1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya hayati. Terdapat sekitar 30000 spesies tumbuhan berbunga di hutan tropika Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk kehidupan lainnya, seperti herba, semak, paku-pakuan, epifit, cendawan, dan jasad renik lainnya. Keanekaragaman hayati yang terhimpun dalam berbagai formasi hutan Indonesia merupakan aset nasional yang tidak terhingga nilainya bagi kepentingan manusia. Salah satu manfaat keanekaragaman hayati adalah kegunaannya sebagai obat. Menurut hasil penelitian Zuhud et al. (2004), telah ditemukan sebanyak 1260 spesies tumbuhan obat yang secara pasti diketahui berasal dari hutan tropika Indonesia. Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat ialah kepel (Stelechocarpus burahol). Kepel merupakan tumbuhan yang secara tradisional telah digunakan sebagai pewangi khususnya di kalangan keraton. Mengonsumsi buahnya dapat mengurangi bau keringat, bau nafas, dan bau air seni (Heyne 1987; Verheij dan Coronell 1997). Masalah bau badan dapat dialami oleh setiap orang dan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti faktor genetik, kondisi kejiwaan, faktor makanan, faktor kegemukan, dan bahan pakaian yang dipakai. Keringat yang dikeluarkan seseorang sangat terlibat dalam proses timbulnya bau badan. Infeksi kelenjar apokrin yang menghasilkan keringatoleh bakteri berperan dalam proses pembusukan. Bakteri yang diduga menjadi penyebab bau badan tersebut diantaranya ialah Staphylococcus epidermidis, Corynebacterium acne, Pseudomonas aeruginosa, dan Streptococcus pyogenes (Endarti & Soediro 2002). Penggunaan antibiotik yang tidak benar biasanya akan membuat bakteri menjadi bersifat resisten dan tetap memperbanyak diri dalam inangnya. Menurut Bartlett (2007), bakteri S. epidermidis umumnya telah resisten terhadap antibiotik penisilin dan metisilin, sehingga perlu diketahui bahan alternatif yang dapat membasmi atau menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Darusman et al. (komunikasi pribadi 2010) melaporkan bahwa aktivitas flavonoid dari ekstrak daun kepel sebagai antibakteri lebih tinggi daripada tanin. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui senyawa aktif antibakteri pada ekstrak daun kepel dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. epidermidis yang dilakukan secara in vitro. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi golongan flavonoid yang berpotensi sebagai antibakteri terhadap S. epidermidis dari ekstrak daun kepel (S. burahol) secara in vitro. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kepel (Stelechocarpusburahol) Tumbuhan kepel atau burahol (Stelechocarpus burahol) adalah pohon penghasil buah hidangan meja yang menjadi flora identitas Daerah Istimewa Yogyakarta. Klasifikasi ilmiah kepel adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Trachebionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Magnoliales Famili : Annonaceae Genus : Stelechocarpus Spesies : Stelechocarpus burahol (Blume) Hook&Thompson (USDA 2007) S. burahol merupakan jenis tanaman buahbuahan Indonesia, dengan nama lain kepel, simpel, dan kecindul (Jawa). Tinggi pohon ini dapat mencapai 25 m, batang lurus berwarna cokelat tua, diameter mencapai 40 cm, memiliki benjolan-benjolan bekas keluar bunga dan buah, daun tunggal, elips–lonjong sampai bundar telur–lanset, panjang 12–27 cm dan lebar 5–9 cm.Buah berbentuk bulat, berwarna kecoklatan, diameter 5–6 cm, berbiji empat atau lebih dan berbentuk elip (LIPI 2000). Kepel akan tumbuh baik pada tanah yang subur, drainase yang baik, dan pH 5.8– 6.7 (Solikin 2010). S. burahol secara tradisional digunakan sebagai obat untuk menurunkan kadar asam urat dan diuretik. Sutomo (2003) melaporkan bahwa fraksi tidak larut petroleum eter dari ekstrak metanol daun kepel mampu menurunkan kadar asam urat, dan hasil identifikasinya menunjukkan adanya flavonoid. Tisnadjaja et al. (2006) dan Sunarni et al. (2007) melaporkan bahwa isolat flavonoid dari daun kepel menunjukkan aktivitas antioksidan penangkap radikal DPPH. Menurut Shiddiqi et al. (2008), zat sitotoksik dalam tanaman kepel yang berperan penting dalam pengendalian