 ml dan masukkan ke dalam tabung reaksi bertutup Tabung A: + 3 ml akuades + 5 ml bufer fosfat pH 7.0 Tabung B: + 3 ml akuades + 5 ml bufer fosfat pH 7.0 + 5 ml larutan enzim alfa amilase + 5 ml bufer fosfat pH 7.0 Inkubasi selama 30 menit pada 37°C Ambil 1 ml + 2 ml DNS Panaskan dalam air mendidih selama 10 menit Segera dinginkan dengan air mengalir + 10 ml akuades, vortex Ukur absorbansi pada 520 nm Gambar 3. Diagram alir pengukuran daya cerna pati secara in vitro III. HASIL IV. PEMBAHASAN Daya cerna protein Daya cerna protein kedelai rebus paling tinggi dari pada tepung kedelai lainnya. Hal ini mungkin dikarenakan oleh komponen proteinase inhibitor yang terdapat dalam kedelai yaitu kaunitz trypsin inhibitor dan bowman-Birk inhibitor. Kedua antinutrisi tersebut labil terhadap panas (Sugano, 2006). Sehingga dapat dirusak dengan panas. Intinya: tepung kedelai mentah, anti tripsinnya masih ada dan hanya sedikit rusak oleh pemanasan kering. Sedangkan perebusan adalah pemanasan keelai secara basah dapat menginaktifkan trypsin inhibitor. Perendaman kedelai dengan pemanasan dapat menghilangkan pengaruh dari trypsin inhibitor. Karena tripsin inhibitor merupakan anti nutrisi yang terdiri dari protein dan V. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA