Dampak penerimaan dan pengeluaran Pemerintah

advertisement
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada periode 1970 sampai dengan
pertengahan tahun 1997 rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6%.
Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun secara drastis pada tahun 1998
menjadi -13.2%. Lambat laun pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
peningkatan, pada tahun 2001 sebesar 3.64%, kemudian
tahun 2004 sampai
dengan 2008 rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 5%, tetapi kembali menurun
pada tahun 2009 menjadi 4.55%.
Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi
(output) suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
penerimaan nasional. Aktivitas pemerintah secara langsung maupun tidak
langsung seharusnya mempengaruhi total output (Produk Domestik Bruto/PDB)
negara melalui interaksinya dengan sektor swasta, karena pengeluaran pemerintah
merupakan salah satu komponen PDB. Sehingga aktivitas pemerintah dan swasta
seharusnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun dalam beberapa
penelitian arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan
ekonomi ada yang negatif.
Sebagai salah satu komponen PDB, pengeluaran pemerintah dapat
menstimulus perekonomian melalui peningkatan konsumsi dan investasi.
Pengeluaran pemerintah diatur melalui kebijakan fiskal yang dilakukan oleh
pemerintah selaku sektor publik. Sektor ini memiliki fungsi yang meliputi
pengalokasian sumber daya, distribusi penerimaan, dan menciptakan stabilitas
dalam perekonomian. Pada pelaksanaannya sektor publik berdampingan dengan
sektor swasta dalam aktivitas penyediaan barang dan jasa. Dalam kondisi
demikian peran sektor publik sangat dibutuhkan sebagai stimulus investasi swasta,
memberi arah serta sasaran pembangunan bangsa untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Pengeluaran publik merupakan biaya aktivitas pemerintah, termasuk
di dalamnya penyediaan barang dan jasa, produksi, dan transfer penerimaan.
2
Pembiayaan
publik
ini
menyebabkan
adanya
kebijakan-kebijakan
yang
menyangkut usaha penghimpunan dana (diantaranya melalui pajak) dan
pengeluaran yang diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
Pengeluaran pemerintah pusat digambarkan dalam Anggaran Penerimaan
dan Pengeluaran Negara (APBN), sedangkan pengeluaran pemerintah daerah
digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Daerah (APBD). Tata
cara pengelolaan APBN dan APBD diatur dalam Undang-Undang. UndangUndang yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
yaitu Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut bersama
dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan dalam rangka otonomi daerah
sebagai pengganti Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No
25 Tahun 1999. Adanya Undang-Undang tersebut berimplikasi pada munculnya
hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan penerapan kedua undang-undang tersebut, manajemen pemerintah daerah
mengalami pergeseran, yaitu dari sentralistis menjadi sistem desentralistis.
Dampak yang langsung dirasakan adalah semakin besarnya tanggung jawab
Pemerintah Daerah dalam membangun daerahnya sesuai dengan kondisi daerah.
Untuk itu daerah dituntut mampu menggunakan sumber daya manusianya secara
optimal agar dapat mengelola anggarannya dalam mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Penyelenggaraan otonomi daerah memuat dua aspek penting, yaitu
pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
maupun
tugas
pembangunan
dan
pengalokasian pengeluaran sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerahnya
masing-masing. Pada prinsipnya pengeluaran dalam APBN dan APBD bertujuan
untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran pemerintah ini secara tidak langsung
merupakan investasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional. Sumber dari pengeluaran pemerintah adalah penerimaan pemerintah.
3
Penerimaan daerah berasal dari Penerimaan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana perimbangan merupakan
sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan
antar Pemerintah Daerah, yang berupa transfer dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Sebagian besar provinsi hanya mampu menghimpun PAD
sekitar 20 persen dari total penerimaannya, sehingga tergantung pada transfer dari
pemerintah pusat. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah penentuan prioritas
pengeluaran pemerintah berdasarkan penerimaannya tersebut merupakan hal yang
perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun rencana anggarannya.
Masalah pengalokasian pengeluaran publik ini merupakan pilihan yang
cukup sulit, yang mana pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari
pengeluaran tersebut yang harus dikurangi atau ditambah dalam menciptakan
anggaran yang efektif dan efisien. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu
komponen dalam output suatu negara. Peningkatan pengeluaran pemerintah
seharusnya akan diikuti peningkatan output, sehingga terjadi pertumbuhan
ekonomi yang positif. Tetapi adakalanya pengeluaran pemerintah tidak optimal
dalam meningkatkan output. Hal itu mungkin disebabkan oleh besarnya jenis
pengeluaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga alokasi pengeluaran
tersebut tidak tepat. Oleh karena itu penelitian mengenai komposisi pengeluaran
pemerintah yang tepat perlu dilakukan sehingga dapat diketahui jenis pengeluaran
pemerintah yang perlu ditambah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
jenis pengeluaran apa yang dapat dikurangi. Dengan kata lain untuk mengetahui
jenis pengeluaran pemerintah yang memacu pertumbuhan ekonomi dan jenis
pengeluaran yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain yang menunjukkan
keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya yaitu penyerapan tenaga
kerja, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan. Dengan adanya pertumbuhan
ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan
tenaga kerja bertambah dan pengangguran berkurang. Meskipun pertumbuhan
ekonomi tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, tetapi pertumbuhan
tenaga kerja justru mengalami penurunan mulai tahun 2007. Pada tahun 2006
pertumbuhan tenaga kerja sebesar 1.07 persen, kemudian mengalami peningkatan
4
menjadi 4.69 persen pada tahun 2007, tetapi setelah itu berangsur-angsur
mengalami penurunan menjadi 2.62 dan 2.25 persen pada tahun 2008 dan 2009.
Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran sebesar 10.93 juta orang atau 10.28
persen dari angkatan kerja, pada tahun 2007 menurun menjadi 10,01 juta orang
atau 9.11 persen dari angkatan kerja, kemudian menurun kembali pada tahun 2008
menjadi 9.39 juta orang atau 8.46 persen. Pada tahun 2009 jumlah pengangguran
terbuka di Indonesia menjadi 8.96 juta orang atau 7.87 persen dari angkatan kerja.
Kesempatan kerja penuh tercapai jika jumlah pengangguran sekitar 5-6 persen.
Jika target pertumbuhan ekonomi hanya 5.5 persen, maka target full employment
sulit tercapai. Pertumbuhan ekonomi setidaknya harus mencapai 7.13 persen per
tahun agar mampu menyerap tenaga kerja secara optimal. Pertumbuhan sebesar
itu diperlukan selama lima tahun mendatang mulai 2010 jika pemerintah ingin
mengejar target kesempatan kerja penuh (full employment) 5-6 persen pada tahun
2014.
Tujuan dasar pembangunan ekonomi tidaklah semata-mata hanya untuk
mengejar pertumbuhan PDB atau PDRB, namun juga untuk menciptakan
pemerataan pendapatan antar masyarakat, karena ketidakmerataan distribusi
pendapatan masyarakat juga merupakan permasalahan pembangunan. Jika
pertumbuhan
ekonomi
tinggi
tetapi
gagal
untuk
mengurangi
bahkan
menghilangkan besarnya kemiskinan absolut maka pertumbuhan PDB per kapita
yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Karena
apa yang disebut dengan proses trickle down effect dari manfaat pertumbuhan
ekonomi bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti yang diharapkan. Masalah
distribusi pendapatan mengandung dua aspek. Aspek pertama adalah bagaimana
menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih berada di bawah garis
kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan pendapatan secara
menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar
penduduk atau rumah tangga. Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat
dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di bawah garis
kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Indonesia mamang mengalami
penurunan dari 20.37 persen pada tahun 2007 menjadi 15.42 persen pada tahun
5
2008, dan menurun kembali menjadi 14.15 persen pada tahun 2009. Meskipun
terus mengalami penurunan, ada beberapa provinsi yang persentase penduduk
miskinnya meningkat, yaitu Provinsi Gorontalo, Irian Jaya Barat, dan Papua.
Untuk aspek yang kedua, keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara
menyeluruh adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih besar
dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya. Provinsi dengan PDRB
perkapita tertinggi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, sedangkan terendah yaitu Nusa
Tenggara Timur. Perbedaan PDRB per kapita keduanya sangat jauh, pada tahun
2009 PDRB per kapita DKI Jakarta sebesar Rp 40 juta, dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 4.13 persen, sedangkan Nusa Tenggara Timur hanya Rp 2.5
juta, dengan tingkat pertumbuhan 2.31 persen. PDRB per kapita DKI Jakarta
berbeda jauh dibandingkan PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur, selain itu
PDRB per kapita DKI Jakarta tumbuh lebih cepat dari pada Nusa Tenggara Timur.
