28 TINJAUAN PUSTAKA Paradigma Pengelolaan Hutan Lestari Paradigma pengelolaan hutan lestari dapat dikelompokkan atas empat, sebagai adopsi paradigma pembangunan berkelanjutan yang diungkapkan Turner (1993), yaitu 1) kelestarian sangat lemah, 2) kelestarian lemah, 3) kelestarian kuat 4) kelestarian sangat kuat. Dari perspektif kelestarian diperlukan pergeseran paradigma menuju paradigma kelestarian kuat dan sangat kuat (ecocentric), karena paradigma kelestarian sangat lemah dan lemah (technocentric) kurang memperhatikan kapasitas daya asimilatif lingkungan, faktor kritis sumberdaya alam berupa spesies dan proses-proses dasar ekologis yang tidak dapat digantikan oleh sumberdaya buatan, serta komponen alam itu bersifat komplementer didalam struktur sistem dan keragaman berperan penting terhadap resiliensi sistem. Teori atau konsep yang masuk dalam paradigma kuat dan sangat kuat ini antara lain a) ecological economic, b) steady state economic, dan c) deep ecology. Paradigma kelestarian kuat dengan teori-teori yang mendukungnya ini dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam didasarkan pada etika moral bahwa komponen manusia dan bukan manusia merupakan subjek moral, sehingga pemanfaatan dengan hormat dan bertanggungjawab atas hak komunitas biotis selain manusia, maupun abiotis agar tetap eksis dan berkembang alamiah, sehingga pemanfaatan tidak mengorbankan “the integrity, stability and beauty” ekosistem. Pertumbuhan dapat terus berlanjut dalam hal kualitas tidak dalam arti kuantitas yang melampaui kapasitas ekosistem sumberdaya alam. Peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dengan meningkatkan efisiensi ekonomi ekologi (eco-efficiency), bukan meningkatkan pengambilan sumberdaya alam, yang menimbulkan biaya sumberdaya alam dan lingkungan. Berdasarkan ragam hasil hutan yang secara potensial dapat dihasilkan oleh hutan, kemudian berkembang pengintegrasian berbagai hasil hutan itu di dalam konsep pengelolaan hutan multiguna, yang kemudian pada akhir-akhir ini dimunculkan konsep pengelolaan ekosistem, selanjutnya dapat diadopsi sebagai pengelolaan ekosistem hutan. 29 Pengelolaan multiguna (multi-use management) didasari oleh potensi keragaman output hutan, yang melahirkan premis bahwa pengelolaan dengan beragam output merupakan kunci pencapaian kelayakan ekonomi, sosial dan ekologis (economic profitability, social acceptability, ecological sustainability). Pengelolaan multiguna ini hanya berlandaskan output, sedangkan pengelolaan ekosistem memperhatikan ekosistem secara keseluruhan. Czech (1995) menguraikan berbagai definisi pengelolaan ekosistem, yang dapat disarikan sebagai “penggunaan konsep sistem dengan pendekatan ekologis di dalam memadukan kebutuhan masyarakat, melalui kegiatan melindungi (to protect), memulihkan (to restore), mempertahankan (to sustain) keutuhan ekosistem, proses proses ekologis, produktif dan sehat. Prinsip dasar pengelolaan ekosistem hutan adalah penggunaan ilmu pengetahuan terpadu, komprehensif dan terbaru (Cortner et al.,1990 dalam Czech ,1995). Gordon (1994) mengemukakan lima konsep di dalam implementasi pengelolaan yaitu 1) kelola sesuai kondisi setempat, 2) kelola dengan perhatian terhadap kepentingan masyarakat luas, 3) kelola pada kesatuan ruang atau landscape yang utuh, 4) kelola berdasarkan pengetahuan atas mekanisme ekologis bukan aturan sederhana secara garis besar, 5) kelola tanpa eksternalitas negatif. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh (dinamis), dimana masyarakat hutan terbentuk melalui proses secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi (keseimbangan dinamis dengan lingkungannya), proses ini disebut suksesi. Setiap ada perubahan akan ada mekanisme atau proses yang mengarahkan kembali kepada kondisi keseimbangan. Ada dua macam suksesi yaitu 1) suksesi primer dimulai dari perkembangan vegetasi dari habitat yang tidak bervegetasi hingga mencapai masyarakat hutan yang stabil (klimaks) dan 2) suksesi sekunder terjadi pada kondisi klimaks atau suksesi normal kemudian mengalami gangguan, oleh berbagai sebab seperti pemanenan, kebakaran, perladangan dan lain-lain (Soerianegara dan Indrawan, 1983). Adapun pengaturan lahan (ruang) dapat dilakukan secara terpisah untuk setiap macam produk atau pada satu bidang lahan hutan dihasilkan berbagai 30 produk (Osmaston 1968). Suhendang (2004) bahwa dalam pengelolaan hutan diperlukan pemahaman keberadaan dan peran komponen-komponen ekosistem hutan, dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Ada tiga mazhab pemikiran pengelolaan hutan ini yaitu: 1) Pola penyebaran fungsi menurut ruang, dengan alokasi hutan berdasarkan karakteristik biofisik ke dalam berbagai macam fungsi penggunaannya dan setiap macam fungsi dikelola dengan satu macam tujuan utama. 2) Pola penggunaan ruang secara terintegrasi dan intensif, bahwa setiap lahan hutan ditujukan untuk memberikan keseluruhan fungsi-fungsi hutan sebagai ekosistem. Pola ini secara teoritis ideal dan cocok dengan karakterisitk hutan alam, untuk luas kawasan yang semakin terbatas, tetapi implementasinya sulit, karena konsep dan teknologinya masih sangat terbatas. 3) Pola perpaduan antara penyebaran ruang dengan integratif dan intensif, yaitu kawasan hutan dialokasikan penggunaannya berdasarkan karakteristik biofisik, kemudian pengelolaan pada setiap fungsi hutan itu diarahkan untuk memperoleh beberapa fungsi atau manfaat yang mampu diberikannya melalui proses optimalisasi fungsi-fungsi. Mazhab ketiga ini lebih ideal dari yang pertama dan lebih realistik dalam operasionalisasi di lapangan pada saat kini dibanding yang kedua. Konsep Pengelolaan Hutan Tujuan fundamental dari pengelolaan hutan adalah diperolehnya nilai manfaat terbesar untuk sebesar-besarnya jumlah masyarakat yang memperolehnya (Brasnett, 1953 dalam Osmaston, 1968). Perkembangan teori atau konsep pengelolaan hutan berawal dari kebutuhan pengelolaan untuk produksi hasil hutan berupa barang khususnya kayu, kemudian disusul oleh perkembangan hasil hutan non kayu seperti konsep pengelolaan untuk hidro-orologis, pengelolaan satwaliar maupun non kayu lainnya. Secara klasik pengelolaan hutan untuk produksi kayu, dan yang sedang berkembang adalah pengelolaan hutan berbasis ekosistem, akan menghasilkan berbagai macam produk barang kayu, non kayu dan jasa ekologis. Tujuan pengelolaan produksi kayu dari wujud fisik adalah “hutan normal”, dengan kriteria a) tegakan persediaan normal, b) distribusi ukuran normal dan 31 c) riap normal (Leuschner, 1990). Ukuran kenormalan pada hutan tidak seumur adalah a) sebaran jumlah pohon menurut diameter merupakan sebaran eksponensial negatif (berbentuk huruf J terbalik), yang oleh Suhendang (1999) perlu ditambahkan kriteria b) keaslian jenis pohon c) komposisi jenis pohon dan proporsi ideal setiap jenis pohon dinamakan Hutan Normal Tidak Seumur. Pengaturan hasil tegakan (kayu) dilakukan untuk memperoleh kelestarian hasil, dengan prinsip keseimbangan antara riap bersih F(Xt) dengan panen Yt. Apabila prinsip ini terpenuhi, stok persediaan X dari waktu ke waktu konstan, secara matematis Xt+1 - Xt = F(Xt) - Yt , jika F(Xt) = Yt, maka Xt+1 = Xt. Keterangan : Xt+1 = stok tegakan pada tahun t+1 atau periode berikutnya Xt = stok tegakan pada tahun t atau periode semula F(Xt) = fungsi pertumbuhan bersih Yt = hasil panen pada tahun t Ditinjau dari segi proses suksesi hutan alam primer mencerminkan kondisi keseimbangan dinamis terbentuk dari interaksi berbagai unsur ekosistem sehingga Indrawan (2000) menjadikan hutan alam primer sebagai acuan kondisi ideal. Oleh karena itu kenormalan hutan alam dicirikan kedekatan hutan bekas tebangan terhadap hutan alam setiap fase pertumbuhan pada a) indeks keanekaragaman jenis, b) indeks kesamaan komunitas, c) indeks nilai penting. Informasi dinamika tegakan berupa pertumbuhan diperlukan untuk proyeksi hasil tegakan. Ada beberapa model pertumbuhan tegakan hutan yang termasuk dalam pendekatan empiris, yaitu model tegakan keseluruhan, model individu pohon dan model kelas diameter (Davis & Johnson 1987; Vanclay 1994). Model pertumbuhan antara lain model kelas diameter akan memberikan informasi struktur tegakan yang digunakan pada pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tidak seumur (hutan alam). Faktor yang mempengaruhi adalah ingrowth (Ik), outgrowth (Ok), mortality (Mk), dan harvest (Hk), jika jumlah pohon pada kelas diameter k pada periode t adalah Nk,t, jumlah pohon pada kelas diameter k pada periode t+1 adalah Nk,t+1, maka secara matematis Nk,t+1 = Nk,t +Ik - Ok - Mk - Hk. Pengaturan hasil kayu (tegakan) dilakukan untuk memperoleh kelestarian hasil (sustained yield) yang didefinisikan sebagai hasil kayu yang dapat diproduksi oleh hutan secara kontinyu pada intensitas pengelolaan tertentu, 32 dengan keseimbangan antara riap bersih dan panen (Leuschner 1990; Suhendang 2004). Suhendang (1993,1999) mengembangkan metode pengaturan hasil yang disebut “Metode Pengaturan Hasil Berdasarkan Intensitas Penebangan Berimbang”, yang diusulkan untuk diterapkan di hutan alam. Konsep hutan normal secara operasional banyak dibahas pada pengelolaan kayu, tetapi pengertian hutan normal itu mencakup pemahaman kondisi ideal yang memuaskan sesuai dengan tujuan pengelolaan, sehingga dapat memberi hasil atau manfaat sesuai yang diharapkan termasuk pula manfaat intangible (Osmaston, 1968). Namun demikian, konsep pengelolaan selain kayu berkembang sendiri secara paralel dengan perkembangan pengelolaan kayu itu sendiri, belum menjadi kesatuan teori pengelolaan terpadu. Berikut ini diuraikan konsep tata air (siklus air) dan proses erosi yang penting dalam pengelolaan untuk tujuan tata air dan pengendalian erosi. Pengelolaan fungsi hidrologis disini ditujukan untuk pengendalian tata air agar persediaan air dan aliran air bagi berbagai kepentingan dapat dipenuhi secara baik secara kontinyu, serta pengendalian erosi agar relatif kecil dampak penurunan kualitas air dan sedimentasi di daerah hilir. Pengaruh hutan terhadap tata air dapat dijelaskan dari proses siklus air dan dapat diukur dari neraca air yaitu Pg = (Ic + If + Es+w + T) + Q + ∆S + L + U, jika dianggap tidak ada kebocoran dan under flow, persamaan menjadi Pg = Et + Q + ∆S. Keterangan : Pg = gross presipitasi Ic + If = intersepsi tajuk dan lantai hutan Es+w = evaporasi dari tanah dan air T = transpirasi = evapotranspirasi Et Q = aliran sungai ∆S = perubahan stok air tanah L = kebocoran (keluar atau ke dalam) DAS U = aliran tidak lewat sungai (under flow) Erosi tanah secara sederhana ditentukan oleh erosivitas dan erodibilitas, dimana erosivitas dipengaruhi faktor iklim (besar, lama dan intensitas curah hujan), sedangkan erodibilitas oleh tanah a) sifat-sifat yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, kapasitas tanah menahan air, b) sifat-sifat yang 33 mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh hujan dan aliran permukaan (Arsyad, 1983). Faktor yang terkait dengan erodibilitas adalah topografi (panjang dan kemiringan lereng), vegetasi dan tindakan koservasi tanah. Perkiraan besarnya jumlah tanah yang hilang dapat dihitung dari faktor erosivitas dan erodibilitas dengan memasukan karakteristik fisik tanah dan tindakan pengelolaan vegetasi dan tanah, yang dikembangkan oleh Smith dan Wischmeier dikenal sebagai Universal Soil Loss Equestion (USLE) yaitu : A = R x K x LS x C x P Keterangan : A = erosi atau jumlah tanah hilang maksimum (ton/ha/thn) R = faktor erosivitas hujan K = faktor erodibilitas tanah LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks faktor pengelolaan vegetasi P = indeks faktor konservasi tanah Jika menggunakan istilah “pengaturan hasil” dalam pengelolaan hutan untuk fungsi hidrologis ini, maka tindakan yang dilakukan merupakan pengendalian pengaruh energi kinetik air, evapotranspirasi, infiltrasi,besar dan kecepatan aliran permukaan. Hasil yang diharapkan a) hasil air sepanjang waktu dengan fluktuasi rendah, b) kualitas air yang layak sesuai penggunaan, c) besar erosi berada pada TBE rendah. Pengelolaan satwaliar pada hutan produksi bisa dengan konsep penggunaan ganda (multi use-management) mengombinasikan berbagai pengelolaan yang secara ekologis memberikan manfaat yang besar bagi keseimbangan lingkungan. Ada dua pendekatan di dalam pengelolaan satwaliar yaitu (Alikodra, 2002) : 1) Pengelolaan pengembangan jenis-jenis indikator kunci disebut juga jenis tunggal. 2) Pengelolaan pengembangan kekayaan jenis. Pendekatan jenis indikator kunci mengembangkan jenis-jenis pilihan yang meliputi jenis satwa langka, dalam bahaya, khas, asli, nilai estetika tinggi, buruan, pada lokasi tertentu dengan melakukan pembinaan habitatnya. Adapun 34 pendekatan kekayaan jenis (keanekaragaman jenis) dapat dilakukan dengan penyediaan dan pelestarian beragam habitat untuk mendukung sebanyak mungkin jenis satwaliar. Pengelolaan satwaliar pada dasarnya pengelolaan ekosistem, dengan prinsip konservasi, dengan aktivitas pengaturan, pengendalian populasi satwa dan habitat serta interaksi keduanya untuk mencapai kondisi sesuai dengan tujuan berupa kelestarian satwaliar dengan kualitas habitatnya (Alikodra, 2002). Faktor utama dalam pengelolaan satwaliar adalah populasi dan habitat, di habitat yang menjadi home range dan teritori satwaliar terdapat makanan dan interaksi antara lain berupa persaingan dan pemangsaan. Pengelolaan didasarkan atas dinamika populasi satwaliar yang dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian termasuk karena perburuan atau panen, komposisi umur dan jenis kelamin serta interaksinya dengan habitatnya. Prinsip pemanfaatan adalah hasil sama dengan riap, dengan pengelolaan habitat yang menunjang kelangsungan hidup satwa. Konsep Nilai dan Penilaian Ekosistem Hutan Penilaian ekosistem hutan tergantung pada pengertian nilai ekosistem itu sendiri, yang akan menentukan indikator-indikator yang digunakan untuk menyatakan nilai ekosistem hutan. Dari berbagai ilmu pengetahuan tentang ekosistem hutan, pemahaman penilaian ekosistem hutan dapat digolongkan atas 1) pendekatan ekologi dan manajemen sumberdaya hutan, 2) pendekatan sosial ekonomi dan budaya, 3) pendekatan ekonomi ekologi. Pendekatan ekologi dan manajemen sumberdaya hutan didasarkan atas kondisi biofisik (dinamika ekosistem) seperti dinamika tegakan, dinamika satwaliar, keanekaragaman jenis, index nilai penting, siklus hara, siklus air dan lain-lain (Osmaston, 1968; Kershaw, 1973; Mueller dan Ellenberg, 1974; Manan, 1976; Soerianegara dan Indrawan, 1983; Davis dan Johnson 1987; Leuschner,1990; Costanza,1991; Suhendang, 1999; Alikodra,2002). Pendekatan sosial ekonomi budaya didasarkan atas interaksi antara masyarakat di sekitar hutan dengan hutan dalam pola kehidupan komunitas tersebut, mencakup aspek sosial, ekonomi maupun budaya, seperti sumber bahan makanan dan bangunan, pengetahuan dan teknologi lokal 35 dalam pemanfaatan sumberdaya alam, solidaritas sosial, integrasi sosial, pengembangan seni budaya, aturan adat dan lain-lain (Sardjono dan Samsoedin, 2001; Parker dan Burtch, 1992; LEI, 2000). Pendekatan ekonomi ekologi didasarkan atas perluasan referensi moral (etika) bahwa bukan hanya manusia yang memiliki kedudukan moral, dengan pengakuan hak komunitas biotik ataupun ekosistem, dan dinilai berdasarkan preferensi manusia menjadi nilai ekonomi total (Pearce dan Turner,1990; Page, 1991; Costanza,1991; Turner,1993; Turner, Pearce dan Bateman, 1994; Keraf, 2002). Berbagai indikator nilai ekosistem hutan dari pendekatan ekologi dan manajemen hutan sudah diuraikan pada konsep pengelolaan hutan di atas, berikut ini uraian penilaian pendekatan ekonomi ekologi. Nilai yang didasarkan atas selera (taste) dan preferensi individu merupakan teori nilai di dalam ilmu ekonomi konvensional, yang dapat diekspresikan secara jelas jika berada pada mekanisme pasar, sehingga menjadikan nilai guna (use value) memiliki harga. Kegagalan pasar terhadap barang dan jasa lingkungan yang mengancam kelestarian, telah mendorong pengembangan konsep nilai pendekatan ekonomi ekologi. Belajar dari konsep biologi bahwa tidak ada batas atau perbedaan antara manusia dan hewan, maka ada perluasan referensi moral (extention of the moral reference class), mencakup kepentingan dan hak hewan, tumbuhan, spesies dan juga ekosistem, sebagai paham bioethic dan ecocentric, seperti dikemukakan Turner (1993); Turner, Pearce dan Bateman, (1994); Page (1991); Keraf (2002). Implikasinya adalah adanya tanggung jawab terhadap hak dan kepentingan generasi akan datang, serta kepentingan atau hak abiotik dan biotik,dimana sifat dasar yang melekat pada bukan manusia itu bernilai bagi mereka dalam sistem alam. Berdasarkan preferensi manusia hal ini melahirkan nilai pilihan (option value) dan nilai dari sifat dasar pada bukan manusia ini sebagai nilai intrinsik (intrinsic value) ekosistem yang bersifat non use value, dan diekspresikan melalui preferensi individu sebagai nilai keberadaan (existence value). Nilai Ekonomi Total (NET) didasarkan atas penilaian preferensi manusia yang berarti ada modifikasi anthrophocentric value, dengan ada perhatian dan tanggungjawab terhadap bukan manusia atau alam, sebagai secondary values bukan primary values dari ekosistem. Klasifikasi nilai menurut konsep NET 36 terbagi atas nilai guna dan nilai bukan guna (nilai guna pasif). NET merupakan penjumlahan (di dalam sistem setiap macam nilai tidak independen) seluruh macam nilai sebagai berikut (Pearce dan Turner,1990; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). 