Dari keadaan tersebut terlihat bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia.
Ukuran agregat yang memperlihatkan kondisi perekonomian tersebut di atas
merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dikeluarkan di daerah,
baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah,
sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Oleh karena
itu pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya
secara mandiri sehingga seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme
perencanaan yang efektif dan efisien.
1.2
Identifikasi dan Batasan Masalah
Barro (1990) mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah dalam
bentuk investasi dan kegiatan yang produktif seharusnya mempunyai kontribusi
positif terhadap pertumbuhan, sedangkan pengeluaran konsumsi yang tidak
produktif diperkirakan memperlambat pertumbuhan. Bleaney et al (1999)
mengelompokan pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran produktif dan tidak
produktif. Pengeluaran yang produktif antara lain pengeluaran pelayanan umum,
pertahanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan telekomunikasi,
pengeluaran lain, dan pengeluaran sosial. Nuryanto (2005) mengelompokkan
6
pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran
untuk human capital, pengeluaran sosial, dan pengeluaran industri dan
infrastruktur. Nuryanto mengasumsikan bahwa pengeluaran pelayanan umum dan
sosial adalah pengeluaran yang tidak produktif. Evaluasi jenis pengeluaran
produktif dan non-produktif perlu dilakukan agar dapat diketahui jenis
pengeluaran yang memacu pertumbuhan dan jenis pengeluaran yang menghambat
pertumbuhan. Tentu saja pertumbuhan yang terjadi diharapkan diikuti oleh
pemerataan distribusi penerimaan. Strategi redistribusi dengan perubahan
(redistribution with growth) berusaha menggabungkan usaha pemerataan dengan
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Penekanan strategi ini adalah penyaluran
kembali (realokasi) dana–dana investasi baru, terutama dari pemerintah ke
golongan penduduk yang paling miskin, sehingga mereka dapat memupuk harta
produktif yang dapat meningkatkan produktivitas dan penerimaan mereka.
Dengan adanya pemerataan distribusi pendapatan, maka diharapkan tingkat
kemiskinan menurun.
pendidikan
kesehatan
0.253
0.384
sosial
pertanian
0.085
industri
0.163
infrastruktur
0.057
0.008
0.040
0.006
0.003
ESDM
pekerjaan umum
lainnya
Sumber: Departemen Keuangan, 2010 (diolah)
Gambar 1
Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2009
Provinsi
dan
Alokasi pengeluaran pemerintah daerah menurut klasifikasi berdasarkan
urusan dapat dilihat pada Gambar 1. Pengeluaran untuk sosial menempati posisi
tertinggi dalam persentasenya terhadap total pengeluaran pemerintah daerah
7
provinsi dan kabupaten/kota, yaitu 38 persen, disusul pengeluaran untuk
pendidikan sebesar 25 persen. Pengeluaran untuk kesehatan pada tahun 2009
mencapai 9 persen dari total pengeluaran pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Sedangkan pengeluaran untuk pertanian dan infrastruktur masingmasing sebesar 4 dan 6 persen.
Evaluasi jenis pengeluaran yang memacu kinerja perekonomian perlu
dilakukan
karena
membantu
pemerintah
agar
dapat
mengalokasikan
pengeluarannya secara efektif dan efisien. Masalah pengalokasian pengeluaran
pemerintah amat penting karena kebutuhan dana per sektor setiap tahunnya selalu
meningkat, di sisi lain sumber dana sangat terbatas.
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengeluaran pemerintah daerah untuk
semua alokasi anggaran mengalami peningkatan dari tahun 2008 ke 2009. Alokasi
anggaran pemerintah tersebut ditujukan untuk berbagai tujuan, seperti pertanian,
kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Bila salah satu pos pengeluaran meningkat,
sedangkan penerimaan tidak naik, akan mengakibatkan turunnya nominal
anggaran pada pos pengeluaran lain.
120000000000
000 Rp
100000000000
Pendidikan
80000000000
Kesehatan
60000000000
Sosial
Pertanian
40000000000
Industri
20000000000
Infrastruktur
0
2008
2009
Sumber: Departemen Keuangan, 2010 (diolah)
Gambar 2
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2008-2009 (Ribu Rupiah)
Oleh karena itu, bila pemerintah ingin meningkatkan salah satu pos
pengeluaran, langkah yang dapat ditempuh ada dua, yakni mengurangi nominal
8
anggaran di pos pengeluaran lain dan/atau meningkatkan penerimaan. Selain dua
cara tersebut, pemerintah juga dapat meningkatkan hutang, baik yang berasal dari
dalam negeri maupun luar negeri.