1) Nilai guna (use value) merupakan nilai dari penggunaan barang dan jasa ekosistem hutan secara langsung maupun tidak langsung. 2) Nilai pilihan (option value) merupakan nilai guna masa akan datang flora dan fauna untuk generasi sekarang (intra-generation). Nilai guna masa akan datang untuk generasi selanjutnya (inter-generation) sebagai nilai warisan, yang ditinjau dari kepentingan negerasi sekarang dimasukan dalam nilai bukan guna. 3) Nilai bukan guna (non use value) atau nilai guna pasif mencakup nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan yang merupakan nilai intrinsik ekosistem hutan, tidak terkait dengan hal kepemilikan sumberdaya maupun penggunaan langsung atau tidak langsung sumberdaya tersebut. Davis dan Johnson 1987; Pearce dan Turner,1990; James, 1991; Turner, Pearce dan Bateman, 1994; Klemperer, 1996; Bishop, 1999 menyebutkan berbagai metode penilaian ekonomi ekosistem hutan, dan dapat diklasifikasikan berbagai cara, berikut ini dibuat klasifikasi beberapa metode penilaian berdasarkan pasar dan non pasar (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi metode penilaian ekonomi ekosistem hutan No A B 1. Klasifikasi Pasar Bukan pasar Pendekatan kurva permintaan/ preferensi Metode 1. Kurva permintaan dan penawaran 2. Harga pasar/bayangan a. Manfaat sosial bersih 1. Pernyataan preferensi (expressed preference method) a. Penilaian kontingensi : single & iterative bidding, trade off game. b. Peringkat kontingen c. Percobaan pilihan a. Harga hedonik b. Biaya perjalanan 2. Pengungkapan preferensi (revealed preference method) b. Pendapatan, manfaat bersih dan nilai tambah 37 2 Pendekatan 1. Harga pasar pengganti a. Harga substitusi bukan kurva (surrogate market b. Harga substitusi tidak permintaan price) langsung c. Biaya oportunitas tenaga kerja 2. Nilai sisa turunan (derived residual value, conversion return) 3. Metode fungsi produksi a. Kehilangan pendapatan / metode respon dosis b. Nilai kehilangan produksi c. Dll 4. Pendekatan biaya a. Biaya penggantian b. Biaya rehabilitasi c. Biaya restorasi d. Biaya mitigasi Nilai Guna Langsung Ekosistem Hutan Penelitian nilai guna hutan telah dilakukan oleh beberapa pihak, yang pelaksanaannya relatif mudah karena terkait langsung dengan penggunaan hasil hutan oleh masyarakat secara individu, organisasi atau perusahaan. Hasil hutan yang dimanfaatkan bukan saja hasil hutan kayu tetapi juga beragam hasil hutan non kayu. Panayotou & Ashton (1992) membuat klasifikasi hasil hutan non kayu (HHNK) menjadi dua yaitu non timber product seperti kayu bakar, arang,chip, pulp, fencing, poles, dan non wood products seperti buah, lateks, biji-bijian, serta jasa-jasa hutan yang mencakup manfaat lingkungan dan jasa ekologis dalam rangka pengembangan pengelolaan hutan multi guna. Penelitian oleh Fakultas Kehutanan IPB dan Dephut (1999) pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam produksi di Kalimantan dan Jambi oleh perusahaan pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan lahan kering berkisar Rp 438.791 – 2.135.139/ha/thn, dan di lahan basah (hutan rawa) berkisar antara Rp 479.383 – 1.134.300/ha/thn. Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat lokal berupa kayu sebagai bahan bangunan memiliki nilai rata-rata di hutan lahan kering Rp 19.058/ha/thn, di hutan rawa rata-rata Rp 15.613/ha/thn, adapun nilai guna hasil hutan non kayu untuk pangan di hutan lahan kering lebih kurang Rp 24.739/ha/thn di hutan rawa Rp 10.858/ha/thn, non kayu untuk bahan baku industri di hutan lahan kering sebesar Rp 2.667/ha/thn, di hutan rawa Rp 12.633/ha/thn. Disini 38 terlihat bahwa hasil hutan non kayu berperan penting bagi kehidupan masyarakat lokal, disamping itu potensi sumberdaya di hutan lahan kering tampak lebih besar dari potensi sumberdaya di hutan rawa, kecuali hasil hutan non kayu untuk bahan baku industri seperti getah jelutung, pinang, rumput purun dan