Perkembangan penerimaan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat
dilihat pada Gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dikatakan bahwa penerimaan
daerah lebih banyak tergantung dari anggaran pemerintah pusat, melalui Dana
Alokasi Umum (DAU) atau dana transfer yang berjumlah antara 60 sampai 70
persen dari total penerimaan daerah. Persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD)
relatif kecil, yaitu sekitar 20 persen. Tetapi tidak semua provinsi DAU-nya sekitar
60 sampai 70 persen, misalnya Provinsi DKI Jakarta. Sejak tahun 2005 sampai
dengan 2009 Provinsi DKI Jakarta tidak mendapatkan dana transfer dari
pemerintah pusat. Jadi dana yang dimiliki oleh kebanyakan daerah sedikit banyak
tergantung pada pusat. Hal itu menyebabkan keterbatasan dana dalam
penyelenggaraan pembangunan daerah. Adanya keterbatasan dana yang dihadapi
pemerintah daerah menyebabkan masalah pemilihan alokasi anggaran menjadi
amat penting. Dalam menghadapi kendala tersebut, dibutuhkan kejelian
pemerintah dalam menentukan skala prioritas sektor yang mampu memberikan
kontribusi optimal bagi kinerja perekonomian.
350000000000
300000000000
250000000000
000 Rp
200000000000
150000000000
100000000000
50000000000
0
2006
Dana Perimbangan
2007
2008
2009
Pendapatan Asli Daerah
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 (diolah)
Gambar 3
Perkembangan Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2006-2009 (Ribu Rupiah)
9
Berlakunya sistem otonomi daerah menyebabkan daerah memiliki
wewenang untuk menyusun anggaran yang pengalokasiannya diserahkan
sepenuhnya pada masing-masing daerah. Selain itu, perwujudan otonomi daerah
mempunyai makna dimana suatu daerah otonom dituntut mampu menggali
sumber-sumber keuangan sendiri, salah satu sumber keuangan daerah berupa
PAD. Wujud kesinambungan antara masyarakat, pemerintah, dan pembangunan
salah satunya tertuang dalam PAD. Hal ini terutama dari proses pelaksanaan
kewajiban masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan lain-lain. Timbal
balik dari hal tersebut berupa hasil dari pelaksanaan pembangunan oleh
pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat. Realisasi yang diperoleh masyarakat
terwujud dalam kebijakan alokasi anggaran pengeluaran yang ditujukan pada
kepentingan masyarakat, yaitu pada urusan pendidikan, kesehatan, pertanian, dan
lain-lain.
Penelitian ini akan mencoba menganalisis dampak penerimaan dan
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja,
distribusi pendapatan, dan kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia. Distribusi
pendapatan dalam hal ini adalah ketimpangan pendapatan per kapita antar
provinsi di Indonesia. Ketimpangan pendapatan per kapita dalam penelitian ini
digambarkan dengan Indeks Williamson. Perilaku dan karakteristik pengeluaran
pemerintah di setiap provinsi tidak sama, hal tersebut tergantung dari kemampuan
sumber daya manusia dalam mengelolanya, sumber-sumber potensial keuangan,
sumber daya alam, sosial budaya, dan lain-lain. Namun demikian pola
pengeluaran pemerintah derah antara suatu provinsi dengan provinsi lainnya pada
umumnya hampir sama sesuai dengan prinsipnya sebagai pelayanan umum atau
disebut juga sebagai public service.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran daerah
2.
Bagaimana dampak penerimaan pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi,
dan kemiskinan
3.
Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi,
dan kemiskinan.
10
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penerimaan
dan
pengeluaran pemerintah daerah
2. Mengevaluasi dampak penerimaan pemerintah terhadap kinerja fiskal,
ekonomi, kemiskinan
3. Mengevaluasi dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja fiskal,
ekonomi, dan kemiskinan
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat dilaksanakan pemerintah
dalam mendorong kinerja perekonomian.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap 25 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Maluku, dan Papua pada periode 2005-2009. Pemilihan 25 provinsi tersebut
dilakukan berdasarkan ketersediaan data.
Download