rotan. Menurut hasil penelitian Bahruni et al. (2002) diketahui bahwa nilai guna (use value) flora di Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak bagi masyarakat lokal adalah sebesar Rp 575.118/tahun/rumah tangga, dimana sebagian besar disumbang oleh pemanfaatan agathis, puspa, rasamala, dan bambu sebagai bahan bangunan, sedangkan nilai guna fauna (satwaliar) oleh masyarakat adalah sebesar Rp 269.806/tahun/rumah tangga, dimana kontribusi terbesar berasal dari kumbang yang diperdagangkan untuk ekspor ke Jepang, dan pemanfaatan satwa kancil. Rofiko (2002) melakukan penelitian pada cakupan wilayah desa yang lebih luas yaitu sebanyak enam desa, yang terletak di dalam kawasan, di perbatasan kawasan dan di luar kawasan TNGH yang masih memiliki interaksi dengan kawasan TNGH. Diperoleh hasil bahwa nilai guna flora di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat lokal sebesar Rp 23.421.420/tahun/rumah tangga. Nilai ini lebih besar dari penelitian Bahruni et al. tersebut, yang sangat mungkin dipengaruhi oleh besar wilayah studi, ukuran contoh (responden) yang mencakup lebih banyak variasi pemanfaatan jenis hasil hutan di desa-desa sekitar TN Gunung Halimun tersebut. Penilaian wisata alam banyak dilakukan di kawasan konservasi berupa taman nasional antara lain Bahruni (1993) menilai wisata alam di TN Gunung Gede Pangrango Rp 194.626.304/thn, di TN Bromo Tengger Semeru Rp 2.516.910.000/thn. Ibrahim (1992) meneliti nilai ekonomi air dari hutan TN Gunung Gede Pangrango untuk konsumsi rumah tangga di Sub DAS yang termasuk di 11 kecamatan dengan jumlah rumah tangga 162.957 sebesar Rp 621 109/thn. Beberapa penilaian hutan di mancanegara dapat ditunjukkan dengan mengacu antara lain pada Panayotou & Ashton (1992) bahwa hasil hutan non kayu yaitu nilai satwaliar di Sarawak sebesar NPV US$8/ha, nilai tumbuhan obat Negrito (Simaruba glauca) untuk penyakit kulit dan pencernaan ringan oleh 39 masyarakat Malayan, Gumbolimbo (Bursera simaruba) untuk diuretic, China root (Smilax lanceolata) untuk rematik dan kulit, Cocomecca (Dioscorea) untuk infeksi kandung kemih dan gangguan ginjal di Balize menghasilkan NPV US$ 3,327/ha, pada rotasi 50 tahun, lebih besar 10 kali dari jika dikonversi untuk pertanian intensif. Di Brazil HHNK dari karet dan biji-bijian memberikan pendapatan masyarakat US$ 960/keluarga. Menurut Alikodra (2002), satwaliar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata. Peranan satwaliar dalam kehidupan manusia sangat besar. Manusia memanfaatkannya dari mulai daging, kulit, minyak, tanduk, tulang, maupun bulunya. Bahkan sarang burung walet (Collocalia spp.) merupakan komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Satwaliar Indonesia mempunyai permintaan pasar yang cukup kuat, terutama burung dan reptil. Keadaan ini tentunya mempunyai dampak yang positif bagi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Di Sarawak Malaysia banyak diburu babi (Sus barbatus), pelanduk (moose deer,Tragulus sp) kijang (bark deer, Muntiacus muntjak) dan Rusa (sambar deer, Cervus unicolor) dengan hasil 20,000 metric ton/thn, ekuivalen konsumsi 12 kg/org/thn ekuivalen pendapatan US$ 72/orang/thn (Panayotou & Ashton, 1992). Bismark (1998) dari berbagai data yang dilaporkan MacKinnon et al (1990) di Botswana, lebih dari 50 jenis satwaliar dimanfaatkan oleh penduduk untuk konsumsi protein hewani dengan jumlah 90,7 kg/orang/tahun dan bahkan dapat menyumbang 40% dari makanan penduduknya. Di Serawak, penduduk setiap tahun mengonsumsi daging satwaliar senilai 50 juta US dolar dan di Ghana 80% daging yang dikonsumsi penduduk berasal dari satwaliar. Pemanfaatan satwaliar di Indonesia sudah ada, baik langsung dari alam atau melalui hasil penangkaran untuk tujuan ekspor. Dalam tahun 1993, nilai ekspor satwaliar mencapai $US 1.700.000 (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Bismark 1998). Hasil hutan non kayu penting lainnya adalah sumberdaya air, yang dihasilkan oleh proses hidrologis hutan, hasil air dari proses ini penggunaannya oleh masyarakat terutama untuk konsumsi atau keperluan rumah tangga dan keperluan pertanian. Herlianto, 2005 meneliti di desa Cisarua dan Curug Bitung di 40 sekitar TN Gunung Halimun Jawa Barat bahwa 7-23% masyarakat memakai air yang berasal dari sungai dan 77-93% dari sumber mata air. Penilaian air menggunakan metode kontingensi melalui pendekatan kesediaan membayar perbaikan saluran air pada musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar Rp 645-1.300/bulan dan Rp 840-1.300/bln. Nilai Guna Tidak Langsung Ekosistem Hutan Ekosistem hutan mempunyai nilai guna tidak langsung dari peranan fungsi ekologis dalam mendukung kehidupan masyarakat, yang sudah lama dibahas dibeberapa literatur, diskusi dan penelitian, antara lain manfaat pengendalian erosi dan tata air. Menurut Manan (1976) bahwa erosi adalah suatu proses dimana tanah dan mineral dilepaskan dan diangkut oleh air, angin dan gaya berat. Ada dua macam erosi yang disebabkan oleh air : (1) erosi permukaan (surface erosion), ialah pelepasan dan pemindahan bahan-bahan melalui permukaan tanah, (2) erosi di bawah permukaan (sub-surface erosion), ialah elutriasi lapisan penutup bumi (earth mantle) oleh air di bawah permukaan, biasanya dalam bentuk mineral yang dilarutkan, termasuk bahan-bahan koloid. Chomitz & Kumari (1998) melakukan tinjauan manfaat domestik hutan tropis dari beberapa studi, tentang manfaat hidrologis dan nilai hasil hutan non kayu. Kebanyakan literatur menunjukkan manfaat sebagai nilai absolut, hal ini secara ekologi dan ekonomi tidak absah, karena : 1) Secara ekologis manfaat hutan misalnya manfaat hidrologis dipengaruhi oleh penutupan lahan, sehingga manfaat harus dihitung relatif terhadap alternatif penggunaan lahan lain 2) Besar manfaat terkait dengan kondisi spesifik lokasi dan skala (luas), setiap luas hutan memiliki beberapa keragaman dan kepadatan jenis, jenis tanah, terrain (topografi), aksesibilitas ke pasar dan lain-lain. Keragaman ini mempengaruhi proses fisik yg menentukan besar manfaat hutan dan nilai ekonominya. Penilaian manfaat hidrologis yang menyangkut hubungan penutupan lahan dan sedimentasi berdasarkan fakta empiris sangat terbatas, dengan mengacu 41 review oleh Wiersum 1984 atas 80 ringkasan laporan studi, besar erosi dipengaruhi oleh penutupan lahan, sebagaimana pada Tabel 2. Tabel 2 Hubungan penutupan lahan dan erosi No Tipe penutupan lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Natural forest Shifting cultivation : fallow period Forest plantation : undisturbed a) Multistoried tree garden b) Tree crop with cover crop/mulch Shifting cultivation : cropping Agricultural intercropping in young forest plantations Tree crop : clean weeded Forest plantation : litter removed or burned Erosi tanah (ton/ha/thn) Min. Median Maks 0,03 0,3 6,2 0,05 0,2 7,4 0,02 0,6 6,2 0,01 0,1 0,15 0,1 0,8 5,6 0,4 2,8 70 0,6 5,2 17,4 1,2 48 183 5,9 53 105 a) refer to forest for timber production as opposite to tree crops b) a system in which various perennial and sometimes a few annual crop are cultivated simutaniously with trees. Manfaat hidrologis dari segi pencegahan erosi yang menurunkan manfaat bendungan (gangguan turbin) di Dominican Republic’s Valdesia watershed sebesar US$ 2.000/ha, di Hulu Langat Forest Reserve Malaysia US$ 1.356/ha dan akibat erosi di sekitar Pantabangan (Philipina) kehilangan manfaat jasa dam ekuivalen dengan nilai perlindungan hutan sebesar US$ 80/ha hutan. Dampak pemanenan kayu berupa sedimentasi di Palawan (manlag river) Philipina 1.000mg/l sedangkan di sungai kontrol sekitar 10 mg/l, dampak ini diduga senilai kehilangan pendapatan US$ 3.200/ha. Magrath et al.(1995) telah mengompilasi lebih kurang 11 hasil penelitian dari 1988-1992 mengenai nilai ekonomi keanekaragaman hayati. Studi yang dilakukan menilai satu atau beberapa jenis barang atau jasa hutan, sebagai bagian dari nilai ekonomi total hutan tropis lahan kering atau lahan basah seperti lahan gambut dan dataran banjir. Beberapa hasil studi itu yaitu 1) Nilai guna langsung yaitu tanaman obat di Belize sebesar NPV US$ 3.327/ha, 2) Nilai guna tidak langsung yaitu penyimpanan karbon hutan Amazon di Brazil US$ 46 milyar, nilai fungsi perlindungan DAS di Negeria NPV sebesar 6,8 juta US dolar (US$ 54/ha), perlindungan kesuburan lahan karena erosi NPV US$ 958.000 (US$ 8/ha), 3) Nilai keberadaan hutan Amazon Brazil US$ 30 milyar. 42 Panayotou & Ashton (1992) menggali berbagai hasil penelitian tentang hasil hutan non kayu, diantaranya penilaian jasa lingkungan, untuk menunjukkan manfaat hutan mendukung berbagai kehidupan manusia. India, akibat deforestasi berdampak menurunkan Jasa lingkungan di kapasitas Bendungan Nizramsagar dari 900 juta m3 menjadi 340 juta m3, akibatnya defisit air bagi lahan pertanian dan tebu yang telah diairi seluas 1.100 km2. Penduduk India dan Nepal yang tinggal di Ganges River Plain 500 juta orang, mengalami kerugian akibat banjir dan kekeringan, karena berkurangnya hutan 40% dalam kurun waktu 30 tahun. Tahun 70-an biaya akibat banjir US$ 120 juta/thn naik menjadi US$ 1 – 2 milyar/thn. Biaya pengendalian banjir dengan pembangunan cek dam, tanggul dan dam besar di India sebesar US$ 100-250 juta/thn. Hutan juga berperan terhadap perlindungan investasi energi (listrik), sebagaimana di Republik Dominika dam Tavera menghasilkan 80.000 kilowatt dibangun 1974, tetapi 1981 terjadi sedimentasi 18 meter, sehingga menurunkan 40% kapasitas minimal (1014% kapasitas aktif). Pengaruh iklim dan penyerapan karbon, yaitu pada hutan Amazon yang masih utuh nilai sequestrasi karbon US$374-1.625/ha, dimana harga lahan hanya US$ 20-300/ha, sedangkan sequestrasi karbon hutan Malaysia sebesar PV US$ 2.950-3.682/ha, dan penyerapan karbon dapat menghindarkan biaya marginal reduksi emisi karbon negara maju rata-rata US$ 28/ton Di Indonesia salah satu valuasi nilai ekonomi fungsi hidrologis hutan produksi untuk kepentingan transportasi dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB dan Departemen Kehutanan (1999) diperoleh nilai hutan lahan basah (rawa) Rp 60- 4.859/ha/thn, sedangkan untuk hutan lahan kering sebesar Rp 4-96.083/ha/thn. Adapun nilai fungsi pengendalian banjir sebesar Rp 25/ha/thn. Studi ini masih terbatas pada dua lokasi contoh untuk setiap kondisi hutan, belum memberikan gambaran yang mencakup variasi kondisi hutan yang cukup besar. Nilai Pilihan dan Keberadaan Ekosistem Hutan Selain memiliki nilai guna, sumberdaya hayati yang ada di lokasi tersebut juga memiliki nilai keberadaan (existence value) maupun nilai harapan akan datang (option value) dengan ukuran kesediaan membayar masyarakat terhadap upaya perlindungan dengan derajat perlindungan 100% cukup tinggi, yaitu 43 berkisar antara Rp 16.500-48.500/tahun/rumah tangga dengan rata-rata Rp 26.088/tahun/rumah tangga. Bagi masyarakat di sekitar Hutan Lindung Gunung Darajat nilai guna flora mencapai Rp 7.122.660/tahun/rumah tangga, sedangkan nilai guna fauna di lokasi tersebut adalah Rp 1.374.000/tahun/rumah tangga. Dixon dan Sherman (1990) menghimpun berbagai hasil penilaian manfaat Taman Nasional Khao Yai seluas 2.168 km2 di Thailand, meliputi nilai pilihan dan keberadaan satwa gajah, wisata alam dan nilai penelitian diperoleh hasil 1) Nilai pilihan dan keberadaan seluruh gajah di Thailand sebesar 1.230 juta bath/thn, dengan asumsi gajah di taman nasional 10% populasi gajah seluruh Thailand maka nilai di Taman Nasional Khao Yai 123 juta bath/thn. 2) Nilai wisata alam dengan metode pengeluaran belanja wisatawan (transportasi, guide, akomodasi, konsumsi dan souvenir) yaitu 100-200 juta bath/thn. 3) Nilai pengeluaran biaya penelitian dan pendidikan 1-2 juta bath/thn. Holmes et al. (1998) melakukan studi di Atalantic Coastal Forest di Barat Laut Brazil (Mata Atlantica), merupakan ekosistem hutan hujan tropis yg terancam punah (threatened), karena pengaruh turunnya harga coklat dunia mendorong petani menebang hutan milik mereka. Disini terdapat kawasan hutan pelestarian alam (Una Biological Reserve) yg terletak di Bagian Selatan Bahia. Hutan Mata Atlantica seluas 1,4 juta hektar merupakan satu satunya habitat asli primata langka terancam punah (endangered) seperti the golden-headed lion tamarin dan the yellow-breasted capuchin monkey. Penilaian dilakukan dengan Adaptive Conjoint Analysis (ACA) untuk mengetahui manfaat wisata alam jika hutan itu sebagai hutan konservasi. Hasil studi menunjukkan WTP wisata alam semakin besar dengan bertambahnya objek wisata, yaitu WTP $22,08 paket wisata-1 (many large trees,view birds,lion tamarin,biologis lead short nature walk, guide lead longer walk), WTP $58,52 wisata paket-2 (Nature park-1 + a walk way contructed in the forest canopy) serta WTP $86,21 ke Nature park-3 (Nature park-2 + a botanical garden, tour cocoa plantation, learn management system, history and lore).